Anda di halaman 1dari 34

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Partisipasi politik merupakan kegiatan warganegara yang bertujuan untuk

mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri. Sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa. Mahasiswa adalah individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana didalam menjalani serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya diantara mahasiswa ada yang sudah bekerja atau disibukkan oleh kegiatan oraganisasi kemhasiswaan. Kaum muda Indonesia adalah masa depan bangsa. Karena itu, setiap pemuda Indonesia, baik yang masih berstatus sebagai pelajar, mahasiswa, ataupun yang sudah menyelesaikan pendidikannya adalah aktor-aktor penting yang sangat diandalkan untuk mewujudkan cita-cita pencerahan kehidupan bangsa kita di masa depan. The founding leaders Indonesia telah meletakkan dasar-dasar dan tujuan kebangsaan sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Kita mendirikan negara Republik Indonesia untuk maksud melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-cita tersebut, bangsa kita telah pula bersepakat membangun kemerdekaan kebangsaan dalam susunan organisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Hukum yang bersifat demokratis (democratische rechtsstaat) dan sebagai Negara Demokrasi konstitutional (constitutional democracy) berdasarkan Pancasila. Dalam upaya mewujudkan cita-cita itu, tentu banyak permasalahan, tantangan, hambatan, rintangan, dan bahkan ancaman yang harus dihadapi.

Masalah-masalah yang harus kita hadapi itu beraneka ragam corak dan dimensinya. Banyak masalah yang timbul sebagai warisan masa lalu, banyak pula masalah-masalah baru yang terjadi sekarang ataupun yang akan datang dari masa depan kita. Dalam menghadapi beraneka persoalan tersebut, selalu ada kecemasan, kekhawatiran, atau bahkan ketakutan-ketakutan sebagai akibat kealfaan atau kesalahan yang kita lakukan atau sebagai akibat hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan kita, seperti karena terjadinya bencana alam atau karena terjadinya krisis keuangan di negara lain yang berpengaruh terhadap perekonomian kita di dalam negeri. Dalam perjalanan bangsa kita selama 100 tahun terakhir sejak kebangkitan nasional, selama 80 tahun terakhir sejak sumpah pemuda, selama 63 tahun terakhir sejak kemerdekaan, ataupun selama 10 tahun terakhir sejak reformasi, telah banyak kemajuan yang telah kita capai, tetapi masih jauh lebih banyak lagi yang belum dan mesti kita kerjakan. Banyaknya permasalahan yang kita hadapi, terkadang orang cenderung larut dalam keluh kesah tentang kekurangan, kelemahan, dan ancaman-ancaman yang harus dihadapi yang seolah-olah tidak tersedia lagi jalan untuk keluar atau solusi untuk mengatasi keadaan. Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah reformasi konstitusional (constitutional reform). Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia. Pada Sidang Umum MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu:1 1. sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; 2. sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempumakan presidensiil); 4. sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan 5. sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945. agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem

Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang MPR dari 1999 hingga 20022. Perubahan pertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999. Arah perubahan pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.3 Perubahan kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000. Perubahan kedua menghasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempumakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuanketentuan terperinci tentang HAM.4 Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Perubahan tahap ini mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang asasasas landasan bemegara, kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.5 Sedangkan perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan Keempat tersebut meliputi ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA),

Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa reformasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50

Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
3 4

Ditetapkan pada 19 Oktober 1999. Ditetapkan pada 18 Agustus 2000. 5 Ditetapkan pada 9 November 2001.

pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.6 Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, sedangkan perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan.7 Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25 (12%) butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 (88%) butir ketentuan merupakan materi yang baru atau telah mengalami perubahan. Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu

menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masingmasing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar (concentration of power and responsibility upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis. Setelah berhasil melakukan perubahan konstitusional, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah pelaksanaan UUD 1945 yang telah diubah tersebut. Pelaksanaan UUD 1945 harus dilakukan mulai dari konsolidasi norma hukum hingga dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 harus menjadi acuan dasar sehingga benar-benar hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution). Penting bagi kita semua, terutama kaum muda Indonesia, membiasakan diri yaitu untuk mengerjakan apa saja yang semestinya kita kerjakan guna
6 7

Ditetapkan pada 10 Agustus 2002. Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun

1945, Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003, hal. 1.

memperbaiki keadaan dan meningkatkan produktifitas kita sebagai bangsa dan negara. Setiap anak bangsa perlu bertekad melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing melebihi apa yang seharusnya dikerjakan, dengan hanya mengambil hak tidak melebihi hak yang memang seharusnya diterima.

1.2

Identifikasi Masalah Dari latar belakang diatas penulis mengambil identifikasi maslaah yaitu : 1. Apakah yang dimaksud dengan partisipasi politik ? 2. Bagaimana bentuk-bentuk dari partisipasi politik ? 3. Siapakah yang dimaksud dengan mahasiswa ? 4. Bagaimana hubungan partisipasi politik mahasiswa di masa reformasi ?

1.3

Pembatasan Masalah Dari identifikasi masalah diatas penulis membatasi permasalahan menjadi

3 poin yaitu : 1. Pengertian partisipasi politik 2. Pengertian mahasiswa 3. Hubungan partisipasi politik mahasiswa di masa reformasi

1.4

Perumusan Masalah Dari pembatasan masalah diatas penulis merumuskan permasalahan

menjadi 3 poin yaitu : 1. Apakah yang dimaksud dengan partisipasi politik ? 2. Siapakah yang dimaksud dengan mahasiswa ? 3. Bagaimana hubungan partisipasi politik mahasiswa di masa reformasi ?

1.5

Tujuan Tujuan dari makalah ini yaitu : 1. Mengetahui tentang partisipasi politik 2. Mengetahui tentang mahasiswa 3. Mengetahui hubungan partisipasi politik mahasiswa di masa reformasi

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 2.1.1

Partisipasi Politik Pengertian Partisipasi Politik Secara etimologis, partisipasi berasal dari bahasa latin pars yang artinya

bagian dan capere, yang artinya mengambil, sehingga diartikan mengambil bagian. Dalam bahasa Inggris, participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan. Sehingga partisipasi berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara. Dan secara etimologis, kata politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Jadi, Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Untuk memperjelas konsep arti dari partisipasi politik para ahli merumuskan beberapa rumusan tentang pengertian partisipasi politik sebagai berikut: 1) Herbert McClosky, dalam International Encyclopedia of The Social Science; Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung terlibat dalam proses pembentukan kebijaksanaan umum.

