Anda di halaman 1dari 53

REFERAT KARSINOMA REKTUM

Oleh : Imas Resa Palupi 07201011101019 Pembimbing : dr. Doeryanto Oesman Sp. B, FINACS Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya Di SMF Ilmu Bedah RSUD dr. Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER RSD dr. SOEBANDI JEMBER

JULI 2012

ii

DAFTAR ISI hal Halaman cover .................................................................................................... i Daftar isi .............................................................................................................. ii Daftar gambar ..................................................................................................... iii Daftar tabel .......................................................................................................... iv BAB 1. Pendahuluan ........................................................................................... 1 BAB II. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 3 2.1 Definisi .............................................................................................. 3 2.2 Anatomi dan Fisiologi Rektum ......................................................... 3 2.3 Epidemiologi Karsinoma Rektum ..................................................... 8 2.4 Faktor Resiko .................................................................................... 11 2.5 Etiologi .............................................................................................. 12 2.6 Deteksi Dini ...................................................................................... 17 2.7 Diagnosis ........................................................................................... 20 2.7.1 Anamnesis ................................................................................ 21 2.7.2 Pemeriksaan Fisik .................................................................... 23 2.7.3 Pemeriksaan Penunjang Diagnosis .......................................... 24 2.8 Klasifikasi Karsinoma Rektum ......................................................... 30 2.9 Penatalaksanaan ................................................................................ 34 2.10 Metastase ......................................................................................... 44 2.11 Terapi Rekuren ................................................................................ 45 2. 12 Prognosis ........................................................................................ 45 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 47

iii

DAFTAR GAMBAR Hal 2.1 Gambar Anatomi Rektum ................................................................................ 4 2.2 Vaskularisasi arteri daerah anorektum ............................................................. 5 2.3 Vaskularisasi vena daerah anorektum .............................................................. 6 2.4 Epidemilogi kanker di Indonesia ..................................................................... 14 2.5. Rectal touche ................................................................................................... 24 2.6 Foto Barium Enema ......................................................................................... 25 2.7 Sigmoideskopi .................................................................................................. 26 2.8 Kolonoskopi ..................................................................................................... 27 2.9 CT scan abdomen ............................................................................................. 30 2.10 Stadium Karsinoma Kolorektal ...................................................................... 32 2.10 Low anterior resection, Colonic Anastomose ................................................ 35

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria resiko pada individu dengan riwayat KKR............................... 18 Tabel 2.2 Perbandingan antara karsinoma rektum dengan karsinoma kolon kiri dan kanan ....................................................................................................... 20 Tabel 2.3 Ringkasan Diagnosis Karsinoma Rektum ............................................. 21 Tabel 2.4 Diagnosis Karsinoma Rektum ............................................................... 24

BAB I PENDAHULUAN Kanker kolorektal adalah penyebab kematian kedua pada penderita kanker di Amerika Serikat ( 15% dari keganasan yang ada). Kanker kolorektal adalah penyebab kematian ketiga pada laki-laki setelah kanker prostat dan paruparu dan wanita setelah kanker kanker paru-paru dan payudara. (Welton, 2001). Di seluruh dunia 9,5% pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3% dari total jumlah penderita kanker. Resiko terjadinya kanker kolon lebih banyak pada wanita dan kanker rectum lebih banyak pada pria (Basu, 2009). Insiden dan mortalitas kanker kolorektal bervariasi untuk tiap negara di dunia. Mortalitas tertinggi di dunia terjadi di Republik Chezc (52 per 100.000) sedangkan untuk mortalitas terendah terdapat pada negara Albania (4 per 100.000), di Amerika Serikat 35 per 100.000 orang (Welton, 2001). Insiden kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematianya. Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga dari semua kanker (wimdejong, 2004). Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk (Depkes, 2006). Kanker kolorektal adalah kanker yang berkembang pada kolon atau rektum. Karsinoma rektum merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran cerna, lebih 30% tumor kolorektal berasal dari rektum. Pada tahun 1995, di Amerika Serikat ditemukan 40.000 kasus baru (Welton, 1999). Diagnosis karsinoma rektum pada umumnya tidak sulit, namun kenyataanya

penderita lebih banyak terdiagnosis dalam stadium lanjut, sehingga pmbedahan kuratif seringkali tidak dapat dilakukan. Penderita kebanyakan datang dengan keluhan berak berdarah, yang bukan monopoli gejala karsinoma rektum karena ada penyakit lain dengan keluhan yang sama misalnya hemoroid, colitis. Sehingga banyak dokter mencoba memberikan pengobatan ke arah hemoroid yang merupakan penyakit yang lebih banyak ditemukan (Samiadji, 1995). Prognosis penderita sangat bergantung kepada stadium dari kanker rektum. Angka kemungkinan untuk bertahan hidup dalam 5 tahun pada pasien dengan karsinoma rektum stadium dini adalah 58,9 sampai 78,8%, dan angka ini akan berkurang seiring dengan meningkatnya stadium yaitu hanya sebesar 7% saja pada karsinoma rekti stadium akhir (Elizabeth, 2005).

BAB II DAFTAR PUSTAKA 2. 1 Definisi Karsinoma rektum adalah karsinoma yang berkembang pada rektum. Kanker kolorektal berlokasi di rektum (30%) (Welton, 2001) 2.2 Anatomi dan Fisiologi Rektum Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula terbentang dari sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Panjang rrektum berkisa 10-15 cm, dengan keliling 15 cm pada rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian ampula yang terluas. Pada orang dewasa dinding rektum mempunyai 4 lapisan : mukosa, submukosa, muskularis

(sirkuler dan longitudinal), dan lapisan serosa

(tim anatomi, 2001).

Gambar 1. anatomi rektum

Gambar 2. vaskularisasi daerah anorektum Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior, media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior yang merupakan kelanjutan dari a. mesenterika inferior, arteri ini bercabang 2 kiri dan kanan. Arteri hemoroidalis merupakan cabang a. iliaka interna, arteri hemoroidalis inferior cabang dari a. pudenda interna. Vena hemoroidalis superior berasal dari plexus hemoroidalis internus dan berjalan ke arah kranial ke dalam v. Mesenterika inferior dan seterusnya melalui v. lienalis menuju v. porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan alam rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Hal inilah yang dapat menjelaskan terjadinya hemoroid interna pada pasienpasien hemoroid interna. Karsinoma rektum dapat menyebar sebagai embolus vena ke dalam hati. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke v. pudenda interna, v. iliaka interna dan sistem vena kava.

