Anda di halaman 1dari 24

Osteosarkoma

Problem Based Learning

PENDAHULUAN
Osteosarkoma juga disebut osteogenik sarcoma adalah suatu neoplasma ganas yang berasal dari sel primitif ( poorly differentiatid cells ) di daerah metafisi tulang panjang pada anak-anak. Disebut osteogenik oleh karena perkembangannya berasal sero osteoblastik sel mesenkim primitif. Osteosarcoma merupakan neoplasma primer dari tulanag yg tersering nomer setelah myeloma multipel. Ostersarcoma biasanya terdapat pada tulang panjang dimana lempeng pertumbuhannya ( epiphyseal growth plate) yang sangat aktif; yaitu pada distal femur, proksimal tibia dan fibula, proksimal humerus dan pelvis. Pada orang tua umur di atas 50 tahun,osteosarkoma bisa terjadi akibat degenerasi ganas dari pagets disease, dengan prognosis sangat jelek. Osteosarkoma klasik didefinisikan dengan sarkoma sel spindel dengan derajat malignansi tinggi dan sangat khas memproduksi matriks osteoid. Penyebab osteosarkoma masih belum jelas diketahui. Adanya hubungan kekeluargaan menjadi suatu presdiposi, begitu pula adanya heredetery retinoblastoma dan sindrom Li- Fraumeni. Radiasi ion 3 % penyebab langsung osteosarcoma , begitu pula alkyleting agent yang digunakan pada kemoterapi. Lokasi tumor dan usia penderita pada pertumbuhan pesat dari tulang memunculkan perkiraan adanya pengaruh dalam patogenesis osteosarkoma. Mulai tumbuh bisa di dalam tulang atau permukaan tulang dan berlanjut sampai pad jaringan lunak sekitar tulang. Epifisis dan tulang rawan sendi bertindak sebagai barier pertumbuhan tumor ke dlam sendi. Osteosarkoma mengadakan mestastase secra hematogen, paling sering ke paru atau pada tulang lainnya dan didapatkan sekitar 15 % - 20 % telah mengalami metastase pada saat diagnosis di tegakan. Mestastase secara limpogen hampir tidak terjadi.

Bab II ISI

I.

Kejelasan Konsep Biopsi : pemeriksaan dan pengambilan dari jaringan tubuh, biasanya mikroskopik, untuk menegakkan dengan pasti. (sumber : Kamus Dorland )

II.

Uraian Masalah Pasien usia 22 th Nyeri pada paha bawah kanan dan bengkak Nyeri 1 tahun, bengkak 8 bulan Nyeri dan bengkak bertambah berat Lemah dan BB turun drastis

III. Analisa masalah Tahap 1 1. Patofisiologi bengkak dan nyeri ? 2. Mengapa nyeri yang pertama kali tidak disertai bengkak ? 3. Apa yang menyebabkan BB turun ?

Jawaban: 1. Patofisiologi bengkak dan nyeri Patofisiologi Edema Pori fungsional di endotel kapiler dapat memungkinkan sebagian besar cairan plasma bebas protein terfiltrasi ke dalam ruang interstitial. Sekitar 20 L/hari cairan difiltrasi melalui seluruh kapiler di tubuh, kecuali ginjal, dan kurang lebih 90% cairan tersebut akan segera direabsorbsi. Laju filtrasi atau reabsorbsi Qf ditentukan oleh koefisien filtrasi Kf ( = permeabilitas cairan x luas daerah pertukaran) dinding kapiler dan oleh

tekanan filtrasi efektif Peff (Qf = Peff x Kf). Peff merupakan perbedaan antara perbedaan tekanan hidrostatik P dan perbedaan tekanan onkotik (osmotic koloid) mmHg). di sepanjang dinding kapiler (Hukum Starling), dengan P = tekanan darah di kapiler (Pcap) tekanan interstitial (Pint, normalnya 0 meningkat karena konsentrasi protein di plasma lebih tinggi daripada di ruang interstitial, sebesar Cprot ( 1 mmol/L), dan semakin besar selisihnya, koefisien refleksi untuk protein plasma (prot) semakin mendekati 1,0. Dengan demikian permeabilitas endotel untuk protein plasma ( = prot x R x T x Cprot) semakin kecil.

Jika jumlah filtrate melebihi penjumlahan volume yang direabsorbsi ditambah dengan pengeluaran limfatik, akan menyebabkan edema. Beberapa penyebab edema adalah : a. Tekanan darah yang meningkat di ujung arteri akibat vasodilatasi prekapiler, terutama yang terjadi bersamaan dengan peningkatan permeabilitas terhadap protein, misalnya pada inflamasi atau anafilaksis (histamine, bradikinin, dll) b. Peningkatan tekanan vena yang disebabkan secara local akibat trombosit vena atau secara sistemik. c. Penurunan konsentrasi protein plasma (terutama albumin) menyebabkan menjadi sangat menurun. d. Edema local yang juga disebabkan oleh berkurangnya aliran limfe melalui mekanisme kompresi (tumor), transeksi (operasi), fibrosis (radioterapi), atau penyumbatan (Bilharziasis) pada pembuluh limfe. Jika terjadi edema, ruang interstitial akan meluas hingga tercapai keseimbangan baru (filtrasi = absorbs + aliran keluar limfe). Peregangan ruang interstitial mendorong terbentuknya edema selaras dengan peningkatan tekanan hidrostatik di bagian tubuh yang menggantung.

Gambar penjelasan pembentukan edema (Stefan Silbernagl, 2006.) Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan. Persepsi yang

disebabkan oleh rangsangan yang potensial dapat menimbulkan kerusakan jaringan disebut nosisepsion, sedangkan reseptor meurologik yang dapat membedakan antara rangsang nyeri dengan rangsang lain disebut nosiseptor. Pada manusia, nosiseptor merupakan terminal yang tidak terdiferensiasi serabut a-delta yang merupakan serabut saraf bermielin tipis serta berperan sebagai penerima rangsang mekanik dengan intensitas menyakitkan dan serabut c yang merupakan serabut saraf tidak bermielin.

Klasifikasi nyeri : a. Nyeri nosiseptif, yaitu nyeri yang timbul akibat perangsangan pada nosiseptor oleh rangsangan mekanik termal atau kemikal. Nyeri tersebut dibagi lagi menjadi : 1) Nyeri somatic, yaitu nyeri yang timbul pada organ non-visceral, misalnya pada nyeri pasca bedah, nyeri metastatic, nyeri tulang, dan nyeri artritik. 2) Nyeri visceral, yaitu nyeri yang berasal dari organ visceral, biasanya akibat distensi organ yang berongga, misalnya usus, kandung empedu, pancreas, dan jantung. Nyeri ini sering diikuti referred pain dan sensasi otonom, seperti mual dan muntah. b. Nyeri non-nosiseptif 1) Nyeri neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat iritasi atau traiuma pada saraf. Nyeri tersebut sering persisten walaupun penyebabnya sudah tidak ada. Pasien biasanya merasakan rasa seperti terbakar. 2) Nyeri psikogenik, yaitu nyeri yang tidak memenuhi criteria nyeri somatic dan nyeri neuropatik dan memenuhi criteria untuk depresi atau kelainan psikosomatik. Mekanisme nyeri Proses nyeri mulai stimulasi nosiseptor oleh stimulus noxious sampai terjadinya pengalaman subyektif nyeri merupakan suatu kejadian elektrik dan kimia yang bisa dikelompokkan menjadi empat proses, yaitu : transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Nyeri dimulai dari stimulasi nosiseptor oleh stimulus noxious pada jaringan. Stimulus noxious tersebut dirubah menjadi potensial aksi. Proses ini dinamakan transduksi atau aktivasi reseptor. Potensial aksi tersebut ditransmisikan menuju neuron SSP yang berhubungan dengan nyeri. Pada tahap pertama transmisi, terjadi konduksi impuls dari neuron aferen primer ke kornu dorsalis medulla spinalis. Pada kornu tersebut neuron aferen primer bersinap dengan neuron SSP. Jaringan neuron tersebut langsung naik ke atas di medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus. Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara thalamus dan pusat-pusat saraf yang lebih tinggi di otak yang mengurusi respon persepsi dan afektif

yang berhubungan dengan nyeri. Akan tetapi, rangsangan nosiseptif tidak selalu menimbulkan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri tidak selalu terjadi tanpa stimulus nosiseptif. Di sini terdapat proses modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut. Tempat modulasi sinyal yang paling diketahui adalah pada kornu dorsalis medula spinalis. Pada proses persepsi, pesan nyeri di relai menuju ke otak dan menghasilkan suatu rasa nyeri. Aspek Perifer Nosisepsi Pada nosiseptor terdapat dua tipe serabut saraf aferen primer nosiseptif, yaitu serabut A dan serabut C. Dua fungsi utama serabut saraf aferen primer adalah transduksi stimulus dan transmisi stimulus menuju SSP. Badan sel neuron-neuron tersebut terdapat pada ganglion radix dorsalis. Axon dari neuron ini memiliki dua cabang, yaitu cabang yang menuju perifer dengan bagian terminal sensitive terhadap stimulus noxious dan cabang yang yang menuju SSP dan bersinap dengan neuron SSP di kornu dorsalis medulla spinalis. Nyeri Inflamasi Pada proses inflamasi, proses nyeri terjadi karena stimulus nosiseptor akibat pembebasan mediator-mediator biokimiawi. Inflamasi terjadi akibat respon imunologik yang dimulai dengan adanya antigen lalu diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang kemudian akan diekskresikan ke permukaan sel dengan determinan HLA yang sesuai. Antigen tersebut diikat oleh sel T melalui reseptor sel T membentuk komplek trimolekuler. Komplek ini akan mencetuskan rangkaian proses imunologik dengan pelepasan berbagai sitokin (IL-1, IL-2) sehingga terjadi aktifvasi, mitosis, dan proliferasi sel T tersebut. Sel T yang teraktifasi juga akan menghasilkan berbagai limfokin dan mediator inflamasi yang bekerja merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk produksi antibodi. Setelah berikatan dengan antigen, antibodi yang dihasilkan akan membentuk komplek imun yang akan menyerang organ target dan mengaktifkan sel radang untuk melakukan fagositosis yang diikuti oleh pembebasan metabolit asam arakidonat, radikal oksigen bebas, enzim

protease yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan pada organ target tersebut. Komplek imun juga dapat mengaktifasi sistem komplemen dan membebaskan komponen aktif seperti C3a dan C5a yang merangsang sel mast dan trombosit untuk membebaskan asam vasoaktif sehingga menimbulkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vascular. Komplemen C5a juga mempunyai efek kemotaktik sehingga sel-sel polimorfonuklear dan mononuclear akan berdatangan ke daerah inflamasi. Dalam proses inflamasi, berbagai jenis prostaglandin seperti PGE1, PGE2, PGI2, PGD2, dan PGA2 dapat menimbulkan vasodilatasi. Sebagian kerusakan jaringan pada proses inflamasi disebabkan oleh radikal hidroksi bebas yang terbentuk selama konversi enzimatik dari PGG2 menjadi PGH2 atau pada proses fagositosis. Pada proses inflamasi terjadi empat sistem yang berinteraksi, yaitu sistem pembekuan darah, sistem kinin, sistem fibrinolisis, dan sistem komplemen yang akan membebaskan berbagai protein inflamatif baik amin vasoaktif maupun zat kemotaktik yang akan menarik lebih banyak sel radang ke daerah inflamasi. (Bambang, 2007) Pada nyeri perifer, rangsang nyeri ditangkap oleh nosiseptor di kulit yang dipicu oleh rangsangan tidak berbahaya dengan intensitas tinggi berupa peregangan dan suhu tinggi serta adanya lesi jaringan. Akibat adanya lesi, muncul sel-sel nekrotik yang akan melepaskan K+ dan protein intra sel. Peningkatan konsentrasi K+ tersebut akan mendepolarisasi nosiseptor, sedangkan protein digunakan organisme untuk kepentingan

metabolismenya apabila menginfiltrasi sehingga menyebabkan inflamasi. Karena inflamasi terjadi, mediator penyebab nyeri seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan histamine dilepaskan dan dapat mensensitisasi

nosiseptor. Lesi jaringan tadi juga dapat mengaktifkan proses pembekuan darah sehingga melepaskan bradikinin dan serotonin. Jika terdapat penyumbatan pembuluh darah, akan terjadi iskemia dan penimbunan K+ dan H+ ekstrasel yang diakibatkan akan semakin mengaktifkan nosiseptor yang telah tersensititasi. Mediator histamine, bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas vascular sehingga menyebabkan edema local dan peningkatan tekanan jaringan dan

perangsangan nosiseptor. Oleh karena nosiseptor yang terangsang, mengakibatkan pelepasan substansi peptide P (SP) dan peptide yang berhubungan dengan gen kalsitonin (CGRP) yang meningkatkan respon inflamasi dan menyebabkan vasodilatasi serta meningkatkan permeabilitas vascular.

Gambar mekanisme nyeri perifer (Stefan Silbernagl, 2006)

2.

nyeri

Nosisptif adalah karena perangsangan nosisptor (serabut a-delta dan serabut c) oleh karena rangsangan mekanik, termal dan kemikal. Viseral adalah akibat distensi organ yang berongga, misalnya usus, kantong empedu, pankreas, jantung. Biasanya diikuti dengan reffered pain dan sensasi otonom (mual,muntah).

Somatik adalah pada organ yang tidak termasuk viseral. Pada kasus kali ini, nyeri yang dirasakan oleh penderita termasuk dalam nyeri somatik. Mekanisme nyeri adalah suatu proses stimulasi nosiceptor oleh stimulasi noxious hingga terjadi pengalaman subjektif nyeri. Proses ini dibagi menjadi 4 proses utama, yakni transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.

