Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Kehamilan dan melahirkan menimbulkan risiko kesehatan yang besar, termasuk bagi perempuan yang tidak mempunyai masalah kesehatan sebelumnya. Kira-kira 40% ibu hamil (bumil) mengalami masalah kesehatan yang berkaitan dengan kehamilan; dan 15% dari semua bumil menderita komplikasi jangka panjang atau yang mengancam jiwa. Diberbagai negara, paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh perdarahan; proporsinya berkisar antara kurang dari 10% sampai hampir 60%. Walaupun seorang perempuan dapat bertahan hidup setelah mengalami perdarahan pasca persalinan (PPP), namun ia akan menderita kekurangan darah yang berat (anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan.Dimana angka kematian ibu tinggi dan sarana terbatas, maka pengenalan mengenai pencegahan dan penanganan PPP yang terbukti dapat dijalankan (evidence based practices) dengan biaya rendah bisa melindungi keselamatan ibu dan bayi. Yaitu penanganan persalinan kala III (waktu antara kelahiran bayi dan pelepasan plasenta) (Sherris, 2002). Di Inggris, separuh kematian ibu hamil akibat perdarahan disebabkan oleh proses postpartum (Bonnardalam Williams, 2006). Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan (Israr, 2008).

BAB II ISI

A. Definisi Perdarahan Postpartum Perdarahan setelah melahirkan atau postpartum hemorrhagic (PPH) adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di traktus genitalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya (Israr, 2008).

Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500 ml (pada persalinan pervaginal) atau lebih dari 1000 ml (pada persalinan caesar) setelah bayi lahir (Sukmagara, 2002). Secara tradisional, perdarahan postpartum didefinisikan sebagai hilangnya 500 ml atau lebih darah setelah kala tiga persalinan selesai (Williams, 2006). B. Anatomi dan Fisiologi 1. Anatomi Uterus Uterus merupakan organ berongga yang berbentuk buah per, berdinding otot tebal. Pada orang dewasa muda nulipara, uterus panjangnya 8 cm, lebar 5 cm dan tebal 2,5 cm. Uterus dibagi menjadi beberapa bagian. Fundus, Corpus dan Cervix (Snell, 1992). Sebagian dari uterus tertutup oleh peritoneum atau serosa. Rongga uterus dilapisi endometrium (Williams, 2006).

Bagian atas yang berbentuk seperti kubah disebut fundus (Norwitz, 2008). Fundus merupakan bagian uterus yang terletak diatas muara tuba uterina. Sedangkan corpus merupakan bagian uterus yang terletak di bawah muara tuba uterina. Corpus uteri bagian bawah sempit dan dilanjutkan sebagai cervix (Snell, 1992). Serviks terhubung dengan uterus pada os interna. Serviks terutama terdiri dari jaringan ikat fibrosa padat. Ada beberapa lapisan yang terdapat dalam korpus uteri, antara lain endometrium, miometrium dan membrana basalis. a) Endometrium Endometrium adalah lapisan mukosa yang melapisi rongga uterus pada wanita yang tidak hamil. Endometrium berupa membran tipis berwarna merah muda, menyerupai beludru, yang bila diamati lebih dekat terlihat banyak sekali lubang-lubang kecil yaitu ostia kelenjar-kelenjar uterus. Akibat perubahan siklis berulang yang terjadi selama masa reproduksi, tebal endometrium biasanya sangat bervariasi, yaitu dari 0,5 mm hingga 5 mm. Endometrium terdiri dari epitel permukaan, kelenjar dan jaringan mesenkim antarkelenjar yang mengandung banyak pembuluh darah (Williams, 2006). Susunan vaskuler endometrium merupakan petanda penting dalam fenomena menstruasi dan kehamilan. Darah arteri dibawa ke uterus melalui arteri-arteri uterina dan ovarium. Setelah menembus dinding uterus dengan arah menyilang dan mencapai sepertiga tengah

