Anda di halaman 1dari 32

PENDAHULUAN

Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom nefrotik dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal1. Istilah sindrom nefrotik kemudian digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang menunjukan keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukan suatu penyakit yang mendasarinya.2 Sampai pertengahan abad ke 20 morbiditas sindrom nefrotik pada anak masih tinggi yaitu melebihi 50%. Dengan ditemukannya obat-obat sulfonamid dan penicilin tahun 1940an, dan dipakainya obat adrenokortokotropik (ACTH) serta koertikosterid pada tahun 1950, mortalitas penyakit ini mencapai 67%. Dan kebanyakan mortalitas ini disebabkan oleh komplikasi peritonitis dan sepsis. Pada dekade berikutnya mortalitas turun sampai 40%, dan turun lagi menjadi 35%. Dengan pemakaian ACTH atau kortison pada awal 1950 untuk mengatasi edema dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi, angka kematian turun mencapai 20%. Pasien sindrom nefrotik yang selamat dari infeksi sebelum era sulfonamid umumnya kematian pada periode ini disebabkan oleh gagal ginjal kronik.2 Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Istilah sindrom nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik idiopatik dikarenakan etiologi keduanya sama termasuk manisfestasi klinis serta histopatologinya.3 Dalam refrat ini selanjutnya pembahasan mengenai maisfestasi klinik, diagnosis dan penatalaksanaan akan dititk beratkan pada sindrom nefrotik primer. Terutama sub kategori minimal change nephrotic syndrome (MCNS), fokal segmental glomerosclerosis (FSGS) serta membrano proloferatif

glomerulonephritis (MPGN).

BAB II ANATOMI
Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untuk homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur keseimbangan cairan dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masing di sisi kiri dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum). Selain itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria (bulibuli/kandung kemih) dan uretra yang membawa urine ke lingkungan luar tubuh.3,4

Ginjal Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri karena disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri. Syntopi ginjal 3,4 Anterior Ginjal kiri Dinding Pankreas Limpa Vasa lienalis Usus halus Fleksura lienalis dorsal Ginjal kanan gaster Lobus kanan hati Duodenum descendens Fleksura hepatica Usus halus pars

Posterior

Diafragma, m.psoas major, m. quadratus lumborum, m. transversus abdominis(aponeurosis), n.subcostalis, n.iliohypogastricus, a.subcostalis, aa.lumbales 1-2(3), iga 12 (ginjal kanan) dan iga 11-12 (ginjal kiri).

Gambar 1.0 Ginjal Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian: Korteks: bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis. Medula: terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung Henle dan tubulus pengumpul (ductus collectivus). Columna renalis: bagian korteks di antara pyramid ginjal Processus renalis: bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks Hilus renalis: suatu bagian di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal. Papilla renalis: bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor. Calix minor: percabangan dari calix major. Calix major: percabangan dari pelvis renalis. Pelvis renalis: disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang

menghubungkan antara calix major dan ureter.

Ureter: saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Gambar 1.1

Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle dan tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus kolektivus. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh darah kapiler,yaitu arteriol yang membawa darah dari dan menuju glomerulus serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal). Berdasarkan letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta.5 Ginjal diperdarahi oleh arteri dan vena renalis. A. renalis merupakan percabangan dari aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena

cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang ng akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior. Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.5 Fisiologi ginjal .4,5 Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan cara mengatur keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur asam basa darah, pengaturan ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam dan memproduksi hormon yaitu : a. Prostaglandin yang berfungsi untuk pengaturan garam dan air serta mempengaruhi tekanan vaskuler. b. Eritropoietin yang berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah. c. 1,25 dihidroksikolekalsiferol yang berfungsi memperkuat absorpsi kalsium dari usus dan reabsorbsi fosfat oleh tubulus renalis. d. Renin yang berfungsi bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan tekanan vaskuler dan produksi aldosteron.

Tiga tahap pembentukan urine: 1) Filtrasi glomerular Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relatif bersifat impermeabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permeabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul Bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowmans disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari

perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula bowmans, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowmans serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler. 2) Reabsorpsi Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi. 3) Sekresi Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen. Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular perjalanannya kembali jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.

BAB III SINDROM NEFROTIK Definisi Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24jam/1.73 m3 disertai hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas.6 Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T.
2

Epidemiologi Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus. Berdasarkan kelainan histopatologis, SN pada anak yang paling banyak ditemukan adalah jenis kelainan minimal. International Study Kidney Disease in Children (ISKDC) melaporkan 76% SN pada anak adalah kelainan minimal. Apabila penyakit SN ini timbul sebagai bagian dari penyakit sistemik dan berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindroma nefrotik sekunder.

Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologinya, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya terhadap pengobatan. Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari 50 % menjadi 5 % dengan majunya terapi dan pemberian steroid.

ETIOLOGI Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :7,8 Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Sindrom nefrotik kongenital Bayi-bayi yang menunjukan gejala sindrom nefrotik dalam 3 bulan pertama kehidupannya didiagnosis sebagai sindrom nefrotik kongenital. Penyebab utama kelainan ini adalah sindrom nefrotik kongenital finnish type, suatu penyakit yang diturunkan secara autosomal resesif, terbanyak ditemukan pada populasi skandinavia dengan angka kejadian 1 diantara 8.000 bayi.

Pada sindrom nefrotik kongenital tipe ini telah ditemukan adanya mutasi gen NPHS1 yang berlokasi pada kromosom 19q13.1 gen ini mengkode protein nephrin, yaitu komponen protein utama pada slit diaphragma di lapisan epitel glomerulus yang berpartisipasi dalam pembentukan anion. Lapisan anion ini berfungsi untuk menolak protein plasma secara elektro kimiawi. Sindrom nefrotik kongenital sering disertai gambaran klinis lain seperti lahir prematur dengan berat badan lahir kecil dibandingkan masa gestasinya, plasenta besar, kelainan bentuk kepala dan wajah, gangguan pernapasan. Perjalanan penyakit ini berupa edema persisiten, disertai infeksi berulang, dan penurunan fungsi ginjal progresif, kematian umumnya terjadi sebelum usia lima tahun. Sindrom

nefrotik

kongenital

dapat

juga

disebabkan

oleh

sifilis

kongenital,

toksoplasmosis dan infeksi sitomegalovirus.

Sindrom nefrotik primer idiopatik Sindrom nefrotik primer idiopatik, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak, yaitu meliputi 90% dari seluruh sindrom nefrotik pada anak. Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).

Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS) Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif Glomerulonefritis kresentik (GNK) Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intramembran GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial Glomerulopati membranosa (GM) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak. Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah : 1. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema. 2. Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute Bacterial Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS. 3. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion, paramethadion, probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa ular. 4. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik, purpura Henoch-Schonlein, sarkoidosis. 5. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, Leukemia, tumor

gastrointestinal. 6. Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome Patofisiologi7,9,10,11

10

Gambar 1.3 Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan

pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial. Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta

11

ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia. Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.7 Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very low density lipoprotein). Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL

12

menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN.

Pembagian Patologi Anatomi Klasifikasi kelainan histopatologi glomerulus pada SN yang digunakan sebagaian besar ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan mikroskop electron dan imunofluoresensi. Kelainan minimal (KM) o Merupakan bentuk utama dari glomerulonefritis dimana mekanisme

patogenetik imun tampak tidak ikut berperan (tidak ada bukti patogenesis kompleks imun atau anti-MBG). o Glomerolus tampak foot processus sel terpadu, maka disebut juga nefrosis lipid atau penyakit podosit. o Kelainan yang relatif jinak adalah penyebab sindrom nefrotik yang paling sering pada anak-anak usia 1-5 tahun. o Glomeruli tampak normal atau hampir normal pada mikroskop cahaya, sedangkan dengan mikroskop elektron terlihat adanya penyatuan podosit; hanya bentuk glomerolunefritis mayor yang tidak memperlihatkan

imunopatologi. Nefropati membranosa(glomerulonefritis membranosa) o Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada MBG. o Jarang ditemukan pada anak-anak. o Mengenai beberapa lobus glomerolus, sedangkan yang lain masih normal. o Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrana basalis yang dapat terlihat baik dengan mikroskop cahaya maupun elektron.

13

Glomerulosklerosis (GS) Kelainan khas terdapat daerah perpadatan di dalam glomerulus, beberapa kapiler kolaps, pertambahan matriks mesangial, pertambahan sel mesangial, dan endapan sejumlah hialin di dalam mesangium atau lumen kapiler. a. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) b. Glomerulosklerosis fokal global (GSFG) Glomerulosklerosis fokal segmental o Lesi ini punya insidens hematuria yang lebih tinggi dan hipertensi, proteinuria nonselektif dan responnya terhadap kortikosteroid buruk. o Penyakit ini mula-mula hanya mengenai beberapa glomeruli (istilah fokal) dan pada permulaan hanya glomeroli jukstameduler. Jika penyakit ini berlanjut maka semua bagian terkena. o Secara histologik ditandai sklerosis dan hialinisasi beberapa anyaman didalam satu glomerolus, menyisihkan bagian-bagian lain. Jadi keterlibatannya baik fokal dan segmental. o Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik. Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN) o Ditandai dengan penebalan membran basalis dan proliferasi seluler (hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN. o Dengan mikroskop cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial dan suatu penambahan matriks mesangial. o Perluasan mesangium berlanjut ke dalam kumparan kapiler perifer, menyebabkan reduplikasi membrana basalis (jejak-trem atau kontur lengkap) o Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik. o Ada MPGN tipe I dan tipe II. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) Glomerulus tampak besar karena proliferasi sel mesangium dan pertambahan matriks mesangial, sehingga menyebabkan meluasnya daerah mesangial dan terbentuk gambaran lobulasi glomerulus, dan juga terjadi duplikasi membrane basal.

14

o Proliferatif glomeruler dan atau kerusakan yang terbatas pada segmen glomerulus individual (segmental) dan mengenai hanya beberapa glomerulus (fokal). o Lebih sering ada dengan sindrom nefritik. GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intramembran GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial Glomerulonefritis kresentik (GNK) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL) Gejala Klinis 9,10 Episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti influenza, bengkak periorbital, dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas dan menjadi edema anasarka. Keluhan jarang selain malaise ringan dan nyeri perut.Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani. Bila edema berat dapat timbul dispnoe akibat efusi pleura. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat. Edema merupakan keluhan utama, tidak jarang merupakan keluhan satusatunya dari sindrom nefrotik. Timbulnya muncul terutama pada pagi hari dan hilang pada siang hari. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat atau hilang kemudian timbul kembali. Lokasi edema biasanya mengenai mata. Kemudian edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut, genitalia dan tungkai bawah. Sebelum mencapai keadaan ini orang tua pasien sering mengeluh berat badan anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak diikuti dengan nafsu makan yang meningkat.

Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di kelopak mata dan muka sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi berdiri. Edema pada anak pada awal perjalaan penyakit SN umumnya dinyatakan

15

sebagai lembek dan pitting. Pada edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki yang menyempit. Kadang pada edema yang massif terjadi robakan pada kulit secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura.

Gangguan Gastrointestinal

Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang massif dan keadaan ini tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema pada mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, yang disebabkan karena sistesis albumin yang meningkat atau edema, atau keduanya. Terdapat nyeri perut yang terkadang berat yang dirasakan terbatas pada kuadaran atas kanan saja, timbul mual dan muntah, serta dapat dirasakan dinding perut menjadi tegang. Anoreksia dan hilangnya protein dapat menyebabkan timbulnya tandatanda malnutrisi seperti perubahan rambut dan kulit, pembesaran kelenjar parotis. Asites yang hebat dapat menyebabkan herniaumbilikalis dan prolaps ani.

Gangguan Pernafasan Karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura maka saluran pernafasan sering terganggu, bahkan terkadang keadaan menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infuse albumin dan furosemid.

Gangguan Fungsi Psikososial Pada umumnya terdapat stress nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Timbul kecemasan dan perasaan bersalah pada keluarga dan pasien merupakan respon emosional.

Kelainan Urin dan Darah Pada Pasien Sindrom Nefrotik 7

16

Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaria yang massif proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam atau 3,5 g/hari), hipoproteinuria, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), hiperlipidemia, dan tanpa ataupun disertai edema dan hiperkolesterolemia. Biasanya sedimen urin normal namun bila didapati hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misal : sklerosis glomerulus fokal). Gambaran laboratorium6,7

Darah

: - Hipoalbuminemia (< 3,5 g/dl) - Kolesterol meningkat (>200 mg% , TG > 300mg%) - Kalsium menurun - Ureum Normal - Hb menurun, LED meningkat

Urin

: - Volumenya : normal sampai kurang - Berat jenis : normal sampai meningkat - Proteinuria masif (>29gr / 24 jam) - Glikosuria akibat disfungsi tubulus proksimal - Sedimen : silinder hialin, silinder berbutir, silinder lemak, oval fat bodies, leukosit normal sampai meningkat.

