Anda di halaman 1dari 5

HJ.

SUPARTI HADHYONO

PRAKTEK PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL


DALAM PUTUSAN HAKIM

“Hakim tidak boleh menolak perkara yang diserahkan kepadanya dengan


dalih tidak ada aturan hukumnya atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya (pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).”

Pengantar Dalam praktek, Indonesia memandang


kedudukan Hukum Internasional dalam sistem
Tugas Hakim adalah menerima, memeriksa Hukum Nasional berpandangan:
dan mengadili atau memutus perkara yang a) Meski Perjanjian Internasional sudah
diserahkan kepadanya. Sehubungan dengan diratifikasi dengan Undang-Undang, Namun
tugasnya ini, Hakim tidak boleh menolak untuk dapat diimplementasikan secara nasional
perkara yang diserahkan kepadanya dengan masih dibutuhkan Undang-Undang lagi.
dalih tidak ada aturan hukumnya atau kurang Misalnya:
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan − The United Nations Convention on the
mengadilinya (pasal 16 ayat (1) Undang- Law of the Sea (UNCLOS) (Konvensi
Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Hukum Laut Tahun 1982) yang diratifikasi
Kehakiman). Terfokus pada tugas Hakim ini melalui Undang-Undang No. 17 Tahun
maka Hakim harus tetap mengadili/memutus 1985, tetap memerlukan Undang-Undang
suatu perkara, meskipun hukumnya tidak ada No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan.
atau kurang jelas. − Convention on Psychotropic Substances
1971 (Konvensi Psikotropika Tahun 1971)
Bahwa sumber hukum positif yang berlaku yang disahkan (diratifikasi) melalui
di Indonesia termasuk Perjanjian Internasional Undang-Undang No. 8 Tahun 1996, masih
yang telah diratifikasi oleh Pemerintah atau memerlukan Undang-Undang No. 5 Tahun
Negara RI menjadi sangat penting artinya 1997 tentang Psikotropika.
mengingat tugas dari Hakim tersebut di atas. − The United Nations Convention Against
Corruption 2003 (Konvensi PBB Anti
Perjanjian Internasional yang telah Korupsi Tahun 2003) telah disahkan
ditransformasi kedalam Hukum Nasional RI melalui Undang-Undang No. 7 Tahun
tentu akan mengikat para Hakim tersebut dalam 2006, meskipun Indonesia telah memiliki
memeriksa dan memutus perkara yang Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
berhubungan dengan Perjanjian Internasional tentang pemberantasan tindak pidana
dimaksud. Namun demikian Hakim tidak korupsi, dan masih banyak konvensi-
terikat secara mutlak oleh Perjanjian tersebut konvensi yang setelah diratifikasi masih
bila tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, memerlukan Undang-Undang lagi yang
tidak sesuai dengan tertib hukum Indonesia bersifat Nasional.
maupun tidak sesuai dengan rasa keadilan b) Terdapat Perjanjian Internasional yang
masyarakat Indonesia. setelah diratitikasi dapat langsung
diimplementasikan, yaitu Konvensi Wina
I. Perjanjian lnternasional bagi Negara RI Tahun 1961 dan Tahun 1963 tentang
dapat ditarik benang merah sbb: Hubungan Diplomatik dan Hubungan
Konsuler, yang diratifikasi melalui Undang-
Undang No. 1 Tahun 1982.

33
Terkait dengan tindakan suatu Negara yang Sumber hukum utamanya adalah Hukum
“Masalahnya adalah, apakah Perjanjian Positif dalam bentuk kodifikasi. Berdasarkan
Internasional yang sudah disahkan asas konkordansi, sistem ini dianut di
(diratifikasi) oleh Pemerintah, termasuk
atau menjadi Hukum Positif yang
Indonesia sampai sekarang.
berlaku di Indonesia.”
Salah satu ciri pokok Hukum Positif adalah
diciptakan secara formil yakni sengaja
sifatnya publik yakni tindakan Negara dalam diciptakan secara tertulis, penciptaannya
kapasitas sebagai Negara yang berdaulat, melalui proses dan prosedur yang ditentukan
Indonesia dalam meratifikasi Perjanjian Hukum Tata Negara dan yang berwenang
Internasional banyak diadakan Reservation menciptanya hanya Badan yang secara
(persyaratan). Misalnya dalam mengesahkan konstitusional ditetapkan dalam UUD.
Konvensi Psikotropika Tahun 1971, Indonesia
tidak terikat pada ketentuan tersebut. Indonesia Di Indonesia penciptaan Undang-Undang
berpendapat bahwa: apabila terjadi perselisihan telah ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) dan
akibat perbedaan penafsiran dan penerapan isi Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, (pembahasan
konvensi yang tidak terselesaikan melalui jalur pertama UUD 1945, tanggal 19 Oktober 1999).
sebagaimana diatur dalam ayat (1) Pasal
tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Undang-Undang yang sah secara formal
Internasional hanya berdasarkan kesepakatan harus mendapat persetujuan DPR, dengan
para pihak yang bersengketa. Demikian pula mekanisme; bila inisiatif datang dari
terhadap ratifikasi United Nations Convention Pemerintah atau kekuasaan eksekutif/Presiden,
Against Corruption Tahun 2003, dengan berdasarkan Pasal 5 ayat (1), atau dapat juga
Reservation terhadap Pasal 66 ayat (2) tentang berdasarkan inisiatif DPR sendiri berdasarkan
Penyelesaian Sengketa, yang substansinya pada Pasal 21 ayat (1), selanjutnya diundangkan
pokoknya sama dengan persyaratan dalam oleh Pemerintah in casu Presiden, berdasarkan
ratifikasi Konvensi Psikotropika Tahun 1971 Pasal 20 ayat (4) UUD (vide UUD 1945,
tsb. Hal ini penting artinya bagi Penegak perubahan pertama).
Hukum (Hakim) dalam mengambil putusan
terhadap Hukum Internasional yang telah Masalahnya adalah, apakah Perjanjian
diratifikasi itu, apakah harus terikat secara Internasional yang sudah disahkan
mutlak dengan Perjanjian Internasional untuk (diratifikasi) oleh Pemerintah, termasuk atau
keseluruhan atau tidak. Hakim disini harus menjadi Hukum Positif yang berlaku di
sinkron dengan Political Law dari Pemerintah Indonesia. Untuk menjawab masalah ini, kita
atau Negara RI. melihat kepada Undang-Undang
pengesahan/ratifikasi Perjanjian Internasional.
II. Di dalam mengambil suatu putusan Misalnya Undang-Undang No. 7 Tahun 2006
seorang Hakim harus tentang Pengesahan United Nations
mempertimbangkan 3 aspek, yakni Convention Against Corruption, 2003,
Legal Justice, Social Justice, dan Moral ditetapkan:
(filosofis) Justice.
Dengan persetujuan bersama
Pertama-tama yang akan dipertimbangkan DPR RI dan
adalah dalam segi juridisnya (Legal Justice). Presiden Republik Indonesia
Prinsip yang harus ditegakkan, Hakim dalam Memutuskan;
menjatuhkan putusan adalah upaya mencari dan Menetapkan.........dst,
menemukan hukum obyektif yang hendak
diterapkan, harus dari sumber hukum yang Bila dihubungkan dengan penciptaan
dibenarkan oleh ketentuan Peraturan undang-undang yang telah diatur UUD yang
Perundang-undangan yang dalam hal ini adalah sah secara formal harus mendapat persetujuan
ketentuan Hukum Positif. DPR, bila inisiatif datang dari Pemerintah
(eksekutif) dan telah mendapat persetujuan
Di dalam sistem Civil Law atau Statute Law DPR adalah merupakan produk Hukum Positif
System (Sistem Hukum Perundang-undangan). yang berlaku di Indonesia.
34
atau kurang jelas tertera dalam pasal 16 ayat
Karenanya sebagai sumber hukum utama, (1) Undang-Undang No. 4 tentang Kekuasaan
yakni hukum positif yang berlaku, maka Hakim Kehakiman.
harus menerapkan Perjanjian Internasional
yang telah disahkan tsb. dalam pertimbangan Dalam hal apabila memang tidak ada atau
jurisdiksinya. kurang jelas hukumnya, Hakim wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya, dengan cara
Hakim terikat dengan Perjanjian berpedoman pada ketentuan pasal 28 ayat (1)
Internasional tersebut yang tentunya dengan Undang-Undang No. 4 Th 2004 tentang
segala reservation sebagaimana political law Kekuasaan Kehakiman, yakni Hakim sebagai
dari Pemerintah RI. penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
Maka jelaslah dalam memutus suatu yang hidup dalam masyarakat.
perkara yang ada hubungannya dengan
