Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
4.1
Untuk contoh perhitungannya disajikan pada saat beban 430 MW dengan rincian sebagai beerikut: Berdasarkan Tabel 3.1 diketahui nilai C = 58,027%; H =3,892%; O = 12,387%; dan S = 0,312%. Dengan menggunakan Persamaan (2.1) nilai HHV diketahui sebagai berikut: ( ( ) ) ( ) ( ) batubara dapat
= 23035,596 Kj/Kg
a.
Perhitungan Heat Loss due to Unburned Carbon in Total Dry Refuse (LUC)
Berdasarkan Tabel 3.2 dan Tabel 3.3 diketahui nilai UCb = 0,39 ; UCf = 0,47 ; UCe = 0 ; dan dari Tabel 3.1 diketahui nilai = 4,635 % mass
79
):
=
Menggunakan Persamaan (2.6) nilai Carbon in Ash (UC) sebesar :
( ( ) ( ) ( )
) sebesar,
= = 153,12 KJ/kg
W dp
80
Sesuai Persamaan (2.4) Heat Loss due to Corbon in Total Dry Refuse (LUC):
0,03 % HHV
b.
Spesifikasi batubara berdasarkan Tabel 3.1 sebagai berikut: C = 58,027 % mass; S = 0,312% mass ;H = 3,892 % mass ; N=1,172 % mass ;O=12,387% mass; mf= 19,555 % mass Berdasarkan Tabel 3.4 diketahui nilai parameter keadaan udara dan gas buang sebagai: tRA= 30,05 0C ; tG15 = 122,14 0C ; Wma = 0,1814 kg/kg air; O2 15= 5,74 vol dry
Dimana sesuai Persamaan (2.10) % Vol Dry of CO2 in Air Heater Outle(CO215):
CO215
( ( ( ) )
81
Cb
)
)
= 58,027
( = 18,36
) sebesar
) sebesar:
=(
( (
( (
)) )))
= 37,058 %
82
CO2
( (
( (
( (
)) ))
= 13,79% vol dry Sesuai Persamaan (2.15) nilai % Vol Dry of N2 in Air Heater Outlet (N215) sebesar: N215 100 (O215+CO215 100 (5,74 + 80,47 % vol dry Jadi nilai Dry gas weight outlet AH (
( ( ( ) ) ( ( ) )
) )
) sebesar:
) ( )
= 10,687 kg/kg fuel Menggunakan rasio kandungan karbon (C) dan hidrogen (H) yang ada pada batubara:
83
Pada temperatur 122,14 0C atau 251,85 0F menggunakan Lampiran 3 ,nilai sebesar: Btu/lb/F atau 1,010436 kj/kg/C
Sesuai Persamaan (2.8) Heat Loss due to Heat in Dry Flue Gas (LG);
( )
%
)
4,32 % HHV
c.
Berdasarkan Tabel 3.1 nilai dari : Fuel moisture (mf)= 19,555 % Berdasarkan ASME Steam Table pada saat tG15 = 122,14 0C nilai h15 = Kj/kg,sedangkan saat tRA = 30,05 0C nilai hRw= 125, 94 Kj/kg Sesuai dengan Persamaan (2.16) Heat loss due to Moisture in Fuel (Lmf): ( ( ) )
2,192% HHV
84
d.
Berdasarkan ASME Steam Table pada saat tG15 = 122,14 0C nilai h15 = Kj/kg,sedangkan saat tRA = 30,05 0C nilai hRw= 125, 94 Kj/kg Sesuai Persamaan (2.17) Heat loss due to Moisture from Burning Hydrogen (LH) : ( )
3,899% HHV
e.
Sesuai Persamaan (2.19) nilai weight of dry air in gas leaving air heater (WA15) ;
( ( ( )) ( ( ) ))
WA15 =
85
)) (
))
Berdasarkan ASME Steam Table pada saat tG15 = 122,14 0C nilai h15 = Kj/kg, sedangkan saat tRA = 30,05 0C nilai hRv= 2555,67 Kj/kg Berdasarkan Persamaan (2.18) Heat Loss due to Moisture in Air (Lma): ( )
1,242% HHV
f.
Berdasarkan ABMA Radiation Loss Chart pada saat beban 430 MW atau 1468203158.3796 Btu/h (1468 x106) Btu/h nilai Heat Loss due to Surface Radiation and Convection (LB) sebesar 0,26% HHV.
86
g.
Berdasarkan desain pabrik nilai Unmeasure Losses (Lun) ditetapkan sebesar 0,15% HHV. Menggunakan Persamaan (2.3) nilai efisiensi boiler :
Heat loss due to unburned carbon in total dry refuse (LUC) (%) 0,03 0,108 0,112 0,17 0,105
Heat Heat loss due loss due to heat to in dry moisture flue gas in fuel (LG) (Lmf)
Heat loss due to moisture from burning hydrogen (LH) (%) 3,899 3,895 3,907 3,901 3,9
Heat loss due to surface radiation and convection (LB) (%) 0,26 0,24 0,22 0,2 0,23
1 2 3 4
87
4.2
Contoh perhitungan konsumsi bahan bakar disajikan pada saat beban unit 430 MW. Parameternya dapat melihat pada Tabel 3.5 dan Tabel 3.6 .
Sesuai Persamaan (2.23) nilia konsumsi bahan bakar ( pendekatan metode input-output :
):
=
( )( ) ( ) ( )
)(
( ( )
))
= 46, 915 kg/s Jadi pada saat beban 430 MW dibutuhkan batubara sebanyak 46,915 kg/s.Untuk hasil perhitungan selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 3.8.
88
4.3
SFC
KWh = 430 MW = 43000 KWx 1 jam= 430000 KWh Jadi nilai Specific Fuel Consumtion (SFC) sebesar :
SFC
SFC
= 0,393 kg/KWh Jadi pada saat beban 430 MW dibutuhkan batubara sebanyak 0,393 kg untuk menghasilkan 1KWh listrik.Untuk hasil perhitungan selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 3.8
Tabel 3.8 Konsumsi Bahan Bakar Specific Fuel Consumption (SFC)
No
1 2 3 4
89
4.5
Efisiensi [%]
88.05 88 87.95 87.9 87.85 0 100 200 300 400 500 Load [MW] 600 87.91 87.93
700
800
900
1000
Gambar 4.1. Grafik Efisiensi Boiler terhadap Perubahan Beban Unit Pada Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa efisiensi boiler akan naik seiring kenaikan beban unit. Hal ini disebabkan oleh menurunnya excess air pada setiap kenaikan beban yang mana excess air tersebut tergantung pada kandungan O2 pada gas buang. Dengan demikian laju aliran gas buang semakin menurun pula sehingga energi panas yang terbawa gas buang juga semaikin kecil pula. Hal ini terlihat dengan menurunnya nilai LG pada setiap kenaikan beban. Berdasarkan perhitungan Heat Loss due to heat in dry flue gas (LG) memiliki porsi kerugian rata-rata terbesar dibanding rugi-rugi lainya sebesar 4,29 % HHV atau 35,74 % dari rugi totalnya. Dengan demikian disetiap penurunan nilai LG sangatlah berpengaruh besar terhadap kenaikan efisiensi boiler itu sendiri.
90
Bila melihat spesifikasi boiler, ternyata efisiensi boiler saat ini lebih rendah dibanding nilai efisiensi desain boiler yang ada pada nameplate spesifikasinya. Dimana efisiensi boiler desain sebesar 88,12 % HHV sedangkan efisiensi rata-rata pada semua bebannya sebesar 88 % HHV .Hal ini disebabkan oleh penggunaan batu bara yang tidak sesuai dengan spesifikasinya.Untuk Unit 4 PLTU Tanjung Jati B digunakan batu bara dengan nilia kalor 5700 5900 Kkal/kg , sedangkan batubara yang digunakan saat itu memiliki nilai kalor sebesar 5500 Kkal/kg atau setara dengan 23035,596 Kj/kg, apabila diberi batubara dengan nilai kalor yang lebih rendah dari nilai spesifikasi kalor batubara akan bedampak pada penurunan efisiensi boiler.
4.6
Dari Tabel 3.11 dapat dibuat grafik Heat Loss due to Unburned Carbon in Total Dry Refuse (LUC), Heat Loss due to Heat in Dry Flue Gas (LG), Heat Loss Moisture in Fuel(Lmf), Heat Loss due to Moisture from Burning Hydrogen(LH), dan Heat Loss due to Moisture in Air (Lma) sebagai berikut:
91
4.6.1 Analisa Heat Loss due to Unburned Carbon in Total Dry Refuse (LUC) terhadap perubahan beban
Gambar 4.2 Hubungan Perubahan Beban terhadap (LUC) Pada Gambar 4.2 semakin naiknya beban unit maka nilai dari heat loss due to unburned carbon in total dry refuse (LUC) semakin besar hal ini disebabkan semakin bertambahnya beban maka batubara yang dibakar semakin banyak pula sehingga sisa abu pembakaran yang mengandung karbon relatif besar . Dimana nilai LUC terkecil pada saat beban 430 MW sebesar 0,03 % sedangkan nilai LUC yang terbesar pada saat beban 697 MW sebesar 0,17 %. Namun nilai dari LUC paling kecil dibanding komponen rugi-rugi lainnya hal ini mengindikasikan bahwa kandungan karbon yang ada didalam bahan bakar dapat dikatakan terbakar sempurna hal ini tidak terlepas dengan digunakan teknologi pulverizer yang mutakhir yang mana terdapat 200 mesh screen classifier yang berfungsi untuk menyeleksi batubara
92
hasil penggilingan yang pada akhirnya hasil keluaran serbuk batubara ukurannya sebesar 200 mesh atau setara dengan 0,054 mm. Dengan ukuran yang sekecil itu memungkinkan kontak dengan udara dan api pembakaran semakin besar hal ini mendukung tercapainya stoikiometri pembakaran yang sempurna.