kedalamannya, cabang-cabang arteri berhubungan satu sama lain pada suatu lapisan yang sejajar dengan permukaan uterus dan karenanya pembuluh darah ini disebut arteriae arcuata (Du Bose dkk, dalam Williams, 2006). Arteri-arteri endometrium terdiri dari aa. Spiralis yang merupakan kelanjutan dari arteriae radialis, dan aa. Basalis yang merupakan percabangan dari aa. Radialis dengan membentuk sudut tajam. Arteriae spiralis memperdarahi sebagian besar bagian tengah dan semua bagian sepertiga permukaan endometrium. Dinding pembuluh darah ini responsif (sensitif) terhadap kerja beberapa hormon, khususnya oleh vasokonstriksi dan oleh karenanya mungkin berperan penting dalam mekanisme menstruasi. Arteriae basalis berbentuk lurus, kalibernya lebih kecil dan lebih pendek daripada aa. Spiralis. Pembuluh darah ini hanya berjalan sepanjang lapisan basal endometrium atau hanya sedikit mencapai lapisan pertengahan serta tidak responsif terhadap kerja hormon (Williams, 2006). b) Miometrium Miometrium, yang merupakan jaringan pembentuk sebagian besar uterus, terdiri dari kumpulan otot polos yang disatukan jaringan ikat dengan banyak serabut elastin di dalamnya. Menurut Schwalm dan Dubrauszky (1996), banyaknya serabut otot pada uterus berkurang secara progresif ke arah kaudal, sehingga pada serviks, otot hanya meliputi 10% dari masa jaringan. Pada lapisan dalam dinding korpus uteri, relatif terdapat lebih banyak otot dibandingkan lapisan luarnya, sedangkan pada dinding anterior dan posterior terdapat lebih banyak otot dibandingkan dinding lateral. Selama kehamilan, miometrium menjadi semakin membesar akibat hipertrofi, namun tidak terjadi perubahan yang berarti pada kandungan otot di serviks (Williams, 2006). Perdarahan uterus terutama berasal dari a. Uterina, suatu cabang a. Iliaca interna (Snell, 1996).

Saluran serviks membuka ke arah vagina pada os eksterna (Norwitz, 2008). Cervix menembus dinding anterior vagina dan dibagi dalam pars supravaginalis dan pars vaginalis (Snell, 1992). 2. Batas-Batas Uterus Anterior Corpus uteri di anterior berbatasan dengan excavatio uterovesicalis dan permukaan superior vesica urinaria. Pars supravaginalis cervix berbatasan dengan permukaan superior vesica urinaria. Pars vaginalis cervix berbatasan dengan fornix anterior vagina (Snell, 1992). Posterior Corpus uteri di posterior berbatasan dengan excavatio rectouterina (cavum Douglas) dan gelungan ileum atau colon sigmoideum yang ada didalamnya (Snell, 1992). Lateral Corpus uteri berbatasan ke lateral dengan ligamentum latum dan a.v. uterina. Pars supravaginalis cervix berbatasan dengan ureter waktu ureter berjalan turun menuju vesica urinaria. Pars vaginalis cervix berbatasan dengan fornix lateral vagina. Tuba uterina masuk ke sudut superolateral uterus, dan ligamentum ovarii proprium dan ligamentum teres uteri melekat pada dinding uterus tepat diabawah sudut ini (Snell, 1992). Dalam keadaan normal, pada sebagian besar wanita, sumbu panjang vagian membentuk sudut 90o. Posisi ini dinamakan Anteversio uterus. Selanjutnya, sumbu panjang corpus uteri membungkuk kedepan pada setinggi ostium internum terhadap sumbu panjang cervix, membentuk sudut sekitar 170o. Posisi ini dinamakan Anteflexio uterus. Pada beberapa wanita, fundus dan corpus uteri membungkuk ke belakang terhadap vagina, sehingga uterus terletak pada excavatio rectouterina (cavum Douglas). Pada keadaan ini, dikatakan uterus posisinya Retroversi. Bila corpus uteri juga membungkuk kebelakang terhadap cervix, dikatakan Retrovleksio (Snell, 1992).

