PERTUMBUHAN EKONOMI
Oleh:
Sulistiyanti
1
adalah melalui investasi modal insani/human capital investment.1
Investasi dalam human capital menghasilkan pengembangan
teknis, proses-proses produksi dan produk-produk baru serta
meningkatkan efisiensi ekonomi. Sebagaimana perkembangan
phisical capital, human capital turut andil dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi akan
mendorong lebih banyak penggunaan input-input dan
terciptanya kesempatan kerja yang lebih luas. Meningkatnya
pendapatan juga dapat diartikan dengan semakin besarnya
kesempatan untuk investasi modal insani, baik dalam konteks
individu maupun agregat.
Pendidikan
1
Modal insani dapat diartikan sebagai kemampuan dan keahlian manusia dalam suatu
kegiatan produktif, untuk memperoleh pendapatan dan standar kehidupan yang layak.
Dalam Dictionary of Economics human capital diartikan sebagai ‘the body of human
knowledge that contributes “know how” to productive activity’.
2
Pendidikan formal diselenggarakan oleh lembaga-lembaga
pendidikan (sekolah). Pendidikan formal di Indonesia berjenjang
mulai dari pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs), pendidikan
menengah (SMA/MA dan SMK/MAK) dan pendidikan tinggi.
Sedangkan kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga
dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
3
Kemiskinan
4
alam, akses terhadap partisipasi politik, ataupun akses terhadap
faktor-faktor produksi fisik dan non fisik (pendidikan dan
kesehatan). Kekurangan dalam pendapatan membuat seseorang
lebih berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan pokok. Mereka
kurang memberi perhatian pada gizi, pendidikan, ataupun
perawatan kesehatan. Padahal elemen-elemen ini merupakan
aset yang cukup penting dalam matapencaharian seseorang.
Seseorang dengan tingkat pendidikan rendah kurang terakomo-
dasi dalam pasar kerja yang memberi jaminan upah layak.
Pendapatan yang rendah membuat penduduk miskin kurang
memperhatikan atau tidak dapat mengakses pendidikan dan
kesehatan dengan baik, sehingga produktivitaspun rendah, dan
oleh karena itu pendapatan yang diperolehpun rendah. Situasi ini
berjalan dari satu generasi ke generasi berikutnya, membentuk
sebuah perangkap kemiskinan.
5
berpendidikan kedokteran misalnya, bisa berpraktek dokter,
berpendidian akuntansi dapat bekerja sebagai akuntan, dan
seterusnya. Pendidikan merupakan bagian dari modal
insani/human capital2 yang berperan dalam peningkatan produk-
tivitas seseorang. Seseorang bekerja sebagai nelayan karena dia
punya akses untuk ke laut. Demikian juga seseorang dapat
menjadi pengusaha apabila dia punya tabungan cukup atau
punya akses terhadap sumber-sumber kredit.
2
Richard Goode (1959) mengatakan bahwa human capital consisted of knowledge,
skills, attitudes, aptitudes and other acquired traits that contribute to production (Mughal,
2007). Menurut Theodore W. Schultz (1961) modal insani dapat dikembangkan melalui: i)
pendidikan formal, ii) program-program pembelajaran dan pelatihan, iii) pelatihan kerja
(on the job training), iv) fasilitas kesehatan, dan v) migrasi dan mobilitas kerja.
6
berkembang biaya-biaya pendidikan per murid di jenjang yang
lebih tinggi jauh melampaui biaya pendidikan di tingkat dasar
(Todaro 2000). Selain hambatan finansial, penduduk miskin juga
terhambat pada standard kualifikasi yang dimiliki. Hal ini dise-
babkan karena kemiskinan telah memaksa mereka untuk bekerja
lebih keras, dan mengabaikan kualitas nutrisi dan kesehatan
keluarga mereka sehingga kemampuan anak-anak keluarga
miskin dalam menyerap pelajaran relatif rendah. Keterkaitan
antara pendidikan (sebagai bagian dari modal insani) dengan
kemiskinan digambarkan dalam Gambar 1 di bawah ini.
7
Sebaliknya yang terjadi pada mereka yang beruntung
perekonomiannya, mereka dapat mengkonsumsi nutrisi bergizi,
memelihara kesehatan, memfasilitasi anak-anak mereka dengan
buku-buku, uang saku, les, maupun peralatan-peralatan yang
dapat menunjang pembelajaran mereka sehingga memiliki
kesempatan yang lebih besar untuk mencapai pendidikan tinggi
dan kesempatan kerja yang lebih baik. Jadi pola distribusi
pendapatan yang timpang akan berimbas pula pada pola
distribusi investasi human capital, sehingga tanpa intervensi
kebijakan dari pemerintah, maka sistem akan melestarikan
ketimpangan tersebut.
8
mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi. Ini
merupakan manfaat pendidikan secara individual (private bene-
fits of education). Kedua biaya-biaya sekolah yang harus
ditanggung oleh siswa dan atau keluarganya, baik yang bersifat
langsung maupun tidak langsung. Dari faktor pertama yang
membuat seseorang merasa perlu untuk bersekolah, dapat
ditarik kesimpulan bahwa permintaan terhadap pendidikan
merupakan permintaan turunan (derived demand) dari
permintaan terhadap kesempatan kerja. Bagi sebagian besar
masyarakat, terutama masyarakat miskin, pendidikan tidak
sekedar untuk alasan-alasan nonekonomis seperti reputasi,
gengsi, atau kepuasan batin, melainkan untuk alasan ekonomis.
Mereka menginginkan pendidikan sebagai wahana dalam rangka
‘mengamankan’ kesempatan mereka untuk memperoleh
pekerjaan dengan penghasilan baik. Manfaat-manfaat yang
mungkin dapat diperoleh inilah yang kemudian dipertimbangkan
dengan biaya-biayanya.
9
Tabel 1 menunjukkan jumlah angkatan kerja3, pekerja dan
penganggur menurut tingkat pendidikan yang diselesaikan.
Sebagian besar angkatan kerja di Indonesia hanya berpendidikan
SD. Dari 106,28 juta angkatan kerja pada 2006, sebesar 53,13%
hanya berpendidikan maksimum Sekolah Dasar. Lulusan SMP
20,61%, lulusan SMA dan SMK 20,64 sisanya 5,62% lulusan
perguruan tinggi. Angkatan kerja yang terserap di pasar kerja,
sebanyak 95,18 juta, dengan komposisi 55,63% maksimum SD,
20,01% lulusan SMP, 18,8% lulusan SMA dan SMK, 5,57% lulusan
perguruan tinggi. Jika dilihat dari prosentasenya, lulusan
universitas yang terserap di pasar kerja sebesar 89,52%. Sedang
lulusan SMP hanya 0,87% saja.
3
Angkatan kerja didefinisikan sebagai penduduk usia kerja (berumur 15 tahun ke atas)
yang selama seminggu sebelum pencacahan, bekerja atau punya pekerjaan tetapi
sementara tidak bekerja, dan mereka yang tidak bekerja tetapi mencari pekerjaan.
Sedangkan pekerja adalah angkatan kerja yang beruntung memperoleh pekerjaan. Pen-
duduk usia kerja yang tidak masuk ke dalam pasar kerja, tidak tergolong dalam angkatan
kerja. Mereka dikelompokkan sebagai bukan angkatan kerja, tercakup di dalamnya
adalah pelajar/mahasiswa, pengurus rumah tangga, dan penerima pendapatan selain
pekerja seperti pensiunan.
10
Seseorang merasa perlu untuk sekolah, karena ada harapan
untuk dapat terserap di pasar kerja yang dapat menjamin pene-
rimaan upah cukup. Tenaga kerja dengan pendidikan formal
tinggi lebih banyak mendapat kesempatan kerja di sektor
modern dengan upah tinggi. Berikut ini adalah tabel yang
menunjukkan tingkat penyerapan tenaga kerja menurut pen-
didikan di sektor formal dan informal pada tahun 2006.4
Sektor Usaha
Pendidikan
Formal % Informal % Total
Tidak/belum pernah 339.1 4.795.31 5.134.4
sekolah 56 6,61 4 93,39 70
1.349.2 10.605.0 11.954.
Tidak/belum tamat SD 67 11,29 70 88,71 337
5.838.4 29.075.5 34.914.
SD 88 16,72 35 83,28 023
5.184.9 12.001.1 17.186.
SMTP Umum 04 30,17 21 69,83 025
340.9 845.06 1.186.0
SMTP Kejuruan 59 28,75 1 71,25 20
7.257.5 5.661.58 12.919.
SMTA Umum 24 56,18 3 43,82 107
4.138.5 2.111.75 6.250.2
SMTA Kejuruan 03 66,21 7 33,79 60
1.030.3 1.123.3
Diploma I/II 80 91,72 92.991 8,28 71
1.181.8 200.77 1.382.6
Diploma III 46 85,48 7 14,52 23
3.011.3 395.38 3.406.6
Universitas 10 88,39 9 11,61 99
29.672. 65.784.5 95.456.
Jumlah 337 98 935
4
Pekerja digolongkan sebagai pekerja sektor formal apabila status pekerjaan utamanya
berusaha dengan pegawai/buruh atau sebagai pekerja/buruh/karyawan.
11
Seperti terlihat dalam Tabel 2, semakin tinggi pendidikan
pekerja, semakin besar proporsi yang terserap di sektor formal.
Dari 5,13 juta tenaga kerja tidak bependidikan pada tahun 2006,
sebesar 93,39% bekerja di sektor informal. Lebih dari 69%
pekerja berpendidikan dasar bekerja di sektor informal.
Sebaliknya tenaga kerja berpendidikan menengah ke atas, lebih
dari separoh (>50%) bekerja di sektor formal. Proporsi tenaga
kerja berpendidikan tinggi yang bekerja di sektor formal sebesar
91,72% untuk lulusan Diploma I/II, 85,48% untuk Diploma III dan
88,39% untuk universitas.
12
semakin besar seseorang untuk memperoleh pekerjaan.
Karena kemungkinan sukses di dunia kerja berbanding
terbalik dengan tingkat pengangguran, maka kita dapat
mengungkap bahwa tingkat permintaan terhadap
pendidikan, katakanlah SMA/SMK berbanding terbalik
dengan tingkat pengangguran di kalangan SMA/SMK.
3. Biaya-biaya langsung pendidikan individual. Biaya-biaya ini
meliputi SPP, buku-buku, pakaian seragam, transportasi,
dan ongkos-ongkos lainnya. Bagi penduduk miskin, biaya-
biaya ini cukup memberatkan. Semakin mahal biaya-biaya
pendidikan individual, semakin rendah permintaan
pendidikan.
4. Biaya-biaya pendidikan yang bersifat tidak langsung atau
opportunity cost. Investasi pendidikan bagi seorang anak
bukan hanya meliputi biaya-biaya langsung ataupun biaya-
biaya moneter yang harus dikeluarkan secara nyata, akan
tetapi juga biaya-biaya yang berupa pendapatan potensial
yang harus dikorbankan, apalagi bila dia sudah dapat
memberikan kontribusi terhadap penghasilan keluarga.
Kita sudah dapat menduga bahwa permintaan pendidikan
berhubungan terbalik dengan opportunity cost.
13
kebutuhan/permintaan tenaga kerja juga bergeser ke arah yang
lebih spesifik. Sementara itu dari sisi penawaran tenaga kerja,
terdapat bermacam-macam tipe karakter; tenaga kerja
berpendidikan rendah, sedang ataupun berpendidikan tinggi.
Tenaga kerja berpendidikan menengah dan berpendidikan tinggi
sekalipun berbeda spesifikasinya. Apabila spesifikasi yang
dibutuhkan (permintaan) tidak sesuai dengan spesifikasi yang
ditawarkan, maka terjadilah apa yang dinamakan pengangguran
terdidik. Bisa juga terjadi tenaga kerja berpendidikan tinggi
menempati posisi yang seharusnya ditempati oleh tenaga kerja
dengan pendidikan lebih rendah, yang biasa disebut educational
deepening (Perkins et al, 2001:332). Ini merupakan sebuah
pemborosan sumber daya, karena investasi yang telah dilakukan
untuk pendidikan yang seharusnya dapat digunakan untuk hal
yang lebih produktif, menjadi sia-sia.
Diplom
Tdk a, Unive
Tahu r-
sek&blm SD SMP SMA SMK JUMLAH
n Akade
tamat sek. sitas
mi
2.458, 2.435, 1.037,
2003 1062,9 2.495,9 202,8 245,9 9.939,3
9 8 1
2.690, 2.441, 1.254,
2004 1004,3 2.275,3 237,3 348,1 10.251,4
9 2 3
Feb- 2.680, 2.680, 1.230,
1012,8 2.541,0 322,8 385,4 10.854,4
2005 8 8 8
Nop- 3.151, 3.069, 2.037,
938 2.729,9 308,5 395,5 12.630,0
2005 2 3 6
Feb- 2.860, 2.842, 1.204,
849,5 2.675,5 297,2 375,6 11.104,8
2006 0 9 1
Agst- 2.730, 2.851, 1.305,
782 2.589,7 278,1 395,6 10.932,1
2006 0 5 2
Feb- 2.643, 2.630, 1.114,
666,1 2.753,5 330,3 409,9 10.548,0
2007 1 4 7
Agst- 2.264, 2.532, 1.538,
532,88 2.179,8 397,2 566,6 10.011,2
2007 2 2 3
Feb- 528,2 2.216,7 2.166, 2.204, 1.165, 519,9 626,2
9.427,6
14
2008 6 4 6
15
Jika dilihat dari komposisinya, penganggur pada Februari
2008 yang terbanyak adalah angkatan kerja yang berpendidikan
SD sebesar 2,2 juta orang (23,51%), SMA 2,2 juta (23,38%), SMP
2,1 juta (22,98%) dan SMK 1,2 juta (12,36%), Universitas 626,2
ribu (6,6%) dan Diploma/Akademi 519,9 ribu (5,5%). Sedangkan
sebelumnya pada tahun 2003, penganggur terbanyak dari
lulusan SD 2,496 juta (25,11%), lulusan SMP 2,459 juta (24,74),
lulusan SMA 2,436 juta (24,51%), penganggur tak terdidik 1,063
juta (10,69%), lulusan SMK 1,037 juta (10,43%) dan lulusan
Universitas serta Diploma/Akademi masing-masing 245,9 ribu
dan 202,8 ribu (masing-masing sekitar 2%). Jadi benar bahwa
pendidikan yang sangat rendah lebih berpeluang untuk menjadi
penganggur.
16
Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi
17
th)
18
the CIS 7
5
HDI merupakan indikator yang diperkenalkan oleh UNDP pada 1990 untuk mengukur
kesejahteraan yang lebih universal. HDI ini kemudian di Indonesiakan menjadi Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). IPM disusun dari tiga komponen yaitu: lamanya hidup,
diukur dengan harapan hidup pada saat lahir, tingkat pendidikan diukur dengan
kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk 15 tahun ke atas (dengan bobot 2/3)
dan rata-rata lamanya sekolah (dengan bobot 1/3), dan tingkat kehidupan layak diukur
dengan pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan purchasing power parity (PPP
rupiah).
19
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi dalam human
capital selain mempengaruhi produktivitas individual, juga
memiliki dampak eksternal secara sosial. Pendidikan yang lebih
tinggi membuat tingkat kesehatan publik lebih baik, kriminalitas
lebih rendah, lingkungan yang lebih baik, partisipasi politik
masyarakat lebih luas, yang semuanya berdampak pada pertum-
buhan ekonomi yang lebih baik.
20
macro
micro
Increased
earnings of
neighbors
21
dengan peningkatan produktivitas individual maupun
masyarakat, dan meningkatnya tingkat partisipasi kerja
penduduk, maka dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan (dan kesehatan), sebagai bagian dari human
capital dapat mengubah cara berpikir seseorang menjadi lebih
imajinatif, kreatif, dan sistematis, serta lebih cepat dalam
menyerap informasi dan menggunakannya sehingga aktivitas
yang dikerjakan bisa dilakukan dengan efisien.
6
Seperti dicanangkan dalam deklarasi internasional mengenai millenium development
goals pada tahun 2000 bahwa diharapkan pada tahun 2015 kemiskinan dan kelaparan di
negara-negara berkembang sudah dapat diberantas hingga 50% (goal 1) dan semua
anak di manapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar (goal 2) (United Nations,
2008:12)
22
struktural dalam penciptaan kesempatan kerja7, mengurangi
pengangguran dan menurunkan tingkat kemiskinan. Dalam skala
mikro, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan
modal insani, produktivitas tenaga kerja, upah/pendapatan dan
menurunkan kemiskinan. Keterkaitan antara pertumbuhan
ekonomi, kesempatan kerja dan kemiskinan dapat digambarkan:
Economic
growth
Increased Productive
productive capacity
capacity
Higher income of
7
Prosentase perubahan kesempatan thekerjapoor
yang diakibatkan oleh setiap persen
pertumbuhan ekonomi menunjukkan elastisitas kesempatan kerja (employment elasticity)
23
Sumber: Islam, Rizwanul, 2004
24
Manpower planning mendasarkan diri pada anggapan
bahwa kebutuhan perekonomian untuk tenaga kerja terdidik
dapat diprediksi dan pertumbuhan perencanaan sistem
pendidikan untuk menghindari kekurangan-kekurangan tenaga
kerja yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan
surplus tenaga kerja yang memboroskan sumber daya
pendidikan sehingga memperbanyak pengangguran terdidik
ataupun ‘brain drain’.
25
pertama kita menyesuaikan stok tenaga kerja sekarang dengan
mempertimbangkan pengunduran diri, kematian, emigrasi, dan
penarikan kembali dari angkatan kerja. Selanjutnya,
memproyeksikan kenaikan penawaran tenaga kerja melalui
output dari sistem sekolah, immigrasi, dan angkatan kerja yang
baru masuk. Proyeksi penawaran tenaga kerja dibandingkan
dengan proyeksi persyaratannya. Jika terjadi gap, harus
dilakukan percepatan enrollment sekolah. Adakalanya
menggunakan cara lain yaitu dengan meng-upgrade pekerja-
pekerja kurang trampil atau memasukkan pekerja-pekerja asing.
Penutup
26
pendidikan rendah. Disamping karena keterbatasan dana untuk
membiayai sekolah, juga karena keterbatasan gizi yang mareka
asup, dan keterbatasan sarana serta prasarana menyebabkan
daya pikir dan kreativitas mereka terhambat. Hal ini
mempersempit kesempatan untuk memperolah pekerjaan
dengan upah/pendapatan layak, sehingga mereka tetap
terbelenggu dalam kemiskinan.
27