Gambar 3. vena daerah anorektum Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe mesenterika inferior dan aorta. Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4,s erabut ini mengatur fungsi emisi air mani dan ejakulasi. Serabut parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4, serabut ini mengatur fungsi ereksi

penis, klitoris dengan mengatur aliran darah ke dalam jaringan. Hal ini menjelaskan terjadinya efek samping dari pembedahan pasien-pasien dengan karsinoma rekti, yaitu berupa disfungsi ereksi dan tidak bisa mengontrol buang air kecil atau miksi. Rektum (bahasa latin :regere, meluruskan, mengatur ) adalah ruangan yang berasal dari ujung usus besar (estela kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desenden. Jika kolon desenden penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar. Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk defekasi. Jira defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus besar, dimana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jira defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, kostipasi dam pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan itu, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda buang air besar. Proses defekasi diawali oleh terjadi reflek defekasi akibat ujung-ujung serabut saraf rectum terangsang ketika dinding rectum teregang oleh massa feses. Sensasi rectum ini berperan penting pada mekanisme contience dan juga sensasi pengisian rectum yang merupakan bagian integral penting pada defekasi normal. Distensi dari rectum akan menstimulasi receptor regang pada dinding rectum, lantai pelvis dan kanalis anales. Bila feses memasuki rektum, distensi dinding rectum mengirim signal afferent yang menyebar melalui pleksus mienterikus yang merangsang terjadinya gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid dan rectum sehingga feses terdorong ke anus. Setelah gelombang peristaltik mencapai anus, sfingter ani interna mengalami relaksasi oleh adanya sinyal yang menghambat pleksus mienterikus; dan sfingter ani

externa pada saat tersebut mengalami relaksasi secara volunter, terjadilah defekasi. Pada permulaan defekasi, terjadi peningkatan tekanan intraabdominal oleh kontraksi otot-otot kuadratus lumborum, muskulus rectus abdominis, m. oblique interna dan externa, m. transversus abdominis dan diafragma. M. puboerektalis yang mengelilingi anorectal junction kemudian akan relaksasi sehingga sudut anorektal akan menjadi lurus dan feses akan dievakuasi. M. sfingter ani externa kemudian akan berkontraksi dan memanjang ke kanalis anales. Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi sfingter ani eksterna yang berada di bawah pengaruh kesadaran (voulenter). Bila defekasi ditahan, sfingter ani akan tertutup, rectum akan mengadakan relaksasi untuk mengakomodasi feses. Setelah proses evakuasi selesai akan terjadi closing reflex. 2.3 Epidemiologi Kanker Rectum Di dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan mortalitas. Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker dengan mortalitas lebih dari 50%. 9,5% pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3% dari jumlah total penderita kanker (depkes, 2006). Angka insiden tertinggi terdapat di Eropa, Amerika dan Selandia baru; sedangkan angka insiden terendah terdapat di India, Amerika Selatan dan Arab Israel (soecripto, 2011). Mortalitas tertinggi di dunia terjadi di Republik Checz (52 per 100.000) sedangkan untuk mortalitas terendah terdapat pada negara Albania (4 per 100.000), di Amerika Serikat 35 per 100.000 orang (Welton, 1999). Sekitar 135.000 kasus baru kanker kolorektal terjadi di Amerika Serikat setiap tahunya dan menyebabkan angka kematian sekitar 55.000. Sepertiga kasus terjadi di kolon dan 2/3 di rektum. adenokarsinoma merupakan jenis terbanyak (98%), jenis lainnya yaitu karsinoid (0,1%), limfoma (1,3%), dan sarkoma (0,3%) (Stewart, 2001).

Insidensi kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga kematiannya. Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih banyak pada orang muda. Di negara barat, perbandingan insiden laki-laki dan wanita 3:1, dan merupakan penyakit orang usia lanjut (Syamsuhidayat, 2006). Pada tahun 2002 kanker kolorektal berada pada peringkat kedua pada pria setelah kanker paru, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki peringkat ke tiga setelah kanker payudara dan kanker servik (boyle, 2004). Histopatologisnya dari kanker rektal sebesar 96% berupa adenokarsinoma, 2% lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid karsinoma dan 0,8% berupa sarcoma. Sedangkan untuk lokasinya sebagian besar berada di rektum (51,6%) diikutio oleh kolon sigmoid (18,8%), kolon desenden (8,6%), kolon transversum (8,06%), kolon ascenden (7,8%) dan multifokal (0,28%). Berdasarkan penelitian pada tahun 2006-2010, angka kejadian kanker kolorektal di RS AWS Samarinda berjumlah 160 orang, jumlah pria lebih banyak yaitu 81 orang dan wanita 65 orang, dan untuk jenis terbanyak didapatkan hasil adeno Ca (130 orang), mucinous Ca (4 orang), signet sel ring cell ca (4 orang), lyfoma (4 orang), carcinoid ca (2 orang), sarcoma (2 orang) serta berdasarkan usia sampel didapatkan terbanyak pada usia 31-40 tahun (Mukhtar, 2010). Karsinoma rektum biasanya terjadi pada usia tua pada dekade ke 7. Bagaimanapun juga karsinoma dapat terjadi pada usia berapapun.

10

Gambar 4. Epidemiologi kanker di Indonesia 2.4 Faktor Resiko Etiologi dari kanker rektum sendiri belum diketahui, namun beberapa faktor resiko telah ditemukan dapat menyebabkan terjadinya kanker rektum. Beberapa faktor resiko yang berperan adalah 1. Faktor genetik seperti FAP dan HNPCC 2. Inflamatory bowel disease seperti penyakit chron dan colitis ulseratif Terdapat peningkatan resiko berkembangnya kanker kolorektal dengan penderita IBD dalam waktu yang lama, sebanyak 3% setelah 15 tahun, 5% setelah 20 tahun dan 5% setelah 25 tahun. 3. Diet (lemak, protein, daging dan kalori) 4. kelebihan berat badan

11

lebih dari 20 penelitian, mencakup lebih dari 3000 kasus secara konsisten mendukung bahwa terdapat hubungan yang positif antara obesitas dan kejadian kanker rektum. Terjadi kenaikan resiko 15% pada orang yang overweight (BMI>25%) dan resiko meningkat menjadi 33% pada obesitas (BMI>30). 5. Obat-obatan NSAID atau kemoprevetion obat-obatan NSAID akan menghambat produksi prostaglandin melalui hambatan paa COX. COX akan merangsang angiogenesis pada kanker rektum. penelitian kohort dan kasus kontrol menunjukkan bahwa golongan NSAID seperti piroksikam dan aspirin dapat mencegah terbentuknya adenoma atau menyebabkan regresi polip adenoma pada FAP. 6. Merokok perokok jangka lama (periode induksi 30-40 tahun) mempunyai resiko 1,5-3 kali lebih banyak. 7. Pengobatan sulih hormon terdapat hubungan yang terbalik antara estrogen replacement therapy (ERT) dengan TSH dengan kejadian kanker rektum. 8. Alkohol 9. Kalsium kalsium akan menurunkan angka kekambuhan adenoma secara bermakna. Dosis yang dipakai 1250-2000 mg. 10. vitamin vitamin E, vitamin D dan asam folat 400mg/hari menurunkan kejadian kanker rektum. (Zahari, 2009) 2.5 Etiologi dan Patogenesis Secara umum dinyatakan bahwa untuk perkembangan kanker rektum sama seperti kanker yang lain yang masih belum diketahui penyebabnya, namun

12

diduga hal tersebut terjadi akibat interaksi berbagai faktor yakni faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan yang multipel berinteraksi dengan predisposisi genetik atau defek yang didapat dan berkembang menjadi kanker kolon dan rektum (Syamsuhidayat, 2006). Tumorigenesis kanker kolorektal berdasar pada penyakit genetik, yang merupakan akumulasi dari alterasi genetik dan ekspansi sel klonal yang agresif yang bertumbuh cepat melebihi sel progenitor. Tiga kategori utama yang berimplikasi pada perkembangan kanker kolorektal adalah onkogen seperti Kras, gen supresor tumor APC, DCC, p53 dan MCC, dan ketidaksesuaian gen seperti hMSH2, hMLH1, hPMS, dan hPMS2. (Welton, 2001). Pada tahun 1990, Fearon dan Vogelstein mengungkapkan bahwa untuk terjadinya kanker, terdapat minimal lima gen yang bermutasi. Sedangkan penelitian lebih lanjut menunjukkan minimal tujuh gen yang beralterasi yang terjadi sebelum berkembangnya kanker. Jalur ini sering disebut dengan LOH (loss of heterogenitas) yang didapat dari perkembangan kanker kolorektal yang diwariskan dan sporadik. Terdapat juga jalur yang berkembang, yang diinisiasi oleh defek akibat ketidaksesuaian gen. Pada kasus ini terjadi replikasi yang salah yang mengarah pada instabilitas microsatelite dan malfungsional dari gen. Tumor ini disebut denga RER (replication error) yang ditemukan kurang lebih 20%. Sehingga terdapat multipel genetik faktor yang menghasilkan terjadinya keganasan kolorektal. APC gen Gen APC (adenomatous polypolis coli) berlokasi di chromosom lengan panjang 5q. Hal tersebut bermanifestasi pada FAP (familial adenomatous polyposis) dan Sindrom Garners dan yang paling sering Turcots syndrom. APC yang bermutasi ditemukan pada sebagian besar tumor kolorektal, yang terdeteksi pada 63%

13

adenoma dan merupakan 60% dari karsinoma. Mutasi dari adenoma dan carsinoma tidak hanya terjadi pada jaringan sekitar, yang mengindikasikan mutasi somatik. DCC gen Gen DCC (deleted in colorectal carcinoma) yang berlokasi di krosomom lengan panjang 18 (18q). Gen memproduksi gen yang melibatkan adhesi sel dan interaksi dari matrik sel yang berpengaruh pada pencegahan pertumbuhan tumor, invasif dan metastase. Genetic factor Field effect Initial mutation mutational rate Enviromental factors

Second (inactivating) mutation APC gene LOH pathway Somatic mutation or allelic loss K-ras, DCC, P-53 Clonal growth Carcinoma metastasis

MMR gene RER pathway Microsatelite instability

14

Mukosa rektum yang normal sel-sel epitelnya beregenerasi setiap 6 hari. Pada adenoma terjadi perubahan genetik yang mengganggu proses diferensiasi dan maturasi sel-sel tersebut, yang dimulai dengan inaktivasi gen adenomatous polyposis coli (APC) yang menyebabkan replikasi yang tidak terkontrol. Dengan peningkatan jumlah sel tersebut menyebabkan terjadi mutasi yang mengaktivasi K-ras onkogen dan mutasi gen p53, hal ini akan mencegah apoptosis dan memperpanjang hidup sel. Diet rendah serat dan tinggi karbohidrat akan mengakibatkan perubahan pada flora feses dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian besar zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat akan menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume kecil, selain itu masa transisi feses akan meningkat. Akibatnya kontak zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama (price, 2006). Kanker rectum terutama adenokarsinoma (muncul dari epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker ini dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering metastase ke hati). Terdapat 3 kelompok kanker rektum berdasarkan perkembanganya : 1. 2. 3. kelompok yang diturunkan (inherited) yang mencakup kurang dari 10% kelompok sporadik yang mencakup sekitar 70% kelompok familial yang mencakup 20%

Kelompok yang diturunkan adalah pasien yang waktu dilahirkan sudah dengan mutasi sel germinativum pada salah satu alel dan terjadi mutasi somatikalel yang lain. Contohnya adalah FAP (Familial Adenomatous Polyposis) dan HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer). HNPCC

15

terdapat pada sekitar 5% dari kanker kolon dan rektum. kelompok sporadik membutuhkan dua mutasi somatik, satu pada masing-masing alelnya. Kelompok familial tidak sesuai ke dalam salah satu dominan inherited syndrom di atas (FAP dan HNPCC) dan lebih dari 35% terjadi pada orang muda. Meskipun kelompok familial dari kanker kolon dapat terjadi kebetulan saja, ada kemungkinan peran ligkungan atau mutasi germinativum yang sedang berlangsung. Terdapat dua model utama perjalanan perkembangan kanker kolon dan rektum yaitu LOH (Loss of Heterozygocity) dan RER (Replication Error). Model LOH mencakup mutasi tumor gen supresor meliputi gen APC, DCC dan p53 serta aktivasi onkoge yaitu K-ras, contohnya perkembangan polip adenoma menjadi karsinoma. Sementara model RER karena adanya mutasi gen MSH2,hMLH1, hPMS1, hPMS2. Model terakhir ini seperti pada HNPCC. Pada bentuk sporadik, 80% berkembang lewat model LOH dan sisanya berkembang lewat model RER (Zahari, 2009). Gambaran mikroskopis Pada stadium dini karsinoma rekti hanya membentuk daerah penebalan yang terlokalisir pada mukosa normal atau benjolan keras (nodule) pada adenoma yang telah ada papiloma villous. Dengan pertumbuhan yang terjadi, massa akan membesar dan menjadi beberapa bentuk (samiadji, 1996) 1. polipoid (cauli flower carsinoma) Berupa massa seperti jamur yang menonjol dalam lumen usus (fungating mass), dengan infiltrasi minimal ke dinding usus. Penonjolan lesi dapat halus atau kasar, oleh karena pertumbuhan yang cepat akan menyebabkan nekrosis dan akan terjadi ulserasi pada beberapa tempat. Adanya massa tumor pada epitel kelenjar mukosa rektum akan memproduksi lendir, serta adanya nekrosis dan ulserasi pada massa

16

tumor akan menimbulkan keluhan berak darah, berak lendir dan rasa tidak puas setelah berak 2. Ulseratif Berupa ulkus maligna yang khas dengan tepi tak rata dan dasar berkerak, berbentuk sirkuler dan kasar. Jenis pertumbuhan ini sering menginfiltrasi dinding rektum sehingga terjadi deformitas dan penyempitan. Bentuk ulseratif selain menimbulkan keluhan berak darah-lendir, diare palsu dan apabila telah terjadi penyempitan lumen akan memberikan keluhan tinja pipih seperti tahi kambing. 3. Anuler (stenosing carsinoma) Tumbuh dari ulkus maligna, lesi akan meluas mengelilingi dinding usus dan akhirnya kedua tepinya bertemu membentuk ulserasi yang anuler. Sering menimbulkan stenosis, paling khas terlihat pada sigmoid, disebut string-stricture carsinoma. Pada bentuk ini keluhan berak darah dan lendir tidak jelas, keluhan yang sering dikeluhkan adalah adanya kesukaran defekasi dengan tinja pipih seperti kambing. 4. Infiltratif Menimbulkan penebalan difus pada dinding usus, sebagian besar tertutup oleh mukosa yang utuh. Dan terdapat ulserasi pada beberapa tempat. Apabila telah terjadi ulserasi akan memberikan keluhan berupa berak lendir dan darah. 5. Koloid Berupa masa tumor yang besar seperti gelatin. Dapat menimbulkan ulserasi dan infiltrasi yang luas. Bentuk ini terutama akan memberikan keluhan berupa kesukaran defekasi oleh karena adanya massa tumor yang besar dan adanya tinja pipih seperti tahi kambing, apabila terjadi ulserasi akan memberikan gejala berak darah dan lendir.

17

2.6 Deteksi Dini Karsinoma rekti seringkali asimtomatis dan ditemukan dalam keadaan lanjut. Deteksi dini dapat diartikan adalah investigasi/penemuan kasus pada individu asimtomatik yang bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini sehingga dapat dilakukan terapi kuratif. Komite kesehatan dan penelitian Amerika skrining pada populasi dengan kriteria tertentu

18

Indikasi Secara umum dapat dibedakan 2 kelompok yaitu populasi umum dan kelompok resiko tinggi Pada populasi umum dilakukan pada usia di atas 40 tahun. Deteksi dini pada kelompok masyarakat yang beresiko tinggi adalah : a. penderita kolitis ulseratif atau chron disease selama >10 tahun b. penderita yang telah dilakukan polipektomi karena adenoma kolon dan rektum c. individu dengan riwayat keluarga menderita kanker rektum d. individu dengan riwayat keluarga memiliki risiko karsinoma rektum 5 kali lebih tinggi Tabel 1 kriteria resiko pada individu dengan riwayat KKR (kriteria Amsterdam) Tingkat resiko Tinggi Kriteria Paling sedikit 3 anggota keluarga menderita KKR atau paling sedikit 2 anggota dengan KKR dan 1 dengan karsinoma endometrial pada paling sedikit 2 generasi. Satu dari anggota keluarga telah menderita di bawah usia 50 tahun dan salah satu anggota yang didiagnosis keluarga ditemukan pembawa (carier) gen HNPC Sedang anggota keluarga yag tidak diuji Seorang anggota keluarga silsilah pertama menderita KKR pada usia <45 adalah silsilah pertama

19

tahun atau dua anggota keluarga silsilah pertama menderita KKR (seorang pada usia <55 tahun atau dua atau tiga anggota keluarga (salah seorang pada usia <55 tahun) dengan KKR atau karsinoma endometrial yang merupakan Rendah silsilah pertama Seseorang yang tidak memenuhi kriteria tinggi atau sedang Apabila tidak dilakukan terapi 7% penderita FAP akan menderita adenoma pada usia 21 tahun; 50% pada usia 39 tahun; dan 90% pada usia 45 tahun. (Zahari, 2009). 2.7 Diagnosis Klinis Gejala klinis yang muncul pada keganasan rektum dibagi menurut tiga kategori, yaitu onset yang kronis, gejala obstruksi akut, dan perforasi akut. Dari ketiga gejala tersebut, gejala yang paling sering muncul adalah gejala kronis, obstruksi, dan perforasi yang diikuti dengan peritonitis (Walton, 1999). Perdarahan adalah gejala yang paling sering ditemukan dari keganasan kolorektal. Tetapi pada umumnya, penderita didiagnosis dengan hemoroid, yang lebih umum terjadi. Perdarahan dapat berwarna hitam, maroon, ungu atau merah cerah tergantung lokasi. Perubahan dalam kebiasan buang air besar adalah gejala kedua yang paling sering dikeluhkan, baik dengan diare atau dengan kosntipasi. Hal tersebut berhubungan dengan lokasi dari kanker kolorektal. Sakit perut juga berhubungan dengan perubahan kebiasaan buang air besar. Karsinoma pada rektum memberikan gejala tenesmus, diikuti dengan pelvic pain apabila kanker telah melibatkan saraf sciatic.