2) Kevin R. Hardwick, Partisipasi politik memberi perhatian pada caracara warga negara berinteraksi dengan pemerintah, warga negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut. Indikatornya adalah terdapat interaksi antara warga negara dengan pemerintah dan terdapat usaha warga negara untuk mempengaruhi pejabat publik. 3) Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science; Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga Negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara dan/atau tindakan-tindakan yang mereka ambil. 4) Michael Rush dan Philip Althoft, Partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Indikatornya adalah berwujud keterlibatan individu dalam sistem politik dan memiliki tingkatan-tingkatan partisipasi. 5) Huntington dan Nelson, Partisipasi politik ialah kegiatan warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Indikatornya adalah: Partisipasi politik menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Subyek partisipasi politik adalah warga negara preman (private citizen)atau orang per orang dalam peranannya sebagai warga negara biasa, bukan orang-orang profesional di bidang politik. Kegiatan dalam partisipasi politik adalah kegiatan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dan ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai wewenang politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah tindakan itu memunyai efek atau tidak. Partisipasi politik menyangkut partisipasi otonom dan partisipasi dimobilisasikan 6) Ramlan Surbakti, Partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Partisipasi politik berarti keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak

mempunyai

kewenangan)

dalam

mempengaruhi

proses

pembuatan

dan

pelaksanaan keputusan politik. Indikatornya adalah keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan dilakukan oleh warga negara biasa 7) Prof. Miriam Budiharjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik; Partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang dalam partai politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta secara langsung atau tak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Indikatornya adalah berupa kegiatan individu atau kelompok dan bertujuan ikut aktif dalam kehidupan politik, memilih pim-pinan publik atau mempenga-ruhi kebijakan publik. Berdasarkan beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang dikemukakan beberapa sarjana ilmu politik tersebut, secara substansial menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang dilakukan termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi politik dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa, sehingga seolah-olah menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang dilakukan oleh non-warga negara biasa. Keikutsertaan warga negara dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, memberi catatan berbeda: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik. Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik

Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).

2.1.2

Landasan Partisipasi Politik Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang

melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi: 1. kelas individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa. 2. kelompok atau komunal individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa. 3. lingkungan individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan. 4. partai individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan 5. golongan atau faksi individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.

2.1.3

Mode Partisipasi Politik Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi

politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama

ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan terror.

2.1.4

Bentuk Partisipasi Politik Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor kebiasaan partisipasi

politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi: 1. Kegiatan Pemilihan yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu; 2. Lobby yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu; 3. Kegiatan Organisasi yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah; 4. Contacting yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi

keputusan mereka, dan 5. Tindakan Kekerasan (violence) yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan

pemberontakan. Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak

10

membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini. Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson relatif lengkap. Hampir setiap fenomena bentuk partisipasi politik kontemporer dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi mereka. Namun, Huntington dan Nelson tidak memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu.

2.1.5

Dimensi Subyektif Individu Dimensi subyektif adalah serangkaian faktor psikologis yang berpengaruh

terhadap keputusan seseorang untuk terlibat dalam partisipasi politik. Faktorfaktor ini cukup banyak, yang untuk kepentingan tulisan ini hanya akan diajukan 2 jenis saja yaitu Political Dissafection dan Political Efficacy. Political Disaffection adalah istilah yang mengacu pada perilaku dan perasaan negatif individu atau kelompok terhadap suatu sistem politik. Penyebab utama dari political disaffection ini dihipotesiskan adalah media massa, terutama televisi. Hipotesis tersebut diangkat dari kajian Michael J. Robinson selama 1970an yang mempopulerkan istilah videomalaise. Dengan banyaknya individu menyaksikan acara televisi, utamanya beritaberita politik, mereka mengalami keterasingan politik (political alienation). Keterasingan ini akibat melemahnya dukungan terhadap struktur-struktur politik yang ada di sistem politik seperti parlemen, kepresidenan, kehakiman, partai politik, dan lainnya. Individu merasa bahwa struktur-struktur tersebut dianggap tidak lagi memperhatikan kepentingan mereka. Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk sinisme politik berupa protes-protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara. Jika tingkat political disaffection tinggi, maka para individu atau kelompok cenderung memilih bentuk partisipasi yang sinis ini. Political Efficacy adalah istilah yang mengacu kepada perasaan bahwa tindakan politik (partisipasi politik) seseorang dapat memiliki dampak terhadap

11

proses-proses politik. Keterlibatan individu atau kelompok dalam partisipasi politik tidak bersifat pasti atau permanen melainkan berubah-ubah. Dapat saja seseorang yang menggunakan hak-nya untuk memiliki di suatu periode, tidak menggunakan hak tersebut pada periode lainnya. Secara teroretis, ikut atau tidaknya individu atau kelompok ke dalam bentuk partisipasi politik bergantung pada Political Efficacy ini. Pernyataan-pernyataan sehubungan dengan masalah Political Efficacy ini adalah: 1. Saya berpikir bahwa para pejabat itu tidak cukup peduli dengan apa yang saya pikirkan. 2. "Ikut mencoblos dalam Pemilu adalah satu-satunya cara bagaimana orang seperti saya ini bisa berkata sesuatu tentang bagaimana pemerintah itu bertindak. 3. Orang seperti saya tidak bisa bicara apa-apa tentang bagaimana pemerintah itu sebaiknya. 4. Kadang masalah politik dan pemerintahan terlalu rumit agar bisa dimengerti oleh orang seperti saya. Political efficacy terbagi 2 yaitu external political efficacy dan internal political efficacy. External political efficacy ditujukan kepada sistem politik, pemerintah, atau negara dan diwakili oleh pernyataan nomor 1 dan 3. Sementara internal political efficacy merupakan kemampuan politik yang dirasakan di dalam diri individu, yang diwakili peryataan nomor 2 dan 4. Dari sisi stabilitas politik, sebagian peneliti ilmu politik menganggap bahwa stabilitas politik akan lahir jika tingkat internal political efficacy rendah dan tingkat external political efficacy tinggi.

2.2

Mahasiswa Definisi mahasiswa menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia

(Kamisa,1997), bahwa mahasiswa merupakan individu yang belajar di perguruan tinggi. Montgomery dalam Papalia dkk (2007) menjelaskan bahwa perguruan