C. Jenis Perdarahan Postpartum Menurut terjadinya, perdarahan postpartum dibagi menjadi dua jenis : 1. Perdarahan postpartum dini, bila perdarahan terjadi dalam 24 jam pertama. (penyebab perdarahan postpartum mencakup atonia uteri, potongan plasenta yang tertinggal, laserasi saluran genital bawah, ruptur uterus, inversi uterus, plasentasi abnormal, koagulopati). 2. Perdarahan postpartum lambat, bila perdarahan terjadi setelah 24 jam pertama tetapi kurang dari 6 minggu pasca perasalinan. (penyebabnya mencakup potongan plasenta yang tertinggal, infeksi (endometriosis), koagulopati dan subinvolusi lokasi plasenta). (Norwitz, 2008) D. Faktor Resiko Perdarahan Postpartum Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan resiko perdarahan postpartum antara lain : 1. Pelahiran janin besar (makrosomi). 2. Pelahiran dengan menggunakan forceps 3. Persalinan pervaginam setelah operasi sectio secarea. 4. Persalinan yang dipacu dengan oksitosin 5. Multipara 6. Hidramnion 7. Riwayat dengan perdarahan postpartum. 8. Pasien dengan plasenta previa, (Arcan, 1996) (Williams, 2006). E. Etiologi Perdarahan Postpartum Etiologi perdarahan postpartum antara lain : 1. Atonia uterus

Perdarahan obstetri sering disebabkan oleh kegagalan uterus untuk berkontraksi secara memadai setelah pelahiran (Williams, 2006). Faktor resiko mencakup overdistensi uterus (akibat polihidramnion, kehamilan kembar, makrosomia janin), paritas tinggi, persalinan cepat atau memanjang, infeksi, atonia uterus sebelumnya dan pemakaian obat perelaksasi uterus (Norwitz, 2008). Uterus yang mengalami overdistensi besar kemungkinan besar mengalami hipotonia setelah persalinan. Dengan demikian, wanita dengan janin besar, janin multipel atau hidramnion rentan terhadap perdarahan akibat atonia uteri (Williams, 2006). Tanda dan gejala dari atoni uterus antara lain : kontraksi uterus lemah, perdarahan pervaginam berwarna merah tua dan diikuti tanda-tanda shock (Armini, 2010). 2. Potongan plasenta yang tertinggal Perdarahan postpartum dini jarang disebabkan oleh retensi potongan plasenta yang kecil, tetapi plasenta yang tersisa sering menyebabkan perdarahan pada akhir masa nifas (Williams, 2006). Kemungkinan terjadinya postpartum diakibatkan karena tertinggalnya kotiledon atau lobus sekenturiat (terlihat pada 3% plasenta). Pemeriksaan plasenta dapat mengidentifikasi kelainan yang menunjukkan kemungkinan adanya potongan yang tertinggal (Norwitz, 2008). Beberapa tanda dari potongan plasenta yang tertinggal antara lain : plasenta/sebagian kulit ketuban tidak lengkap, perdarahan segera, uterus berkontraksi tinggi dan fundus uteri tetap (Santoso, 2009). 3. Laserasi saluran genital bawah Kadang-kadang saja terjadinya, yaitu adanya luka atu robekan pada vagina dan atau leher rahim, yang kecil atau yang besar. Tandanya adanya perdarahan yang berlebihan walaupun mungkin kejadian ini akan terlihat oleh dokter setelah persalinan. Umunya semua luka yang panjangnya lebih dari dua sentimeter atau yang terus mengeluarkan darah banyak akan dijahit. Bila selama persalinan tidak

digunakan anastesi maka akan diberikan anastesi lokal sebelum penjahitan (Arcan, 1996). Faktor resiko mencakup persalinan pervaginam dengan alat bantu, makrosomia janin, kelahiran tiba-tiba dan tindakan episiotomi. Diagnosis harus dipertimbangkan ketika perdarahan pervaginam berlanjut meskipun tonus otot memadai. Penatalaksanaanya dengan jahitan primer (Norwitz, 2008). 4. Ruptur uterus Faktor resiko terjadinya ruptur uterus antara lain pembedahan uterus sebelumnya, persalinan terhambat, pemakaian oksitosin berlebihan, posisi janin abnormal, multiparitas grande dan manipulasi uterus dalam persalinan (persalinan dengan forcep, ekstraksi sungsang dan insersi kateter tekanan intrauterin). Pengobatan dengan laparotomi dengan jahitan atau histerektomi (Norwitz, 2008). 5. Inversi uterus Setelah kelahiran bayi, ada proses persalinan yang kadangkadang plasenta tidak seluruhnya terkelupas dan ketika muncul, ia menarik fundus atau bagian puncak rahim ikut bersamanya, akibatnya rahim akan membalik seperti kaos kaki yang terbalik. Gejala terbaliknya rahim adalah perdarahan yang berlebihan dan kadangkadang terdapat tanda-tanda syok pada ibu. Ketika menekan perut kebawah, dokter tidak dapat merasakan adanya rahim dan pada pembalikan rahim yang lengkap sebagian dari rahim akan dapat terlihat di vagina (Santoso, 2009). Wanita yang berisiko tinggi akan terbaliknya rahim (walaupun resiko ini tetap masih sangat kecil) adalah mereka yang sebelumnya telah sering melahirkan atau mengalami proses awal persalinan (labor) yang terlalu lama lebih dari 24 jam, mereka yang plasentanya tertanam melewati bagian puncak rahim (fundus) atau tertanam pada tempat yang tidak normal dan mereka yang mendapatkan magnesium sulfat selama proses awal persalinan. Rahim juga dapat membalik ketika ia terlalu lemas atau bila fundus tidak

