Anda di halaman 1dari 19

BAB I REKAM MEDIS

1.1Identifikasi
Nama No reg/ Med rec Jenis Kelamin Umur Alamat Agama Bangsa Pekerjaan Status MRS : Tn. I : 08031222/117135 : Laki-laki : 20 tahun : Palembang : Islam : Indonesia : Buruh : Belum menikah : 22 Desember 2008

1.2Anamnesis
Keluhan Utama : keluar nanah pada luka bekas operasi di paha kanan Riwayat Perjalanan Penyakit: 7 bulan SMRS penderita menjalani operasi pemasangan pen pada paha kanan yang patah karena KLL. 5 bulan SMRS pada luka bekas operasi di paha kanan timbul tonjolan seperti daging yang kemudian pecah dan mengeluarkan benda seperti serpihan tulang dan nanah, paha terasa nyeri bila digerakkan. Penderita lalu berobat ke Puskesmas dan diberi air infus dan povidon iodine untuk mencuci bekas luka operasi tersebut, setelah beberapa hari luka tersebut sembuh. 2 bulan SMRS luka bekas operasi di paha kanan kembali timbul tonjolan seperti daging yang kemudian pecah dan mengeluarkan nanah yang pada mulanya hanya pada satu tempat lalu muncul pada tempat lainnya, kemudian penderita memutuskan untuk berobat ke RSMH.

1.3Pemeriksaan Fisik
Status Generalis Keadaan Umum Kesadaran TB BB : baik : kompos mentis : 152 cm : 39 kg
1

Gizi : kurang Tekanan Darah : 110/70 mmHg Nadi : 82x/menit Pernapasan : 20x/menit Temperatur : 36,70C Kepala : konjuntiva palpebra pucat +/+, sclera ikterik -/Pupil : isokor, reflex cahaya +/+ Leher : tidak ada kelainan KGB : tidak ada pembesaran Dada : tidak ada kelainan Paru : tidak ada kelainan Jantung : tidak ada kelainan Perut : tidak ada kelainan Hati : tidak ada kelainan Kemaluan : tidak ada kelainan Ekstremitas superior: tidak ada kelainan Ekstremitas inferior : lihat status lokalis Status Lokalis Regio femur dextra Look : tampak scar operasi sepanjang 10 cm yang berwarna kemerahan, Tampak 2 benjolan pada scar operasi, pus (+) Feel : nyeri tekan (-) Move : ROM aktif pasif terbatas

1.4Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium: Darah Rutin Hb : 11,8 g/dL Ht : 35 vol% Leukosit : 8000/mm3 Trombosit : 568.000/mm3 LED : 12 mm/jam Diff count : 0/4/1/63/30/2 Kimia Klinik BSS : 72 mg/dL Pemeriksaan Radiologi

(N: 14-18 g/dL) (N: 40-48 vol%) (N: 5000-10000/mm3) (N: 200000-500000/mm3) (N: < 10mm/jam) (N: 0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8)

Rontgen femur dextra AP/lateral: Terpasang fixasi interna di shaft femur dextra. Tampak lesi litik multiple diaphisis femur dextra disertai reaksi periosteal (+) dan involucrum, soft tissue swelling region tersebut. Kesan: osteomyelitis femur dextra

1.5Diagnosis Kerja
Osteomyelitis kronis regio femur dextra

1.6Diagnosis Banding
Osteosarcoma Abses jaringan lunak Selulitis

1.7Penatalaksanaan
Antibiotika: Ciprofloxacin 2x500 mg Rencana debridement, remove implant Rencana kultur resistensi

1.8Prognosis
Quo ad vitam Quo ad functionam : bonam : dubia ad malam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Osteomyelitis adalah suatu proses inflamasi pada tulang dan strukturnya yang dapat terjadi secara akut maupun kronis akibat adanya infeksi sekunder oleh bakteri pyogenik.1,2 2.2 Insidensi Prevalensi osteomyelitis pada anak-anak di Amerika Serikat adalah 1:5000, sedangkan pada neonatus kira-kira 1:1000. Di negara berkembanga insidensinya lebih tinggi daripada negara maju. Perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1.1,5 Penyakit ini dapat terjadi pada segala usia: Osteomyelitis hematogen akut terutama terjadi pada anak-anak Trauma langsung dan focus infeksi osteomyelitis lebih sering terjadi pada dewasa dan dewasa muda Osteomyelitis spinal lebih sering dijumpai pada usia lebih dari 45 tahun Faktor predisposisi osteomyelitis adalah diabetes mellitus, anemia sel sabit, acquired immune deficiency syndrome (AIDS), penyalahgunaan obat melalui suntikan, alkoholisme, penggunaan steroid jangka panjang, imunosupresi, penyakit radang sendi menahun, penggunaan alat prosthetic orthopedic, riwayat bedah orthopedic, fraktur terbuka.
1,5

Di Indonesia osteomyelitis ini didukung

oleh kondisi hygiene yang buruk, keterlambatan dalam penegakkan diagnosis,

fasilitas diagnosis yang tidak memadai, kesulitan ekonomi, fraktur terbuka yang penganannya terlambat. Tulang-tulang yang paling sering terkena adalah: femur, tibia, humerus, radius, ulna, dan fibula, khususnya pada daerah metafisis hal ini mungkin disebabkan oleh susunan pembuluh darah yang unik dan aliran darah yang lambat pada daerah ini ketika masa pertumbuhan.5

2.3 Klasifikasi Osteomyelitis


Menurut onsetnya, osteomyelitis dibagi menjadi: osteomyelitis akut (terjadi dalam waktu 2 minggu setelah onset), osteomyelitis subakut (terjadi dalam waktu beberapa minggu setelah onset), dan osteomyelitis kronik (terjadi dalam beberapa bulan setelah onset). Menurut Waldvogel (1970) dibagi atas: osteomyelitis hematogen akut (osteomyelitis primer), contiguous focus osteomyelitis (osteomyelitis sekunder), dan osteomyelitis dengan insufisiensi vascular (osteomyelitis sekunder). Sedangkan menurut tipe anatominya: tipe I (medullary), tipe II (superficial), tipe III (local), tipe IV (difus). 2.4 Patofisiologi
3,4

Osteomyelitis klinis terjadi bila cukup banyak organisme virulen mengatasi pertahanan hospes untuk membentuk infeksi setempat di tulang, dengan pernanahan dan nekrosis iskemik, disertai dengan fibrosis dan perbaikan tulang. Seluruh tulang (sumsum tulang, korteks, dan periosteum) secara khas terlibat. Osteomyelitis hematogen akut terjadi sebagai akibat lokalisasi bakteri yang dibawa darah dalam tulang. Bakteri seperti Staphylococcus aureus memiliki kemampuan melekat pada elemen jaringan ikat di tulang (kolagen, dentin, sialoprotein, dan glikoprotein) melalui perluasan polisakarida ekstraseluler. Infeksi biasanya dimulai pada daerah metafisis tulang panjang, mungkin karena daerah ini berisi anyaman ujung arteriol dan kapiler yang secara potensial menggenang serta kekurangan sel fagosit yang efektif. Infeksi bakteri yang secara khas menyebabkan pembentukan eksudat radang yang berkumpul di bawah tekanan pada sumsum tulang dan korteks. Hasil akhir thrombosis septic dan pembuluh darah dan pasokan vaskuler terganggu menyebabkan infark iskemik tulang dengan nyeri local. Nanah yang cukup dapat berkumpul pada sela subperiosteum, mengangkat periosteum yang utuh, menyebabkan kekacauan pasokan darah komponen periosteum dan infark korteks tulang. Hasil akhirnya adalah pembentukan daerah tulang nekrotik, disebut sequestrum, yang terlepas dari tulang hidup yang mendasari selama stadium akhir untuk membentuk benda asing bebas atau mengalami penyerapan perlahan-lahan. Selama fase perbaikan osteomyelitis akut, sel pendahulu osteogenik periosteum yang terangkaat membentuk tulang baru, disebut involucrum, pada daerah subperiosteum, membungkus tempat infeksi. Respon radang pada jaringan lunak yang menutupi menimbulkan tanda-tanda radang akut dekat tempat osteomyelitis. Robekan periosteum dapat menyertai pengaliran bahan purulen ke dalam jaringan lunak dan kulit melalui satu atau banyak saluran sinus. Lempeng epifisis berfungsi sebagai barrier langsung terhadap penyebaran infeksi, bila lempeng ini ikut rusak dapat terjadi kelainan pertumbuhan tulang. Septikemia dapat terjadi bila osteomyelitis tidak dapat

diatasi akibat metastase fokal infeksi ke tulang lainnya sehingga menghasilkan focus infeksi pada organ lain, biasanya pada paru-paru dan otak. Pengobatan yang tidak adekuat pada fase akut osteomyelitis hematogen memungkinkan berlanjutnya proses infeksi menjadi kronis ataupun berulang yang sulit disembuhkan akibat telah terbentuknya tulang mati yamg terinfeksi. Bakteri-bakteri berkembang dan bermultiplikasi pada canal Harvest dan kanalikuli tulang tersebut, kumpulan pus melindunginya dari revaskularisasi sehingga bakteri-bakteri tidak hanya terlindung dari leukosit dan prose inflamasi tetapi juga dari antibiotik dalam sirkulasi. Area pada infeksi persisten ini terlokalisir dan dibatasi oleh tepi jaringan sklerotik yang disebut abses Brodie.

2.5 Etiologi1,2
Usia Bayi (< 4 bulan) Anak-anak (4 bulan-4 tahun) 4 tahun- dewasa Dewasa Bakteri Penyebab S. aureus, Enterobacter sp., Streptococcus grup A dan B S. aureus, Streptococcus grup A, Haemophilus influenzae, dan Enterobacter sp S. aureus (80%), group A Streptococcus species, H. influenzae, dan Enterobacter sp S. aureus dan Enterobacter or Streptococcus sp

2.6 Diagnosis1,2,3,4,5
Diagnosis ditegakkan bila memenuhi 2 dari 4 kriteria di bawah ini:

Material purulen yang didapat dari hasil aspirasi tulang yang terinfeksi Hasil positif dari kultur jaringan tulang atau kultur darah Hasil pemeriksaan fisik berupa: Eritema atau edema jaringan lunak disertai fluktuasi

Temuan positif dari radiologi

Gejala Klinik Gejala umum pada osteomyelitis meliputi:

Osteomyelitis hematogen pada tulang panjang:


o Demam o Lelah o Iritabilitas o Malaise o Keterbatasan o

tinggi mendadak (pada 50% neonatus dengan osteomyelitis)

gerak (pseudoparalysis ekstremitas pada neonatus)

Edema lokal, erythema, and terasa lembek pada palpasi Osteomyelitis hematogen pada vertebrae

o Jarang terjadi o Riwayat

bakterimia akut dengan insufisiensi vascular

o Berhubungan o Edema

lokal, erythema, dan lembek pada palpasi berdiri pada anak-anak

o Ketidakmampuan

Osteomyelitis kronis
o Ulkus

yang tidak kunjung sembuh

o Drainase sinus o Kelelahan o Malaise

kronis

Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan:


Demam (hanya 50% neonatus) Edema Hangat Fluktuasi Teraba lembek pada palpasi
9

Keterbatasan gerak pada ektremitas Drainase sinus (pada osteomyelitis kronis)

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium

Leukosit dapat meningkat, tapi biasanya normal.


o Pergeseran

ke kiri pada hitung jenis sering dijumpai dengan peningkatan

polimorfonuklear
o Peningkatan

C-reactive protein level biasanya tidak spesifik untuk

osteomyelitis tetapi lebih bermakna bila dibandingkan dengan erythrocyte sedimentation rate. CRP lebih dulu meningkat dibanding erythrocyte sedimentation rate (ESR).
o The

erythrocyte sedimentation rate biasanya meningkat (90%); pemeriksaan

ini tidak spesifik.

Pada 25% kasus osteomyelitis ,hasil aspirasi maupun kultur pada tempat yang terinfeksi normal. Hasil kultur darah positif hanya pada 50% pasien dengan osteomyelitis hematogen.

10

Studi Pencitraan

Radiologi
o Pada

osteomyelitis akut pertama kali ditemukan edema pada jaringan lunak

yang terjadi pada hari 3-5 setelah infeksi


o Perubahan

pada tulang baru tampak pada hari ke 14-21 dan umumnya diawali

dengan elevasi periosteal diikuti dengan gambaran radiolusen pada korteks atau medulla. Namun, pemberian pengobatan awal pada osteomyelitis akut dapat menghentikan penjelekan perubahan radiografi dengan menghentikan kehilangan mineral tulang.

11

MRI
o MRI

efektif dalam mendeteksi proses radang pada jaringan lunak atau tulang

dan sering berguna dalam memberikan informasi anatomis rinci, tepat, pada daerah yang terlokalisasi.
o Penelitian

menunjukkan bahwa MRI lebih akurat dibandingkan dengan foto

Rontgen polos, CT-scan, maupun radionuklida dalam beberapa lokasi anatomi.


o Sensitivitas

bervariasi antara 90-100%.

Radionuclide bone scanning


oA

3-phase bone scan dengan technetium 99m adalah pilihan yang pertama. keadaaan tertentu, informasi tambahan dapat diperoleh dari scanning

o Pada

lebih lanjut menggunakan leukosit yang diberi label gallium 67 dan/ atau indium 111.

CT scanning
o CT

scan dapat menunjukkan kalsifikasi yang abnormal, osifikasi, dan kelainan

intracortical.
o Lebih

bermanfaat dalam mengevaluasi lesi pada vertebra. Juga lebih efektif

untuk daerah yang memiliki struktur yang kompleks: pelvis, sternum, and calcaneus.

Ultrasonography
o Sederhana

dan murah, terbukti sangat efektif pada pasien anak dengan

osteomyelitis akut.
o Ultrasonography

mendeteksi perubahan yang cepat, yaitu: 1-2 hari setelah

onset dari gejala.


o Abnormalitas

termasuk abses jaringan lunak atau pengumpulan cairan dan

elevasi periosteal.
o Ultrasonography sangat o Tidak dianjurkan

baik untuk ultrasound-guided aspiration.

untuk evaluasi korteks tulang.

12

Diagnosis Banding
Gigitan hewan Cellulitis Deep Venous Thrombophlebitis Gas Gangrene Gout dan Pseudogout Infeksi pada tangan Juvenile Rheumatoid Arthritis Lumbar (Intervertebral) Disk Disorders Thrombosis dan Neoplasma medulla spinalis Limp (anak-anak) Sickle Cell Disease (anak-anak) Plantar Fasciitis Arthritis septik Arthritis septik (anak-anak) Infeksi medulla spinalis Transient Synovitis

Kemungkinan lain yang dapat dipikirkan: Fraktur Infark tulang aseptik Neuropathic joint disease

2.7 Penatalaksanaan1,2,4,5,6
Penatalaksanaan osteomyelitis hematogen akut meliputi:
Bed

rest dan terapi suportif, seperti: pemberian cairan intravena, dan pemberian

analgetik
Antibiotik

bisa diberikan secara oral maupun parentral. Bila tidak ada perbaikan

setelah 24 jam, dilakukan operasi dekompresi pada daerah tulang yang terinfeksi dengan tujuan untuk menguragi tekanan intraosseus dan mendapatkan pus untuk bahan kultur. Setelah operasi, diberikan antibiotik parentral dalam cairan NS dan juga dipasang drain. Bila terdapat perbaikan, antibiotik tetap diteruskan hingga 3-4 minggu. Osteomyelitis kronik tidak dapat sembuh total sebelum semua tulang terinfeksi yang mati keluar secara spontan melalui pengaliran sinus ataupun melalui

13

pembedahan (sequestrectomy). Diperlukan antibiotika sistemik dan local yang diberikan setelah pembedahan dan dipasang drain untuk mengeluarkan sisa pus. Operasi rekonstruksi seperti bone graft dan skin graft direncanakan kemudian untuk menghilangkan defek pada tulang dan jaringan ikat sekitarnya. Berikut ini adalah antibiotik yang dianjurkan untuk pengobatan osteomyelitis berdasarkan umur dan mekanisme infeksi:
Osteomyelitis

hemtogen (bayi-dewasa), bakteri penyebabnya adalah S aureus,

organisme Enterobacteriaceae, Streptococcus sp grup A dan B, dan H influenza, digunakan kombinasi penicillinase-resistant synthetic penicillin dan

cephalosporin generasi ketiga. Terapi alternatifnya adalah vancomycin atau clindamycin dan cephalosporin generasi ketiga. Juga dapat digunakan linezolid. Sebagai tambahan pada pasien dewasa digunakan kombinasi ciprofloxacin dan rifampin. Jika kuman penyebab adalah bakteri gram negative basil digunakan tambahan berupa cephalosporin generasi ketiga.
Pada

pasien dengan anemia sel sabit dan osteomyelitis, bakteri penyebab yang

utama adalah S aureus dan Salmonellae sp. Jadi, antibiotika pilihan utamanya adalah golongan fluoroquinolone (tidak boleh digunakan pada anak-anak), sebagai
Bila

alternatifnya

adalah

cephalosporin

golongan

ketiga

(contoh:

ceftriaxone). melibatkan jaringan kuku, seperti pada athletic shoe, digunakan

ceftazidime atau cefepime sebagai pilihan utama, dan ciprofloxacin sebagai pilihan kedua untuk membasmi kuman penyebabnya, yaitu: S aureus dan Pseudomonas aeruginosa.
Osteomyelitis

akibat trauma biasa disebabkan oleh S aureus, coliform bacilli,

and Pseudomonas aeruginosa. Pilihan utamanya adalah nafcillin and ciprofloxacin, juga dapat digunakan vancomycin dan cephalosporin generasi ketiga dengan aktivitas antipseudomonal.

14

Tabel Dosis Antibiotik yang Dipakai pada Pengobatan Osteomyelitis

Antibiotik
Nafcillin Ceftriaxon Cefazolin Ciprofloxacin Ceftazidime Clindamycin Vancomycin

Dosis
Dws: 1-2 g IV/IM tiap 4 jam Anak: 100-200 mg/kgBB IV/IM tiap 6 jam, max: 12 g/hari Dws: 2 g IV 4x sehari Anak: 75 mg/kg BB IV 4x sehari Dws: 2 g IV/IM tiap 8 jam, max: 12 g/hari Anak: 20 mg IV/IM tiap 8 jam, max: 6 g/hari Dws: 200-400 mg IV tiap 12 jam Tidak dianjurkan untuk anak-anak Dws: 2g IV tiap 8 jam Anak: 150 mg/kgBB tiap 8 jam, max: 6 g/hari Dws: 600-1200 mg IV/IM tiap 6-8 jam Anak: 20-40 mg IV/IM dibagi dalam 3-4 dosis Dws: 500 mg- 2 g IV dibagi dalam 3-4 dosis Anak: 40 mg/kg BB IV dibagi dalam 3-4 dosis Dws: 400-600 mg po/IV tiap 12 jam Usia < 7 hari: 10 mg/kgBB po/IV tiap 12 jam Usia 7 hari-12 th: 10 mg/kgBB po/IV tiap 8 jam Usia > 12 th: dosis dewasa

Linezolid

2.8 Komplikasi1,3

Abses tulang Bakteremia Arthritis septik Fraktur Kontraktur sendi Gangguan pertumbuhan tulang Penyakit amyloid Keganasan pada epidermis (ca epidermoid) akibat infeksi persisten pada aliran sinus

15

2.9 Prognosis1,5
Prognosis bervariasi tergantung pada waktu ditegakkannya diagnosis dan ketepatan pemberian terapi. Kematian dapat terjadi akibat penyebaran infeksi yang menyebabkan sepsis.

2.10 Pencegahan1

Osteomyelitis hematogen akut dapat dicegah dengan diagnosis dini dan pengobatan yang tepat terhadap infeksi bakteri primer.

Osteomyelitis akibat inokulasi bakteri secara langsung dicegah melalui penanganan luka yang tepat dan pemberian antibiotik profilaksis.

16

Bab III Analisis Kasus


Seorang laki-laki berusia 20 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan bekas luka operasi pada paha kanan yang mengeluarkan nanah. Dari riwayat perjalanan penyakit diketahui bahwa penderita pernah menjalani operasi pemasangan pen kira-kira 7 bulan yang lalu untuk paha kanannya yang patah akibat KLL. Dua bulan setelah operasi tersebut, pada luka bekas operasi itu timbul benjolan seperti daging yang kemudian pecah dan mengeluarkan benda seperti serpihan tulang dan nanah, paha terasa nyeri bila digerakkan. Penderita lalu berobat ke Puskesmas dan diberi air infus dan povidon iodine untuk mencuci bekas luka operasi tersebut, setelah beberapa hari luka tersebut sembuh. Lima bulan kemudian pada luka bekas operasi paha kanan kembali timbul tonjolan seperti daging yang kemudian pecah dan mengeluarkan nanah yang pada mulanya hanya pada satu tempat lalu muncul pada tempat lainnya, kemudian penderita memutuskan untuk berobat ke RSMH. Dari pemeriksaan fisik didapatkan vital sign dalam batas normal, gizi kurang, dan konjungtiva kedua palpebra pucat, sedangkan pemeriksaan lainnya normal. Pada status lokalis regio femur dextra tampak scar operasi sepanjang 10 cm yang berwarna kemerahan, tampak benjolan pada scar operasi, dan terdapat pus. Pada palpasi tidak didapatkan nyeri tekan dan pada move ditemukan bahwa ROM aktif pasif terbatas. Berdasarkan data-data di atas dapat dipikirkan diagnosis banding

osteomyelitis kronis, abses jaringan lunak, selulitis, dan osteosarkoma. Selulitis dan abses jaringan lunak dapat disingkirkan karena tidak ditemukan nyeri tekan dan demam serta pada pemeriksaan penunjang: pemeriksaan laboratorium darah rutin ditemukan kadar Hb yang rendah, peningkatan LED, dan kadar leukosit normal yang mengarah pada adanya infeksi kronis. Sedangkan untuk membedakan osteosarkoma dan osteomyelitis dilakukan pemeriksaan radiologi dan didapatkan hasil: tampak lesi

17

litik multiple diaphisis femur dextra disertai reaksi periosteal (+) dan involucrum, soft tissue swelling region tersebut yang memberikan kesan osteomyelitis kronis. Penatalaksaan untuk kasus di atas adalah dengan pemberian antibiotik, dalam hal ini dipilih ciprofloxacin karena penyebab osteomyelitis pada usia dewasa 80% adalah Staphylococcus aureus yang biasanya sensitif terhadap antibiotika golongan fluoroquinolon, pemberiannya secara oral dengan dosis 2x500mg. Kemudian dilakukan debridement untuk membuang jaringan tulang maupun jaringan lunak yang mati sekaligus dilakukan drainase pus untuk mengurangi tekanan intraosseus sehingga mempermudah peneterasi antibiotik ke tempat infeksi. Dari hasil aspirasi tulang ataupun pus yang didapatkan, dilakukan kultur untuk mengetahui kuman penyebab pasti dan antibiotik yang sensitif, setelah hasil ini didapat, antibiotik yang diberikan dapat diganti sesuai dengan hasil uji sensitivitas tersebut. Implant pada tulang juga dilepaskan karena ruang antara implant dengan tulang merupakan tempat yang baik bagi perkembangan bakteri. Prognosis quo ad vitam pada penderita ini baik karena vital sign dalam batas normal, sedangkan quo ad functionam adalah dubia ad malam karena osteomyelitis kronis sulit disembuhkan, apalagi gizi penderita kurang.

18

Daftar Pustaka
1. Johnson, David dan King, Randal W. November 2008. Osteomyelitis. Available from: URL: http://www.emedicine.com/medscape/osteomyelitis/ 2. Wikipedia. November 2008. Osteomyelitis. Available from: URL:

http://www.en.wikipedia.org/osteomyelitis/ 3. Marks, Melvin dan Narasimhan, Nandini. 1999. Osteomyelitis dan Artritis Septik dalam Nelson Textbook of Pediatrics Edisi 15 Volume 2. Jakarta: EGC; 172: 893-903 4. Wim de Jong. 1996. Sistem Muskuloskeletal dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC; 40: 903-7 5. Salter, Robert Bruce.1999. Inflammatory Disorder of Bones and Joints dalam Textbook of Disorders and Injuries of Musculosceletal System. USA: William and Wilkins; 10:207-24 6. Chaidir, Jusup. 1994. Penisilin dan Sefalosporin dalam Catatan Kuliah Farmakologi Bagian III. Jakarta:EGC; 46:21-32 7. Rasjad, Chairuddin. 2003. Infeksi dan Inflamasi dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi Edisi 2. Makassar: Bintang Lamumpatue; 7:132-41

19

Anda mungkin juga menyukai