Anda di halaman 1dari 15

Nama Kelompok: 1. 2. 3. 4. 5.

Arip Prastyo Wibowo Adila Jati Pamungkas Boris Sembiring Kembaren Sidik H Ranggi Putra

1. Reformasi Pajak Daerah melalui UU No. 28 tahun 2009, terkait dengan pelaksanaan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal. Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara Pusat dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Dari sisi keuangan Negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Berdasarkan UU dan PP tersebut, Daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Tetapi walaupun sudah diberikan keleluasaan dalam mengelola pajak masih banyak daerah belum kreatif mengembangkan potensinya sehingga jenis pungutan daerah baik pajak dan retribusi daerah yang memenuhi kriteria masih relatif kecil dalam mengangkat PAD. daerah yang memiliki sumberdaya yang berlimpah ternyata belum mampu meninggalkan ketergantungannya pada keuangan dari pemerintah pusat untuk membiayai pembangunan daerah, dimana target PAD nya sangat jauh di bawah DAU yang diterima. Pada akhirnya UU PDRD tidak memberikan insentif bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara efisien. Tetapi di sisi lain banyak daerah yang terlalu kreatif dalam mengembangkan pungutan daerah, namun tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga diantaranya terpaksa dibatalkan oleh pemerintah. Mereka menegembangkan pungutan daerah yang tidak relevan dengan kebutuhan daerahnya. Daerah salah mengartikan keleluasaan melakuakan pungutan daerah semata mata hanya untuk meningkatkan PAU daerah tersebut tanpa mempertimbangkan kemampuan daerah mereka,

Kesiapan pemerintah daearah juga perlu di uji lagi dalam mengelola PAU, masih banyak terjadi kebocoran dan inefesiensi dalam menggunakan dana tersebut. Sehingga tidak terjadi pembangunan daerah yang maksimal. Pengawasan pemerintah yang ketat tetap perlu dilaksanakan. Bisa dikatakan beberapa daerah belum bisa benar benar mandiri. 2. Apa yang menjadi latar belakang dan tujuan di tetapkannya UU No. 28 tahun 2009, dan pada tahapan implementasinya apakah tujuan tersebut dapat meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan di daerah Latar belakang UU No 28 tahun 2009 merupakan suatu perubahan peraturan ebagaimana telah diubah beberapa kali atas UU No.34 Tahun 2000 dan UU No.18 Tahun 1997. Perubahan yang melatar belakangi yaitu agar keuangan daerah dapat ditingkatkan untuk melaksanakan otonomi daerah,khususnya sumber pendapatan yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Dengan pendapatan yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah meningkat, diharapkan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat menjadi meningkat dan meningkatkan kemandirian daerah. Dalam Undang-Undang tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif. Perluasan objek pajak terjadi pada pajak provinsi. Pasca pembaharuan UU No.34 Tahun 2000 menjadi UU No.28 Tahun 2009, Pajak Propinsi sebelumnya memiliki 4 jenis pajak, kemudian ditetapkan menjadi 5 (lima) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT & AP); (v) Pajak Rokok. Pajak rokok merupakan perluasan dari objek pajak daerah. Hasil penerimaan Pajak Rokok tersebut sebesar 70% dibagihasilkan kepada kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Walaupun pajak ini merupakan jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok dan

bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan. Di pihak lain, pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak pada industri rokok karena beban Pajak Rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional dan besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti natural growth (pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut. Selain itu, penerimaan Pajak Rokok dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum terkait dengan rokok ilegal (sri mulyani, 2009). 3. Local Taxing Empowerment menjelaskan hal hal sbb: a. Implementasi perluasan basis Pajak Hotel untuk seluruh persewaan ruangan yang disewakan oleh Hotel sebagai objek Pajak Daerah kaitannya dengan UU. No. 42 tahun 2009 tentang PPN, serta usulan dan tuntutan daerah sesuai prinsip Desentralisasi Fiskal. Setelah melalui perdebatan yang panjang dan melelahkan selama tiga tahun, rancangan Undang-undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebagai pengganti Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang PDRD, disahkan dan diundangkan pada tanggal 15 September 2009. Undangundang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2010, membawa setidaknya lima perubahan atas ketentuan mengenai pajak dan retribusi daerah. Perubahan tersebut adalah (1) perluasan basis pajak dan retribusi daerah; (2) pemberian diskresi menetapkan tarif kepada daerah; (3) pembatasan kepada daerah dalam membentuk pungutan pajak dan retribusi daerah yang baru; (4) peningkatan akuntabilitas pengalokasian pendapatan dari pajak dan retribusi daerah; dan (5) peningkatan efektifitas pengawasan pungutan daerah. Dalam hal ini kami akan membahas tentang perluasan basis pajak dan retribusi daerah. Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik. Pajak dan Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor-impor. Pungutan seperti Retribusi atas izin masuk kota, Retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke daerah lain dan pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak dapat dijadikan sebagai objek Pajak atau Retribusi. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis merupakan pernyataan yang menjadi slogan dari

Pemerintah Pusat melalui penetapan UU No. 28 tahun 2009, Saudara diminta

pajak Daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis Pajak baru. Perluasan cakupan dalam pajak daerah meliputi pajak hotel yang diperluas hingga mencakup seluruh persewaan dihotel. Dengan adanya perluasan basis pajak, pemerintahan daerah dapat menetapkan tarif jenis pajak hotel yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat agar tidak memberatkan dan tidak mengganggu kestabilan iklim investasi didaerah. Dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi (keleluasaan) dalam penetapan tarif, diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga daerah semakin mampu mambiayai dan sendiri kebutuhan pengeluarannya dapat dalam menyelenggarakan Pemerintahan Pembangunan serta mengurangi

ketergantungan daerah terhadap dana alokasi dari Pemerintah Pusat. Dengan adanya perluasan cakupan pajak ini, maka untuk menghindari pengenaan pajak berganda (Pajak Daerah dan PPN), maka dalam UU No.42 Tahun 2009 terdapat perubahan mengenai isi ketentuan Pasal 4a tentang Jasa yang tidak dikenakan PPN, termasuk didalamnya adalah Jasa Perhotelan. Disebutkan dalam penjelasan pasal tersebut yang termasuk kedalam Jasa Perhotelan yang dikecualikan dari PPN adalah: Jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan,

motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah

penginapan, motel, losmen, dan hostel. b. Implementasi perluasan basis Pajak Restoran melalui Jasa Boga/Catering sebagai objek Pajak Daerah kaitannya dengan UU. No. 42 tahun 2009 tentang PPN (studi kasus Perda Pajak Restoran di DKI Jakarta terkait dengan penolakan dari para pengusaha Warung Tegal ). Perluasan cakupan dalam pajak daerah meliputi pajak restoran melalui jasa boga atau catering yang ditetapkan sebagai objek pajak daerah. Dalam pasal 1 ayat 9 dijelaskan bahwa Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Dalam

pasal 1 ayat 10 dijelaskan bahwa restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/catering. Yang dimaksud dengan jasa boga adalah usaha yang melayani dibidang makanan, hidangan dan santapan. Yang dimaksud dengan katering adalah usaha yang melayani pesanan atau pemasok hidangan untuk pesta, pertemuan, dan sebagainya untuk keperluan pemesanan. Berdasarkan definisi restoran tersebut, Pemerintah DKI Jakarta ingin memperluas lagi cakupan pajak restoran dengan mengusulkan Kebijakan Pajak Warteg dalam RAPERDA 2011. Namun RAPERDA ini mendapat banyak kritikan tajam. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menilai pajak restoran yang akan diperluas ke usaha warteg dan sejenisnya tidak bisa diterapkan karena tiga alas an, yaitu: 1. Secara substansi Perda Pajak Restoran sudah salah sebab tidak melalui proses public hearing dengan masyarakat. 2. Masyarakat menengah kebawah belum siap terbebani oleh tambahan pajak baru yang dinilai tidak berpihak kepada kalangan bawah. 3. Struktur dalam Perda Pajak Restoran tersebut tidak memungkinkan dilakukan pengenaan pajak, karena akan terbentur masalah teknis. Tidak ada mekanisme pembukuan yang jelas dalam pengelolaan bisnis warteg sehingga rentan terhadap korupsi atau penggelapan pajak.