12

tinggi atau universitas dapat menjadi sarana atau tempat untuk seseorang individu dalam mengembangkan kemampuan intelektual, kepribadian, khususnya dalam melatih keterampilan verbal dan kuantitatif, berpikir kritis dan moral reasoning. Mahasiswa merupakan satu golongan dari masyarakat yang mempunyai dua sifat, yaitu manusia muda dan calon intelektual, dan sebagai calon intelektual, mahasiswa harus mampu untuk berpikir kritis terhadap kenyataan sosial, sedangkan sebagai manusia muda, mahasiswa seringkali tidak mengukur resiko yang akan menimpa dirinya (Djojodibroto, 2004). Mahasiswa dalam

perkembangannya berada pada kategori remaja akhir yang berada dalam rentang usia 18-21 tahun (Monks dkk, 2001). Menurut Papila dkk (2007), usia ini berada dalam, tahap perkembangan dari remaja atau adolescence menuju dewasa muda atau young adulthood. Pada usia ini, perkembangan individu di tandai dengan pencarian identitas diri, adanya pengaruh dari lingkungan, serta sudah mulai membuat keputusan terhadap pemilihan kerja atau karirnya. Lebih jauh, menurut Ganda (2004), mahasiswa adalah individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana didalam menjalani serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya diantara mahasiswa ada yang sudah bekerja atau disibukkan oleh kegiatan oraganisasi kemhasiswaan. Menurut Anisyah (2000:267), mahasiswa adalah siswa di perguruan tinggi, sedangkan menurut Marhijanto (1995:378), mahasiswa adalah murid perguruan tinggi. Jadi dapat disimpulkan bahwa mahasiswa adalah orang yang sedang belajar di sebuah perguruan tinggi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi otomatis dapat disebut sebagai mahasiswa. Tetapi pada dasarnya makna mahasiswa tidak sesempit itu. Terdaftar sebagai pelajar di sebuah perguruan tinggi hanyalah syarat administratif menjadi mahasiswa. Menjadi mahasiswa mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar masalah administratif. Peran mahasiswa sebagai calon pembaharu berkaitan erat dengan perannya sebagai calon cendekiawan. Sebagai calon cendekiawan, mahasiswa harus melatih kepekaannya sedemikian rupa sehingga pada saat terjun ke masyarakat ia siap menjalankan perannya sebagai cendekiawan. Kelak, sebagai

13

seorang cendekiawan ia dituntut menyumbangkan pemikiran untuk melakukan berbagai perbaikan. Mahasiswa diambil dari suku kata pembentuknya maha dan siswa, atau pelajar yang paling tinggi levelnya. Sebagai seorang pelajar tertinggi, tentu mahasiswa sudah terpelajar, sebab mereka tinggal menyempurnakan

pembelajarannya hingga menjadi manusia terpelajar yang paripurna. Mahasiswa sebagai calon pembaharu, calon cendekiawan dan calon penyangga keberlangsungan hidup masyarakat. Nantinya mahasiswa diharapkan menjadi pembaharu, cendekiawan, dan penyangga keberlangsungan hidup masyarakat. Tiga hal itu menjadi tujuan yang akan dicapai oleh mahasiswa melalui perguruan tinggi merupakan dasar bagi penentuan kualitas-kualitas psikologis apa yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa. Tujuan-tujuan itu juga menjadi dasar pertimbangan bagi penentuan kegiatan-kegiatan apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh mahasiswa.

2.3

Gerakan Reformasi Indonesia Reformasi menghendaki adanya perubahan kehidupan berbangsa dan

bernegara kearah yang lebih baik secara konstitusional dalam bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya. Dengan semangat reformasi, rakyat menghendaki pergantian pemimpin bangsa dan negara sebagai langkah awal, yang menjadi pemimpin hendaknya berkemampuan, bertanggungjawab, dan peduli terhadap nasib bangsa dan negara. Reformasi adalah pembaharuan radikal untuk perbaikan bidang sosial, politik, atau agama (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dengan demikian reformasi merupakan penggantian susunan tatanan perikehidupan lama menjadi tatanan perikehidupan baru secara hukum menuju perbaikan.

Reformasi yang digalang sejak 1998 merupakan formulasi menuju Indonesia baru dengan tatanan baru, maka diperlukan agenda reformasi yang jelas dengan penetapan skala prioritas, pentahapan pelaksanaan, dan kontrol agar tepat tujuan dan sasaran.

14

2.3.1

Tujuan Reformasi Atas kesadaran rakyat yang dipelopori mahasiswa, dan cendikiawan

mengadakan suatu gerakan reformasi dengan tujuan memperbaharui tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa, bemegara, agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

2.3.2

Dasar Filosofi Reformasi Agenda reformasi yang disuarakan mahasiswa diantaranya sebagai

berikut: (1)adili Soeharto dan kroni-kroninya; (2) amandemen Undang-Undang dasar 1945; (3) penghapusan dwifungsi ABRI; (4) otonomi daerah yang seluasluasnya; (5) Supermasi hukum; (6) pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

2.3.3

Kronologi Reformasi Kabinet Pembangunan VII dilantik awal Maret 1998 dalam kondisi bangsa

dan negara krisis, yang mengundang keprihatinan rakyat. Memasuki bulan Mei 1998 mahasiswa di berbagai daerah melakukan unjuk rasa dan aksi keprihatinan yang menuntut: (1) turunkan harga sembilan bahan pokok (sembako); (2) hapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme; (3) turunkan Soeharto dari kursi kepresidenan. Secara kronologi terjadinya tuntutan reformasi sampai dengan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan sebagai berikut: (1) pada tanggal 10 Mei 1998 perasaan tidak puas terhadap hasil pemilu dan pembentukan Kabinet Pembangunan VII mewarnai kondisi politik Indonesia. Kemarahan rakyat bertambah setelah pemerintah secara sepihat menaikkan harga BBM. Namun keadaan ini tidak menghentikan Presiden Soeharto untuk mengunjungi Mesir karena menganggap keadaan dalam negeri pasti dapat diatasi; (2) pada 12 Mei 1998 semakin banyak mahasiswa yang berunjuk rasa membuat aparat keamanan kewalahan, sehingga mereka harus ditindak lebih keras, akibatnya bentrokan tidak dapat dihindari. Bentrokan aparat keamanan dengan mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta yang berunjuk rasa tanggal 12 Mei 1998 mengakibatkan empat

15

mahasiswa tewas tertembak yaitu Hery Hartanto, Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan serta puluhan mahasiswa dan masyarakat mengalami luka-luka.Peristiwa ini menimbulkan masyarakat berduka dan marah sehingga memicu kerusuhan masa pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta dan sekitamya. Penjarahan terhadap pusat perbelanjaan, pembakaran toko-toko dan fasilitas lainnya; (3) pada 13 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan ikut berduka cita ats terjadinya peristiwa Semanggi. Melalui Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan presiden menyatakan atas nama pemerintah tidak mungkin memenuhi tuntutan para reformis di Indonesia; (4) pada 15 Mei 1998 Presiden Soeharto tiba kembali di Jakarta, oleh karena itu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyiagakan pasukan tempur dengan peralatannya di segala penjuru kota Jakarta; (5) Presiden Soeharto menerima ketatangan Harmoko selaku Ketua DPR/MPR RI yang menyampaikan aspirasi masyarakat untuk meminta mundur dari jabatan Presiden RI; (6) pada 17 Mei 1998 terjadi demonstrasi besar-besaran di gedung DPR/MPR RI untuk meminta Soeharto turun dari jabatan presiden Republik Indonesia; (7) pada 18 Mei 1998 Ketua DPR/MPR RI Harmoko di hadapan para wartawan mengatakan meminta sekali lagi kepada Soeharto untuk mundur dari jabatan presiden RI; (8) pada 19 Mei 1998 beberapa ulama besar, budayawan, dan toko cendiriawan bertemu Presiden Soeharto di Istana Negara membahas reformasi dan kemungkinan mundurnya Presiden Soeharto, mereka ini adalah : Prof. Abdul Malik Fadjar (Muhammadiyah), KH. Abdurrahman Wahid (PB NU), Emha Ainun Nadjib (Budayawan), Nurcholis Madjid (Direktur Universitas Paramadina Jakarta), Ali Yafie (Ketua MUI), Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (Guru Besar Universitas Indonesia), K.H. Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono(Muhammadiyah), Ahmad Bagja (NU), K.H. Maruf Amin (NU). Sedangkan di luar aksi mahasiswa di Jakarta agak mereda saat terjadi kerusuhan masa, tapi setelah kejadian itu pada tanggal 19 Mei 1998 mahasiswa yang proreformasi berhasil menduduki gedung DPR/MPR untuk berdialog dengan wakil rakyat walaupun mendapat penjagaan secara ketat aparat keamanan; (9) pada 20 Mei 1998 Presiden Soeharto berencana membentuk Komite Reformasi untuk mengkompromikan tuntutan para demonstran. Namun, komite ini tidak pernah

16

menjadi kenyataan karena dalam komite yang mayoritas dari Kabinet Pembangunan VII tidak bersedia dipilih. Pada suasana yang panas ini kaum reformis diseluruh tanah air bersemangat untuk menuntur reformasi dibidang politik, ekonomi, dan hukum. Maka tanggal 20 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk diminta pertimbangan dalam rangka membentuk "Komite Reformasi" yang diketuai Presiden. Namun komite ini tidak mendapat tanggapan sehingga presiden tidak mampu membentuk Komite Reformasi dan Kabinet Reformasi; (10) dengan desakan mahasiswa dan masyarakat serta demi kepentingan nasional, tanggal 21 Mei 1998 pukul 10.00 WIB Presiden Soeharto meleetakkan kekuasaan didepan Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi pengganti presiden; (11) pada 22 Mei 1998 setelah B.J. Habibie menerima tongkat estafet kepemimpinan nasional maka dibentuk kabinet baru yang bernama Kabinet Reformasi Pembangunan.

17

BAB III PEMBATASAN

3.1

Hubungan Partisipasi politik secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks

politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam hal ini mahasiswa dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan mahasiswa dalam proses politik tidaklah hanya berarti mahasiswa mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 60 %). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative democracy. Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin "Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-masing". Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama pembuatan keputusan. Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum:

Rezim otoriter - warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan politik

18

Rezim patrimonial - warga diberitahu tentang keputusan politik yang telah dibuat oleh para pemimpin, tanpa bisa memengaruhinya.

Rezim partisipatif - warga bisa memengaruhi keputusan yang dibuat oleh para pemimpinnya.

Rezim demokratis - warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan politik.

3.2

Analisa Studi partisipasi politik sebenarnya merupakan bagian dari pendekatan

tingkah laku (behavioralism) dalam ilmu politik, bagian penting dalam studi pembangunan politik. Meskipun pembangunan politik ditujukan sebagai respons Barat dalam peranannya di negara-negara dunia ketiga, studi mengenai partisipasi politik bukanlah menjadi milik barat dan hanya terjadi di Barat, justru negara dunia ketiga-lah yang seringkli dijadikan objek sekaligus subjek dalam studi ini. Pada awalnya kecenderungan ke arah partisipasi rakyat yang lebih luas (yang menjadi ciri dari modernisasi politik) dalam politik bermula pada masa Renaissance dan Reformasi di abad 15 sampai abad 17 dan memperoleh dorongan yang lebih kuat di masa enlighment dan Revolusi Industri di abad 18 dan 19. Menurut Myron Wiener paling tidak ada lima hal yang menyebabkan munculnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas.8 Kelima hal tersebut, pertama, Modernisiasi: komersialisasi pertanian, industrialisasi urbanisasi yang meningkat, penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pengembangan media massa. Ketika masyarakat pada sebuah kota baru seperti buruh, pedagang dan kaum professional lainnya merasa bahwa mereka mampu untuk mempengaruhi nasib mereka sendiri, mereka semakin menuntut untuk ambil bagian dalam kekuasaan politik. Kedua, Perubahan-perubahan Struktur Kelas sosial. Munculnya kelas pekerja baru dan kelas menengah secara luas. Memberi penekanan pada peluang

Gabriel A. Almond, Interest Group and Interest Articu-lation dan Political Party and Party System, dalam Comparative Politics Today , Boston: Little, Brown and Company, 1974 terjemahan x, 2000, halaman 45-46.

19

mengenai siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik yang memberi perubahan pada pola partisipasi politik. Ketiga, Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern. Kaum intelektual seperti sarjana, filsuf, pengarang dan wartawan seringkali

mengemukakan gagasan-gagasan mengenai egalitarianisme dan nasionalisme kepada masyarakat. Kenyataan seperti ini pada akhirnya akan memberikan semangat bagi tuntutan akan partisipasi massa yang meluas dalam proses pembuatan keputusan politik. Komunikasi dan transportasi modern mempercepat bagi transfer gagagsan tersebut kepada masyarakat. Melalui kaum intelektual dan komunikasi massa modern, gagasan tentang demokratisasi partisipasi menyebar ke berbagai belahan ndunia termasuk negara-negara baru, negara dunia ketiga. Keempat, Konflik di antara kelompok pemimpin politik. Munculnya konflik dan kompetisi politik di tataran elit memungkinkan mereka untuk mencari dukungan kepada massa rakyat. Aktifitas mencari dukungan seperti ini pada gilirannya memunculkan gerakan persamaan hak. Dengan kata lain aktifitas mencari dukungan yang dilakukan oleh elit telah memaksa rakyat untuk memperjuangkan hak pilihnya. Kelima, Keterlibatan Pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Perluasan bidang kegiatan pemerintahan memunculkan konsekuensi bagi tindakan-tindakan pemerintah yang menjadi kian menyentuh aktifitas masyarakat keseharian. Hal ini merangsang munculnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik. Miriam Budiardjo dalam tulisannya mengenai partisipasi dan partai politik mendefinisikan partisipasi politik secara umum sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Pertanyaannya adalah, kegiatan seperti apakah yang dikategorikan sebagai partisipasi politik? Hal ini menyangkut konseptualisasi mengenai partisipasi politik. Konseptualisasi merupakan upaya menyusun rambu-rambu sebagai criteria untuk menentukan