Proses berjalan dari transduksi yang mana mengaktivasi reseptor. Kemudian melalui proses transmisi, yakni konduksi impuls dari neuron aferen primer ke kornu dorsalis medula spinalis, dan timbul persepsi nyeri. Akan tetapi ada juga yang melalui modulasi yakni sinyal yang mempengaruhi proses nyeri. Mengapa pada awal nyeri tidak terdapat pembengkakan? Hal ini dikarenakan proses mekanisme nyeri, yang mana mungkin tidak ada transduksi terlebih dahulu. Kemudian setelah 4 bulan berjalan, baru terjadi proses inflamasi dengan tanda

pembengkakan tersebut serta nyeri bertambah berat. Karena mengingat tanda klasik inflamasi yakni rubor, kalor dolor, tumor. 3. Neoplasma ganas dapat melakukan apapun yang dilakukan tumor jinak, namun biasanya lebih agresif dan destruktif oleh karena laju pertumbuhan neoplasma ganas yang umumnya lebih cepat, kemampuan untuk menginvasi dan merusak jaringan jarangan lokal, dan menyebar membentuk metastasis yang jauh. Pasien stadium lanjut sering nampak seperti menderita malnutrisi berat, keadaan ini disebut kakeksia tumor. Keadaan ini disebabkan karena efek sitokinin yang dihasilkan tumor atau bagian dari respon tumor.

IV.

Informasi II Pada pemeriksaan fisik didapat: Status generalis:

KU/kes: tampak kesakitan/compos mentis Mata: conjungtiva subanemis +/+, SI -/Hidung dan mulut: dbn Thoraks: Jantung: S1>S2,reguler, gallop(-), bising/murmur(-) Paru: SD vesikuler, ST Rh-/-, Wh-/Abdomen: datar, supel, H/L ttb, BU (+) N Ekstrimas: Superior: dbn Inferior: sinistra (dbn), dekstra (lihat status lokalis) Status lokalis Regio femur dekxtra 1/3 distal Inspeksi: tampak merah, bengkak, mengkilat Palpasi: teraba hangat, terdapat nyeri tekan, pitting edema (-), krepitasi (-). Teraba massa bulat,konsistensi keras, lokasi di bagian anterior dengan ukuran 20x20x15 cm, immobile, permukaan tidak rata, memiliki kesan lengket dengan jaringan di sekitarnya. Laboratorium: Hb 6 gr/L, kadar alkali fosfatase meningkat. Radiologi: Pembengkakan jaringan lunak, sebuah struktur tumor destruktif pada femur distal. Infiltrat opaq menyerupai bulu menunjukkan tumor osteoid ganas dan hasil MRI menunjukkan area perusakan tulang dan perluasan tumor ke jaringan lunak. Tampak pula pada foto rontgen gambaran sun ray appearance, segitiga coddman, gambaran tulang yang mengalami sklerosis. V. Sasaran Belajar

1. Penjelasan tentang sun ray appearance! 2. Mengapa alkali fosfatase mengalami peningkatan? 3. Patofisiologi tumor! 4. Tabel DD! 5. Apa yang menjadi faktor resiko dan bagaimana pencegahannya?

6. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada kasus ini? Jawaban: 1. Sun ray appearance Sunray Appearance atau Sunburst adalah gambaran radiologist yang terjadi lewat reaksi periosteal dalam tulang. Reaksi periosteal adalah reaksi pembentukan tulang baru akibat dari trauma karena periosteum di sekitar tulang. Reaksi periosteal tersebut menimbulkan periosteum periosteum baru yang tertimbun akibat adanya lesi pada tulang. Sunray appearance terjadi sebelum adanya proses metastase pada tumor. Gambaran radiologis nya berupa garis garis tipis seperti sinar yang tegak lurus pada permukaan tulang. Gambaran yang tampak merupakan hasil perluasan tumor dan mineralisasi di sekitar tulang.

2. Peningkatan alkali fosfatase

Alkali phosphatase (ALP) termasuk dalam enzim plasma,yaitu apabila enzim plasma meningkat menandakan adanya peningkatan sel-sel yang mati atau rusak. Dalam keadaan tulang yang baik, osteoblas dan osteoklas memiliki jumlah yang sama, tetapi saat terjadi neoplasma pada tulang, osteoblas meningkat,sehingga alkali phosphatase (ALP) pun juga meningkat. ALP dilihat pada pemeriksaan prognosis. Osteolitik terjadi saat neoplasma mulai menginvasi jaringanjaringan lunak pada tulang,sehingga tulang mengalami kerusakan. Osteolitik dan osteoblastik ini yang menyebabkan penampakan atau permukaan tidak rata atau kasar. 3. Patofisiologi tumor Tumor/ neoplasma ialah kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus-menerus secara tidak terbatas, tidak berkoordinasi dengan jaringan di sekitarnya dan tidak berguna bagi tubuh. Tumor dibagi atas yang jinak (benigna) dan yang ganas (maligna). Banyak criteria untuk membedakan tumor ganas dan tumor jinak, diantaranya: 1. Tumor ganas tumbuhnya infiltratif, yaitu tumbuh bercabang-cabang menyebuk ke dalam jaringan sehat di sekitarnya, menyerupai jari-jari kepiting (cancer). Maka tumor ganas sering juga disebut kanker. Karena itu tumor ganas biasanya sukar digerakkan dari dasarnya. Tumor jinak tumbuhnya ekspansif, yaitu mendesak jaringan sehat di sekitarnya dan jaringan sehat yang terdesak ini akan membentuk simpai = kapsel dari tumor. Karena tidak ada pertumbuhan infiltratif maka biasanya tumor jinak mudah digerakkan dari dasarnya. 2. Residif (kambuh) Setelah diangkat atau diberi pengobatan dengan penyinaran sering tumor ganas kambuh lagi. Tumor jinak karena sifatnya bersimpai laboratorium untuk kepentingan mendapatkan

maka bila diangkat mudah dikeluarkan seluruhnya, sehingga tidak ada jaringan tumor yang tertinggal dan tidak menimbulkan residif. 3. Metastasis Walaupun tidak semuanya, tetapi pada umumnya tumor ganas bermetastasis di tempat lain, sebaliknya tumor jinak tidak melakukan metastasis. 4. Tumor ganas tumbuhnya cepat, maka secara klinik tumornya cepat membesar. Tumor jinak tumbuhnya lambat, sehingga tumornya tidak cepat membesar. 5. Tumor ganas apabila tidak diobati akan menyebabkan meninggalnya penderita, sedangkan tumor jinak biasanya tidak menyebabkan kematian bila letaknya tidak pada alat tubuh yang vital. Mekanisme terjadinya tumor/ patofisiologi tumor: Ada 3 faktor yang mempengaruhi pertumbuha sel tumor/ neoplasma: 1. Protoonkogen 2. Antionkogen 3. Apoptosis Mekanisme neoplasma dilihat dari biomolekuler: PROTO-ONKOGEN Pada sel normal,keadaan fisiologis pertumbuhan(proliferasi) sel dan diferensiasi sel diatur oleh gen yang disebut Proto-onkogen.Protoonkogen dapat mengalami mutasi menjadi onkogen. Onkogen adalah gen yang produknya berkaitan dengan terjadinya transformasi

neoplastik/pertumbuhan sel neoplastik.(NB:Onkogen berasal dari kata yunani oncos dan gen,oncos artinya tumor).Protein yang dibuat oleh onkogen disebut Onkoprotein Pada keadaan fisiologis proses pembelahan sel dapat dibagi kedalam tahap-tahap sebagai berikut: 1. Pengikatan faktor pertumbuhan oleh reseptor faktor pertumbuhan yang berada pada membran sel.

2. Aktivasi reseptor faktor petumbuhan yang kemudian mengaktifkan protein penghantar rangsang yang berada pada bagian dalam membrane sel. 3. Pengaliran rangsang pertumbuhan melalui sitoplasma ke inti. 4. Merangsang dan mengaktifkan factor pertumbuhan inti,sehingga transkipsi DNA dimulai. 5. Sel masuk kedalam siklus pembelahan sel ;fase G1,fase S,fase G2:kemudian fase M. Ketika proto-onkogen mengalami mutasi(mutasi

titik,translokasi,amplifikasi,insersi atau delesi) menjadi onkogen,maka mekanisme fisiologis proses pembelahan sel normal akan mengalami gangguan dan menuju pada lesi gen. Perubahan ini akan terjadi proses pembelahan sel neoplastik. Efek dari Aktivasi Onkogen 1. 1.Mengkode pembuatan protein yang berfungsi sebagai factor

pertumbuhan,yang berlebihan dan merangsang diri sendiri(misalnya csis). 2. Memproduksi reseptor faktor pertumbuhan yang tidak sempurna,yang memberi isyarat pertumbuhan terus-menerus meskipun tidak ada rangsang dari luar(misalnya c-erbB). 3. Pada amplifikasi gen terbentuk reseptor faktor pertumbuhan yang berlebihan,sehingga sel tumor sangat peka terhadap faktor pertmbuhan yang rendah,yang berada dibawah ambang rangsang normal(misalnya cneu). 4. Memproduksi protein yang berfungsi sebagai penghantar isyarat didalam sel yang tidak sempurna,yang terus menerus menghantarkan isyarat meskipun tidak ada rangsangan dari luar sel(misalnya c-K-Ras). 5. Memproduksi protein yang berikatan langsung dengan inti yang merangsang pembelahan sel(misalnya c-myc).

Hasil dari efek aktivasi onkogen diatas,pada akhirnya akan dibawa ke siklus sel. Progresi sel dalam pembelahan diatur melalui berbagai fase siklus sel yang dikendalikan oleh cycline-dependent kinase(CDKs) yang menjadi aktif setelah berikatan dengan protein lain yang disebut cycline. Meskipun tiap fase dimonitor dengan sangat baik,namun peralihan dari G1 ke S merupakan check point yang paling penting dalam siklus sel.Jika check point ini dilalui,maka sel diizinkan melanjutkan proses selanjutnya. Jika sel menerima isyarat pertumbuhan,kadar family cycline tersebut bekerja dan mengaktifkan CDKs.Check point fase G1 ke fase S dijaga oleh protein Rb(pRb).Apabila terjadi fosforilisasi pRb yang didapat dari CDKs maka sel dari fase G1 diizinkan memasuki fase S(fase sintesa DNA).Jika terjadi mutasi yang menggangu pengaturan cycline D biasanya overexpresi,mengakibatkan peningkatan sel masuk ke fase S,sehingga terjadi transformasi neoplastik. Tumor supresor gen/ antikogen Tumor tidak hanya terjadi akibat aktifasi onkogen yang berlebihan tetapi dapat juga akibat hilangnnya atau tidak aktifnya gen yang bekerja menghambat pertumbuhan sel yang disebut Anti-onkogen. Pada pertumbuhan dan dan diferensiasi normal.Anti-onkogen bekerja

menghambat pertumbuhan dan merangsang diferensiasi sel. Beberapa anti-onkogen ialah gen p53,Rb(retinoblastoma),APC(adenomatous polyposis coli),WT(wiliams Tumor),DCC dan NF-2.Dari beberapa antionkogen tadi,yang sering ditemukan mengalami mutasi adalah p53 dan Rb yang akan mengakibatkan pembelahan sel secara neoplastik. Mekanisme kerja Anti-Onkogen/Tumor Supresor Gen Selama fase pertama sel yaitu G1,ada proses yang perlu dilalui oleh sel,yang disebut checkpoint.Check point ini bertujuan untuk

mengecek,apakah sel diizinkan untuk membelah atau tidak.Tumor supresor gen,berfungsi sebagai check point untuk mengatur pembelahan sel.Beberapa yang sering mengalami mutasi Rb dan p53.

Mekanisme kerja Rb dan p53 Sebelum sel memasuki siklus sel fase S,pada fase G1 akan diadakan checkpoint.Pada siklus yang normal,Rb akan berikatan dengan factor transkripsi yang disebut E2F.Faktor transkripsi ini berfungsi dalam mengaktifkan ekspresi gen dan member sinyal bahwa pembelahan sel boleh dilanjutkan.Jika E2F diikat oleh Rb,maka proses siklus sel selanjutnya belum bisa dilakukan.Untuk melepaskan ikatan

ini,diperlukan CDKs yang telah diaktifkan oleh cycline,dan membuat Rb difosforilisasi.Fosforilisasi Rb menyebabkan ikatan E2F dan Rb putus.Dengan putusnya ikatan Rb dengan E2F,maka E2F akan mengaktifkan ekspresi gen dan memberi sinyal agar siklus pembelahan sel dilanjutkan.Jika terjadi mutasi pada Rb,maka tidak ada yang mengikat E2F,sehingga ekspresi gen dan sinyal pembelahan sel akan diteruskan kepada S,yang akan membawa ke pembelahan sel neoplastik Selain Rb,tumor supresor gen yang bekerja pada check point adalah p53.p53 ini bekerja untuk mengecek apakah terjadi kerusakan DNA atau tidak.Jika terdeteksi adanya kerusakan DNA,maka ada 2 hal yang diperintahkan oleh p53,yaitu mengaktifkan DNA repair gen dan penghentian siklus sel pada G1 sampai kerusakannya dapat diperbaiki.Mekanisme penghentian siklus sel,yaitu dengan mengaktifkan p21.p21 ini berfungsi untuk mencegah aktifasi CDKs oleh cycline,sehingga CDKs tidak bisa memfosforilisasi Rb.Akibatnya E2F tetap terikat dengan E2F. Jika terjadi mutasi pada p53.Maka,kerusakan DNA tidak akan dapat dideteksi,yang pada akhirnya akan membawa kepada pertumbuhan sel neoplastik. GEN YANG MENGATUR KEMATIAN SEL TERPOGRAM Apoptosis ialah kematian sel terprogram yang terjadi akibat beberapa proses fisiologik atau neoplastik.Penumpukan sel pada neoplasma,tidak hanya terjadi akibat aktifasi gen perangsang perumbuhan atau antionkogen,tapi juga terjadinya mutasi gen pengatur apoptosis.