c. Implementasi perluasan basis Pajak Hiburan melalui Golf sebagai objek Pajak Daerah kaitannya dengan UU. No. 42 tahun 2009 tentang PPN. ( analisis saudara terkait keputusan Mahkamah Konstitusi atas Yudicial Reviu Golf sebagai Pajask daerah ). Pajak yang dipungut dari masyarakat harus adil dan tidak merugikan wajib pajak. Namun, meski pungutan pajak berdasarkan undang-undang, pada kenyataannya belum memberi kepastian. Itu bisa dicermati saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan persoalan terjadinya

'rebutan' pungutan pajak antara pemerintah pusat dan daerah. Putusan MK No 52/PUUIX/2011 mengenai pengujian UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), khususnya mengenai pajak atas permainan golf, dicabut dan dibatalkan karena tidak sesuai dengan konstitusi. Para ahli menjelaskan persoalan pajak atas permainan golf yang diatur dalam UU PDRD telah menimbulkan ketidakpastian dan menjadi pungutan pajak ganda. Pungutan ganda terkait dengan aturan pajak dalam UU Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN). Jika MK tidak membatalkan, dalam praktik di lapangan, pengusaha golf akan terkena pajak dua kali (pajak ganda): pajak daerah atas permainan golf yang diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU PDRD dan pajak pusat, yaitu PPN karena golf termasuk jasa yang tidak dikecualikan dalam pungutan PPN sesuai Pasal 4A UU PPN. Contoh putusan MK itu menunjukkan penyusun UU PDRD terkesan kurang berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan atau Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang memungut jenis pajak pusat dan kebutuhan mencari dana untuk keperluan otonomi daerah tampak lebih mendominasi jalan pikir ketimbang mencari sinkronisasi antar undang-undang pajak. Otonomi daerah yang memberi keleluasaan atau kewenangan penuh kepada daerah sering menimbulkan dilema dalam pungutan pajak. Penjelasan UU PDRD daerah sendiri sudah mengakui, dengan menyatakan banyak pungutan daerah mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang jasa antardaerah d. Implementasi perluasan basis Pajak Parkir melalui jasa persewaan tempat parkir yang pembayarannya menyatu dengan sewa/kontrak ruang pada kantor, pertokoan dan pusat perbelanjaan kaitannya dengan UU. No. 42 tahun 2009 tentang PPN. Dalam hal ini dijadikan satu agar terjadi pemudahan dalam administrasi dan tidak terlalu memberatkan para pelaku penyelenggara pakir, sewa atau kontrak ruangan, pertokoan dan pusat perbelanjaan. Sebab bila dijadikan satu, maka penyelenggaran kegiatan tersebut akan dikenakan pajak berkali-kali. Akan tetapi, dalam prakteknya bahwa masih banyak potensi penerimaan dari pajak ini dirasa belum maksimal, yang disebabkan karena

kurangngnya pengawasan yang mengakibatkan pungutan atas pajak ini tidak sepenuhnya masuk ke kas negara. e. Jasa pelayanan parkir valet (valet parking service), adalah salah satu contoh perjanjian yang berdasarkan asas konsensualisme dianggap telah disepakati para pihak, secara serta merta ketika konsumen pengguna jasa valet parkir (untuk kesederhanaan diartikan sebagai pemilik mobil) menyerahkan kunci mobilnya untuk diparkirkan oleh petugas parkir. Ketentuan-ketentuan yang mengatur (general terms and conditions) pada perjanjian valet parking terdapat dan tercetak pada lembaran kartu valet parkir yang diterima oleh konsumen. Ketentuan yang mengatur hak-hak dan kewajiban antara konsumen (dalam hal ini dapat dipersamakan dengan kreditur jasa pelayanan valet parkir) dan Perusahaan (dalam hal ini dapat dipersamakan dengan debitur yang menyediakan jasa pelayanan valet parkir) Sedangkan perlakuan pajak parkir atas valey parking ditetapkan berbeda-beda setiap daerahnya. Secara dasar hukum yang mengaturnya bahwa perlakuan pajak parkir atas valey parking tidak jauh berbeda dengan pajak parkir. Jadi, Perlakuan Pajak parkir atas valey parking: 1. Objek pajak parker atas valet parking penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Atau dengan kata lain penyelenggara valet parking 2. Subjek Pajak atas valey parking Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang melakukan parkir kendaraan bermotor dengan menggunakan valet parking 3. Wajib Pajak Parkir atas valey parking Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan tempat Parkir / valey parking

4. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir. 5. Tarif pajak Tarif Pajak Parkir ditetapkan sebesar 20 % (dua puluh persen). 6. Wilayah Pemungutan Pajak Parkir yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Parkir berlokasi 7. Masa dan Saat Terutang Pajak Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim. 8. Saat Terutang Pajak Pajak terutang terjadi pada saat penyelenggaraan parkir dengan pembayaran Dasar Hukum Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pajak Parkir Contoh Perlakuan pajak parkir atas valey parking: Usaha valey parking selama ini memungut biaya sebesar Rp 30 ribu per kendaraan. Usaha valey terletak di arion mall. Diketahui jumlah kendaraan yang menggunakan valey parking pada bulan Januari 2013 sebanyak 2000 kendaraan. Cara perhitunganya: Tarif: 20% (Memakai dasar peraturan PP No. 16 Tahun 2010) Kendaraan menggunakan valey parking: Rp. 30.000 x 2000 unit = Rp60.000.000

Pajak parker harus disetor

= Rp60.000.000 x 20% = Rp.12.000.000

Dan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.03/2012 tentang Kriteria Jasa Penyediaan Tempat Parkir bahwa atas valey parking dikenakan PPN bagi penyelenggaranya dimana valey parking merupakan jasa pengelolaan tempat parkir. Jadi, terdapat pengenaan PPN dengan tariff 10% PPN atas valey parking = Rp.12.000.000 x 10% = Rp.1.200.000

Bahwa setiap propinsi diberikan kemampuan untuk menciptakan peraturan daerah masing dalam memaksimal pungutan pajak daerahnya, maka setiap daerah memiliki tariff pajak parkir yang berbeda dan paling tinggi diperbolehkan tariff pajak parkir yaitu sebesar 30%. Contoh di Gresik, tariff pajak parkirnya sebesar 30% berdasarkan perda Gresik. f. Implementasi perluasan basis Pajak Daerah melalui Meningkatkan tarif maksimal pajak Daerah, yaitu Pajak Hiburan (75%), Pajak Parkir (30%), PBB-KB (10%). Berkaitan dengan fungsi pajak yaitu budgetair dan regulerend, dimana pajak selain berfungsi pengumpul pundi-pundi keuangan guna membangun negara, namun juga berfungsi untuk mengatur keadaan dalam perilaku masyarakat sehari-hari yang dapat menyebabkan kerugian baik negara hingga lingkungan sekitar atau individu Pribadi akibat tindakan tersebut. Contoh, salah satunya adalah penerapan PBB-KB yang dilakukan oleh pemerintah, dengan tujuan untuk mengatur pola konsumsi bagi setiap pengendara kendaraan yang mengunakan bensin/solar, khususnya bagi pemilik kendaraan yang boros bensin. Begitu juga dengan pajak parkir yang yang memiiliki tariff pajak begitu tinggi, yaitu 30% dan akan berdampak tariff parkir akan pula naik dan menjadi mahal, sehingga masyarakat berpikir untuk membawa kendaraan Pribadi masing-masing untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan memilih menggunakan kendaraan umum. Akan tetapi, pada prakteknya apa yang dimaksud pemerintah tidak tercapai dengan baik, khususnya secara regulerend. Fungsi pajak dalam hal ini tidak tercapai, karena pajak parkir dan tariff parkir begitu mahal tidak membuat para pengguna kendaraan untuk beralih ke kendaraan umum.

