Anda di halaman 1dari 43

BAB I JOURNAL REVIEW Oro-Dental Health Status and Salivary Characteristics in Children with Chronic Renal Failure

B. Seraj, R. Ahmadi, N. Ramezani, A. Mashayekhi, M. Ahmadi Journal of Dentistry, Tehran University of Medical Sciences 2011; 8(3): 146-151

ABSTRAK Anak-anak yang menderita penurunan fungsi ginjal harus dipertimbangkan keadaan rongga mulut dan giginya. Disebutkan bahwa penurunan fungsi ginjal dapat mempengaruhi jaringan keras dan jaringan lunak pada rongga mulut. Pengetahuan tentang prevalensi yang tinggi mengenai kelainan pada gigi, kalkulus, gingival hyperplasia, perubahan komposisi saliva dan respon jaringan terhadap plak dapat membantu dokter dan dokter gigi pada saat merawat pasien dengan gagal ginjal kronis.

PENDAHULUAN Gagal ginjal kronis merupakan ketidak mampuan fungsi ginjal dan penurunan glomerular filtration rate yang ireversibel dan terjadi selama bertahun-tahun (1-3). Insidensi gagal ginjal kronis terjadi bervariasi dari 1 negara dengan negara lain yaitu di Amerika 337 kasus/tahun, Australia 90 kasus/tahun, United Kingdom 95 kasus/tahun, dan New Zealand 107 kasus/tahun (4). Sehingga menyebabkan gagal ginjal kronis masalah kesehatan yang penting. Prevalensi gagal ginjal kronis di Iran 18,9% (5). Penyebab gagal ginjal kronis yang paling umum adalah hipertensi, diabetes melitus, uropathy, glomerulonefritis kronis, dan penyakit auto imun. Faktor etiologi yang berperan penting pada ginjal kronis anak-anak

adalah penyakit ginjal kongenital seperti malformasi urologis, hereditary nephropathy, dan penyakit glomerulus (6). Meskipun etiologi gagal ginjal kronis bermacam-macam tetapi manifestasi klinis dari gagal ginjal kronis hampir sama (3,7). Pada awalnya anak-anak dengan gagal ginjal kronis konsumsi makanan yang mengandung protein dan kalori dibatasi. Anakanak dengan gagal ginjal kronis menunjukan keterlambatan pertumbuhan pada usia muda dan perkembangan gigi geligi yang terlambat (8). Meningkatnya angka kehidupan pasien yang mengalami gagal ginjal kronis karena kemajuan pediatric nephrology seperti dialisis dan transplantasi, serta perubahan metabolik pada gagal ginjal kronis dan pengobatannya, dokter dan dokter gigi penting untuk mengetahui perubahan oro-dental yang sering terjadi dengan penyakit ini (2,9). Meskipun metode pencegahan dan pengobatan yang baru dapat meminimalisasi komplikasi dari gagal ginjal kronis ini (2). namun metode-metode ini juga menyebabkan pertimbangan dalam kesehatan rongga mulut pasien. Gejala pada rongga mulut diamati pada 90% pasien ginjal, karena penyakit tersebut dan pengobatannya memiliki manifestasi pada sistemik dan oro-dental (3,4,10,11). Banyak perubahan yang terjadi seperti perubahan dalam komposisi saliva (12-14), aliran saliva (14-16), prevalensi kalkulus yang tinggi (17), dan hipoplasia email (15,18). Kebersihan mulut yang buruk dan uremic stomatitis dapat mempengaruhi keadaan rongga mulut. Juga terkait dengan hilangnya lamina dura, fraktur tulang, tumor pada tulang, goyangnya gigi, dan maloklusi (20). Prosedur perawatan medis pada pasien gagal ginjal kronis dapat ditunda karena status kebersihan mulut yang buruk dan potensi resiko infeksi pasca operasi yang berbahaya (21). Di samping itu, meningkatkan kebersihan mulut dan melakukan semua perawatan gigi yang dibutuhkan sebelum dilakukan hemodialisis atau tranplantasi dapat mencegah endokarditis, septicemia, dan end arthritis (22).

STATUS MUKOSA ORAL Penurunan erythropoietin menyebabkan anemia sehingga menimbulkan kepucatan pada mukosa oral. Manifestasi lain seperti petechie, ekimosis, dan pigimentasi mukosa oral juga ditemukan pada pasien dengan kelainan ginjal. Stomatitis, mukositis, dan glositis dilaporkan pada pasien gagal ginjal kronis (CRF), yang dapat menyebabkan nyeri dan inflamasi pada lidah dan mukosa oral. Sensasi rasa yang berubah dan dysgeusia serta infeksi bakteri dan kandidiasis juga dapat meningkat pada kelainan ginjal (23) Terdapat beberapa kelaninan periodontal yang dilaporkan pada anak dengan gagal ginal kronis (8,16,24). Hal ini dapat dihubungkan dengan fakta bahwa imunosupresi dan uremia berhubungan dengan gagal ginjal kronis (chronic renal failure/ CRF) dan hemodialisis dapat mengubah respon inflamasi jaringan ginggival terhadap plak bakteri (25). Selain itu, warna pucat yang disebabkan karena anemia (manifestasi sistemik umum pada kelainan fungsi ginjal yang menurun) dapat menyamarkan tanda inflamasi pada gingiva (24). Pembesaran gingiva (gingival enlargement/GE) lebih banyak muncul pada pasien dengan gagal ginjal kronis (CRF) dibandingkan pada anak normal. Hal tersebut dapat dihubungkan dengan obat-obatan yang dikonsumsi. Prevalensi pembesaran gusi yang lebih tinggi secara signifikan dilaporkan pada pasien yang sedang dirawat dengan nifedipine dan atau cyclosporine A (13%-85%), umumnya digunakan pada pasien transplantasi ginjal (16,24, 2629). Walaupun kebersihan mulut yang buruk disebutkan sebagai faktor yang berhubungan dengan pembesaran gusi, ketika gusi mengalami pembesaran, hanya meningkatkan kebersihan oral tidak cukup untuk mengurangi pembesaran gusi, terutama pada tipe yang berat (24,26). Setelah penegakan diagnosis secara optimal, kebersihan mulut standar ,

ginggivektomi dengan laser, bedah periodontal atau electrosurgery dilakukan (26). Menjaga kebersihan mulut setelah operasi adalah penting untuk menghindari pembengkakan gusi

muncul kembali. Selama 3-4 hari setelah operasi karena konsistensi gingiva, untuk mengontrol plak dapat menggunakan obat kumur chlorhexidinegluconate 0,2%. Pasien dapat membersihkan dan menyikat gigi secara normal setelah proses penyembuhan meningkat (26,24). Stomatitis uremik adalah salah satu komplikasi oral yang berhubungan dengan uremia yang muncul pada gagal ginjal kronis (3). Pada kasus akut, tingkat nitrogen urea darah (BUN) yang meningkat (lebih dari 300 mg/ml) dapat bertindak sebagai faktor etiologi timbulnya lesi mukosa merah yang ditutupi oleh pseudomembran atau lapisan ulseratif. Biasanya lesi muncul pada dorsal, ventral, dan lateral lidah, pada retromolar dan mukosa bukal. Secara histologis, terlihat epithelium hiperplastik dengan hiperkeratinisasi yang tidak seperti biasanya dan infiltrasi inflamasi minimal. Perawatan gagal ginjal dan peningkatan kebersihan mulut yang adekuat akan menjadi hal penting untuk keberhasilan penyembuhan lesi (3, 31-33).

Kondisi Gigi-geligi Kerusakan Enamel Gangguan selama histodiferensiasi, aposisi dan mineralisasi dalam perkembangan gigi mengakibatkan struktur gigi menjadi abnormal [26]. Disfungsi ginjal sebagai suatu penyakit sistemik dapat menyebabkan hipoplasia enamel [34,35]. Kerusakan enamel telah diamati pada 57-83% anak dengan CRF yang sudah memiliki gigi permanent, yang mana lebih tinggi dari kerusakan enamel yang diamati pada kelompok kontrol (22-33%) [16,25]. Usia pasien, waktu, dan durasi penyakit metabolik sistemik menunjukkan tingkat dan posisi dari kerusakan [34,36]. Salah satu faktor yang menyebabkan gangguan adalah metabolisme kalsium-fosfor (Ca-P) yang abnormal, yang menyebabkan peningkatan pada serum Plasma dan pengurangan plasma Ca [17, 14, 37]. Dengan demikian, kerusakan enamel ditemukan

pada pasien anak-anak dengan kekurangan Ca [20]. Di sisi lain, konsentrasi plasma fluoride mungkin meningkat karena penurunan fungsi ginjal menyebabkan gigi flourosis [35].

Kalkulus dan Pewarnaan Kalkulus mempunyai peranan penting pada gingivitis dan kejadian penyakit periodontal [26]. Kalkulus terutama dibentuk oleh kalsifikasi plak, prosedur dimana keseimbangan antara komponen anorganik dan organik air liur berperan penting [17,26]. Pembentukan kalkulus yang berlebihan jarang terlihat pada anak-anak yang sehat, namun, anak-anak dengan gagal ginjal kronis menunjukkan tingkat kalkulus yang lebih tinggi [26, 12]. Martins melaporkan prevalensi 86,6% untuk pembentukan kalkulus pada anak-anak CRF dan 46,6% kelompok untuk kontrol [15]. Pasien yang menderita penyakit ginjal kronis menunjukkan perubahan dalam saliva berupa PH saliva yang meningkat, penurunan konsentrasi Mg pada saliva, urea dan fosfor yang lebih tinggi menyebabkan timbulnya Ca-P dan Ca-Ox dan pembentukan kalkulus [15,17]. Pembentukan kalkulus paling sering terjadi pada bagian permukaan lingual dari gigi incisivus bawah, karena dekat dengan orifis submandibula kelenjar, ion Ca dan P bertindak sebagai reservoir. Namun, pembentukan kalkulus yang berlebihan juga dapat diamati pada bagian lain dalam rongga mulut [17]. Gangguan yang besar pada metabolisme Ca-P pada pasien CRF sering menyebabkan komplikasi kardiovaskular seperti uremic vasculopathy yang merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas pada pasien [38,17]. Anak-anak yang menderita CRF mungkin menunjukkan diskolorisasi gigi karena uremia. Stain atau diskolorisasi juga diamati pada pasien dengan infeksi ginjal yang diresepkan Tetrasiklin selama hemodialisis. Selain itu, karena berkurangnya atau penurunan produksi erythropoietin yang disebabkan penyakit ginjal, anemia yang terjadi pada pasien dengan CRF. Oral suplemen yang mengandung zat besi diberikan untuk mengobati anemia, dapat menimbulkan pewarnaan gigi (13,3%) dan gigi

erupsi terlambat (26,6%). Manifestasi oral seperti ini jarang terjadi pada anak-anak yang normal [15,20].

Karies gigi Anak-anak dengan gagal ginjal knonis harus mengurangi konsumsi makanan yang menghasilkan nitrogen, diet kaya karbohidrat dianjurkan untuk pasien ini (24). Kebersihan mulut yang buruk, adanya hipoplasia enamel, rendahnya flow rate saliva dan jenis nutrisi yang kaya karbohidrat, meningkatkan resiko terjadinya karies pada anak-anak yang mengalami kerusakan ginjal (15, 16). Disamping data-data yang disebutkan di atas, banyak penelitian telah melaporkan prevalensi karies yang lebih rendah (8.5%) pada pasien ini dibandingkan dengan kelompok kontrol (40%) kemungkinan dikarenakan buffer saliva dan pH yang tinggi karena meningkatnya konsentrasi urea pada saliva dan menurunnya frekuensi isolasi dari Streptococcus mutans (15, 16, 24). Selain itu, perubahan prosedur produksi asam dari karbohidrat pada plak diteliti pada pasien penyakit ginjal kronis. Hal ini berhubungan dengan tingginya konsentrasi urea pada saliva, yang mengarah ke 10 kali lipat kurangnya produksi ion H+ ion dari plak gigi pada anak-anak dengan gagal ginjal kronis (19).

Temuan radiografi: Metabolisme vitamin D kebanyakan terganggu pada orang yang mengalami penyakit ginjal, menyebabkan penyerapan Ca berkurang sehingga terlihat gambaran radiolusens seperti kista pada rahang, hilangnya lamina dura, osteoporosis (demineralisasi tulang), kalsifikasi metastatik, brown tumors, hilangnya rongga pulpa, dan predentin tebal sering terlihat (8, 16, 24, 37, 39,40). Meskipun metabolisme vitamin D berubah, gambaran

radiografi menunjukkan sedikit keterlambatan erupsi interdental (2). Disamping itu, hypocalcemia dapat menyebabkan sindrom short-root pada gigi (36).

Saliva Saliva memiliki peranan penting dalam ketahanan gigi terhadap karies. Saliva berfungsi sebagai bahan pelindung gigi, yang menunjang remineralisasi gigi selama dan setelah serangan karies (26). Penurunan pada fungsi ginjal memperlihatkan efek yang besar pada komposisi dan flow rate saliva (15,17). Banyak penelitian tentang komposisi saliva pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal memperlihatkan bahwa protein saliva, potassium, sodium, urea dan konsentrasi kreatinin lebih tinggi pada pasien dengan gagal ginjal kronis, sehingga menyebabkan peningkatan nilai pH dan kapasitas buffering dari saliva (15, 17, 41). Urea saliva bertindak sebagai substrat yang dapat menghasilkan ammonia dari plak gigi, sehingga mencegah penurunan pH ke tingkat yang lebih rendah dimana demineralisasi gigi terjadi yaitu pada pH 5.5 (19). Beberapa peneliti melaporkan adanya penurunan flow rate saliva (yang diberikan stimulus maupun tidak) pada anak-anak yang menerima perawatan hemodialisis dibandingkan dengan kelompok kontrol (anak yang sehat) (15,16,24), hal ini diperhitungkan sebagai faktor resiko terjadinya karies (26). Penurunan laju aliran saliva pada pasien gagal ginjal kronis mungkin disebabkan karena keterlibatan langsung uremik pada kelenjar saliva atau pembatasan asupan cairan pada anak-anak ini (42).

Bau mulut Bau mulut umumnya terjadi pada pasien penyakit ginjal. Berkurangnya saliva, adaya infeksi dan kebersihan mulut yang buruk dapat menimbulkan efek samping. Adanya ureum karena pembersihan yang kurang baik selama dialisis menjadi penyebab utama bau uremik yang terjadi pada 71.1% pasien (23).

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan: kalkulus dan pembentukan stain/pewarnaan pada gigi, gingival enlargement, kerusakan tulang dan dry mouth lebih tinggi pada anak-anak dengan gangguan ginjal. Saran: Kunjungan perawatan gigi secara berkala dan pengawasan dari orang tua merupakan hal penting bagi anak dengan gagal ginjal kronis, hal ini untuk meningkatkan status kesehatan gigi dan mulut, karena tingginya kejadian kerusakan gigi seperti hipoplasia enamel, kebersihan mulut yang buruk dan perubahan karakteristik saliva pada anak dengan gagal ginjal kronis. Anak-anak yang menjalani perawatan rutin yang ketat seperti hemodialisis, memiliki waktu yang lebih sedikit untuk prosedur perawatan ataupun pencegahan penyakit rongga mulut mereka, sehingga penggabungan layanan perawatan gigi ke dalam program kesehatan mereka sangat penting.

BAB II GAGAL GINJAL KRONIK

1.

Pendahuluan

Anatomi Ginjal Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang merah yang terletak di retroperitoneum setinggi pinggang. Ginjal terdapat sepasang, masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri Ginjal orang dewasa memiliki berat kira-kira 160 g dan memiliki panjang 1015 cm (Greenberg and Glick, 2003). Bagian korona dari ginjal terdiri dari dua yaitu: bagian luar (korteks) dan bagian dalam (medulla). Struktur yang letaknya dipersimpangan kortikomedular yang meluas ke hilum ginjal disebut papillae. Setiap papilla tertutup oleh minor calyx yang secara kolektif berhubungan dengan mayor calyx untuk membentuk pelvis ginjal. Ginjal divaskularisasi oleh arteri renal yang merupakan cabang langsung dari aorta. Arteri ini terbagi menjadi beberapa cabang untuk memvaskularisasi bagian atas, tengah, dan bawah dari ginjal. Vena drainase ginjal terdiri dari sekumpulan pembuluh darah vena kecil yang menuju ke vena ginjal dan ekhirnya menuju vena cava inferior (Greenberg and Glick, 2003). Unit fungsional ginjal adalah nefron, dan masing-masing ginjal terdiri dari kurang lebih satu juta nefron. Masing-masing nefron terdiri dari kapsul Bowman, yang mengelilingi oleh glomerulus; tubulus proksimal; lengkung Henle; tubulus distal dan tubulus pengumpul. Glomerulus merupakan suatu jaringan kapiler berbentuk bola yang berasal dari arteriol afferent yang kemudian bersatu menuju arteriol efferent, Berfungsi sebagai tempat filtrasi sebagian air dan zat yang terlarut dari darah yang melewatinya (Greenberg and Glick, 2003).

Gambar ginjal dan unit fungsional ginjal (nefron). Sumber : Textbook of medical physiology 11th ed. 2006.

Fungsi Ginjal Metabolisme secara terus menerus menghasilkan produk buangan yang bisa meracuni tubuh apabila tidak dikeluarkan. Peran yang mendasar dari ginjal adalah untuk mengeluarkan produk sisa ini dan secara homeostatik mengatur volume dan konsentrasi cairan tubuh. Berikut ini merupakan fungsi ginjal, antara lain (Saladin, 2003): Menyaring plasma darah, memisahkan zat yang masih berguna untuk dikembalikan ke dalam sirkulasi darah, dan mengeluarkan zat yang tidak berguna. Meregulasi volume darah serta takanan darah dengan mengeluarkan atau mempertahanka cairan tubuh yang dibutuhkan. Meregulasi osmolaritas cairan tubuh dengan mengontrol pengeluaran jumlah cairan dan zat yang terlarut. Mensekresikan enzim renin, yang mengaktifkan mekanisme hormonal yang mengontrol tekanan darah dan keseimbangan elektrolit. 10

Mensekresikan hormone eritopoietin , yang mengontrol jumlah sel darah merah dan kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah.

Bekerjasama dengan paru-paru untuk meregulasi PCO2 dan keseimbangan asam-basa cairan tubuh.

Berkontribusi terhadap homeostasis kalsium melalui perannya dalam mensintesis calcitrol (vitamin D).

Mendetoksifikasi radikal bebas dan obat dengan bantuan peroxisomes. Pada keadaan kelaparan, melakukan glukoneogenesis, yaitu mendeaminasi asam amino (menghilangkan _NH2), mengekskresikan kelompok amino seperti ammonia (NH3), dan mensintesis glukosa dari sisa molekul yang ada.

2.

Definisi Gagal ginjal diartikan sebagai kerusakan dari nefron, hilangnya fungsi ginjal, dan

adanya akumulasi yang cukup banyak dari sisa produk nitrogen dalam plasma (azotemia). Kelainan ini dapat berkembang cepat dalam beberapa hari ataupun minggu (akut) atau secara perlahan selama berbulan-bulan hingga tahun (kronis). Perbedaan yang besar antara gagal ginjal akut dan kronik yaitu pada gagal ginjal akut memiliki kemungkinan untuk kembali membaik apabila menerima perawatan yang baik. Sedangkan gagal ginjal kronik perjalanan penyakitnya progresif, semakin memburuk, dan bersifat irreversible (Bricker, et.al, 1994). Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang telah berlangsung selama 3 bulan, karena adanya kelainan pada struktur atau fungsi ginjal, disertai atau tidak disertai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR), dengan manifestasi kelainan patologis atau marker kerusakan ginjal seperti ketidaknormalan komposisi dari darah atau urin, atau kelainan pada hasil tes pencitraan. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik

11

ditegakkan

jika

nilai

laju

filtrasi

glomerulus

kurang

dari

60

ml/menit/1,73m

(http://www.kidney.org).

3.

Klasifikasi Klasifikasi stadium pada penyakit ginjal kronik ditentukan oleh nilai laju filtrasi

glomerulus (GFR), pada stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai GRF yang lebih rendah. Klasifikasi ini membagi penyakit gagal ginjal kronik dalam lima stadium. Gagal ginjal kronik stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan GFR yang masih normal atau meningkat, stadium 2 adalah kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan GFR yang sedang, stadium 4 penurunan GFR yang berat disertai atau tidak disertai dengan tanda kerusakan ginjal, stadium 5 adalah gagal ginjal. Tabel 2 memperlihatkan klasifikasi dari penyakit gagal ginjal kronik (NICE Clinical Guideline, 2008). Tabel 1. Stadium pada penyakit ginjal kronik Stadiu Laju Filtrasi Glomerulus Keterangan m (GFR) dalam ml/min/1,73m2 1 90 Normal atau ada peningkatan GFR, disertai tanda kerusakan ginjal 2 60-89 Penurunan GFR yang ringan, dengan tanda kerusakan ginjal 3A 45-59 Penurunan GFR yang sedang, disertai atau tidak disertai dengan tanda kerusakan ginjal 3B 30-44 4 15-29 Penurunan GFR yang berat, disertai atau tidak disertai dengan tanda kerusakan ginjal 5 <15 Gagal ginjal 4. Etiologi Penyebab paling umum dari penyakit gagal ginjal kronik adalah diabetes mellitus, hipertensi dan glomerulonephritis. Penyebab lainnya yang jarang dari penyakit gagal ginjal kronik antara lain penyakit ginjal polycystic, obstruksi, dan infeksi (McPhee and Ganong,

12

2006).Penyebab utama dari penyakit gagal ginjal kronik disajikan dalam tabel 1 di bawah ini (Tierney, et.al, 2006). Tabel 2. Penyebab utama gagal ginjal kronik
Glomerulopathies Penyakit glomerular primer: 1. Focal and segmental glomerulosclerosis 2. Membranoproliferative glomerulonephritis 3. IgA nephropathy 4. Membranous nephropathy Penyakit Keturunan Penyakit ginjal polycystic Medullary cystic disease Alport's syndrome Penyakit Vaskular Hypertensive nephrosclerosis Stenosis arteri renal Penyakit Glomerular sekunder: 1. Diabetic nephropathy 2. Amyloidosis 3. Postinfectious glomerulonephritis 4. HIV-associated nephropathy 5. Collagen-vascular diseases 6. Sickle cell nephropathy 7. HIV-associated membranoproliferative glomerulonephritis Obstructive nephropathies Penyakit prostat Nephrolithiasis Retroperitoneal fibrosis/tumor Congenital Tubulointerstitial nephritis Drug hypersensitivity Heavy metals Analgesic nephropathy Reflux/chronic pyelonephritis Idiopathic

5.

Patofisiologi Kemunduran dan kerusakan fungsi nefron berasal di bawah proses patologis dari

kegagalan ginjal. Patogenesis dari gagal ginjal akut sangat berbeda dengan gagal ginjal kronis. Nefron terdiri dari glomerulus, tubulus, dan pembuluh darah. Dimana kerusakan ginjal akut dapat menghasilkan kematian dan peluruhan dari sel epithelial tubular, sering disertai regenerasi dengan pembentukan kembali artsitektur normal. Pathogenesis gagal ginjal kronik sebagian berasal dari kombinasi pengaruh racun (1) produk yang disimpan normalnya diekskresikan oleh ginjal (contoh, produk yang mengandung nitrogen dari metabolism protein), (2) produk normal seperti hormon pada saat ini ada dalam jumlah yang meningkat, dan (3) kehilangan produk normal dari ginjal (contoh, kehilangan eritropoieten). Kerusakan yang kronis mengakibatkan kehilangan nefron yang ireversibel. Akibatnya, beban fungsional 13

yang besar ditanggung oleh lebih sedikit nefron, bermanifistasi sebagai peningkatan tekanan filtrasi glomerulus, dan hiperfiltrasi. Untuk alasan yang tidak dipahami dengan baik, hiperfiltrasi kompensasi ini, yang bisa dipikir sebagai bentuk dari hipertensi pada tingkat nefron individual, predisposisi untuk fibrosis dan skaring (Skelrosis glomerular). Sebagai akibat, laju kerusakan nefron meningkat, sehingga mempercepat terjadinya uremia, gejala dan tanda kompleks yang muncul ketika fungsi ginjal yang tersisa tidak adekuat (Little et al., 2008; McPhee and Ganong, 2003) Pasien dengan tahap awal gagal ginjal dapat tetap asimtomatik, namun fisiologi selalu terjadi seperti perkembangan penyakit. Perubahan terjadi karena hilangnya nefron. Malfungsi tubular ginjal menyebabkan pompa sodium kehilangan keefektifannya, sejumlah besar urin encer diekskresikan, dimana menyebabkan poliuria umunya ditemukan (Little et al., 2008). Pasien dengan penyakit ginjal parah menghasilkam uremia, yang dapat menjadi fatal bila tidak diobati. Uremia memiliki beberapa pengaruh pada metabolisme yang pada saat ini tidak dapat dimengerti, seperti (1) penurunan suhu dasar tubuh (mungkin karena penurunan Na+-K- aktivitas ATPase) dan (2) pengurangan aktivitas lipase lipoprotein dengan percepatan atherosclerosis (McPhee, 2003). Ginjal yang gagal tidak dapat membersihkan dan memfiltrasi asupan sodium, yang berkonstribusi dalam perkembangan kelebihan cairan, hipertensi, dan resiko penyakit jantung. Bagian yang berkonstribusi pada kenyataanya mendekati 50% mortalitas pertahun dari pasien dengan ESRD (end-stage renal disease) sebagai hasil dari pengaruh perihal cardio-vaskular (Little et al., 2008). Kehilangan fungsi filtrasi glomerular menghasilkan penumpukan senyawa nitrogen nonprotein pada darah, sebagian besar urea, yang disebut azetomia. Kadar azetomia diukur sebagai blood urea nitrogen (BUN). Asam juga berakumulasi karena kerusakan tubular. Kombinasi dari produk buangan ini menghasilkat asidosis metabolic, hasil utamanya yaitu retensi ammonia. Pada gagal ginjal tahap selanjutnya, asidosis menyebabkan nausea,

14

anoreksia, dan fatigue. Pasien cenderung hiperventilasi untuk mengkompensasi asidosis metabolic. Pada pasien dengan ESRD dan asidosis, mekanisme adaptif telah dibebani diatas level normal, dan adanya peningkatan desakan dapat menyebabkan konsekuensi serius. Sebagai contoh, sepsis atau penyakit fabrille dapat menyebabkan asidosis yang parah dan bisa fatal (Little et al., 2008). Gangguan elektrolit berat terjadi pada gagal dinjal. Kehabisan sodium dan hiperkalemia berkembang sebagai akibat azotemia, produksi urin turun, dan keseimbangan asam/basa terus memburuk. Pasien dengan ESRD menunjukkan beberapa abnormalitas hematologis, termasuk anemia, leukosit, dan disfungsi platelet, dan koagulopati. Anemia, disebabkan karena penurunan produksi erythropoietin oleh ginjal, inhibisi dari produksi sel darah merah, episode pendarahan, dan pemendekkan ketahanan hidup sel darah merah, adalah satu dari manifistasi yang paling umum dari ESRD. Kebanyakan dari efek ini merupakan hasil dari substansi toksik yang tidak teridentifikasi pada plasma uremik dan dari faktor lain (Little et al., 2008). Pertahanan tubuh dikompromikan oleh kekurangan nutrisi dan perubahan dalam produksi dan fungsi dari sel darah putih. Akhirnya disebabkan oleh pengurangan biovailibilitas dari interleukin-2; penurunan regulasi dari molekul adhesi fagosit; peningkatan produksi inteleukin-1, interleukin-6, dan faktor nekrosis tumor; sel yang dimediasi kerusakan imun; dan hipogamaglobulinemia yang dapat menimbulkan pengurangan kemotaksis granulosit, fagositosis, dan aktivitas bakterisidal. Karena itu, individu dengan kondisi ini lebih rentan terhadap infeksi (Little et al., 2008). Diathesis hemoragi, dikaraktrisasi oleh kecendrungan pendarahan abnormal dan memar, umum pada pasien dengan ESRD dan terutama dikaitkan dengan agregasi platelet abnormal dan keadesifan, pengurangan faktor platelet 3, dan konsumsi protrombin yang

