Agussalim
Abstrak
menjadi salah satu sumber pertikaian antara pemerintah pusat dengan pemerintah
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pertikaian tersebut belum juga berakhir.
sebelumnya.2
sepenuhnya mencerminkan pola relasi yang ideal antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Bahkan format desentralisasi fiskal tersebut dinilai belum sanggup
1
Sumber pertikaian lainnya adalah desentralisasi politik (political decentralization) dan desentralisasi
administratif (administrative decentralization).
2
Aspek ini yang menjadi salah satu sebab mengapa Indonesia dianggap oleh Bank Dunia sebagai
negara yang mengalami “big bang decentralization”. Big bang merupakan kebalikan dari gradualism.
1
memperbaiki ketimpangan horizontol (horizontal instability) yang terjadi selama
hampir tiga dekade akibat pola transfer fiskal (fiscal transfer) yang diskriminatif. Tak
fiskal berjalan efektif atau tidak, harus dikaitkan dengan 3 (tiga) komponen penting
dalam desentralisasi fiskal, yaitu: (1) revenue autonomy and adequacy (adanya otonomi
dan kecukupan dalam penerimaan); (2) expenditure autonomy (adanya otonomi dalam
pinjaman). Sedangkan Bahl (2002), meski substansinya sama dengan Shah dan
Thompson, namun mengunakan istilah yang sedikit berbeda, yaitu: (i) significant local
pengeluaran); dan (iii) local borrowing ability (kemampuan daerah untuk meminjam).4
3
Dalam berbagai literatur yang membahas mengenai desentralisasi fiskal, istilah expenditure
assignment dan revenue assignment lebih lazim digunakan daripada expenditure autonomy dan revenue
autonomy.
4
Komponen ini agak disimplifikasi, karena sesungguhnya komponen desentralisasi fiskal yang
dikemukakan oleh Bahl (2002) memiliki dimensi dan spektrum yang lebih luas. Secara garis, Bahl
membagi desentralisasi fiskal kedalam 2 (dua) komponen, yaitu: (i) syarat perlu (necessary condition);
dan (ii) syarat dikehendaki (desirable condition). Dari kedua komponen tersebut, juga terdapat syarat
yang sebetulnya lebih bersifat non-fiskal, misalnya: (i) adanya lembaga perwakilan rakyat yang dipilih
secara langsung (elected local council); (ii) pemimpin daerah ditetapkan secara lokal (locally appointed
chief officer); dan (iii) adanya kewenangan untuk merekrut pegawai sendiri.
2
Dalam konteks Indonesia, dari ketiga komponen di atas, tampaknya
pelaksanaan desentralisasi fiskal hanya signifikan pada expenditure autonomy. Hal ini
sedikitnya dapat dilihat pada 2 (dua) aspek. Pertama, transfer fiskal dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah melalui Dana Perimbangan5, khususnya DAU dan Bagi
Hasil (Sumberdaya Alam dan Pajak), meningkat cukup signifikan. Bahkan peningkatan
tersebut diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan penerapan UU 33/2004, akibat
adanya beberapa item baru dalam Bagi Hasil SDA, misalnya pertambangan panas bumi,
serta adanya peningkatan batas minimal proporsi DAU terhadap PDN APBN dari 25%
menjadi 26%. Implikasi lebih lanjut dari situasi ini adalah porsi dana yang dikelola
Dalam Negeri APBN di atas 26%), dan sebaliknya, porsi dana yang dikelola dan
transfer fiskal terhadap total APBD sekitar 70% - 80% dan total dana yang dikelola oleh
besarnya proporsi Dana Perimbangan tersebut yang harus dialokasikan untuk belanja
pegawai.6
tersebut sesuai dengan kebijakan umum dan prioritas daerah, tanpa intervensi dari
3
dilakukan secara horizontal (horizontal responsibility), dalam hal ini kepada DPRD
18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian direvisi menjadi
UU 34/2000 tentang Perubahan Atas UU 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
(local revenue). Akibatnya, kemampuan penerimaan pajak daerah (local taxing power)
yang dipunyai daerah relatif menjadi amat terbatas. Jenis pajak yang potensial,
sepenuhnya masih menjadi kewenangan pemerintah pusat, dan sebaliknya, jenis pajak
yang tergolong “kurus” diserahkan kepada daerah. PPh Perorangan (salah satu jenis
pajak yang potensial) yang dibagi-hasilkan kepada daerah, tampaknya juga hanya
Jika dicermati beberapa indikator fiskal, misalnya rasio PAD terhadap total
penerimaan7, nampak bahwa local taxing power hanya memberikan kontribusi dengan
proporsi yang amat kecil terhadap total penerimaan pajak nasional. Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang sumber utamanya berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah,
tahun terakhir. Dengan demikian, amat tidak mungkin mengharapkan pemerintah daerah
7
Total penerimaan = penerimaan nasional + PAD.
4
akan sanggup membiayai seluruh kebutuhan atau pengeluarannya, jika sumber
pengeluaran daerah menunjukkan angka yang amat besar, rata-rata di atas 80% selama
kurun waktu 1998-2003. Bahkan sejak tahun 2001, ketika DAU pertama kali
103,04% (Brodjonegoro and Vazquez, 2002). Situasi ini dimungkinkan karena daerah-
daerah yang tergolong kaya tidak sepenuhnya membelanjakan seluruh transfer dana
khususnya Bagi Hasil SDA, yang ditawarkan pemerintah pusat ini, telah menyebabkan
rasio pengeluaran daerah terhadap total pengeluaran sebesar 15,81%, namun pada tahun
2003 sudah diatas 25%. Masih rendahnya rasio tersebut disebabkan oleh masih
Gambaran ini sebetulnya sama dengan yang terjadi di India, Afrika Selatan,
dan Meksiko, dimana pengeluaran pemerintah pusat masih lebih dari 2/3 (dua per tiga)
dari total pengeluaran (tidak termasuk transfer bersyarat kepada pemerintah daerah).
8
Total pengeluaran = pengeluaran nasional – intergovernmental fiscal transfer + total pengeluaran
daerah.
5
Dominasi pemerintah pusat atas total pengeluaran tersebut, disebabkan oleh tanggung
terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki
fiskal. Pengalaman internasional dengan jelas memperlihatkan bahwa jika suatu negara
menurun, atau daerah akan menekan pusat − biasanya berhasil − untuk mendapatkan
tambahan kucuran dana yang lebih besar, atau pinjaman yang lebih besar, atau kedua-
duanya. Salah satu contoh terjelas, dan yang paling banyak dianalisis, adalah kasus-
kasus di negara Federasi Rusia (Wallich, 1994, sebagaimana dikutip Shah, 2000).
Argentina, dan Brasil seringkali dijadikan contoh buruk dalam hal ini. Bahkan,
6
walaupun kedua sisi didesentralisasikan dengan pola yang seimbang, seringkali masih
memuaskan.
apakah Indonesia menganut pola pertama, pola kedua, atau pola ketiga. Sebab, ketiga
pola tersebut dapat ditemui dalam praktek desentralisasi fiskal di Indonesia. Bagi
Sedangkan berkaitan dengan pola ketiga, dapat dikatakan bahwa secara umum, hampir
semua daerah memiliki kapasitas kelembagaan, administrasi, dan teknis yang sangat
yang disebut terakhir, ini bisa dipahami karena pemerintah daerah selama beberapa
Mekanisme juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) amat dominan
fiskal di Indonesia, akan lebih mudah dipahami jika dicermati pernyataan Smoke
(2002): bahwa expenditure assignment hanya difokuskan pada dua issu utama: (i)
7
lebih spesifik; dan (ii) mendefinisikan standar pelayanan minimum (minimum service
untuk melakukan pinjaman, namun dengan persyaratan yang sangat ketat. Pembatasan
pinjaman daerah didasarkan atas argumentasi bahwa utang dalam negeri dan utang luar
negeri saat ini sudah sangat membebani APBN dan berada di ambang yang
(i) jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak
melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD 10 tahun
(biasanya menggunakan indiktor debt service coverage ratio (DSCR)11 lebih besar atau
sama dengan 2,5); dan (iii) tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman
yang berasal dari Pemerintah. Dengan pembatasan seperti itu, hampir dipastikan bahwa
desentralisasi fiskal atau kriteria persyaratan desentralisasi fiskal yang efektif yang
9
Secara teoritis, setidaknya, terdapat dua alasan mengapa pinjaman daerah diperlukan (Devas, 1989):
(i) pinjaman (jangka pendek) dibutuhkan oleh daerah guna menutupi kekurangan dana yang terjadi akibat
penerimaan (PAD dan Dana Perimbangan) lebih kecil dari pada pengeluaran; dan (ii) pinjaman (jangka
panjang) diperlukan oleh daerah untuk membiayai investasi daerah dan pembangunan infrastruktur
(public utilities) daerah.
10
Penerimaan umum APBD adalah seluruh Penerimaan APBD, tidak termasuk DAK, Dana Darurat,
dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran
tertentu.
11
DSCR adalah perbandingan antara seluruh penerimaan daerah (PAD, Bagi Hasil, dan DAU)
dikurangi belanja wajib dengan angsuran pokok, bunga dan biaya pinjaman yang jatuh tempo. DSCR ≥
2,5, artinya jumlah penerimaan bersih daerah (setelah dikurangi belanja wajib) minimum harus 2,5 kali
dari jumlah angsuran pokok, bunga pijaman, dan biaya lainnya.
8
dikemukakan oleh Shah dan Thompson (2002) dapat dipenuhi oleh Indonesia. Ini terjadi
karena pemerintah daerah di Indonesia sama sekali tidak memiliki diskreasi yang
keleluasaan − ditandai oleh berbagai persyaratan yang cukup ketat yang harus dipenuhi
oleh pemerintah daerah − untuk melakukan pinjaman, khususnya pinjaman luar negeri.
tujuan derivatif yang lebih luas dan spesifik. Tujuan desentralisasi fiskal dimaksud,
antara lain (Siddik, 2000): (i) kesinambungan kebijaksanaan fiskal (fiscal sustainability)
vertikal (vertical imbalance), yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi antara
keuangannya, yang saat ini memang relatif masih sangat bervariasi; (iv) akuntabilitas,
efektifitas, dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah daerah; (v)
misalnya tujuan memperbesar local taxing power. Sebab dalam kenyataannya, tujuan
kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam hal peningkatan
kemampuan pemerintah dalam memungut pajak dan retribusi. Local taxing power
9
sebelum dan sesudah pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah menunjukkan
juga masih patut dipertanyakan. Sebab dari hasil olahan data alokasi Bagi Hasil dan
DAU, nampak jelas bahwa fiscal transfer dari pemerintah pusat justru semakin
mempertajam disparitas antar daerah, khususnya antara daerah kaya dengan daerah
miskin. Bahwa fiscal transfer diarahkan untuk memperbaiki fiscal gap (kesenjangan
Indonesia nampaknya perlu ditinjau kembali. Jika dilihat dari sisi pragmatis, pendekatan
seperti ini memang memudahkan dari segi implementasi, supervisi, monitoring, dan
evaluasi. Namun jika dilihat dari sisi efektifitas pencapaian tujuan, pendekatan seperti
ini sangat tidak memadai. Sebab diyakini betul bahwa setiap daerah memiliki
karakteristik berbeda − katakanlah misalnya antara kota dan kabupaten, antara daerah
pesisir dan daerah dataran tinggi − yang mana hal tersebut selanjutnya akan
tampaknya hanya terletak pada fiscal transfer dan expenditure assignment. Sedangkan
tax assignment kepada pemerintah daerah belum mengalami perubahan yang signifikan.
Kondisi ini telah melahirkan dua fenomena yang sekaligus menjadi ciri utama
10
nampak semakin kian tergantung pada fiscal transfer dari pemerintah pusat; dan (ii)
sumber-sumber penerimaan yang dapat dikreasikan oleh daerah (own tax base) relatif
amat terbatas. Kedepan, aspek tax assignment tampaknya perlu mendapat perhatian.
besarnya proporsi dari dana transfer yang diperuntukkan untuk belanja pegawai,
dimaksud. Peninjauan format densentralisasi fiskal secara berkala dan teratur harus
Keempat, Relatif rendahnya local taxing power yang dimiliki daerah, salah
satunya disebabkan oleh kurang memadainya format tax assignment yang ditawarkan
pemerintah pusat, dimana semua sumber pajak yang potensial “dikuasai” oleh
pemerintah pusat, dan sebaliknya, sumber pajak yang tergolong “kurus” diserahkan
kepada daerah. Sekiranya format tax assignment ini masih sulit untuk dikoreksi, bagi
daerah untuk menerapkan additional tax, misalnya dalam bentuk surcharge of taxes
(misalnya pada PPn) maupun piggy-backed system (misalnya pada PPh Badan dan
Cukai). Pajak berganda, dimana daerah yang lebih “kaya” dikenakan pajak yang lebih
11
Kelima, dengan alasan stabilitas ekonomi makro, pinjaman daerah nampak
masih dikontrol secara ketat oleh pemerintah pusat. Namun, pembatasan seperti ini
yang amat ketat (cenderung terkesan pelarangan) bagi daerah untuk melakukan
Solusi parsial yang ditawarkan UU No. 33/2004 kepada pemerintah daerah untuk
menerbitkan “obligasi daerah (local government bonds)”, memang cukup menarik, tapi
12
DAFTAR BACAAN
Agussalim, 2002. Dana Alokasi Umum: Sebuah Perspektif Daerah, Makalah yang
Disampaikan pada Seminar Sehari “Tantangan Kebijakan Fiskal Jangka
Menengah” kerjasama DEPKEU, Bank Dunia, PEG-USAID, LPEM–UI, dan
ISEI Cabang Makassar, pada tanggal 30 Agustus 2002, di Hotel Sahid Jaya
Makassar.
Alm, James, and Sri Mulyani Indrawati, 2002. Decentralization and Local Government
Borrowing in Indonesia, Paper Prepared for “Can Decentralization Help
Rebuild Indonesia?”, A Conference Sponsored by the International Studies
Program, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University,
Atlanta, May 1-3, 2002.
Bahl, Roy, 2002. How to Design a Fiscal Decentralization Program, dalam Shahid
Yusuf, Weiping Wu, and Simon Evenett (Ed.), Local Dinamics in an Era of
Globalization, The World Bank, Oxford University Press.
Bird, Richard D., dan Francois Vaillancourt, 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara-
Negara Berkembang: Tinjaun Umum, dalam Richard M. Bird dan Francois
Vaillancourt (Penyunting), Desentralisasi Fiskal Di Negara-Negara
Berkembang (Terjemahan), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Devas, Nick and Others, 1989. Financing Local Government in Indonesia, University of
Ohio.
Hofman, Bert, 2002. Fiscal Decentrallization in Indonesia: Status and Directions for
Reform, Bahan Presentasi pada Seminar Sehari “Tantangan Kebijakan Fiskal
Jangka Menengah” kerjasama DEPKEU, Bank Dunia, PEG-USAID, LPEM–
13
UI, dan ISEI Cabang Makassar, pada tanggal 30 Agustus 2002, di Hotel Sahid
Jaya Makassar.
Lewis, Blane D., 2001. The New Indonesia Equalization Transfer, Bulletin of Indonesia
Economic Studies, Vol. 37, No. 3.
Rasyid, Ryaas, 2000. Perspektif Otonomi Luas, dalam “Otonomi dan Federalisme;
Dampaknya Terhadap Perekonomian”, Harian Umum Suara Pembaruan
bekerjasama dengan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Shah, Anwar & Others, 1994, Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia: Issues
and Reform Options, World Bank Discussion Papers 239, The World Bank,
Washington D.C.
Shah, Anwar, 2000. Indonesia dan Pakistan: Desentralisasi Fiskal, Tekad atau
Retorika?, dalam Richard M. Bird dan Francois Vaillancourt (Penyunting),
Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara Berkembang (Terjemahan), PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
14
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
15
BIODATA SINGKAT PENULIS
16