Anda di halaman 1dari 27

REFERAT LARINGOMALASIA

Pembimbing : dr. H. R. Krisnabudhi, Sp.THT-KL Disusun Oleh : Daniel Dwiadhi Wibowo 0961050049

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN PERIODE 27 MEI 22 JUNI 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA 2013

LEMBAR PENGESAHAN

Nama NIM Fakultas Bagian Diajukan Judul

: Daniel Dwiadhi Wibowo : 0961050053 : Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta : Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorok : 17 Juni 2013 : Laringomalasia

Cibinong, 17 Juni 2013 Pembimbing bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorok RSUD Cibinong

dr. H.R Krisnabudhi, sp. THT KL

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha esa atas berkat dan rahmatNya, penulis mendapatkan kesempatan, sehingga referat Laringomalasia ini bisa diselesaikan dengan tepat waktu. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik dan mempelajari THT-KL di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong. 2. dr. H. R. Krisnabudhi, Sp.THT-KL, dokter pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, kesempatan, dan pengajaran yang sangat berguna bagi penulis dalam penulisan referat ini. 3. dr. Dadang Chandra, Sp. THT-KL, dokter pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan dalam mengikuti kepaniteraan THT-KL di Rumah sakit Daerah Umum Cibinong. 4. dr. Martinus, perwakilan diklat Rumah Sakit Daerah Umum Cibinong yang juga banyak memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan tentang THT-KL. 5. Ibu Yosephine, perawat di poli THT-KL yang telah banyak membantu kami dan banyak memberikan saran-saran yang berguna bagi penulis dalam menjalani kepaniteraan. 6. Keluarga dan teman-teman yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan dalam penulisan referat ini. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam referat ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut.

Cibinong, 17 Juni 2013

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI ................. iii BAB I PENDAHULUAN.. 1 BAB II EMBRIOLOGI LARING. 2 BAB III ANATOMI LARING.. 4 BAB IV FISIOLOGI LARING.6 BAB V LARINGOMALASIA.. 9 2.1. DEFINISI 9 2.2. EPIDEMIOLOGI.... 9 2.3. ETIOLOGI.. 9 2.4. KLASIFIKASI LARINGOMALASIA... 10 2.5. PATOFISIOLOGI... 11 2.6. GAMBARAN KLINIS.... 13 2.7. DIAGNOSIS....14 2.8. DIAGNOSIS BANDING.... 16 2.9. PENATALAKSANAAN.... 16 2.10. PROGNOSIS... 17 BAB III RESUME. 18 BAB VI DAFTAR PUSTAKA.. 20

BAB I PENDAHULUAN

Laringomalasia adalah kelainan kongenital pada laring berupa flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas yang menimbulkan gejala utama berupa stridor inspiratoris kronik pada bayi dan anak. Laringomalasia pertama kali diperkenalkan oleh Jackson pada tahun 1942 sebagai kelainan kongenital laring yang paling sering ditemukan. Kelainan ini dapat hadir bersama dengan trakeomalasia. 1,2 Pada penelitian Holinger pada 219 pasien dengan stridor, kelainan kongenital pada laring menempati urutan pertama (60,3%) dan penyebab tersering keadaan stridor pada neonatus, bayi dan anak-anak adalah laringomalasia (59,8%). Kejadian laringomalasia pada laki-laki dua kali lebih banyak daripada perempuan.3 Biasanya, pasien dengan keadaan ini menunjukkan gejala pada saat baru dilahirkan, dan setelah beberapa minggu pertama kehidupan secara bertahap berkembang stridor inspiratoris dengan nada tinggi dan kadang kesulitan dalam pemberian makanan. Laringomalasia merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, yang mula-mula terjadi segera setelah kelahiran dan memberat pada bulan keenam, serta membaik pada umur 12-18 bulan dan dapat bertahan sampai usia 4 tahun atau masa anak-anak.2,3 Berdasarkan fakta bahwa laringomalasia menempati urutan kelainan kongenital tersering pada neonatus, bayi dan anak-anak, maka diperlukan pemahaman lebih lanjut, sehingga memudahkan kita untuk mengetahui diagnosis dini dan penatalaksanaan mutakhir laringomalasia.