Pemeriksaan urin yang didapatkan 3,11

Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau tes asam acetat) didapatkan hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang berarti: urin sangat keruh dan kekeruhan berkeping-keping besar atau bergumpal-gumpal atau memadat (> 0,5%). Penetapan jumlah protein dengan cara Esbach (modifikasi Tsuchiya) didapatkan hasil proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15 gram/hari. Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 gram/l/24jam. Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini berlangsung selama edema masih ada.

17

Berat jenis urin meningkat. Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik (dengan pewarnaan Sudan III). Terdapat leukosit Pemeriksaan darah yang didapatkan 6,7 Hipoalbuminemia terbalik. Hiperkolesterolemia sehingga ditemukan perbandingan albumin-globulin

Studi pencitraan
Ultrasonografi Ginjal Ultrasonografi Ginjal dapat membantu untuk membedakan antara MCNS dan penyakit ginjal kronis lainnya, tapi temuan biasanya tidak spesifik. Dalam semua kasus sindrom nefrotik, ginjal biasanya membesar akibat edema jaringan. Peningkatan gambaran Echogenicity biasanya menunjukkan penyakit ginjal kronis selain MCNS, di mana echogenicity biasanya normal. Temuan ginjal kecil mengindikasikan penyakit ginjal kronis selain MCNS dan biasanya disertai dengan peningkatan kadar kreatinin serum. Rontgen Thorax Rontgen thorax dilakukan dengan indikasikan pada anak dengan gejala pernapasan. Efusi pleura adalah hal yang paling umum terjadi, lalu diikuti dengan edema paru walaupun hal ini jarang ditemukan.Rontgen thorax juga harus

dipertimbangkan sebelum terapi steroid diberikan untuk menyingkirkan infeksi TB , terutama pada anak dengan uji Mantoux positif atau sebelumnya positif atau pengobatan sebelumnya untuk TB.

18

Uji Mantoux Mantoux (Pure protein derivative [PPD]) harus dilakukan sebelum

pengobatan steroid untuk menyingkirkan infeksi TB.Pemeriksaan Mantoux dapat dilakukan secara bersamaan dengan pengobatan steroid, pengobatan dengan

steroid selama 48 jam sebelum membaca hasil pemeriksaan PPD tidak menutupi hasil yang positif (jika tes hasilnya positif, steroid harus segera dihentikan).Pada anak-anak dengan PPD positif, PPD sebelumnya positif, atau sebelum pengobatan untuk TB, rontgen thorax harus dilakukan. Biopsi Ginjal Biopsi ginjal tidak diindikasikan untuk pasien yang mengidap Sindrom nefrotik pada anak 1-8 tahun kecuali hasil Anamnesis, temuan fisik, atau laboratorium menunjukkan kemungkinan sindrom nefrotik sekunder atau sindrom nefrotik primer selain MCNS. Biopsi ginjal diindikasikan pada pasien berusia kurang dari 1 tahun bila bentuk genetik dari sindrom nefrotik kongenital lebih umum, dan pada pasien yang lebih tua dari 8 tahun, ketika penyakit glomerular kronis seperti FSGS memiliki insiden yang lebih tinggi untuk terjadi. Pada pasien yang usianya lebih tua dari 8 tahun, pengobatan steroid empiris dapat dipertimbangkan sebelum biopsi ginjal, tetapi ini harus dirawat di bawah perawatan nephrologis pediatrik berpengalaman dengan sindrom nefrotik. Beberapa penulis telah merekomendasikan melakukan biopsi ginjal pada pasien yang lebih tua dari 12 tahun. Biopsi ginjal juga harus dilakukan ketika anamnesis, pemeriksaan fisik , atau hasil laboratorium menunjukkan adanya temuan sindrom nefrotik sekunder atau penyakit ginjal selain MCNS. Dengan demikian, biopsi ginjal diindikasikan jika pasien memiliki salah satu dari berikut:

Gejala penyakit sistemik (misalnya, demam, ruam, nyeri sendi) Indikasi laboratorium sindrom nefrotik sekunder (Antinuclear antibodi (ANA), anti-double stranded DNA antibody)

19

Peningkatan responsif tingkat kreatinin terhadap koreksi deplesi volume intravaskular

