Anda di halaman 1dari 16

EFEKTIFITAS DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA

Agussalim

Abstrak

Tulisan ini mencoba menyelidiki apakah kehadiran Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 sanggup menjamin
pelaksanaan desentralisasi fiskal yang efektif di Indonesia? Dengan mengacu
pada kriteria yang dikemukakan oleh Shah dan Thompson (2002) maupun Bahl
(2002), nampak bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia hanya
signifikan pada expenditure autonomy (adanya otonomi dalam pengeluaran),
sedangkan revenue autonomy and adequacy (adanya otonomi dan kecukupan
dalam penerimaan) dan borrowing privileges (adanya privileges untuk
melakukan pinjaman), nampaknya tidak mengalami perubahan yang cukup
berarti. Meskipun terdapat beberapa alasan pembenaran mengenai hal tersebut,
namun secara umum, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di
Indonesia belum sepenuhnya berjalan efektif.

Sudah sejak lama, format desentralisasi fiskal (fiscal decentralization) telah

menjadi salah satu sumber pertikaian antara pemerintah pusat dengan pemerintah

daerah.1 Bahkan ketika desentralisasi dan otonomi daerah mulai diimplementasikan di

Indonesia, yang secara monumental ditandai dengan dikeluarkannya UU 22/1999

tentang Pemerintah Daerah dan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pertikaian tersebut belum juga berakhir.

Padahal format desentralisasi fiskal yang ditawarkan oleh kedua undang-undang

tersebut sesungguhnya sudah sangat memadai, setidaknya jika dibandingkan dengan

sebelumnya.2

Bagi pemerintah daerah, format desentralisasi fiskal tersebut belum

sepenuhnya mencerminkan pola relasi yang ideal antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah. Bahkan format desentralisasi fiskal tersebut dinilai belum sanggup

1
Sumber pertikaian lainnya adalah desentralisasi politik (political decentralization) dan desentralisasi
administratif (administrative decentralization).
2
Aspek ini yang menjadi salah satu sebab mengapa Indonesia dianggap oleh Bank Dunia sebagai
negara yang mengalami “big bang decentralization”. Big bang merupakan kebalikan dari gradualism.

1
memperbaiki ketimpangan horizontol (horizontal instability) yang terjadi selama

hampir tiga dekade akibat pola transfer fiskal (fiscal transfer) yang diskriminatif. Tak

pelak, tuntutan agar kedua undang-undang tersebut direvisi, terus bergulir.

Puncaknya, pada paruh akhir 2004, pemerintah “mengganti” kedua undang-

undang tersebut dengan UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU 33/2004

tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Melalui kedua undang-undang baru tersebut, format desentralisasi fiskal direkonstruksi

kembali. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah: apakah kedua undang-undang tersebut

sanggup menjamin pelaksanaan desentralisasi fiskal yang efektif?

Menurut Shah dan Thompson (2002), untuk melihat apakah desentralisasi

fiskal berjalan efektif atau tidak, harus dikaitkan dengan 3 (tiga) komponen penting

dalam desentralisasi fiskal, yaitu: (1) revenue autonomy and adequacy (adanya otonomi

dan kecukupan dalam penerimaan); (2) expenditure autonomy (adanya otonomi dalam

pengeluaran)3; dan (3) borrowing privileges (adanya privileges untuk melakukan

pinjaman). Sedangkan Bahl (2002), meski substansinya sama dengan Shah dan

Thompson, namun mengunakan istilah yang sedikit berbeda, yaitu: (i) significant local

government discretion to raise revenue (pemerintah daerah memiliki diskreasi yang

signifikan dalam menaikkan penerimaan); (ii) significant local government expenditure

responsibilities (pemerintah daerah memiliki kewenangan yang signifikan dalam

pengeluaran); dan (iii) local borrowing ability (kemampuan daerah untuk meminjam).4