BAB II EMBRIOLOGI LARING

Seluruh sistem pernafasan merupakan hasil pertumbuhan faring primitif. Pada saat embrio berusia 3,5 minggu suatu alur yang disebut laringotrakeal groove tumbuh dalam embrio pada bagian ventral foregut. Alur ini terletak disebelah posterior dari eminensia hipobronkial dan terletak lebih dekat dengan lengkung ke IV daripada
5

lengkung ke III. Selama masa pertumbuhan embrional ketika tuba yang single ini menjadi dua struktur, tuba yang asli mula-mula mengalami obliterasi dengan proliferasi lapisan epitel, kemudian epitel diresopsi, tuba kedua dibentuk dan tuba pertama mengalami rekanulisasi. Berbagai malformasi dapat terjadi pada kedua tuba ini, misalnya fistula trakeoesofageal. Pada maturasi lanjut, kedua tuba ini terpisah menjadi esofagus dan
5

bagian laringotrakeal. Pembukaan laringotrakeal ini adalah aditus laringeus primitif dan terletak diantara lengkung IV dan V. Aditus laring pada perkembangan pertama berbentuk celah vertikal yang kemudian menjadi berbentuk T dengan tumbuhnya hipobrachial eminence yang tampak pada minggu ke 3 dan kemudian akan tumbuh menjadi epiglottis. Sepasang aritenoid yang tampak pada minggu ke 5 dan pada perkembangan selanjutnya sepasang massa aritenoid ini akan membentuk tonjolan yang kemudian akan menjadi kartilago kuneiforme dan kartilago kornikulata. Kedua aritenoid ini dipisahkan oleh incisura interaritenoid yang kemudian berobliterasi. Ketika ketiga organ ini tumbuh selama minggu ke 5 10, lumen laring mengalami obliterasi, baru pada minggu ke 9 kembali terbentuk lumen yang berbentuk oval. Kegagalan pembentukan lumen ini akan menyebabkan atresia atau stenosis laring. Plika vokalis sejati dan plika vokalis palsu terbentuk antara minggu ke 8 9.
5

Otot-otot laring pada mulanya muncul sebagai suatu sfingter intrinsik yang terletak dalam tunas kartilago tiroid dan krikoid. Selama perkembangan selanjutnya sfingter ini terpisah menjadi massa otot-otot tersendiri (mudigah 13 16 mm). Otototot laring pertama yang dikenal adalah interaritenoid, ariepiglotika, krikoaritenoid posterior dan krikotiroid. Otot-otot laring intrinsik berasal dari mesoderm lengkung brakial ke 6 dan dipersarafi oleh N. Rekuren Laringeus. M. Krikotiroid berasal dari mesoderm lengkung brakial ke 4 dan dipersarafi oleh N. Laringeus Superior. Kumpulan otot ekstrinsik berasal dari eminensia epikardial dan dipersarafi oleh N.
6

Hipoglosus. Tulang hyoid akan mengalami penulangan pada enam tempat, dimulai pada saat lahir dan lengkap setelah 2 tahun. Katilago tiroid akan mulai mengalami penulangan pada usia 20 sampai 23 tahun, mulai pada tepi inferior. Kartilago krikoid
7

mulai usia 25 sampai 30 tahun inkomplit, begitu pula dengan aritenoid.

BAB III ANATOMI LARING

Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang
3

menelan makanan. Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan dan disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adams apple atau jakun.
3

Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus
3

kelenjar tiroid. Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan
3

otot-otot. Kartilago

Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu : Kelompok kartilago mayor, terdiri dari kartilago tiroidea 1 buah, kartilago krikoidea 1 buah, kartilago aritenoidea 2 buah ; Kartilago minor, terdiri dari kartilago kornikulata Santorini 2 buah, kartilago kuneiforme Wrisberg 2 buah, kartilago epiglotis, 1 buah

Gambar 1: Tulang dan kartilago laring tampak lateral3

Ligamentum dan Membrana Ligamentum dan membran laring terbagi atas 2 grup, yaitu: Ligamentum ekstrinsik, terdiri dari membran tirohioid, ligamentum tirohioid, ligamentum tiroepiglotis, ligamentum hioepiglotis, ligamentum krikotrakeal; Ligamentum intrinsik, terdiri dari membran quadrangularis, ligamentum vestibular, konus elastikus, ligamentum krikotiroid media, ligamentum vokalis Anatomi Laring Bagian Dalam
3

Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut : Supraglotis (vestibulum superior), yaitu ruangan diantara permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring;

Glotis (pars media), yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita suara sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni; Infraglotis (pars inferior), yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah kartilago krikoidea.

BAB IV FISIOLOGI LARING

Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi
10

disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut


9

Fungsi Fonasi Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujungujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk :
10

Fungsi Proteksi Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
8

Fungsi Respirasi Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya

menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO
2 2

dan O arteri serta pH darah. Bila pO tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis.
2

Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan
2

laring. Tekanan parsial CO darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi
2

pita suara.
9

Fungsi Sirkulasi Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.
7

Fungsi Fiksasi Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.
10

Fungsi Menelan Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat berlangsungnya proses menelan, yaitu : Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh

epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.
11

Fungsi Batuk Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.
11

Fungsi Ekspektorasi Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha mengeluarkan benda asing tersebut.
11

Fungsi Emosi Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

BAB V LARINGOMALASIA

DEFINISI Laringomalasia adalah kelainan kongenital pada laring berupa flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas yang menimbulkan gejala utama berupa stridor inspiratoris kronik pada bayi dan anak.2

EPIDEMIOLOGI Laringomalasia diperkenalkan pertama kali oleh Jackson pada tahun 1942.1 Laringomalasia adalah anomali kongenital pada laring yang paling sering terjadi. Anak laki-laki dilaporkan mengalami laringomalasia 2 kali lebih sering daripada anak perempuan. Laringomalasia secara umum merupakan kondisi self-limiting, akan tetapi dapat mengancam jiwa karena obstruksi jalan nafas yang ditimbulkannya. Selain itu, laringomalasia juga dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal dan kegagalan pertumbuhan pada anak. Laringomalasia dan trakeomalasia merupakan dua kelainan kongenital tersering pada laring (59,8%) dan trakea (45,7%) neonatus,bayi,dan anak yang sering menyebabkan stridor.2

ETIOLOGI

Penyebab laringomalasia masih belum diketahui, namun banyak teori yang menjelaskan patofisiologi laringomalasia. Terdapat hipotesis yang dibuat berdasarkan model embriologi. Epiglotis dibentuk oleh lengkung brakial ketiga dan keempat. Pada laringomalasia terjadi pertumbuhan lengkung ketiga yang lebih cepat dibandingkan yang keempat sehingga epiglotis melengkung ke dalam.

Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia, yaitu teori anatomi dan teori neurogenik. Menurut teori anatomi, terdapat hipotesis bahwa terjadi abnormalitas kelenturan tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya struktur supraglotis. Pada kepustakaan disebutkan bahwa kelainan congenital ini bersifat otosomal dominan. Pada teori neuromuskular, dipercaya penyebab primer kelainan ini adalah terlambatnya perkembangan kontrol neuromuscular dibanding dengan teori anatomi. Penyebab neurogenik selanjutnya dihubungkan pula dengan abnormalitas neurogenik lainnya. Belmont dan Grundfast menemukan 80% dari 30 anak dengan laringomalasia mempunyai penyakit refluks gastroesofagus (PRGE), 13% terjadi hipotonia dan 10% mengalami apnea tidur sentral. Mereka menganggap bahwa disfungsi atau imaturitas dari control neuromuscular yang menjadi akar penyebab semua kelainan tersebut. 3,12,13

KLASIFIKASI LARINGOMALASIA

Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Laringomalasia umumnya dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis supraglotis yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat terjadi. Tipe pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya sendiri, dan yang ketiga prolapsnya mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas selama periode inspirasi.

Gambar 2: Tipe 1 laringomalasia, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih;

Gambar 3: Tipe 2 laringomalasia, yaitu memendeknya plika ariepiglotika;

Gambar 4: Tipe 3 Laringomalasia, yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior.

PATOFISIOLOGI

Laringomalasia dapat terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun pada keduanya. Jika mengenai epiglotis, biasanya terjadi elongasi dan bagian dindingnya terlipat. Epiglotis yang bersilangan membentuk omega, dan lesi ini dikenal sebagai epiglotis omega (omega-shaped epiglottis). Jika mengenai kartilago aritenoid, tampak terjadi pembesaran. Pada kedua kasus, kartilago tampak terkulai dan pada pemeriksaan endoskopi tampak terjadi prolaps di atas laring selama inspirasi. Obstruksi inspiratoris ini menyebabkan stridor inspiratoris, yang terdengar sebagai suara dengan nada yang tinggi.14 Matriks tulang rawan terdiri atas dua fase, yaitu fase cair dan fase padat dari jaringan fibrosa dan proteoglikan yang dibentuk dari rangkaian mukopolisakarida. Penelitian terhadap perkembangan tulang rawan laring menunjukkan perubahan yang konsisten pada isi proteoglikan dengan pematangan. Tulang rawan neonatus terdiri dari kondroitin-4-sulfat dengan sedikit kondroitin-6-sulfat dan hampir tanpa keratin sulfat. Tulang rawan orang dewasa sebagian besar terdiri dari keratin sulfat dan kondroitin-6-sulfat. Dengan bertambahnya pematangan, matriks tulang rawan bertambah, akan menjadi kurang air, lebih fibrosis dan kaku. Bentuk omega dari epiglotis yang berlebihan, plika ariepiglotik yang besar, dan perlunakan jaringan yang hebat mungkin ada dalam berbagai tahap pada masing-masing kasus.3 Supraglotis yang terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis dan kartilago aritenoid ditemukan mengalami prolaps ke dalam jalan napas selama inspirasi. Laringomalasia umumnya dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis supraglotis yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat terjadi. Tipe pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya sendiri, dan yang ketiga prolapsnya mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas selama periode inspirasi.15 Laringomalasia merupakan penyebab tersering dari stridor inspiratoris kronik pada bayi. Bayi dengan laringomalasia memiliki insidens untuk terkena refluks gastroesophageal, diperkirakan sebagai akibat dari tekanan intratorakal yang lebih negatif yang dibutuhkan untuk mengatasi obstruksi inspiratoris. Dengan demikian,

anak-anak dengan masalah refluks seperti ini dapat memiliki perubahan patologis yang sama dengan laringomalasia, terutama pada pembesaran dan pembengkakan dari kartilago aritenoid

Gambar 5: Gambaran Pemeriksaan Fisik Laringomalasia

GAMBARAN KLINIS

Tiga gejala yang terjadi pada berbagai tingkat dan kombinasi pada anak dengan kelainan laring kongenital adalah obstruksi jalan napas, tangis abnormal yang dapat berupa tangis tanpa suara (muffle) atau disertai stridor inspiratoris serta kesulitan menelan yang merupakan akibat dari anomali laring yang dapat menekan esofagus.12 Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan pada 70% bayi saat usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul segera setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu atau bulan kemudian. Pada beberapa bayi tidak menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau dipresipitasi oleh infeksi saluran nafas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan bernada tinggi. Stridor akan bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan dan kemudian bersifat intermiten dan hanya timbul bila usaha bernafas