Pertumbuhan sel diatur oleh proto-onkogen dan onkogen,sedangkan

kehidupan sel diatur oleh gen perangsang dan penghambat apoptosis.Gen penghambat apoptosis ialag bcl-2 sedangkan yang meningkatkan apoptosis adalah bax/bad.Hubungan kedua sel ini menentukan jumlah sel. Jenis-jenis tumor: 1. a. Tumor ganas: Osteoclastoma (tumor sel datia): tumor agresif, ditandai oleh

jaringan yang kaya pembuluh darah, terdiri atas sel besar berbentuk kumparan atau lonjong disertai banyak sel datia jenis osteoklas. Biasanya mengenai ujung-ujung tulang panjang; paling sering pada ujung distal femur, ujung proksimal tibia dan ujung distal radius. b. Tumor Ewing: Kelainan yang timbul dari medulla kemudian merangsang

menyebar dan kanalikulus melebar, mengenai kortex,

peritoneum sehingga terbentuk tulang baru, tumor ini mengenai metafisis dan diafisis. Tulang yang diserang ialah tibia, humerus, femur, fibula dan clavicula. c. d. Sarkoma sel reticulum: distribusi tumor menyerupai tumor ewing. Mieloma sel plasma ( Multiple myeloma) : Tumor sum-sum tulang,

tumor yang unik karena adanya kelainan metabolisme protein yang menyertainya. Paling sering pada tulang iga, tengkorak, vertebra, pelvis, femur, humerus dan scapula. e. Tumor ganas sekunder: tumor yang biasanya menyebabkan dan osteolisis, jarang terjadi osteoblastik serta rarefaction bermetastasis. 2. a. Tumor jinak: Osteoma: Suatu tumor jinak di mana terdapat lesi tulang (tumbuh

tulang yang abnormal), ada benjolan yang tumbuh lambat tetapi tidak merasakan nyeri. b. Kondroblastoma: Tumor jinak yang menyerang pada bagian dan metafisis tulang.,jarang ditemukan, lebih banyak

diafisis

menyerang pada anak remaja laki-laki.

c.

Endokondroma : Suatu jenis tumor jinak sel tulang rawan,

menyerang metafisis tulang tubular. d. Giant cell tumor: Suatu tumor jinak di mana terdapat stroma

vaskular dan selular. Tumor ini bisa menjadi ganas. Predileksinya ada di ujung tulang panjang, lutut dan radius. 4. Table diagnosis dini NO Pembeda Osteomielitis Osteosarkoma Sarkoma Ewing 1. Tanda gejala 2. Predileksi dan Nyeri, anorexia Os.femur, Os.tibia, Os.humerus, Os.ulna 3. Etiologi Staphylococcus aureus 4. 5. Menyerang Metafisis Metafisis Diafisis bengkak, Nyeri ekstrimitas, Nyeri tungkai bengkak, BB turun Sekitar distal, proximal bawah

Os.femur Os.femur, Os.tibia Os.tibia, panggul

Epidemiologi Anak-anak (2-10 10-20 th pada usia Anak remaja, th), dewasa muda maksimal pertumbuhan tulang puncaknya dekade ke 2 (10-20 th) Ray, pada Onion Skin

6.

Gambaran radiologis

Sun

pemeriksaan darah didapatkan peningkatan kadar alkali fosfatase

5. Faktor resiko dan pencegahan Faktor resiko

1. Pertumbuhan tulang yang cepat : terlihat sebagai predisposisi osteosarkoma, seperti yang terlihat bahwa insidennya meningkat pada saat pertumbuhan remaja. Lokasi osteosarkoma paling sering pada metafisis, dimana area ini merupakan area pertumbuhan tulang panjang. 2. Faktor lingkungan : satu satunya faktor lingkungan yang diketahui adalah paparan terhadap radiasi. 3. Predisposisi genetik : dysplasia tulang, termasuk penyakit paget, fibrous dysplasia, enchondromatosis, dan hereditary multiple extoses dan retinoblastoma (germ-line form). Kombinasi dari mutasi RB gene (germline retinoblastoma) dan terapi radiasi berhubungan dengan resiko tinggi untuk osteosarkoma, LiFraumeni syndrome (germline p53 mutation), dan RouthmundThomson syndrome (autosomal resesif yang berhubungan dengan defek tulang congenital, dysplasia rambut dan tulang,

hypogonadism, dan katarak. (National Cancer Institute.2008. Osteosarkoma/Mignant Fibrous Histiocytoma of Bone Treatment. ) Pencegahan Hindari paparan radiasi Olah raga teratur Hindari bahan karsinogenik

6. Penatalaksanaan dan prognosis a. Penatalaksanaan medis Penatalaksanaan tergantung pada tipe dan fase dari tumor tersebut saat didiagnosis. Tujuan penatalaksanaan secara umum meliputi pengangkatan tumor, pencegahan amputasi jika memungkinkan dan pemeliharaan fungsi secara maksimal dari anggota tubuh atau ekstremitas yang sakit. Penatalaksanaan meliputi pembedahan, kemoterapi, radioterapi, atau terapi kombinasi.