3
Dalam berbagai literatur yang membahas mengenai desentralisasi fiskal, istilah expenditure
assignment dan revenue assignment lebih lazim digunakan daripada expenditure autonomy dan revenue
autonomy.
4
Komponen ini agak disimplifikasi, karena sesungguhnya komponen desentralisasi fiskal yang
dikemukakan oleh Bahl (2002) memiliki dimensi dan spektrum yang lebih luas. Secara garis, Bahl
membagi desentralisasi fiskal kedalam 2 (dua) komponen, yaitu: (i) syarat perlu (necessary condition);
dan (ii) syarat dikehendaki (desirable condition). Dari kedua komponen tersebut, juga terdapat syarat
yang sebetulnya lebih bersifat non-fiskal, misalnya: (i) adanya lembaga perwakilan rakyat yang dipilih
secara langsung (elected local council); (ii) pemimpin daerah ditetapkan secara lokal (locally appointed
chief officer); dan (iii) adanya kewenangan untuk merekrut pegawai sendiri.

2
Dalam konteks Indonesia, dari ketiga komponen di atas, tampaknya

pelaksanaan desentralisasi fiskal hanya signifikan pada expenditure autonomy. Hal ini

sedikitnya dapat dilihat pada 2 (dua) aspek. Pertama, transfer fiskal dari pemerintah

pusat ke pemerintah daerah melalui Dana Perimbangan5, khususnya DAU dan Bagi

Hasil (Sumberdaya Alam dan Pajak), meningkat cukup signifikan. Bahkan peningkatan

tersebut diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan penerapan UU 33/2004, akibat

adanya beberapa item baru dalam Bagi Hasil SDA, misalnya pertambangan panas bumi,

serta adanya peningkatan batas minimal proporsi DAU terhadap PDN APBN dari 25%

menjadi 26%. Implikasi lebih lanjut dari situasi ini adalah porsi dana yang dikelola

pemerintah pusat menjadi berkurang (proporsi transfer fiskal terhadap Penerimaan

Dalam Negeri APBN di atas 26%), dan sebaliknya, porsi dana yang dikelola dan

menjadi tanggung jawab pemerintah daerah meningkat secara signifikan (proporsi

transfer fiskal terhadap total APBD sekitar 70% - 80% dan total dana yang dikelola oleh

pemerintah daerah meningkat rata-rata di atas 200%). Meskipun demikian, dalam

kenyataannya, sebagian besar pemerintah daerah masih tetap mengeluhkan relatif

besarnya proporsi Dana Perimbangan tersebut yang harus dialokasikan untuk belanja

pegawai.6

Kedua, transfer fiskal tersebut memiliki tingkat fleksibilitas dan diskreasi

(flexibility and discretionary) yang sangat tinggi dalam penggunaannya, dimana

pemerintah daerah memiliki kewenangan sepenuhnya untuk menggunakan dana-dana

tersebut sesuai dengan kebijakan umum dan prioritas daerah, tanpa intervensi dari

pemerintah pusat. Bahkan pertanggungjawaban atas penggunaan dana tersebut pun


5
Secara umum, Dana Perimbangan terdiri atas 3 (tiga) skema transfer, yaitu: (i) Bagi Hasil (SDA dan
Pajak); (ii) Dana Alokasi Umum (DAU); dan (iii) Dana Alokasi Khusus (DAK). Disamping itu,
pemerintah daerah juga dapat memperoleh hibah dan dana darurat dari pemerintah pusat. Rincian lebih
lanjut mengenai hal ini dapat dilihat dalam UU 33/2004, Bab VI dan VII.
6
Ini sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah, dimana sedikitnya 2 juta pegawai
pemerintah pusat “didaerahkan”.

3
dilakukan secara horizontal (horizontal responsibility), dalam hal ini kepada DPRD

sebagai representasi masyarakat lokal.

Sedangkan revenue autonomy, meskipun merupakan bagian penting dalam

pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, namun bagi daerah, dirasakan belum

cukup signifikan. Pemerintah daerah memiliki kewenangan yang amat terbatas

berkaitan dengan peningkatan penerimaannya. Pengaturan kewenangan untuk

memungut pajak (tax assignment) yang ditawarkan pemerintah pusat melalui UU

18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian direvisi menjadi

UU 34/2000 tentang Perubahan Atas UU 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah, belum sepenuhnya menunjukkan kesungguhan pemerintah pusat untuk

memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah menyangkut penerimaan daerah

(local revenue). Akibatnya, kemampuan penerimaan pajak daerah (local taxing power)

yang dipunyai daerah relatif menjadi amat terbatas. Jenis pajak yang potensial,

sepenuhnya masih menjadi kewenangan pemerintah pusat, dan sebaliknya, jenis pajak

yang tergolong “kurus” diserahkan kepada daerah. PPh Perorangan (salah satu jenis

pajak yang potensial) yang dibagi-hasilkan kepada daerah, tampaknya juga hanya

menguntungkan beberapa daerah saja, khususnya DKI Jakarta.

Jika dicermati beberapa indikator fiskal, misalnya rasio PAD terhadap total

penerimaan7, nampak bahwa local taxing power hanya memberikan kontribusi dengan

proporsi yang amat kecil terhadap total penerimaan pajak nasional. Pendapatan Asli

Daerah (PAD) yang sumber utamanya berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah,

hanya memberikan kontribusi antara 3% - 4% terhadap total penerimaan selama empat

tahun terakhir. Dengan demikian, amat tidak mungkin mengharapkan pemerintah daerah

7
Total penerimaan = penerimaan nasional + PAD.

4
akan sanggup membiayai seluruh kebutuhan atau pengeluarannya, jika sumber

penerimaannya hanya berasal dari PAD.

Sebaliknya, proporsi transfer fiskal pemerintah pusat terhadap total

pengeluaran daerah menunjukkan angka yang amat besar, rata-rata di atas 80% selama

kurun waktu 1998-2003. Bahkan sejak tahun 2001, ketika DAU pertama kali

diperkenalkan, secara rata-rata total pengeluaran daerah justru lebih rendah

dibandingkan dengan transfer fiskal antar tingkatan pemerintahan (intergovernmental

fiscal transfer) dari pemerintah pusat, sebagaimana ditunjukkan oleh rasio

intergovernmental fiscal transfer terhadap total pengeluaran daerah yang mencapai

103,04% (Brodjonegoro and Vazquez, 2002). Situasi ini dimungkinkan karena daerah-

daerah yang tergolong kaya tidak sepenuhnya membelanjakan seluruh transfer dana

yang diperoleh dari pemerintah pusat. Skema intergovernmental fiscal transfer,

khususnya Bagi Hasil SDA, yang ditawarkan pemerintah pusat ini, telah menyebabkan

daerah kaya pada umumnya mengalami surplus anggaran.

Indikator fiskal lainnya, yaitu rasio pengeluaran daerah terhadap total

pengeluaran8 juga masih menunjukkan angka yang relatif rendah, meskipun

menunjukkan kecenderungan (trend) yang meningkat. Pada tahun 1988/1989 misalnya,

rasio pengeluaran daerah terhadap total pengeluaran sebesar 15,81%, namun pada tahun

2003 sudah diatas 25%. Masih rendahnya rasio tersebut disebabkan oleh masih

besarnya tanggung jawab dan kewenangan pengeluaran yang berada di tangan

pemerintah pusat, khususnya yang berkaitan dengan pengeluaran fasilitas publik.

Gambaran ini sebetulnya sama dengan yang terjadi di India, Afrika Selatan,

dan Meksiko, dimana pengeluaran pemerintah pusat masih lebih dari 2/3 (dua per tiga)

dari total pengeluaran (tidak termasuk transfer bersyarat kepada pemerintah daerah).
8
Total pengeluaran = pengeluaran nasional – intergovernmental fiscal transfer + total pengeluaran
daerah.

5
Dominasi pemerintah pusat atas total pengeluaran tersebut, disebabkan oleh tanggung

jawab untuk penyediaan pelayanan publik masih sangat sentralistik.

