27
dari sifat sosial mereka diatur seraga dan Protocol; Pact; Process verbal; Modus
serasional mungkin, melalui tahapan: Vivendi; Act; Final Act; General Act; Accord;
Pertama, tahap atau arti pertama dari perkataan Compromis; Concordat.
“sumber” ini merupakan yang paling abstrak
dan yang paling kontroversial, diartikan sebagai Dalam praktek, treaty dan convention
ketentuan yang prosedural (tidak pada cita-cita menduduki tempat paling tinggi dalam urutan
atau ide). Perjanjian Internasional.
Kedua, tahap kedua kita mengartikan “sumber”
sebagai unsur konstitutif bagi aturan Hukum 1. Traktat, istilah ini yang sudah umum
Internasional atau kriteria untuk menyatakan digunakan dalam perjanjian-perjanjian
bahwa Hukum Internasional atau bukan, ini internasional, seperti:
sebagai landasan Hukum Internasional sebagai 2.1.Treaty Banning Nuclear Weapon Tests
suatu sistem dari peraturan-peraturan yang in the Atmosphere, in Outer Space and
membentuknya, yaitu kesepakatan Negara- Underwater of August 5, 1963.
Negara menurut Corbett. 2.2.Treaty on Extradition between the
Ketiga, sumber dalam arti manisfestasi relevan United States of America and Japan of
atas dasar mana ada tidaknya unsur konstitutif March 3, 1978.
dapat dibuktikan dan dalam konsepnya 2. Konvensi, digunakan untuk perjanjian-
Brownlie sebagai sumber material. Dalam perjanjian internasional yang multilateral
Hukum Internasional, subyek-subyek itu yang mengatur masalah besar dan penting
sendiri merupakan pembentuk hukum dan berlaku sebagai kaidah hukum
(legislator) tidak selalu terdapat prosedur internasional berlaku secara khas, seperti:
serupa. Akibatnya, persoalan tentang apakah 2.1.Convention on the Prevention and
suatu peraturan sungguh-sungguh merupakan Punishment of the Crime of Genocide
peraturan internasional harus dijawab atas dasar of December 9, 1948.
fenomena yang tidak begitu formal dan 2.2.Convention on the Law of the Sea of
terstruktur, yang dalam ha1 ini diberi istilah December 10, 1982.
“manifestasi unsur konstitutif”. Jadi, Hukum 3. Deklarasi, pernyataan atau pengumuman
Internasional harus memenuhi dua persyaratan, dan isinya kesepakatan yang bersifat umum
yaitu derajat kepastian dan kejelasan setinggi- dan pokok-pokoknya saja, menurut J.G.
tingginya, perhatian yang cukup terhadap Starke dibedakan 4 macam:
hubungan antar hukum dan hubungan 3.1.Deklarasi sebagai suatu perjanjian
kemasyarakatan. Kesemua itu harus dilihat dalam arti yang sejati, seperti:
dalam tiga karakteristik masyarakat Deklarasi Paris 1856; Deklarasi
internasional yang mempengaruhi Hukum Bangkok 8 Agustus 1967; Universal
Internasional, yaitu: Declaration of Human Rights, 10
Desember 1948.
(1) Ada sejumlah Negara yang hidup 3.2.Deklarasi sebagai suatu instrumen yang
berdampingan (co-exist), yaitu Negara tidak formal yang dilampirkan pada
merdeka dan berdaulat yang tidak tunduk suatu perjanjian (konvensi atau traktat).
pada kekuasan yang lebih tinggi. 3.3.Deklarasi sebagai persetujuan informal
(2) Terjadi interaksi antara Negara-Negara yang berhubungan dengan masalah
yang termasuk ke dalam sistem tidak begitu penting.