Perjanjian Internasional, Hakim terikat dengan Berdasarkan adagium Jus Curia Novit,
Perjanjian Internasional yang telah disahkan Hakim dianggap mengetahui dan memahami
oleh Pemerintah RI, yang biasanya masih segala hukum, dengan demikian Hakim yang
memerlukan Undang-Undang lagi secara berwenang menentukan hukum obyektif /
nasional dalam implementasinya. materiil mana yang harus diterapkan sesuai
dengan materi pokok perkara yang
2) Apabila Hakim tidak menemukan menyangkut hubungan hukum pihak-pihak
peraturan perundang-undangan atau yang bersengketa in konkreto.
peraturannya tidak jelas, untuk dasar
pertimbangan putusan, Hakim dapat Mengenai aspek social justice, Hakim
menemukan dari sumber hukum tidak tertulis, harus mempertimbangkan pula dalam
dalam hal ini hukum adat yang masih tetap mengadili suatu kasus, tentang aspek
diakui sebagai tata hukum di Indonesia. sosiologinya yakni tentang pendapat
Kebijakan politik hukum tersebut masih tetap masyarakat mengenai kasus yang dimaksud.
dipertahankan dalam pasal 25 ayat (1) Undang- Namun Hakim tidak diperkenankan semata-
Undang No. 4 Th 2004 tentang Kekuasaan mata mengikuti Public Opinion ini, yang
Kehakiman. akhirnya akan bertentangan dengan kebebasan
Hakim sebagaimana diamanatkan oleh pasal 1
3) Sumber lain tempat Hakim mencari dan Undang-Undang No 4 Th 2004 tentang
menemukan hukum yang hendak diterapkan Kekuasaan Kehakiman bahwa; Kekuasaan
dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya Kehakiman adalah kekuasaan negara yang
adalah Yurisprudensi. Bila suatu kasus yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
disengketakan tidak diketemukan aturan guna menegakkan hukum dan keadilan
hukumnya dalam hukum positif dan juga tidak berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
ada dijumpai dalam hukum tidak tertulis, Negara Hukum RI. Kekuasaan Kehakiman
Hakim dibenarkan mencari dan menemukannya yang merdeka mengandung pengertian bahwa
dari Yurisprudensi. kekuasaan kehakiman bebas dari segala
campur tangan pihak kekuasaan ekstra
Mengapa Hakim berkewajiban mencari dan yudisial. Jadi dalam memeriksa dan
menemukan hukum obyektif atau hukum mengambil suatu putusan, Hakim diharuskan
materiil yang akan diterapkan dalam perkara pula memperhatikan aspek sosiologisnya, agar
yang sedang diperiksa yang selanjutnya akan putusan tersebut berimbang antara segi
diputus; hal ini disebabkan karena adanya asas; Juridisnya dan segi pendapat
bahwa pengadilan / Hakim tidak boleh menolak umum/masyarakat terhadap suatu kasus.
memeriksa dan mengadili perkara dan adanya
asas / prinsip JUS CURIA NOVIT. Sedang mengenai aspek filosofinya (
moral justice ) yang melandasi Hakim dalam
Asas bahwa pengadilan / Hakim tidak boleh memeriksa dan mengambil suatu putusan
menolak memeriksa dan mengadili perkara adalah tidak kalah pentingnya. Sebagai bangsa
dengan dalih hukum yang mengatur tidak ada yang religius, Hakim akan menyandarkan
35
putusannya pada sang Khalik, yang tercapai tetapi dengan mengorbankan rasa
dimanifestasikan dengan irah-irah dalam suatu keadilan, adalah merupakan suatu
putusan “DEMI KEADILAN ketidakseimbangan.
BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”. Dasar filosofinya adalah bahwa Dipaparkan disini dengan contoh,
putusan yang telah diambil oleh Hakim itu mengenai Undang-Undang No. 5 Th 1997
diserahkan dan diharapkan mendekati rasa tentang Psikotropika yang dibuat oleh
keadilan hakiki yang adanya hanya pada Pemerintah RI berdasarkan Pengesahan
kekuasaan Allah semata. Hal ini diupayakan Convention On Psychotropic Substances 1971
oleh Hakim dalam memeriksa dan mengambil (dengan Undang-Undang No. 8 Th 1996). Bila
putusan perkara yang diajukan kepadanya, misalnya ada seorang pelajar / mahasiswa
dengan landasan nurani yang jernih dan bening, tanpa hak memiliki, menyimpan dan atau
diserahkan kepada KEADILAN yang Agung membawa 1 (satu) butir atau ½ (setengah)
milik Tuhan Yang Maha Esa. butir pil ekstasi golongan I, kemudian
tertangkap tangan apakah harus dipidana
III. Berdasarkan uraian bagaimana Hakim penjara minimum 4 Tahun dan denda paling
dalam memeriksa dan mengambil suatu sedikit Rp. 150.000.000,- sebagaimana
putusan seperti tersebut diatas, lalu ketentuan pasal 59 Undang-Undang No. 5
bagaimana Hakim mengakomodasikan Tahun 1997 tentang Psikotropika. Dalam hal
hukum materiil yakni hukum positif seperti ini rasa keadilan terasa terusik bila
yang berlaku di Indonesia termasuk dihadapkan dengan hukum positif yang
Hukum Internasional yang sudah berlaku berupa Undang-Undang meskipun
ditransformasikan ke dalam Hukum maksud pembuat Undang-Undang dalam
Nasional dalam putusannya dapat penjatuhan pidananya bukan kepada kuantitas
dijelaskan sbb; obyek (barangnya).

Telah diuraikan di depan bahwa sebagai Bila terjadi hal seperti ini dapat dikatakan
hukum positif yang berlaku, perjanjian- terdapat benturan antara rasa keadilan dengan
perjanjian internasional yang telah disahkan hukum positif yang berlaku, lalu bagaimana
Pemerintah RI, bagi para Hakim tentu terikat Hakim dalam mengambil Putusannya?
padanya, karena dalam memeriksa dan
memutus perkara-perkara yang ada Menurut E. BARNETT, bila terjadi rasa
relevansinya dengan Perjanjian Internasional keadilan berbenturan dengan hukum positif
yang telah disahkan tersebut, niscaya Hakim atau peraturan perundang-undangan yang
akan mencari dan menemukan hukum positif berlaku, maka agar kepastian hukum selaras
dari Perjanjian Internasional dimaksud yang dengan rasa keadilan, hukum positif atau
akan diterapkan ke dalam pertimbangan dan perundang-undangan yang ada perlu
putusannya, sesuai dengan aspek Juridisnya. “diluweskan”.

Di dalam mengakomodasikan hukum- Jadi dalam mengakomodasi peraturan


hukum / peraturan-peraturan pada putusannya perundang-undangan sebagai hukum positif
termasuk hukum internasional, seorang Hakim termasuk Hukum Internasional tidak secara
tidak terpaku dalam pandangan yang legalistik. mutlak, harus disesuaikan dengan kondisi dan
Sebab disamping Hakim harus menerapkan rasa keadilan baik rasa keadilan masyarakat
segala peraturan perundang-undangan dan dan rasa keadilan Hakim sendiri.
hukum positif yang berlaku, Ia harus pula
dituntut untuk menerapkan rasa keadilan yang IV. Dari analisa sederhana ini dapat
pada galibnya sering berbenturan dengan disimpulkan bahwa;
hukum positif yang berlaku, yang berupa
Undang-Undang. a) Di dalam membuat putusan, Hakim
terikat dengan hukum positif yang
Memang benar menerapkan hukum positif berlaku termasuk Perjanjian-Perjanjian
secara mutlak itu bertujuan untuk mencapai Internasional yang telah disahkan oleh
kepastian hukum. Namun bila kepastian hukum Pemerintah RI, namun keterikatannya
36
Hj. Suparti Hadhyono
Hakim tinggi
pengadilan tinggi jawa timur

itu tidak mutlak, disesuaikan dengan


kondisi dan keadilan masyarakat atau
bangsa Indonesia sebagai Negara yang
bermartabat.

b) Sesuai dengan keterikatan Hakim terhadap


Perjanjian Internasional diatas, maka
Hakim dalam mengakomodasi Hukum
Internasional dalam putusan-putusannya
adalah tidak secara mutlak pula. Bila
Hukum Internasional tersebut tidak sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia
dan kondisi kepentingan bangsa serta tertib
hukum Indonesia, maka Hakim dapat
“meluweskan” Hukum Internasional yang
akan diterapkan di dalam putusan Hakim
tersebut.

Demikian tentang sedikit uraian topik


diatas, dengan catatan bahwa pendapat dan
pemikiran ini adalah pemikiran pribadi penulis
sebagai Hakim yang di dukung oleh sebagian
besar rekan-rekan Hakim Tinggi Jawa Timur
namun tidak mewakili pendapat dan pemikiran
semua Hakim di Indonesia.

37

Anda mungkin juga menyukai