4.6.2 Analisa Heat Loss due to Heat in Dry Flue Gas (LG) terhadap perubahan beban
Gambar 4.3 Hubungan Perubahan Beban terhadap (LG) Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa semakin bertambahnya beban maka nilai dari LG semakin menurun. Dimana nilai terkecil LG terdapat pada beban 697 MW sebesar 4,24 % sedangkan nilai terbesar terdapat pada saat beban 430 MW sebesar 4,32 % penyebabnya adalah prosentase udara berlebih yang disuplai untuk
pembakaran pada setiap kenaikan beban juga semakin menurun hal ini sangatlah
93
berpengaruh terhadap penurunan nilai LG. Dengan demikian semakin kecil prosentase udara berlebih mengakibatkan nilai laju aliran gas buang semakin kecil hali ini menyebabkan panas yang terbawa flue gas sedikit yang terbuang keluar. .Walaupun panas gas buang sudah dimanfaatkan oleh air heater untuk pemanas udara mula, namun masih ada sisa panas yang sengaja untuk menjaga temperatur gas buang lebih tinggi dari nilai titik embun asam (acid dew point) dimana ADP berkisar 175 180 0C. Apabila temperature gas buang lebih rendah dari ADP gas buang maka gas buang akan mengalami kondensasi. Kondensat dari flue gas yang mengandung asam (H2SO4) merupakan faktor korosi terhadap pemindah panas sekunder .Hal ini sangatlah dihindari guna menjaga lifetime peralatan air heater
4.6.3 Analisa Heat Loss due to Moisture in Fuel (Lmf) dan Heat Loss due to Moisture from Burning Hydrogen (LH) terhadap perubahan beban
Lmf [%]
2 1.5 1 0 100 200 300 400 500 Load [%] 600 700 800 900 1000
LH [%]
3 2 1 0 100 200 300 400 500 Load [MW] 600 700 800 900 1000
Gambar 4.5 Hubungan Perubahan Beban terhadap (LH) Dari Gambar 4.4 dan 4.5 dapat dilihat bahwa nilai Lmf dan LH mengalami fluktuasi seiring bertambahnya beban namun fluktuasinya sangatlah kecil sekali hal ini dapat dikatakan bahwa nilai dari Lmf dan LH tidak begitu berpengaruh oleh naiknya beban unit. Dimana nilai rata-rata dari Lmf sebesar 2,19 % sedangkan nilai rata-rata LH sebesar 3,9 %. Nilia Lmf dan LH lebih tergantung pada kandungan moisture (mf) dan hydrogen (H) yang ada dalam batubara oleh karena itu untuk mengurangi rugi Lmf dan LH dapat digunakan batubara yang memilki kandungan moisture (mf) dan hidrogen (H) yang rendah dengan catatan kandungan karbon (C) yang ada dalam batubara harus tinggi.
95
4.6.4 Analisa Heat Loss due to Heat in Dry Flue Gas (LG) terhadap perubahan beban
Gambar 4.6 Hubungan Perubahan Beban terhadap (Lma) Dari Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa semakin bertambahnya beban nilai heat loss due to moisture in air( Lma) semakin menurun.Dimana nilai Lma tertinggi terletak pada beban 430 MW sebesar 1,242 % sedangkan nilai yang terendah pada saat beban 697 MW sebesar 1,038 %. Hal ini disebabkan oleh kandungan moisture udara pembakaran semakin turun. Meskipun telah menggunakan air heater untuk pemanas mula udara pembakarannya ternyata masih ada kontribusi Lma, untuk mengurangi nilai heat loss due to moisture in air (Lma) dapat dilakukan dengan cara memonitor kondisi air heater terutama pada bagaian elemen pemanas dan sealnya. Apabila elemen pemans air heater banyak terdapat fouling yang disebabkan oleh fly ash tentunya akan menggangu proses perpindahan panas flue gas ke elemen pemanasnya.
96
Selain itu kondisi seal yang buruk akan mengakibatkan kebocoran (leakage) pada air heater. Apabila ini terjadi akan mengakibatkan pemanasan udara pembakaran pada air heater tidak berlangsung baik. Selanjutnya untuk Heat Loss due to Surface Radiation and Convection (LB) dan Unmeasured Losses (Lun) nialinya tergantung dari desain boiler jadi kerugian ini tidak bisa dihindari.
4.7
Dari Tabel 3.12 untuk konsumsi bahan bakar dapat dibuat diagram berikut;
[kg/s]
Mbb(Perhitungan) Mbb'(Terukur)
Gambar 4.7 Hubungan Beban Unit dan Konsumsi Bahan Bakar Pada Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa semakin naiknya pembebanan semakin besar pula konsumsi bahan bakarnya hal ini dikarnakan untuk menjaga putaran angular rotor generator tetap pada putaran 3000 rpm atau frekuesi sitem 50 Hz. Oleh karena
97
itu boiler akan memproduksi steam lebih banyak seiring bertambahnya nilai pembebanan unit yang artinya dibutuhkan kalor yang lebih banyak untuk meningkatkan energi uap ( enthalpy) untuk memutar turbin. Pada gambar tersebut dapat dilihat pula bahwa konsumsi bahan bakar yang terkur pada Totalizer Coal Feeder dengan konsumsi bahan bakar yang diperoleh dari hasil perhitungan tidak berbeda jauh. Hal ini dapat dikatakan sensor beban (loadcell) yang ada pada coal feeder masih cukup baik. Apabila nilai konsumsi bahan bakar terukur berbeda jauh dengan hasil perhitungan hal ini ada indikasi loadcell yang ada pada coal feeder sudah tidak peka lagi atau dengan kata lain perlu adanya perbaikan. Dari Tabel 3.12 untuk SFC dapat dibuat grafik sebagai berikut;
Gambar 4.8 Hubungan Specific Fuel Consumption (SFC) terhadap Perubahan Beban Unit Pada Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa semakin naiknya beban nilai SFCnya relatif semakin kecil, hal ini berarti pada beban yang relatif kecil dibutuhkan kuantitas lebih
98
bahan bakar untuk membangkitkan 1 KWhnya, sebaliknya pada beban yang relatif besar dibutuhkan kuantitas bahan lebih kecil untuk menghasilkan 1 KWhnya.
99
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Dari analisa data diatas dapat disimpulkan bahwa: 1. Semakin naiknya pembebanan maka efisiensi Boiler Mitsubhisi Tipe Force Circulation akan semakin naik dimana efisiensi terendah pada saat beban 430 MW sebesar 87,907% sedangkan efisiensi tertingginya terdapat pada beban 697 MW sebesar 88,108 %. 2. Penggunaan batubara yang tidak sesuai dengan spesifikasi boiler akan mengakibatkan rugi-rugi panas boiler semakin tinggi yang berdampak pada penurunan efisiensi boiler. Pada saat menggunakan batubara dengan nilai kalor 23035,596 kj/kg efisiensi boiler mengalami penurunan sebesar 0,12. 3. Semakin naiknya beban unit semakin kecil nilai LG dan Lma sedangkan nilai LUC semakin tinggi. Untuk Lmf dan LH nilainya relatif tidak berubah seiring bertambahnya beban karena nilai Lmf dan LH lebih dipengaruhi oleh kandungan moisture (mf) dan hidrogen (H) yang ada dalam batubara.
100
4. Semakin bertambahnya beban maka konsumsi bahan bakarnya semakin besar dimana konsumsi bahan bakar terbesar sebesar 74,34 kg/s pada saat beban 697 MW. Sedangkan konsumsi bahan bakar terendah sebesar 46.915 kg/s pada beban 430 MW. Kondisi sensor beban pada coal feeder masih cukup baik dimana rata-rata selisih mbb perhitungan dengan mbb terukur relatif kecil sebesar 1,63 kg/s 5. Semakin bertambahnya beban maka Specific Fuel Consumption (SFC) akan semakin besar dimana Specific Fuel Consumption (SFC) terbesar sebesar 0,393 kg/KWh pada saat beban 430 MW. Sedangkan Specific Fuel Consumption (SFC) terendah sebesar 0,384 kg/KWh pada beban 697 MW.
101