Osteosarkoma biasanya ditangani dengan pembedahan dan / atau radiasi dan kemoterapi. Protokol kemoterapi yang digunakan biasanya meliputi adriamycin (doksorubisin) cytoksan dosis tinggi (siklofosfamid) atau metrotexate dosis tinggi (MTX) dengan leukovorin. Agen ini mungkin digunakan secara tersendiri atau dalam kombinasi. Bila terdapat hiperkalsemia, penanganan meliputi hidrasi dengan pemberian cairan normal intravena, diurelika, mobilisasi dan obatobatan seperti fosfat, mitramisin, kalsitonin atau kortikosteroid. ( Gole. 1999: 245 ). b. Tindakan keperawatan Manajemen nyeri Teknik manajemen nyeri secara psikologik (teknik relaksasi napas dalam, visualisasi, dan bimbingan imajinasi) dan farmakologi (pemberian analgetika). Mengajarkan mekanisme koping yang efektif Motivasi klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan mereka, dan berikan dukungan secara moril serta anjurkan keluarga untuk berkonsultasi ke ahli psikologi atau rohaniawan. Memberikan nutrisi yang adekuat Berkurangnya nafsu makan, mual, muntah sering terjadi sebagai efek samping kemoterapi dan radiasi, sehingga perlu diberikan nutrisi yang adekuat. Antiemetika dan teknik relaksasi dapat mengurangi reaksi gastrointestinal. Pemberian nutrisi parenteral dapat dilakukan sesuai dengan indikasi dokter. Pendidikan kesehatan Pasien dan keluarga diberikan pendidikan kesehatan tentang kemungkinan terjadinya komplikasi, program terapi, dan teknik perawatan luka di rumah. ( Smeltzer. 2001: 2350 ) Pemerikasaan Diagnostik

Diagnosis didasarkan pada riwayat, pemeriksaan fisik, dan penunjang diagnosis seperti CT, mielogram, asteriografi, MRI, biopsi, dan pemeriksaan biokimia darah dan urine. Pemeriksaan foto toraks dilakukan sebagai prosedur rutin serta untuk follow-up adanya stasis pada paru-paru. Fosfatase alkali biasanya meningkat pada sarkoma osteogenik.

Hiperkalsemia terjadi pada kanker tulang metastasis dari payudara, paru, dan ginjal. Gejala hiperkalsemia meliputi kelemahan otot, keletihan, anoreksia, mual, muntah, poliuria, kejang dan koma. Hiperkalsemia harus diidentifikasi dan ditangani segera. Biopsi bedah dilakukan untuk identifikasi histologik. Biopsi harus dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran dan kekambuhan yang terjadi setelah eksesi tumor. ( Rasjad. 2003 ) VI. Informasi 3

Hasil biopsi. Phatological findings: Hasil biopsi menunjukkan dua kommponen utama keganasan ini: sel pleiomorfik danm deposit osteoid yang menyebar. Perhatikan bahwa sel- sel ganas mngisi ruangan antara deposit-deposit osteoid. Perbesaran kuat menunjukkan penampakan sel anplastik dan aktivitas mitosis Deposit osteoid menyerupai tali adalah sangat khas untuk neoplasma ini Dapat ditemukan beberapa fokus kartilago yang neoplastik. VII. Analisa.

Dari informasi-informasi tambahan yang didapat, maka dari diagnosis diferensial yang ada dapat ditentukan diagnosis kerjanya adalah osteosarcoma.

Bab III KESIMPULAN

Osteosarkoma merupakan tumor ganas ke dua dari tulang. Didapatkan pada umur antara 5-30 tahun, dan terbanyak pada umur 10 20 tahun. Terdapat pada metafise tulang panjang yang pertumbuhannya cepat, terbanyak pada daerah lutut. Diagnose ditegakkan dengan gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiografi seperti plain foto, CT scan, MRI, bone scan, angiografi dan dengan pemeriksaan histopatologis melalui biopsi. Prognosis osteosarkoma tergantung pada staging dari tumor dan efektif-tidaknya penanganan. Penanganan osteosarkoma saat ini dilakukan dengan memberikan kemoterapi, baik pada preoperasi (induction=neoadjuvant chemotherapy, dan pascaoperasi (adjuvant chemotherapy). Pengobatan secara operasi, prosedur Limb Salvage merupakan tujuan yang diharapkan dalam operasi suatu osteosarkoma.Follow-up postoperasi pada penderita osteosarkoma merupakan langkah tindakan yang sangat penting.

DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia.2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. National Cancer Institute.2008. Osteosarkoma/Mignant Fibrous Histiocytoma of Bone Treatment. Rasjad, Choiruddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Bintang Lamimpatue. Smeltzer & Brenda G. bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Vol III. Edisi 8. Jakarta : EGC. Gole, Danielle & Jane Chorette. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Jakarta : EGC. Monique T. Kramer, DVM, MS; Kenneth S. Latimer, DVM, PhD; Pauline M. Rakich, DVM, PhD; Royce E. Roberts, DVM, MS; Nicole C. Northrup, DVM; and Perry J. Bain, DVM, PhD. Osteosarcoma.2008. diakses di http://www.vet.uga.edu/vpp/clerk/Kramer/index.php , pada Oktober 2009 Himawan, Sutisna. 1990. Patologi. Jakarta: Repro International. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai