Anda di halaman 1dari 31

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Masalah

Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan (zoonosis). Penyakit ini disebabkan oleh leptospira bakteri aerob(termasuk golongan spirochaeta) yang berbentuk spiral dan bergerak aktif .Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan seperti anjing, sapi, babi, kerbau, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dll. Di dalam tubuh hewan-hewan ini (juga berlaku sebagai penjamu reservoar) leptospira hidup di ginjal dan air kemihnya. Manusia biasa terinfeksi bakteri leptospira karena kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi oleh urin atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksi bakteri leptospira. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang luka atau membrane mukosa. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena tmperatur adalah factor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan untuk daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan. ( Aru W. Sudoyo, et al. 2009: 1823). Gejala dari penyakit ini sangat bervariasi mulai dari gejala infeksi ringan sampai dengan infeksi berat dan fatal.Dalam bentuk ringan,Leptospirosis dapat menampilkan gejala seperti influenza disertai nyeri kepala sedangkan dalam bentuk parah yang biasa disebut sebagai Weils syndrome secara khas menampilkan gejala ikterus dan disfungsi renal.(Djunaedi,2007: 19) Umumnya penyakit ini menyerang para petani, pekerja perkebunan, perkerja tambang/ selokan, pekerja Rumah Potong Hewan dan militer. Ancaman ini berlaku pula bagi mereka yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau di sungai seperti berenang. Urmimala Sarkar (2002) mendapatkan bahwa jenis pekerjaan

tukang selokan air mempunyai risiko 2 kali lebih tinggi terkena leptospirosis. Tempat tinggal yang dekat dengan selokan air mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi terkena leptospirosis. Adanya tikus di dalam rumah mempunyai risiko 4 kali lebih tinggi terkena leptospirosis. Leptospirosis juga dapat menyerang manusia akibat kondisi seperti banjir, air bah atau saat air konsumsi tercemar oleh urin hewan. Kontak dengan air selokan mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis . Kontak dengan air banjir dan lumpur mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis.( Sarkar Urmimala et al, 2002:605-610) Internasional Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai Negara dengan insiden Leptospirosis tinggi dan menduduki peringkat ke tiga di dunia untuk mortalitas ( 16,7 %) setelah Uruguay dan India. Angka kematiannya bias mencapai 2,5-16, 47% ( rata-rata 7,1 %) , pada usia lebih dari 50 tahun bias mencapai 56%. Penderita yang disertai selaput mata berwarna kuning (kerusakan jaringan hati), resiko kematian akan lebih tinggi. Di Indonesia Leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. ( Aru W. Sudoyo et al 2006: 1823). Jadi berdasarkan penjelasan yang telah dikemukan, jelaslah diketahui bahwa wilayah di Indonesia sangat berpotensi dalam terinfeksinya penyakit leptospirosis, karena itulah penyakit ini perlu untuk diwaspadai atau dilakukan pencengahan. Inilah factor yang melatarbelakangi penulis tertarik memilih judul cara penularan dan pencengahan pada leptospirosis sebagai focus pembahasan dalam tulisan ini.

1.2 Rumusan Masalah Sesuai dengan topic yang akan dikaji dalam tulisan ini, maka ada beberapa rumusan masalah yang akan dibahas pada bagian selanjutnya yaitu : 1. Apakah yang dimaksud dengan Leptospirosis dan morfologi dari

Leptospirosis? 2. Apa penyebab lepospirosis? 3. Bagaimana cara penularan leptospirosis? 4. Bagaimana manifestasi kliniks yang ditimbulkan oleh leptospirosis? 5. Bagaimana cara mendiagnosis leptospirosis? 6. Langkah apa yang dilakukan untuk mencengah terjadinya leptospirosis?

1.3 Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tulisan ini bertujuan : 1. Untuk mendeskripsikan secara terperinci pengertian leptospirosis dan morfologi dari Leptospirosis 2. Untuk mengetahui penyebab leptospirosis 3. Untuk mengetahui bagaimana cara penularan leptospirosis 4. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi kliniks yang ditimbulkan oleh leptospirosis 5. Untuk mengetahui bagaimana cara mendiagnosa leptospirosis 6. Untk mengetahui langkah-langkah apa yang dilakukan untuk mencengah terjadinya leptospirosis?

1.4 Manfaat Penulisan Tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Bagi Penulis Tulisan ini adalah sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana kedokteran, sekaligus memperluas cakrawala pengetahuan penulis khususnya mengenai Leptospirosis, serta meningkatkan ketrampilan dalam menulis Karya Ilmiah yang bernilai akademis tinggi. 2. Bagi Pembaca Untuk menambah wawasan pengetahuan para pembaca mengenai

Leptospirosis 3. Bagi Lembaga Untuk memperkaya koleksi ilmu pengetahuan khususnya pada perpustakaan lembaga, sebagai bahan bacaan yang bermanfaat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Leptospirosis adalah penyakit zoonis yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang berbentuk spiral dari genus leptospira yang pathogen,menyerang hewan dan manusia. Penelitian tentang leptospira pertama kali dilakukan oleh Adolf Heil pada tahun 1886. Dia melaporkan adanya penyakit tersebut pada manusia dengan gambaran kliniks demam, pembesaran hati dan limpa, ikterus dan ada tanda-tanda kerusakan pada ginjal. Penyakit-penyakit ini dengan gejalan tersebut disebut sebagai weils disease . dan pada tahun 1915, inada berhasil membuktikan bahwa Weils Disease disebakan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. ( Bodner, Elizabeth M, 2005). Leptospira merupakan organism fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-15m, disertai spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2m. salah satu ujung organism ini sering kali bengkok membentuk sebuah kait. ( Seoeharsono, 2006: 40) Gambar 1. Morfologi Leptospira

Leptospira merupakan Spirochaeta yang paling mudah dibiakkan, tumbuh paling baik dalam keadaan aerob pada pH 7,4 dan pada suhu 28-30 c. waktu generasinya rata-rata sekitar 12 jam dan bila dibiakkan di dalam media semisolid yang kaya akan protein ( misalnya media Fletcher, dll), Leptospira akan membentuk koloni di bawah permukaan berbentuk bundar dengan diameter 1-3 mm dalam 6- 10 hari. Bakteri ini mempunyai kebutuhan nutrisi yang relative sederhana, yaitu mengambil energy melalui oksidasi dan membutuhkan asam lemak rantai panjang serta vitamin B1 dan B12 untuk pertumbuhan.(Sylvia Y. Muliawan, 2007: 65-66) 2.2 Epidemiologi Leptospira merupakan penyakit zoonis penting yang tersebar luas diseluruh dunia dan menyerang lebih dari 160 spesies mamalia. Reservoir yang memegang peran utama bagi penyebaran leptospira ke manusia adalah hewan pengerat terutama tikus meskipun hewan periharaan ( anjing, babi, sapi, kuda , kucing, kelinci) dan hewan lain seperti kelelawar, tupai, musang juga dapat berperan sebagai reservoir. ( Djuanedi 2007: 21). Di dalam tubuh binatang, leptospira hidup didalam ginjal/ air kemihnya. Tikus merupakan vector yang utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetapdan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus dan ikut mengalir dalam filtrate urine. Leptospira membentuk hubungan simbiosis dengan penjamunya dan dapat menetap dalam tubulus renalis selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Beberapa serovar berhubungan dengan binatang tertentu seperti L. icterohaemoragiae/ copenhageni dengan tikus, L. grippotyphosa dengan voles( sejenin tikus), L. hardjo dengan sapi, L. canicola dengan anjing dan L. Pomona dengan babi. Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperature adalah factor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptosipra, sedangkan daerah tropis

insidens tertinggi terjadi selama musim hujan. Leptospirosis mempunyai dua cirri epidemiologic yang sangat mempersulit pengendalian penyakit ini secara efektif yaitu : 1) Leptospira dapat membuat hubungan simbiotik dengan banyak hospes hewan, menetap untuk waktu yang lama di dalam tubuli renalis dan diekresi di dalam urin tanpa menimbulkan penyakit atau perubahan patologik pada ginjal, bahkan anjing yang telah mendapat imunisasi dapat mengekskresi Leptospira infeksius di dalam urin untuk waktu yang lama. 2) hewan liar merupakan reservoir untuk reinfeksi populasi hewan peliharaan secara berkesinambungan. ( Sylvia Y. Muliawan, 2008:64-65) 2.3 Penularan Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Hewan penjamu kuman leptospira adalah hewan peliharaan, seperti, babi, lembu, kambing, kucing, anjing, serta beberapa hewan liar, seperti: tikus, anjing, dan lain-lain. . Di dalam tubuh hewan-hewan ini (juga berlaku sebagai penjamu reservoar) leptospira hidup di ginjal dan air kemihnya. Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah ( lumpur), tanaman yang telah di kotori oleh air seni dari hewan-hewan penderita Leptospirosis. Tempat masuknya Leptosira biasanya melalui kulit yang terluka atau mukosa, pada kulit yang utuh, infeksi dapat terjadi setelah kontak lama dengan air yang terkontaminasi. ( LEVETT, 2001) Leptospira, kadang-kadang melalui saluran pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oleh urine tikus yang terinfeksi Leptospira. Penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi. Penularan Leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. 1.)Penularan secara langsung dapat melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman Leptospira yang masuk ke dalam tubuh penjamu, dapat juga melalui hewan ke manusia yang disebabkan akibat pekerjaan, terjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan atau seseorang yang tertular dari

hewan peliharaan. Penularan dari manusia ke manusia meskipun jarang dapat terjadi namun dapat terjadi melalui hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita Leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu. (Djuanedi, 2007 : 22)

Tikus bayi

tikus Dewasa urin

Air, tanah , lumpur Manusia, musiman, pekerjaan urin Ternak/ hewan peliharaan Tumpahan urin Penyakit akut pada hewan: 1. Keguguran 2. Infeksi kongenital Air, tanah, lumpur

Gambar 2. Siklus penularan leptospirosis


Sumber : FAINE, 1999

Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah ( lumpur), tanaman yang telah di kotori oleh air seni dari hewan-hewan penderita Leptospirosis. Tempat masuknya Leptosira biasanya melalui kulit yang terluka atau mukosa, pada kulit yang utuh, infeksi dapat terjadi setelah kontak lama dengan air yang terkontaminasi Leptospira, kadang-kadang melalui saluran pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oleh urine tikus yang terinfeksi Leptospira. Penularan langsung

dari manusia ke manusia jarang terjadi. Penularan Leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. 1.)Penularan secara langsung dapat melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman Leptospira yang masuk ke dalam tubuh penjamu, dapat juga melalui hewan ke manusia yang disebabkan akibat pekerjaan, terjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan. Penularan dari manusia ke manusia meskipun jarang dapat terjadi namun dapat terjadi melalui hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita Leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu. (Djuanedi, 2007 : 22) Masuknya kuman Leptospira pada hospes secara kualitatif berkembang bersamaan dengan proses infeksi pada semua reservoir Leptospira, namun masuknya kuman secara kuantitatif berbeda bergantung kepada agen, host dan lingkungan. Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lender, memasuki aliran darah dan berkembang. Setelah Leptospira masuk ke dalam tubuh kemudian akan terjadi respon imunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibody spesifik, walapun demikian beberapa organism ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi scara imunologi seperti di dalam ginjal dimana sebagian mikro organism akan mencapai convoluted tubules, bertahan disana dan akan dilepaskan melalui urin. Baktei leptospira akan ditemukan dalam air kemih 8 hai sampai beberapa minggu setelah terinfeksi dan juga bias sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagotosis dan mekanisme humoral. Bakteri Leptospira ini dapat dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin dan setelah fase leptospiremia 4-7 hari,

mikroorganisme hanya akan dapat ditemukan dalam jarigan ginjal dan okuler. Ada beberapa mekanisme yang terlibat dalam patogenese leptospirosis yaitu invasi bakteri langsung, factor inflamasi non spesifik dan reaksi imunologi.( Aru W. Sudoyo, 2006: 1823-1824)

Semua jenis leptospira dapat merusak dinding pembuluh darah kecil yang dapat menyebabkan vaskulitis yang bertanggung jawab terhadap manifestasi penting dari penyakit ini dengan disertai perembesan dan ekstravasasi sel termasuk sel darah merah. Pada kasus leptospirosis yang berat, vaskulitis dapat menganggu mikrosirkulasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang bermuara pada perembesan cairan dan hipovolemia. Setelah antibody terbentuk, leptospira umunya tereleminasi dari seluruh jaringan tubuh kecuali mata dan bagian proksimal tubulus ginjal dimana leptospira menetap untuk beberapa minggu atau bulan.dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Leptospira yang dapat masuk ke dalam cairan serebrospinalis pada fase leptospiremia akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang dapat terjadi sebagai komplikasi dari leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada organ yaitu : a.) Ginjal : dalam ginjal, leptospira akan bermigrasi ke dalam interstitum, tubulus dan lumen tubulus ginjal serta menyebabkan nefritis interstitial dan nekrosis tubuler. Intesstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal.tubular nekrosis akut dapat menyebabkan gagal ginjal. Adapun beberapa peranan seperti nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme dapat juga menimbulkan kerusakan pada ginjal. b.) Hati : Hati menunjukan nekrosis sentilobuler fokal dengan inflitrasi sel limfosit fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestatis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar yang biasaya organism ini terdapat diantara sel-sel parenkim. c.) Jantung : beberapa dapat terlibat sperti epikardium, endokardium dan miokardium. Kelain pada miokardium dapat fokal atau difus berupa

interstitial edema dengan inflitrasi sel monokuler dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan inflitrasi neutrofil yang dapat menyebabkan pendarahan pada miokardium dan endokarditis. d.) Otot Rangka : Pada otot rangka terjadi perubahan-perubahan berupa local nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira sidebakan oleh invasi langsung dari leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot. e.) Mata : Leptospira dapat masuk ke dalam ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan dapat bertahan beberpa bulan walupun antibody yang terbentuk cukup tinggi namun hal ini dapat menyebabkan uveitis. f.) Pembuluh Darah : Di dalam pembuluh darah terjadi perobahan akibat

terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan pendarahan. Hal ini sering ditemukan pendarahan/pteki pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan pendarahan bawah kulit. g.) Susunan Saraf Pusat : leptospira dapat dengan mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal( CSS) dan dapat dikaitkan dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respn antibody bukan disaat memasuki CSS. Hal ini diduga karena meningitis diperantarai oleh mekanisme imunologis sehingga terjadi penebalan meninges dengan sedikit peningkatan sel monokuler araknoid. Meningitis yang tejadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebakan oleh Leptospira Canicola. h.) Weil Disease: Weil Disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus, biasanya terjadi dengan disertai kontinua. Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus pada leptospirosis. Penyebabnya adalah serotype icterohaemorragica yang pernah juga dilaporkan oleh serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran kliniks bervariasi dapat berupa gangguan renal, hepatic dan disfungsi vascular.

2.) Penularan secara tidak langsung dapat terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan daluran air dan lumpur yang tercemar oleh urin hewan. Factorfaktor resiko yaitu : a.) kontak dengan air yang terkontaminasi kuman Leptospira/ urin tikus saat banjir. b.) pekerjaan tukang perahu, rakit bamboo, pemulung. c.) mencuci / mandi di sungai/ danau d.) tukang kebun/ pekerja di perkebunan. e.) petani tanpa alas kaki di sawah. f.) pembersih selokan g.) pekerja tambang h.) pemancing ikan, pekerja tambak udang/ ikan air tawar i.) anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan j.) petugas kebersihan di rumah sakit dan para medis juga dianggap mempunyai resiko tinggi terhadap penularan kuman leptospira.
Kelompok pekerjaan Petani dan peternak Tukang potong hewan Penangkap/ penjerat hewan Dokter/ mantri hewan Penebang kayu Pekerja selokan Pekerja perkebunan kelompok aktivitas - berenang disungai - bersampan - kemping - berburu - kegiatan di hutan kelompok lingkungan - anjing piaraan - ternak - genangan air hujan - lingkungan tikus - banjir

Gambar 3. Resiko Penluaran Leptospirosis

2.4 Manifestasi Kliniks Manifestasi Kliniks pada leptospirosis dapat berkaitan dengan penyakt febril umum dan tidak cukup khas untuk menegakkan diagnosis sehingga dapat mengakibatkan leptospirosis pada awalnya seringkalin salah didiagnosis sebagai meningitis atau hepatitis. Secara khas penyakit ini bersifat bifasik, dengan fase leptospiremik yang dapat diikuti dengan fase leptospirurik. Tida system organ yang paling sering terkena adalah susuan saraf pusat, ginjal dan hati. Setelah masa inkubasi rata-rata 1-2 minggu, fase leptospiremik yang akut ditandai dengan timbulnya demam secara mendadak, nyeri kepala yang hebat, nyeri otot dan nausea. Gejala ini bertahan selama kira-kira 7 hari. Kemudian bakteri tersebut akan menetap di dalam organ parenkimatosa ( terutama di hati dan ginjal ) yang meyebabkan perdarahan serta nekrosis jaringan, sehingga