Karena disebabkan faktor-faktor seperti kemacetan masih tinggi, pelayanan kendaraan umum tidak baik (tidak sebanding dengan harganya), serta masih terdapat parkir liar yang terdapat di sudut ibu kota yang murah meriah (tidak adanya pajak parkir bagi pengelolanya. Sehingga masyarakat secara hitungan ekonomis lebih memilih kendaraan Pribadi dibandingan kendaraan umum. Begitu juga dengan PBB-KB, tujuan pemerintah tidak tercapai, dimana masyarakat tidak mempedulikan akan pola konsumsi dalam mengkonsumsi BBM. Karena, berkaitan dengan perhitungan ekonomis yang dirasa dibandingkan dengan menggunakan kendaraan umum, maka jauh lebih murah dan nyaman dengan menggunakan kendaraan Pribadi, jadi tidak peduli mereka dalam mengkonsumsi BBM. Dan khususnya prilaku masyakat Indonesia, yang sangat tidak mendukung kenaikan BBM. Yaitu akan melakukan demo, yang dirasa hal tersebut merugikan rakyat khususnya rakyat kecil. Dan itu memang benar, karena rakyat masih belum merasakan kesejahteraan yang dapat diberikan oleh negara. Oleh karena, itu tak jarang bagi masyrakat masih memiliki atau menggunakan kendaraan yang secara umur sudah tua, dimana kendaraan tersebut pada umumnya selain tidak ramah lingkungan namun juga boros. Sedangkan, pajak hiburan (70%) dirasa lebih bertujuan sebagai memaksimal potensi penerimaan dari bidang hiburan. Akan tetapi, masih cukup banyak tujuan dari pajak ini belum tercapai cukup optimal karena dirasa penerapan good governance dari pemda masing daerah dirasa masih kuirang, sehingga masih banyak penerimaan dari jenis pajak ini belum trcapai secara optimal. G. Implementasi perluasan basis pajak daerah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mulai diberlakukan. Menurut Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, tujuan penerbitan undang-undang tersebut adalah dalam rangka memperbaiki kewenangan pemungutan. Strategi yang ditempuh difokuskan pada penetapan jenis-jenis pungutan daerah dengan kebijakan yang disebut dengan Closed List. Praktek kebijakan ini adalah daerah hanya diperkenankan untuk memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum di dalam UU No. 28 Tahun 2009. Dengan demikian, dapat dihindari potensi konflik tata usaha negara yang timbul dari penerbitan beraneka ragam Peraturan Daerah

yang ditujukan untuk meningkatkan pungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang tidak sesuai. Adapun tujuan perluasan basis pajak daerah dengan menamah beberapa jenis pajakd daerah baru, yaitu 1. Memperkuat kemampuan pajak daerah atau local taxing power 2. Meningkatkan efektivitas pengawasan, 3. Dan memperbaiki sistem pengelolaan.Local taxing power dijalankan dengan strategi perluasan basis pungutan dan diskresi penetapan tarif, yaitu meliputi kebijakan perluasan obyek, menambah jenis, menaikkan tarif maksimum, serta diskresi batas minimum dan maksimum dalam penetapan tarif pajak. Seluruh tujuan, strategi, dan kebijakan yang termaktub di dalam UU No. 28 Tahun 2009 pada dasarnya diarahkan untuk memperbaiki distribusi perpajakan negara, belanja negara, struktur dan proporsi komponen-komponen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta struktur dan proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Implikasi Mari kita mulai analisis dari implikasi terhadap APBN kemudian dilanjutkan ke APBD. Kehadiran UU No. 28 Tahun 2009 secara langsung membawa implikasi bagi Pemerintah Pusat, yaitu berupa pengurangan pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Menurut hasil analisis Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, pendapatan APBN dari Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) diperkirakan akan berkurang sebesar 0,66 persen pada tahun 2014. Selanjutnya, pendapatan APBN dari Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) diprediksikan akan berkurang 0,80 persen pada tahun 2011. Adapun pendapatan APBN dari cukai diproyeksikan akan berkurang 0,63 persen pada tahun 2014. Meskipun demikian, penerimaan APBN dari ketiga komponen masih meningkat pada tahun 2010 jika dibandingkan dengan tahun 2009.

Namun, banyak pihak, baik dari kalangan akademisi maupun birokrat selaku praktisi pajak dan restribusi daerah, yang meragukan bahwa penerapan UU No. 28 Tahun 2009 akan mampu meningkatkan kemampuan fiskal daerah secara signifikan. Sebagian diantaranya berpandangan bahwa undang-undang tersebut hanya memberikan manfaat yang besar bagi kabupaten/kota besar di Pulau Jawa. Sebaliknya, kabupaten/kota kecil yang tersebar di luar Pulau Jawa belum tentu diuntungkan. Bahkan, dengan tegas disebutkan bahwa kabupaten/kota kecil di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak akan mampu menerapkan UU No. 28 Tahun 2009 secara efektif.

Pandangan akademisi maupun praktisi dapat diterima secara logika mengingat peningkatan penerimaan daerah dari pajak daerah dan retribusi daerah hanya mungkin diwujudkan apabila Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota telah siap dengan segenap instrumen pendukungnya. Instrumen dimaksud meliputi fasilitas, sumber daya manusia (SDM), dan teknologi. Kota-kota besar, seperti Jakarta atau Surabaya tentu tidak akan mengalami hambatan dalam menyediakan instrumen pendukung tersebut. Kondisi sebaliknya dijumpai di kabupaten/kota yang tergolong kecil, sehingga berpotensi semakin tertinggal dan membuka peluang melebarnya disparitas fiskal antardaerah.

Sebagai contoh, Kabupaten Gorontalo Utara merasa belum siap melaksanakan UU No. 28 Tahun 2009, karena sebagai daerah baru hasil pemekaran, SDM pengelola perpajakan belum siap. Pemerintah Kabupaten Gorontalo menghadapi dilema antara menuai harapan atau mendapat masalah. Terjadi perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah, namun menutup kemungkinan daerah memperluas basis pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi ciri khas daerah, karena kebijakan closed list. Apabila dipaksanakan, maka dikhawatirkan pembengkakan biaya pungut yang tidak sebanding dengan hasil pungut dan manfaat yang diperoleh.

Daerah lainnya, yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara memandang implementasi UU No. 28 Tahun 2009 sebagai perluasan kewenangan yang setengah hati. Kebijakan menu tertutup lagi-lagi dijadikan kambing hitam, karena diasumsikan tidak memberi kemungkinan bagi daerah memperluas jenis pajak dan retribusi yang khas bagi daerah.

Di samping itu, biaya koleksi yang tinggi diperkirakan juga akan membebani daerah, karena skala ekonomi yang relatif rendah. Kemampuan fiskal yang berbeda secara bertahap tentu akan mendorong semakin melebarnya kesenjangan pembangunan antarwilayah sebagai akibat minimnya kemampuan provinsi dan kabupaten/kota dengan kapasitas fiskal kecil untuk menyediakan anggaran bagi pelaksanaan pembangunan di daerah. Padahal, tuntutan pembangunan yang dihadapi dari waktu ke waktu semakin kompleks. Dalam banyak kasus, daerah kecil masih pula dihadapkan dengan persoalan keterbatasan dan kondisi infrastruktur dasar yang buruk, seperti sering padamnya aliran listrik di berbagai daerah, termasuk salah satu yang terburuk di Kota Ambon dan Provinsi Maluku pada umumnya. Tidak tersedianya infrastruktur dasar secara langsung menghambat berbagai aktivitas sosial dan ekonomi di daerah, namun Pemerintah Daerah tidak mempunyai kapasitas untuk mengatasinya. Dalam konteks Provinsi Maluku, kurangnya prasarana dan sarana transportasi laut dan udara merupakan permasalahan lain yang harus dihadapi, selain persoalan kelistrikan. Dengan dilaksanakannya UU No. 28 Tahun 2009, sebenarnya besar harapan bahwa daerah bisa lebih optimal dalam menggali potensi PBB-P2 dan BPHTB, sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih baik. Analisis Potensi Penerimaan PBB dan BPHTB bagi daerah Tujuan utama kepindahan kewenangan ini adalah penguatan kemampuan pajak daerah, untuk mendukung peningkatan kemampuan fiskal daerah. Dalam prakteknya kesiapan masing-masing daerah tidaklah sama. Data terakhir di bulan maret 2013, masih ada 10 daerah yang masih proses penyiapan perda untuk BPHTB ini. Walaupun begitu, nilai daerah yang belum selesai perdanya tersebut hanya kurang 1% (Berdasarkan peneriman BPHTB 2010). Hal ini menunjukkan bahwa potensi dan dinamika pengelolaan BPHTB ini berbeda antara daerah, begitu pula dengan PBB. 4. PP nomor 91 tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang dipungut berdasarkan penetapannya Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak, Tinjauan analisis

