Anda di halaman 1dari 12

DEFINISI Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau

ruda paksa tajam atau tumpul (Hudak, 1999). Trauma tumpul thorax adalah cedera atau perlukaan pada thorax tanpa penetrasi ke dalam rongga thorax, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselerasi (perlambatan), atau kompresi yang menimbulkan kelainan pada organ-organ didalam toraks.

ANATOMI Rongga thoraks yang terdiri dari tulang dan tulang rawan, dibatasi oleh: Depan : Sternum dan tulang iga.

Belakang : 12 ruas tulang belakang (diskus intervertebralis). Samping Bawah Atas : Iga-iga beserta otot-otot intercostal. : Diafragma : Dasar leher.

- Sebelah kanan dan kiri rongga toraks terisi penuh oleh paru-paru beserta pembungkus pleuranya. - Mediastinum : ruang di dalam rongga dada antara kedua paru-paru. Isinya meliputi jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, oesophagus, aorta desendens, duktus torasika dan vena kava superior, saraf vagus dan frenikus serta sejumlah besar kelenjar limfe (Pearce, E.C., 1995).

ETIOLOGI
Trauma ledakan

: Ada

semacam

gelombang

udara

dengan suatu

tekanan kuat yang akan merusak/merobek jaringan, seperti trakhea dan bronkhus dan diafragma
Trauma deselerasi

: Tubuh yang sedang bergerak menabrak sesuatu obyek yang diam, tapi struktur yang berada didalam toraks terus bergerak. Terjadi ruptur aorta.

Trauma kompresi

: Tubuh tertekan pada suatu obyek yang keras. Terjadi fraktur kosta, sternum dan kerusakan organ intra torakal.

MANIFETASI KLINIS a. bukti trauma luar pada thorax: jejas dll b. Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi c. Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan d. Pembengkakan lokal e. pemisahan costochondral f. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek

g. flail chest h. Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan pernapasan ) dapat terjadi dini pada tamponade jantung i. j. cedera vaskular fraktur iga atau sternum

k. kontusio paru l. kontusio miokardium

m. Tension pneumothoraks n. Trauma tracheobronkhial o. Ruptur diafragma p. Trauma mediastinal

PATOFISIOLOGI Trauma tumpul dada dapat diakibatkan oleh trauma ledakan, deselerasi, dan kompresi, yang akan menyebabkan: 1. hipoksia akibat gangguan jalan napas, cedera parenkim paru, fraktur iga, kolaps paru 2. cedera pembuluh darah 3. gagal jantung akibat kontusio jantung dan tekanan intrathorax yang meningkat Mekanisme tersebut seringkali mengakibatkan kerusakan ventilasi dan perfusi yang mengarah pada gagal nafas akut, syok hiporalemik dan kematian.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Anamnesa dan pemeriksaan fisik Anamnesa yang terpenting adalah mengetahui mekanisme dan pola dari trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kerusakan dari kendaraan yang ditumpangi, kerusakan stir mobil /air bag dan lain lain. 2. Foto thorax Lebih dari 90% kelainan serius trauma toraks dapat terdeteksi hanya dari pemeriksaan foto toraks. Foto thorax tidak hanya mendeteksi fraktura iga, tetapi juga adanya mediastinum yang melebar yang menggambarkan cedera vascular dan infiltrate paru yang menggambarkan kontusio paru. 3. CT Scan Menunjukkan fraktur kosta, sternum dan sterno clavikular dislokasi, adanya retro sternal hematoma serta cedera pada vertebra torakalisi. Adanya pelebaran mediastinum pada pemeriksaan toraks foto dapat dipertegas dengan pemeriksaan ini sebelum dilakukan Aortografi 4. Ekhokardiografi Transtorasik dan transesofagus sangat membantu dalam menegakkan diagnose adanya kelainan pada jantung dan esophagus. Hemoperikardium, cedera pada esophagus dan aspirasi, adanya cedera pada dinding jantung ataupun sekat serta katub jantung dapat diketahui segera. Dapat mengenali dilatasi ventrikel kanan, penipisan miokardium lokalisata serta kelainan gerakan dinding segmental\

5. Elektrokardiografi Kontusio miokardium dapat menunjukkan aritmia, pengurangan curah jantung, peningkatan segmen ST, abnormalitas gelombang EKG yang persisten, gangguan konduksi dan tachiaritmia 6. Angiografi Adalah Gold Standard untuk pemeriksaan aorta torakalis dengan dugaan adanya cedera aorta pada trauma tumpul toraks.\

PENATALAKSANAAN Tindakan elementer: 1. Membebaskan dan menjamin kelancaran jalan nafas. 2. Memasang infus dan resusitasi cairan. 3. Mengurangi dan menghilangkan nyeri. 4. Memantau keasadaran pasien. 5. Melakukan pembuatan x-ray dada kalau perlu dua arah. Trauma torak yang memerlukan tindakan dan atau pembedahan gawat/ segera adalah yang menunjukkan : 1. Obstruksi jalan nafas 2. Hemotorak massif 3. Tamponade pericardium / jantung 4. Tension pneumotorak 5. Flail chest 6. Pneumotorak terbuka 7. Kebocoran bronkus dan trakeobronkial.

KOMPLIKASI 1. Iga : fraktur multiple dapat menyebabkan kelumpuhan rongga dada.

2. Pleura, paru-paru, bronkhi : hemo/hemopneumothoraks-emfisema pembedahan. 3. Jantung : tamponade jantung ; ruptur jantung ; ruptur otot papilar ; ruptur klep jantung. 4. Pembuluh darah besar : hematothoraks. 5. Esofagus 6. Diafragma : mediastinitis. : herniasi visera dan perlukaan hati, limpa dan ginjal (Mowschenson, 1990).

ASUHAN KEPERAWATAN Pengkajian Data dasar: 1. Umur : Sering terjadi usia 18 30 tahun. 2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu. 3. Pengobatan terakhir. 4. Pengalaman pembedahan. 5. Riwayat penyakit dahulu. 6. Riwayat penyakit sekarang. 7. Keluhan. Pemeriksaan Fisik a. Sistem Pernapasan - Sesak napas - Nyeri, batuk-batuk. - Terdapat retraksi klavikula/dada. - Pengambangan paru tidak simetris. - Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain. - Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani,

hematotraks (redup) - Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang

berkurang/menghilang. - Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas - Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat. - Gerakan dada tidak sama waktu bernapas. b. Sistem Kardiovaskuler - Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk - Takhikardia, lemah - Pucat, Hb turun /normal. - Hipotensi. c. Sistem Persyarafan: Tidak ada kelainan. d. Sistem Perkemihan: Tidak ada kelainan e. Sistem Pencernaan: Tidak ada kelainan.

f. Sistem Muskuloskeletal Integumen. - Kemampuan sendi terbatas. - jejas. Terdapat kelemahan.

- Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan. g. Sistem Endokrin: Terjadi peningkatan metabolisme. h. Sistem Sosial / Interaksi: Tidak ada hambatan. i. Spiritual: Ansietas, gelisah, bingung, pingsan. Diagnosa Keperawatan 1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan. 2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan. 3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder. 4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal. 5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik

Perencanaan dan Implementasi Dx 1: Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma. Tujuan : Pola pernapasan efektif Kriteria hasil : - Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive. - Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru. - Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab. Intervensi : 1. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit. 2. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia. 3. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. 4. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru. R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. 5. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam. R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas. 6. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : - Pemberian antibiotika. - Pemberian analgetika. - Konsul photo toraks. R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

Dx 2: Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan. Tujuan : Jalan napas lancar/normal Kriteria hasil : - Menunjukkan batuk yang efektif. - Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan. - Klien nyaman. Intervensi : 1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan. R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. 2. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk. R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi. 3. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin. R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas. 4. Lakukan pernapasan diafragma. R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar. 5. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk. R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien. 6. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi. R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.

Dx 3: Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder. Tujuan : Nyeri berkurang/hilang. Kriteria hasil : Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi. Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri. Pasien tidak gelisah.

Intervensi : 1. Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif. R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri. 2. Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase. R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya. 3. Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut. R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan. 4. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil. R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan. 5. Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung. R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. 6. Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik. R/ Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang. 7. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat. 30 menit setelah

Dx 4: Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal. Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal. Kriteria hasil : a. Penampilan yang seimbang. b. Melakukan pergerakkan dan perpindahan. c. Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi Dengan karakteristik : 0 = mandiri penuh 1 = memerlukan alat Bantu. 2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran. 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu. 4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas. Intervensi : 1. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan. R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi. 2. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas. R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan. 3. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu. R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal. 4. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif. R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot. 5. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi. R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

Dx 5: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai. Kriteria Hasil : a. Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus. b. Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor. c. Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi Intervensi : 1. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka. R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat. 2. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka. R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah

intervensi. 3. Pantau peningkatan suhu tubuh. R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan. 4. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas. R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi. 5. ganti balutan sesuai kebutuhan. R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi. 6. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi. R/ antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi. Evaluasi 1. pola napa efektif 2. jalan napa efektif 3. nyeri terkontrol atau berkurang 4. peningkatan kemampuan fisik 5. terjadi proses penyembuhan kulit

DAFTAR PUSTAKA Carpenito, L.J. (1997). Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC. Depkes. RI. (1989). Perawatan Pasien Yang Merupakan Kasus-Kasus Bedah. Jakarta : Pusdiknakes. Doegoes, L.M. (1999). Perencanaan Keperawatan dan Dokumentasian

keperawatan. Jakarta : EGC. Hudak, C.M. (1999) Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC. Pusponegoro, A.D.(1995). Ilmu Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai