Anda di halaman 1dari 8

BAB I Pendahuluan Fungsi lobus frontalis berhubungan dengan aspek tingkah sindroma laku dan

berpengaruh dalam mewujudkan kepribadian dan adaptasi sosial . Suatu trauma kepala sering kali menimbulkan lobus frontalis dan memberikan manifestasi klinis yang bermacam macam sehingga sulit untuk membuat diagnosa klinis .(1,3) Gejala yang ditimbulkan sering dikacaukan dengan gejala psikiatrik . Pasien dengan lesi lobus frontal yang timbul perlahan lahan sering menimbulkan gejala yang samar ; diperlukan pemahaman tentang fungsi lobus frontalis dan sindroma yang terjadi untuk mengevaluasi suatu keadaan sindroma lobus frontalis, karena gangguan status mental berupa gangguan memori, gangguan atensi, perubahan tingkah laku, gangguan fungsi control dan eksekusi , merupakan gejala yang penting pada lobus frontalis, selain gangguan akibat kenaikan tekanan intracranial.(1,2,3,4,5) Lobus frontalis merupakan lobus terbesar dari otak kita yang berhubungan dengan aspek tingkah laku . Sindroma lobus frontalis adalah suatu perubahan pola perilaku, emosi dan personality yang terjadi akibat kerusakan otak bagian depan . Kejadian yang dapat menyebabkan sindroma ini diantaranya adalah cedera kepala, sindroma vascular, tumor, dementia frontotemporal, dan akibat pembedahan karena aneurisma. Manifestasi klinis yang timbul amat beragam namun berinti pada ketidakmampuan untuk mengatur perilaku . Terapi yang kita lakukan sampai saat ini adalah mengobati penyakit yang mendasari dari terjadinya sindroma lobus frontalis tersebut , konselling keluarga , dan pembedahan bila diperlukan .

BAB II Tinjauan Pustaka

II. 1 Defenisi Sindroma lobus frontalis adalah suatu perubahan pola perilaku, emosi dan personality yang terjadi akibat kerusakan otak bagian depan . Kejadian yang dapat menyebabkan sindroma ini diantaranya adalah cedera kepala, sindroma vascular, tumor, dementia frontotemporal, dan akibat pembedahan karena aneurisma .(1) II. 2 Etiologi dan Patofisiologi Faktor penyebab utama dari sindroma lobus frontalis sampai saat ini masih cedera kepala . Walaupun angka insidens yang pasti sulit didapat , namun para penulis cukup sepakat akan hal tersebut .(1,3,4). Lobus frontalis merupakan sepertiga bagian dari kortek serebri manusia . Setiap bagian lobus frontalis dibagi menjadi 3 daerah, yaitu kortek motor primer , kortek premotor dan kortek prefrontal .(1,2,6) Kortek motor primer terutama untuk gerakan gerakan voluntary . Kerusakan pda daerah ini akan menyebabkan kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan . Kortek premotor berhubungan dengan kortek motor primer dan penting untuk integrasi dan program program gerakan yang berurutan . Kortek pre frontal dibagi menjadi 3 regio yaitu , region orbito-frontal ( anterior lobus frontal ) , region dorsolateral, serta cingulum anterior . Terdapat lima sirkuit yang diketahui , yaitu : sirkuit motorik pada area motorik, sirkuit okulomotor pada lapangan penglihatan frontal, dan tiga sirkuit pada daerah kortek pre frontal ; yaitu sirkuit dorsolateral pre frontal, sirkuit orbitofrontal pre frontal, serta cingulatum anterior . Setiap sirkuit mempunyai serabut proyeksi ke struktur striata ( nucleus caudatus, putamen, dan striatum anterior ) , dan dari striata berhubungan ke globus pallidus dan substansia nigra , proyeksi ke nucleus thalamus dan kembali ke lobus frontal .

Sirkuit dorsolateral dimulai dari korteks pre frontal dorsolateral - nucleus kaudatus dorsolateral - globus pallidus dorsomedial lateral - nucleus thalamus dorsomedial dan anteroventral - regio dorsolateral pre frontal . Kerusakan pada sirkuit ini menyebabkan gangguan fungsi eksekutif , diantaranya kesulitan mempelajari informasi baru , gangguan program gerakan motor, gangguan kelancaran verbal dan non verbal , gangguan untuk menyusun kembali bentukyang kompleks . Sirkuit ini menerima inpuls dari serabut afferent area prefrontal 4,6 dan area parietal 7a yang berperan dalam proses penglihatan. Serabut aferen dari sistim limbic diterima melalui proyeksi dopamine dari substansia nigra. Sirkuit orbitofrontal dimulai dari kortek orbitolateral - nucleus caudatus ventromedial - globus pallidus dorsomedial medial - nucleus thalamus ventroanterior dan mediodorsal - kortek orbitolateral . Kerusakan pada sirkuit ini menyebabkan gangguan disinhibisi , berupa gangguan perilaku berupa mudah , emosi yang labil dan obsesif kompulsif . Sirkuit ini menerima serabut aferen dari area temporal 22 dan orbito frontal 12 yang terdiri dari bagian sensorik heteromodal dan para limbic . Sirkuit cingulatum anterior dimulai dari kortek cingulatum anterior - nucleus akumbens - globus pallidus rostrolateral - thalamus medio dorsal - kortek cingulatum anterior . Kerusakan pada sirkuit ini ditandai dengan apati, penurunan kemauan dan tidak adanya emosi . Sirkuit ini menerima serabut afferent hipokampus , area enttorhinal 28 dan area perirhinal 35.(1) Selain sirkuit sirkuit diatas , juga terdapat jalur langsung dan jalur tidak langsung yang turut berperan dalam fungsi lobus frontalis .(1) II. 3 Epidemiologi Di Amerika Serikat sering terjadi kejadian sindroma lobus frontalis tetapi tidak ada data yang tersimpan, tetapi untuk kejadian ini umumnya penyebabnya adalah karena trauma kepala, dan diikuti dengan penyebab lain yaitu : Tumor otak ( Metastatic Disease to the Brain dan EEG di tumor otak) Degenerative dementias termasuk Peny. Alzheimer, Dementia dengan Lewy Bodies, Parkinson dementias dan frontotemporal dementias Peny. Cerebrovascular Peny. Psikiatrik seperti skizofrenia dan depresi mayor

Sebagai tambahan, penyakit neurology atau psikiatrik apapun dapat mempengaruhi lobus frontalis (multiple sclerosis, CNS lupus) kemungkinan berhubungan disfungsi lobus frontalis.

Disfungsi lobus frontalis berhubungan dengan level alcohol dalam darah dan timbul selama intoksikasi akut dengan banyak obat sampingannya.

Dari aspek gender, traumatic brain injury lebih sering terjadi pada laki laki daripada perempuan di Amerika Serikat dan di belahan dunia lain. Dari segi umur lebih sering terjadi pada remaja dan dewasa muda dan penyebab utamanya ini adalah mental retardasi, traumatic brain injury, dan intoksikasi obat. Pada pasien usia tengah baya, tumor otak, peny. Cerebrovascular, infeksi seperti HIV, sclerosis multiple, dan onset dini degeneratives dementia sering terjadi. II.4 Manifestasi Klinis Sindroma lobus frontalis adalah berupa gejala gejala ketidakmampuan untuk mengatur perilaku seperti impulsive, tidak ada motivasi, apati, disorganisasi, deficit memori dan atensi , disfungsi eksekutif, ketidakmampuan mengatur mood-nya, mudah lupa, perkataan yang sering menyakitkan hati ataupun kotor, malas / tidak mau mengerjakan aktivitas apapun juga , sulit diatur, selalu merasa paling benar .(1,2,3) II.5 Pemeriksaan a. Pemeriksaan Klinis Diagnosa klinis suatu sindroma lobus frontalis cukup sulit ; karena disfungsi lobus prefrontal sering tidak terdeksi pada pemeriksaan neurology standar, maupun pemeriksaan status mental serta tes neuropsikologi konvensional . Ada beberapa pemeriksaan klinis , tes status mental dan skala neurobehavior yang harus digunakan pada keadaan ini (1) 1. kontrol dan program gerakan motor : a. penekanan pada impuls motorik dan reflek : b. c. reflek menggenggam tes go / no go

gerakan motorik cepat: rhytm tapping gerakan serial yang kompleks Lurias hand sequences

Alternating pattern

2. kontrol mental : a. trial making test b. kemampuan mengulang secara terbalik kata, hari, bulan 3. kelancaran dan kreativitas dengan five point test 4. memori dengan rentang digit dan word list learning 5. tingkah laku dan emosi ; 12 items dari neurobehavioral rating yang meliputi : gangguan emosi, depresi, gerakan yang lambat , afek tumpul, mood yang labil, disinhibisi, tidak dapat bekerja sama, kegembiraan kurang tepat . b. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah dilakukan dan di banyak kasus, diperlukan tes fungsi tiroid, level B-12, dan serologi untuk kasus sifilis. Pemeriksaan Radiologis a. CT Scan diperlukan untuk mendiagnosa perdarahan akut dan ventriculomegaly. b. MRI lebih sensitive dan spesifik daripada CT Scan untuk melihat tumor. c. EEG dapat dipertimbangkan jika terdapat kejang, terutama jika sering terjadi kejang pada pasien post injury. II. 6 Terapi Terapi pada suatu sindroma lobus frontalis , adalah dengan mengatasi gejala gejala yang timbul sesuai dengan underlying desease yang diketahui, dan kemudian dilakukan terapi konvensional ataupun tindakan pembedahan. Beberapa penulis selain mengatakan bahwa terapi dari keadaan ini adalah tidak spesifik , namun yang harus diperhatikan adalah konselling terhadap keluarga pasien , karena keluarga mereka yang sekarang mengalami sindroma ini bukanlah keluarga mereka yang dahulu, dalam artikata sifat, perilaku, bahkan keseharian mereka, sedikit banyak telah berubah.(1,2,3,4,5) yang berlebihan , perhatian yang kurang , perencanaan yang kurang, penilaian diri sendiri yang

.II. 7 Prognosis Tergantung pada etiologi dari penyebabnya. Jika perdarahan semakin banyak maka diagnosa semakin buruk.

BAB III Kesimpulan Sindroma lobus frontalis merupakan suatu sindroma yang diakibatkan oleh terganggunya fungsi lobus frontal . Banyak macam kejadian yang dapat menyebabkan hal tersebut , namun faktor tersering adalah trauma kepala . Diperlukan anamnesa dan pemeriksaan klinis khususnya pemeriksaan fungsi luhur yang sangat teliti agar kasus kasus seperti ini dapat dideteksi . Terapi yang dilakukan pada saat ini masih membutuhkan kesabaran dan kerjasama yang baik antara pasien, dokter , dan keluarga pasien agar didapatkan hasil pengobatan yang optimal .

DAFTAR PUSTAKA

1. Cummings JL, Miller BL . The human Frontal Lobe ; function and disorder 1st ed. New York : The Guilford Press : 1999. 2. Cummings JL, Vinters H, Felix J. The neuropsychiatry of Alzheimer disease and related dementia .1st ed. United Kingdom : Martin Dunitz Press: 2003 p 217-20 3. Thimble MH. Psychopathology of frontal lobe syndrome . Seminars in Meurology ; vol.10, No.3 Benraska : September 1990 4. Frontal loce syndrome .Available at : htt;://rickets.unl.edu/tbi/frontal/ 5. Davies S. Frontal lobe syndrome a behavioral problem . Seminars in Neurology : Pittsburg : vol 5, No. 8 Februari 2001 . 6. Waxman SG. Correlative neuroanatomy.23 ed.New York: Lange Med. Publ: 1996 p 195-200

Anda mungkin juga menyukai