Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
dapat disebabkan oleh adanya oxidative stress, seperti melalui radikal bebas dengan membuat reactive oxygen species. Oxidative stress dapat menyebabkan kerusakan dalam sistem tubuh makhluk hidup. Untuk melawan oxidative stress, makhluk hidup memiliki sistem kompleks antioksidan yang didalamnya terdapat berbagai enzim seperti katalase dan peroksidase; makromolekul seperti albumin dan ferritin; serta berbagai molekul kecil seperti asam askorbat dan metionin (1). Pro-oksidan adalah zat beracun yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada lipid, protein, dan asam nukleat, yang berujung pada berbagai penyakit patologis. Pro-oksidan merupakan zat yang dapat menerima elektron dan menyebabkan reaktan menjadi teroksidasi. Pro-oksidan adalah sinonim dari reactive species. Sedangkan, suatu antioksidan dapat didefinisikan sebagai zat yang ketika hadir pada konsentrasi rendah dibandingkan dengan substrat yang dapat teroksidasi, secara signifikan dapat menghambat atau mencegah oksidasi yang diinisiasi oleh pro-oksidan dengan menjadi zat yang dapat memberikan elektron dan menyebabkan reaktan (pro-oksidan) menjadi tereduksi. Suatu antioksidan dapat secara efisien mereduksi pro-oksidan dengan produk sampingan yang rendah / tidak beracun (2). Keberadaan berbagai pro-oksidan yang berbahaya atau reactive species (O22-, H2O2, ROO-, dan OH-) in vivo, membuat antioksidan penting pada kesehatan. Prooksidan dapat mendorong terjadinya kerusakan oksidatif melalui oksidasi suatu substrat yang dapat dihambat dengan adanya antioksidan. Sehingga senyawa antioksidan tersebut adalah reduktan. Namun, tidak semua reduktan didefinisikan sebagai antioksidan. Kapasitas mereduksi suatu reduktan pada campuran berbagai reduktan, untuk mereduksi suatu oksidan tidak seharusnya sama atau proporsional dengan kapasitas antioksidan suatu reduktan untuk mereduksi pro-oksidan (2). Banyaknya antioksidan yang berbeda-beda pada plasma, serum, urin, atau sample biologis lainnya, menghasilkan suatu kesulitan untuk mengukur masingmasing antioksidan secara terpisah. Adanya kemungkinan interaksi antar antioksidan yang berbeda secara in vivo turut membuat pengukuran terhadap antioksidan tertentu menjadi kurang mencerminkan tingkat antioksidan secara keseluruhan (2). Antioksidan tersebut dapat menginaktifkan radikal dengan dua mekanisme, yaitu transfer atom hidrogen (Hydrogen Atom Transfer / HAT) yang mengukur kemampuan antioksidan untuk menghilangkan radikal bebas dengan memberikan
hidrogen; dan transfer elektron (Single Electron Transfer / SET) yang mengukur kemampuan antioksidan mengirimkan elektron untuk mereduksi (3). Pengukuran kapasitas antioksidan suatu sampel bergantung pada teknologi dan penghasil radikal bebas atau oksidan yang digunakan pada pengukuran (1). Respon yang berbeda-beda ditunjukan pada berbagai tipe senyawa antioksidan terhadap sumber radikal spesifik. Sehingga, penggunaan sumber radikal yang relevan pada manusia menjadi penting dalam mengukur kapasitas suatu antioksidan. Radikal peroksil merupakan radikal bebas paling banyak ditemukan dalam manusia, namun radikal hidroksil, oksigen tunggal, radikal superoksida, dan reactive nitrogen species juga terdapat dalam sistem tubuh (4). Berbagai metode pengujian kapasitas antioksidan telah dikembangkan dan digunakan secara luas. Metode-metode tersebut ialah uji TEAC (Trolox Equivalent Antioxidant Capacity), uji ORAC (Oxygen Radical Absorbance Capacity), uji FRAP (Ferric-Reducing Antioxidant Potential), DPPH (2,2-Diphenyl-1-picrylhydrazyl) dan uji TRAP (Total Radical-Trapping Antioxidant Parameter). Uji TEAC, ORAC, FRAP, DPPH, dan TRAP, meskipun memiliki perbedaan dalam prinsip pengujian, sensitivitas, pH, sumber oksidan, dan kondisi-kondisi pengujian lainnya, uji-uji tersebut menilai berdasarkan penangkapan radikal / HAT, atau kapasitas senyawa mereduksi / SET. Uji ORAC dan TRAP mengukur berdasarkan HAT, sedangkan uji FRAP mengukur berdasarkan SET, namun uji TEAC dan DPPH mengukur berdasarkan keduanya (3). Harus diperhatikan bahwa seluruh metode tersebut memiliki kekurang spesifisitas. Sehingga, pada ekstrak tanaman yang kaya akan polifenol kapasitas antioksidan yang diukur oleh metodemetode tersebut mencerminkan kandungan seluruh zat yang dapat mereduksi dan antioksidan, termasuk seyawa nonfenol seperti vitamin C. Banyak penelitian yang menemukan korelasi yang kuat antara kapasitas antioksidan yang terukur dan kandungan fenol pada ekstrak tanaman dan makanan (5). TEAC Uji TEAC didasari pada penghambatan oleh antioksidan terhadap absorbansi radikal kation 2,29-azinobis(3-ethylbenzothiazoline 6-sulfonate) (ABTS). ABTS memiliki bentuk kation beradikal yang berwarna biru dan dapat mengabsorbansi cahaya pada panjang gelombang 734 nm, juga reaktif terhadap antioksidan dan dapat dikonversikan menjadi bentuk netral tidak berwarna oleh antioksidan tersebut. Reaksi pada uji TEAC ini dipantau secara spektrofotometrik (6).
Radikal kation ABTS yang dikomersilkan oleh Randox Laboratories (San Francisco, CA, USA), pada awalnya dibentuk dari interaksi ABTS dengan radikal ferrymyoglobin, yang dibentuk oleh aktivasi metmyoglobin sebagai peroksidase dengan H2O2. Uji TEAC yang awal mengukur kemampuan suatu senyawa mereduksi radikal ABTS, meskipun senyawa tersebut juga dapat mereduksi radikal ferrymyoglobin. Radikal ABTS bukan merupakan pro-oksidan karena cukup stabil (2). Dalam pengujian dengan metode TEAC, persen inhibisi pembentukan radikal kation oleh penambahan sampel antioksidan pada waktu tertentu dihitung sebagai hasil (1). Pembentukan radikal ABTS meningkat seiring dengan periode inkubasi hingga plateau dicapai setelah 30 menit. Semakin tinggi konsentrasi Trolox yang digunakan pada campuran reaksi, absorbansi radikal ABTS semakin ditekan. Juga terdapat fase lag, sebagai waktu yang dibutuhkan untuk produksi radikal kromogen ABTS untuk stabilisasi (7).
Gambar 1. Kurva pengujian TEAC absorbansi berbanding waktu dengan menggunakan Trolox (7). ORAC Uji ORAC didasari oleh pekerjaan Glazers laboratory yang bergantung pada sifat unik phycoerythrin (PE) (1). Uji ORAC menggunakan PE sebagai zat protein yang dapat teroksidasi dan 2-2azobis(2-amidinopropane) dihydrochloride (AAPH) sebagai generator radikal peroksil, atau Cu2+-H2O2 sebagai generator radikal hidroksil. Hingga saat ini, ORAC merupakan satu-satunya metode yang menggunakan radikal
bebas yang terbentuk secara penuh dan menggunakan teknik ruang bawa kurva (areundercurve / AUC, lihat Gambar 1.) untuk kuantifikasi, sehingga mengkombinasikan baik persen inhibisi dan panjang waktu inhibisi dari pergerakan radikal bebas oleh antioksidan menjadi kuantitas tunggal (2). Uji ORAC bekerja dengan mengukur degradasi oxidatif pada molekul fluoresen setelah dicampur dengan penghasil radikal bebas. Degradasi oxidatif akan mengurangi intensitas fluoresen dan antioksidan bekerja dengan menghambat degradasi tersebut. Proteksi oleh antioksidan akan diukur dengan alat fluorometer (8).
Gambar 1. Kurva Hasil Uji ORAC (9). Penggunaan radikal peroksil dan hidroksil sebagai pro-oksidan pada uji ORAC membuat uji tersebut berbeda dengan uji-uji yang mensertakan oksidan yang bukan merupakan pro-oksidan. Radikal peroksil pada uji ORAC merupakan radikal yang umum ditemukan pada manusia, sehingga pengukuran ORAC lebih relevan secara biologis (7). Penggunaan zat protein (PE) pada uji ORAC membuat perbedaan dari uji-uji yang menggunakan luminal atau crocin sebagai zat teroksidasi. Oksidasi luminal menghasilkan radikal luminal yang mengemisikan cahaya. Antioksidan dalam pengujian dapat mereduksi tidak hanya radikal yang diproduksi dari AAPH atau H2O2-horseradish peroxidase, tapi juga radikal luminal yang berasal dari oksidasi luminal. Uji-uji yang menggunakan crocin sebagai zat teroksidasi dapat dengan mudah mengukur suatu antioksidan melawan yang lainnya dalam mereduksi radikal peroksil (2). Protocathechuic acid (PCA) dan aseton dapat digunakan pada serum uji ORAC untuk menghilangkan kapasitas antioksidan dari antioksidan nonprotein pada
serum, yang dapat lebih penting dibandingkan kapasitas antioksidan keseluruhan pada serum atau fraksi protein pada serum dalam beberapa kondisi. PCA menyediakan antioksidan larut air, termasuk asam askorbat (1). FRAP Uji FRAP awalnya dikembangkan oleh Benzie dan Strain untuk mengukur kemampuan mereduksi suatu plasma yang kemudian diadaptasi untuk mengukur antioksidan. Uji FRAP bergantung pada reduksi ferric tripyridyltriazine (Fe3+-TPTZ) kompleks menjadi ferrous tripyridyltriazine (Fe2+-TPTZ) oleh reduktan pada pH rendah. Fe2+ - TPTZ memiliki warna biru dan dapat dipantau pada 593 nm. Hal yang diukur melalui uji ini adalah kemampuan suatu senyawa untuk mereduksi Fe3+ untuk menghasilkan Fe2+. Fe2+ dikenal sebagai pro-oksidan yang dapat bereaksi dengan H2O2 untuk menghasilkan OH-, radikal bebas yang paling berbahaya yang ditemukan secara in vivo, namun tidak satupun dari Fe2+ maupun Fe3+ dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada lipid, protein, atau asam nukleat secara langsung (2). Kemampuan suatu senyawa untuk memproduksi Fe2+ dari Fe3+ didefinisikan sebagai daya antioksidan pada uji FRAP karena beberapa antioksidan, seperti asam askorbat dan asam urat dapat mereduksi reactive species serta Fe3+, dan kemampuan mereduksi Fe3+ dapat mencerminkan kemampuannya dalam mereduksi reactive species. Tapi, tidak semua reduktan yang dapat mereduksi Fe3+ adalah antioksidan. Sebagai tambahan, suatu antioksidan yang dapat secara efektif mereduksi pro-oksidan belum tentu dapat mereduksi Fe3+ secara effisien. Sebagai contoh, uji FRAP tidak dapat mengukur glutathione (GSH), suatu antioksidan yang penting in vivo (2). Nilai GSH pada FRAP ditemukan sangat rendah, menandakan bahwa uji FRAP tidak mengukur protein-protein pada serum, juga tidak melibatkan antioksidan yang memiliki gugus SH dengan berat molekul yang rendah, seperi asam lipoat dan beberapa asam amino (1). DPPH DPPH merupakan suatu uji aktivitas senyawa antioksidan terhadap paparan radikal dari proton. DPPH merupakan radikal nitrogen organik yang stabil dan memiliki warna violet pekat pada bentuk larutan, serta memiliki absorbansi pada panjang gelombang 520 nm. Pergerakan reduksi kimia setelah penambahan DPPH digunakan sebagai indikator radikal reaksi tersebut. DPPH yang telah dinetralisasi akan menjadi berwarna kuning pucat, serta dapat dipantau melalui perubahan absorbansi pada 520 nm (10).
TRAP Uji TRAP oleh Wayner et al adalah metode yang paling banyak digunakan untuk mengukur total kapasitas antioksidan pada plasma atau serum dalam dekade terakhir. TRAP merupakan pengujian yang menggunakan radikal peroksil yang diproduksi oleh AAPH (2). Penanda yang digunakan dalam metode ini harus reaktif dengan ROO- pada konsentrasi rendah, dan memberikan perbedaan spektrometrik antara penanda awal dan yang telah teroksidasi (3). Penanda yang dapat digunakan dalam uji ini adalah luminol atau Dichlorofluorescin-diacetate (DCFH-DA). Penggunaan luminol dikembangkan oleh Metsa-Ketela et al pada tahun 1991.
Dasar metode ini adalah radikal peroksil yang dihasilkan oleh AAPH dan luminol teroksidasi yang membentuk radikal luminol. Radikal luminol akan mengemisikan cahaya yang
dapat dideteksi dengan luminometer. Antioksidan pada sampel akan menghambat dalam beberapa saat yang secara langsung sebanding dengan potensi total antioksidan pada sampel. Potensi antioksidan tersebut akan dibandingkan dengan trolox dan berhubungan secara kuantitatif dengan kapasitas antioksidan sampel. Metode lainnya dikembangkan oleh Valkonen dan Kuusi pada tahun 1997, yaitu menggunakan AAPH dan DCFH-DA sebagai senyawa yang dapat teroksidasi untuk radikal peroksil. Oksidasi DCFH-DA oleh radikal peroksil akan mengubah DCFH-DA menjadi dichlorofluorecein (DCF) yang memiliki absorbansi pada 504 nm, sehingga produksi DCF dapat dipantau dengan fluorometer atau spektrometer (2). Uji TRAP banyak digunakan karena dapat mengukur antioksidan non-enzim seperti GSH dan asam askorbat. TRAP juga menyangkut inisiasi peroksidasi lipid dengan menghasilkan radikal peroksil yang larut air dan sensitif terhadap antioksidan, namun pengerjaannya cukup kompleks dan membutuhkan tenaga ahli sendiri serta memakan waktu cukup lama (3). Perbandingan Antar Metode Pengujian Hasil penelitian Wang et al pada tahun 2004 (7) menunjukan bahwa panjang waktu inhibisi pada uji TEAC harus diperhatikan ketika menentukan total kapasitas antioksidan pada plasma. Dalam kondisi ini, 30 menit inhibisi diperlukan untuk penahanan penuh pembentukan radikal ABTS pada uji TEAC. Hasil dari uji TEAC pada 30 menit serupa dan berkorelasi dengan hasil yang diperoleh dari uji ORAC pada 70 menit.
Kondisi Pengujian Dilakukan pada pH 3.6 Hasil akhir dengan spektrofotometri Plasma atau serum yang diencerkan atau didilusi ORAC Pembentukan radikal peroksil dan Dilakukan pada pH 7.4 oksidasi penanda fluoresen (- Fluorescent (kinetik) phycoerythrin) Plasma atau serum yang diencerkan atau didilusi Hasil ditunjukan sebagai AUC. TEAC Dekolorisasi dari radikal kation Dilakukan pada pH 7.4 ABTS Pergerakan dan hasil akhir dengan spektrofotometri Hasil dilihat sebagai area dibawah kurva (pergerakan) dan % inhibisi (hasil akhir). TRAP Pembentukan radikal peroksil dan Dilakukan pada pH 7.4 oksidasi penanda (luminol / Hasil ditunjukan sebagai waktu fase penanda floresen) lag Tabel 1. Perbandingan Metode Pengujian Kapasitas Antioksidan (5). Kit komersil untuk uji TEAC cukup mahal; biaya reagen per sampel pada Randox-TEAC assay 9 kali lipat dibandingkan uji ORAC. Namun, uji ORAC memerlukan detektor fluoresen dan memerlukan 70 menit untuk menyelesaikannya. Uji ORAC memiliki spesifisitas yang tinggi dan bereaksi terhadap banyak antioksidan. Dengan menggunakan berbagai teknik ekstraksi pada uji ORAC, protein-protein pada serum dapat dihilangkan, juga dapat membuat pemisahan kasar antara antioksidan yang larut air dan lipid. Namun, uji ORAC memerlukan 60 menit lebih banyak dibandingkan uji FRAP atau Randox-TEAC untuk menentukan hasil. Sedangkan, uji FRAP cukup sederhana dan relatif tidak mahal, namun tidak dapat mengukur antioksidan yang memiliki gugus SH. Uji FRAP sangat berbeda dari uji ORAC dan TEAC karena tidak menggunakan radikal bebas atau oksidan. Kapasitas antioksidan dari antioksidan ketika melawan radikal bebas tidak serupa dengan kemampuan mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+. Penggunaan Fe2+ sebagai indikator pada uji FRAP dapat menyebabkan masalah ketika antioksidan yang dianalisa, seperti asam askorbat, tidak hanya mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ tapi juga dapat bereaksi dengan Fe2+ menghasilkan tambahan radikal bebas (1).
Glossary *Serum adalah bagian cair darah setelah koagulasi, karena itu tidak memiliki faktor pembekuan seperti fibrinogen. Plasma adalah bagian cair, bebas sel (dengan sentrifugasi, misalnya) darah, yang telah diobati dengan anti-koagulan. *PE = Phycoerythrin = Pigmen merah yang mendukung klorofil untuk melakukan fotosintesis. *Metmyoglobin = protein pembawa oksigen, myoglobin, yang teroksidasi. *Horseradish peroxidase = enzim yang ditemukan pada tanaman horseradish keluarga Brassicaceae / kubis-kubisan. Referensi 1. Cao GH, Prior RL. Comparison of different analytical methods for assessing total antioxidant capacity of human serum. Clinical Chemistry 1998;44:6;1309-1315. 2. Prior RL,. Cao GH. In vivo total antioxidant capacity: comparison of different analytical methods. Free Radical Biology & Medicine 1999;27;1173-1181. 3. Prior RL, Wu XL, Schaich K. Standarized methods for determination of antioxidant capacity and phenolics in foods and dietary supplements. J. Agric. Food Chem 2005;53;4290-4302. 4. Prior RL. Plasma antioxidant measurement. J. Nutr 2004;134;3184S-3185S. 5. Lotito BS, Frei B. Consumption of flavonoid-rich food and increased plasma antioxidant capacity in human: Cause, consequence, and epiphenomenon?. Free Radical Biology & Medicine 2006;41;1727-1746. 6. Re R, Pellegrini N, Proteggente A, Pannala A, Rice-Evans C. Antioxidant activity applying an improved ABTS radical cation decolorization assay. Free Radical Biology and Medicine 1999;26;1231-1237. 7. Wang CC, Chu CY, Chu KO, Choy KW, Khaw KS, Rogers MS, Pang CP. Trolox-equivalent antioxidant capacity assay versus oxygen radical absorbance capacity assay in plasma. Clinical Chemistry 2004;5;952-954. 8. Garret AR, Murray BK, Robison RA, ONeill KL. Measuring antioxidant activity using the ORAC and TOSC assay. Advanced Protocols in Oxidative Stress II: Methods in Molecular Biology (series), Donald J Armstrong 2010;594;251-262.
9. Niki E. Assessment of antioxidant capacity in vitro and in vivo. Free Radical Biology and Medicine 2010;49;503-515. 10. Alger M. Polymer Science Dictionary. London: Chapman & Hall 1997.