2.1
DEFINISI Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang jarang didapat namun progresif oleh karena peningkatan resistensi vaskuler pulmonal yang menyebabkan menurunnya fungsi ventrikel kanan oleh karena peningkatan afterload ventrikel kanan. Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan rata-rata arteri pulmonal (PAP) lebih dari 25 mmHg yang diukur dengan right heart catheterization (RHC).1,2,14
2.2
EPIDEMIOLOGI Hipertensi arteri pulmonal (PAH) merupakan kasus yang jarang terjadi, dengan estimasi prevalensinya yaitu 15-50 kasus per satu juta penduduk. Prevalensi penyakit ini meningkat pada kelompok beresiko, contohnya prevalensinya pada pasien yang terinfeksi HIV yaitu 0,5%, pada pasien dengan sklerosis sistemik sebesar 7-12% dan pada pasien dengan penyakit sickle cell sekitar 2-3,75%.7,8,9,10 Hipertensi arteri pulmonal idiopatik insidensinya 1-2 kasus per satu juta orang di Amerika Serikat dan Eropa, penyakit ini 2-4 kali lebih sering tejadi pada wanita dibanding pria. Pada saat didiagnosis rata-rata usia penderita pria sekitar 45 tahun, meskipun gejalanya dapat saja timbul pada usia berapapun.11,12,13 Dr. Porhownik dan Dr. Bshouty dari Universits Manitob, Kanada, mengatakan bahwa hipertensi pulmonal memiliki insidensi 2,4 kasus per satu juta penduduk per tahun dan prevalensi sebesar 15 kasus per satu juta penuduk per tahun. Hipertensi pulmonal juga dikatakan lebih banyak terjadi pada wanita, yaitu sekitar 60% dari semua kasus yang ditemukan. Menurut studi kohort yang dilakukan oleh Geoff Strange et al mengenai prevalensi dan mortalitas hipertensi pulmonal di Armadale, Australia
kasus yang
banyak terjadi dengan angka kematian yang tinggi. Sedangkan di Asia dan Indonesia, belum ada data yang tepat mengenai hipertensi arteri pulmonal.14,15,16
2.3
ETIOLOGI Hipertensi pulmonal diketahui sering terkait dengan penyakit jaringan kolagen (khususnya skleroderma), penyakit hepar, infeksi HIV, penyakit jantung bawaan, dan pengaruh dari efek obat-obatan. Meskipun, hipertensi pulmonal yang paling banyak ditemukan adalah hipertensi pulmonal primer atau yang lebih sering disebut hipertensi arteri pulmonal idiopatik, dimana penyebabnya tidak diketahui.17 Beberapa studi mengatakan bahwa penyebab tersering dari hipertensi pulmonal adalah gagal jantung kiri. Hal ini disebabkan karena gangguan pada bilik kiri jantung akibat gangguan katup jantung seperti regurgitasi dan stenosis katup mitral. Manifestasi dari keadaan ini biasanya adalah terjadinya edema paru. Penyebab lain hipertensi pulmonal antara lain adalah: HIV, penyakit autoimun, sirosis hati, anemia sel sabit, penyakit bawaan dan penyakit tiroid. Penyakit pada paru yang dapat menurunkan kadar oksigen juga dapat menjadi penyebab penyakit ini misalnya: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), penyakit paru interstitial dan sleep apneu, yaitu henti nafas sesaat pada saat tidur.9,10,15 Menurut studi yang dilakukan Dr. Porhownik dan Dr. Bshouty dari Universits Manitob, Kanada, dari kasus hipertensi pulmonal yang ditemukan, 40% merupakan hipertensi arteri pulmonal idiopatik, 4% adalah hipertensi pulmonal familial yang terkait dengan genetik, 56% merupakan hipertensi pulmonal sekunder. Studi tersebut juga
menyebutkan bahwa dari hipertensi pulmonal sekunder yang ditemukan, 16 % disebabkan oleh Collagen Vascular Disease, 12% disebabkan oleh Congenital Heart Disease, 10 % disebabkan oleh anoreksigen, dan 18% disebabkan oleh penyakit lainnya.16
2.4
PATOGENESIS Pada hipertensi pulmonal terjadi pengerasan pembuluh darah di dalam paru. Hal ini memperberat kerja jantung dalam memompa darah ke paru. Lama-kelamaan pembuluh darah yang terkena akan menjadi kaku dan menebal hal ini akan menyebabkan tekanan dalam pembuluh darah meningkat dan aliran darah juga terganggu. Ventrikel kanan jantung
membesar sehingga menyebabkan suplai darah dari jantung ke paru berkurang, keadaan yang disebut dengan gagal jantung kanan. Sejalan dengan hal tersebut maka aliran darah ke jantung kiri juga menurun sehingga darah membawa kandungan oksigen yang kurang dari normal untuk mencukupi kebutuhan tubuh terutama pada saat melakukan aktivitas. Biasanya pasien mengeluh jantung sering berdebar dan sering berkeringan meskipun tidak beraktifitas. Pada stadium awal hipertensi pulmonal, peningkatan tekanan arteri pulmonalis menyebabkan peningkatan kerja ventrikel kanan dan terjadinya trombotik arteriopati pulmonal. Karakteristik dari trombotik arteriopati pulmonal ini adalah trombosis insitu pada muskularis arteri pulmonalis. Pada stadium lanjut, dimana tekanan pulmonal meningkat secara terus menerus dan progresif, lesi berkembang menjadi bentuk arteriopati fleksogenik pulmonal yang ditandai dengan hipertrofi media, fibrosis laminaris intima konsentrik, yang menggantikan struktur endotel pulmonal normal.
Gangguan sirkulasi CO2 Gangguan Transport darah non O2 dari partikel Kanan jantung ke paru Gagal jantung kanan
Gangguan difusi O2
Intoleransi aktifitas
2.5
KLASIFIKASI Pada tahun 1973 WHO mengadakan pertemuan pertamanya yang membahas tentang klasifikasi hipertensi pulmonal, yang menghasilkan keputusan bahwa hipertensi pulmonal diklasifikasikan menjadi hipertensi pulmonal primer dan sekunder berdasarkan ada atau tidaknya penyakit penyebab hipertensi pulmonal, dan hipertensi pulmonal primer dibagi menjadi arterial plexiform, "veno-occlusive" and "thromboembolic. Pada tahun 1998, konferensi kedua WHO diadakan di Evian-les-Bains membahas mengenai penyebab dari hipertensi pulmonal sekunder. Pada tahun 2003, 3rd World Symposium on Pulmonary Arterial Hypertension diadakan di Venice untuk memodifikasi klasifikasi dari hipertensi pulmonal berdasarkan mekanisme penyakit yang mendasari. Dan pada tahun 2008, 4th World Symposium on Pulmonary Arterial Hypertension diadakan di Dana Point, California, yang membuat klasifikasi hipertensi pulmonal berdasarkan etiologinya. Klasifikasi hipertensi pulmonal berdasarkan 4th World Symposium on Pulmonary Arterial Hypertension, Dana Point, 2008: Group 1. Pulmonary arterial hypertension (PAH) Idiopathic (IPAH) Heritable (HPAH) o Bone morphogenetic protein receptor type 2 (BMPR2) o Activin receptor-like kinase 1 gene (ALK1), endoglin (with or without haemorrhagic telangiectasia) o Unknown Drug- and toxin-induced Associated with (APAH): o Connective tissue diseases o Human immunodeficiency virus (HIV) infection o Portal hypertension o Congenital heart disease (CHD) o Schistosomiasis o Chronic haemolytic anaemia Persistent pulmonary hypertension of the newborn (PPHN)
Group 1'. Pulmonary veno-occlusive disease (PVOD) and/or pulmonary capillary haemangiomatosis (PCH) Group 2. Pulmonary hypertension due to left heart diseases Systolic dysfunction Diastolic dysfunction Valvular disease Group 3. Pulmonary hypertension due to lung diseases and/or hypoxemia Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) Interstitial lung disease (ILD) Other pulmonary diseases with mixed restrictive and obstructive pattern Sleep-disordered breathing Alveolar hypoventilation disorders Chronic exposure to high altitude Developmental abnormalities Group 4. Chronic thromboembolic pulmonary hypertension (CTEPH) Group 5. PH with unclear multifactorial mechanisms Haematological disorders: myeloproliferative disorders, splenectomy Systemic disorders: sarcoidosis, pulmonary Langerhans cell histiocytosis,lymphangioleiomyomatosis, neurofibromatosis, vasculitis Metabolic disorders: glycogen storage disease, Gaucher disease, thyroid disorders Others: tumoral obstruction, fibrosing mediastinitis, chronic renal failure on dialysis
Klasifikasi hipertensi pulmonal berdasarkan kelas fungsional menurut WHO, modifikasi konferensi hipertensi pulmonal Dana Point tahun 2008, adalah Kelas I: Pasien dengan hipertensi pulmonal tanpa keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Aktivitas fisik sehari-hari tidak menyebabkan sesak, lelah nyeri dada, atau sinkop Kelas II : Pasien dengan hipertensi pulmonal, dengan sedikit keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari hari dan lebih nyaman jika beristirahat. Aktivitas fisik sehari-hari menyebabkan sesak, lelah nyeri dada, atau sinkop. Kelas III: Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang bila melakukan aktifitas ringan akan merasakan sesak dan rasa lelah yang hilang bila istirahat. Kelas IV: Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang tidak mampu melakukan aktifitas apapun (aktifitas ringan akan merasakan sesak), dengan tanda dan gejala gagal jantung kanan.
2.6
MANIFESTASI KLINIS Hipertensi pulmonal sering timbul dengan gejala-gejala yang tidak spesifik. Gejala-gejala itu sulit untuk dipisahkan sehubungan dengan penyebab apakah, dari paru atau dari jantung (primer atau sekunder), kesulitan utama adalah gejala umumnya berkembang secara gradual. Gejala yang paling sering adalah dispnea saat aktifitas 60%, fatique 19% dan sinkop 13%, yang merefleksikan ketidakmampuan menaikan curah jantung selama aktifitas. Angina tipikal juga dapat terjadi meskipun arteri koroner normal tetapi disebabkan oleh karena stretching arteri pulmonalis atau iskemia ventrikel kanan.18
10
2.7
DIAGNOSIS Hipertensi pulmonal sering timbul dengan gejala-gejala yang tidak spesifik. Gejala-gejala itu sukar untuk dipisahkan sehubungan dengan penyebab apakah, dari paru atau dari jantung (primer atau sekunder), kesulitan utama adalah gejala umumnya berkembang secara perlahan. Gejala yang paling sering adalah dispnu saat aktifitas 60%, mudah lelah 19% dan sinkop 13%, yang merefleksikan ketidakmampuan menaikan curah jantung selama aktifitas. Angina tipikal juga dapat terjadi meskipun arteri koroner normal tetapi disebabkan oleh karena peregangan arteri pulmonalis atau iskemia ventrikel kanan. Pemeriksaan Fisik Pemeriksan fisik pada hipertensi pulmonal sering tidak spesifik untuk menegakan diagnosis, namun dapat membantu mengetahui berbagai penyebab lain dari hipertensi pulmonal (sekunder). Pemeriksaan fisik paru biasanya normal. Gejala lebih awal dan atau temuan tunggal hanyalah aksentuasi komponen pulmonal pada bunyi jantung 2 (P2) hampir 90 %. Peninggian suara P2 dihasilkan dari peningkatan kekuatan penutupan katup pulmonal karena respon peningkatan tekanan arteri pulmonal pada saat diastolik. Temuan fisik tambahan sehubungan dengan hipertensi pulmonal merefleksikan pengaruhnya pada jantung dan organ lainnya. Paling banyak pada pasien berkembang menjadi trikuspid regurgitasi dalam beberapa derajat karena tekanan overload pada ventrikel kanan. Pembesaran ventrikel kanan, pulsasi vena jugularis meningkat bila terjadi kelebihan cairan dan/atau gagal jantung kanan. Hepatomegali mungkin timbul, asites dan retensi cairan di perifer.
11
Pemeriksaan Penunjang 1) Radiologi Ro thorak sama pentingnya sebagai first-line tes skrining pada pasien IPAH untuk melihat penyebab sekunder, seperti penyakit interstisial paru dan kongesti vena-vena paru. Hampir 85 % terdapat kelainan Radiografi thorak pada hipertensi pulmonal, seperti pembesaran ventrikel kanan dan/atau atrium kanan, dilatasi arteri pulmonal.
.
Gambar 1. Gambaran Foto Thoraks PA / lateral pada pasien dengan hipertensi pulmonal, menunjukkan berkurangnya corakan vaskular perifer paru, penonjolan arteri pulmonal, dan pembesaran ventrikel kanan
2)
Eletrokardiografi (EKG) Gambaran tipikal EKG pada pasien hipertensi pulmonal sering menunjukan pembesaran atrium dan ventrikel kanan, strain ventrikel kanan, dan pergeseran aksis ke kanan, yang juga memiliki nilai prognostik. Kelainan EKG saja bukanlah indikator yang sensitif untuk penyakit vaskuler paru. Penggunaan perubahan EKG sebagai marker progresi penyakit dan atau respon terapi belum ada dilaporkan.
12
Gambar 2:Elektrokardiogram menunjukkan perubahan hipertrofi ventrikel kanan (panah panjang) dengan regangan pada pasien dengan hipertensi paru primer. Deviasi sumbu kanan (pendek panah), peningkatan amplitudo gelombang P pada lead II (panah hitam), dan tidak lengkap blok cabang berkas kanan (panah putih) yang sangat spesifik tetapi tidak memiliki kepekaan untuk mendeteksi hipertrofi ventrikel kanan.
3)
Ekokardiografi Pada pasien yang secara klinis dicurigai hipertensi pulmonal, untuk diagnosis sebaiknya dilakukan ekokardiografi. Ekokardiografi adalah modalitas diagnostik untuk evaluasi atau eklusi penyebab Hipertensi pulmonal sekunder (seperti gagal ventrikel kiri, penyakit jantung katup, penyakit jantung kongenital dengan shunt sistemik pulmonal dan disfungsi diastolik ventrikel kiri). Disamping itu untuk menentukan beratnya hipertensi pulmonal serta prognosisnya. Namun demikian ekokardiografi saja tidak cukup adekuat untuk konfirmasi definitif ada atau tidaknya hipertensi pulmonal. Untuk itu
direkomendasikan untuk kateterisasi jantung. Penilaian yang dapat dilakukan pada pasien dengan hipertensi pulmonal antara lain: Ukuran ventrikel kanan (diameter, volume, dan penebalan dinding) Volume diastolik ventrikel kanan / ventrikel kiri Kontraktilitas ventrikel kanan Efusi perikardial Ukuran Vena cava inferior, variasi pernapasan Regurgitasi trikuspid (keparahan dan kecepatan) Kecepatan pengisian awal ventrikel kiri
13
Gambar 3. Gambaran umum echocardiography pada pasien hipertensi pulmonal. (A) axis pendek parasternal. (B) hipertrofi ventrikel kanan, abnormal contour, flattening, atau lekukan septum interventrikular yang terbalik
4)
Tes Fungsi Paru Pengukuran kapasitas vital paksa (FVC) saat istrahat, volume ekspirasi paksa 1 detik (FEV1), ventilasi volunter maksimum (MVV), kapasitas difusi karbon monoksida, volume alveolar efektif, dan kapasitas paru total adalah komponen penting dalam pemeriksaan Hipertensi Pulmonal, yang dapat mengidentifikasi secara signifikan obstruksi saluran atau defek mekanik sebagai faktor kontribusi hipertensi pulmonal. Tes fungsi paru juga secara kuantitatif menilai gangguan mekanik sehubungan dengan penurunan volume paru pada Hipertensi Pulmonal.
14
5)
CT Scan CT scan dilakukan hanyalah untuk membedakan apakah primer atau sekunder. Tanpa zat kontras, untuk menilai parenkim paru seperti bronkiektasi, emfisema, atau penyakit interstisial. Dengan zat kontras untuk deteksi dan atau melihat penyakit tromboemboli paru.
6)
Kateterisasi Jantung Kateterisasi jantung kanan dengan mengukur hemodinamik pulmonal adalah gold standard untuk konfirmasi PAH. Dengan definisi hipertensi pulmonal adalah tekanan PAP lebih 25 mHg pada saat istrahat, atau lebih 30 mmHg pada saat aktifitas. Kateterisasi membantu diagnosis dengan menyingkirkan etiologi lain seperti penyakit jantung kiri dan memberikan informasi penting untuk prognostik hipertensi pulmonal. Yang dapat diukur pada pemeriksaan dengan kateterisasi antara lain: Tekanan arteri sistemik dan Systemic arterial pressure (BP) and heart rate (HR) Tekanan atrium kanan (RAP) Tekanan ventrikel kanan (RVP) Tekanan arteri pulmonal (PAP) Pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) Cardiac output Pulmonary vasoreactivity Saturasi oksigen arteri pulmonal dan sistemik Hemodinamik adalah prognostik untuk IPAH, nilai prognostik pengukuran hemodinamik bila RAP < 10 mmHg, angka harapan hidup 50 bulan bila tidak mendapat terapi vasodilator, sedangkan bila RAP lebih dari 20 mmHg harapan hidupnya kurang dari 3 bulan.
7)
Tes Vasodilator Vasoreaktifitas adalah suatu bagian penting untuk evaluasi pasien IPAH, pasien yang respon dengan vasodilator terbukti memperbaiki survival dengan menggunakan blok kanal kalsium
15
(CCB) jangka panjang. Definisi respon (European Society of Cardiology consensus) adalah penurunan rata-rata tekanan arteri pulmonal paling < 10 mm Hg dengan peningkatan kardiak output. Tujuan primer tes vasodilator adalah untuk menentukan apakah pasien bisa diterapi dengan CCB oral. 8) Tes Berjalan 6 Menit Pemeriksaan yang sederhana dan tidak mahal untuk
keterbatasan fungsional pasien hipertensi pulmonal adalah dengan tes ketahanan berjalan 6 menit (6WT). Ini digunakan sebagai pengukur kapasitas fungsional pasien dengan sakit jantung, memiliki prognostik yang signifikan dan telah digunakan secara luas dalam penelitian untuk evaluasi pasien hipertensi pulmonal yang diterapi. 6WT tidak memerlukan ahli dalam penilaian. 9) Biopsi paru Jarang dilakukan karena sangat riskan pada pasien hipertensi pulmonal, biopsi paru di indikasikan bila pasien yang diduga IPAH, dengan pemeriksaan standar tidak kuat untuk diagnosis definitif. 10) Laboratorium Pasien-pasien yang diduga hipertensi pulmonal harus
dilakukan pemeriksaan laboratorium standar untuk dispnea, yang meliputi pemeriksaan analisa gas darah, pemeriksaan kimia dan darah lengkap. Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada pasien dengan faktor resiko. Dilaporkan bahwa hipertensi pulmonal sehubungan dengan infeksi HIV 100 kali lebih sering dibandingkan dengan IPAH. Tes fungsi hati juga harus dilakukan untuk eklusi suatu hipertensi portopulmonal disamping untuk pemberian terapi. 2.8 PENATALAKSANAAN Tujuan dari terapi PAH adalah untuk mencegah perburukan klinis dan meningkatkan kapasitas latihan, kelas fungsional (menurut WHO), hemodinamik, dan kelangsungan hidup. Hingga saat ini, penatalaksanaan
16
PAH sebagian besar bersifat supportif, yang terdiri dari pemberian oksigen untuk mengatasi sesak nafas dan hipoksia, saturasi oksigen dipertahankan diatas 90 %, penggunaan diuretik untuk mengurangi sesak dan edema perifer, dapat bermanfaat untuk mengurangi kelebihan cairan terutama bila ada regurgitasi trikuspid, pemberian antikoagulan, dan digoksin (masih kontroversial). Antikoagulan dengan warfarin (Coumadin) disarankan untuk mencegah trombosis dan telah menunjukkan hasil memperpanjang hidup pada pasien dengan hipertensi pulmonal primer di beberapa studi. Agen Inotropic seperti digoxin (Lanoxin) saat ini sedang diselidiki. Dalam sebuah penelitian, digoxin menghasilkan efek hemodinamik akut menguntungkan pada pasien dengan gagal ventrikel kanan dan hipertensi pulmonal primer, namun jangka panjang akibat dari perawatan ini tidak diketahui. obat parenteral juga mungkin bermanfaat. Terdapat 4 golongan obat menunjukkan efektifitas sebagai terapi untuk PAH saat ini, antara lain: Calcium-channel Blocker (CCBs), endothelins receptor antagonist (ERAs), phosphodiesterase-5 (PDE-5) inhibitors, dan prostanoid. 1. Calcium-Channel Blocker (CCB) Penggunaan CCB telah banyak diteliti dapat mengurangi vasokonstriksi paru dan digunakan sebagai terapi hipertensi pulmonal, perbaikan terjadi sekitar 25-30% kasus terutama pada pasien dengan tes vasodilator akut positif. Rich dkk 1992,
melaporkan hasil studi prospektif non random, pasien yang respon tes vasodilator akut positif diterapi dengan CCB dosis tinggi selama 5 tahun. Survival 1 tahun, 3 tahun, dan 5 tahun adalah 94%, 94%, dan 94%. Sementara pasien yang tidak respon 68%, 47%, dan 38%. Ogata et al 1993, melakukan terapi kombinasi antikoagulan dan vasodilator, 7 pasien diterapi dengan antikoagulan warfarin + vasodilator, 3 dengan isoproterenol, dan 4 dengan nifedipine. Survival 5 tahun signifikan lebih tinggi pada kelompok dengan
17
antikoagulan + vasodilator (57%) dibanding yang lain 15%. Nifedipine (120-240 mg/hari) atau diltiazem (540-900 mg/hari) merupakan agen yang paling sering digunakan, sementara verepamil dapat menimbulkan efek inotropik negative. Efek samping yang bermakna dapat terjadi seperti hipotensi yang mengancam hidup pasien dengan fungsi ventrikel kanan yang berat. 2. Prostanoid Telah terbukti bahwa defisiensi prostasiklin berkontribusi dalam patogenesis IPAH. Studi klinis membuktikan bahwa terapi jangka lama dengan analog prostasiklin eksogen menguntungkan pada pasien dengan hiperetensi pulmonal sedang sampai berat. a. Epoprostenol Epoprostenol intravena pertama kali disetujui oleh FDA untuk terapi hipertensi pulmonal pada tahun 1995. Pemakaian epoprostenol jangka panjang memperbaiki hemodinamik, toleransi latihan, kelas fungsional NYHA, dan survival rate penderita hipertensi pulmonal.
Epoprostenol tidak stabil pada suhu kamar, harus dilindungi selama pemberian infus, waktu paruh pendek dalam aliran darah (< 6 min), tidak stabil pada pH asam, dan tidak bisa secara oral. Pemberian dimulai dengan dosis (1-2 ng/kgBB/min), ng/kgBB/min, dan sampai secara (20 perlahan dititrasi atau 1-2 40
ng/kgBB/min
ng/kgBB/min). Komplikasi lain sehubungan dengan terapi intravena jangka panjang adalah infeksi, selulitis sampai sepsis, bila pemberian melalui katerterisasi vena sentral harus dilakukan pada senter dengan peralatan lengkap, perawat / dokter yang berpengalaman.
18
b.
Treprostinil Treprostinil adalah suatu analog prostasiklin dengan waktu paruh 3 jam. Obat stabil pada suhu kamar dan dapat diberikan secara subkutan. Efek samping seperti sakit kepala, diare, flushing sama seperti epoprostenol, disamping nyeri dan eritem pada tempat penyuntikan. Pemberian secara subkutan ini lebih aman dan efektif pada pasien terutama rawat jalan.
c.