20

apakah suatu fakta termasuk atau tidak termasuk ke dalam.9 Lebih jelasnya baca tulisan C.H.Dodd,, dalam Politi-cal Development , yang telah diterjemahkan menjadi Pembangunan Politik, Jakarta: Bina Aksara 1986, halaman 19-223 Miriam Budiardjo (ed), Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1982, halaman 1

Konvensional

Non Konvensional

Pemberian Suara (voting) Diskusi Politik Kegiatan Kampanye

Pengajuan Petisi Berdemonstrasi Konfrontasi

Membentuk dan bergabung dalam Mogok kelompok kepentingan Komunikasi individual Tindak kekerasan politik terhadap dengan harta-benda (perusakan,

pejabat politik dan administratif

pengeboman, pembakaran) Tindakan terhadap kekerasan manusia politik

(penculikan,

pembunuhan)Perang gerilya dan revolusi

konsep tersebut. 4 Pada bagian lain Lester Milbrath dan M.L. Goel8 (1977), memberikan kategorisasi berdasarkan keterlibatan warga negara dalam kegiatan politik, sebagaimana juga yang disampaikan oleh Herbert McLosky. Milbrath dan Goel membedakan partisi-pasi menjadi : Pertama, apatis. Artinya orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik.

Lebih jelasnya baca tulisan C.H.Dodd,, dalam Political Development , yang telah diterjemahkan menjadi Pembangunan Politik, Jakarta: Bina Aksara 1986, halaman 19-22

21

Kedua, spectator. Artinya, orang yang seti-dak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilu. Ketiga, gladiator. Artinya, mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik yaitu sebagai komunikator, aktifis partai, dan sebagainya. Keempat, pengkritik, yaitu dalam bentuk partisipasi non konvensional. Apatisme politik individu seperti ini oleh McLosky10 disebut sebagai apathy, bahwa ada yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak ter-tarik oleh, atau kurang paham mengenai masalah politik. Juga karena ketidakyaki-nan bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan (minoritas) di-mana ketidak-ikutsertaan adalah hal yang terpuji. Huntington dan Nelson dalam perspektif pembangunan politik melihat terjadi pe-nolakan yang diametral antara partisipasi politik yang otonom dan yang mobilize. Meskipun oleh Huntington dan Nelson penolakan yang diametral ini mereka tem-patkan pada lokus yang sama, yaitu par-tisipasi politik. Mereka berargumen bahwa kedua kategori ini masih bisa dimasukkan dalam pola-pola partisipasi politik dengan alasan, pertama, pembedaan antara par-tisipasi yang dimobilisasikan dan partisi-pasi yang otonom adalah lebih tajam dalam prinsip daripada di dalam realitas. Hal ini terlihat ketika kita dapat mengiden-tifikasikan banyak kegiatan sebagai se-suatu yang nyata dimobilisasikan ataupun otonom, tetapi banyak sekali kasus yang terletak di perbatasan keduanya. Kasus yang nyata dan dapat diteliti lebih lanjut adalah mengenai pergerakan mahasiswa yang akhirakhir terjadi. Di satu sisi terlihat bahwa gerakan mahasiswa tersebut adalah berdiri sendiri, dengan kata lain atas muncul dari idealisme mahasiswa sendiri, tetapi disisi lain banyak juga gerakan mahasiswa yang muncul atas tawaran dari berbagai pihak yang ada di belakangnya. Oleh karena itu, masih menurut Huntington dan Nelson, partisipasi yang dimobilisasikan dan yang otonom
10

Budiardjo, op.cit. hal. 4. karya asli Herberth McLosky, Political Participation, International Encyclopedia of The Social Sciences, New York: The Mac-millan Companay and The Free Press, 1972.

22

bukanlah merupakan katego-risasi yang dikotomis untuk membedakan secara tajam satu sama lain. Kedua, hampir semua sistem politik merupakan dan mencakup suatu campuran partisipasi yang dimobilisasi dan yang otonom. Maksudnya, tingkat par-tisipasi yang otonom yang umumnya terjadi atau lebih tinggi di dalam sistem politik yang demokratis dibandingkan dalam sistem politik yang otoriter, di sisi lain ada juga par-tisipasi politik yang otonom di sistem politik yang diktator dan otoriter. Indonesia masa pemerintahan Soeharto-bila disepakati se-bagai rezim yang otoriter- ternyata juga ber-hasil memunculkan gerakan-gerakan aktifis yang benar-benar otonom untuk berbuat demi bangsanya. Karenanya, dengan membatasi perhatian hanya pada partisipasi politik yang otonom, kita akan terjebak pada kesimpulan yang keliri, bahwa partisipasi politik merupakan fenomena yang hanya terdapat dalam kehidupan politik yang de-mokratis. Ketiga, menelaah partisipasi baik yang otonom dan partisipasi yang dimobi-lisasikan, berkaitan dengan adanya hubun-gan yang dinamis antara dua kategori terse-but. Bahwa perilaku yang awalnya meru-pakan partisipasi yang dimobilisasikan da-pat menjadi terinternalisasi menjadi otonom. Aktifis partai yang pada awalnya dimobilisasi untuk masuk dalam partai tertentu, pada akhirnya dengan proses inter-nalisasi menjadi pembela partai yang otonom (baca: partisan). Contoh yang paling mutakhir untuk menjelaskan hal ini adalah fenomena aktifis gerakan mahasiswa ataupun aktifis LSM yang tadinya dimobilisasi untuk berkecimpung masuk dalam partai, pada akhirnya menjadi seorang partisan yang dengan gigih membela partainya sampai titik darah yang penghabisan. Sebaliknya partisipasi yang tadinya otonom, bisa kemudian menjadi partisipasi yang dimobi-lisasikan ketika terjadi manipulasi, propa-ganda dan infiltrasi. Keempat, untuk melihat apakah suatu kegiatan atau partisipasi yang otonom atau termobilisasikan, adalah bahwa keduanya memiliki konsekuensi penting bagi sistem politik. Bahwa kedua jenis par-tisipasi ini memberikan peluang bagi pemimpin dan kekangan sekaligus. Bahwa pemimpin dapat berbuat apa saja terhadap pengikutnya ketika pengikutnya tersebut berpartisipasi

23

termobilisasi, sebaliknya akan sulit bagi seorang pemimpin untuk menggerakkan massanya ketika pengikut-nya tersebut memiliki partisipasi yang otonom. Kecenderungan saat ini menjadi contoh sederhana untuk alasan ini. Berlatarbelakang alasan inilah Huntington dan Nelson dari penelitiannya memberikan landasan teoritis bahwa partisipasi politik dapat berakar dalam landasan golongan ataupun kelas kolektif yang berbeda. Karenanya, sangat mungkin menganalisis partisipasi politik dari sisi tipe organisasi kolektif penyelenggara partisipasi. Tipe kolektifitas tersebut antara lain, pertama, kelas: perorangan dengan status sosial dan tingkat pendapatan yang sama tingkatannya. Kedua, Kelompok atau komunal, berisi perorangan yang serupa dari sisi ras, agama bahasa dan etnisitas. Ketiga, Lingkungan, perorangan yang secara geografis serupa atau bertempat tinggal berdekatan satu sama lain. Keempat, Partai, perorangan yang diidentifikasikan dan mengidentifikasikan diri dalam organisasi politik formal yang sama dan terakhir, ke-ima adalah golongan yang berisi perorangan dalam satu faksi, yang muncul sebagai akibat dari interaksi dan intensitas yang dimanifestasikan dalam proses pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Manifestasi dari seseorang yang berpartisipasi sering diartikan ketika seseorang tersebut aktif dan mempunyai aliran darah dalam sebuah partai politik paling tidak ketika memilih dalam pemilu. Hal ini sedikit banyak dapat dibenarkan oleh banyak sarjana ilmu politik, karena partai politik identik dan khas bagi partisipasi politik. Mereka beranggapan bahwa partai politik dapat dijadikan sebagai mesin politik bagi partisipasi politik terlepas apakah partisipasi politik yang muncul adalah partisipasi politik yang otonom maupun partisipasi yang dimobilisasikan. Huntington dengan karyanya yang terkenal Political Order in Changing Societies11 dapat dimasukkan dalam kelompok sarjana ini, juga Joan M. Nelson, Gabriel A. Almond, Sydney Verba, David E. Apter. Sigmund Neumann dan

11

Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies terjemahan Indonesianya diterbitkan oleh Rajawali Pers menjadi Tertib Politik di dalam Masyarakat yang Sedang Berubah, Jakarta: Rajawali Perss, 1983. 24

lainnya. Dalam kaitan ini Neuman memberi-kan definisi mengenai partai politik sebagai organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya dalam pengendalian kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan bebrapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan kata lain partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi sosial dengan lembagalembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas12. Dengan demikian partai politik dapat dikatakan sebagai alat atau perantara bagi partisipasi politik karena memang sebagian besar untuk tidak mengatakan secara total fungsi-fungsi yang ada dan melekat pada partai politik sangat compatible bagi partsipasi politik. Fungsi-fungsi yang melekat tersebut antara lain13, pertama, pelaksana sosialisasi politik. Bahwa partai politik berfungsi sebagai alat bagi proses pembentukan sikap dan orientasi para anggota masyarakat. Baik yang dilakukan melalui pendidikan maupun melalui proses indoktrinisasi. Kedua, partai politik sebagai alat bagi rekrutmen politik. Bahwa partai politik dianggap melakukan seleksi dan pemilihan seseorang atau sekelompok orang untuk menjalankan sejumlah peranan dalam sistem politik. Ketiga, fungsi partai politik sebagai alat bagi partisipasi politik itu sendiri. Keempat, pemadu kepentingan dari berbagai aspirasi masyarakat yang berbeda. Kelima, fungsi komunikasi politik dan Keenam sebagai pengendali konflik yang ada di masyarakat serta terakhir partai politik sebagai alat bagi kontrol politik, dalam hal ini yang sering terjadi kontrol terhadap penguasa. Maraknya aksi-aksi politik yang dilakukan oleh mahasiswa menjadikan mahasiswa sebagai "bintang" pada era reformasi ini. Perannya dalam menyuarakan aspirasi dan tuntutan masyarakat menjadikan mahasiswa selalu berada pada posisi terdepan dalam menentukan, mengantisipasi dan menjawab
12 13

Budiardjo, op.cit, halaman 14 L ihat Surbakti, Op. Cit. Halaman 116-121

25

setiap persoalan maupun perubahan sosial. Ketajaman menganalisis masalah, kepekaan memandang realitas dan keteguhan memegang etika akademik yang ilmiah merupakan citra diri yang melekat pada pribadi seorang mahasiswa. Mahasiswa menjadi obyek yang menarik. Hal ini disebabkan mahasiswa mempunyai "ciri khas tersendiri" yang membuat ia menjadi berbeda dengan masyarakat lainnya. Ciri khas dari maha-siswa adalah selain ia mempunyai pendidikan relatif tinggi, mahasiswa juga sebagai "mahluk" yang "kreatif" dalam perilakunya, "dinamis" dalam melakukan pencarian dan pengembangan potensi diri, "kritis" dalam melihat dan merespon realitasnya dan memiliki idealisme yang cukup tinggi. sehingga ia selalu sensitif terhadap apa yang terjadi pada lingkungan dimana ia hidup. Seperti yang dikemukakan Lewis Coser : mahasiswa merupakan cendekiawan, yaitu orang-orang yang kelihatannya tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana adanya..., mereka memper-tanyakan kebenaran yang berlaku suatu saat, dalam hubungannya dengan kebena-ran yang lebih tinggi dan lebih luas14. Aktivitas politik yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan untuk me-negakkan kondisi dan situasi lingkungan masyarakat15. Aktivitas politik berkaitan erat dengan aktualisasi - diri yang dipahami sebagai pengaktualan kemampuan, se-hingga bisa berkembang kemudian menjadi aktif kreatif dan berkarya. Aktualisasi-diri dapat di realisasikan melalui pemahaman mahasiswa mengenai persoalan-persoalan sosial politik yang sedang terjadi, dengan cara berfikir secara kritis dan analitis, serta dapat menentukan sikap dalam menghadapi suatu permasalahan politik. Pemahaman dan pemikiran mahasiswa yang kritis terhadap berbagai masalah sosial politik disalurkan pada berbagai kelompok-kelompok diskusi, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi ekstra universiter (seperti: HMI, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI dan sebagainya) dan organisasi intra uni-versiter ( Senat Mahasiswa, Unit Kegiatan Mahasiswa, Pers Kampus, dan lain seba-gainya).
14

Arief Budiman, Peranan Mahasiswa Sebagai In-telegensia dalam Dick hartoko, Golongan Cendekia-wan : mereka yang berumah diatas Angin, Jakarta : PT.Gramedia,1980, hal.70 15 Kartini Kartono, Pendidikan politik, Bandung : Mandar Maju, 1996, hal.xvi