berdasarkan landasan teory tentang sistem pemungutan Pajak dan Implementasi pemungutan pajak di daerah. Meskipun pemungutan pajak merupakan sebuah kewenangan pemerintah, dan telah pula didukung oleh undang-undang yang disepakati oleh para wakil rakyat, namun pungutan ini hendaknya tidak dilaksanakan sembarang. Maka agar tidak menimbulkan perlawanan, pemungutan pajak harus memenuhi beberapa syarat antara lain : 1. Membuat adanya keadilan dalam soal pemungutan pajak (Asas Keadilan) Asas keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundangundangannya maupun dalam prakteknya seharihari. lnilah sendi pokok yang seharusnya diperhatikan baik-baik oleh setiap negara untuk melancarkan usahanya mengenai pemungutan pajak. Maka dari itu, syarat mutlak bagi pembuat undang undang (pajak), juga syarat mutlak bagi aparatur setiap pemerintah yang berkewajiban melaksanakannya, adalah pertimbangan-pertimbangan dan perbuatan-perbuatan yang adil pula. Syarat keadilan dapat dibagi menjadi : a) Keadilan horisontal, wajib pajak mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) sama harus dikenakan pajak yang sama. b) Keadilan vertikal, wajib pajak mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) tidak sama harus dikenakan pajak yang tidak sama. Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus ditempuh ialah mengusahakan agar supaya pemungutan pajak diselenggarakan secara umum dan merata. Artinya bahwa pajak dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar (ability to pay) pajak tersebut, dan sesuai dengan manfaat yang diterimanya. 2. Pemungutan pajak harus berdasarkan hukum (Asas Yuridis) Hukum pajak harus dapat memberi jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya. Maka mengenai pajak di negara hukum segala sesuatu harus ditetapkan dalam undang-undang. Juga dalam UndangUndang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia dicantumkan (dalam pasal 23 ayat 2), bahwa pengenaan dan

pemungutan pajak (termasuk bea dan cukai) untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-undang. 3. Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu perekonomian (Asas Ekonomis) Selain fungsi budgeter, pajak juga dipergunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus tetap terjaga keseimbangan kehidupan ekonomi rakyat. Maka politik pemungutan pajaknya : a) Harus diusahakan supaya jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan. b) Harus diusahakan supaya jangan menghalang-halangi rakyat dalam usahanya menuju ke kebahagiaan dan jangan sampai merugikan kepentingan umum. Kesimpulannya adalah, bahwa keseimbangan dalam kehidupan ekonomi tidak boleh terganggu dengan adanya pemungutan pajak, sesuai dengan fungsi kedua dari pemungutan pajak, yaitu fungsi mengatur. 4. Pemungutan pajak harus sederhana (Asas Finansial) Sistem pemungutan pajak yang sederhana dan mudah untuk dilaksanakan, akan sangat membantu masyarakat untuk menghitung sendiri jumlah pajaknya. Maka pemungutan pajak harus diusahakan seefektif dan seefisien mungkin. Sesuai dengan fungsi budgeternya, maka sudah barang tentu bahwa biaya biaya untuk mengenakan dan untuk memungutnya harus sekecil-kecilnya, apalagi dalam bandingan dengan pendapatannya. Sebagaimana diuraikan di atas, dengan demikian pemungutan pajak yang dilakukan, setidaknya harus memperhatikan 4 asas pokok pemungutan, yaitu adanya keseimbangan dan keadilan equality, adanya kejelasan certainty atas substansi dari pungutan, ketepatan pelaksanaan pembayaran convenience of payment, dan efisiensi pemungutan.

Anda mungkin juga menyukai