diam di tempatnya ketika plasenta dikeluarkan pada tahap kelahiran ketiga (Santoso, 2009). Faktor resiko mencakup atonia uterus, traksi tali pusat secara berlebihan, pengangkatan plasenta secara manual, plasentasi abnormal, kelainan uterus dan plasentasi pada fundus. Gejalanya mencakup nyeri perut akut dan syok (30%). Uterus mungkin terlihat menonjol melalui vulva. Penanganannya dengan penggantian manual atau hidrostatik segera (Norwitz, 2008). Beberapa tanda terjadinya inversio uterus antara lain : uterus tak teraba, lumen vagina terisi massa, tampak tali pusat, pucat dan limbung. Kemungkinan terjadinya syok neurogenik dapat terjadi bila tidak ditangani dengan baik (Santoso, 2009). 6. Plasentasi abnormal Hal ini mencakup perlekatan abnormal vili plasenta ke miometrium (akreta), invasi ke miometrium (inkreta), atau penetrasi melalui miometrium (perkreta). Plasenta akreta merupakan jenis yang paling umum. Faktor resiko mencakup pembedahan uterus sebelumnya, plasenta previa, kebiasaan merokok dan multiparitas grande (Norwitz, 2008). Penyebab secara fungsional terjadinya retensio plasenta antara lain his kurang kuat, plasenta sulit lepas yang disebabkan karena : tempat insersi di sudut tuba, bentuknya membranacea, ukuran sangat kecil. Secara anatomis, penyebab terjadinya retensio plasenta adalah : a) Plasenta Acreta, dimana vili choriales menanamkan diri lebih dalam ke dalam dinding rahim. b) Plasenta Increta, dimana vili choriales sampai masuk ke dalam lapisan otot rahim. c) Plasenta Percreta, dimana vili choriales menembus lapisan otot dan mencapai serosa atau menembusnya. (Armini, 2010)

Tanda dan gejala dari retensio plasenta antara lain : plasenta belum lahir 30 menit, perdarahan segera keluar dan kemungkinan

terjadi putusnya tali pusat dikarenakan traksi yang berlebihan (Santoso, 2009). 7. Koagulopati Diagnosis yang paling sering ditemukan adalah penyakit von Willebrand dan ITP. Penyebab yang didapat mencakup terapi antikoagulan dan koagulopati konsumtif yang disebabkan oleh komplikasi obstetrik (seperti pre-eklamsi, sepsis, abruptio, embolisme cairan amnion) (Norwitz, 2008). (Norwitz, 2008) F. Diagnosa Beberapa kritera untuk mendiagnosis perdarahan postpartum antara lain : 1. Berdasarkan gejala klinis a) Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta belum lahir. Biasanya disebabkan oleh robekan jalan lahir. Warna darah merah segar. b) Perdarahan setelah plasenta lahir, biasanya disebabkan oleh atonia uteri. 2. Palpasi uterus Fundus uteri tinggi diatas pusat, uterus lembek, kontraksi uterus tidak baik merupakan tanda atonia uteri. 3. Memeriksa plasenta dan ketuban Plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak kotiledon atau selaput ketubannya. 4. Lakukan eksplorasi kavum uteri untuk mencari : a. Sisa plasenta dan ketuban b. Robekan rahim c. Plasenta suksenturiata