26

Menurut Al-Zastrouw16, aktivitas maha-siswa yang muncul terbagi dalam berba-gai bentuk. Pertama, kelompok asketisme-religi yaitu kelompok yang ditandai dengan adanya semangat keagamaan yang tinggi, tercermin melalui simbol-simbol formal dan syiar-syiar ritual keagamaan. Kedua, kelompok profesional-individual yang di-tandai dengan adanya kompetisi yang cu-kup tinggi dalam bidang skill profesional. Ketiga, kelompok konsumtif-hedonistik, yaitu kelompok yang lebih menekankan aspek hura-hura dan kenikmatan duniawi semata. Keempat kelompok proletariat yaitu kelompok dengan gerakan yang lang-sung menyentuh pada persoalan masyara-kat secara riil, sebagaimana manifestasi kesadaran dan kepedulian terhadap reali-tas yang ada. Kelima adalah kelompok aktivis-organisatoris yaitu kelompok maha-siswa yang melakukan kegiatan melalui organisasi formal. Fenomena menarik yang patut dicer-mati adalah munculnya dua macam kelompok aktivitas mahasiswa. Kedua kelompok tersebut adalah pertama, " mahasiswa aktif" atau yang biasa disebut "aktifis" dan kelompok kedua yaitu "mahasiswa apatis" . Seorang mahasiswa disebut sebagai aktifis jika ia tidak hanya menekuni disiplin ilmunya saja, tetapi ia juga ikut dalam berbagai kegiatan. Misalnya kelompok diskusi/kelompok studi, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi-organisasi ekstra dan intra universiter serta organisasi kepemudaan. Adalah jelas bahwa tugas pokok seorang mahasiswa adalah studi untuk mendapatkan keahlian dan ketrampilan berdasarkan suatu ilmu tertentu. Namun untuk menikmati hasil dari penerapan keahlian dan ketrampilan tersebut secara optimal, maka mahasiswa perlu meleng-kapi diri dengan pemahaman akan kondisi manusia dan masyarakat lingkungannya. Pemahaman akan kondisi tersebut disalur-kan melalui keterlibatan dalam berbagai kegiatan diatas. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa tidak saja peduli den-gan kegiatan dan kepentingannya dalam menuntut ilmu tetapi ia juga concern terhadap masalah sosial politik yang berkem-bang di masyarakat. Melalui Kelompok studi dan LSM mahasiswa mandapatkan wadah untuk dapat menyumbangkan pemikirannya dalam menyelesaikan per-masalahan sosial politik yang ada diseki-tarnya, dengan
16

Ng.Al-Zastrow, Reformasi Pemikiran, Yogyakarta : LKPSM, 1998, hal. 140

27

cara ikut berbuat aktif den-gan arah dan tujuan yang pasti, dengan mengikuti berbagai kegiatan pada or-ganisasi intra/ekstra universitas maka seo-rang aktifis dapat mengembangkan aktivi-tas politiknya. Pandangan dan cara berfikir yang dimiliki oleh seorang aktifis tentu berbeda dengan seorang mahasiswa apatis dimana ia hanya menjalani status kemahasiswaanya secara idealis dan melakukan kegiatan bersenang-senang. Mahasiswa seperti ini mempunyai pandangan bahwa tugasnya sebagai mahasiswa adalah kuliah, belajar dan mengejar kesenangan diri sendiri. Di satu pihak, mahasiswa apatis melakukan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa yaitu hanya menekuni disiplin ilmunya untuk mendapatkan gelar sarjana. Di lain pihak mereka juga tidak lupa mengejar kesenangan-kesenangan pribadinya, misalnya jalan-jalan di mall, shopping, nonton, makan, ataupun berkumpul dengan teman sekelompoknya untuk berpesta atau ke klub kebugaran. Mahasiswa seperti ini hanya memikirkan kesenangan dan kepentingan dirinya. Mereka tidak tertarik dengan masalah-masalah sosial-politik yang berkembang disekitarnya, begitupula terhadap aktivitas politiknya. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa berpeluang untuk berada pada posisi terdepan dalam proses perubahan masyarakat. Sejalan dengan posisi mahasiswa di dalam peran masyarakat atau bangsa, dikenal dua peran pokok yang selalu tampil mewarnai aktivitas mereka selama ini. Pertama, ialah sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kedua, yaitu sebagai penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang ada dan menumbuhkan kesadaran itu untuk menerima alternatif perubahan yang dikemukakan atau didukung oleh mahasiswa itu sendiri, sehingga masyarakat berubah ke arah kemajuan17. Menurut Arbi Sanit,18 ada tiga bidang usaha yang perlu dilakukan agar dapat melahirkan mahasiswa yang kritis, yaitu melengkapi kemampuan mahasiswa, mengembangkan kehidupan kampus, dan menumbuhkan kehidupan politik serta kemasyarakatan sebagai pendorongnya.
17

Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Politik, Yogyaakarta : INSIST Press & Pustaka Pelajar, 1999, hal.10 18 Arbi Sanit, Op. Cit., hal.18

28

Pertama, kemampuan pelengkap maha-siswa dimaksudkan sebagai pendamping keahlian dan ketrampilan yang mereka dapatkan melalui proses di luar kurikulum tersebut ialah kebolehannya dalam men-ganalisa dan memahami masalah ke-masyarakatan dan politik, yang berguna bagi pembentukan sikap mereka terhadap masalah-masalah tersebut. Karena itu disamping ilmu-ilmu yang mendasari keahlian, mahasiswa diberi kesempatan pula untuk mengenali atau menguasai ideologi, budaya politik, struktur sosial dan permasalahan kepemimpinan bangsa. Sarana yang mereka perlukan untuk mendapatkan kemampuan non kurikuler tersebut ialah melalui diskusi, dan berorganisasi. Kedua, kehidupan kampus yang memungkinkan mahasiswa mendapatkan kemampuan dan wawasan yang lebih luas tersebut adalah adanya kebebasan ilmiah yang lebih utuh dikalangan sivitas akademika sehingga kampus menjadi pusat pemikiran yang melahirkan gagasan alternatif bagi perbaikan dan pengemban-gan masyarakat. Ketiga, kondisi di luar kehidupan kampus yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan non-profesional mahasiswa serta lulusan perguruan tinggi ialah ditumbuhkannya sikap politis yang mempercayai mahasiswa seperti adanya sebagai potensi pembangunan, tumbuhnya aktivitas organisasi mahasiswa ekstra universitas, dan lain-lain. Melalui mekanisme seperti itulah, mahasiswa bisa bangkit dan memiliki kemampuan untuk menjadi motor perubahan. Ridwan Saidi menyebutkan mahasiswa pada dasarnya memiliki persepsi politik yang terbentuk dari arus informasi yang dicernanya sehari-hari, melalui proses pertukaran pikiran dengan sesama rekan yang berlangsung secara tidak sengaja dalam kehidupan sehari-hari, realita kehidupan kemasyarakatan yang dapat direkamnya. Ekspresi atau ungkapan, dan persepsi politik yang dimiliki seseorang tergantung dari individu yang bersangkutan. Mereka dapat saja menjadi reluctant, bahkan apatis sekalipun dengan kehidupan politik. Salah satu ekspresi politik mahasiswa dalam bentuk aktif yang di gambarkan oleh Ridwan Saidi adalah keikutsertaan mahasiswa pada organisasi kemahasiswaan. Menurutnya, organisasi mahasiswa sangat penting artinya

29

sebagai arena pengembangan nilai-nilai kepemimpinan. Masalah kepemimpinan bukan sekedar bakat yang secara alami melekat pada seseorang. Kepemimpinan juga tidak dapat dikursuskan. Pengembangan kepemimpinan memerlukan latihanlatihan. Karena itu, organisasi mahasiswa mengemban fungsi sebagai training ground. Sehingga mahasiswa tidak dipandang sekedar sebagai insan akademis yang cuma tahu lagu, buku dan cinta tanpa kepedulian terhadap masalah sosial kemasyarakatan19. Menurut Almond dan Verba20 pemahaman sikap politik tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan politik yang merupakan orientasi politik. Antara lain dinyatakan : " Istilah kebudayan politik itu terutama mengacu pada orientasi politik, sikap terhadap sistem politik dan bagiannya yang lain serta sikap terhadap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut." Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa bagi Almond dan Verba sikap politik dan orientasi politik terdapat kesamaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa orientasi politk itu terdiri dari: 1. Orientasi kognitif adalah pengetahuan tentang politik dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajiban, serta input dan outputnya. 2. Orientasi afektif adalah perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktornya dan penam-pilannya. 3. Orientasi evaluatif adalah keputusan serta pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.

19

Ridwan Saidi, Mahasiswa dan Lingkaran Politik, Jakarta : lembaga Pers Mahasiswa Mapussy Indonesia,1989, hal.232. 20 Gabriel A.Almond & Sidney Verba, Budaya Politik : Tingkah laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara Jakarta, Bina Aksara, 1984, hal.14

30

BAB IV KESIMPULAN

Mahasiswa adalah bagian dari generasi muda yang diharapkan akan meneruskan cita-cita bangsa. Itulah ungkapan yang sering diketahui dari orangorang di sekitar. Generasi bangsa sebagai penerus yang diharapkan dapat meneruskan estafet pembangunan saat ini masih sekedar wacana. Melihat sumber daya manusia dari mahasiswa sekarang ini masih cukup jauh untuk bisa melanjutkan estafet tersebut. Kelas dalam perkuliahan yang diharapkan dapat merangsang mahasiswa menjadi manusia yang kritis dan berpola pikir mandiri ternyata belum bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa. Lihat saja ketika dalam perkuliahan ketika materi disampaikan, mahasiswa lebih sibuk dengan kegiatan masing-masing yang tidak berhubungan dengan kuliah tersebut. Dari penjelasan yang diberikan beberapa ahli ilmu politik diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap politik adalah orientasi individu terhadap obyek politik yang terdiri dari tiga komponen yaitu kognitive, afektif dan evaluatif. Kognitif adalah pengetahuan dan kesadaran tentang obyek-obyek politik. Afektif adalah perasaan tentang obyek politik dan evaluatif adalah penilaian serta pendapat tentang obyek politik. Dengan kata lain proses seperti ini memberikan penampilan bahwa partisipasi yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih bersifat otonom, meskipun dalam kadar tertentu bisa berubah menjadi partisipasi yang termobi-lisasikan. Hal ini bergantung pada konsep dan definisi teoritik yang kita batasi, dan akan tercermin bila kita memberi aksen-tuasi yang penuh ke dalam sebuah kajian serius dalam penelitian. Bagian akhir tulisan ini hanya ingin mengatakan bahwa studi partisipasi politik yang menjadi bagian penting dalam pendekatan behavioralism lebih menekankan pada individu sebagai aktor sebagaimana yang diharapkan bagi negara demokrasi yang menginginkan adanya partispasi luas yang otonom lebih besar, bukan mobilize participation, meskipun Huntington dan Nelson sendiri sulit untuk mendikotomikan diantara keduanya.

31

Bahwa rasionalisme individu menjadi penting, ketika partisipasi memerlukan sikap objektif individu untuk bertindak, berlaku politik secara arif. Terlepas Huntington masih memungkinkan ketegasan politik penguasa (baca: otoritarianisme) demi stabilitas politik. Bagi Indonesia sebagai negara pasca otoritarianisme, keinginan ini, partisipasi politik otonom dan aktif tersebut diharapkan selalu terus terban-gun, meskipun dalam gonjang-ganjing politik, elit politik masih saja selalu meng-gunakan paradigma mobilize dalam memainkan peranan politiknya. Pergerakan mahasiswa yang ideal tentunya juga berelasi dengan bentuk partisipasi politik yang otonom karena konsep gerakan yang terbangun akan menjadi lebih murni. Artinya proses pembelajaran politik masyarakat dan khusunya mahasiswa perlu mendapat porsi lebih, karena dengan pemahaman politik yang lebih baik maka konsep keterlibatan individu dalam sebuah partisipasi politik. Sekali lagi pendidikan politik elit dan rasionalitas massa menjadi sesuatu yang urgen bagi terciptanya negara demokrasi yang berkeadaban.

32

DAFTAR PUSTAKA

Almond, Gabriel A. & Sidney Verba. 1984. Budaya Politik : Tingkah laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Jakarta, Bina Aksara Al-Zastrow, Ngatrawi. 1998. Reformasi Pemikiran, Yogyakarta : LKPSM Budiardjo, Miriam (ed).1982. Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: PT. Gramedia Christina Holtz-Bacha, 2008 . Political Disaffection, dalam dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political

Communication, California : Sage Publications Dodd,C.H.1986. Pembangunan Politik, Jakarta: Bina Aksara, Hartoko, Dick. 1980. Golongan Cendekiawan : Mereka yang Berumah diatas Angin, Jakarta : PT.Gramedia Huntington, Samuel.P. 1983. Tertib Politik di dalam Masyarakat yang Sedang Berubah , Jakarta: Rajawali Perss _________________ , dan Joan M. Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, cetakan kedua, Jakarta: Rineka Cipta Jan W. van Deth, 2008. Political Participation, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia Encyclopedia of Political

Communication, California : Sage Publications Kai Arzheimer, 2008. Political Efficacy, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication, California : Sage Publications Kartono, Kartini. 1996. Pendidikan politik, Bandung : Mandar Maju Masoed, Mohtar dan Colin MacAndrews (ed). 2000. Perbandingan Sistem Politik, cetakan kelimabelas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Oscar Garcia Luengo, 2006.. E-Activism New Media and Political Participation in Europe, CONFines 2/4 agosto-diciembre Saidi, Ridwan. 1989. Mahasiswa dan Lingkaran Politik, Jakarta : Lembaga Pers Mahasiswa Mapussy Indonesia

33

Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, 1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta Sanit, Arbi. 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Politik, Yogyakarta : INSIST Press & Pustaka Pelajar Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia

34

Anda mungkin juga menyukai