15

terganggu. Produksi platelet yang cacat juga memiliki pengaruh. Faktor platelet 3 meningkatkan konversi protrombin ke thrombin oleh X faktor (Little et al., 2008). Sistem kardiovaskuler dipengaruhi oleh kecendrungan untuk berkembang menjadi gagal jantung kongestif dan edema pulmonary, kadang-kadang keduanya. Komplikasi yang paling umum, bagaimanapun, adalah hipertensi arterial, disebabkan oleh retensi NaCl, kelebihan cairan, dan tingkat renin yang tinggi. Hipertrofi dari ventrikel kiri juga timbul dan dapat membahayakan pasokan darah dari aliran pembuluh koroner. Kondisi ini diperparah oleh anemia. Tendensi dicatat untuk percepatan arterosklerosis untuk berkembang pada pasien dengan ESRD, dan perikarditis umumnya (Little et al., 2008). Beberapa kelainan tulang terlihat pada ESRD, secara kolektif dirujuk sebagai renal osteodistrofi. Penurunan filtrasi glomerulus muncul dengan penurunan fungsi nefron, yang hasilnya penurunan produksi 1,25-dihidroksivitamin D oleh ginjal, penurunan absrobsi kalsium oleh usus, dan peningkatan level serum fosfat. Karena fosfat menggerakkan mineralisasi tulang, kelebihan fosfat cenderung akan menyebabkan serum kalsium berdesposisi di tulang (osteoid), menyebabkan penurunan level serum kalsium dan lemah tulang. Sebagai respon dari serum kalsium yang rendah, kelenjar paratiroid terstimulasi untuk mensekresi parathormon (PTH), yang hasilnya hiperparatiroidisme sekunder. Fungsi PTH adalah sebagai berikut (Little et al., 2008): Menghambat reabsorbsi tubular dari fosfat Menstimulasi produksi renal dari vitamin D yang dibutuhkan untuk metabolisme kalsium Meningkatkan absorbsi vitamin D dari usus. Bagaimanapun, level PTH yang terus-menerus tinggi karena ESRD, ginjal yang gagal yang tidak mensintesis 1,25-dihidroksikolekalsiferol, metabolisme aktif vitamin D; sehingga, absorbsi kalsium dalam usus terhambat. PTH, faktor nekrosis tumor, dan interleukin-1 16

mengaktifkan remodeling tulang, memobilisasi kalsium dari tulang, dan mendorong ekskresi fosfat, yang dapat menyebabkan kalsifikasi renal dan metastatik. Progresi osseus berubah sebagai berikut: osteomalasia (peningkatan matrik tulang yang tidak termineralisasi), diikuti oleh fibrosa osteitis (lesi lytic resorspi tulang dan fibrosis sumsum), dan akhirnya,

osteosklerosis dalam derajat bervariasi (meningkatkan densitas tulang). Dengan osteodistrofi renal, pelemahan pertumbuhan tulang yang terjadi pada anak-anak, bersamaan dengan kecenderungan fraktur spontan dengan penyembuhan yang lama, miofati, nekrosis aseptic pada panggul, dan kalsifikasi ekstraoseus. Insindensi osteomalasia menurun karena telah diketahui paling sering berhubungan dengan intoksitas oleh alumunium dan logam berat lain yang berhubungan dengan perawatan dialisis pada pasien dengan ESRD. Dialisat cairan sekarang dapat merduksi level dari intoksiskan ini (Little et al., 2008).

6.

Gambaran Klinis

Pada gagal ginjal akut dapat ditemukan gejala-gejala seperti oliguria (kurang dari 400 ml perhari), urine berwarna gelap, acidosis, meningkatnya serum potasium. Sebaliknya pada gagal ginjal kronis biasanya diawali dengan gejala poliuri, polidipsi, dan nokturia yang disebabkan malfungsi pada tubulus dan ekskresi sodium yang abnormal serta BUN yang meningkat (diatas 50 mg/ml). Gagal ginjal dapat mempengaruhi beberapa sistem. Efek dari gagal ginjal secara luas dapat terjadi pada sistem kardiovaskular, saraf, hematologik, gastrointestinal, dermatologik, respirasi, dan endokrin (Little, et.al., 2008). Dengan adanya gangguan fungsi ginjal, menurunnya laju filtrasi glomerulus, dan akumulasi berbagai produk dari gagal ginjal, rongga mulut akan memperlihatkan perubahan sebagai respon tubuh terhadap status azotemic menjadi uremic (Lynch, et.al., 1994).

17

Uremia menghasilkan banyak komplikasi pada sistem dermatologik, gastrointestinal, hematologik, neurologik, metabolik, dan kardiovaskular. Kelainan hematologik sering

ditemukan pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Anemia merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan dari uremia, hal ini dikarenakan menurunnya produksi dari erythropoietin dan adanya peredaran toksin uremic yang meningkatkan hemolisis sel darah merah (Briker et.al., 1994).

Manifestasi Oral

Tabel. Manifestasi Oral dari CRF (Little, et.al., 2008). 1. Hipoplasia enamel Hipoplasia enamel terlihat sebagai suatu diskolorisasi putih atau kecoklatan pada gigi. Penggunaan kortikesteroid jangka panjang juga dapat menyebabkan hipoplasia enamel. Selain itu, kortikosteroid dapat menyebabkan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi jamur karena berkurangnya migrasi dan gangguan fungsi fagositosis leukosit dan makrofag (Lynch, et.al., 1994). Pada anak-anak, gagal ginjal dapat menyebabkan melambatnya perkembangan gigi dan erupsi gigi yang tertunda, yang menjadi penyebab terjadinya maloklusi dan hipoplasia enamel (Briker et.al., 1994).

18

2. Kepucatan dan diskolorisasi pada mukosa Salah satu manifestasi oral pada pasien CRF yaitu kepucatan pada mukosa terkait dengan kondisi anemia. Diskolorisasi merah-orange pada mukosa bukal yang disebabkan oleh pruritus dan pengendapan pigmen yang menyerupai karoten terjadi pada saat filtrasi ginjal berkurang. Aliran saliva dapat berkurang, sehingga menyebabkan xerostomia dan infeksi parotid. Kandidiasis sering kali timbul ketika aliran saliva berkurang (Little, et.al., 2008). 3. Uremic stomatitis Stomatitis berupa oral ulceration dan kandidiasis juga dapat terjadi. Keduanya sering ditemukan pada pasien dengan end-stage renal disease (ESRD), terutama stomatitis atau yang disebut uremic stomatitis. Namun sangat jarang ditemukan. Karakteristik awalnya mukosa berwarna merah ditutupi dengan eksudat abu-abu dan kemudian menjadi ulser yang jelas. Manifestasi lainnya yang dapat ditemukan pada pasien ESRD diantaranya ekimosis, petechiae, purpura dan epistaksis (Little, et.al., 2008).

Gambar. Stomatitis uremik pada dasar mulut terlihat lesi putih atau hiperkeratotik (http://www.scielo.br/scielo.php).

19

7.

Diagnosis Untuk menentukan penyebab dan status penyakit ginjal diperlukan beberapa test seperti

tes hematolgik (blood count, bleeding time, prothrombin time, activated partial thromboplastin time, pemeriksaan zat kimia dalam darah (BUN, serum creatinine, level elekrolit), urinalysis (osmolalitas), dan pyelography intravena (Briker et.al., 1994). Tes yang paling dasar dari fungsi ginjal adalah urinalisis, dengan penekanan khusus pada berat jenis dan adanya protein. Kreatinin adalah ukuran kerusakan otot dan kapasitas filtrasi nefron. Kreatinin proporsional dengan filtrasi glomerulus dan tingkat ekskresi tubulus dan umumnya digunakan sebagai indeks clearance (creatinine clearance) pada urine yang dikumpulkan selama 24 jam. BUN merupakan indikator umum dari fungsi ginjal namun tidak sespesifik creatinine clearance atau tingkat serum kreatinin (Little, et.al., 2008). Hiperkalemia, asidosis, hipokalsemia, hiperfosfatemia, dan hypermagnesemia adalah temuan dalam darah yang menunjukkan gagal ginjal. Hasil elektrokardiogram mungkin abnormal ketika tanda-tanda hipertensi dan penyakit jantung iskemik muncul (Briker et.al., 1994).

Tabel. Nilai laboratorium untuk penilaian fungsi ginjal (Little, et.al., 2008).

20

Pasien dengan gagal ginjal kronis dan uremia menunjukkan gejala, tanda-tanda, dan kelainan hasil pemeriksaan laboratorium selain yang diamati pada gagal ginjal akut. Akan terlihat sifat lama dan progresif dari gangguan ginjal dan dampaknya pada berbagai macam jaringan. Dengan demikian, osteodystrophy, neuropati, ginjal bilateral ditunjukkan oleh film x-ray abdominal atau ultrasonografi, dan anemia adalah temuan awal khas yang merujuk suatu kondisi kronis untuk seorang pasien yang baru didiagnosa dengan gagal ginjal atas dasar BUN yang tinggi dan kreatinin serum (McPhee & Ganong, 2006).

8.

Rencana Perawatan Tujuan pengelolaan pasien dengan gagal ginjal adalah untuk mengembalikan volume

intravaskular, untuk meningkatkan elektrolit dan keseimbangan cairan dalam tubuh, untuk mengurangi tingkat urea dalam darah, untuk menghindari agen nefrotoksik, dan untuk mencegah komplikasi. Pada situasi akut, diuretik diharuskan untuk mengontrol keseimbangan kadar garam dan air dan hipertensi. Enteral dan parenteral solutions digunakan untuk asupan karbohidrat, lemak, nitrogen, dan elektrolit requirements. Kontrol hiperkalemia yaitu dengan membatasi asupan kalium sangat penting dalam mencegah gangguan konduksi pada jantung yang dapat mengancam nyawa seseorang. Suplementasi vitamin D disediakan untuk mencegah osteodystrophy ginjal. Antibiotik yang sering diresepkan untuk mencegah atau mengelola infeksi saluran kemih dan paru-paru. Obat biasanya dimetaboisme oleh ginjal, agen nefrotoksik, dan obat yang memperburuk komplikasi penyakit ginjal harus dihindari pada pasien dengan gagal ginjal. Sedikit catatan tentang obat yang biasanya diresepkan, ada yang harus disesuaikan atau dihindari termasuk aspirin, allopurinol, aminoglycosides, cephalosporins tertentu, chlorpropamide, cimetidine, digoxin, insulin, nifedipine, agen antiinflamasi non-steroid, procainamide, sulfonamides, tetracyclines, dan vancomycin (Bricker, et al., 1994).

21

Pemulihan dari gagal ginjal akut ditandai dengan diuresis yang besar dan fungsi tubular yang perlahan-lahan kembali normal. Mayoritas pasien yang berhasil di terapi pada episode akut biasanya mampu mempertahankan fungsi ginjal. Namun, tingkat kelangsungan hidup bagi penderita gagal ginjal kronis kurang menguntungkan. Ketika pasien tidak responsif terhadap tindakan konservatif, kondisi mereka cenderung memburuk sampai diperlukan untuk dialisis atau transplantasi (Bricker, et al., 1994). 1. Diet Makanan Pengaturan diet untuk penderita gagal ginjal kronik itu bertujuan untuk menjaga keseimbangan elektrolit, mineral, dan cairan pada penderita, serta membatasi jumlah zat sisa metabolisme yang tertimbun di dalam tubuh. Pengaturan diet ini harus disesuaikan dengan tingkat keparahan gangguan fungsi ginjal seorang pasien, sehingga harus dikonsultasikan lagi dengan dokter yang merawat pasien dengan gagal ginjal tersebut (Sekarwana, dkk., 2002). Secara umum yang harus diperhatikan adalah a. Pembatasan konsumsi protein Sangatlah penting untuk mendapatkan jumlah protein yang tepat karena protein diperlukan untuk membentuk otot, memperbaiki jaringan yang rusak dan melawan infeksi. Asupan protein yang sesuai akan membuat tubuh mendapatkan protein yang cukup tanpa menghasilkan urea (hasil metabolisme protein) berlebihan dan memperberat kerja ginjal. Protein hewani berasal dari telur, ikan, daging, keju, dan susu. Protein nabati berasal dari kacang-kacangan dan bijibijian. b. Pengurangan konsumsi garam Batasi konsumsi garam sampai 4-6 gram sehari untuk mencegah timbunan cairan dalam tubuh dan membantu mengontrol tekanan darah.

22

c. Batasi asupan cairan Pada stadium awal, pembatasan asupan cairan tidak diperlukan. Namun, saat fungsi ginjal memburuk dan pasien menjalani dialisis, pasien akan menghasilkan urin dalam jumlah sangat sedikit atau bahkan tidak menghasilkan urin sama sekali. Hal ini akan menyebabkan timbunan cairan dalam tubuh sehingga menyebabkan timbunan cairan di jantung, paru-paru, dan tungkai. d. Batasi asupan kalium Ginjal yang sudah rusak tidak dapat membuang kalium dalam tubuh. Kalium yang tinggi menyebabkan irama jantung yang tidak normal, bahkan dapat menyebabkan kematian. Contoh makanan dengan kandungan kalium yang tinggi adalah pisang, jeruk, alpukat, kiwi, kismis, kacang-kacangan, kentang, asparagus, tomat, dan labu. e. Batasi asupan fosfor Untuk menjaga kesehatan tulang, kelebihan fosfor dalam darah akan menyebabkan kalsium berkurang sehingga tulang menjadi rapuh. Contoh makanan yang tinggi fosfor adalah susu, telur, yoghurt, keju, biji-bijian, dan minuman bersoda. 2. Dialisis Gagal ginjal mungkin memerlukan dialisis pada keadaan tertentu, seperti ketika azotemia (sisa produk nitrogen dalam plasma) menimbulkan reaksi yang serius dalam kehidupan atau saat hilangnya fungsi ginjal yang ireversibel. Indikasi utama 23

untuk dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal yaitu status klinis yang buruk, kelainan biokimia pada tubuh (meningkatnya kalium plasma, urea dalam darah, dan plasma bikarbonat dengan cepat), dan adanya gejala tertentu seperti mual, kebingungan, cairan yang berlebih, dan edema paru-paru. Penggunaan dialisis tidak terbatas pada pasien dengan gagal ginjal. Dialisis dapat dilakukan sebelum prosedur pembedahan yang besar ketika komplikasi saat operasi dan setelah operasi dan selama episode keracunan akut. Dialisis dapat dilakukan, baik dengan hemodialisi (90%) atau dialisis peritoneal (10%) dan mungkin diperlukan sampai dengan 20 tahun. Sekitar 80.000 pasien di Amerika Serikat saat menjalani hemodialisis, dan sekitar 70% pasien dengan tingkat kelangsungan hidup sampai 5 tahun (Bricker, et al., 1994). Dialisis merupakan prosedur medis yang berfungsi untuk mengfilter darah. Dialisis menjadi perlu ketika jumlah nefron berkurang, sehingga azotemia menjadi tidak dapat mencegah atau tidak terkendali. Inisiasi dari dialisis merupakan keputusan individual dari pasien saat serum kreatinin dibawah 3 mg/dL dan kreatinin clearance dibawah 20 mL/min. Lebih dari 250.000 individu yang menerima dialisis di Amerika Serikat yang bernilai sekitar 7 juta dolar per tahun. Prosedur tersebut dapat terjadi dengan dialisis peritoneal atau hemodialisis (Little, et al., 2008). a. Hemodialisis Kebanyakan pasien dialisis (90%) menerima perawatan hemodialisis. Hemodialisis adalah metode pilihan ketika azotemia terjadi dan dialisis dibutuhkan untuk jangka panjang. Perawatan dilakukan 2-3 hari per minggu tergantung kebutuhan. Biasanya membutuhkan waktu 3-4 jam untuk setiap sesi. Hemodialisis menghabiskan waktu pasien dan membatasi aktivitas pasien (Little, et al., 2008). Infeksi dari fistula arteriovenosa menjadi perhatian khusus karena dapat menyebabkan septicemia, emboli septik, infeksi endarteritis, dan infeksi endocarditis.

24

Staphylococcus aureus adalah penyebab utama dari infeksi vaskuler dan berhubungan dengan bakteremia pada pasien. Resiko infeksi fistula dari prosedur bedah (misal urogenital, bedah mulut, dan gigi) tidak diketahui secara pasti namun memiliki resiko yang rendah. Semua pasien dengan gagal ginjal stadium akhir, obat yang

dimetabolisme langsung pada ginjal atau yang memiliki sifat nefrotoksik harus dihindari selama pasien menjalani dialisis. Masalah utama yang terdapat pada pasien yang menerima dialisis adalah perdarahan yang abnormal. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir memiliki perdarahan yang abnormal karena agregasi platelet dan penurunan platelet faktor III. Hemodialisis dikaitkan dengan masalah destruksi platelet melalui trauma mekanis saat prosedur. Kontaminasi alumunium pada air dialisat dapat mempengaruhi sintesis hemoglobin dan menyebabkan osteomalacia. Proses dari hemodialisis dapat mengaktifkan prostaglandin I2 yang dapat menurunkan agregasi platelet. Namun, prostaglandin I2 memiliki waktu paruh 1-3 menit dan efek sampingnya tidak dapat dilihat melalui tes laboratorium rutin (Little, et al., 2008). Hemodialisis terdiri dari sesi rawat jalan setiap 2 atau 3 hari yang berlangsung selama 3 sampai 6 jam. Fistula arteriovenosa dibuat secara operasi di lengan atau kaki pasien untuk memfasilitasi akses dari garis infus ke dalam sistem vaskular (gambar arteriovenous shunt). Selama proses dialisis, darah pasien antikoagulan (biasanya dengan heparin, durasi aksi sekitar 4 jam) untuk mencegah pembekuan dari garis infus dan sistem pipa-pipa dari mesin dialisis. Darah dan plasma buatan seperti cairan dialisis (dialisat) yang dipompa ke dalam mesin dan disaring melalui proses yang melibatkan difusi dan ultrafiltrasi melintasi membran semipermeabel. Larutan berpindah dari darah ke dialisat dan menuruni gradien konsentrasi di seluruh membran semipermeabel, sebelum darah kembali disaring untuk pasien (Bricker, et al., 1994).

25

Sebagai pengganti fungsi ginjal normal, dialisis dapat menimbulkan risiko pada kesehatan pasien. Komplikasi dapat dibagi menjadi 2 grup yaitu infeksi dan kecenderungan perdarahan. Infeksi sangat umum terjadi karena virus. Virus hepatitis B, virus hepatitis non-A, non-B, hepatitis C, dan human immunodeficiency virus (HIV) merupakan yang paling sering terlibat. Risiko transmisi dari infeksi virus meningkat karena darah dari banyak pasien masuk ke mesin hemodialisis setiap hari. Sekitar 10% dari pasien yang menjalani hemodialisis jangka panjang dapat terkena virus hepatitis, dan sekitar 1% adalah pembawa HIV yang tersembunyi. Langkah pengendalian infeksi yang paling penting merupakan cara untuk mencegah penularan penyakit tersebut. Pencegahan infeksi dari fistula arteriovenosa merupakan perhatian utama pada pasien dalam menjalani hemodialisis. Meskipun risiko infeksi fistula yang rendah, namun hasinya dapat berakibat fatal. Untuk itu, antibiotik profilaksis selama perawatan dental sangat disarankan (Bricker, et al., 1994). Komplikasi lain yang signifikan dari gagal ginjal kronis dan hemodialisis yaitu kecenderungan perdarahan, disebabkan oleh penurunan platelet faktor III, meningkatnya prostglandin I2, antikoagulan, dan efek dari mesin hemodialisis itu sendiri (Bricker, et al., 1994). Tingkat kelangsungan hidup 1 tahun pada pasien dialisis adalah 78% dan 5 tahun adalah 28%. Alternatif dari dialisis jangka panjang adalah transplantasi ginjal (Little, et al., 2008).

b. Dialisis Peritoneal Dialisis peritoneal berbeda dari hemodialisis, dalam prosedur peritoneal tidak memerlukan antikoagulasi, karena dialisat hipertonik ditempatkan langsung ke dalam rongga peritoneal melalui kateter plastik yang pembedahannya melekat pada dinding

26

perut. Peritoneum berfungsi sebagai membran dimana transfer zat terlarut dan air terjadi. Setelah periode imbang (12 jam), larutan yang berisi produk-prouk limbah terlarut akan dikeluarkan dan digantikan dengan larutan baru. Bentuk diialisis ini relatif murah dan mudah dilakukan, tetapi memiliki kelemahan yang kurang efektif daripada hemodialisis, dan juga memerlukan sesi yang lebih sering dan komplikasi yang umum terjadi yaitu peritonitis (Bricker, et al., 1994). Dialisis peritoneal dilakukan pada lebih dari 26.000 orang Amerika. Dialisis peritoneal ini mungkin disediakan sebagai siklus dialisis peritoneal yang kontinu (CCPD) atau dialisis peritoneal kronis untuk pasien rawat jalan. Keduanya mempengaruhi cairan hipertonik ke dalam kavitas peritoneal melalui kateter peritoneal permanen. Setelah beberapa waktu cairan yang dicerna (contohnya urea) dikeluarkan. Metode yang sebelumnya, CCPD, menggunakan mesin pada malam hari untuk melakukan 7-8 pertukaran dialisat sementara pasien tidur. Selama siang hari, cairan ekskresi mengisi perut pasien sampai dialisis dilakukan kembali pada sore hari (Little, et al., 2008). Keuntungan dari dilasis peritoneal yaitu murah, mudah untuk digunakan, mengurangi kemungkinan terjadinya transmisi penyakit infeksi, kurangnya koagulasi. Kerugian dialisis peritoneal yaitu tidak dapat hanya sekali melakukannya, tetapi harus berlanjut, berisiko terkena peritonitis abdominal hernia (kira-kira 1 per pasien setiap 1,5 tahun), dan kurangnya efektivitas yang signifikan dibandingkan dengan hemodialisis. Kegunaan umum dialisis peritoneal pada pasien dengan gagal ginjal akut atau pada pasien yang jarang melakukan dialisis (Little, et al., 2008). 3. Transplantasi Ginjal Metode lain untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yaitu dengan transplantasi ginjal. Meskipun terdapat perbaikan

27

dalam 5 tahun yang kontroversial mengenai pasien yang menjalani transplantasi ginjal yang dibandingkan dengan usia dan kecocokan penyakit pasien dalam menjalani pemeliharaan dialisis, tidak ada argumen bahwa kualitas hidup jauh lebih baik setelah menjalani transplantasi yang sukses. Transplantasi ginjal yang dilakukan dapat meningkatkan keberhasilan, dan kematian tampaknya dapat membuat dokter dan ahli bedah lebih bersedia untuk mengurangi dampak negatif dari transplantasi tersebut. Sekitar 60% dari 25.000 pasien dengan transplantasi hidup sampai hari ini dengan tingkat kelangsungan hidup 0-5 tahun (Burket, 2008). Transplantasi melibatkan operasi pengangkatan ginjal dari pendonor dan implantasi ginjal menjadi penerima. Pendonor biasanya dari keluarga pasien, seperti saudara, orang tua, atau seseorang yang baru saja meninggal (donor dari mayat). Penerima transplantasi dari yang bukan keluarga biasanya mempunyai kesempatan yang kecil dalam kelangsungan hidup untuk graft dibandingkan dengan hubungan darah tetapi setidaknya sama efektif nya dengan graft dari mayat. Dari semua kasus transplantasi kecuali antara kembar monozigotik, penolakan dari transplantasi dapat terjadi, dan reaksi dari penolakan biasanya melalui sistem limfosit. Antigen yang menolak reaksi tersebut disebut antigen histokompatibilitas dan terdapat pada permukaan sel yang mempunyai nukleus. Dalam sejarahnya, pengelompokan antigen kompatibiltas adalah human leukocyte antigens (HLA) yang terdapat pada kromosom 6. Pada dasarnya, reaksi imun tediri dari reaksi sel mediasi yang dimana antigen asing dari graft dikenali oleh sel imunokompeten penerima, yang menghasilkan sel sitotoksik yang dapat menghancurkan stimulasi antigen. Berikut respon humoral, dimana antibodi bersirkulasi secara spesifik sehingga menyebabkan perlawanan terhadap graft, dan menyebabkan penolakan (Burket, 2008).

28

Pasien transplantasi ginjal biasanya mendapat obat-obatan imunosupresif yang berkelanjutan untuk memastikan keberhasilan penyatuan permukaan ginjal. Biasanya komposisi obat terdiri dari agen imunosupresif dan glukokortikoid anti inflamasi untuk mencegah penolakan transplantasi (Burket, 2008). 9. Pertimbangan Oral Penatalaksanaan pasien sebelum melakukan transplantasi dimulai dengan mengurangi sumber infeksi yang potensial. Termasuk inflamasi patogen pada dental, oral, dan daerah maksilofasial. Setelah transplantasi, perawatan dental rutin harus ditunda hingga dosis maintanance agen imunosupresan terpenuhi. Kebanyakan pasien transplantasi adalah pasien rawat jalan, dan kebutuhan perawatan gigi mereka tetap dapat diberikan. Pasien yang telah menjalani transplantasi ginjal harus diawasi karena keadaan pasien sebelum dilakukan transplantasi tersebut berbeda keadaan dentalnya yang berhubungan dengan obat-obatan yang diberikan dan penyakit ginjal sebelumnya. Umumnya masalah dental yang terlihat pada pasien transplantasi berhubungan dengan perubahan respon imun akibat obat-obatan yang diberikan setelah transplantasi (Burket, 2008). Pasien transplantasi ginjal diberikan obat-obatan imunosupresan untuk mencegah penolakan organ baru. Obat-obatan ini dapat mengurangi resiko infeksi. Organisme yang menyebabkan infeksi sama dengan infeksi setelah operasi pada pasien yang mengalami operasi yang besar, sementara infeksi yang ditemukan setelah 1 bulan transplantasi cenderung diakibatkan oleh organisme oportunistik. Seringnya virus dan fungi (Burket, 2008). Mikroorganisme yang ditemukan di rongga mulut dapat menyebabkan berbagai infeksi. Organisme ini termasuk bakteri gram negatif, seperti Klebsiella, Pseudomonas dan Proteus; fungi, seperti Candida, Aspergillus, Mucor; dan virus, seperti herpes simpleks dan herpes zoster. Penyakit periodontal, infeksi pulpa, dan ulserasi oral yang dapat menyebabkan penyebaran mikroorganisme oral ke dalam aliran darah, atau aspirasi dapat menyebabkan

29

penyebaran pada traktus respiratorius. Infeksi oral pada pasien transplantasi telah dilaporkan sering mengalami pneumonia atau infeksi traktus urinarius. Faktor sistemik yang berhubungan dengan perkembangan infeksi oral adalah jumlah limfosit yang rendah dan perpanjangan waktu terapi obat imunosupresan (Burket, 2008). Diagnosis yang tepat dan penyebab infeksi pada pasien imunosupresan harus menjadi prioritas utama. Identifikasi patogen diketahui melalui kultur, apusan, teknik aspirasi, atau biopsi. Hal tersebut memastikan penatalaksanaan antimikroba yang tepat dikarenakan bermacam jenis organisme dapat ditemukan pada pasien transplantasi. Drainase harus dipertimbangkan pada kasus infeksi yang tidak berkembang cepat dan tidak terlihat pada awalnya, dan organisme yang tidak umum dan resiten terhadap obat harus diikutsertakan dalam diagnosis pembanding (Burket, 2008). Jika pasien transplantasi ginjal datang untuk perawatan dental, dosis obat-obatan steroid yang dikonsumsi harus menjadi pertimbangan dalam pentalaksanaan. Terapi kortikosteroid meningkatkan kerentanan tubuh untuk mengalami syok, karena tubuh tidak dapat mengatasi stres karena prosedur dental atau stres emosional yang behubungan dengan perawatan dental. Khususnya pada pasien dengan dosis steroid yang tinggi per hari nya tetapi dengan pemberian cyclosporine banyak pasien yang akhirnya dikurangi dosis steroidnya. Studi mengenai glukokortikoid pada pasien transplantasi telah merubah protokol perawatan (Burket, 2008). Tabel 6. Drug Therapy in Renal Disease (Burket, 2008) Adjustments for Renal Failure Drug Normal Moderate GFR 10-50 Severe GFR < 10 Antibiotics Penicillin G q 6-8 h q 8-12 h q 12-18 h Erythromycin q6h Unchanged Unchanged Ampicillin q6h q 6-12 h q 12-16 h Amoxicillin q8h q 8-12 h q 12-16 h Cephalothin q6h Unchanged q 8-12 h Carbenicillin q4h q 8-12 h Avoid if possible Analgesics Acetaminophen q4h q6h q8h 30

Acetylsalicylic acid Phenacetin (APC) NSAIDs

q4h

q 4-6 h Avoid Avoid

Avoid Avoid Avoid

Terdapat beberapa pertimbangan dalam penatalaksanaan pasien dengan penyakit ginjal. Dokter gigi harus menyertakan penyebab penyakit, status fisik dari pasien, dan obatobatan yang diminum oleh pasien. Pasien dengan penyakit ginjal memiliki insidensi penyakit sistemik lain yang tinggi, seperti diabetes melitus, sistemik lupus eritematosus, gangguan gastrointestinal, dan kegagalan fungsi hati. Konsultasi dengan dokter umum diwajibkan untuk menentukan keparahan dari disfungsi ginjal, level kontol metabolisme dan status kalsifikasi resiko menurut American Society of Anesthesiologist (ASA). Jika agen imunosupresan digunakan harus berkonsultasi dengan dokter umum untuk menentukan lama penggunaan obat-obatan tersebut dan perlu atau tidaknya suplemen steroid selama perawatan dental. Pemberian antibiotik profilaksis harus dipertimbangkan karena pasien dengan penyakit ginjal rentan terhadap infeksi oral maupun sistemik (Bricker, et al., 1994). Tabel 7. Drug Adjustments in Chronic Renal Disease (Little, James W., et al., 2008) Drug Removed Dosage Adjustment for Renal Failure Supplement by Dose After Method >50 Co-50 < 10 Dialysis Hemodialysi s Analgesic Aspirin Yes I q4h q6h Avoid Yes Acetamino Yes I q4h q6h q8h No phen (HD), No (PD) Ibuprofen ? No No (Motrin) adjustment Propoxyph No DR 100% 100% Avoid No ene* (Darvon) Codeine ? DR 100% 75% 50% No Meperidine ? DR 100% 75% 50% No * (Demerol) Antimicrobial Acyclovir Yes I & DR q8h q12-24h 50% Yes 31

(zovirax) Amoxicilli n,penicillin V Cephalexin (keflex) No Yes I I q8h q8h q8-12h q12h

q2448h q24h q12h

Yes Yes; 50% of usual dose after HD No

Clindamyci No 100% 100% 100% n (cleocin) Erythromy No DR 100% 100% 50%No cin 75% Ketoconaz No 100% 100% 100% No ole (nizoral) Metronidaz Yes DR 100% 100% 50% Yes (HD); ole (flagyl) No (PD) Tetracyclin No I q8-12h q12-24h q24h No e (doxycyclin e) Corticosteroid Dexametha No No sone adjustment Note : DR, dosage reduction; I, increased beetwen doses; GFR, glomerular filtrate rate; HD, hemodialysis; PD, peritoneal dialysis; *, toxic metabolites can build up in severe ESRD.

Tanda vital pada pasien dengan penyakit ginjal harus diobservasi sebelum dan selama perawatan dental untuk melihat status kesehatan pasien. Pasien dengan kerusakan ginjal yang hebat kemungkinan memiliki gejala hipertensi. Untuk mendeteksi tekanan darah pada pasien yang sedang dialisis, dokter gigi harus mengetahui bahwa tidak boleh memakai alat tekanan darah karena dapat menghambat aliran darah. Obat-obatan intravena juga tidak boleh diberikan untuk mencegah thrombophlebitis karena dapat membahayakan koneksi vaskular (Bricker, et al., 1994). Pasien dengan gagal ginjal kronis lebih cenderung rentan terhadap infeksi, dokter gigi harus memeriksa pasien-pasien tersebut secara seksama untuk melihat adanya gejala infeksi oral dan manifestasi oral akibat memburuknya status fisik pasien. Mukosa harus diinspeksi untuk melihat perubahan warna. Kondisi gingiva dan periodontal harus dimonitor untuk 32

melihat tanda-tanda awal inflamasi. Skeling periodontal, profilaksis, dan fluoride topikal harus dilakukan bersamaan dengan instruksi untuk menyikat gigi dan flossing. Jaringan gingiva hiperplastik akibat terapi cyclosporine membutuhkan gingivoplasti untuk mengembalikan kontur marginal normal (Bricker, et al., 1994).

Tabel 8. Tinjauan Pertimbangan Dental Sebelum Operasi Dan Manajemen Klinis Pada Pasien Dengan Kelainan Ginjal Status Preoperatif Manajemen Perawatan dental seharusnya dilakukan dalam waktu 24 jam untuk memastikan koreksi optimal dari cacat Dialisis hidrasi, serum elektrolitis, urea nitrogen, kreatinin, dan koagulasi Pertimbangkan adanya heparin (yang memiliki waktu paruh 4-6 jam) dan efek antikoagulasinya. Hati-hati pada posisi pasien , jangan kompromi ekstrimitas yang memiliki situs akse, hindari menggunakan tangan dengan shunt untuk tekanan darah atau infuse medikasi. Kemungkinan adanya endokarditis bacterial Diskusikan antibiotik propilaksis dengan dokter pasien Pertimbangkan pasien memiliki resiko tinggi hingga terbukti sebaliknya, gunakan pakain proteksi (masker wajah, sarung tangan double, kacamata proteksi, tutup kepala, baju/gown proteksi). Semua instrument seharusnya yang sekali pakai atau yang sudah distrelisasi dengan autoclave, ksida etilen, atau degan dry heat. Perendaman pada instrument bersih harus benarbenar didisinfeksi menggunakan hipolorit (paling sedikit 10.000 ppm dari klorid bebas) sekali sehari. Selama digunakan, instrument seharusnya ditempatkan pada baki sekali pakai/steril. Gunakan rubber dam dianjurkan untuk meminimalisasi penyebaran semprotan aerosol. 33

Shunt

Hepatitis dan HIV

Hipertensi dan impaired response

Peralatan dan area operatori seharusnya dilap dengan disinfektan kamar operasi setelag perawatan pasien dilakukan. Monitor tekanan darah, sebelum operasi, ketika operasi, dan setelah operasi. Pertimbangan pramedikasi menggunakan obat antianxiety. Keparahan anemia penting diketahui jika bius total dilakukan Catat riwayat koagulasi, termasuk jumlah platelet, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan waktu perdarahan, karena kemungkinan manajemen koagulasi atau efek dari heparin-warfarin

Anemia dan hemoragi

Antisipasi formasi hematoma setelah prosedur traumatic (e.g. bedah periodontal atau alveolektomi). Jika akan dilakukan multiple ekstraksi, pertmbangkan perawatan areanya pada kunjungan bertama untuk mengetahui apakah memerlukan jahitan yang lebih lama dari biasanya. Dehiscence dari luka merupakan komplikasi yang sering terjadi. Perhatikan banyak manifestasi oral berhubungan dengan kelainan ginjal. Perhatikan kemungkinan patologik atau fraktur iatrogenic selama bedah mulut. Konsultasi dengan dokter utama untuk berdiskusi mengenai obat yang akan digunakan untuk perawtaan dental Perhatikan efek yang bersinergi dengan obat lain yang dikonsumsi pasien Pertimbangkan premedikasi dengan antimicrobial (tidak ada ) Saran Obat kumur nistatin 500.000 unit/ml empat kali sehari, sehari sebelum perawatan dental, pada harinya, dan 2 hari setelahnya). Catat area kultur dan sensitifitas untuk mengetahui terapi antibiotic yang paling tepat dalam perawatan. Mulai 34 dengan antibotik spectrum luas (e.g.

Osteodistrofi ginjal

Medikasi

Infeksi

amoxicillin 3 g 1 jam sebelum perawatan, lalu 500 mg setiap 8 jam untuk 1 atau 2 dosis). Pasien ini cendrung mudah mengalami infeksi, untuk itu, pertimbangkan premedikasi dengan agen antimicrobial. Terapi obat imunosupresi (untuk pasien transplantasi) Catat nilai CBC dan perbedaannya mengevaluasi nilai limfosit dan neutrofil. untuk

Terapi imunosupresi menurunkan granulosit, sel T, IgG, IgA. Antisipasi hyperplasia gingival pada pasien dengan cyclosporine. Antisipasi kemungkinan krisis hipoadrenal (monitor tekanan darah selama perawatan). Pertimbangkan sterois antisipasi beban stress. Terapi steroid Observasi pasien mengenai tanda aspek diabetogenik dari terapi steroid. Ingat bahwa steroid mencegah terjadinya respon inflamasi. supplemental menurut

35

BAB III TUGAS

1. Kandidiasis adalah infeksi pada mulut yang paling umum yang terjadi pada mukosa pasien. Kandidiasis oral diklasifikasikan menjadi (Burket, 2008): a. Kandidiasis pseudomembran akut Kandidiasis ini biasanya disebut juga sebagai thrush. Secara klinis,

pseudomembranosus kandidiasis terlihat sebagai plak mukosa yang putih atau kekuningan yang dapat dihilangkan dan meninggalkan permukaan yang berwarna merah. Kandidiasis ini terdiri atas sel epitel deskuamasi, fibrin, dan hifa jamur dan umumnya dijumpai pada mukosa labial, mukosa bukal, palatum keras, palatum lunak, lidah, jaringan periodontal dan orofaring. Keberadaan kandidiasis pseudomembranosus ini sering dihubungkan dengan penggunaan kortikosteroid, antibiotik, xerostomia, dan pada pasien dengan sistem imun rendah seperti HIV/AIDS.

36

Gambar.Kandidiasis pseudomembran (http://www.indianjnephrol.org).

b. Kandidiasis eritematus Biasanya dijumpai pada mukosa bukal, palatum, dan bagian dorsal lidah dengan permukaan tampak sebagai bercak kemerahan. Penggunaan antibiotik spektrum luas maupun kortikosteroid sering dikaitkan sebagai etiologi. Pasien yang menderita kandidiasis ini mengeluh adanya rasa sakit seperti terbakar. c. Kandidiasis hiperplastik Kandidiasis ini sering disebut juga sebagai kandida leukoplakia yang terlihat seperti plak putih pada bagian komisura mukosa bukal atau tepi lateral lidah yang tidak bisa hilang bila dikerok. Kondisi ini dapat berkembang menjadi displasia berat atau keganasan. Kandida leukoplakia ini dihubungkan dengan kebiasaan merokok. d. Angular cheilitis 37

Keilitis Angularis atau disebut juga angular stomatitis atau perleche merupakan infeksi campuran bakteri dan jamur Kandida yang umumnya dijumpai pada sudut mulut baik unilateral maupun bilateral. Sudut mulut yang terinfeksi tampak merah dan sakit. Keilitis angularis dapat terjadi pada penderita anemia defisiensi zat besi, defisiensi vitamin B12, dan pada gigi tiruan dengan vertikal dimensi oklusi yang tidak tepat. e. Median Rhomboid Glositis Median Rhomboid Glositis merupakan bentuk lain dari atrofik kandidiasis yang tampak sebagai daerah atrofik pada bagian tengah permukaan dorsal lidah, dan cenderung dihubungkan dengan perokok dan penggunaan obat steroid yang dihirup.

2. Uremic frost

Uremic frost yaitu lapisan keputihan pada kulit tubuh dan lengan yang dihasilkan oleh kristal urea residual yang tersisa ketika keringat berevaporasi (Little, et.al., 2008). Pada rongga mulut juga dapat ditemui lesi uremic frost. Pasien juga sering mengeluhkan dry mouth, bau mulut (uremic odor) dan rasa metalik, terutama di pagi hari (Briker et.al., 1994).

38

Gambar. Uremic frost (http://www.indianjnephrol.org)

Gambar. Petechiae (di bagian palatal) pada pasien ESRD (Little, et.al., 2008).

3. Mucormycosis

Istilah mucormycosis merujuk pada suatu kelompok penyakit yang disebabkan oleh ubiquitous, jamur saprofit orde Mucorales. Organisme ini merupakan penghuni umum dari tanah dan dapat ditemukan dalam rongga hidung manusia yang sehat. Infeksi timbul karena terhirupnya spora yang disimpan dalam alveolus paru-paru. Cara infeksi yang lain yaitu kontaminasi jaringan trauma dan inokulasi langsung. Infeksi dapat hadir dalam berbagai bagian anatomi, khususnya paranasal, rhino-orbital, rhinocerebral, cerebral pulmonary, dan daerah gastrointestinal. Juga dapat muncul pada ekstremitas jaringan lunak atau penyakit yang disebarluaskan. Istimewanya, jamur ini mengikis arteri sehingga menyebabkan trombosis dengan nekrosis pada jaringan sekitar. Respon host

39

supuratif daripada granulomatosa, meskipun bentuk kronis dari mucormycosis kadangkadang terjadi. Infeksi sering dikaitkan dengan asidosis akibat diabetes, diare, atau uremia. Asidosis diabetes dianggap kondisi predisposisi dari 50-70% pasien yang dilaporkan degan mucormycosis sebelum pandemi HIV. Baru-baru ini, hal yang sering terlihat berhubungan dengan infeksi HIV dan AIDS. Kondisi predisposisi lainnya blood dycrasis, penyakit ganas, hepatitis, luka bakar, malnutrisi, iradiasi, TB, dan pemberian obat kortikosteroid dan imunosupresan. Mucormycosis sangat tidak mungkin ditularkan antar manusia (Burket,2008).

Oral Consideration Sekitar 60% kasus, gejalanya melibatkan oral, otak, struktur wajah. Ulserasi oral dan sinusitis dan atau facial cellulitis telah dijelaskan dalam mucormycosis. Mortalitas dari mucormycosis tinggi sekitar 50-100%, dan ada sedikit keraguan bahwa sifat nature fuminating, keterlambatan diagnosis, dan kurangnya jumlah terapi rasional mengakibatkan prognosis yang buruk. Gejala penting lainnya termasuk blood-tinged nasal discharge, nyeri unilateral pada wajah, dan mati rasa. Kadangkadang, gejala yang paling signifikan adalah ulserasi nekrotik atau peluruhan mukosa rahang atau palatal (Burket, 2008).

Diagnosis and management Diagnosis dikonfirmasi dengan apusan dan demonstrasi histologis dari jaringan invasi oleh hifa. Magnetic resonance imaging dapat menunjukan penebalan mukosa dengan kehancuran yang merata dari dinding antral pada infeksi sinus. 40

Pengelolaan mucormycosis terdiri dari deteksi asidosis atau faktor predisposisi lain, terapi antijamur menggunakan amphotericin B, dan bedah debridement (Burket, 2008). Selain itu, Mucor juga disebut-sebut menyebabkan infeksi pada pasien dengan gagal ginjal. Namun mucormycosis ini sangat jarang terjadi. Infeksi yang disebabkan Mucor biasanya juga disertai oleh peranan Aspergillus

(http://emedicine.medscape.com/article/222551-overview).

Gambar. Pasien dengan kelainan sistemik yang terkena infeksi Mucor (mucormycosis) (http://emedicine.medscape.com/article/222551-overview). 4. Oral Malodor Gejala awal yang sering muncul ketika pasien mengalami gagal ginjal adalah oral malodor. Gejala ini sering dikeluhkan pasien pada pagi hari pada pasien dengan uremia, berupa bau amonia. Disebut juga dengan uremic fetor atau ammoniacal odor, terjadi karena konsentrasi urea dalam rongga mulut meningkat. Spesies Klebsiela dan mikroorganisme lainnya yang terdapat dalam rongga mulut yang memiliki enzim urease, akan memecah urea menjadi amonia yang bersifat basa.

41

DAFTAR PUSTAKA

Bricker, et al. 1994. Oral Dignosis, Oral Medicine, and Treatment Planning 2nd ed. Malvern, Pennsylvania : Lea & Febiger. Greenberg, Martin S. and Michael Glick. 2003. Burkets Oral Medicine Diagnosis and Treatment 10th ed. BC Decker Inc. 42

Guyton, Arthur C and John A. Hall. 2006. Textbook of Medical Physiology 11 th ed. Philadelphia: Elsavier Inc. Little, et al. 2008. Dental Management of the Medically Compromised Patient. St. Louis: Mosby Elseiver. Pp180-192. Mc Phee, S.J and William F. Ganong. 2006. Pathophysiology of Disease- An Introduction to Clinical Medicine. Lange Medical Books-McGraw-Hill. NICE Clinical guideline 73-September .2008. Chronic Kidney Disease. National Institute for Health and Clinical Exellence. www.nice.org.uk : London. Saladin, Kenneth S. 2003. Anatomy and Physiology: The Unity of Form and Function 3 rd ed. McGraw-Hill Companies. Thierney, et. al. 2006. Current Medical Diagnosis & Treatment, 45th Edition. McGraw-Hill. http://www.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/p4_class_g1.htm http://wrghar.blogspot.com/2009/09/ciri-ciri-jamur.html http://emedicine.medscape.com/article/222551-overview

43

Anda mungkin juga menyukai