internasional, terjadi melalui intensitas 3.4.Deklarasi sebagai sebuah resolusi yang
tertentu secara historis. dikeluarkan dalam suatu konperensi
(3) Pengakuan atau persepsi pada Negara- diplomatik yang berisi beberapa
Negara tentang perlunya pengaturan pernyataan tentang beberapa prinsip
hubungan timbal balik antara mereka. yang harus dihormati oleh semua
Negara, seperti:
Berbicara Hukum Internasional harus − Declaration on the Prohibition of
memahami 18 istilah yang sering digunakan Military, Political, or Economics
dalam Hukum Internasional, yaitu: Treaty; Coercion in the Conclution of
Convention; Agreement; Arrangement; Treaty (Konvensi Wina 1969);
Declaration; Charter; Covenant; Statute;
28
− Declaration of Principles 10. Protokol, menurt J.G. Starke merupakan
Governing the Seabed and the jenis Perjanjian Internasional yang kurang
Ocean Floor, and the Subsoil formal, jika dibandingkan dengan traktat,
thereof, Beyond the Limit of sebagai instrumen pembantu pada suatu
National Jurisdiction. konvensi, tetapi berkedudukan secara
4. Statuta, biasa dipergunakan untuk berdiri sendiri dan tunduk pada ratifikasi
perjanjian-perjanjian internasional yang atas konvensi itu sendiri.
dijadikan sebagai konstitusi suatu
Organisasi Internasional, seperti Statute of Teori Kewenangan jabatan kenegaraan
Permanent Court of lnfernafional Justice; pada setiap sistem pemerintahan, wajib
Statute of International Court of Justice. dipertautkan dengan pembagian kekuasaan
5. Piagam, dipergunakan untuk Perjanjian Negara, untuk menentukan batas dan
Internasional yang dijadikan sebagai tanggungjawab masing-masing lembaga,
konstitusi suatu Organisasi Internasional, sesuai dengan prinsip dan hakikat pembagian
seperti Charter of the Unifed Nations; kekuasaan, berikut:
Charter of the Organization of African (1) Setiap kekuasaan wajib
Unity; Charter of the Organization of dipertanggungjawabkan;
American States 1948. (2) Setiap pemberian kekuasaan harus
6. Kovenan, artinya hampir sama dengan dipikirkan beban tanggung jawab untuk
Piagam, digunakan sebagai konstitusi suatu setiap penerima kekuasaan;
Organisasi Internasional, seperti: Covenan (3) Kesediaan untuk melaksanakan tanggung
of the League of Nations; International jawab harus secara inklusif sudah
Covenan on Civil and Political Rights of diterima pada saat menerima kekuasaan;
December 16, 1966; International Covenan (4) Tiap kekuasaan dittentukan batasnya
on Economic, Social, and Cultural Rights, dengan teori kewenangan.
December 16, 1966.
7. Persetujuan, digunakan untuk Perjanjian Dalam teori beban tanggung jawab,
Internasional yang ditinjau dari segi isinya ditentukan oleh cara kekuasaan itu diperoleh
lebih tehnis administratif, seperti: yaitu: pertama-tama kekuasaan diperoleh
− Agreement between the Government of melalui attributie, setelah itu dilakukan
the Republic of Indonesia and the pelimpahan (afgeleid) yang dilakukan dengan
Government of the Commonwealth of dua cara: delegatie dan mandaat. Delegatie
Australia Establishing Certain Seabed dilakukan oleh yang punya wewenang dan
Boundaries, May 18, 1971. hilangnya wewenang dalam jangka waktu
− Agreement between the Government of tertentu, penerima bertindak atas nama diri
the Republic of Indonesia and the sendiri dan bertanggungjawab secara eksternal.
Republic of India Relating to the Sedangkan, mandaat tidak menimbulkan
Delimination of the Continental Shelf pergeseran wewenang dari pemiliknya,
Boundary between the Two Countries, sehingga tanggung jawab pelaksanaan tetap
August 8, 1974. berada pada pemberi kuasa. Penerima
8. Perjanjian, arti generik untuk menyangkut kewenangan atribusi, tergantung pada pola
segala bentuk, jenis, macam perjanjian sistem pembagian kekuasaan yang membawa
internaional, arti spesifik digunakan untuk nilai kedaulatan rakyat dan menghindari
perjanjian-perjanjian internasional yang absolutisme.
penting, besar baik yang menyangkut
Bilateral dan Multilateral. Dalam praktek di Ketentuan Hukum lnternasional Dalam
Indonesia: Perjanjian disahkan dengan UU, Hukum Nasional
sedangkan Persetujuan dengan keputusan
Presiden. Meletakkan Hukum Internasional dalam
9. Pakta, biasanya digunakan dalam perjanjian sistem hukum Indonesia dalam teori dan
yang berkaitan dengan bidang mliter dan praktek tidak mudah, karena sistem
pertahanan, seperti: NATO; Pakta Warsawa. ketatanegaraan Indonesia masih mengandung
problema pada grand unified theory
ketatanegaraan, sehingga praktek
29
ketatanegaraan selama ini (sejak proklamasi nasib Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tidak
sampai sekarang) tidak pernah dapat jelas, apa sudah dicabut atau belum.
melengkapi dan memperkuat struktur
ketatanegaran Indonesia, tetapi justru makin Ketentuan Peraturan Perundang-
memburamkan sistem ketatanegaraan Undangan.
Indonesia. Dalam mengkaji pengaturan, posisi, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, tidak
dan status Hukum Internasional dalam sistem singkrun dengan Jiwa dan Semangat UUD
hukum Indonesia, harus dilihat dalam UUD NRI 1945 sebagai mana diamanatkan
NRI 1945 dan ketentuan perundang-undangan. Pembukaan UUD NRI 1945, kurang pas
Pengaturan dalam UUD baru diatur pada dengan struktur pembagian kekuasaan Negara,
amandemen UUD 1945 (2001 dan 2002), hirarki peraturan perundang-undangan, jika
sebelumnya tidak diatur, hanya diatur dengan diletakkan pada posisi dan hirarki Hukum
Surat Presiden No. 2826/HK/1960 dan Internasional. Ketentuan Undang-Undang No.
kemudian lahir Undang-Undang No.24 Tahun 24 Tahun 2000 yang akan menimbulkan
2000 tentang Perjanjian Internasional. berbagai implikasi dan persoalan teoritik dan
praktek, yang dapat dipertanyakan dan digugat
Ketentuan UUD NRI 1945 dalam prakteknya, berikut: Pasal 1 ayat (2)
Pasal 11, UUD Pengesahan adalah
“Meletakkan Hukum Internasional dalam
NRI 1945 Ayat (1) sistem hukum Indonesia dalam teori dan perbuatan hukum
Presiden dengan praktek tidak mudah, karena sistem untuk mengikatkan
persetujuan Dewan ketatanegaraan Indonesia masih diri pada suatu
Perwakilan Rakyat mengandung problema pada grand Perjanjian
menyatakan perang, unified theory ketatanegaraan, sehingga Internasional dalam
praktek ketatanegaraan selama ini (sejak
membuat perdamaian proklamasi sampai sekarang) tidak
bentuk ratifikasi
dan perjanjian dengan pernah dapat melengkapi dan (ratification), aksesi
Negara lain. Ayat (2) memperkuat struktur ketatanegaran (accession),
Presiden dalam Indonesia, tetapi justru makin penerimaan
membuat Perjanjian memburamkan sistem ketatanegaraan (acceptance) dan
Indonesia.”
Internasional lainnya persetujuan
yang menimbulkan (approval).
