Anda di halaman 1dari 2

Syekh Siti Jenar Biografi Syekh Siti Jenar masih merupakan kontroversi hingga saat ini, bahkan ada

atau tidaknya beliau masih merupakan misteri. Sebuah bacaan menyebutkan bahwa beliau lahir pada tahun 1426 M di Cirebon dan meninggal pada tahun 1517 M. Bapak beliau bernama Syekh Datuk Shaleh dan beliau masih tergolong keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib KW. Syekh Siti Jenar memiliki sejumlah nama (sebutan), beliau hampir memiliki satu nama di setiap tempat di mana beliau menjalankan dakwahnya. Nama yang sangat jelas, selain Siti Jenar, adalah Syekh Abdul Jalil dan SyekhLemah Abang. Syekh Siti Jenar tumbuh remaja di sebuah rumha Giri AmparanJati, milik bapak saudaranya beliau. Rumah ini berada di atas Gunung Jati. Pada usia15 tahun, Syekh Siti Jenar berhasrat untuk turun gunung untuk melihatkeadaan luar. Disinilah perjalanan kerohanian Syekh Siti Jenar bermula. Syekh Siti Jenar berangkat ke Baghdad (Iraq) untuk memperdalam agama Islamnya. Dia berkenalan dengan seorang sufi masyhur, yang kemudian menjadi gurunya mengenai tasawuf, yakni Syekh Ahmad Tawalud. Syekh Ahmad memiliki puluhan kitab marifat yang merupakan peninggalan Syekh Abdul Mubdi al-Baghdadi.Syekh Siti Jenar diperbolehkan untuk tinggal di rumah Syekh Ahmad, dan dari sekian banyak kitab marifat yang ada di rumah itu, beberapa diantaranya adalah kitab milik al-Hallaj, yang dipelajari secara sangat hati-hati oleh Syekh Siti Jenar. Bukan hanya itu, kitabkitab Ibnu Arabi dan al-Ghazali juga dipelajari sama hati-hatinya. Syekh Siti Jenar juga melaksanakan perjalanan menuntu ilmu di India, dan kembali ke Ceribon pada tahun 1463 M. Syekh Siti Jenar menjadikan Wahdatul Wujud sebagai pedomannya, namun sama sekali bukan sebuah keputusan yang benar bahwa beliau membelangkangkan syariat. Kembalinya dia ke Cirebon membawa dia kepada suatu posisi dalam Wali Songo, beliau menjadi salah satu penyebar agama Islam di Jawa, di Indonesia. Sebagai salah satu anggota penyebar Islam, Syekh Siti Jenar dipercayakan untuk mengajarkan Syahadat (Persaksian). Pemikiran Syekh Siti jenar yang didominasi oleh hakikat itu kemudian membawanya kepada sebuah penjelasan bagaimana mengalami hal tersebut, karena Syekh SitiJenar tahu betul bahwa santrinya masih baru . Ajaran Syekh Siti Jenar memang sangat kuat dengan hakikat dan tasawuf yang pada saat itu boleh dikira baru, karena para wali, meskipun menguasai hal yang sama, tetapi sama sekali tidak mengajarkan hal tersebut. Ini dapat dimaklumi, karena tugas yang diberikan adalah berbezabeza. Apa yang harus diajarkan lagi jika tugas yang diberikan adalah mengajarkan Syahadat? SebuahHadits menyebutkan bahwa Awal dari Agama adalah mengenal Allah. Dan ini merupakan titik tolak Syekh Siti Jenar, bahwa jika mereka tidak marifat maka mereka sebenarnya tidak menyembah Allah, melainkan menyembah budisemata. Menyadari hal ini, Syekh Siti Jenar kemudian mengajarkan kepada para santrinya tentang hakikat ketuhanan, baik dari sumber-sumber yang dipelajarinya, maupun dari hasil perjalanan kerohaniannya. Ini dikatakan oleh para wali dan pemerintah setempat sebagai upaya penyesatan, namun sekali lagi, ini tidak benar. Sunan Kalijaga sendiri memahami apa yang diajarkan oleh SyekhSiti Jenar, hanya saja Sunan Kalijaga keberatan jika manunggaling Kawula Gusti diwejang kepada para santri yang masuh bodoh itu. Syekh Siti Jenar menolak apa yang disebut-sebut oleh para wali sebagaisesat itu. Karena dia tahu benar bahwa apa yang dia ajarkan itu penting, demi benarnya arah peribadatan para santri. Lucunya, apa yang dialami oleh al-Hallaj kembali terulang, dengan alasan politik, Syekh Siti Jenar akhirnya dihukum penggal. Misteri kematiannya juga sampai saat ini belum terlerai dengan jelas. Para pejabat kerajaan Demak Bintoro menjadi gelisah, mereka khawatir jika ajaran Syekh Siti Jenar ini menimbulkan pemberontakan terhadap pemerintah. Salah satu murid Syekh Siti jenar adalah Ki Ageng Pengging yang Wahdatul Wujud Sebagai Kesadaran kerohanian dan Bukan Spekulasi Filsafat Dari apa yang telah dipaparkan secara singkat diatas, sudah barang tentu Wahdatul Wujud merupakan salah satu kesadaran kerohanian yang ditemukan atau terangkat ke permukaan hati melalui perjalanan kerohanian, dan bukan hasil pemikiran semata-mata. Adapun upaya untuk menjabarkannya dengan kata-kata dan fikiran bukanlah sebuah alasan untuk mengatakan bahwa Wahdatul Wujud adalah spekulasi filsafat. Meskipun demikian, memangnya apa yang salah jika para filsuf (baik muslim maupun yang non-muslim) menemukan sesuatu yang sama melalui pemikiran? Bukankah ilmu dan akal mereka juga merupakan rahmat Allah? Bukankah Allah memerintahkan kepada manusia untuk merenungi, memikirkan, mentafakkuri apa yang ada di langit dan di bumi? Dan Allah tidak mendegradasi mereka yang non-muslim; surat al-Maidah ayat 69 menyatakan hal tersebut. Hanya saja, keimanan merupakan faktor yang menyebabkan pertolakan antara kita dan mereka, tetapi persoalan ilmu lain lagi ceritanya, ilmu, amal dan iman tidak dapat disamakan. Mereka memiliki ilmu,namun tidak memiliki iman dan amal, maka

ilmunya bermanfaat. Yang penting untuk saya sampaikan bahwa Wahdatul Wujud bukan merupakan hasil spekulasi para sufi dengan filsafat Yunani tentang kewujudan. Wahdatul Wujud merupakan hasil atau buah dari perjalanan kerohanian, dan bila perlu saya akan mengatakan bahwa para sufi seperti al-Hallaj, Ibnu Arabi, AbuYazid al-Busthami, Syekh Siti Jenar, alGhazali, dan lain-lainnya, merupakan para filsuf Islam yang dalam istilah kita disebut mutakallimin (pakar ilmu kalam). Hasil pemikiran mereka merupakan ilmu, namun sekali lagi, WahdatulWujud bukan ditemukan lewat berfilsafat tetapi berhakikat dan bertarikat.Adapun istilah yang nantinya dirumuskan seperti Fana, Baqa, Ittihad, Hulul, Manunggaling kawula lan Gusti, merupakan istilah untuk mengidentifikasi apa yang mereka alami; pengistilahan dan pengkonsepan itu menjadi penting karena jika tidak maka tidak ada cara lain untuk mengajarkannya kepada ummat.

Anda mungkin juga menyukai