bertambah seperti saat anak aktif, menangis, makan, kepala fleksi, atau posisi supinasi. Setelah itu keadaan makin membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah selama 4 tahun 2 bulan. Tidak ada korelasi antara lama berlangsungnya stridor dengan derajat atau waktu serangan.12,14 Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum, interkosta, dan epigastrium akibat usaha pernafasan, dan anak dapat ditemukan dalam keadaan pektus ekskavatum.14 Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi napas yang berat. Penderita laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks lambung terjadi pada 80% dan regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan dipercaya sebagai akibat sekunder dari tekanan negative yang tinggi di esophagus intratorak pada saat inspirasi. Pneumonitis aspirasi dilaporkan terjadi pada 7% anak dengan laringomalasia. Mekanisme kelainan ini belum jelas, namun mungkin berhubungan dengan tekanan negative dan masalah makan. Apne obstruksi tidur (23%) dan apnea sentral (10%) juga ditemukan. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi nafas atas yang lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa dan timbul hipertensi pulmonal, yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung, penyakit paru obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder dari laringomalasia.12 Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasi ini bertujuan untuk mempermudah pemilihan teknik operasi supraglotoplasti. Klasifikasinya adalah sebagai berikut: tipe 1, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih; tipe 2, yaitu memendeknya plika ariepiglotika; tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis ke arah

posterior. Bentuk omega epiglotis tidak selalu menjadi ciri khas karena ini hanya ditemukan pada 30-50% pasien, dan kebanyakan tidak ditemukan adanya stridor.12,14 DIAGNOSIS3,12,14 Laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang berupa laringoskopi fleksibel dan radiologi. Anamnesis Dari anamnesis dapat kita temukan : Riwayat stridor inspiratoris diketahui mulai 2 bulan awal kehidupan. Suara biasa muncul pada minggu 4-6 awal; Stridor berupa tipe inspiratoris dan terdengar seperti kongesti nasal, yang biasanya membingungkan. Namun demikian stridornya persisten dan tidak terdapat sekret nasal; Stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis, ketika terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus, selama dan setelah makan; Tangisan bayi biasanya normal; Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi kadang tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada refluks pada bayi; Bayi gembira dan tidak menderita.

Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisis ditemukan: Pada pemeriksaan bayi terlihat gembira dan berinteraksi secara wajar; Dapat terlihat takipneu ringan; Tanda-tanda vital normal, saturasi oksigen juga normal; Biasanya terdengar aliran udara nasal, suara ini meningkat jika posisi bayi terlentang; Tangisan bayi biasanya normal, penting untuk mendengar tangisan bayi selama pemeriksaan; Stridor murni berupa inspiratoris. Suara terdengar lebih jelas di sekitar angulus sternalis

Pemeriksaan Penunjang Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laring dengan menggunakan laringoskop serat fiber fleksibel selama periode pernapasan spontan. Penemuan

endoskopik yang paling sering adalah kolapsnya plika ariepiglotik dan kartilago kuneiform ke sebelah dalam. Laringoskopi langsung merupakan cara yang terbaik untuk memastikan diagnosis. Pemeriksaan dilakukan pada anak dalam keadaan sadar dengan posisi tegak melalui kedua hidung tanpa adanya premedikasi. Bilah laringoskop dimasukkan ke valekula dengan tekanan yang minimal pada epiglotis untuk menegakkan diagnosis. Pada inspirasi, struktur sekitar vestibulum, terutama plika ariepiglotik, epiglotis, dan kartilago aritenoid akan tampak turun ke saluran nafas, disertai stridor yang sinkron. Visualisasi langsung memperlihatkan epiglotis berbentuk omega selama inspirasi. Melalui pemeriksaan ini, juga dapat dinilai pasase hidung, nasofaring, dan supraglotis. Pada laringomalasia, pita suara dapat bergerak dengan baik, namun pada keadaan berat, sulit memvisualisasikan pita suara akibat kolapnya supraglotis Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu risiko terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien menangis dan penilaian keadaan subglotis kurang akurat Olney, dkk membuat kategori kandidat yang sebaiknya dilakukan

