Anda di halaman 1dari 8

Si KOKKA

Oleh: Dewi Qomariah Sutardi


Kokka kokka Di sela-sela keheningan malam, suara serak itu terdengar lagi. Lemah. Samar-samar. Datar tanpa intonasi. Atau sesekali bersahutan dengan suara lirih dedaunan yang tersibak angin di luar sana, seiring bersama nyanyian hewan malam yang menyisipkan nuansa kesunyian di kidung malam pekat. Namun, aku tidak tengah merasakan diriku dalam lelap. Setiap kali kelopak mataku mulai mengatup, selalu saja erangan-erangan lemah itu terdengar lagi. Seperti sebuah nyanyian aneh tak bernada di tengah malam gulita. Kutarik selimut menutupi kaki hingga ujung kepala. Ah, aku gagal lagi menciptakan lelap, walau hanya sedetik saja. Kokkakokka suara itu terdengar lagi. Lagi-lagi nenek mengigau menyebut nama benda kesayangannya. Setiap sepuluh atau lima belas menit sekali mulutnya berkomat-kamit. Seperti halnya mengucapkan dzikir yang biasa ia lafazkan bersama tasbih tua itu. Entah sejak kapan nenek merubah bacaan dzikirnya. Aku selalu disergap kebisuan sepanjang malam. Kusaksikan nenek yang kerap meramaikan sepi dengan igauan -igauannya. Berwirid sepanjang malam dalam tidurnya. Menyebut nama benda itu, dan benda itu lagi. Tiada henti Kokka. Tempo hari nenek merajuk, kokka miliknya raib. Aku tertawa terkekeh-kekeh. Bukankah menyayangi cucu lebih baik daripada menyayangi tasbih tua? pertanyaan konyolku terlontar tiba -tiba. Mata nenek mendelik dengan seramnya. Hampir saja tangan keriputnya menyambarku. Aku menghindar. Sejuta jurus ku keluarkan. Berlari. Menjulurkan lidah. Dan kemudian menghilang. Kemarahan nenek kepadaku tak terbendungkan. Hanya karna benda itu. Dan benda itu lagi, si kokka. Semenjak itulah senyuman nenek memudar. Matanya di banjiri tangis sepanjang siang. Meratapi si kokka yang raib. Terakhir kali ku lihat tasbih tua itu di genggamnya. Dia bilang, si kokka hadiah dari mendiang suaminya sepulang haji dari Mekah. Tak ayal, sepanjang petang mulutnya berdzikir berkomat-kamit dan tangannya bergerak -gerak menghitung butiran-butiran si kokka hitam. Lagi-lagi aku tertawa. setiap hari butirannya terus di hitung, tapi jumlahnya tak bertambah dan tak pernah berkurang, hahaha ini bukan sekadar hitungan kokka, Nak. tapi hitungan pahala. Jawaban nenek tak jauh beda seperti dzikir -dzikirnya. Datar tak bernada. Di hari lain, ibu bercerita tentang si kokka. Konon, dia adalah kayu mulia. Tongkat nabi Musa dan nabi Sulaiman terbuat darinya. Begitupun perahu nabi Nuh, di buat pula dari kayu mulia itu. Akupun bertanya dengan polosnya, berarti usia si kokka jauh lebih tua dari nenek, ya? ibu merengut sembari menahan tawa. Lalu ibu mengelus-elus rambut ikalku sembari bercerita, mendiang kakek pernah berwasiat agar nenek selalu menjaga si kokka dan terus berdzikir bersamanya. Agar pahalanya sampai kepada arwah kakek saat sudah di alam baka. Kupandang mata ibu dengan hangat. Penuh nanar. Seperti dalam sebuah drama.

Kupikir nenek selalu bersama si kokka, agar nantinya bisa bertemu nabi Sulaiman, nabi Nuh dan nabi Musa di akhirat sana. kali ini ibu tertawa, sehingga nampaklah ke dua gigi taringnya. Tapi aku membisu, memikirkan si kokka yang hilang entah kemana. Kurang dari sebulan nenek terserang penyakit demam rindu pada si kokka. Segala upaya

telah dilakukan untuk menyembuhkannya. Payah. Nenek hanya ingin berjumpa dengan si kokka pemberian mendiang suaminya. Setiap malam nenek terus berkomat -kamit memanggil si kokka dan si kokka saja. Ah, mungkin nenek sudah lupa. Si kokka tak jauh beda dengan mendiang suaminya. Jika sudah hilang, ikhlaskan saja lah!!! *** Malam ini, suara dzikir nenek tak terdengar lagi. Mungkin ia tengah berdzikir dengan menghitung jumlah pohon kokka di syurga. Atau mungkinkah dia tengah berdzikir bersama kakek disana? Penyesalanku membuncah. Maafkan aku, Nek! maafkan aku aku telah menghilangkan si kokka ***

Menjemput Perpisahan
Oleh: Yunita Indriani*

saat laju kereta menjemput menghantarkan kita pada pertemuan pada subuh yang bening pada malam yang hening pada sepotong bulan kita melanjut mimpi, bercakap tentang bintang-bintang yang tak terhitung

Dalam Dzikir
Oleh: Yunita Indriani

Kau ingat, sepeda tua itu adalah nyanyian hati yang setia menujumu

dalam dzikir (Selalu) namamu yang abstrak yang terangkai atau tak menyelinap dalam doa-doa ini

melewati terjal-terjal menghirup sawah

saat laju kereta menjemput menghantarkan kita pada perpisahan seperti mimpi dalam pekat

meski tiba-tiba riuh gelombang meriap sunyi mengendap nafas tersengal

yang dibangunkan paksa oleh subuh Rupanya, ini adalah perpisahan kita kenanglah dan nyanyikanlah dengan riang seperti saat pertemuan itu

dalam dzikir tak pernah habis kata ini Menyelinap dalam doa-doa

:agar waktu yang terbatas merubah apa yang diharap

*lahir di Bandung 22 Juni 1988. Ia merupakan lulusan UPI yang saat ini merupakan pengajar di SDN Cangkuang 1. Beberapa karyanya yang dimuat di media diantaranya puisi Tabloid Bali Bicara (2011), Majalah Cakra (2011), Antologi Bersama Gerimis (2010), dan kisah inspiratif dalam buku Catatan Sang Pemenang (2013) penerbit Elex Media. Selain mengajar ia pun bergiat di komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) dan Majelis Sastra Bandung (MSB). Menulis baginya adalah bagian dari napasnya. Ia dapat dihubungi di FB: Yunita Indriani, twitter @nieta_ayu atau kompasiana: http:// www.kompasiana.com/dwinita

Seperti terasing di tengah hiruk -pikuk dan kerumunan manusia yang sibuk dengan urusannya masing masing. Saksi sejarah dan peradaban ini tetap berdiri megah mengawal kesibukan dan perubahan yang manusia perbuat. Daerah yang dulunya menjadi pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan di Mesir ini, tak pernah lekang dari ingatan sejarah akan kejayaan dan redupnya dinasti Fathimiyyah. Membentang sepanjang kurang lebih satu kilometer --menuju Syari al-Muiz atau dikenal dengan jalan Muiz -- dari Bab el-Futuh di utara dan berakhir di bab el -Zuwaela di selatan, menyimpan peninggalan sejarah Islam yang sangat fenomenal. Malam itu, tanggal 15 Juli 2013 bersama teman -teman LSBNU Mesir, kami mengadakan Safari Budaya di bulan Ramadhan untuk ekspedisi situs sejarah Dinasti Fathimiyyah dan saling bertukar pengetahuan sejarah di pelataran Masjid peninggalan khalifah ke-enam al-Hakim bi-Amrillah. Sembari mengecap manisnya buah-buahan yang disarikan, serta pahitnya kopi malam itu, membuat suasana semakin menarik untuk menelisik situs dan nilai sejarah Dinasti Fathimiyyah. Suasana yang ramai, lalu-lalang pejalan dan keributan orang orang yang menawarkan dagangan menjadi pemandangan yang lazim bagi para pelancong yang hendak kesana --karena tempatnya yang berdekatan dengan pusat souvenir yang sangat terkenal di Kairo, Khan Khalili. Sepanjang jalan selalu diiringi bangunan tinggi-megah dengan ukiran-ukiran yang indah. Seolah ingin menunjukkan betapa hebat dan perkasanya penguasa pada waktu itu. *** Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrillah (996-1021 M) adalah khalifah ke-enam dalam masa pemerintahan dinasti Fathimiyyah. Dia menggantikan ayahnya Abu Mansur Nizar al-'Aziz Billah yang meninggal setelah berkuasa selama kurang lebih 21 tahun dari 975-996 M. Pada saat itu al -Hakim masih berumur 11 tahun. Dia juga merupakan cucu dari khalifah ke-empat al-Muiz li-Dinillah (953-975), yang berhasil melakukan ekspansi dan menaklukkan Mesir. Pada awalnya, khalifah Muiz li-Dinillah, seorang penguasa Dinasti Fathimiyyah penganut Syiah Ismailiyah, menitahkan panglima besarnya yang paling kuat, Jauhar al -Katib as-Siqly dari pusat awal pemerintahan Qairawan (Tunisia) untuk ekspansi ke Mesir. Penyerangan sangat mudah dimenangkan oleh pasukan as-Siqly pada tahun 969 M, karena kondisi politik Mesir yang pada saat itu dikuasi oleh dinasti Ikhsidiyyah mengalami keterpurukan luar biasa akibat pemerintahan

yang tidak stabil. Sehingga menyebabkan masyarakat Mesir pun juga melakukan perlawanan berontak terhadap dinasti Ikhsidiyyah yang diperintah oleh Ahmad ibn Ali yang masih berumur 11 Tahun. Roda pemerintahan saat itu dijalankan oleh walinya Ubaidillah ibn Tugi yang berperangai sangat buruk. Tak ayal jika as-Siqly dapat dengan mudah menduduki Mesir kala itu. Pada tahun yang sama pada tanggal 17 Syaban 308 H, Jauhar as-Siqly langsung membangun kota baru yang diberi nama al -Qohirah (Kairo), yang artinya kota kemenangan. Ada pula yang mengatakan al-Qohirah maksudnya adalah kota yang tenggelam karena kesalah-pahaman antara ahli astromi dan pekerja bangunan saat memulai peletakan batu pertama. Yaitu ketika harus menunggu ahli astronomi untuk membunyikan lonceng tanda memulai pembangunan, ternyata berbunyi lebih dulu gara-gara seekor burung. Sebagian lagi mengatakan, karena kepercayaan mereka akan ramalan astronomi, peletakan batu pertama bertepatan dengan kemunculan planet Mars, yang menurut mereka Mars adalah (Qohirul Falak) Penguasa Bintang. Setelah menguasai Mesir selama empat tahun, khalifah Muiz memindah pusat pemerintahan dari Qairawan (Tunisia) ke Kairo pada tahun 973 M/362 H. Dalam tiga fase pemerintahan, mulai dari al-Muiz, al-Aziz, sampai pada masa al-Hakim, Mesir mengalami kemajuan yang sangat pesat di berbagai bidang. Namun kemajuan yang paling menonjol, dan merupakan sumbangsih Dinasti Fathimiyyah yang paling besar untuk peradaban islam adalah bidang ilmu pengetahuan. Seperti pembangunan Masjid al-Azhar oleh Jauhar as-Siqly atas perintah khalifah Muiz pada tahun 970 -972 M/359-361 H. Yang kemudian menjadi kiblat keilmuan islam hingga saat ini. *** Masjid al-Hakim Bi-Amrillah yang dahulunya dibangun oleh khalifah al-Aziz Billah pada tahun 381 H / 990 yang tidak sempat diselesaikan karena meninggal terlebih dahulu, disempurnakan oleh anaknya yaitu al-Hakim bi-Amrillah sendiri tahun 393 H / 1002 M. Seiring berjalannya waktu, masjid ini pun menjadi pusat keilmuan ke-dua setelah alazhar. Ruwaq-ruwaq masjid selalu marak mengkaji keilmuan. Karena getol-nya al-Hakim terhadap ilmu pengetahuan, dia membangun banyak prasarana keilmuan, seperti Darul Hikmah, Darul Ilmi, dan madrasah-madrasah guna menunjang proses belajar-mengajar yang lebih baik. Tidak sampai disitu saja, Dia sering memanggil ilmuwan ilmuwan ternama dari luar Mesir. Dia memanggil al -Hasan

dan mereka hanya dibolehkan menunggangi keledai; setiap orang Kristen diharuskan menunjukkan salib yang dikalungkan di leher ketika mandi, sedangkan orang Yahudi diharuskan memasang semacam tenggala berlonceng. Pada penduduk Mesir, dia juga melarang untuk memakan makanan yang paling digemari kala itu, Mulukhiya. al-Hakim juga melarang warganya memakan ikan raja, melarang membuat adonan roti dengan cara diinjak, dan melarang keras memasuki kakus tanpa memakai celemek. Namun, al-Hakim mungkin mempunyai tujuan tersendiri terhadap semua peraturan yang dibuatnya. Karena selain dikenal kejam, al-Hakim juga dikenal sosok yang bersahaja, sederhana, dermawan dan tidak sombong. Ketika keluar istana, dia melarang masyarakat untuk memanggil Maulana kepada dirinya. Dia juga tidak ingin masyarakat mencium tangannya ketika bersalaman dengannya. Hidupnya tidak bermegah-megahan, dia sering memakai jalabiah hitam dan sorban sebagai ikat kepala pengganti mahkota. Dia lebih suka blusukan keluar istana untuk sekedar memberi uang, dan makanan kepada fakir miskin. Bahkan, semua budaknya dimerdekakan. al-Hakim memang dikenal sebagai sosok yang aneh dan misterius. Dia sangat gila akan ilmu pengetahuan, namun juga fanatik buta terhadap madzhabnya. Toleransi antar -sesama kurang dijalin dengan baik, sehingga pergesekan antar perbedaan pun kian menegang. Tidak disadari, perlakuannya terhadap perusakan gereja telah membuat tentara salib berang. Pemaksaan ideologi Syiah terhadap Sunni yang mayoritas mengakibatkan ketidak-puasan rakyat terhadap khalifah. Kemajemukan masyarakat tidak bisa disadari oleh al-Hakim, karena fanatik buta terhadap madzhabnya. Ini sangat berbeda dengan pendahulunya yang hidup damai dengan menghormati kemajemukan. Dari sinilah titik balik kemerosotan Fathimiyyah. Singkat cerita, setelah wafatnya al-Hakim bi-Amrillah 1021 M, yang tidak jelas penyebabnya; ada yang mengatakan karena sakit, bahkan dibunuh, karena sampai sekarang jenazahnya tidak diketahui. Pamor dinasti Fathimiyyah mulai menurun, karena banyaknya khalifah yang diangkat pada umur yang masih sangat belia. Sehingga mereka hanya dijadikan boneka oleh para wazir, yang mengakibatkan konflik kepentingan politik semakin panas. Perebutan kekuasaan menjadi tak terbendungkan. Sementara itu pasukan salib terus memberi tekanan, maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin al-Zanki (penguasa Suriah dibawah kekuasaan Abbasiyah); yang dahulu sempat membantu Fathimiyyah untuk membendung invasi pasukan salib ke Mesir, kembali memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya untuk membantu melawan kaum Salib tetapi juga untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai oleh tentara Salib lebih baik mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi

Bin Haitsam, salah satu ilmuwan islam yang monumental di bidang optik. Bukunya tentang ilmu optik banyak dijadikan referensi bergengsi di Eropa, digunakan sebagai rujukan ilmiah populer dari masa ke masa. Pengembangan ilmu astronomi oleh Ali Ibn Yunus dan Ali al -Hasan dan Ibnu Hayyam, karyanya tentang tematik, astronomi, filsafat dan kedokteran pun dihasilkan. Dia juga memanggil seorang penyair kenalannya, Muhammad bin Qosim. Terdapat pula perpustakaan yang di dalamnya terdapat sekitar 200.000 buku. Dia juga merupakan penggagas pertama yang mewakafkan hartanya yang konon sampai 1/3 harta Mesir. Itulah wujud keseriusan al-Hakim untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Mesir menjadi sumber ilmu yang luar biasa kala itu, ketenarannya bisa menyaingi Baghdad, Bukhara, bahkan Qordova. Tak salah jika ia juga disebut salah satu pionir penggerak keilmuan Islam. Namun dibalik pemerintahannya yang maju, al -Hakim tergolong pemimpin yang nyeleneh dan semaunya sendiri. Kebijakannya sering bertolak-belakang dengan apa yang sering ditampilkan oleh ayahnya. Berbeda dengan kepemimpinan pada masa khalifah Muiz dan al-Aziz yang sangat toleran terhadap sekte dan agama lain. Pada masa sebelum al Hakim, antara pemeluk agama lain hidup damai, Sunni Syiah pun sangat toleran. Al-Hakim masih berusia 11 Tahun ketika menggantikan ayahnya, sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan, al -Hakim didampingi oleh barjawan seseorang yang diberi amanat oleh al-Aziz Billah untuk mendampingi al -Hakim sampai beranjak dewasa. Setelah beranjak dewasa, ia mulai memegang kekuasaan penuh. Kepemimpinannya mulai ditandai dengan tindakan-tindakan yang sangat bertentangan dengan kebijakan-kebijakan terdahulu. Ia membunuh beberapa orang wazirnya yang berusaha merebut kekuasaannya. Kemudian memberikan maklumat untuk menghancurkan kuburan suci dan gereja Holy Sepulchre (1009) di Jerusalem, yang ditandatangani oleh sekretarisnya sendiri yang beragama Kristen, Ibnu Abdun, dan tindakan itu merupakan sebab utama terjadinya perang salib. Dia memaksa umat Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam,

Salahsatu problema bahwa apa sebenarnya yang terjadi saat kebanyakan orang menggunakan terma budaya atau kebudayaan mungkin merupakan kesalah -kaprahan yang lugu. Pun demikian, kekeliruan ini mesti disikapi dengan arif namun tetap mengkajinya secara serius. Problem ini perlu didedah oleh para cendekiawan, terutama oleh para elit budayawan, karena anggapan yang muncul di tengah -tengah masyarakat umum ini (dan ironisnya barangkali juga merembet pada sebagian kalangan pemimpin, dan bahkan pelajar dan intelektual) mau tidak mau muncul akibat perwajahan yang dicitrakan pada istilah budaya itu sendiri. Di sisi lain, kompleksitas yang membentuk kebudayaan mulai dari unsur pembentuk sampai produk turut memberikan PR tambahan bagi para peminat kajian kebudayaan untuk meneliti dengan segenap pendekatan. Dan faktor ini pula lah mengapa dirasa perlu membahasnya secara intens. Boleh jadi deskripsi masalah di atas dianggap sedikit berlebihan. Dan jika mau jujur, sebenarnya ini adalah permasalahan usang, walaupun pada kenyataannya sering dianggap tidak penting. Tetapi jika dihadapkan pada apa yang terjadi di lapangan akan terasa menggelikan. Akan terkesan sangat ambigu ketika, misalnya kita menonton sebuah acara seni di televisi dimana si pembicara disematkan gelar budayawan atau bila suatu waktu kita menyaksikan pentas seni yang diselenggarakan dengan tulisan besar pada latar panggung Pentas dan Pagelaran Budaya. Atau diadakan sebuah Expo yang bertajuk Pertukaran Budaya. Suatu departemen dalam lembaga pemerintahan bernama Departemen Kebudayaan hanya mengurusi persoalan pariwisata dan seni panggung dalam negeri. Atau lebih jauh, seandainya dalam suatu komunitas masyarakat tertentu terdapat sebuah lembaga atau organisasi yang memakai label budaya dan ditemukan di dalamnya dipenuhi oleh para seniman saja.

Sepintas lalu kebiasaan yang terus -menerus dilakukan ini akan menimbulkan kesimpulan bahwa budaya itu erat kaitannya dengan seni (dan pariwisata?). Bahwa mereka yang dimaksud dengan budayawan adalah para pekerja seni. Bahwa apa yang dinamakan produk budaya adalah yang dihasilkan oleh para seniman, para artis. Begitu pun sebaliknya, seni barangkali adalah nama lain dari budaya, dan seterusnya yang merupakan konsekuensi penggunaan istilah. Dan pada tahap lebih lanjut adalah lahirnya anggapan bahkan mungkin, wacana bahwa arti budaya adalah sesempit itu. Tapi ternyata fakta menyatakan hal lain. Masyarakat rupanya juga dapat menjumpai kata budaya dalam beberapa acara talk show yang membahas tentang kenegaraan, umpamanya, dimana ada narasumber yang dijuluki budayawan. Atau ditemui pada rak di sebuah toko, buku berjudul Kebudayaan Bla Bla Bla yang berisi berbagai ranah pengetahuan, dan bermacam fakta serupa. Lantas pemahaman yang baru akan muncul. Lalu apakah budaya itu sebenarnya? Apakah kebudayaan? Siapakah budayawan itu? Tidak hanya itu, Setiap kasus yang telah dipaparkan akan menelurkan pertanyaan-pertanyaan dan kesimpulan yang mungkin diantaranya akan sangat radikal dan bisa juga sembrono, tergantung bagaimana fakta yang didapat. Dan tentunya kolom singkat ini tidak cukup untuk menjelaskan semuanya. Di sini penulis hanya mencoba menjabarkan sedikit saja problem kebahasaan dalam kata budaya dalam ulasan sangat sederhana, tidak sampai pada kajian analisis linguistik yang mendalam. Budaya, Sistem Berbahasa Kita dan Relasi Kuasa Hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Begitu pengertian sederhana para pakar mengenai arti kata tersebut di Indonesia.

perdana menteri Mesir pada waktu itu, Syawar, telah melakukan penghianatan. Akhirnya mereka berhasil mengalahkan tentara Salib sekaligus juga menguasai Mesir. Maka, semenjak itu kedudukan Shalahuddin di Mesir semakin mantap. Ia mendapat dukungan dari masyarakat setempat yang mayoritas Sunni. Kesempatan ini, digunakan Shalahuddin al -Ayyubi untuk mendirikan dinasti Ayyubiyah untuk menghidupkan Khalifah Abbasiyah di Mesir. Maka pada tahun 1171 M berakhirlah riwayat Dinasti Fathimiyyah di Mesir yang telah bertahan selama 262 tahun. *Penulis adalah Ketua LSBNU Mesir 2012-2014

Adalah budaya, kata yang digunakan untuk mengilustrasikan proses (beserta produk) tingkah laku manusia. Seseorang bekerja untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Yang demikian adalah proses berbudaya manusia dalam kaitannya dengan ekonomi. Dengan membudayakan bekerja keras manusia membentuk sebuah tatanan nilai dalam hidupnya dimana hasil dari olah kerja pikiran dan tenaga itu melahirkan sebuah hasil yang akan dipergunakan untuk mensejahterakan kehidupan mulai dari individu, keluarga, maupun masyarakat. Dalam arti lebih jauh, bekerja keras merupakan salahsatu bentuk kebudayaan manusia. Dalam cakupan yang lebih besar seperti sistem nilai, etika salahsatunyakarena manusia mengenal sistem nilai etis, baik dan buruk, maka keniscayaan untuk menyepakati apa yang dimaksud dengan kebaikan dan keburukan serta mengaplikasikan nilai moral tersebut dalam aktifitas nyata, merupakan proses berbudaya sebuah masyarakat. Pun sistem nilai lain, baik itu logika yang nantinya akan membentuk bangunan ilmu pengetahuan, serta nilai -nilai keindahan dalam estetika saat manusia membuat sebuah karya seni, keduanya juga merupakan piranti pembentuk kebudayaan. Dari ketiga ini akan terbidani sebuah tatanan masyarakat yang berbudaya, dalam arti memiliki pengetahuan, berbudi pekerti dan bercita-rasa seni sehingga nantinya akan disebut sebagai sebuah peradaban, terlepas dari bagaimana hubungan antar satu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Begitupun penilaian budaya satu sama lain sebagaimana yang diteorisasikan oleh para pengkaji budaya. Maka dalam kata budaya terdapat suatu kompleksitas. Kebudayaan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai perangkat dan unsur-unsur, termasuk diantaranya pengetahuan, bahasa, politik dan sistem kepercayaan (baca : agama) yang nantinya membawa manusia kepada pengertian akan nilai-nilai dan lelaku yang musti dan tidak boleh dilakukan. Dengan unsur-unsur pembentuk inilah manusia berbudaya, berproses dan berperilaku dalam kesehariannya, di samping juga membuat karya -karya budaya yang karya seni termasuk di dalamnya. Singkatnya, meminjam definisi yang ditawarkan oleh para pengkaji budaya mazhab Cultural Studies, Budaya adalah laku keseharian manusia yang mengejawantahkan nilai -nilai dalam kehidupan dalam apapun bentuknya. Dan tentunya, simpul erat antara unsur pembentuk dan proses berkebudayaan itu sendiri saling berdialektika dan membentuk antar satu dengan yang lain sehingga muncul suatu bentuk kebudayaan baru.

Lantas apa yang salah dengan penggunaan kata budaya selama ini? Jika mengikuti tesis Widgeinstein, bahwa bahasa seluas pikiran seseorang. Memang tidak ada yang salah dengan menyempitkan kata budaya hanya pada proses berkesenian belaka karena kerja seni adalah satu bagian darinya. Namun seandainya kita telah memiliki gambaran tertentu siapa yang dimaksud dengan budayawan, akan menjadi lelucon jika seseorang yang dianggap budayawan dan dijadikan rujukan dalam ihwal budaya adalah seorang pekerja seni an sich yang tidak memiliki intenstitas keilmuan apapun, termasuk ilmu budaya. Sehingga sempat ada seloroh tak nyaman dalam sebuah artikel bahwa budayawan adalah gelar bagi intelektual pengangguran yang tidak memiliki kredibilitas dan keilmuan yang mumpuni dalam bidang apapun. Dan jika pun yang demikian salah, bukankah yang dimaksud budaya adalah laku keseharian, tak tertentu pada siapa yang menekuni ilmu budaya? Ataukah di sini media massa sangat berperan untuk memberi gelar budayawan pada seorang tokoh ataukah posisi budayawan sejajar dengan para pengkaji ranah keilmuan lain, seperti antropolog, sosiolog atau ulama misalnya? Atau jangan -jangan benar bahwa pandangan kita tentang budaya selama ini pun memang masih sempit dan terbatas pada ruang seni saja? Rancunya terminologi ini mau tidak mau juga berimbas pada hal lain, sehingga tidak heran jika sistem berbahasa kita yang hampir demikian rapuh ini (jika masih sopan untuk menyebutnya demikian) turut menyemarakkan permainan bahasa di kalangan elit, baik intelektualnya maupun pemerintah. Sehingga dalam satu kasus, ajang pameran budaya baik yang diadakan oleh pemerintah maupun elit budaya bisa lebih menjadi sebuah medan promosi yang bersifat ekonomis-komersial dan sekali jadi, tidak merupakan pembangunan dan proses kerja budaya yang terus menerus yang berkait kelindan antara satu aspek kehidupan dengan yang lain. Dalam kasus lain, yang lebih sering terjadi adalah adanya ketidakseimbangan dalam proses berkebudayaan sehingga rentetan problem yang muncul tak lagi hanya sekedar masalah bahasa, namun juga masalah identitas dan intelektualitas. Tentunya penilaian negatif ini jika kita masih menganggap adanya suatu budaya yang baik.[] *Penulis adalah Pengatur Umum Rumah Budaya Akar

Setelah menanti berhari-hari di pantai Air Manis, akhirnya pada suatu pagi, Mande Rubayah melihat sebuah kapal di kejauhan lepas pantai. Semakin dekat, semakin jelas bentuk rupa kapal tersebut. Besar dan megah. Bersandarlah kapal itu di pelabuhan. Orang -orang desa berdatangan lalu berdesakan menyambut pemuda tampan nan kaya raya bersama istrinya yang turun dari kapal tersebut. Semua bersalaman. Mande Rubayah pun turut berdesakan. Ia merasa yakin bahwa pemuda itu adalah anaknya, Malin Kundang. Tanpa ragu, ia langsung memeluknya erat -erat sambil berteriak dengan suara serak tangis bahagianya. Mande Rubayah sangat berbahagia karena bertemu kembali dengan anaknya yang telah pergi lama. Malin Kundang anakku, mengapa begitu lama kau tinggalkan ibumu ini? Malin kemudian terpana dengan wanita tua itu. Sebelum ia sempat berpikir, istrinya yang cantik disampingnya berkata, Cuih! Wanita tua nan buruk inikah ibumu? Mengapa kau bohongi aku? Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah bangsawan terhormat? Mendengar kata-kata istrinya, Malin langsung mendorong wanita tua itu hingga tersungkur pasir. Malin, anakku. Aku ini ibumu, nak.. Malin tak menghiraukannya. Hai wanita tua! Ibuku tidak miskin dan kumuh seperti kau!, kata Malin sambil menunjuki wanita tua tersebut. Malin kemudian pergi berlayar kembali bersama istri dan para anak buahnya. Mande Rubayah sangat sakit hati karena diperlakukan seperti itu oleh anaknya sendiri. Sejenak, tangannya ditengadahkan ke langit. Lalu berseru, Ya Tuhan, kalau dia benar anakku, aku ingin Engkau mengutuknya menjadi batu. Tidak lama kemudian, cuaca hitam memendung. Hujan turun dan seketika badai besar menghantam kapal Malin Kundang. Kapalnya hancur berkeping-keping dan Malin Kundang terpental ke pantai. Doa Mande Rubayah dikabulkan. Malin Kundang berubah menjadi batu berbentuk manusia. Kalau sempat dianalisa secara mendalam, dalam cerita di atas terdapat pelajaran penting, yakni tentang penyebab kedurhakaan Malin Kundang terhadap ibu kandungnya sendiri. Tidak lain penyebab itu adalah perempuan, yaitu istrinya sendiri. Malin Kundang terpengaruh oleh ejekan istrinya. Sehingga ia tidak mau mengakui ibunya yang merupakan

wanita miskin lagi renta. Karena dahulu ia pernah bercerita kepada istrinya bahwa ibunya adalah bangsawan kaya raya, terhormat lagi kesohor di penjuru negeri. Walaupun memang kerap ditemukan bahwa dosa atau kesalahan laki -laki sering disebabkan oleh godaan perempuan, akan tetapi disini, penulis tidak akan menjelaskan itu, melainkan penulis akan mencoba membahas tentang kutuk -mengutuk. Dan penggalan cerita Malin Kundang di atas adalah salahsatu contoh bagaimana kutukan itu terjadi, meskipun cerita tersebut tidak seratus persen faktual. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kutuk memiliki arti doa atau kata-kata yang dapat mengakibatkan kesusahan atau bencana kepada seseorang; ataupun kesusahan atau bencana yang menimpa seseorang disebabkan doa atau kata kata yang diucapkan orang lain; dan bisa pula disebut laknat atau sumpah. Jadi, mengutuk adalah mengatakan (mengenakan) kutukan kepada orang lain; begitu juga dengan melaknat dan menyumpahi. Di sana dibenarkan pula jika kata kutuk digunakan untuk menyatakan buruk atau salah pada seseorang. Akan tetapi, penulis lebih sepakat pada pengartian yang pertama. Dengan catatan, tata pelaksanaannya sesuai dengan cerita Malin Kundang di atas, yakni dengan melibatkan Tuhan sebagai pihak yang mengesahkan kutukan. Si pengutuk pun harus benar-benar mencapai derajat orang yang sangat dizalimi dan disakiti oleh orang yang akan dikutuk itu. Kutukan pun seyogyanya ditentukan, yakni si objek hendak dikutuk menjadi apa atau akan mengalami hal buruk apa. Walaupun dalam tatanan praktisnya, Tuhan lah yang menentukan. Jadi, hasil kutukan itu diserahkan kepada Tuhan sepenuhnya. Dewasa ini sering sekali ditemukan pernyataan -pernyataan yang berisi kutuk-mengutuk, baik dilakukan oleh para pribadi maupun kelembagaan. Ketika ada kejadian dan itu dilakukan oleh pihak ataupun seseorang yang menurut mereka hal tersebut tidak layak terjadi, mereka serta -merta mengeluarkan pernyataan-pernyataan kutukan. Dan orang orang pun turut mengutuk di sana-sini. Seakan begitu mudahnya orang mengeluarkan kutukan. Padahal mengutuk adalah sesuatu yang amat rumit, seperti yang telah dijelaskan. Si pengutuk harus dalam kapasitasnya. Sedang mereka

yang mudah mengutuk, sudahkah dalam kapasitasnya? telahkah punya hak untuk mengutuk? layakkah? sudahkah mereka menyadari dan mengaca diri sebelumnya? telahkah mempertimbangkan akibatnya? Pertanyaan -pernyataan ini harus dijawab dengan positif dan matang sebelum mengutuk. Anehnya, yang mengumbar kutukan dimana -mana ini adalah orang-orang dan lembaga-lembaga yang orang-orangnya beragama Islam. Kadang, yang dikutuk pun adalah yang beragama Islam. Tentunya ini akan memperburuk citra Islam di mata dunia. Orang Islam seharusnya memperindah Islam di mata dunia sebagai laku dakwah. Bukan justru memperburuknya sehingga mempersulit laju dakwah Islam. Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa nabi Muhammad SAW pernah menyayangkan kematian seorang yahudi yang notabenenya akan masuk ke neraka. Beliau menyayangkan karena seorang yahudi tersebut tidak masuk Islam terlebih dahulu sebelum matinya hingga nantinya masuk ke sorga. Begitulah keteladanan Nabi dalam dakwah, memiliki rasa kasih dan sayang pada siapapun tak pandang bulu. Tidak malah merasa puas dan memaki -maki seorang yahudi yang meninggal itu karena tidak masuk Islam. Disebutkan pula bahwa Umar bin Khatthab dulu sebelum masuk Islam, dia adalah orang yang sangat sering menghina Islam. Begitu pula dengan Khalid bin Walid, sebelum menjadi muslim, dia turut berperang melawan Nabi dan pasukan kaum muslimin. Apabila saat itu Nabi membalasnya dengan kutukan bertubi -tubi, tentu dua orang itu tidak akan pernah masuk Islam dan menjadi orang yang sangat berjasa pada Allah dan Rasul-Nya. Hiruk-pikuk pernyataan kutuk-mengutuk yang berlalu-lalang saat ini tidak penulis anggap sebagai kutukan. Melainkan tidak lebih dari umpatan dan kecaman semata. karena derajatnya tidak setara dengan Mande Rubayah atas tragedi durhaka Malin Kundang. Bagi penulis, kutuk -mengutuk adalah sesuatu yang amat sakral. *Penulis adalah Anggota LSBNU Mesir

HIROGLIF
Buletin Seni dan Budaya Edisi Agustus 2013

Diterbitkan Oleh: LSBNU Mesir

Ketua: Iqbal Fathoni

Pemimpin Redaksi: Hasan Hanung

Anggota Redaksi: Layali Hilwa Abdul Wahid Satunggal

Layouter: A. Subakri

Segenap Kru HIROGLIF Mengucapkan: Selamat Idul Fitri 1434 H Mohon Maaf Lahir-Batin Semoga Kebaikan Senantiasa Mengiringi
Lembaga Seni dan Budaya Nahdlatul Ulama Mesir Periode 2012-2014

Anda mungkin juga menyukai