Anda di halaman 1dari 19

ANEMIA DEFISIENSI BESI

A. Definisi Anemia adalah kadar hemoglobin di bawah normal, patokan WHO (1972) untuk anak sampai umur 6 tahun kadar Hb di bawah 11.0 g/dl dan untuk anak umur di atas 6 tahun kadar Hb di bawah 12 g/dl dianggap menderita anemia.1 Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Beberapa istilah:1 Mean corpuscular volume (MCV) = nilai hematokrit 10 Jumlah eritrosit (juta/mm3) Normal: 76-96 c. MCV <76 c disebut mikrositik, sedangkan bila >96 c disebut makrositik. Mean corpuscular hemoglobin (MCH)= nilai Hb 10 Jumlah eritrosit (juta/mm3) Normal: 27-32 g. Bila MCH <27 g disebut hipokrom, sedangkan bila >32 g disebut hiperkromik (istilah hiperkromik ini sekarang sudah tidak digunakan lagi, karena biasanya normokromik). Mean corpuscular haemoglobin concentration (MCHC) = Nilai Hb (g%)100 Nilai hematokrit Normal: 32-37 % . bila MCHC <32 % disebut hipokromik, sedangkan bila >37 % disebut hiperkromik B. Epidemiologi Prevalensi anemia defisiensi besi tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia sekolah dan anak praremaja.3 Angka kejadian anemia defisiensi besi pada anak usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5% anak 1

praremaja 2,6% dan gadis remaja yang hamil 26%. Di Amerika serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun diketahui kekurangan besi, 3% menderita anemia. Lebih kurang 9% gadis remaja di Amerika Serikat kekurangan besi dan 2% menderita anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat pubertas.2,3 Prevalensi Anemia defisiensi besi lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit putih. Keadan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam lebih rendah.2 Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia prevalensi anemia defisiensi besi pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun 1992 prevalensi anemia defisiensi besi pada anak balita di Indonesia adalah 55,5%.2 C. Metabolisme zat besi Perkembangan metabolisme zat besi dalam hubungannya dengan homeostatis besi dapat dimengerti dengan baik pada orang dewasa, sedangkan pada anak diperkirakan mengalami hal yang sama seperti pada orang dewasa. Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga terdapat dalam beberapa enzim dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter, dan proses katabolisme. Kekurangan zat besi akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem saluran pencernaan, susunan saraf pusat, kardiovaskuler, imunitas dan perubahan tingkat seluler. Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan, bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus. Di dalam tubuh orang dewasa mengandung zat besi sekitar 55 mg/kgBB atau sekitar 4 gram. Lebih kurang 67% zat besi tersebut dalam bentuk hemoglobin, 30% sebagai cadangan dalam bentuk feritin atau hemosiderin dan 3% dalam bentuk mioglobin, hanya sekitar 0,07% sebagai transferin dan 0,2% sebagai enzim. Bayi baru lahir dalam tubuhnya mengandung zat besi sekitar 0,5 gram.4 2

Ada dua cara penyerapan zat besi dalam usus, yang pertama adalah penyerapan dalam bentuk non heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu besinya harus diubah dulu menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang kedua adalah bentuk heme (sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung atau zat makanan yang dikonsumsi.2 Besi dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar. Di dalam lambung besi akan dibebaskan menjadi ion feri (Fe 3+) oleh pengaruh asam lambung (HCL), vitamin C, asam amino. Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion fero oleh pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh mukosa usus. Sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan sebagian masuk ke peredaran darah berikatan dengan protein yang disebut transferin. Selanjutnya transferin ini akan dipergunakan untuk sintesis hemoglobin. Sebagian transferin yang tidak terpakai akan disimpan sebagai labile iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri, terutama bila makanan mengandung vitamin dan fruktosa yang akan membentuk suatu kompleks besi yang larut, sedangkan fosfat, oksalat dan fitat menghambat absorpsi besi.1,3,5

Gambar 1.1. Pengaturan besi oleh mukosa usus2 Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron pool dan akan dipergunakan lagi untuk sintesa hemoglobin. Jadi dalam tubuh normal kebutuhan akan besi sangat sedikit. Kehilangan besi melalui urin, 3

tinja, keringat, sel kulit yang terkelupas dan karena perdarahan (menstruasi) sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian besi yang berlebihan dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis.6 Pengeluaran besi dari tubuh yang normal ialah: bayi 0,3-0,4 mg/hari, anak 4-12 tahun 0,4-2,5 mg/hari, laki-laki dewasa 1,0-1,5 mg/hari, wanita dewasa 1,02,5 mg/hari, wanita hamil 2,7 mg/hari. Kebutuhan besi dari bayi dan anak jauh lebih besar dari pengeluarannya, karena dipergunakan untuk pertumbuhan. Kebutuhan rata-rata seorang anak 5 mg/hari, tetapi bila terdapat infeksi dapat meningkat sampai 10 mg/hari.6 Di dalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama feritin yang bersifat mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan feritin. Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel kupfer hati dan makrofag di limpa dan sumsum tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi untuk mempertahankan homeostasis besi dalam tubuh.2

D. Fisiologi produksi hemoglobin Eritropoitin adalah pengatur hormon primer dan merupakan produksi sel darah merah (SDM). Pada fetus, eritropoitin dihasilkan dari monosit/makrofag di hati. Setelah lahir, eritropoitin diproduksi oleh sel-sel peritubular ginjal. Dalam differensiasi sel darah merah, kondensasi material inti sel merah, menghasilkan hemoglobin sehingga jumlahnya mencapai 90% dari masa sel darah merah. Normalnya sel darah merah dapat bertahan sekitar 120 hari, sementara abnormalnya SDM dapat bertahan hanya selama 15 hari.2 Setelah eritrosit berumur 120 hari fungsinya kemudian menurun dan selanjutnya dihancurkan didalam sel retikuloendotelial. Hemoglobin mengalami proses degradasi menjadi biliverdin dan besi. Selanjutnya biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin, sedangkan besi akan masuk ke dalam plasma dan mengikuti siklus seperti di atas atau tetap disimpan sebagai cadangan tergantung aktivitas eritropoisis.2 E. Etiologi Menurut patogenesisnya terjadinya anemia defisiensi besi sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diit yang mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang. Kekurangan besi dapat disebabkan:2-8 1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis a. Pertumbuhan Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir, bayi prematur dengan pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun berat badannya dapat mencapai 6 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir. b. Menstruasi 5

Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah kehilangan darah lewat menstruasi. 2. Kurangnya besi yang diserap. a. Masuknya besi dari makanan yang tidak adekuat Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih kurang 200 mg besi dalam satu tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI ekslusif jarang menderita kekurangan besi dalam 6 bulan pertama. Hal ini karena besi yang terkandung di dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu yang terkandung susu formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsorpsi bayi, sedangkan dari PASI hanya 10% besi yang dapat diabsorpsi. b. Malabsorpsi besi Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian atas usus halus, tempat utama peryerapan besi heme dan non heme. 3. Perdarahan Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya Anemia Defisiensi Besi. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga kehilangan darah 3-4 ml/hari (1,5-2 mg besi) dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi. Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induce enterohepathy, ulkus peptikum karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kertikosteroid, indometasin, obat AINS) dan infestasi cacing (Ancylostoma 6

doudenale dan Necator americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus. 4. Transfusi feto-maternal Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus. 5. Hemoglobinuria. Pada keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan. Pada paroxysmal Nokturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melalui urin rata-rata 1,8-7,8 mh/hari. 6. Iatrogenic blood loss Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium berisiko menderita ADB. 7. Idiopatthic pulmonary hemosiderosis Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul. Keadaan ini dapat berulang menyebabkan kadar Hb menururn drastis hingga 1,5-3 g/dl dalam 24 jam. 8. Latihan yang berlebihan Pada atlit yang berolah raga berat seperti olah raga lintas alam, sekitar 40% remaja perempuan dan 17 % remaja laki-laki feritin serumnya < 10 ug/dl. Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia hilang timbul pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari. F. Patofisiologi Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi yang berkurang. Ada tiga tahap dari anemia defisiensi besi, yaitu: 1. Tahap petama

Tahap ini disebut iron depletion atau iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal. 2. Tahap kedua Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erytropoietin atau iron limited erytropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan laboratoium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free erytrocyt porphyrin (FEP) meningkat. 3. Tahap ketiga Tahap inilah yang disebut sebaagi iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dam hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut. Tabel 1.1. Tahapan kekurangan besi.2 Hb Cadangan besi (mg) Fe serum (g/dL) TIBC (g/dL) Satrurasi transferin (%) Feritin serum (g/dL) Sederoblas (%) FEP (g/dL SDM) MCV G. Manifestasi klinis Gejala klinis anemia adalah lemah dan mudah capai atau lelah, berdebardebar, cepat marah, nafsu makan berkurang, sesak nafas, bentuk kuku konkaf 8 Tahap 1 Normal <100 Normal 360-390 20-30 <20 40-60 >30 normal Tahap 2 sedikit menurun 0 <60 >390 <15 <12 <10 >100 normal Tahap 3 menurun jelas (mikrositik/hipokrom) 0 <40 >410 <10 <12 >10 >200 Menurun

(spoon- shape nail), glossitis, atropi papila lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin mengkilat, merah daging, dan meradang, sakit kepala pada bagian frontal, tidak panas, kulit pucat merupakan tanda yang penting pada defisiensi besi, kulit pucat berlangsung kronis, Sklera berwarna biru juga sering, meskipun ini juga ditemukan pada bayi normal.1

Gambar 1.2. Kuku sendok (koilonychia) pada jari tangan seorang pasien anemia defisiensi besi.7 Pada defisiensi ringan sampai sedang (Hb 6-10 g/dl) mekanisme kompensasi, seperti kenaikan 2, 3-difosfogliserat (2,3-DPG) dan pergeseran kurva disosiasi oksigen, mungkin demikian efektif sehingga sedikit saja keluhan anemia timbul, meskipun mungkin ada kenaikan iritabilitas. Bila Hb menurun sampai di bawah 5 gr/dl, iritabilitas dan anoreksia mencolok. Takikardia dan dilatasi jantung terjadi, dan bising sistolik sering ada. Limpa teraba membesar pada 10-15% penderita. Pada kasus menahun, dapat terjadi pelebaran diploe tulang tengkorak yang mirip dengan yang telihat pada anemia hemolitik kongenital. Defisiensi besi dapat mempengaruhi fungsi neurologis dan intelektual. Monoamin oksidase (MAO), merupakan suatu enzim yang tergantung pada besi dan hormon dan berperan penting dalam reaksi neurokimia di susunan saraf pusat. Defisiensi besi menyebabkan penurunan aktivitas enzim seperti katalase dan sitokrom. Katalase dan peroksidase mengandung besi, tetapi kepentingan biologiknya belum dikatahui benar. H. Pemeriksaan Laboratorium 9

Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorim yang meliputi pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, leukosit, trombosit, ditambah pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum, total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, FEP, feritin), dan apus sumsum tulang. Menentukan adanya anemia dengan pemeriksaan kadar Hb dan atau PCV merupakan hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH dan MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukaan keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis dan poikolisitiosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit, mikrosit dan sel fragmen).

Gambar 1.3. Hapusan darah tepi pasien anemia defisiensi besi, menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis. Tampak beberapa sel Pencil (P), sel Target (P), Mikrosit, (M) Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung lama terjadi granulositopenia. Pada keadaan ini disebabkan infestasi cacing sering ditemukan eosinofilia. Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal, trombositosis hanya dapat terjadi pada penderita dengan perdarahan yang massif. Kejadian trombositopenia dihubungkan dengan anemia yang sangat berat. Namun demikian

10

kejadian trombositosis dan trombositopenia pada bayi dan anak hampir sama, yaitu trombositosis sekitar 35% dan trombositpenia 28%. Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun dan TIBC meningkat, Pemeriksaan Fe serum untuk menentukan jumlah besi yang terikat pada transferin , sedangkan TIBC untuk mengetahui jumah transferin yang berada dalam sirkulasi darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC (saturasi transferin) yang dapat diperoleh dengan cara menghitung Fe serum:TIBC x 100% merupakan suatu nilai yang menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh. Bila saturasi transferin (ST) <16 menunjukkan suplai besi yang tidak adekuat untuk mendukung eritropoisis. ST < 7% diagnosis ADB dapat ditegakkan, sedangkan pada kadar ST 7-16% dapat dipakai untuk mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan lainnya. Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang dapat diketahui kadar Free Erytrocyte Protoporphyrin (FEP). Pada pembentukan eritrosit akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk heme. Bila penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya penumpukan porfirin di dalam sel. Nilai FEP >100 ug/dl eritrosit menunjukan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST yang menurun merupakan tanda ADB yang progresif. Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar feritin serum. Bila kadar feritin < 10-12ug/dl menunjukan telah terjadi penurunan cadangan besi dalam tubuh. Pada pemeriksaan apusan tulang dapat ditemukan gambaran yang khas ADB yaitu hiperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya hemosiderin. Unutuk mengetahui ada atau tidaknya besi dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian blue. I. Diagnosis

11

Diagnosis

ditegakkan

berdasarkan

hasil

temuan

dari

anamnesis,

pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB: 1. Kriteria diagnosis ADB menurut WHO: 1. Kadar HB kurang dari normal sesuai usia 2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (N:32-35%) 3. Kadar Fe serum <50 ug/dl (N:80-180ug/dl) 4. Saturasi Transferin <15% (N:20-50%) 2. Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen a. Anemia hipokrom mikrositik b. Saturasi transferin < 16% c. Nilai FEP > 100 % Ug/dl eritrosit d. Kadar feritin serum<12 ug/dL Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 4 kriteria ( ST, feritin serum dan FEP ) harus dipenuhi. 3. Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui: a. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar b. FEP meningkat c. Feritin serum menurun d. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST <16% e. Respon terhadap pemberian preparat besi Retikulosit mencapai puncak pada hari ke-5-10 setlah pemberian besi Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dL/hari atau PCV meningkat 1%/hari f. Sumsum tulang Tertundanya maturasi sitoplasma MCV, MCH dan MCHC yang menurun Red cell distribution width (RDW) > 17%

12

Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang

Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat respons hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.2,10 J. Diagnosis Banding Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran anemia hipokromik mikrositer lain. Keadaan yang sering memberi gambaran klinis dan laboratorium yang hampir sama dengan ADB adalah talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis. Keadaan lainnya adalah lead poisong/keracunan timbale dan anemia sideroblastik. Untuk membedakannya diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium. Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu cara sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat jumlah sel darah merah yang meningkat meski sudah anemia ringan dan mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah sel darah merah menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat diperoleh dengan cara membagi MCV dengan jumlah eritrosit, bila nilainya <13 menunjukkan talasemia minor sedangkan bila >13 merupakan ADB. Pada talasemia minor didapatkan basophilic stippling, peningkatan kadar bilirubin lasma dan peningkatan kadar HbA2. Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis biasanya normokrom normositik, tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mirkositik. Terjadinya anemia pada penyakit kronis disebabkan oleh terganggunya mobilisasi besi dan makrofah oleh transferin. Kadar Fe serum dan TIBC menurun meskipun

13

cadangan besi normal atau meningkat sehingga nilai saturasi transferin normal atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat. Pemeriksaan kadar reseptor transferin/transferring receptor (TfR) sangat berguna dalam membedakan ADB dengan anemia karena penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit kronis kadar TfR normal karena pada inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan pada ADB kadarnya menurun. Peningkatan rasio TfR/feririn sensitif dalam mendeteksi ADB. Tabel 1.2. pemeriksaan laboratorium untuk membedakan ADB Pemeriksaan laboratorium MCV Fe serum TIBC Saturasi transferin FEP Feritin serum K. Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian parenteral, pemberian secara parenteral dilakukan pada pendertita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan.2 1. Pemberian preparat besi a. Pemberian preparat besi peroral Garam ferrous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri, preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat, yang sering dipakai adalah ferrous sulfat karena harganya yang lebih murah, ferrous glukonat, ferrous fumarat dan ferrous suksiant 14 ADB Talasemia minor N N N N N Anemia penyakit kronis N, N,

diabsorpsi sama baiknya tetapi lebih mahal. Untuk bayi preparat besi berupa tetes (drop).2-4 Untuk dapat mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg besi elemental/kgBB/hari. Dosis yang diajurkan untuk remaja dan orang dewasa adalah 60 mg elemen zat besi perhari pada kasus anemia ringan, dan 120 mg/hari (2 60 mg) pad anemia sedang sampai berat. Dosis yang dianjurkan untuk bayi dan anak-anak adalah 3 mg/kgBB/hari.2,5 Pada wanita hamil, pemberian folat (500g) dan zat besi (120 mg) akan bermanfaat, sebab anemia pada kehamilan biasa diakibatkan pada defisiensi ke dua zat gizi tersebut. Tablet kombinasi yang cocok, mengandung 250 g folat dan 60 mg zat besi, dimakan 2 kali sehari. Efek samping pemberian zat besi peroral dapat menimbulkan keluhan gastrointestinal berupa rasa tidak enak di ulu hati, mual, muntah dan diare.Sebagai tambahan zat besi yang dimakan bersama dengan makanan akan ditolelir lebih baik dari pada ditelan pada saat peut kosong, meskipun jumlah zat besi yang diserap berkurang.2 b. Pemberian preparat besi parenteral Pemberian besi secara intra muscular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Oleh karena itu, besi parenteral diberikan hanya bila dianggap perlu, misalnya: pada kehamilan tua, malabsorpsi berat, radang pada lambung. Kemampuan untuk menaikan kadar Hb tidak lebih baik dibandingkan peroral. Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dapat dihitung berdasarkan: Dosis besi (mg) = BB (kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl ) x 2,5 c. Transfusi darah Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang 15