laringoskopi dan bronkoskopi. Kriterianya adalah: Bayi dengan gangguan pernapasan berat, gagal tumbuh, mengalami fase apnea, atau pneumonia berulang; Bayi dengan gejala yang tidak sesuai dengan gambaran laringomalasia pada laringoskopi fleksibel; Bayi dengan lesi lain di laring; Bayi yang akan dilakukan supraglotoplasti. Nusbaum dan Maggi melaporkan 68% dari 297 anak dengan laringomalasia mempunyaikelainan pernafasan lainnya yang ditemukan dengan bronkoskopi.

DIAGNOSIS BANDING

Setiap kelainan yang menyebabkan obstruksi pada laring diagnosis banding dari laringomalasia baik akibat kelainan kongenital, infeksi, trauma, benda asing, tumor, paralisis pita suara, stenosis laring dan trakea.

Laringomalasia didiagnosis banding dengan penyebab stridor inspiratoris lain pada anak-anak. Antara lain yaitu, hemangioma supraglotik, massa atau adanya jaringan intraluminal seperti laryngeal web dan kista laring, kelainan akibat trauma seperti edema dan stenosis supraglotik, maupun kelainan pada pita suara. 15,16 PENATALAKSANAAN1,2,4,15,17

Pada lebih dari 99% kasus, satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah waktu. Lesi sembuh secara berkala, dan stridor rata-rata hilang setelah dua tahun. Stridor mulanya meningkat pada 6 bulan pertama, seiring bertambahnya aliran udara pernafasan bersama dengan bertambahnya umur. Pada beberapa kasus, stridor dapat menetap hingga dewasa. Dalam hal ini, stridor baru muncul setelah beraktifitas berat atau terkena infeksi. Jika bayi mengeluarkan stridor yang lebih keras dan mengganggu tidur, hal ini dapat diatasi dengan menghindari tempat tidur, bantal atau selimut yang terlalu lembut, sehingga akan memperbaiki posisi bayi sehingga dapat mengurangi bunyi. Jika terjadi hipoksemia berat pada bayi (ditandai dengan saturasi oksigen <90%) maka sebaiknya diberikan tambahan oksigen. Tidak ada obat-obatan yang dibutuhkan untuk kelainan ini.12 Sebagian besar anak dengan kelainan ini dapat ditangani secara konservatif. Pada keadaan ini, hal yang dapat dilakukan adalah memberi keterangan dan keyakinan utnuk menenangkan orang tua pasien tentang prognosis dan tindak lanjut yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang dan pertumbuhan yang normal dapat dicapai. Jarang terjadi dimana seorang anak memiliki kelainan yang signifikan sehingga memerlukan operasi. Trakeostomi merupakan prosedur pilihan untuk laringomalasia berat. 12 Supraglotoplasti dapat dilakukan pada kasus-kasus yang lebih ringan. Berdasarkan klasifikasi Olney terdapat tiga teknik supraglotoplasti yang dapat dilakukan. Teknik yang dipilih tergantung pada kelainan laringomalasianya. Pada tipe 1, dimana terjadi prolaps mukosa aritenoid pada kartilago aritenoid yang tumpang

tindih, dilakukan eksisi jaringan mukosa yang berlebihan pada bagian posterolateral dengan menggunakan pisau bedah atau dengan laser CO2. Laringomalasia tipe 2 dikoreksi dengan cara memotong plika ariepiglotika yang pendek yang menyebabkan mendekatnya struktur anterior dan posterior supraglotis. Laringomalasia tipe 3 ditangani dengan cara eksisi melewati ligament glosoepiglotika untuk menarik epiglottis ke depan dan menjahitkan sebagian dari epiglottis ke dasar lidah.