20

Gejala kronis pada umumnya sama dengan gejala keganasan yang lain seperti kehilangan nafsu makan, malaise, demam, berat badan turun, massa pada abdominal dan gejala pada saluran kemih (frekuensi, pnuematuria, dan fecaluria). Bakteremia yang diakibatkan oleh Streptococcus bovis adalah bakteri yang sering menimbulkan manifestasi pada keganasan kolorektal. Perforasi adalah gejala ketiga yang muncul pada karsinoma kolorektal. Gejala ini dapat berakibat peritonitis terlokalisasi atau peritonitis yang generalisasi atau berhubungan dengan fistula vesikourinaria. 2.8.1 Anamnesa Berikut ini merupakan gejala yang sering dikeluhkan : Diare palsu atau spurious diarrhea diare palsu merupakan keluhan BAB yang frekuen tapi hanya sedikit yang keluar disertai dengan lendir dan darah serta adanya rasa tidak puas setelah BAB. Terjadinya diare palsu oleh karena adanya proses keganasan pada epitel kelenjar mukosa rektum, berupa suatu massa tumor dimana tumor akan merangsang keinginan untuk defekas, tetapi yang keluar hanya sedikit disertai sekresi kelenjar berupa mukus dan darah oleh karena rapuhnya massa tumor. BAB berlendir BAB berlendir seperti halnya diare palsu merupakan manifestasi adanya proses keganasan pada epitel kelenjar mukosa rektum dan hal ini jarang didapatkan pada penderita hemoroid Feses pipih seperti kotoran kambing Bentuk feses yang pipih seperti kotoran kambing sangat tergantung dari bentuk makroskopis massa tumor pada rektum. Pada stadium dini dimana tumor masih kecil dan tidak berbentuk anuler, jarang ditemukan perubahan bentuk feses.

21

Penurunan berat badan Penurunan berat badan pada umumnya akan terjadi pada semua penderita dengan keganasan, terutama stadium lanjut. Penderita dengan keganasan akan mengalami perubahan metabolisme oleh karena adanya reaksi inflamasi tumor dengan host. Adanya peningkatan metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak akan menyebabkan keseimbangan energi protein menjadi negatif sehingga diikuti dengan penurunan berat badan. Pada karsinoma rekti terjadi obstruksi parsial sehingga penderita akan mengeluhkan perut terasa kembung dan nafsu makan menurun

Perdarahan bercampur tinja Perdarahan pada karsinoma rektum akibat adanya proses inflamasi pada massa tumor. Sifat perdarahan yang keluar akan bercampur dengan tinja dan berwarna kehitaman jika massa tumor pada kolon proksimal, sedangkan darah yang keluar akan berwarna merah segar jika lokasi massa tumor pada kolon distal

Tabel 2. Perbandingan antara karsinoma rektum dengan karsinoma kolon kiri dan kanan Tipe tumor Kolon kanan Vegetatif Ulseratif Aspek klinis Nyeri Defekasi Obstruksi Darah pada feses Kolitis Karena penyusupan Diare Jarang Samar Obstruksi Obstruksi Konstipasi Kolon kiri Stenotik Rektum Infiltratif Ulseratif Vegetatif Proktitis Tenesmus Tenesmus terus

progresif menerus Hampir selalu Tidak jarang Samar atau Makroskopis mikroskpis

22

Feses Dispepsia Memburuknya KU Anemia

Normal Sering Hampir selalu Hampir selalu

Normal Jarang Lambat Lambat

Perubahan bentuk Jarang Lambat Lambat

Tabel 3. ringkasan diagnosis karsinoma kolorektal Kolon kanan Anemia dan kelemahan Darah samar di feses Dispepsia Perasaan tidak enak di perut kanan bawah Kolon kiri Massa di perut kanan bawah Perubahan pola defekasi Darah di feses Rektum Gejala dan tanda obstruksi Perdarahan di rektum Darah di feses Perubahan pola defekasi Pasca defekasi masih ada perasaan tidak puas atau penuh Penemuan tumor pada colok dubur Penemuan rectosigmoidoskopi 2.8. 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari kemungkinan metastase seperti pembesaran KGB atau hepatomegali. Dari pemeriksaan colok dubur dapat diketahui (cirincione, 2005) : Adanya tumor rectum Lokasi dan jarak dari anus tumor pada

23

Posisi tumor< melingkar menyumbat lumen Perlengketan dengan jaringan sekitar

2.8.3. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker rektum antara lain (Schwart, 2005). 1. Biopsi Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsy sangat penting. Jika ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsy harus dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang paling sering yaitu sekitar 90-95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenomatous carcinomas, dan undifferentiated tumors. 2. Pemeriksaan Tumor Marker : CEA (Carcinoma Embryonic Antigent), CA 242, CA 19-9 3. Uji FOBT (Faecal Occult Blood Test) untuk melihat perdarahan jaringan. 4. Digital Rectal Examination atau biasa disebut rectal touch (colok dubur). Sekitar 75% karsinoma rekti dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal. Pemeriksaan dengan rectal touch akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rectum, massa akan teraba keras dan menggaung.

24

Gambar 6. colok dubur

Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah: a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rectum serta letak bagian terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccygis. b. Mobilitas tumor : hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rectum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding anterior uterus.

25

c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan primer dan sebagian lagi mobilitas atau fiksasi lesi. 5. Foto Rontgen dengan barium enema yaitu cairan yang mengandung barium, dimasukkan melalui rectum untuk kemudian dilakukan foto rontgen dari

Gambar 7. foto barium enema

6. Endoskopi a. Sigmoidoskopi Yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope dimasukkan melalui rectum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk biopsy. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang asimptomatik yang berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip adenomatous yang ditemukan

26

pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di distal kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proximal pada 6-10% pasien.18

Gambar 8. sigmoideskopi b. Kolonoskopi Dapat digunakan untuk menunjukkan gambaran seluruh mukosa kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran < 1cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsy, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan< komplikasi anestesi, dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut diverticulitis, sigmoid volvuus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi

27

lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostic kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostic (depkes, 2006)

7.

Virtual Colonoscopy (CT Colonography) Kolonoskopi virtual merupakan diagnostic non-invasif yang baru, menggunakan x-ray dan software computer untuk melihat dua dan tiga dimensi dari seluruh usus besar dan rectum untuk mendeteksi polip dan kanker kolorektal (Mukhtar, 2010).

8.

Imaging Tehnik MRI, CT scan, Transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening test (Schwartm 2005).

a. CT scan CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon preoperative. CT scan dapat mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfe dan organ lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setalah pembedahan

28

kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sifatnya dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90% dan mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.19 Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.

Gambar 9. CT scan abdomen b. MRI MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada klarifikasi lesi yang tidak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena sensitifitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan. MRI dipergunakan nuntuk mengidentifikasi metastase ke hepar (Brown, 2001). c. Endoskopi Ultrasound (EUS) EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperative dari kedalaman invasi tumor, terlebh untuk tumor rectal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60% untuk Digital Rektal Examination. Pada kanker rectal, kombinasi pemakaian

29

EUS untuk melihat adanya tumordan digital rectal examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsy dari kelenjar limfe perirektal bisa dilakukan dibawah bimbingan EUS. Table 4. diagnosis karsinoma rectum Cara pemeriksaan Colok dubur Kolonoskopi Rectosigmoideskopi Foto kolon dengan barium kontras 2.8 Klasifikasi karsinoma rectum 1. Berdasarkan klasifikasi Dukes Stadium 0 Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rektum, yaitu mukosa saja, disebut juga carsinoma in situ. Stadium I Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rectum tapi tidak menyebar ke bagian terluar dinding rectum ataupun keluar dari rectum. Disebut juga Dukes A rectal cancer. Stadium II Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rectum ke jaringan terdekat namun tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer. Persentase 40% 100% 75% 90%

30

Stadium III Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak menyebar ke bagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.

Stadium IV Pada stadium IV, kanker telah menyebar ke bagian lain tubuh seperti hati, paru, dan ovarium. Disebut juga Dukes A rectal cancer.

31

32

Gambar 10. Stadium Karsinoma Rektum

33

2. Berdasarkan system TNM Tabel 2. TNM/Modified Dukes Classification System TNM STADIUM T1 N0 M0 T2 N0 M0 T3 N0 M0 T2 N1 M0 T3 N1 M0 T4 Any T, M1 MODIFIED DUKES STADIUM A B1 B2 C1 C2 C2 D Tumor terbatas pada submukosa Tumor terbatas pada muscularis propia Penyebaran transmural T2, pembesaran kelenjar mesenteric T3, pembesaran kelenjar mesenteric Penyebaran berdekatan Metastasis jauh ke organ yang DESKRIPSI

2.9 Penatalaksanaan Berbagai jenis terapi dapat digunakan pada pasien dengan kanker rektum. Tiga terapi standar yang digunakan antara lain adalah : 1. Pembedahan Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk stadium 1 dan 2 kanker rektum, bahkan pada suspek stadium 3 juga masih dapat dilakukan pembedahan. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, sekarang sebelum dioperasi pasien diberi presurgical treatment berupa radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikeanl sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan terapi ini biasanya digunakan pada pasien dengan kanker rectum stadium 2 dan 3. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian jaringan kanker sudah diangkat saat

34

operasi, beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi pasca pembedahanyang dapat dilakukan, antara lain: a. Eksisi lokal Eksisi local jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat dihilangkan tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika tumor ditemukan dalam bentuk polip, maka operasinya disebut polypectomy. Eksisi local melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma terbatas. Seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara lain dengan menggunakan endoskopi ultrasonografik untuk menentukan tingkat penyebaran didalam dinding rectum clan adanya kelenjar ganas pararektal. b. Low Anterior Resection (LAR) Metode ini digunakan untuk lesi yang terletak di tengah atau 1/3 atas rectum, Untuk masa tumor lebih 5 cm dari anokutan dipertimbangkan reseksi rectum rendah (Low Anterior Resection/LAR) sehingga tidak perlu dikolostomi. Rektum terbagi atas 3 bagian yaitu 1/3 atas, tengah dan bawah. Kanker yang berada dilokasi 1/3 atas dan tengah (5 s/d 15 cm dari garis dentale) dapat dilakukan restorative anterior resection kanker 1/3 distal rectum merupakan masalah pelik. Jarak antara pinggir bawah tumor dan garis dentale merupakan faktor yang sangat pentinguntuk menentukan jenis operasi.

35

Gambar 11. A. Low Anterior Resection, B.C colonanal anastomose Goligher dkk berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa kegagalan operasi LAR akan terjadi pada kanker rectum dengan jarak bawah rectum normal 2 cm. Angka 5 cm telah diterima sebagai jarak keberhasilan terapi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh venara dkk pada 243 kasus menyimpulkan bahwa jarak lebih dari 3 cm dari garis dentate aman untuk dialukan operasi restorative resection. Colonal anastomosis diilhami oleh hasil operasi Ravitch dan Sabiston yang dilakukan pada kasus Kolitis ulceratif. Operasi ini dapat diterapkan pada kanker rectum letak

36

bawah, diaman teknik stapler tidak dapat dipergunakan. Lokal eksisi dapat diterapkan untuk mengobati kanker rectum dini yang terbukti belum memperlihatkan tanda-tanda metastasis ke kelenjar getah bening. Operasi ini dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu transanal, transpincteric transsacral. Pendekatan transphincter dan transsacral memungkinkan untuk adapat mengamati kelenjar mesorektal untuk mendetksi kemungkianan telah terjadi metastasis. Sedang pendekatan transanal memiliki kekurangan untuk mengamati keterlibatan kelenjar pararektal. Reseksi anterior rendah pada rectum dilakukan melelui laparotomi dengan menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal rendah. c. Abdominal perineal resection (Miles Procedure) Untuk masa tumor < 5 cm dari anokutan. Pengangkatan kanker rektum biasanya dilakukan dengan reseksi abdominoperianal, termasuk pengangkatan seluruh rectum, mesorektum dan bagian dari otot levator ani dan dubur. Prosedur ini merupakan pengobatan yang efektif namun mengharuskan pembuatan kolostomi permanen. Pada tumor rectum 1/3 tengah dialkukan reseksi dengan mempertahankan sfingter anus, Sedangkan pada tumor 1/3 distal dilakukan amputasi rectum melalui reseksi abdominoperineal Quenu-Miles. Pada operasi ini anus turut dikeluarkan. Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu Miles, rectum dan sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limfe pararektum dan retroperitoneal sampai kelenjar limfe retroperitoneal. Kemudian melalui insisi perineal

37

anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya dengan rektum melalui abdomen.

Indikasi dan Kontraindikasi Eksisi Lokal Kanker Rektum 1. Indikasi Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate T1 dan T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound Termasuk well differentiated atau moderately histology Ukuran kurang dari 3-4 cm secara

38

2. Kontraindikasi Tumor tidak jelas Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound Termasuk poorly differentiated secara histologi

2. Radiasi Padakasus stadium 2 dan 3, radiasi dapat mengecilakn ukuran tumor sebelum dialkukan pembedahan. Dalam hal ini radiasi berperan sebagai preoperative treatment. Peran lainnya radioterapi

39

adalah sebagai terapi tambahan untuk kasus tumor lokal yang telah diangkat melalui pembedahan dan untuk penanganan kasus metastasis jauh. Jika radioterapi pasca pembedahan dikombinasikan dengan kemoterapi, maka akan menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan menurunkan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiasi telah terbukti dapat mengurangi efek dari metastasis tersebut terutama pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien dengan tumor lokal yang unresectable. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker. Eksternal radiasi (Extewrnal Beam Therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat sekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung beberapa menit. Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunaka radiasi yang diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Subsatnsi yang menghasilkan radiasi disebut radioisotope, dapat dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor. Internal radiasi memberiakan tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara sementara menetap di dalam tubuh Brakiterapi dapat diberikan sebagai terapi adjuvant terapi, baik perioperatif, diberikan pada keadaan dimana pada tindakan operasi didapatkan adanya residu tumor tanpa adanya keterlibatan kelenjar, dengan dilakukan pemasangan aplikator radiasi saat operasi, dan radiasi

40

dilakukan beberapa saat setelah operasi. Maupun juga dalam bentuk postoperatif, diberikan pada keadaan dimana setelah operasi didapatkan adanya residu tumor . Dengan tujuan definitif, brakiterapi dapat diberikan sebagai terapi kombinasi radiasi eksterna + brakhiterapi interstitial maupun intrakaviter maupun brakhiterapi intrakaviter dan implantasi.( Gondhowiardjo, 2003). Kombinasi preoperative radiasi eksterna dengan tindakan eksisi dan interstitial perioperatif brakiterapi dilaporkan Otmezguine11 memberikan hasil lokal kontrol 80% pada 5 tahun dengan tingkat kontrol fungsi sphinkter mencapai 100 % pada kasus keganasan rektum letak menengah atau rendah. Sehingga tindakan ini dianjurkan dilakukan pada kasus-kasus tersebut yang tidak mencapai toleransi atau menolak operasi. Pada kasus keganasan anal dan rektum baik primer dengan kombinasi RE dan interstitial BT, maupun pada kasus kambuh lokal pasca terapi, didapatkan hasil respons komplit pada 100 % keganasan anal dan 75% pada keganasan rektum. 3. Kemoterapi Adjuvant chemotherapy digunakan untuk menangani pasien yang tidak terbukti memiliki penyakit residual tetapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan. Terapi ini digunakan pada tumor yang menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol (stadium 2 dan 3). Terapi standar kemoterapi tersebut adalah Fluorouracil (5FU) yang dikombinasikan dengan Leucovorin jika tidak tersedia. Protokol kemoterapi ini telah terbukti menurunkan angka kekambuhan sebesar 15% dan menurunkan angka kematian sebesar 10%. (Schwart, 2005).

41

Berikut ini adalah tabel tentang rekomendasi kemoterapi dan radioterapi pada pasien kanker rektum setelah dilakukan pembedahan. (Cagir, 2005). Stage Stage 1 Stage 2 atau 3 Lesi kecil/menengah Rekomendasi terapi Tanpa terapi adjuvant Kemoradiasi neoadjuvan selama

minggu Kemoterapi dasar 5-FU dengan XRT (180 cGy 5 hari/minggu) Istirahat selama 6 minggu Eksisi mesorektal total Istirahat 4 minggu Lanjutkan kemoterapi dasar 5-FU selama 8 minggu Kemoterapi pre dan postoperasi Eksisi mesorektal total LAR atau APR paliasi/pencegahan untuk sumbatan atau perdarahan Kemoterapi adjuvant 5 FU+lekoverin dengan XRT individual

Lesi luas Stage IV

4. Penanganan Jangka Panjang Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan follow up untuk rekurensi tumor pada pasien yang telah ditangani dengan kanker kolon. Beberapa tenaga kesehatan telah menggunakan pendekatan nihilistic (karena prognosis sangat jelek jika terdeteksi adanya rekurensi dari kanker). Sekitar 70% rekurensi dari kanker terdeteksi dalam jangka waktu 2 tahun, dan 90% terdeteksi dalam

42

waktu 4 tahun. Pasien yang telah ditangani dari kanker kolon mempunyai insiden yang tinggi dari metachronous kanker kolon. Deteksi dini dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien ini dapat meningkatkan prognosa. Evaluasi follow up termasuk pemeriksaan fisik, sigmoidoskopi, kolonoskopi, tes fungsi hati, CEA, foto polos thorax, barium enema, liver scan, MRI, dan CT scan (Silalahi, 2006). Tingginya nilai CEA preoperatif biasanya akan kembali normal antara 6 minggu setelah pembedahan. 1. Evaluasi klinik Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up adalah untuk mendeteksi tumor primer baru. Beberapa pasien kanker kolorektal membentuk satu atau beberapa tempat metastasis di hepar, paru-paru, atau tempat anastomosis diamana tumor primer telah diangkat.2 2. Rontgen Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi rekurensi. 3. Kolonoskopi Pasien yang mempunyai iesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan kolonoskopi 3 samapai 6 bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan tidak adanya neoplasma yang tertinggal di kolon. Tujuan dilakukannya endoskopi adalah untuk mendeteksi adanya metachronous tumor, suture line rekurensi atau kolorektal adenoma. Jika obstruksi tidak ada maka kolonoskopi dilakukan pada satu sampai tiga tahun setelah pembedahan. Jika negative maka endoskopi dilakukan lagi dengan interval 2-3 tahun. 4. CEA Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannnya pemeriksaan lebih jauh untuk mengidentifikasi tempat rekurensi

43

dan

biasanya

sangat

membantu

dalam

mengidentifikasi

metastasis ke hepar. Jika dicurigai adanya metastasis ke pelvis, maka MRI lebih membantu diagnose daripada CT scan.

2. 10 Metastase Dari 100 pasien dengan karsinoma kolorektal, 50 orang sembuh dengan pembedahan, 15 akan berkembang dengan rekurensi lokal dan 35 orang berkembang dengan metastase jauh. Organ-organ yang menjadi tempat metastase adalah hati sebanyak 75%, paru-paru 15% dan tulang serta otak sebanyak 5% (Walton, 2001). Liver Pada pasien yang terjadi metastase pada hepar, kematian terjadi akibat kegagalan fungsi hati. CT scan dengan kontras pada arteri dan vena merupakan pemeriksaan penunjang terbaik untuk mendeteksi adanya metastasis. USG juga bisa digunakan, tetapi tidak dapat mendeteksi semua lesi pada hepar dan lesi pada extrahepatic intraabdominal. Terapi untuk metastase pada liver masih menjadi perdebatan. Terapi bedah yang digunakan adalah reseksi sebagai terapi utama kecuali reseksi mayor diindikasikan. Regimen kemoterapi termasuk sistemik, intraarterial, dan intraportal menunjukkan perbaikan. Terapi kemoterapi dan bedah/bedah beku menunjukkan keutungan yang tidak jauh berbeda. Paru-paru Kanker kolorektal yang bermetastase di paru sebanyak 15%. Pemeriksaan yang dilakukan adalah foto thorax dan CT scan dada untuk mendeteksi adanya metastase. Terapi bedah yang digunakan

44

adalah reseksi dengan open thoracotomy

atau thoracoscopic

apabila lesi kurang dari 3 cm di bawah permukaan paru. Lesi metastase yang dapat direseksi adalah soliter, lesi primer sudah terkontrol, dan tidak ada metastase jauh yang lain dan keadaan umum yang bagus. 2.11 Terapi Kanker Kolorektal Rekuren Rekurensi kanker kolorektal terjadi 70% dalam 2 tahun setelah operasi. Rekuren lokal karsinoma rektum terjadi 3%-32%. Terapi yang digunakan ada beberapa : Operasi adalah terapi yang terbaik yang bisa disarankan untuk lesi lokal rekuren. Terapi yang digunakan adalah reseksi. Bedah radikal digunakan untuk pasien tertentu dan tipenya bergantung pada lokasinya. Endoskopic laser therapy untuk lesi rekuren yang tidak dapat direseksi, namun timbul obstruksi dan perdarahan, maka digunakan laser. Tumor stenting untuk pasien yang terdapat gejala-gejala obstruksi Radioterapi eksternal radioterapi adalah terapi yang paling banyak digunakan untuk lesi rekuren dari karsinoma rektum. Vilalon melaporkan penurunan 92% berespon terhadap rasa sakit dan pengurangan massa tumor sebanyak 80%. Survival rate setelah radioterapi adalah 20 bulan. 2.11 Prognosa Kemoterapi 5FU dan mytocin (Walton, 2001).

45

Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting. Grade histology secara signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping stadium. Pasien dengan well differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5 year survival lebih baik dibandingkan dengan poor differentiated karsinoma (grade 3 dan 4). Lokasi kanker terlihat sebagai faktor prognostic yang independen. Pada stage yang sama pasien dengan tumor yang berada di rectum mempunyai prognoa yang lebih buruk biala dibandingkan dengan tumor yang berada di kolon. Secara keseluruhan 5 year survival rates untuk kanker rectal adalah sebagai berikut: a. Stadium I 72% b. Stadium II 54% c. Stadium III 39% d. Stadium IV 7% 50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanyapada 2 tahun pertama setelah operasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemampuan untuk memperoleh batas-batas negative tumor (Cirincione, 2005).

46

DAFTAR PUSTAKA Abhay, Baghat. 2011. Colon and Rectal Cancer. Mumbai : Jascap Basu, S. et al. 2009. Recent Advance in The Management of Carcinoma Colorectal. Dove Press Journal Clinical and Expiremental Gastroentrologi. Brown, Gina. 2010. Rectal Carcinoma Staging : A Practical Approach . Royal Meyden Hospital Bruckner, Pitrell, dan Merrick. 2001. Adenocarcinoma of Colon and Rectum. Cromwell, John., Santiago, and Marcet. 2006. Treatment of Rectal Carcinoma. The New England Journal Medicine 355 :23. Gondhowiardjo, S. 2003. Brakhiterapi dalam Terapi Kanker Anorektal. Makara Kesehatan, Vol. 7 No.2 hal 63-66. Elizabeth, Cirincione. 2005. Rectal Cancer. Available from E-medicine Miles. 2005. Current Management of Rectal Cancer. Current Problem Surgery Februari 2005 Mukhtar, S. 2010. Colorectal Cancer in A. Wahab Sjahrani General Hospital Samarinda. East Borneo. Samarinda. Moertel, Charles. 1994. Chemoterapy for Colorectal Carcer. The New England Journal of Medicine April 1999 Poynter, Jenyy et al. 2005. Statins and The Risk of Colorectal Cancer . The New England Journal of Medicine 2005:352:2184-92. Price S, dan Wilson, L. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC Syamsuhidayat R, Jong Wim D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke 2. Jakarta : EGC Samiadji, S. 1995. Akurasi Keluhan Berak Darah dan Penurunan Berat Badan dalam Diagnosis Karsinoma Rekti. Tesis. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

47

Tim Pengajar Anatomi. 2001. Situs Abdominis. Laboratorium Anatomi dan Histologi. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Zahari, Asril. 2009. Deteksi Dini, Diagnosa dan Penatalaksanaan Kanker Kolon dan Rektum. Suplement Majalah Kedokteran Andalas dalam Rangka Diesnalies 53 FK Unand. Schwartz SI, 2005. Schwartzs Principle of Surgery 8th. United States of America : The McGraw-Hill Companies. Welton, M. L, Varma, G. M dan Amerhauser. 2001. Basic Science and Clinical Evidence. New York : Springer-Verlac

48

Anda mungkin juga menyukai