dapat mempengaruhi respons terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, lebih akan membahayakan kerana dapat menyebabkan hipovolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikan kadar Hb sampai tingkat aman sampai menunggu respons terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb <4 g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian diuretic seperti furesemid. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat dipertimbangkan pemberian transfusi tukar mengguanakan PRC yang segar. L. Pencegahan Tindakan penting yang dapat dilakukan untuk mencegah kekurangan besi pada masa awal kehidupan adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Meningkatkan penggunaan ASI eksklusif Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun sehubungan denag risiko terjadinya perdarahan saluran cerna yang tersamar pada bayi Memberikan makanan bayi yang mengandung besi serta makanan yang kaya dengan asam askorbat (jus buah) pada saat memperkenalkan makan padat (usia 4-6 bulan) 4. 5. Memberikan suplementasi Fe kepada bayi kurang bulan Pemakaian PASI (susu formula) yang mengandung besi Upaya umum untuk pencegahan kekurangan besi adalah dengan cara: 1. Menigkatkan konsumsi Fe Menigkatkan konsumsi besi dari sumber alami terutama sumber hewani yang mudah diserap. Juga perlu peningkatan penggunaan makanan yang mengandung vitamin C dan A 2. Fortifikasi bahan makanan Dengan cara menambah masukan besi dengan mencampurkan senyawa besi ke dalam makanan sehari-hari 3. Suplementasi 16

Tindakan ini merupakan cara paling tepat untuk menanggulangi ADB di daerah yang prevalensinya tinggi M. Prognosis Prognosis baik apabila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan menifestasi klinis lannya akan membaik dengan pemberian preparat besi.2 Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Diagnosis salah Dosis obat tidak adekuat Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung menetap Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaiam besi (seperti: infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin B12, asam folat) 6. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi.)

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo W.,Setyohadi

B.,Alwi I.,Simadibrata M.,Setiati S.,Editor. Pendekatan terhadap Pasien Anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi III. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2006; hal 632-636. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Permono B.,Sutaryo.,Ugrasena., Anemia Defisiensi Besi, dalam buku ajar hematology oncology , Badan penerbit IDAI: Jakarta, 2005; hal 30-42. Behram K. A., Anemia defisiensi besi, Ilmu Kesehatan Anak, Nelson, Vol 2, ed. 15 bahasa Indonesia, EGC: Jakarta, 2000; hal 1691-1694. Hoffbrand,A.V. Anemia defisiensi besi dan anemia hipokrom lain , Dalam : kapita selekta hematologi. Ed.2, EGC, Jakarta, 1996; hal 28-44. Panduan Pelayanan Medis, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSCM, Februari 2005; hal 1-7. Staf pengajar FKUI, Hematologi, Ilmu kesehatan anak, Penerbit FKUI: Jakarta, 1985. Sudoyo W.,Setyohadi B.,Alwi I.,Simadibrata M.,Setiati S Editor. Anemia defisiensi besi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2006; hal 644-650 8. 9. 10. 11. Price A, Wilson L, Anemia defisiensi besi, Patofisiologi, ed.4, EGC, Jakarta, 1995; hal 236-237. Mansjoer A, Wardhani W. dkk , Hematologi Anak, Kapita Selekta Kedokteran, ed. 3, Media Aesculapius FKUI, 2000 : hal 493-494 Janet L,Kwiatkowaki,Haidary N.dkk, Severe iron deficiency anemia in yaoung children, The Journal of Pediatrics by Mosby,Inc.1999; p. 514-516. Goerge N, Ioannou, Specter J.dkk, Prospective Evaluationof Clinical Guideline for the Diagnosis and Management of Iron Deficiency Anemia , The American Journal of Medicine by Excerpta Medica. Inc. 2002 ; p.281287. 18

12.

Poore R, dkk, Folid acid Defeciency Anemia, last updated March 2, 2007. Available at www.healthwise.com. Diakses tanggal 4 desember 2008

19

Anda mungkin juga menyukai