Padahal, sebagaimana dikemukakan oleh Rasyid (2000), ciri utama yang

menunjukkan suatu daerah otonom mampu menyelenggarakan otonomi daerahnya,

terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki

kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri,

mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintah daerahnya. Untuk itu, dalam rangka menyelenggarakan

otonomi daerah, kewenangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan

pemerintahan menjadi kewenangan daerah.

Memang bagi banyak negara, adanya otonomi dalam pengeluaran daerah

(expenditure autonomy) seringkali dianggap jauh lebih penting dibandingkan dengan

otonomi dalam penerimaan daerah (revenue autonomy). Meskipun demikian, faktor

keseimbangan antara keduanya juga menjadi fokus perdebatan dalam desentralisasi

fiskal. Pengalaman internasional dengan jelas memperlihatkan bahwa jika suatu negara

mendesentralisasikan tanggung jawab pengeluaran yang lebih besar dibandingkan

dengan sumber-sumber penerimaan yang tersedia, maka tingkat pelayanan akan

menurun, atau daerah akan menekan pusat − biasanya berhasil − untuk mendapatkan

tambahan kucuran dana yang lebih besar, atau pinjaman yang lebih besar, atau kedua-

duanya. Salah satu contoh terjelas, dan yang paling banyak dianalisis, adalah kasus-

kasus di negara Federasi Rusia (Wallich, 1994, sebagaimana dikutip Shah, 2000).

Sebaliknya, jika lebih banyak penerimaan dari pada pengeluaran yang

didesentralisasikan, mobilisasi dana oleh pemerintah daerah dapat menurun dan

ketidakseimbangan makro-ekonomi kembali muncul. Negara-negara seperti Kolombia,

Argentina, dan Brasil seringkali dijadikan contoh buruk dalam hal ini. Bahkan,

6
walaupun kedua sisi didesentralisasikan dengan pola yang seimbang, seringkali masih

menyisakan kekhawatiran bahwa daerah tidak memiliki kapasitas administratif dan

teknis yang cukup memadai untuk menjalankan fungsi-fungsi barunya secara

memuaskan.

Untuk kasus Indonesia, tampaknya agak sulit mendefenisikan secara ekstrim

apakah Indonesia menganut pola pertama, pola kedua, atau pola ketiga. Sebab, ketiga

pola tersebut dapat ditemui dalam praktek desentralisasi fiskal di Indonesia. Bagi

daerah-daerah yang miskin SDA, desentralisasi pengeluaran lebih besar dibandingkan

dengan desentralisasi penerimaan. Sebaliknya, daerah-daerah yang kaya SDA,

desentralisasi penerimaan lebih besar dibandingkan dengan desentralisasi pengeluaran.

Sedangkan berkaitan dengan pola ketiga, dapat dikatakan bahwa secara umum, hampir

semua daerah memiliki kapasitas kelembagaan, administrasi, dan teknis yang sangat

tidak memadai untuk menjalankan fungsi-fungsi yang menjadi kewenangannya. Khusus

yang disebut terakhir, ini bisa dipahami karena pemerintah daerah selama beberapa

dekade terakhir hanya menjadi perpanjangan tangan (sub-ordinasi) pemerintah pusat.

Mekanisme juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) amat dominan

mewarnai praktek penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kondisi ini telah

menghambat berlangsungnya proses belajar dan sekaligus menumpulkan daya inisiatif,

prakarsa, dan kreatifitas pemerintah daerah dalam menjalankan aktifitas pembangunan

dan memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Tidak tegasnya pendefinisian ketiga pola di atas dalam praktek desentralisasi

fiskal di Indonesia, akan lebih mudah dipahami jika dicermati pernyataan Smoke

(2002): bahwa expenditure assignment hanya difokuskan pada dua issu utama: (i)

menjelaskan secara terperinci tanggung jawab pengeluaran pemerintah daerah yang

7
lebih spesifik; dan (ii) mendefinisikan standar pelayanan minimum (minimum service

standards) untuk sektor-sektor yang didesentralisasikan.

Komponen ketiga, yaitu borrowing privileges9, juga sama sekali tidak

signifikan bagi pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Meskipun UU 32/2004

dan UU 33/2004 secara eksplisit memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah

untuk melakukan pinjaman, namun dengan persyaratan yang sangat ketat. Pembatasan

pinjaman daerah didasarkan atas argumentasi bahwa utang dalam negeri dan utang luar

negeri saat ini sudah sangat membebani APBN dan berada di ambang yang

mengkhawatirkan. Disamping itu, pembiaran atas pinjaman daerah dikhawatirkan akan

mengganggu stabilitas ekonomi makro. Pembatasan tersebut nampak pada penetapan:

(i) jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak

melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD 10 tahun

sebelumnya; (ii) rasio kemampuan keuangan Daerah untuk mengembalikan pinjaman

(biasanya menggunakan indiktor debt service coverage ratio (DSCR)11 lebih besar atau

sama dengan 2,5); dan (iii) tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman

yang berasal dari Pemerintah. Dengan pembatasan seperti itu, hampir dipastikan bahwa

hanya sedikit daerah yang sanggup memenuhi persyaratan tersebut.

Dari gambaran di atas, nampak bahwa tidak semua komponen sistem

desentralisasi fiskal atau kriteria persyaratan desentralisasi fiskal yang efektif yang

9
Secara teoritis, setidaknya, terdapat dua alasan mengapa pinjaman daerah diperlukan (Devas, 1989):
(i) pinjaman (jangka pendek) dibutuhkan oleh daerah guna menutupi kekurangan dana yang terjadi akibat
penerimaan (PAD dan Dana Perimbangan) lebih kecil dari pada pengeluaran; dan (ii) pinjaman (jangka
panjang) diperlukan oleh daerah untuk membiayai investasi daerah dan pembangunan infrastruktur
(public utilities) daerah.
10
Penerimaan umum APBD adalah seluruh Penerimaan APBD, tidak termasuk DAK, Dana Darurat,
dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran
tertentu.
11
DSCR adalah perbandingan antara seluruh penerimaan daerah (PAD, Bagi Hasil, dan DAU)
dikurangi belanja wajib dengan angsuran pokok, bunga dan biaya pinjaman yang jatuh tempo. DSCR ≥
2,5, artinya jumlah penerimaan bersih daerah (setelah dikurangi belanja wajib) minimum harus 2,5 kali
dari jumlah angsuran pokok, bunga pijaman, dan biaya lainnya.

8
dikemukakan oleh Shah dan Thompson (2002) dapat dipenuhi oleh Indonesia. Ini terjadi

karena pemerintah daerah di Indonesia sama sekali tidak memiliki diskreasi yang

signifikan dalam meningkatkan penerimaannya. Pemerintah daerah juga tidak diberikan

keleluasaan − ditandai oleh berbagai persyaratan yang cukup ketat yang harus dipenuhi

oleh pemerintah daerah − untuk melakukan pinjaman, khususnya pinjaman luar negeri.

Namun demikian − setidaknya menurut perspektif pemerintah pusat −

desentralisasi fiskal di Indonesia tidak boleh dipandang semata-mata dari indikator-

indikator fiskal. Sebab pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia memiliki tujuan-

tujuan derivatif yang lebih luas dan spesifik. Tujuan desentralisasi fiskal dimaksud,

antara lain (Siddik, 2000): (i) kesinambungan kebijaksanaan fiskal (fiscal sustainability)

dalam konteks kebijaksanaan ekonomi makro; (ii) mengkoreksi ketidakseimbangan

vertikal (vertical imbalance), yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi antara

keuangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang dilakukan dengan

memperbesar local taxing power; (iii) mengkoreksi ketidakseimbangan horizontal

(horizontal imbalance), yaitu memperbaiki ketimpangan antar daerah dan kemampuan

keuangannya, yang saat ini memang relatif masih sangat bervariasi; (iv) akuntabilitas,

efektifitas, dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah daerah; (v)

peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat; dan (vi) adanya partisipasi

masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik (demokratisasi).

Meski demikian, beberapa tujuan di atas masih patut dipertanyakan, katakanlah

misalnya tujuan memperbesar local taxing power. Sebab dalam kenyataannya, tujuan

tersebut tidak sepenuhnya benar. UU 18/1997 yang kemudian di revisi menjadi UU

34/2000 belum menunjukkan kesungguhan pemerintah pusat untuk memberikan

kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam hal peningkatan

kemampuan pemerintah dalam memungut pajak dan retribusi. Local taxing power

9
sebelum dan sesudah pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah menunjukkan

gambaran yang cenderung diametris.

Begitu pula halnya dengan tujuan mengkoreksi ketidakseimbangan horizontal,

juga masih patut dipertanyakan. Sebab dari hasil olahan data alokasi Bagi Hasil dan

DAU, nampak jelas bahwa fiscal transfer dari pemerintah pusat justru semakin

mempertajam disparitas antar daerah, khususnya antara daerah kaya dengan daerah

miskin. Bahwa fiscal transfer diarahkan untuk memperbaiki fiscal gap (kesenjangan

fiskal) setiap daerah, mungkin lebih ada benarnya.

Oleh karena itu, agar implementasi desentralisasi fiskal sanggup menjangkau

tujuan utama pelaksanaan desentralisasi fiskal maupun tujuan-tujuan yang bersifat

derivatif, tampaknya masih dibutuhkan elaborasi pemikiran dan kerangka implementasi

lebih jauh. Beberapa pemikiran awal patut untuk dipertimbangkan:

Pertama, pendekatan uniformitas dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di

Indonesia nampaknya perlu ditinjau kembali. Jika dilihat dari sisi pragmatis, pendekatan

seperti ini memang memudahkan dari segi implementasi, supervisi, monitoring, dan

evaluasi. Namun jika dilihat dari sisi efektifitas pencapaian tujuan, pendekatan seperti

ini sangat tidak memadai. Sebab diyakini betul bahwa setiap daerah memiliki

karakteristik berbeda − katakanlah misalnya antara kota dan kabupaten, antara daerah

pesisir dan daerah dataran tinggi − yang mana hal tersebut selanjutnya akan

berimplikasi terhadap perbedaan kebutuhan pemerintah daerah dan masyarakat.

Kedua, perubahan yang agak mendasar dalam desentralisasi fiskal di Indonesia

tampaknya hanya terletak pada fiscal transfer dan expenditure assignment. Sedangkan

tax assignment kepada pemerintah daerah belum mengalami perubahan yang signifikan.

Kondisi ini telah melahirkan dua fenomena yang sekaligus menjadi ciri utama

pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia: (i) stuktur keuangan pemerintah daerah

10
nampak semakin kian tergantung pada fiscal transfer dari pemerintah pusat; dan (ii)

sumber-sumber penerimaan yang dapat dikreasikan oleh daerah (own tax base) relatif

amat terbatas. Kedepan, aspek tax assignment tampaknya perlu mendapat perhatian.

Ketiga, format desentralisasi fiskal yang ditawarkan oleh UU 33/2004 belum

sepenuhnya sanggup memperbaiki struktur keuangan daerah. Masih besarnya

ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer fiskal pemerintah pusat, masih

rendahnya kontribusi PAD terhadap pengeluaran (belanja) pemerintah daerah, relatif

besarnya proporsi dari dana transfer yang diperuntukkan untuk belanja pegawai,

terbatasnya ruang bagi daerah untuk mengkreasikan sumber-sumber penerimaan atau

memperluas basis penerimaan, keterbatasan anggaran pemerintah daerah (khususnya

daerah-daerah yang tidak memiliki sumberdaya alam) untuk membiayai seluruh

pengeluarannya, merupakan sejumlah indikasi akan lemahnya struktur keuangan daerah

dimaksud. Peninjauan format densentralisasi fiskal secara berkala dan teratur harus

dilanjutkan terus guna menjamin sensitivitasnya terhadap perubahan dan dinamika

lingkungan serta aspirasi-aspirasi baru yang terus berkembang.

Keempat, Relatif rendahnya local taxing power yang dimiliki daerah, salah

satunya disebabkan oleh kurang memadainya format tax assignment yang ditawarkan

pemerintah pusat, dimana semua sumber pajak yang potensial “dikuasai” oleh

pemerintah pusat, dan sebaliknya, sumber pajak yang tergolong “kurus” diserahkan

kepada daerah. Sekiranya format tax assignment ini masih sulit untuk dikoreksi, bagi

pemerintah daerah, setidaknya pemerintah pusat dapat memperkenankan pemerintah

daerah untuk menerapkan additional tax, misalnya dalam bentuk surcharge of taxes

(misalnya pada PPn) maupun piggy-backed system (misalnya pada PPh Badan dan

Cukai). Pajak berganda, dimana daerah yang lebih “kaya” dikenakan pajak yang lebih

tinggi daripada daerah “miskin”, juga mungkin bisa menjadi pilihan.

11
Kelima, dengan alasan stabilitas ekonomi makro, pinjaman daerah nampak

masih dikontrol secara ketat oleh pemerintah pusat. Namun, pembatasan seperti ini

sebaiknya tidak berlangsung dalam jangka panjang. Sebab, bagaimanapun, pembatasan

yang amat ketat (cenderung terkesan pelarangan) bagi daerah untuk melakukan

pinjaman, sebetulnya merupakan pengkerdilan terhadap pelaksanaan desentralisasi.

Solusi parsial yang ditawarkan UU No. 33/2004 kepada pemerintah daerah untuk

menerbitkan “obligasi daerah (local government bonds)”, memang cukup menarik, tapi

tetap tidak mudah untuk dilakukan, apalagi dalam waktu dekat.

Bandung, Januari 2004

12
DAFTAR BACAAN

Agussalim, 2002. Dana Alokasi Umum: Sebuah Perspektif Daerah, Makalah yang
Disampaikan pada Seminar Sehari “Tantangan Kebijakan Fiskal Jangka
Menengah” kerjasama DEPKEU, Bank Dunia, PEG-USAID, LPEM–UI, dan
ISEI Cabang Makassar, pada tanggal 30 Agustus 2002, di Hotel Sahid Jaya
Makassar.

____________, 1997. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Perspektif


Otonomi Daerah: Kasus Sulawesi Selatan, Jurnal Ekonomika, Edisi Kedua
Desember 1997, ISSN: 0853-9049, Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin.

Alm, James, and Sri Mulyani Indrawati, 2002. Decentralization and Local Government
Borrowing in Indonesia, Paper Prepared for “Can Decentralization Help
Rebuild Indonesia?”, A Conference Sponsored by the International Studies
Program, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University,
Atlanta, May 1-3, 2002.

Bahl, Roy, 2002. How to Design a Fiscal Decentralization Program, dalam Shahid
Yusuf, Weiping Wu, and Simon Evenett (Ed.), Local Dinamics in an Era of
Globalization, The World Bank, Oxford University Press.

Bird, Richard D., dan Francois Vaillancourt, 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara-
Negara Berkembang: Tinjaun Umum, dalam Richard M. Bird dan Francois
Vaillancourt (Penyunting), Desentralisasi Fiskal Di Negara-Negara
Berkembang (Terjemahan), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Boediono, 2002. Kebijakan Pengelolaan Keuangan Negara dalam Rangka


Pelaksanaan Azas Desentralisasi Fiskal, Makalah yang Disampaikan pada
Rapat Koordinasi Pendayagunaan Aparatur Negara Tingkat Nasional Tahun
2002, Jakarta, 11 Februari 2002.

Brojonegoro, Bambang and Jorge Martinez-Vazquez, 2002. An Analysis of Indonesia’s


Transfer System: Recent Performance and Future Prospects, Paper Prepared
for “Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?”, A Conference Sponsored
by the International Studies Program, Andrew Young School of Policy Studies,
Georgia State University, Atlanta, May 1-3, 2002.

Devas, Nick and Others, 1989. Financing Local Government in Indonesia, University of
Ohio.

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan


R.I., Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Bagi Hasil, beberapa tahun
terakhir.

Hofman, Bert, 2002. Fiscal Decentrallization in Indonesia: Status and Directions for
Reform, Bahan Presentasi pada Seminar Sehari “Tantangan Kebijakan Fiskal
Jangka Menengah” kerjasama DEPKEU, Bank Dunia, PEG-USAID, LPEM–

13
UI, dan ISEI Cabang Makassar, pada tanggal 30 Agustus 2002, di Hotel Sahid
Jaya Makassar.

Lewis, Blane D., 2001. The New Indonesia Equalization Transfer, Bulletin of Indonesia
Economic Studies, Vol. 37, No. 3.

Rasyid, Ryaas, 2000. Perspektif Otonomi Luas, dalam “Otonomi dan Federalisme;
Dampaknya Terhadap Perekonomian”, Harian Umum Suara Pembaruan
bekerjasama dengan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Shah, Anwar & Others, 1994, Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia: Issues
and Reform Options, World Bank Discussion Papers 239, The World Bank,
Washington D.C.

Shah, Anwar and Theresa Thompson, 2002, Implementing Decentralized Local


Governance: A Treacherous Road with Potholes, Detours and Road Closures,
Prepared for “Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?”, A Conference
Sponsored by the International Studies Program, Andrew Young School of
Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, May 1-3, 2002.

Shah, Anwar, 2000. Indonesia dan Pakistan: Desentralisasi Fiskal, Tekad atau
Retorika?, dalam Richard M. Bird dan Francois Vaillancourt (Penyunting),
Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara Berkembang (Terjemahan), PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Siddik, Machfud, 2002. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai


Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal, Makalah yang Disampaikan pada Seminar
Setahun Implementasi Kebijaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia,
Yogyakarta, 13 Maret 2002.

Smoke, Paul, 2002. Expenditure Assignment under Indonesia’s Emerging


Decentralization: A Review of Progress and Issues for the Future, Prepared for
“Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?”, A Conference Sponsored by
the International Studies Program, Andrew Young School of Policy Studies,
Georgia State University, Atlanta, May 1-3, 2002.

Suwandi, Made, 2002. The Implementation of Regional Autonomy (The Indonesian


Experience), Prepared for “Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?”, A
Conference Sponsored by the International Studies Program, Andrew Young
School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, May 1-3, 2002.

The Asia Foundation, 2002. Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA)


Pertama, Laporan Penelitian.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara


Pemerintah Pusat dan Daerah.

14
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

World Bank Regional Public Expenditure Review Overview Report, 2003.


Decentralizing Indonesia, Report No. 21691-IND.

15
BIODATA SINGKAT PENULIS

AGUSSALIM, lahir di Watampone (Sulsel), 17 Agutus 1967. Sehari-hari adalah Staf


Pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Peneliti pada Pusat Studi Kebijakan dan
Manajemen Pembangunan (PSKMP) Universitas Hasanuddin. Saat ini sementara
mengikuti Program Doktoral (S3) Bidang Ekonomi di Universitas Padjadjaran
Bandung. Pernah menjabat Sekretaris Jurusan Ilmu Ekonomi & Studi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (1998-1999). Anggota delegasi Indonesia
pada pertemuan 24th Regional Conference Federation of ASEAN Economic
Associations (FEAE) di Makati, Philippines, Desember 1999. Mengikuti pelatihan
Local Economic Resource Development (LERD) di Institute of Housing and Urban
Development Studies (IHS) Rotterdam, Netherland, Agustus 2003. Salah satu dari 8
peserta South-East Asia Youth Visiting Program, Japan, September 2003. Di organisasi
profesi tercatat sebagai Sekretaris Umum ISEI Cabang Makassar. Disamping aktif
menulis di jurnal dan media massa, juga aktif memberi advokasi kepada beberapa
daerah di Provinsi Sulawesi Selatan untuk bidang perencanaan pembangunan daerah
dan otonomi daerah.

16

Anda mungkin juga menyukai