PROGNOSIS

Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya dapat sembuh sendiri, dan tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien, gejala menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada beberapa kasus, walaupun tanda dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini, biasanya stridor akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa.14

BAB VI RESUME

Laringomalasia adalah kelainan kongenital pada laring (59,8%) berupa flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas yang menimbulkan gejala utama berupa stridor inspiratoris kronik pada bayi dan anak. Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia, yaitu teori anatomi dan teori neurogenik. Menurut teori anatomi, terdapat hipotesis bahwa terjadi abnormalitas kelenturan tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya struktur supraglotis. Pada teori neuromuskular, dipercayai terjadinya disfungsi atau imaturitas dari control neuromuscular. Laringomalasia umumnya dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis supraglotis yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat terjadi. Tipe pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya sendiri, dan yang ketiga prolapsnya mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas selama periode inspirasi. Laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis (obstruksi jalan napas, tangis abnormal yang dapat berupa tangis tanpa suara atau disertai stridor inspiratoris serta kesulitan menelan), pemeriksaan fisik (tampak takipnea ringan), endoskopi (kolapsnya plika ariepiglotik dan kartilago kuneiform ke sebelah dalam) dan radiologi. Diagnosis banding laringomalasia adalah hemangioma supraglotik, massa atau adanya jaringan intraluminal seperti laryngeal web dan kista laring, kelainan akibat trauma seperti edema dan stenosis supraglotik, maupun kelainan pada pita suara.

Pada lebih dari 99% kasus, satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah waktu. Lesi sembuh secara berkala, dan stridor rata-rata hilang setelah dua tahun. Stridor mulanya meningkat pada 6 bulan pertama, seiring bertambahnya aliran udara pernafasan bersama dengan bertambahnya umur. Pada beberapa kasus, stridor dapat menetap hingga dewasa. Supraglotoplasti dapat dilakukan pada kasus-kasus yang lebih ringan Prognosis laringomalasia umumnya baik.

BAB VII DAFTAR PUSTAKA 1. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar THT. Penerbit buku kedokteran EGC.Jakarta. 1997. 2. Bailey BJ, Calhoun KH. Head and Neck Surgery Otolaringology, Volume one, 2nd Edition. Lippincott Raven Publishers. Philadelphia, USA. 3. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid Satu, Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta. 1994 4. Hermani B, Kartosoediro S, Syahrial MH. Disfonia dan Kelainan Laring. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ;2007. h 231-7. 5. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 598-606 6. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth & Co Ltd. 1997. page 1/12/1-1/12/18 7. Moore, E.J and Senders, C.W. Cleft lip and palate. In : Lee, K.J. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 241-242. 8. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology Head and Neck Surgery. Second edition. St Louis : Mosby, 1993. 9. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In : Anatomy for surgeons. Volume 1 : Head and Neck. A hoeber-harper international edition, 1966 : 425456 10. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 724-736, 747, 755760.

11. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1. Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins, 2001: 479-486. 12. Lusk RP. Congenital Anomalies of The Larynx. Dalam Ballenger JJ, Snow JB. Otolaryngology Head and Neck Surgery 15th Edition. Baltimore : William & Wilkins ;1996 p 498-501. 13. Tucker HM. The Larynx, 2nd Edition. Thieme Medical Publishing Division. Ohio, USA. 1993. 14. Bye MR. Laringomalacia. Available at http://www.emedicine.com/

ped/topic1280.htm . Accessed on June 14th 2013. 15. Paston F. Laringomalacia and Tracheomalacia. Available at

http://pedclerk.bsd.uchicago.edu/tracheomalacia.html . Accessed on June 14th 2013. 16. Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment in Otolaringology Head and Neck Surgery. Lange Medical Book, Mc Graw-Hill Company. New York, USA. 2004. 17. Cotton RT, Myer CM. Practical Pediatric Otolaryngology. Philadelphia : Lippincott-Raven Publisher; 1999. p 497-501.

Anda mungkin juga menyukai