Iloprost Inhalasi Iloprost adalah prostasiklin analog dengan bentuk kimia stabil, yang tersedia dalam bentuk intravena, oral dan aerosol, memiliki waktu paruh dalam serum sekitar 20-25 menit. Bentuk inhalasi dalam pengobatan hipertensi pulmonal adalah konsep yang baik dan praktis dalam penggunaan klinik. Iloprost inhalasi mempunyai efek vasodilator yang lebih poten dibandingkan dengan NO inhalasi. Illoprost inhalasi mempunyai aksi yang lebih pendek sehingga pemberiannya bisa 6 sampai 9 kali sehari.
d.
Beraprost Beraprost adalah analog prostasiklin secara kimia stabil dan aktif untuk oral. Diabsorbsi secara cepat dalam keadaan puasa, konsentrasi puncak tercapai setelah 30 menit dan waktu paruh 35-40 menit setelah pemberian.
3.
Antagonis Reseptor Endotelin Pada penelitian terakhir Antagonis reseptor Endotelin efektif dalam mengobati hipertensi pulmonal, karena banyaknya bukti peranan patogenik endotelin-1 pada hipertensi pulmonal. Endothelin-1 adalah suatu vasokonstriktor yang poten, dan mitogen pada otot polos yang menyebabkan meningkatnya tonus vaskuler dan hipertrofi vaskuler paru. Dalam studi kontrol kecil pasien
19
IPAH, konsentrasi endothelin plasma berkorelasi dengan PAP and PVR, berkorelasi juga dengan kapasitas latihan. a. Bosentan Efek samping dari bosentan adalah peningkatan kadar alanine aminotransferase dan/atau aspartate amino transferase. Gangguan fungsi hati ini berkorelasi dengan dosis, dimana lebih sering terjadi dengan bosentan 250 mg bid. Dan efeknya transien, sehingga USFDA
merekomendasikan pemeriksaan fungsi hati paling tidak 1 bulan sebelum terapi. b. Sitaxsentan Perbaikan yang sama kelas fungsional, dan
hemodinamik pada kedua kelompok dosis. Efek samping terapi dengan sitaxsentan berupa abnormalitas fungsi hati, sakit kepala, edem perifer, nausea, nasal kongestan dan pusing. 4. Phosphodiesterase Inhibitor Mekanisme yang memodulasi cyclic guanosine 3-5
monophosphate (cGMP) di dalam otot polos vaskuler memainkan peranan dalam regulasi tonus, pertumbuhan dan struktur vaskuler paru. Efek vasodilator NO tergantung pada kemampuannya untuk meningkatkan dan mempertahankan cGMP yang ada pada vaskuler. Sekali diproduksi, NO secara langsung mengaktifasi guanylate cyclase, yang meningkatkan produksi cGMP. cGMP kemudian mengaktifasi cGMP kinase, membuka kanal potassium, dan menyebabkan vasorelaksasi. Efek intraseluler cGMP sangat singkat, sehingga didegradasi cepat oleh phosphodiesterase. Phosphodiesterase merupakan famili enzim yang menghidrolisa cyclic nucleotides, cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan cGMP, dan membatasi signal intraseluler dengan menghasilkan produk inaktif 5-adenosine monophosphate dan 5-guanosine
20
monophosphate. Bagaimanapun juga obat-obat yang menginhibisi spesifik cGMP phosphodiesterase (phosphodiesterase type 5 inhibitors) meningkatkan respon vaskuler paru pada NO inhalasi dan endogen pada hipertensi pulmonal. a. Dipyridamole Studi dipyridamole terdahulu dapat mendemonstrasikan PVR, bahwa
menurunkan
menurunkan
hipertensi pulmonal dan meningkatkan atau memperpanjang efek inhalasi NO pada anak dengan hipertensi pulmonal. Pasien yang gagal dengan inhalasi NO maka dikombinasi dengan dipyridamole. Hasil ini menyokong bahwa inhibisi phosphodiesterase type 5 bisa menjadi suatu strategi klinik yang efektif untuk terapi HPP. b. Sildenafil Sildenafil adalah suatu inhibitor phosphodiesterase type 5 yang poten dan lebih spesifik, telah terbukti efektif dan aman untuk terapi disfungsi ereksi. Berdasarkan perkembangnya pemahaman aktifitas phosphodiesterase type 5 dalam sirkulasi paru, suatu studi klinik tanpa kontrol menguji efek hemodinamik akut sildenafil dan potensinya dalam terapi jangka panjang pasien IPAH. Dilaporkan bahwa sildenafil memblok vasokonstriksi paru hipoksik pada dewasa sehat dan menurunkan mPAP pasien IPAH. Perbandingan mempunyai dengan efek inhalasi NO, sildenafil dan juga bila
hemodinamik
sistemik
dikombinasi dengan inhalasi NO meningkatkan dan memperpanjang efek NO sehingga dapat mencegah rebound vasokonstriksi setelah memberian inhalasi NO. Dalam suatu studi dengan mengkombinasikan inhalasi sildenafil dengan iloprost dilaporkan terjadi penurunan yang besar mPAP dan PVR dibanding bila diberikan tunggal.
21
Terapi Bedah 1) Atrial Septostomi Atrial septostomi adalah membuat suatu right-to-left interatrial shunt untuk mengurangi tekanan dan volume overload di jantung kanan. Dengan berkembangnya strategi terapi obat, maka atrial septostomi hanyalah suatu prosedur paliatif atau sebagai permulaan untuk tranplantasi paru. Pemilihan pasien, waktu dan perkiraan ukuran septostomi adalah hal yang masih krusial. Tranplantasi jantung-paru terutama untuk IPAH yang gagal dengan semua strategi terapi. Survival pasien IPAH yang mengalami tranplantasi paru kira-kira 66%-75% pada 1 tahun pertama. Dan yang paling sering adalah bilateral transplantasi. 2) Transplantasi paru-paru Hipertensi pulmonal primer biasanya progresif dan akhirnya berakibat fatal. Paru-paru transplantasi adalah suatu pilihan pada beberapa pasien lebih muda dari 65 tahun yang memiliki hipertensi pulmonal yang tidak merespon manajemen medis. Menurut AS tahun 1997 transplantasi laporan registri, 24 penerima transplantasi paru-paru dengan hipertensi pulmonal primer memiliki tingkat ketahanan hidup dari 73 persen pada satu tahun, 55 persen di tiga tahun dan 45 persen pada lima tahun. Pengurangan langsung tekanan arteri paru-paru dikaitkan dengan perbaikan dalam fungsi ventrikel kanan.
22
2.9
prognosis yang buruk. Prognosis hipertensi pulmonal tergantung pada beberapa hal, antara lain: penyakit yang mendasari, status fungsional WHO, derajat keparahan gangguan hemodinamik, dan hasil uji six-minute test. Untuk HPP yang tidak ditangani, perkiraan usia harapan hidup selama 3 tahun adalah sebesar 41%. Pada suatu studi tentang terapi penggunaan prostasiklin intravena jangka panjang, angka ini meningkat menjadi sekitar 63%. Dengan terapi-terapi yang lebih mutakhir, mungkin dengan kombinasi, angka ini bisa saja jauh meningkat lagi. Sedangkan prognosis untuk pasien dengan hipertensi pulmonal sekunder tergantung pada penyakit yang mendasari, serta fungsi ventrikel kanan. Sebagai contoh, pasien dengan PPOK dan obstruksi aliran udara moderat memiliki tiga tahun angka kematian 50 persen setelah onset kegagalan ventrikuler kanan. Survival adalah juga dipengaruhi pada pasien dengan penyakit paru-paru interstisial dan hipertensi pulmonal.
23
Pada suatu analisis data dari Registri REVEAL (Registry to Evaluate Early and Long Term Pulmonary Arterial Hypertension Disease Management ), Frost dkk. menemukan bahwa pasien dengan tekanan baji kapiler pulmonal (pulmonary capillary wedge pressure; PCWP) 16-18 mmHg pada saat terdiagnostik dengan menggunakan kateterisasi jantung kanan berada pada kondisi penyakit yang lebih buruk dan memiliki kecenderungan untuk mendapatkan komorbiditas yang berhubungan dengan disfungsi diastolik ventrikel kiri dibanding yang memiliki tekanan 15 mmHg. Namun usia harapan hidup selama 5 tahun (5-year survival) buruk untuk kedua grup.