5. Inspekulo Untuk melihat robekan pada servix, vaginal dan varises yang pecah 6. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan meliputi Hb, HCT, COT, kadar fibrinogen, tes hemoragik dan lain-lain. (Khoman, 1992) G. Penanganan Perdarahan Postpartum Secara garis besar, penanganan di lakukan tergantung dari etiologinya. Penanganan pada postpartum hemoragik antara lain : 1. Hentikan perdarahan 2. Cegah/ atasi syok 3. Ganti darah yang hilang : diberi infus cairan (larutan garam fisiologis, plasma ekspander, Dextran-L, dan sebagainya), transfusi darah, kalau perlu oksigen. Atonia Uteri 1. Masase uterus + pemberian utero tonika (infus oksitosin 10 IU s/d 100 IU dalam 500 ml Dextrose 5%, 1 ampul Ergometrin i.v., yang dapat diulang 4 jam kemudian, suntikan prostaglandin. 2. Kompresi bimanuil 3. Tampon utero-vaginal secara legeartis, tampon diangkat 24 jam kemudian. 4. Tindakan operatif : a. Ligasi arteri uterina b. Ligasi arteri hipogastrika c. Histerektomi (Khoman, 1992) Retensio Plasenta/Sisa Plasenta 1. Retensio plasenta tanpa perdarahan masih dapat menunggu. Sementara itu kandung kemih dikosongkan, masase uterus dan

suntikan oksitosin (i.v. atau i.m. atau melalui infus) dan boleh dicoba perasat Crede secara lege artis. Jika tidak berhasil, dilakukan plasenta manuil. 2. Setelah plasenta manuil, diberi suntikan ergometrin 3 hari berturutturut. Jika ada keraguan jaringan plasenta yang tertinggal, maka pada hari ke-4 dilakukan kerokan kuretase dengan kuret tumpul ukuran besar didahului suntikan/infus oksitosin. 3. Plasenta kaptiva atau inkarserata diberi suntikan oksitosin intraserviks untuk menambah pembukaan serviks dan diberi anastesi umum untuk melahirkan plasenta dengan memakai alat cunam ovum atau cara manuel. 4. Plasenta manuel segera dilakukan jika : a. Perdarahan kala III lebih dari 200 ml b. Penderita dalam narkosa c. Riwayat PPH habitualis d. Plasenta akreta, inkreta dan perkreta ditolong dengan histerektomi e. Sisa plasenta dikeluarkan dengan kerokan f. Penderita diberikan uterotonika, analgetika, m roboransia dan antibiotik. (Khoman, 1992)

BAB III PENUTUP

Kesimpulan Secara tradisional, perdarahan postpartum didefinisikan sebagai hilangnya 500 ml atau lebih darah setelah kala tiga persalinan selesai (Williams, 2006). Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan resiko perdarahan postpartum antara lain : Pelahiran janin besar (makrosomi), pelahiran dengan menggunakan forceps, persalinan pervaginam setelah operasi sectio secarea, persalinan yang dipacu dengan oksitosin, multipara, hidramnion, riwayat dengan perdarahan postpartum dan pasien dengan plasenta previa, (Arcan, 1996) Penyebab paling sering dalam terjadinya perdarahan postpartum adalah atonia uteri. Dimana uterus yang mengalami overdistensi yang dikarenakan kelahiran gemeli, makrosomi (janin besar), hidramnion sehingga uterus mengalami hipotonia setelah persalinan. Selain atonia uteri, terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan perdarahan postpartum dapat terjadi. Diantaranya potongan plasenta yang tertinggal, laserasi saluran genital bawah, ruptur uteri, inversi uteri, plasentasi abnormal dan koagulopati (Williams, 2006).
Dalam mendiagnosis perdarahan postpartum, kita dapat mendiagnosis dengan cara melihat berdasarkan gejala klinisnya, palpasi uterus, memeriksa plasenta dan ketuban, eksplorasi kavum uteri, inspekulo dan dengan pemeriksaan laboratorium (Khoman, 1992). Dalam menangani perdarahan postpartum, beberapa hal yang pokok untuk dilakukan antara lain : hentikan perdarahan, cegah/atasi syok dan ganti darah yang hilang (Khoman, 1992).

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai