Anda di halaman 1dari 21

USULAN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENGUATAN OTONOMI KHUSUS BERBASIS INTEGRATED LOCAL WISDOM SEBAGAI LANGKAH INTEGRASI ORGANISASI

PAPUA MERDEKA DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA BIDANG KEGIATAN: PKM GT Diusulkan oleh: Esti Puspitaningrum Eka Nurjanah Nabella Rizki Al Fitri E0012135 (2012) E0012129 (2012) E0011211 (2011)

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013

ii

KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kemudahan yang telah diberikan dalam menyelesaikan program krestivitas mahasiswa yang berjudul Penguatan Otonomi Khusus Berbasis Integrated Local Wisdom Sebagai Langkah Integrasi Organisasi Papua Merdeka dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini merupakan hasil akumulasi dari kerja keras penulis sebagai bentuk realisasi dari hasil cipta, rasa, dan karsa penulis yang inovatif dalam berkreasi. Proses terselesaikannya penyusunan ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang turut membantu. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Ibu Prof. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan izin dan sarana kepada penulis dalam penyusunan ini; 2. Ibu Adriana Grahani Firdausy, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan ini; 3. Kedua orang tua penulis yang selalu mendoakan dan memberi semangat dalam penyusunan ini; dan 4. Semua pihak yang turut berkontribusi dalam penyusunan ini yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu. Akhirnya penulis menyadari ketidaksempurnaan yang dimiliki, oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan, demi terwujudnya tulisan yang lebih baik di masa mendatang. Semoga dari gagasan yang penulis tuangkan ini dapat memberi manfaat bagi kemajuan bangsa dan negara, aamiin.

Surakarta, 21 Maret 2013

Penulis

iii

DAFTAR ISI Halaman Judul......................................................................................................i Lembar Pengesahan............................................................................................ii Kata Pengantar...................................................................................................iii Daftar Isi.............................................................................................................iv Ringkasan............................................................................................................v PENDAHULUAN Latar Belakang................................................................................................1 Tujuan dan Manfaat Penulisan.......................................................................2 GAGASAN Kondisi Kekinian Pencetusan Gagasan..........................................................2 Solusi yang Pernah Diterapkan Sebelumnya..................................................4 Otonomi Khusus Berbasis Integrated Local Wisdom bagi Papua...............................................................................................................6 Pihak-Pihak yang Membantu dalam Mengimplementasikan Gagasan..........8 Langkah-Langkah Strategis yang Harus Dilakukan.......................................9 KESIMPULAN Otonomi Khusus Berbasis Integrated Local Wisdom: Langkah Integrasi OPM dalam Bingkai NKRI.........................................................................11 Teknik Implementasi Otonomi Khusus Berbasis Integrated Local Wisdom.........................................................................................................12 Prediksi Keberhasilan Gagasan....................................................................13 Daftar Pustaka...................................................................................................13 Daftar Riwayat Hidup Penulis...........................................................................14

iv

RINGKASAN Penulisan gagasan ini berangkat dari sebuah keprihatinan yang mendalam mengenai kekacauan kondisi persatuan NKRI yang disebabkan oleh berlarutnya konflik Papua yang dimotori oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Penting kiranya untuk mengetahui sumber-sumber konflik Papua, karena dengan cara yang demikian akan mudah pula untuk menemukan sebuah formulasi penyelesaian konflik yang tepat sasaran. Salah satu faktor munculnya konflik Papua adalah kondisi orang Papua yang semakin terasingkan di tanahnya sendiri dalam berbagai lini kehidupan. Ironis memang, ketika seorang tuan rumah mati kelaparan di tanahnya sendiri yang begitu kaya. Marjinalisasi ini membuat orang Papua berupaya bangkit untuk merebut hak atas daerahnya. Kebangkitan ini didasari semangat kedaerahan yang telah sejak lama diwarisakan oleh nenek moyang mereka berupa nilai-nilai luhur daerahnya. Otonomi khusus yang diresolusikan pemerintah di Papua pun, nyatanya tidak membawa dampak yang signifikan. Justru yang terjadi adalah otonomi khusus ini melahirkan masalah-masalah baru, seperti korupsi dan etnosentrisme. Ave Lefaan (2011) menyebutkan adanya otonomi khusus juga membawa dampak serius terhadap semakin menonjolnya praktik politik identitas yang merujuk pada etnosentrisme. Oleh karena itu berdasarkan hipotesis awal, bisa dikatakan bahwa penenonjolan sifat kedaerahan yang teraktualisasi dalam kearifan lokal masingmasing daerah di Papua ikut melandasi semangat separatis yang diakomodasi oleh OPM. Berangkat dari latar belakang ini, maka mendorong penulis untuk mencari sebuah formulasi penyelesaian konflik Papua secara efektif serta efisien dengan muara tujuan berupa pengintegrasian OPM ke dalam bingkai NKRI. Kearifan lokal yang mengandung kekayaan falsafah hidup masyarakat setempat seharusnya mampu memendekan jarak keterasingan orang Papua yang sedang terjadi tersebut. Oleh karena kearifan lokal tersebut menjelma sebagai nilai-nilai yang menjadi ruh pembangunan masyarakat Papua. Bisa dipastikan pembangunan berbasis kearifan lokal ini mampu meredam konflik-konflik yang timbul. Namun dewasa ini kearifan lokal yang merepresentasi kekhasan suatu daerah justru dijadikan sebagai pemantik semangat kedaerahan yang akhirnya berujung pada gerakan separatis. Oleh karena itu, agar kearifan lokal dapat menjadi dasar semangat pelaksanaan otonomi khusus, maka kearifan lokal harus dilengkapi sifat yang mencirikan adanya penyatuan rasa kedaerahan dalam kesatuan semangat nasionalisme. Integrated local wisdom merupakan rumusan yang selaras dengan cita-cita penyatuan semangat kedaerahan dan nasionalisme. Integrated dalam bahasa Indonesia berarti yang digabungkan. Sehingga dapat dirumuskan makna dari integrated local wisdom adalah nilai-nilai kedaerahan yang mengandung kebijaksanaan dan kebenaran yang diikuti oleh masyarakat setempat dan telah mengalami penyatuan dengan nilai-nilai kebangsaan. Adanya penyatuan dengan nilai-nilai kebangsaan ini akan mengendalikan seseorang dari keinginan untuk memisahkan diri dari kesatuan bangsanya. Pada tahapan lebih lanjut, integrated local wisdom tidak hanya terpaku pada tataran teoritis, namun merasuk pada tataran praktik otonomi khusus Papua yang sedang berlangsung dengan berbagai reformasi yang akan dilakukan disemua lini pembangunan Papua. v

vi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang OPM kembali melakukan penyerangan terhadap Tentara Nasional Indonesia (TNI) (www.kompas.com). Penyerangan ini berarti juga sebagai bentuk penyerangan terhadap kedaulatan negara, karena TNI merupakan representasi dari kedaulatan negara Indonesia. Gerakan-gerakan separatisme yang terus menerus dilancarkan oleh OPM tentu menjadi ancaman terhadap kesatuan negara. Bentuk NKRI dalam tatanan kenegaraan dan pemerintahan Indonesia menjadi harga mati bagi seluruh komponen bangsa. Peletakan rumusan ini pada pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 semakin mempertegas betapa pentingnya suatu kesatuan tanah air dari Sabang sampai Merauke dalam konstelasi Republik Indonesia. Oleh karena itu NKRI tidak menghendaki adanya usaha-usaha pemisahan diri dari satu kesatuan teritorial negara Indonesia. OPM melalui perlawanan-perlawanan fisiknya sebagai usaha memerdekakan Papua telah menimbulkan ketidakstabilitasan terhadap pertahanan dan keamanan di Papua, sehingga kondisi ini dapat memantik timbulnya konflikkonflik lain. Akumulasi dari konflik-konfilk yang ada serta perlawananperlawanan OPM akan semakin memperburuk kesatuan NKRI. Sepanjang sejarah bergabungnya Papua ke dalam Republik Indonesia sejak tahun 1963, daerah ini terus menerus menjadi titik pertumpahan darah. Berbagai catatan menunujukan bahwa kekerasan oleh aparat negara terhadap rakyat Papua terjadi sejak awal 1960-an (Camel Budiarjo dan Liem Soie Liong, 1984). Tahuntahun 1998 hingga 2006 adalah masa yang diwarnai secara dominan catatan tentang kekerasan politik, utamanya oleh aparat keamanan, baik TNI maupun polisi (Muridan S. Widjojo, 2006). Ketidakadilan, maraknya pelanggaran HAM hingga ketidaksamaan ras antara orang Papua (pengertian orang Papua merujuk pada Pasal 1 huruf t UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua) dengan orang Indonesia kebanyakan, menjadikan dalih-dalih separatisme ini semakin rumit. Hal tersebut membuat masalah Papua merdeka bukan hanya sekedar keinginan untuk sejahtera di tanahnya sendiri, namun menurut Frans Maniagasi (2001) permasalahan Papua merdeka adalah pertaruhan sebuah hak asasi politik yang menyangkut harga diri atau pride dari suatu komunitas sosial di muka bumi, yang namanya bangsa Papua. Oleh karena itu, jika pemerintah mampu mengarahkan pride tersebut kepada kepemilikan Papua dan Indonesia yang tak terpisahkan, maka akan menjadi ahrmonosasi yang berdampak positiv. Bukan berarti pemerintah Indonesia diam saja terhadap polemik yang ada tersebut. Beberapa langkah yang bertujuan untuk menghentikan gerakan OPM telah dilakukan. Salah satunya adalah dengan diakomodasikannya keinginan orang Papua untuk hidup dalam pembangunan Papua yang bernafaskan budayabudaya luhurnya. Yakni melalui pemberian otonomi khusus yang mengedapankan peran serta masyarakat Papua secara langsung. Otonomi khusus yang telah berlangsung selama sebelas tahun nyatanya belum banyak memberi kesejahteraan kepada orang Papua, sehingga belum mampu pula meredam gerakan OPM. Oleh sebab ada disintegrasi pada pelaksanaan otonomi khusus yang tidak seperti seharusnya yang diharapkan. Sebagai bukti Badan Pusat Statistik (BPS)

2 menyebutkan jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua pada tahun 2009 sebayak 760.300, tahun 2010 sebanyak 761.600, dan tahun 2011 sebanyak 944.790. Angka yang terus saja meningkat ini mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam pola pembangunan yang sedang dilakukan di Papua. Situasi konflik yang terus terjadi memperlihatkan bahwa dibutuhkannya segera suatu alat pengendali atas pelaksanaan otonomi khusus agar terhindar dari kesewenang-wenangan. Alat pengendali ini harus mampu menampung kehendak pemerintah, agar Papua tetap menjadi bagian dari NKRI, serta mampu menjaga ke-Papua-an di tanah Papua. Local wisdom yang biasa disebut dengan kearifan lokal yang memuat hikmah-hikmah kehidupan masyarakat asli dianggap mampu menjadi alat pengendali ini. Menurut ketua MPR RI, Taufiq Kiemas (www.mpr.go.id/) kearifan lokal dan kultural lokal harus dikedepankan untuk penyelesaian konflik. Di sisi lain penenonjolan kearifan lokal dapat menimbulkan fanatisme daerah yang berujung pada separatisme, sehingga diperlukan rumusan khusus mengenai bentuk kearifan lokal yang cocok guna meredam gerakan OPM. Oleh karena itu kajian mengenai penguatan kearifan lokal sebagai solusi penyelesaian konflik, termasuk konflik dengan OPM harus dilaksanakan secara mendalam, agar dalam implementasinya mampu memecahkan permasalahan dengan tepat demi mewujudkan kekokohan persatuan NKRI. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Memberi solusi penyelesaian terhadap gerakan separatis OPM melalui penguatan integrated local wisdom yang terintegrasi dalam otonomi khusus demi terwujudnya kekokohan NKRI; dan b. Memberi gambaran mengenai model penguatan keraifan lokal yang dapat dijadikan solusi penyelesaian konflik Papua demi terwujudnya kekokohan NKRI. Adapun manfaat yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi negara atas permasalahan dilihat dari sudut teori; dan b. Penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan acuan di bidang karya ilmiah dengan kajian permasalahan yang sama. GAGASAN Kondisi Kekinian Pencetusan Gagasan Otonomi khusus yang diberikan kepada Papua menjadi solusi paling kekinian guna memperpendek jarak konflik antara OPM dengan NKRI. Otonomi khusus ini dibangun guna membuka kesempatan yang sebesar-besaranya bagi putra Papua termasuk OPM untuk menjalankan perannya sebagai pelaku utama dalam pembangunan daerahnya. Hal ini terlihat dari sebagian besar pasal dalam UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang merepresentasikan kesempatan tersebut. Sebagai contoh pasal 12 mencantumkan ketentuan orang asli Papua sebagai syarat dalam pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur. Kekhususan otonomi di Papua juga terlihat dari adanya badan pemerintahan berupa Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi

3 kultural orang asli Papua. Badan ini memiliki kewenangan-kewenangan khusus di pemerintahan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Berbagai macam kekhususan yang telah diberikan dalam kewenangan otonomi khusus nyatanya belum memecahkan masalah utama, yakni peredaman gerakan separatis OPM. Ada berbagai hal yang menjadi musababnya. Hasil penelitian Tim Papua LIPI, menjelaskan bahwa sumber konflik Papua mencakup empat isu strategis sebagai berikut: sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; gagalnya pembangunan di Papua; dan marjinalisasi orang Papua. Tabel 1. Persoalan, Konteks dan Kontradiksi Narasi (Muridan S.Widjodjo dkk, 2009) Persoalan Konteks Narasi dominan Narasi tandingan (nasionalis (nasionalis Papua) Indonesia) Sejarah Peralihan Teritorial Papua Orang Papua bukan integrasi, kekuasaan dari bagian NKRI bagian dari Indonesia status politik, Belanda ke Status politik Pepera tidak sah karena dan identitas Indonesia dan sudah sah melaui tidak mempresentasikan politik perang dingin Pepera dan aspirasi rakyat Papua Resolusi PBB Integrasi=kolonialisasi Integrasi = Indonesia pembebasan dari kolonialisme Kekerasan Rezim Kekerasan = cara Kekerasan politik dan otoritarianisme untuk menjaga adalah pelanggaran orde baru dan NKRI pelanggaran HAM HAM kapitalisme internasional Kegagalan Rezim Pembangunan= Pembangunan= migrasi pembanguotoritarianisme upaya tenaga kerja dari luar nan orde baru dan modernisasi orang Papua dan marjinalisasi kapitalisme Papua orang Papua internasional Inkonsistensi Reformasi dan Otonomi khusus= Otonomi khusus kebijakan demokratisasi diletakan dalam = pelurusan sejarah otonomi konteks integrasi Papua, perlindungan khusus dan nasional dan hak-hak orang Papua, marjinalisasi pembangunan pembangunan untuk orang Papua dan rePapuanisasi Pemberian otonomi seharusnya akan semakin memperkukuh kepemilikan tanah air oleh masyarakat di daerah. Ada tiga argumentasi mendasar yang melandasi asumsi otonomi daerah memperkuat dimensi kebersamaan dalam NKRI menurut Hari Sabarno (2008), yakni: a. Otonomi daerah merupakan kebijakan dan pilihan strategis dalam rangka memelihara kebersamaan nasional di mana hakikat khas daerah tetap dipertahankan dalam wadah NKRI;

4 b. Melalui otonomi daerah pemerintah menguatkan sentra ekonomi kepada daerah dengan memberikan kesempatan daerah untu mengurusnya sendiri; dan c. Otonomi daerah akan mendorong pemantapan demokrasi politik di daerah dengan landasan desentralisasi yang dijalankan secara konsisten dan proporsional. Nyatanya pada satu sisi yang lain, pemberian kewenangan khusus untuk mengurus sendiri pemerintahannya menimbulkan suatu fanatisme daerah yang semakin memperkokoh keinginan suatu daerah untuk memisahkan diri. Pelaksanaan otonomi khusus perlu didasarkan pada konsep kearifan lokal demi kokohnya NKRI sebagaimana diargumentasikan oleh Hari Sabarno di atas. Moendardjito (2011) menyatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai kearifan lokal karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang, dengan bercirikan (a) mampu bertahan terhadap budaya luar; (b) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; (c) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli; (d) mempunyai kemampuan mengendalikan; dan (e) mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Sesungguhnya jika berpatokan pada ciri- ciri tersebut, kekhasan daerah (implikasi dari adanya kearifan lokal) tidak akan menimbulkan fanatisme daerah, namun nyatanya masih saja ada fanatisme tersebut, seperti yang terjadi di tanah Papua. Oleh karena itu perlu suatu penyatuan kearifan lokal dengan nilai-nilai nasionalisme yang mengakar pada rasa cinta tanah air. Hal inilah yang nantinya dirumuskan sebagai integrated local wisdom. Solusi yang Pernah Diterapkan Sebelumnya Konflik Papua yang terus-menerus mengancam kesatuan NKRI sepanjang sejarah, membuat pemerintah pusat mengeluarkan beberapa kebijakan yang pada awalnya diharapkan mampu menjadi pemecahan masalah atas kasus ini. Setidaknya ada dua jenis pemecahan masalah dominan yang pernah digulirkan pada konflik Papua ini. Kedua jenis pemecahan masalah tersebut, adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan militer Upaya penumpasan terhadap gerakan separatis pada masa orde baru banyak dilakukan melalui pendekatan militer. Pada konteks politik saat itu, pendekatan militer menjadi hal yang dianggap legal demi kesatuan NKRI. Oleh karena itu pergolakan konflik kekerasan pun banyak terjadi dan berakibat pula pada banyaknya pelanggaran HAM di tanah Papua. Jumlah korban yang muncul dari berbagai publikasi masih sangat spekulatif, bervariasi antara 100 ribu jiwa hingga 500 ribu jiwa. Sayangnya sampai saat ini belum ada upaya investigasi secara tuntas dan komprehensif dalam menangani pelanggaran HAM yang ada, sehingga hak-hak korban untuk mendapatkan pertanggung jawaban pun hanya sebatas angan. Hal ini disebabkan oleh logika negara yang bersifat konstruksi nasionalisme-militer. Oleh karena itu pencederaan terhadap HAM yang telah terjadi dianggap bukan termasuk pelanggaran. Pendekatan militer yang dilakukan oleh pemerintah ini, sungguh berbanding terbalik dengan kehendak masyarakat Papua. Imbasnya bukan persatuan yang diperoleh, tapi justru membuat semakin solidnya gerakan OPM untuk menentang pemerintahan Indonesia. Hal ini tidak lain dikarenakan adanya rasa ketidakpuasan orang Papua kepada Indonesia yang dianggap telah

5 merampas kemerdekaan mereka. Pendekatan militer yang bersifat represif hanya akan memperburuk citra pemerintahan di mata orang Papua, hingga dapat menimbulkan prasangka otoriter. Oleh karena pemerintahan di mata mereka hanya mau mengeruk kekayaan alam Papua, tapi setelahnya memerangi orang Papua dengan senjata. 2. Pelimpahan otonomi khusus kepada Papua Kegagalan pendekatan milter sebagai solusi menumpas gerakan OPM, membuat pemerintah merancang suatu solusi yang lebih humanis, yaitu melalui pelimpahan otonomi khusus kepada Provinsi Papua. Otonomi khusus ini sendiri merupakan permintaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR No. 4 Tahun 1999. Disebutkan dalam TAP MPR tersebut sebagai berikut integrasi bangsa dipertahankan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tetap menghargai kesetaraan dan keseragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah Otonomi Khusus yang diatur dengan undangundang. Kemudian lebih lanjut, otonomi khusus ini diregulasi dalam UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang mewakili hasil kompromi pemerintah dengan para pemimpin dan intelektual Papua dalam usahanya mencari solusi bagi berbagai permasalahan Papua secara menyeluruh. Setelah hampir sebelas tahun otonomi khusus ini dijalankan, mulailah terlihat beberapa kekacauan (error spot) yang memicu lahirnya berbagai konflik kecil serta bergejolaknya kembali OPM. Menurut Muridan S. Widjojo dkk (2006) setidakya ada empat persoalan yang mewarnai pelaksanaan otonomi khusus, yaitu sebagai berikut: 1. Dugaan adanya korupsi Dugaan adanya penyalahgunaan dana oleh pemerintahan daerah Papua dapat diinidikasi melalui beberapa kasus. Dalam laporan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Provinsi Papua tahun 2007 disebutkan bahwa MPR melakukan pemberian tunjangan dan intensif yang melebihi jumlah yang disebutkan dalam Pemendagri sebesar 400 Milyar pada tahun 2006. Pengalokasian APBD pun ditengarai terdapat penyalahgunaan yang tidak sesuai dengan peraturan pemerintah pusat. Tahun 2008 pendidikan hanya mendapatkan 4,19% dari total anggaran APBD dan hanya 30% dari sisa anggaran APBD (http://www.fokerlsmPapua.org/). Padahal ketentuan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (4) mewajibkan prioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari keseluruhan jumlah APBD. Penyalahgunaan anggaran ini tentu saja berimbas pada keberlangsungan pembangunan masyarakat Papua. Salah satunya yakni terbukti berdasarkan data BPS terlihat adanya prosentase yang tinggi mengenai penduduk miskin pada tahun 2011, yaitu 31,92% untuk Provinsi Papua Barat serta 31,98% untuk Provinsi Papua. Angka ini menempati angka terbesar pertama dan kedua se-Indonesia serta mengalami peningkatan jika dibandingkan pada tahun 2010 yang memiliki persentase 34,88% dan 36,80%. 2. Representasi orang Papua melalui MRP Persoalan ini menyangut ketidakberhasilan MRP untuk memperjuangkan aspirasi orang Papua mengenai identitas budaya mereka. Misalnya perjuangan MPR untuk menjadikan bendera bintang kejora dan simbol

6 burung mambruk menjadi bendera dan simbol budaya orang Papua ditanggapi oleh PP No. 37/2007 yang melarang penggunaan simbol-simbol separatis sebagai simbol-simbol budaya dan daerah. Kondisi ini menjadikan orang Papua merasa menjadi orang asing di tanah mereka sendiri. 3. Pemekaran Kabupaten dan Provinsi Pemekaran Provinsi dilakukan sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 45 tahun 2003 yang berisi mengenai implementasi UU No. 45 tahun 1999 yang mengatur tentang pemekaran Irian Jaya menjadi Irian Jaya Timur, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Barat. Usaha pemekaran ini dianggap kurang tepat diberlakukan pada saat itu. Kondisi sumber daya manusia serta fasilitas yang belum siap menjadi kendala utama. Selain itu usaha pemekaran ini dianggap dapat memecah belah orang Papua. 4. Konflik antar umat beragama Konflik-konflik kecil yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh antar umat beragama, namun juga antar suku. Seperti yang terjadi pada tanggal Selasa, 10 Juli 2012 yang melibatkan warga suku Dani dan suku Ekari atau yang terjadi juga pada Selasa, 24 juli 2012 antara warga kampung Amole dengan kampung Harapan (http://news.okezone.com/). Konflik-konflik yang berlatarbelakang suku, ras, dan agama (SARA) pun sering terjadi. Konflik-konflik ini merupakan akumulasi dari ketidakstabitan keamanan di Papua pasca perlawanan OPM. Otonomi khusus mempertajam penonjolan sifat kedaerahan yang berujung pada gerkan separatis. Otonomi Khusus Berbasis Integrated Local Wisdom bagi Papua Pemberian otonomi khusus pada Papua sebenarnya merupakan alternatif terbaik untuk mengadakan pembangunan yang berkeadilan sosial. Oleh sebab, otonomi daerah (bentuk khusus) merupakan sarana demokrasi terbaik sebagai perwujudan kedaulatan rakyat untuk masyarakat di daerah sebagaimana diamanahkan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (2). Kerakyatan atau demokrasi menghendaki partisipasi daerah otonom yang disertai badan perwakilan sebagai wadah (yang memperluas) kesempatan rakyat berpartisipasi (Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2006). Demokrasi ini akan membawa pada pembangunan Papua yang sesuai dengan kehendak masyarakatnya. Pada kenyataannya alternatif yang dianggap terbaik ini, belum mampu secara maksimal melakukan perannya sebagai katalisator pembangunan. Padahal otonomi khusus Papua sudah berjalan selama sebelas tahun. Ketidakmampuan otonomi khusus mengadakan pembangunan yang berkeadilan sosial kemudian berdampak pada semakin menguatnya keinginan sebagian masyarakat Papua untuk memisahkan diri. Mereka ini tergabung dalam gerakan OPM yang menyadari bahwa perlu suatu kemerdekaan untuk membangun Papua yang berkekayaan alam melimpah tanpa campur tangan pemerintah Indonesia. Berdasarkan pengkajian, ketikmampuan otonomi khusus ini disebabkan oleh beberapa hal berikut ini: a. Inkonsistensi beberapa pasal dalam UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua terhadap cita-cita pembangunan Papua Pasal 40 ayat (1) berbunyi Perizinan dan perjanjian kerja sama yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati. Pasal ini salah satunya berkaitan dengan kontrak

7 Freeport yang tidak lagi bisa diganggu keberlangsungannya, karena orang Papua pada pasal tersebut diwajibkan untuk menghormatinya. Penghormatan ini berarti harus mengubur keinginan mereka untuk mengusik kontrak yang sudah ada. Padahal kasus Freeport inilah yang sering dijadikan isu pokok OPM untuk melegalkan keinginan mereka merdeka. Pasal ini juga berhubungan dengan pasal 43 ayat (3) yang mengatur tentang pelaksanaan hak ulayat. Pada pasal ini, diatur pula mengenai keharusan orang Papua menghormati penguasaan hak ulayat oleh pihak swasta. Lagi-lagi orang Papua dinomor duakan dalam pembangunan tanah kelahirannya sendiri. b. Pelaksanaan dan pengawasan otonomi khusus Papua yang tidak berkesinambungan Data BPS pada tahun 2011 menunjukan adanya perbedaan yang sangat signifikan mengenai jumlah penduduk miskin di desa dan kota Provinsi Papua, yaitu sebesar 35.270 penduduk kota dan 909.530 penduduk desa yang kebayakan dihuni oleh orang asli Papua. Ketidakmampuan pemerintah untuk menyejahterakan orang Papua secara merata, mengindikasikan bahwa masih adanya tebang pilih dalam pemenuhan hak-hak ekonomi masyarakatnya. Dengan begini, orang Papua asli akan semakin merasa tersisihkan dari proses pembangunan yang ada. Kemudian hal ini dapat menguatkan tekad OPM untuk merdeka demi keberlangsungan eksistensi mereka. Adanya indikasi korupsi menunjukan lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap pelaksanaan otonomi khusus di Papua. c. Pergeseran makna demokrasi ke arah penguatan fanatisme kedaerahan Pemberian kesempatan yang luas kepada orang asli Papua untuk ikut berperan aktif dalam pembangunan Papua meningkatkan semangat kedaerahan yang bersifat fanatisme. Ave Lefaan (2011) menyebutkan adanya otonomi khusus juga membawa dampak serius terhadap semakin menonjolnya praktik politik identitas yang merujuk pada etnosentrisme. Oleh karena itu, kemudian bermunculan semangat kedaerahan yang berbasis etnik atau ras untuk menguasai wilayah kesatuan masyarakatnya secara monopoli. Kondisi ini menimbulkan berbagai tuntutan pemekaran daerah di berbagai kelompok ras yang ada di Papua. Tidak disetujuinya pemekaran akan membawa dampak pada keinginan memisahkan diri seperti gerakan OPM. Alasan ketiga berupa pergeseran makna demokrasi ke arah penguatan fanatisme kedaerahan inilah yang paling membuka peluang timbulnya keinginan untuk memisahkan diri dari kesatuan NKRI. Hal ini pula yang terjadi pada OPM, yangmana kelompok ini merasakan adanya marjinalisasi orang Papua. Marjinalisasi orang asli Papua ditandai dengan semakin sedikitnya orang asli Papua yang berada di tanah Papua, dan sebaliknya orang pendatang (imigran) tumbuh secara pesat. Oleh sebab itu, OPM menggunakan dalih bahwa nilai kultural Papua yang secara khusus mencirikan Papua saling terpisah dengan kebudayaan Indonesia, sehingga orang Papua tidak bisa menyatu dengan para imigran. Nilai-nilai kultural kedaerahan seharusnya mampu menjadi aset pembangunan, bukan sebaliknya. Nilai-nilai kulural yang juga dipahami sebagai kearifan lokal (local wisdom) merupakan nilai-nilai atau gagasan suatu daerah setempat yang mengandung kebijaksanaan, kearifan, keteladanan serta bernilai baik yang mengakar dan diikuti oleh masyarakat setempat. Kebijakan lokal yang

8 mengakar dan dianggap sakral, menyebabkan pelaksanaannya dapat lebih efisien dan efektif, karena mudah diterima masyarakat (Herlina Astari, 2011). Keselarasan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat membuat kearifan lokal pantas dijadikan sebagai pedoman pembangunan dalam suatu konsep otonomi daerah maupun otonomi khusus. Bukan justru dijadikan sebagai dasar semangat kedaerahan yang memisahkan diri dari rasa nasionalisme. Dewasa ini terdapat pergeseran makna kearifan lokal sebagai sifat kedaerahan dan sifat penyatuan rasa kedaerahan dalam kesadaran nasionalisme sebagai bangsa. Oleh karena itu, agar kearifan lokal dapat menjadi dasar semangat pelaksanaan otonomi daerah maupun otonomi khusus, maka kearifan lokal harus dilengkapi sifat yang mencirikan adanya penyatuan rasa kedaerahan dalam kesatuan semangat nasionalisme. Integrated local wisdom merupakan rumusan yang selaras dengan cita-cita penyatuan semangat kedaerahan dan nasionalisme. Integrated dalam bahasa Indonesia berarti yang digabungkan. Sehingga dapat dirumuskan makna dari integrated local wisdom adalah nilai-nilai kedaerahan yang mengandung kebijaksanaan dan kebenaran yang diikuti oleh masyarakat setempat dan telah mengalami penyatuan dengan nilai-nilai kebangsaan. Adanya penyatuan dengan nilai-nilai kebangsaan ini akan mengendalikan seseorang dari keinginan untuk memisahkan diri dari kesatuan bangsanya. Pada tahapan lebih lanjut, integrated local wisdom tidak hanya terpaku pada tataran teoritis, namun merasuk pada tataran praktik-praktik otonomi daearah ataupun otonomi khusus yang sangat bersinggungan dengan pembangunan daerah. Tataran teori maupun praktik mengenai integrated local wisdom akan direfleksikan pada pelaksanaan otonomi khusus Papua. Dengan demikian tidak ada lagi salah penafsiran terhadap makna kearifan lokal yang seringkali dijadikan dalih gerakan-gerakan separatisme. Penerapan integrated local wisdom menggunakan pendekatan-pendekatan yang humanis dengan penyadaran secara berkesinambungan melalui praktik-praktik ketatanegaraan. Para Pihak yang Membantu dalam Mengimplementasikan Gagasan Upaya mengimplementasikan otonomi khusus yang berbasis integrated local wisdom di Papua memerlukan kerjasama antar berbagai pihak. Pihak-pihak ini antaralain: a. Pemerintah pusat Berdasarkan kewenangannya sebagai eksekutif, pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan urusan pemerintah daerah. Oleh karena itu dalam hal ini, pemerintah bertugas untuk memastikan bahwa pembangunan kedaerahan berintegrasi dengan pembangunan nasional. b. Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Sebagai subjek utama pelaksana otonomi khusus, pemerintah daerah provinsi Papua dan provinsi Papua Barat berwenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahannya dan mengendalikan pengurusan urusan pemerintahan yang mengadung unsur penonjolan etnik tertentu. Selain itu sebagai upaya integrasi OPM ke dalam bingkai NKRI, maka perlu pengikutsertaan anggota OPM dalam pemerintahan dengan didasari semangat integrated local wisdom.

9 c. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Adanya inkonsistensi UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua perlu diadakannya suatu amandemen terhadap undang-undang ini. Oleh karena itu badan legislatif bersama pemerintah membahas dan memutuskan amandemen ini. Amandemen yang ada harus didasari oleh konsepsi otonomi khusus berbasis integrated local wisdom. d. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LSM berwenang untuk memberikan pengawasan dan penyambung lidah masyarakat Papua. Oleh karena itu, sebagai lembaga kontrol perannya sangat dibutuhkan. e. Masyarakat Papua Sebagai subjek dan objek utama pembangunan Papua, masyarakat Papua berwenang untuk terlibat aktif dalam pembangunan Papua. pengertian orang Papua merujuk pula pada naggota OPM. Selain itu mereka juga berperan untuk memastikan dan dipastikan bahwa pembangunan yang ada bukan merupakan upaya marjinalisasi orang Papua asli dan bukan bersifat etnosentris yang mengancam NKRI. f. Organisasi Papua Merdeka (OPM) Sebagai objek usaha integrasi kepada bingkai NKRI, OPM berwenang untuk ikut disertakan dalam mengadakan pembangunan Papua dalam konstelasi NKRI. Dengan begitu, akan timbul rasa kepemilikian terhadap Papua sekaligus Indonesia karena telah didasari semangat integrated local wisdom. Ikut serta ini dapat berupa secara langsung terlibat dalam pemerintahan ataupun secara tidak langsung g. Majelis Rakyat Papua (MRP) MRP sebagai badan pemerintahan yang berwenang dalam perlindungan hakhak orang Papua, pada otonomi khusus berbasis integrated local wisdom, juga memiliki peran yang sama, namun diperluas pula pada pembangunanpembangunan nasional yang berhubungan dengan rakyat Papua. Yakni apakah pembangunan tersebut berkeadilan untuk orang Papua ataukah tidak. Selain itu MRP juga memiliki kewajiban untuk menyelaraskan nilai kedaerahan dengan nilai nasionalisme yang terangkum dalam konsep integrated local wisdom dalam seluruh aspek pembangunan rakyat Papua. Langkah Langkah Strategis yang Harus Dilakukan Langkah-langkah yang hendaknya dilakukan untuk penerapan otomi khusus berbasis integrated local wisdom, adalah sebagai berikut: 1. Tahap perencanaan Tahap perencanaan merupakan tahap awal yang penting dari upaya penguatan kearifan lokal ini. Tahap perencanaan diadakan untuk membuat langkah-langkah selanjutnya mampu tepat sasaran serta terarah. Oleh karena itu dibutuhkan dua langkah konkrit, yaitu penelitian kebijakan serta penyusunan road map. Penelitian kebijakan merupakan langkah-langkah yang ditujukan untuk meneliti beberapa hal sebagai berikut: 1. Jenis kebijakan seperti apa yang diinginkan oleh orang Papua dan OPM; 2. Cara seperti apa yang diinginkan orang Papua dan OPM dalam implementasi kebijakan tersebut;

10 3. Sektor apa yang paling diutamakan untuk didahulukan; 4. Jenis kearifan lokal mana yang mampu dikonversikan sebagai ruh-ruh kebijakan; dan 5. Seberapa jauh masyarakat Papua (bukan hanya orang Papua) menyetujui wacana penguatan integrated local wisdom dalam otonomi khususnya. Tahap penelitian kebijakan ini dapat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bekerjasama dengan para akademisi serta lembaga-lembaga adat. 2. Penyusunan road map otonomi khusus berbasis integrated local wisdom. Penyusunan road map merupakan olahan hasil penelitian kebijakan yang telah dilakukan, kemudian dipadukan dengan rencana-rencana kebijakan. Road map tidak boleh lari dari fakta-fakta penelitian yang ada, karena fakta-fakta tersebut merepresentasi keinginan masyarakat Papua secara keseluruhan. Road map hendaknya mengedepankan upaya perlindungan aset budaya Papua, stabilitas politik, peredaman konflik, penyetaraan ekonomi, serta peningkatan mutu dan kesempatan berpendidikan. Penyusunan ini juga harus menempatkan orang Papua sebagai subjek maupun objek pembangunan Papua dan ada optimalisasi peran serta OPM dalam pemerintahan. 3. Tahap persiapan dan sosialisasi Tahap persiapan merupakan upaya penindaklanjutan terhadap road map yang telah disusun. Langkah ini dititik beratkan pada penyelarasan road map dan action yang akan dilakukan. Tahap persiapan dapat dibagi lagi menjadi beberapa langkah, yaitu sebagai berikut: 1. Penyelarasan peraturan dengan road map Penyelarasan ini dilakukan agar tidak ada peraturan-peraturan yang saling bertabrakan, sehingga tidak akan menimbulkan ambiguitas ataupun salah tafsir. Penyelarasan ini dapat dilakukan oleh badan legislatif bekerjasama dengan para peneliti yang telah bertugas. Tahapan ini hendaknya didukung pula dengan komunikasi yang intensif dengan pemerintah pusat, agar undang-undang yang memiliki heararki lebih tinggi juga tidak akan saling bertabrakan. Penyelarasan antara peraturan dengan road map yang telah direncanakan memiliki arti yang sangat penting. Oleh karena itu tahapan ini tidak boleh dikesampingkan begitu saja. 2. Penghimpunan aktor-aktor yang terkait Semua aktor yang terlibat dalam rencana otonomi khusus berbasis integrated local wisdom ini hendaknya saling berhimpun dalam satu barisan yang solid. Kesatuan dan kesamaan tujuan akan memudahkan dalam mencapai tujuan yang ditargetkan. Aktor-aktor yang terkait diantara badan legislatif, eksekutif, MRP, badan pengawas independen dan masyarakat. Mengenai aktor-aktor ini tidak perlu adanya pembentukan ulang, tapi cukup dengan memaksimalkan badan-badan yang telah dibentuk melalui UU No. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus Provinsi bagi Papua. 3. Pengalokasian dana Setiap kebijakan membutuhkan alokasi dana untuk mengeksekusinya. Alokasi dana ini hendaknya bersifat efisien dan akuntabel, sehingga tidak ada penyelewengan. Setiap tidakan yang diindikasikan sebagai penyelewengan nantinya harus segera ditindak, agar tidak berlarut-larut. Masalah pengalokasian dana ini merupakan titik rawan terjadinya beberapa pelanggaran, sehingga pemerintah daerah ataupun pusat hendaknya

11 melakukan pengawasan yang baik. Pengalokasian dana juga harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan jangan hanya terfokus pada kuantitas pembangunan fisik, namun juga kualitas pelayanan dan sebagainya. Sosialisasi dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung yaitu melalui media elektonik, cetak maupun internet secara efektif, efisien, cerdas dan menarik. Sosialisasi ini menjadi penting karena tidak semua orang memiliki concern yang besar terhadap pemerintah. Sedangkan 4. Tahap eksekusi Tahap eksekusi ini merupakan tahap action dari poin-poin perwujudan integrated local wisdom yang telah direncanakan dan disiapkan. Tahap eksekusi ini dapat dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan, yang meliputi pendidikan, sosial budaya, ekonomi, dan politik. Pelaksanaan otonomi khusus berbasis integrated local wisdom ini ditekankan pada partisipasi orang Papua dalam rangka bersama-sama membangun tanah kelahirannya demi majunya pembangunan Indonesia secara menyeluruh. 5. Tahap evaluasi Tahap evaluasi menjadi tahap akhir otonomi daerah berbasis integrated local wisdom. Tahap evaluasi dapat dilakukan secara periodik dan sistematik pada kesatuan kerja. Tahap evaluasi ini penting untuk mengetahui progress dan kekurangan kebijakan yang telah dilaksanakan. KESIMPULAN Otonomi Khusus Berbasis Integrated Local Wisdom: Langkah Integrasi OPM dalam Bingkai NKRI Pergeseran makna kearifan lokal sebagai sifat kedaerahan kepada fanatisme kedaerahan yang berujung pada gerakan separatis menjadi problema di tengah pelaksanaan otonomi khusus yang mengedepankan kekhasan daerah. Oleh karena itu, agar kearifan lokal dapat menjadi dasar semangat pelaksanaan otonomi khusus, maka kearifan lokal harus dilengkapi sifat tambahan yang mencirikan adanya penyatuan rasa kedaerahan dalam kesatuan semangat nasionalisme. Integrated local wisdom merupakan gagasan terbaru untuk mewujudkan misi tersebut. Integrated dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai yang digabungkan, sedangkan local wisdom berarti kearifan lokal. Sehingga dapat dirumuskan makna dari integrated local wisdom adalah nilai-nilai kedaerahan yang mengandung kebijaksanaan dan kebenaran yang diikuti oleh masyarakat setempat dan telah mengalami penyatuan dengan nilai-nilai kebangsaan. Adanya penyatuan dengan nilai-nilai kebangsaan ini akan memperkecil keinginan daerah untuk memisahkan diri dengan kesatuan NKRI. Pada tahapan lebih lanjut, integrated local wisdom merasuk pula pada tataran praktik otonomi khusus yang sangat bersinggungan dengan pembangunan. Papua sebagai wilayah yang mendapatkan wewenang otonomi khusus sangat membutuhkan penjelmaan konsepsi otonomi khusus berbasis integrated local wisdom. Oleh karena selama ini, sifat kedaerahan tidak dibangun secara optimal dalam koridor kebangsaan, namun justru menjadi legalitas semangat gerakan separatis. Hal inilah yang terjadi pada OPM. Pada tujuan akhir, diharapkan melalui otonomi khusus berbasis integrated local wisdom akan terwujud Papua

12 yang berkesatuan dan berkeadilan sosial dalam integrasinya pada NKRI, sehingga tidak akan ada lagi gerakan semacam OPM yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Teknik Implementasi Otonomi Khusus Berbasis Integrated Local Wisdom bagi Papua Ada beberapa teknik pendekatan yang dilakukan guna pelaksanaan otonomi khusus berbasis integrated local wisdom, yakni sebagai berikut: 1. Pendekatan pendidikan Pendidikan merupakan gerbang utama pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Papua. Oleh karena itu pembangunan SDM ini harus dijiwai oleh integrated local wisdom, agar tidak membunuh karakter asli orang Papua dan menjauhkan orang Papua dari kesatuan bangsa Indonesia. Penguatan integrated local wisdom melalui pendekatan pendidikan ini dapat dilakukan dengan dimasukannya integrated local wisdom dalam kurikulum pendidikan sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Selain itu diluar lembaga pendidikan, dapat dilakukan melalui penyelenggaraan seminar ataupun penelitian terkait integrated local wisdom. Melalui optimalisasi pendekatan pendidikan baik secara intern maupun ekstern, diharapkan semakin munculnya rasa cinta Papua dalam naungan NKRI pada hati para generasi muda. 2. Pendekatan sosial budaya Penguatan kearifan lokal melalui pendekatan sosial budaya erat kaitannya dengan penghidupan kembali warisan-warisan budaya Papua yang telah turun temurun. Warisan-warisan budaya ini kemudian diintegrasikan kepada kebudayaan nasional, melalui pemberian legalitas budaya nasional terhadap warisan tersebut. Papua dikenal sebagai daerah yang sangat kaya akan bentukbentuk budayanya, yaitu diantaranya: a. Wowipits yaitu sebutan untuk para pemahat piawai dari suku Asmat. Kepiawaian ini terlihat pada tifa (alat musik sejenis gendang kecil), perahu, dayung, perisai, patung, topeng dan rumah hunian; b. Tarian diantaranya tari Cenderawasih yang menceritakan keindahan burung cenderawasih, Ethor kasuari dan yang merupakan tarian penyambutan bagi mereka yang pulang dari perang dan lain-lain; c. Senjata berupa pisau belati yang terbuat dari tulang kaki dan bulu burung kasuari, busur serta panah; dan d. Upacara-upacara adat yang menandai naiknya seseorang pada tingkat kehidupan tertentu, contohnya kelahiran, menjelang dewasa, dan lain-lain. Penguatan kearifan lokal melalui pendekatan sosial budaya ini merupakan salah satu langkah pemberhentian marjinalisasi orang Papua. 3. Pendekatan politik Penguatan kearifan lokal melalui pendekatan politik dilakukan sebagai upaya pengendali pelaksanaan otonomi khusus. Otonomi khusus yang membawa dampak KKN serta etnosentrisme harus dikembalikan pada nilainilai falsafah hidup orang Papua yang syarat dengan nilai-nilai luhur yang dibawa sejak nenek moyang mereka. Pendekatan politik ini hendaknya juga disertai dengan dibukanya kesempatan bagi anggota OPM untuk terlibat secara aktif di dalam pemerintahan untuk jabatan-jabatan publik. Dengan begitu, diharapkan akan semakin tumbuh perasaan memiliki terhadap Papua dan

13 Indonesia, karena ada keterikatan struktural pemerintahan yang dimiliki. Keterasingan OPM dari pemerintahan membuat mereka selalu berprasangka buruk terhadap NKRI. Padahal pemerintah telah bekerja secara maksimal demi pembangunan Papua yang berkeadilan sosial. Pendekatan politik hendaknya tidak dilakukan melalui pendekatan militer yang bersifat represif. 4. Pendekatan ekonomi Pendekatan ekonomi sebagai pemenuhan kesejahteraan orang Papua menjadi langkah penting dalam penguatan integrated local wisdom. Apabila tercipta kesejajaran kesejahteraan ekonomi pada seluruh lapisan masyarakat Papua, maka konflik-konflik yang memicu goyahnya kesatuan NKRI tidak akan terjadi lagi. Pendekatan ekonomi ini dapat dilakukan dengan pemberdayaan ekonomi orang Papua melalui UKM yang memasarkan hasil karya produksi mereka. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Hal ini sesuai dengan yang telah diamanatkan UUD 1945 pasal 33 ayat (3). Oleh karena itu penting untuk diadakan amandemen pada Pasal 40 ayat (1) dan 43 ayat (3) UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Prediksi Keberhasilan Gagasan Otonomi khusus berbasis integrated local wisdom diyakini akan dapat mencapai tujuan akhirnya yakni memperkokoh kesatuan NKRI. Oleh karena grand desaign otonomi khusus berbasis integrated local wisdom memiliki formulasi lengkap dan mendasar untuk meredam grakan separatis yam]ng dilakukan oleh OPM. Tujuan akhir ini dapat dicapai apabila ada sinergi yang berkesinambungan antar pihak yang berwenang serta adanya kekuatan komitmen secara bersama-sama untuk membangun Papua. Oleh karena itu, diharapkan semua pihak termasuk seluruh rakyat Indonesia menaruh perhatian yang besar kepada pembangunan Papua ini. Oleh sebab selama ini Papua terus menerus memperlihatkan gejolak-gejolak separatisme yang secara makro ikut mengganggu stabilisas pertahanan dan keamanan negara. Melalui perhatian dari seluruh komponen bangsa dapat memunculkan rasa perasatuan untuk memiliki negara Indonesia bersama-sama di hati para orang Papua bahkan anggota OPM. Apabila syarat-syarat ini diwujudkan, kemanfaatan dari adanya otonomi khusus berbasis integrated local wisdom akan dapat dirasakan secara nyata oleh rakyat Papua khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA Buku dan Jurnal Astri, Herlina. 2011. Penyelesaian Konflik Sosial Melalui Penguatan Kearifan Lokal. Aspirasi. Vol. 2 No. 2. Budiarjo, Camel, dan Liem Soie Liong. 1984. West Papua: The Obliterationof A People. London: Tapol. Jubaedah, Dedah dan Pipin Syarifin. 2006. Pemerintahan Daerah di Indonesia. Bandung: CV. Pustaka Setia. Lefaan, Ave. 2011. Membangun Papua dalam Konteks KeIndonesiaan. Jurnal Kebijakan Publik. Vol. 2.

14 Maniagasi, Frans. 2001. Masa Depan Papua: Merdeka. Otonomi Khusus dan Dialog. Jakarta: PT. Dyatama Milenia. Sabarno, Hari. 2008. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta: Sinar Grafika. Widjojo, Muridan S. 2006. Nasioanalist and Separatist Discourses in Cyclical Violence in Papua. Indonesia. Asian Journal of Science. Vol 34. No 3. Widjojo, Muridan S. 2009. Papua Road Map: Negoitating the Past, Improving the Present and Securing the Future . Jakarta: LIPI Yayasan TIFA dan Yayasan Obor Indonesia. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Internet www.bps.go.id, diakses pada tanggal 18 Maret 2013. www.kompas.com/read/OPM-Kembali-Serang-TNI, diakses pada tanggal 18 Maret 2013. www.fokerlsmPapua.org/, diakses pada tanggal 18 Maret 2013. www.mpr.go.id/taufiq-kiemas-kearifan-lokal-dan-kultur-lokal dikedepankanuntuk-selesaikan-berbagai-konflik, diakses tanggal 18 Maret 2013. www.OkezoneNews.com/Warga Kwamki Timika Bentrok Lagi. Lima Rumah Dibakar dan Bentrok Dua Kampung Kembali Terjadi di Timika. www.penanggulangankrisis.depkes.go.id/Konflik Sosial Terjadi di Mimika, diakses 18 Maret 2013. Daftar Riwayat Hidup Penulis Ketua Kelompok Nama lengkap NIM Tempat, tanggal lahir Alamat Contact person Alamat email Status pendidikan : Esti Puspitaningrum : E0012135 : Ngawi, 31 Oktober 1994 : Dsn. Gunting II, Rt 02/ Rw 07, Ds. Dempel Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi : 085790410464 : estipus31@yahoo.co.id : Mahasiswa Semester II Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret

Anggota Kelompok Anggota I Nama lengkap NIM Tempat, tanggal lahir Alamat Contact person Alamat email

: Eka Nurjanah : E0012129 : Wonogiri, 12 Desember 1993 : Danukusuman RT.04/10,Serengan, Surakarta : 089630487945 : eka.satu12@yahoo.com

15 Status pendidikan : Mahasiswa Semester II Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret : Nabella Rizki Al Fitri : E0011211 : Bojonegoro, 25 Maret 1993 : Jl.Tirtomoyo, RT.07, RW. 01, Paron, Ngawi : 085736817717 : nabellelfit@yahoo.com : Mahasiswa Semester IV Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret

Anggota II Nama lengkap NIM Tempat, tanggal lahir Alamat Contact person Alamat email Status pendidikan

Anda mungkin juga menyukai