mengakibatkan disfungsi pada organ tersebut seperti ikterus, perdarahan dan retensi nitrogen. Setelah mula-mula terjadi perbaikan, timbul fase ke 2 ketika titer antobodi IgM meningkat. Pada fase ke 2 ini seringkali bermanifestasi sebagai meningitis aseptic dengan nyeri kepala yang hebat, kaku kuduk, dan pleositosis pada cairan serebrospinal. Nefritis dan hepatitis mungkin akan kambuh dan mungkin terdapat lesi pada kulit, otot dan mata. Dengan timbulnya antibody antileptospiral, fase akut akan mereda dan bakteri Leptospira tidak lagi dapat diisolasi dari darah. Pada fase leptospirurik yang merupaka fase imun, terjadi setelah masa aimtomatik beberapa hari ( 4-30 hari, kadang lebih lama). Pada awal fase ini leptospira menghilang dari darah dan cairan serebrospinal, tetapi masih dapat ditemukan dalam ginjaln, urin dan aqueous humor. Fase ini ditandai oleh adanya antibody yang ebredar dan timbulnya muveitis, ruam kulit dan pada kasus berat kelainan hati serta ginjal. Pada kasus ikterik kadangkadang dapat diisolasi leptospira dari darah selama 24-48 jam setelah timbulnya ikterus. Fase ini ditadnai dengan demam yang lebih singkat serta keterlibatan Susana saraf pusat( gejala meningitis). Bakteri Leptosira ditemukan di dalam urin pada fase

ini dan dilepaskan selama masa yang bervariasi, bergantung pada hospes. Bentuk leptospirosis yang lebih berat seringkali berkaitan dengan infeksi serotype icterohemorragiae dan seringkali disebut sebagai penyakit Weil. Derajat dan penyebaran organ yang terkena berbeda-beda pada berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh Leptospira di berbagai bagian dunia. Banyak diantara infeksi itu bersifat ringan atau subklinik. Hepatitis sering terdapat pada penderita leptospirosis dan seringkali berkaitan dengan peningkatan keratin fosfokinase di dalam serum, sedangkan pada hepatitis virus, enzim tersebut berada dalam kadar normal. Keterlibatan ginjal pada berbagai spesies hewan bersifat menahun yang akan mengakibatkan sejumlah besar leptospira ke dalam urin. Hal ini mungkin merupakan sumber utamany kontaminasi dan infeksi pada manusia. Gejala klinik yang paling menarik pada leptospirosis yang berat adlah hgangguan fungsi hati dan fungsi ginjal yang progresif. Gagal ginjal merupakan penyebab kematian yang paling umum. Tidak adanya kerusakan sel yang cukup besar pada leptospirosis dicerminka pada pemulihan sempurna dari fungsi hati dan fungsi ginjal pada penderita sembuh. Meskipun abortus spontan sering terjadi pada ternak sapid an babi, baru-baru belakangan ini dilaporkan kasus leptospirosis kogentina yang fatal terdapat pada manusia. Kerusakan hati tampaknya bersifat subselular dan leptospira jarang terlibat pada hati. Kelainan fungsi ginjal mungkin bersifat berat dan tidak sebanding dengan perubahan hitologik yang terlihat pada ginjal. Gagal ginjal terutama diakibatkan oleh kerusakan pada tuuli dan lepospira umunya terlihat di dalam lumen tubuli. Penyebab utama lesi tubular tampaknya adalah hipoksemua atau efek toksik langsung dari leptospira. Perubahan inflamatorik pada ginjal dapat terligat pada stadium lanjut pada perjalanan lesi ginjal. Sedikitnya pada satu kasus perubahan tersebut terkait dengan kompleks imun yang beredar dan deposisi( peletakan) komponen komplemen serta badan padat electron ( electron-dense bodies) didalam glomerulus yang menunjukkan kemungkinan adanya glomerulonefritis akibat

kompleks imun. Hipovolemia dan hipotensi yang disebabkan oleh kehilangan volume intravaskuler akibat kerusakan endotel, mungkin turut menyebabkan gagal ginjal. Leptospirosis subkliniks terjadi paling sering diantara orang yang terpapar dngan hewan terinfeksi. Bukti serelogik adanya infksi ditemukan pada sekitar 15% pekerja rumah jagal, pekerja usaha pengemasan, serta pada dokter hewan. Diantara penderita leptospirosis. 90% mengalami bentuk penyakit anikterik yang lebih ringan, sedangkan 5-10% menderita leptospirosis berat disertai ikterus ( Weils Disease).

2.4.1 Fase Leptospiremic/septicemic Phase Fase pertama leptopirosis disebut sebagai fase septicemic atau leptospiremic sebab dalam fase ini mikro-organisme dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan. Selama fase yang berakhir sekitar 47 hari ini pasien menunjukkan gejala tidak spesifik seperti penyakit influenza akut yang ditandai dengan demam, mengigil, nyeri kepala, mual, muntah dan mialgia dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Manifestasi penting dari infeksi leptspira adalah nyeri otot yang terutama menyerang otot betis, punggung dan otot perut. Manifestasi lain yang dapat menyertai adalah nyeri menelan dan rash. Paseien umunya mengalamu nyeri kepala hebat di daerah frontal atau preorbital yang kadang-kadang disertai fotofobia. Gangguan mental berupa confusion dan gangguan pulmonal berupa batuk dan nyeri dada dapt pula menyertai infeksi leptospira. Pasien umunya dapat mengemukakan dengan jelas kapan onset keluhan dan gejala dimulai.

2.4.2 Fase immune/ Leptospiruric Phase Fase ini disebut fase immune atau Leptospiruric sebab antibody dapat terdetekso dalam sirkulasi atau mikro-organisme dapat diisolasi dari urin, namun tidak dapat ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini muncul sebagai konsekwensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan berakhir

dalam waktu 0-30 hari atau lebih. Dengan kata lain, awal dari fase imun ini sejalan dengan pembentukan antibody. Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala pada fase pertama( fase leptospiremic). Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa hari namun ditemukan juga sejumlah kasus dengan gejala penyakit yang bertahan sampai beberapa minggu. Demam dan mailgia pada fase ke 2 ini biasanya tidak begitu menonjol( parah) seperti demam dan mialgia pada fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan mengalami nyeri kepala hebat yang nyaris tidak dapat dikontrol dengan preparat analgesic. Nyeri kepala ini seringkali merupakan pertanda awal dari meningitis. Anicteric Disease( meningitis aseptic) merupakan gejala kliniks paling utama yang menandai fase immune anicteric. Gejala dan keluhan meningeal ditemukan pada sekitar 50% pasien namun cairan serebrospinalis yang pleiositosis ditemukan pada sebagian besa pasien. Kelumpuhan syaraf cranial, ensefalitis dan perubahan kesadaran lebih jarang ditemukan. Gejala menigeal umumnya menghilang dalam beberapa hari atau dapat pula menetap sampai beberapa minggu, sementara gejala pleositosis umumnya menghilang dalam 2 minggu atau menetap sampai beberapa bulan. Meningitis asepis ini lebih banyak dialami oleh kasus anak-anak dibandingkan dengan kasus dewasa. Mortalitas pada anicteric leptospirosis sangat jarang meskipun kematian akibat hemoragia pulmoner ditemukan pada 2.4% kasus saat kejadian luar biasa di china pada tahun 1999. Icteric disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang ditemukan pada icteric disease ini adalah nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada 30% kasus), hepatosplenomegali, mual, muntah dan anoreksia. Uveitis ( ditemukan pada 2-10% kasus) dapat ditemukan pada fase awal atau fase lanjut dari penyakit ( dilaporkan dapat terjadi 1 tahun setelah awal penyakit). Gejala iritis, iridosiklitis dan khorioretintits ( komplikasi lambat yang dapat menetap selama

beberapa tahun) dapat muncul pada minggu ketiga namun dapat pula muncul beberapa bulan setelah awal penyakit. Komplikasi mata yang paling sering ditemukan ( 92% pada kasus) adalah hemoragia subconjuctival, bahkan leptospira mungkin ditemukan dalam cairan aqueous. Keluhan dan gejala gangguan ginjal seperti azotemia, piuria, hematuria, proteinuria dan oliguria ditemukan pada 50% kasus leptospirosis. Leptospirosis dapat pula ditemukan dalam ginjal. Manifestasi paru ditemukan pada 20-70% kasus. Selain itu, adenopati, bercak kemerahan dan nyeri otot juga dapat ditemukan.

Gambar 4. Hemorragia subconjuctival

2.4.3 Severe Leptospirosis ( Weils Syndrome) Sindroma Weil merupakan bentuk leptospirosis yang paling parah. Sindroma ini ditandai oleh warna kekuningan( jaundice) yang hebat, disfungsi renal, nekrosis hepatis, disfungsi pulmoner dan diathesis hemoragika. Angka kematian pada sindroma Weil ditemukan sebesar 5-15% terutama pada pasien lanjut usia ( WHO, 2003) . Sindroma ini biasanya terjadi pada akhir fase pertama dan mencapai puncaknya pada fase ke-2, namun kondisi pasien dapat berubah secara tiba-tiba setiap saat ( seringkali transisi antara fase tidak berlangsung secara jelas). Demam hebat

mungkin ditemukan selama fase ke -2. Criteria untuk menentukan kasus mana yang menuju kepada sindroma Weil tidak diketahui secara pasti. Onset penyakit ini tidak berbeda dengan onset leptospirosis yang lebih ringan namun stetelah 4-9 hari, warna kekuningan, disfungsi renal dan vaskuler mulai muncul. Warna kekuningan pada Weils syndrome dapat sangat menonjol( meskipun tidak ada kaitannya dengan nekrosis hati) dan memberikan nuansa orange pada kulit. Pasien dengan warna kekuningan yang hebat sering berkembang menuju kegagalan fungsi ginjal, perdarahan dan kolaps kardiovaskuler, kematian jarang sekali disebabkan oleh kegagalan fungsi hati. Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukkan hepatomegali yang teraba lunak pada kuadran kanan atas dan pada 20% kasus ditemukan pembesaran limpa. Kegagalan ginjal yang terjadi umumnya ditemukan dalam minggu ke-2 penyakit. Hipovolemia dan penurunan perfusi ginjal member urunan dalam terjadinya nekrosis tubuler akut dengan oliguria dan anuria. Upaya perbaikkan fungsi ginjal kadang-kadang membutuhkan tindakan dialysis meskipun pada sejumlah besar kasus fungsi ginjal dapat diperbaiki tanpa dialysis. Apabila dapat diatasi maka pasien akan sembuh dan fungsi ginjal umumnya dapat kembali normal. Pada kelompok pasien tertentu, munculnya gejala pulmoner justru merupakan manifestasi utama. Manifestasi pulmoner ini ditandai oleh batuk, sesak nafas, nyeri dada, dahak berdarah, kadang-kadang batuk darah atau bahkan kegagalan system pernafasan. Manifestasi perdarahan lain yang jarang ditemkan adalah perdarahan saluran percernaan makanan, adrenal atau sub-arachnoid. Manifestasi lain yang pernah dilaporkan selama fase parah leptospirosis adalah rhabdomyolisis, hemolisis, miokarditis, perikarditis, gagal jantung kongestif, syok kardiogenil, ARDS( adult respiratory distress syndrome), MOF ( multi organ failure). Syndrome kliniks sebagaimana dikemukakan di depan tidak merupakan sindroma yang khas diakibatkan oleh infeksi serotipe tertentu meskipun beberapa manifestasi kliniks mnglkin lebih sering ditemukkan sebagai akibat infeksi serotype tertentu. Seringkali serovar tertentu merujuk secara lebih khusus pada

beberapa manifestasi klinik namun setiap serovar dapat pula memberikan keluhan dan gejala yang timbul pada penyakit ini. Contoh : warna kekuningan Nampak pada 80% pasien yang terinfeksi oleh L.icterohaemorragoae dan pada 30% paseien yang terinfeksi oleh L. Pomona. Bercak kemerahan preorbital yang khas ditemukan pada paseien dengan infeksi L.autumnalis, gejala gangguan saluran pencernaan ditemukan lebih dominan pada pasien yang terinfeksi L.pomona atau L.canicola. Leptospirosis dapat hadir dengan disertai bercak makuler atau makulopapuler, nyeri perut yang dapat dikacaukan dengan apendiksitis atau pembesaran menyeluruh dari kelenjar limfoid yang menyerupai infeksi

mononucleosis. Selain itu leptospirosis juga dapat muncul sebagai meningitis aseptic, ensefalitis atau sebagai FUO ( fever of unknown origin). Kehadiran leptospirosis harus dipertimbangkan jika pasien mengalami sindroma menyerupai penyakit influenza disertai dengan meningitis aseptic atau disproportionately severe myalgia. Temuan paling sering pada pemeriksaan fisik pada fase pertama adalah adanya demam disertai conjuctival suffusion sedang kelemahan otot, limfadenopati, kemerahan pada farings, hepatomegali dan splenomegali lebih jarang ditemukan . bercak kemerahan (rash) mungkin berbentuk makuler, makulopapuler, eritematus, urtikaria atau hemoragis. Temuan pemeriksaan fisik pada fase ke -2 tergantung pada organ yang terserang penyakit ini. Pada fase ini secara umum dapat ditemukan adenopati, bercak kemerahan, demam, perdarahan, tanda-tanda

hipovolemia atau syok kardiogenik.

Gambar 5. Bercak kemerahan ( RASH)

Pada icteric disease dapat ditemukan jaundice, heparomegali, nyeri perut( abdominal tenderness), tanda-tanda koagulopati. Gangguan paru ditandai oleh batuk, batuk darah, sesak nafas. Gangguan neurologis ditandai oleh kelemahan

syaraf cranial, confussion, perubahan kesadaran, delirium dan tanda-tanda lain dari meningitis. Gangguan pada mata berupa perdarahan subconjunctival, uveitis, tandatanda iridosiklitis atau khorioretinitis. Gangguan hepatologis berupa pendarahan, petechiae, purpura, nyeri perut( abdominal tenderness) dan gangguan jantung ditandai oleh gejala gagal jantung kongestif, perikarditis.( Djunaedi, 2007:25-30)

2.5 Diagnosis Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit, dikarenakan pasien datang dengan keluhan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, demam yang tidak diketahui asalnya dan diatetesis hemoragik, bahkan beberapa kasus datang sebagai pancreatitis. Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan, apakah termasuk kelompok resiko tinggi. Gejala/ keluhan didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama di bagian frontal, nyeri otot, mata merah/ fotobia, mual atau muntah. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam. Bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bias dijumpai lekositosis, normal atau sedikit menurun disertai gambaran neutrpfilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai protein uria, leukosituria dan torak( cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, Ureum dan kreatinin juga bias meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnose pasti dapat dengan cara isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi.( Aru W. Sudoyo, 2006 : 1825) Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan dugaan leptospirosis umumnya dikerjakan dengan melakukan kultur, pemeriksaan MAT, dan pemeriksaan radiologis apabila diperlukan.

1.) Kultur Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal hanya pada 10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya dijumpai di dalam urin selama minggu ke-2, dan kadang-kadang dari specimen biopsy berbagai jaringan. Media Fletcher dan media Tween 80-albumin merupakan media semisolid yang bermanfaat pada isolasi primer Leptospira. Media Tween 80-albumin kini tersedia secara kormesial dan mungkin merupakan media yang terbaik. Satu sampai tiga tetes specimen yang akan dibiakkan harus ditambahkan pada 3-5 Ml media biakan. Biakan diinkubasi selama 5-6 minggu pada suhu 28-30 c dalam keadaan gelap Pada media semisolid, Leptospira tumbuh dalam cincin ( lingkaran) yang padat 0,5-1 cm di bawah permukaan media, dan biasanya ta,pal 6-14 hari setelah inokulasi( setelah ditanam). Harus dilakukan biakan multiple, sedangkan jenis bahan yang dibiakkan bergantung pad fase penyakit. Leptospira tetap hidup pada darah yang diberi antikoagulan selama 11 hari, maka speciment dapat dikirim melalui pos ke laboratrium rujukan untuk dibiakkan. Jangan menggunakan sitrat sebagai antikoahgulan, karena bersifat toksik terhadap Leptospira. P penambahan obat antibakteri ( neosimin, vankomisin, basitrasin, 5-FU, sulfonamide, sikloheksimida) ke media biakkan atau inokulasi bahan klinik secara intraperintoneal pada hamster, kadang-kadang memudahkan isolasi Lpetospira dari urin atau specimen lainnya yang secara potnsial tercemar. Baru-baru ini dideskripsikan suatu metode radiometric untuk mendeteksi organism Leptospira secara cepat dengan menggunakan system BACTEC 460( Johnston Laboratories). Dengan system ini, organism Leptospira dideteksi pada darah manusia hanya setelah inkubasi 2-5 hari.( Sylvia Y.Muliawan,2008;74)

2.) Microscopic Agglutination Test ( MAT) Peningkatan titer sebesar 4x lipat pada fase konvalesens perlu dipertimbangkan sebagai hasil positif. Diagnose dugaan dapat dibuat melalui observasi titer antibody yang lebih besar daripada atau sama dengan 1:100 dalam MAT dihubungkan dengan keluhan yang konsisten dengan penyakit leptospirosis. MAT dikerjakan dengan emnggunakan strain leptospira hidup.

3.) Microscopic Slide Agglutination Test Test microscopic slide agglutination bermuara pada diagnosis dugaan. Untuk mendukung diagnosis , maka secara kliniks penyakit harus menunjukkan keluhan dan gejala yang konsisten dengan leptospirosis. Test ini yang memanfaatkan antigen mati, berguna untuk screen-ing tapi tidak spesifik. Uji laboratorium lain yang dapat digunakan unuk membantu menetapkan diagnosis adalah indirect hemagglutination test, microcapsule agglutination test, immunoglobulin M(IgM) enzyme-linked immunoabsorbent assay ( ELISA) dan pemeriksaan dark-field darah atau urin. Belakangan test komersial cepat telah tersedia seperti Dip-S-Ticks yang mampu mendeteksi antibody leptospira. Tes ELISA menggunakan broadly reactive antigen dan merupakan standar prosedur serologis sebagaimana halnya MAT. Oleh karena tes tersebut mendeteksi IgM maka bermanfaat untuk emndiagnosis kehadiran infeksi baru dalam 3-5 hari

4.) Laboratory Studies( General) Pada kasus ringan ditemukan peningkatan laju endap eritrosit dan hitung leukosit perifer sebesar 3.000-26.000 x 10 9/L D dengan pergeseran ke kiri. Aminotransferase mungin ditemukan sedikit meningkat( diatas 200 U/L), bilirubin serum dan fosfatase alkalin mungkin juga meningkat sedangkan analisis urin menunjukkan gambaran proteinuria dengan leukosit, ertrosit,

torak hialin dan torak granuler dalam sedimen. Pada cairan serebrospinal, apabila terdapat gangguan system saraf sentral, emnunjukkan gambaran leukositosis polimorfonuklear pada awal penyakit untuk kemudian diganti oleh sel monosit. Protein cairan serebrospinal mungkin normal atau meningkat semetara level glukosa tetap normal. Dan pada tekanan dalam cairan serebrospinalis ditemukan dalam tahap normal , namun pungsi lumbal dapt menimbulkan nyeri kepala. 5.) Laboratories Studies ( Weils Disease) Pasien dapat menampilkan trombositopenia ringan ( ditemukan pada 50% kasus) yang sering kali disertai degan gagal ginjal. Karakteristik lain yang prominen untuk Weils diasease adalah azotema dan gagal ginjal. Pada leukositosis hebat dan waktu protombin yang meningkat mungkin dapat ditemukan. Selain itu, CPK (Creatine Phosphokinase) juga ditemukan meningkat pada 50% pasien dan warna kekuningan akut berkaitan dengan nilai CPK yang sangat tinggi tapi transaminase hanya meningkat sedang.

6.) Imaging Studies dan Electrocardiographic Test Pada penyakit parah, patcy alveolar pattern dapat nampak pada pemeriksaan radiografis paru dan hal tersebut berkaitan dengan pendarahan alveolar. Sebagian besar perubahan radiografis terjadi dalam bagian perifer lobus bawah. Kelainan ECG( electrocardiograpic) sering ditemukan selama fase leptospiremia dari syndrome Weil. Sedangkan pada kasus parah, dapat terjadi gambaran gagal jantung kongestif dan syok kardiogenik.( Djunaedi, 2007 : 30-33)

Gambar 6. Kriteria WHO oleh Feine untuk diagnosa Leptospirosis

Daftar pertanyaan A. Jenis gejala dan laboratorium Sakit kepala mendadak Conjunctival suffusion bilateral Demam Bila Demam> 38 c Meningismus Nyeri otot terutama betis Meningismus, konjunctival bersamaan Ikterik nyeri otot dan suffusion secara

Jawaban

Nilai

Ya/ Tidak Ya/ Tidak Ya/ Tidak Ya/ Tidak Ya/ Tidak Ya/ Tidak Ya/ Tidak

2/0 4/0 2/0 2/0 4/0 4/0 10/0

Ya/ Tidak Ya/ Tidak Ya/ Tidak

1/0 2/0 10/0

Albuminuria atau azotemia B. Factor epidemiologi seperti riwayat kontak binatang ke hutan,rekreasi, tempat kerja atau diduga atau diketahui kontak dengan air yang terkontaminasi Serologi( +) didaerah endemik Single (+) titer rendah Single (+) titer tinggi Pair sera, titer menigkat Serologi (+) bukan daerah endemik Single (+) titer rendah Single (+) titer tinggi Pair sera, titer menigkat

C.

2/0 Ya/ Tidak Ya/ Tidak Ya/ Tidak 10/0 25/0

Ya/ Tidak Ya/ Tidak Ya/ Tidak

5/0 15/0 25/0

Keterangan : Berdasarkan kriteria di bawah, leptospirosis dapat ditegakkan bila jumlah A+B >25, atau A+B+C >25 disebut presumptive leptospirosis; dan bila A+B nilai antara 20-25 disebut suggestive leptospirosis.

2.6 Pencegahan Upaya upaya yang dapat dilakukan untuk mencengah

terjangkitnya Leptosirosis dapat dilakukan dengan cara melakukan control terhadap sumber infeksi melalui pemeliharaan kebersihan, imunisasi dan perawatan hewan. Dengan cara memperlajari penyebab dan cara penularannya maka kita dapat melakukan cara-cara pencengahan : 1.) Melakukan kebersihan individu ( personal hygiene): a.) Usaha-usaha yang dapat dianjurkan antara lain dengan: mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja. b.) Saat banjir biasakan memakai sepatu boot untuk melalui air banjir. Ini dianjurkan untuk emngurangi kemungkinan masuknya bakteri jika ada luka di kaki. c.) Mengenakan sarung tangan pada saat melakukan tindakan higenil saat kontak dengan urin hean, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit. d.) Mencuci luka dengan cairan antiseptic dan ditutup dengan plester kedap air. e.) Mandi dengan sabun antiseptic setelah terpajan percikan urin, tanah dan air yang terkontaminasi. f.) Memakain pelindung kerja ( sepatu, sarung tangan, pelindung mata, masker)

2.) Melakukan sanitasi lingkungan dan rumah. a.) Rajin membersihkan lantai dengan menggunakan cairan yang

mengandung anti kuman( desinfektan) untuk mengepel. b.) Segera membersihkan genangan air. Air yng menggenang dan terkena urin tikus bias menyimpan bakteri Leptospirosis. c.) Selalu menutup makanan di meja untuk menghindari datangnya tikus.

d.) Sediakan jebakan tikus berupa lem tikus, racun tikus atau perangkap biasa. Hal ini bias mengurangi populasi tikus di dalam rumah. 3.) Melakukan pencengahan terhadap sumber infeksi. a.) Melakukan tindakan isolasi hewan yang terinfeksi ( sapi, babi, anjing) b.) Memberikan antibiotic pada hewan yang terinfeksi sepeti penisilin, ampisillin agar tidak menjadi karier kumam leptospira. Dosis dan cara pemberian berbeda-beda tergantung jenis hewan yang terinfeksi. c.) Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus dan pemasanagan jebakan. d.) Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum dengan membangun gudang makanan penyimpanan/. Hasil pertanian, sumber penampungsn sir dan perkarangan yang kedap tikus dan dengan membuang sisa makanan serta sampah jauh dari jangkaun tikus. 4.) Upaya Edukasi a.) Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara-cara edukasi oleh karena itu setiap program edukasi harus melibatkan profesi kesehatan, dokter hewan dan kelompok lembaga social masyarakat yang terlibat. Edukasi pada tenaga kesehatan maupun masyarakat umum mengenai perkembangan terbaru leptospirosis di daerah masing-masing harus selalu diberikan melalui penyuluhan dengan tatap muka langsung, seminar di rumah sakit, maupun secara tidak alngsung melalui sebaran media massa dan media elektronik.pendidikan masyrakat lusas sangat berpeeran untuk identifikasi faktoe resiko, pencengahan penyakit, mengurangi lama sakit dan tingkat keparahan penyakut, melalui pengealan gejala leptosirosis dan kesadaran untuk berobat. b.) Memberikan selebaran ke klinik kesehatan, departemen pertanian yang didalamnya diuraikan mengenai penyakit leptospirosis, kriteria

menegakkan diagnosis dan cara mencengah pajanan. ( Anies, 2006)

5.) Melakukan vaksinasi Melakukan vaksinasi untuk hewan ternak dan hewan kesayangan guna meningkatkan kekebalan merupakan salah satu cara yang cukup efektif. Meskipun vaksinasi tidak mencengah atau mengobati infeksi tetapi dapat mengurangi pengeluaran Leptospira melalui urin. Untuk hewan yang terinfeksi Leptospira, pemberian antibiotic efesien dapat digunakan untuk mempersingkat durasi penyakit, mengurangi penularan dan menurunkan kerusakan hati dan ginjal.

BAB III SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa leptospirosis adalah penyakit menular yang dapat menginfeksi hewan dan manusia. Hewan ternak, hewan peliharaan dan tikus dapat menjadi sumber penularan leptospirosis melalui urin hewan yang telah terinfeksi bakteri leptospira. Beberapa serovar berhubungan dengan binatang tertentu seperti L. icterohaemoragiae/ copenhageni dengan tikus, L. grippotyphosa dengan voles( sejenin tikus), L. hardjo dengan sapi, L. canicola dengan anjing dan L. Pomona dengan babi. Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperature adalah factor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptosipra, sedangkan daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan. Pencengahan/ pengendalian leptospirosis dapat dilakukan dengan cara memutus siklus penularan melalui pengobatan dan vaksinasi bagi ternak atau hewan kesayangan, mengurangi populasi tikus dan meningkatkan sanitasi lingkungan. Dalam upaya pencengahan

leptospirosis pada manusia memerlukan aktivitas terintegrasi antara dokter hewan dan dokter dan peningkatan pengetahuan serta pemahaman masyarakat tentang bahaya leptospirosis.

3.2 Saran Sebagai upaya untuk mencengah, menghambat bakteri penyebab leptospirosis ini maka disarankan bagi semua anggota masyarakat agar ikut berpartisipasi dengan cara melakukan.

a.) Kebersihan individu( personal hygiene) terutama yang tinggal di daerah banjir. b.) Sanitasi lingkungan c.) Melakukan pemeliharaan hewan-hewan dengan baik guna melindungi masyarakat dri infeksi bakteri Leptospira d.) Melakukan pendidikan kesehatan ( health education) mengenai bahaya serat cara penularan penyakit yang berperan dalam pencengahan penyakit Leptospirosis.

DAFTAR PUSTAKA
Anies, 2006. Seri lingkungan dan Penyakit Manajemen Berbasis lingkungan, Solusi mencengah dan Menanggulangi Penyakit Menular, Jakarta. PT Elex Media Komputindo

Djunaedi, Djoni. 2007. Kapita Selekta, Penyakit Infeksi, Malang. UPT Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang Faine.S. 1999. Leptospira and Leptospirosis 2nd eds. Melbourne,Australia

Levett, P.N. 2001,Leptospirosis. Clinical Microbiol Review. 14(2) : 296-326

Soeharsono. 2006. Zoonosis, Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta. Konisius Yogyajakarta

World

Health

Organization.

Leptospirosis.

Ditelusuri

dari:

http://www.who.int/zoonoses/diseases/leptospirosis/en/ (diakses 25 Oktober 2010) Okatini M., Purwana R., dan Djaja IM. Hubungan Faktor Lingkungan dan Karakteristik Individu Terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis di Jakarta, 20032005

W. Sudoyo, Aru (Eds.) 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jilid III. Jakarta: Interna Publishing Y. Muliawan, Sylvia. 2008. Bakteri Spiral Patogen. Jakarta, Penerbit Erlangga

Anda mungkin juga menyukai