akibat yang luas dan Kesemuanya itu
mendasar bagi dalam bentuk hukum
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban apa bisa dilakukan dalam warna hirarki
keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perundang-undangan lndonesia dan juga dalam
perubahan atau pembentukan Undang-Undang hirarki warna Hukum Internasional. Bagi dunia
harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan internasional soal sumber Hukum Internasional
Rakyat (Ayat (3)). Ketentuan lebih lanjut dalam pelaksanaannya masih menjadi
tentang Perjanjian Internasional diatur dengan perdebatan baik secara teoritik maupun
Undang-Undang. Ketentuan Pasal 11 UUD praktek, bahkan ada yang menuduh bahwa
NRI 1945 belum cukup mengatur posisi dan Hukum Internasional itu bukan hukum. Pasal 1
kedudukan Hukum Internasional dalam sistem ayat (3) Surat Kuasa (full powers) adalah surat
Hukum Tata Negara Indonesia dan Pasal 11 ini yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri
belum bisa dijadikan payung hukum jika yang memberikan kuasa kepada satu atau
menguji ketentuan-ketentuan internasional beberapa orang yang mewakili Pemerintah RI
yang akan menjadi bagian Hukum Nasional dan untuk menandatangani atau menerima naskah
dalam praktek juga tidak jelas Indonesia perjanjian. Perjanjian menyatakan persetujuan
menganut monisme atau dualisme dalam Negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian
hubungan Hukum Nasional dengan Hukum adalah menyelesaikan hal-ha1 yang diperlukan
Internasional. Praktek dari tahun 1945-1960 dalam perbuatan Perjanjian Internasional.
tidak ada ketentuan, baru tahun 1960 keluar Sesuatu yang sulit bisa diterima bahwa
Surat Presiden No. 2826/HK/1960 dan Presiden atau Menteri dapat memberikan Surat
kemudian lahir Undang-Undang No. 24 Tahun Kuasa kepada seorang atau beberapa orang
2000 tentang Perjanjian Internasional. Tetapi, untuk mewakili Negara Indonesia untuk
menyetujui dan menandatangani Perjanjian
30
“Dapatkah DPR dan Presiden
mengesahkan Perjanjian Internasional
yang bertentangan dengan hukum dari selera penguasa, karena UUD 1945 atau
nasional, secara teoritik tidak boleh,
tetapi dalam ha1 apa pertentangan itu
UUD NRI 1945 tidak tegas memberikan asas
terjadi dan apakah bertetangan dalam sebagai landasan untuk praktek yang nantinya
arti filosofis, jika ya maka tidak bisa sebagai bagian penyempurnaan sistem
diratifikasi.” ketatanegaraan dan praktek harus mengarah
kearah itu.
2. Kerancuan pilihan dalam praktek selama ini
Internasional. Menteri sebagai pembantu untuk menentukan hubungan Hukum Nasional
Presiden dalam tugas keeksekutifan, dengan Hukum Internasional, untuk Indonesia
memberikan Surat Kuasa kepada seseorang yang paling tepat menggunakan prinsip
atau beberapa orang untuk menyetujui dan dualisme, karena dari segi struktur
menandatangani Perjanjian Internasional, sama ketatanegaraan Indonesia belum memiliki grand
juga persoalan yang akan ditimbulkan oleh unified desain.
Pasal 1 ayat Pasal 2 Menteri memberikan 3. Karakter sistem hukum Indonesia dipengaruhi
pertimbangan politis dan mengambil langkah- oleh sistem hukum civil law system dan common
langkah yang diperlukan dalam perbuatan dan law system, pengaruh kedua sistem ini belum
pengesahan Perjanjian Internasional, dengan mampu disintesakan yang melahirkan asas
berkonsultasi dengan DPR dalam hal yang hukum yang menjadi pilihan sesuai dengan jiwa
menyangkut kepentingan publik. Tidak bisa dan karakter bangsa Indonesia.
membedakan mana Pemerintah (eksekutif) 4. Keanehan yang terjadi dalam praktek, seperti
dengan Menteri sebagai pembantu Presiden suatu ketika menggunakan logika monisme, saat
dalam melaksanakan tugas keeksekutifan, yang lain menggunakan dualisme, bahkan
sepertinya Menteri sebagai lembaga tinggi campuran antara keduanya ini disebabkan tidak
Negara, tetapi Menteri disini mewakili ada ketegasan prinsip yang diatur dalam UUD
Pemerintah (eksekutif). Pasal 3 Pemerintah RI dan Pasal 11 UUD NRI 1945 belum cukup
mengikatkan diri pada Perjanjian Internasional mengatur.
melalui cara-cara, sebagai berikut: 5. Bagaimana ratifikasi sebuah Perjanjian
(1) penandatanganan; Internasional, apakah dalam bentuk Undang-
(2) pengesahan; Undang atau Perpres harus dilihat dari hirarki
(3) pertukaran dokumen perjanjian/nota Hukum Nasional dengan muatan materi untuk
diplomatik; meletakkan hirarki Hukum Internasional dengan
(4) cara-cara lain sebagaimana disepakati para materi muatannya. Jikapun Indonesia memilih
pihak dalam Perjanjian Internasional. prinsip monisme harus ke primat Hukum
Nasional, kesadaran politik yang belum mapan
Pasal 10, pengesahan Perjanjian yang membuat Indonesia sering dirugikan akibat
Internasional dilakukan dengan Undang- Perjanjian Internasional.
Undang, apabila berkenaan dengan: 6. Ratifikasi Perjanjian Internasional harus
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan merupakan bagian dari Hukum Nasional, asalkan
dan keamanan Negara; tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945
b. perubahan wilayah atau penetapan batas merupakan sebuah prinsip, tetapi UUD NRI
wilayah Negara RI; 1945 masih belum memenuhi syarat sebagai
c. kedaulatan atau hak berdaulat Negara; fundamental norm Negara.
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 7. Secara teori bisa saja menggunakan format
e. pembentukan kaidah hukum baru; Perppu untuk meratifikasi sebuah Perjanjian
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Internasional, tetapi akan menjadi dilematis bagi
pemerintah, jika Perpu itu ditolak di DPR.
Komentar 8. Tentang ratifikasi UNCLOS 1982 melalui
Undang-Undang No.17 Tahun 1985, maka
Dari hasil kajian terhadap reference paper dapat terjadi perubahan rejim perairan dari internal
diambil suatu komentar dan masukan, bagaimana waters menjadi archipelagic waters. Undang-
meletakkan Perjanjian Internasional dalam Undang No. 17 Tahun 1985 dapat dijadikan
kerangka Hukum Nasional. untuk pemberlakuan rejim archipelagic waters.
1. Penempatan Perjanjian Internasional dalam Oleh sebab itu, ratifikasi suatu Perjanjian
kerangka Hukum Nasional selama ini trgantung Internasional harus sudah dipikirkan, apa-apa
31
dan ketentuan apa saja yang dipengaruhinya dan
menguntungkan Indonesia atau merugikan.
9. Dapatkah DPR dan Presiden mengesahkan
Perjanjian Internasional yang bertentangan
dengan hukum nasional, secara teoritik tidak
boleh, tetapi dalam ha1 apa pertentangan itu
terjadi dan apakah bertetangan dalam arti
filosofis, jika ya maka tidak bisa diratifikasi.
10. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, merupakan Undang-Undang
yang dilahirkan dengan menabrak Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960, karena Undang-
Undang No. 25 Tahun 2007 syarat dengan
kepentingan investasi dan banyak Undang-
Undang yang dilahirkan untuk kepentingan
kelompok baik kepentingan kelompok dalam
negeri maupun kepentingan kelompok luar
negeri, bukan untuk kepentingan Bangsa
Indonesia.
11. Dari sekian banyak bentuk dan istilah yang
dipergunakan dalam Perjanjian Internasional,
maka ratifikasi menjadi sangat penting dilakukan
dalam bentuk Undang-Undang.
12. Subyek Hukum Internasional adalah Negara,
dalam ha1 ini diwakili oleh Pemerintah
(eksekutif), maka lembaga yang lain tidak bisa
melakukan Perjanjian Internasional secara
langsung, harus melalui pintu Pemerintah
(eksekutif) yang mewakili Negara sebagai subyek
Hukum Internasional.
13. Setiap lembaga atau instansi yang akan
melakukan Perjanjian Internasional, harus dilihat
dari segi subyek hukum, apakah organisasi
ASEAN merupakan Subyek Hukum
Internasional, jika ya berarti boleh, tetapi karena
ASEAN sebagai organisasi bukan sebagai Negara
yang berdaulat, maka perjanjian yang harus
dibuat hanya kapasitas untuk melaksanakan
Piagam ASEAN.
32