Sebuah sejarah yang relevan keluarga penyakit ginjal

Dan pada akhirnya, pada pasien yang awalnya atau yang kemudian tidak responsif terhadap pengobatan steroid, ginjal biopsi harus dilakukan, karena tidak responsif terhadap pengobatan steroid memiliki korelasi tinggi dengan temuan histologi yang buruk yang mengarah pada FSGS atau MGN. Langkah Diagnostik Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk menetapkan apakah ini merupakan sindrom nefrotik atau bukan sindrom nefrotik, karena hipoalbuminemia dapat terjadi tanpa adanya proteinuria (seperti dari protein kehilangan enteropati), dan edema dapat terjadi tanpa adanya hipoalbuminemia (misalnya, dalam angioedema, kebocoran kapiler, insufisiensi vena, gagal jantung kongestif). Untuk menetapkan adanya sindrom nefrotik, tes laboratorium harus

mengkonfirmasi (1) nefrotik-range proteinuria, (2) hipoalbuminemia, dan (3) hiperlipidemia. Oleh karena itu, pengujian laboratorium awal harus mencakup sebagai berikut:

Urinalisis Protein urin kuantifikasi (dengan terlebih dahulu pagi-protein urin / kreatinin atau 24-jam protein urin)

Serum albumin Lipid panel

Setelah ditegakan

adanya sindrom nefrotik, tugas selanjutnya adalah

menentukan apakah sindrom nefrotik primer (idiopatik) atau sekunder yang diakibatkan oleh adanya gangguan penyakit sistemik sistemik dan, jika idiopatik nefrotik sindrom (INS) telah ditentukan, apakah tanda-tanda penyakit ginjal

20

kronis, ginjal insufisiensi, atau tanda-tanda mengecualikan kemungkinan MCNS. Oleh karena itu, selain tes di atas, berikut ini harus disertakan dalam hasil pemeriksaan:

Tes darah lengkap (CBC) Metabolik panel (elektrolit serum, BUN dan kreatinin, kalsium, fosfor, dan kadar kalsium terionisasi)

Tes HIV, hepatitis B dan C Pelengkap studi (C3, C4) Antinuclear antibodi (ANA), anti-double stranded DNA antibody (pada pasien dipilih) Pasien dengan INS kehilangan vitamin D-binding protein, yang dapat mengakibatkan tingkat vitamin D rendah, dan globulin mengikat tiroid, yang dapat menyebabkan kadar hormon tiroid rendah. Pertimbangan harus diberikan, terutama pada anak dengan sering kambuh atau steroid tahan sindrom nefrotik, untuk pengujian untuk 25-OH-vitamin D; 1,25-di (OH)-vitamin D; T4 bebas, dan thyroid-stimulating hormone ( TSH). Pemeriksaan lainnya dan prosedur pada pasien yang dipilih dapat mencakup sebagai berikut:

Genetik studi Ultrasonografi Ginjal Rontgen Thorax Mantoux test Biopsi ginjal Umur memainkan peran penting dalam evaluasi diagnostik sindrom

nefrotik. Anak-anak yang mengalami sindrom nefrotik lebih muda dari usia 1 tahun harus dievaluasi untuk kongenital / infantile sindrom nefrotik. Selain tes di atas, bayi harus memiliki tes berikut:

Kongenital infeksi (sifilis, rubella, toksoplasmosis, sitomegalovirus, HIV) Biopsi ginjal (lihat Prosedur)

21

Genetik tes untuk NPHS1,, NPHS2 WT1, dan LAMB2 mutasi sebagai dipandu oleh temuan biopsi dan presentasi klinis

Tidak ada perawatan bedah rutin diindikasikan untuk kondisi ini.

Diferensial Diagnosis

Glomerulonefritis akut Poststreptococcal Kegagalan ginjal akut Angioedema Denys-Drash Syndrome Henoch Schonlein PurpuraHIV-Associated nefropati Minimal-Perubahan Penyakit Nail-patella Syndrome Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Toksoplasmosis Indikasi untuk Perawatan di Rumah Sakit Indikasi medis Kemungkinan untuk masuk meliputi:

Anasarca, terutama ketika resisten terhadap terapi rawat jalan dan / atau disertai dengan kompromi masalah pernapasan, asites masif atau edema skrotum / perineum atau penis

Signifikan hipertensi Anuria atau oligouria parah Peritonitis, sepsis, atau infeksi yang parah Signifikan infeksi pernapasan Signifikan azotemia

Frequently relapsing and steroid-dependent nephrotic syndromes


Sekitar 60% dari pasien responsif steroid mengalami kambuh atau episode

relaps. Beberapa dari pasien ini dapat dikelola dengan dosis rendah steroid , yang diberikan setiap hari atau pada hari alternatif, tetapi masih banyak yang terdapat

22

episode relaps atau

kambuh, terutama jika mereka memiliki . Steroid

menginduksi efek samping berkembang dalam proporsi yang tinggi dari pasien tersebut. Sekarang tidak ada data pada obat lini kedua yang lebih disukai untuk drugs of choice, untuk itu masih sering digunakan pengobatan menggunakan siklofosfamid, klorambusil, ciclosporin, dan levamisol untuk mengurangi risiko kambuh didukung oleh sistematis review control trials secara acak dan dengan berbasis bukti recommendations. Agen alkylating telah digunakan sejak 1950-an. Walaupun anak-anak di kedua sub kelompok dapat mengambil manfaat dari pengobatan agen alkylating, anak dengan sindrom nefrotik yang sering kambuh atau mengalami episode (dua episode atau lebih kambuh dalam 6 bulan respon awal atau empat atau lebih episode relaps pada setiap periode 12-bulan) dilaporkan mencapai lebih lama remisi dengan agen alkylating daripada anakanak dengan pengobatan steroid. Pengobatan dengan siklofosfamid (2.0 -2 5 mg / kg/hari) atau klorambusil (0,2 mg / kg) adalah umumnya diberikan selama 8-12 minggu. Karena risiko kejang terkait dengan pengobatan klorambusil.

pengobatan bulanan Intravena juga tampaknya efektif, tetapi tidak ada advantage. Pedoman untuk pengobatan alkylating agen tahap kedua perlu dibentuk. Meskipun tidak umum dianjurkan, pengobatan tahap kedua yaitu 8-minggu kedua siklofosfamid dapat diberikan tanpa mencapai dosis ambang kumulatif 200 mg / kg, di atas dosis tersebut akan dapat semakin berisiko utuk efek toksik gonad.

Ciclosporin adalah agen steroid-sparing penting dalam pengobatan sindrom nefrotik steroid responsif. Sejak awal laporan pada akhir tahun 1980an, tanggap terhadap ciclosporin telah dikonfirmasi dalam banyak studi dan data penting pada keamanan dan kemanjurannya dalam 85% dari pasien mengalami remisi secara keseluruhan, bila digunakan untuk mengobati sindrom nefrotik steroid responsif. Meskipun tidak ada protokol pengobatan standar, awal pengobatan ciclosporin biasanya berlangsung selama 1-2 tahun. Biasanya pasien dapat dikelola dengan dosis 5-6 mg / kg sehari dan melalui konsentrasi 50-125 ng / mL. Kekhawatiran tentang efek nefrotoksik perlu dilakukan pemantauan secara cermat akan fungsi ginjal dan konsentrasi plasma ciclosporin. Tidak semua dengan ciclosporin dapat menghentikan pasien yang diobati steroid dan

pengobatan

23

mempertahankan remisi, sebanyak 40% mungkin perlu seiring dosis rendah steroids. lama-lama pengobatan yang digunakan frekuensinya meningkat namun harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan penunjang yaitu biopsi ginjal untuk memeriksa bukti ciclosporin induksi vasculopathy. Levamisol adalah obat

anthelmintik dengan imunostimulan properti. Levamisol (2,5 mg / kg pada hari alternatif) mengurangi jumlah relaps pada anak-anak dengan sering episodik relapsnya. Dalam analisis retrospektif, levamisol telah diusulkan untuk menjadi sama efektifnya dengan siklofosfamid dalam pengobatan relapse sindrom

nefrotik . Namun Obat ini tidak memiliki efek toksik (Misalnya, leukopenia, kelainan hati), termasuk kasus ensefalopati. Mizoribine, sebuah langka agranulositosis, vaskulitis, dan sintesis purin-imunosupresif inhibitor

dikembangkan di Jepang, dilaporkan untuk mengurangi jumlah relaps pada anak berusia di bawah 10 tahun jika diberikan selama 48 minggu, tetapi tidak mengurangi tingkat kekambuhan untuk kelompok perlakuan secara seluruhnya. laporan Kasus tanggap terhadap mycophenolate mofetil telah mulai

dipublikasikan, tapi rekomendasi untuk penggunaan obat ini harus menunggu hasil randomized controlled clinical trials.

Sindrom Nefrotik Resisten Steroid


Hal ini tidak rutin dilakukan dalam praktek, hanya saja dilakukan dilakukan di Inggris, dimana biopsi pada ginjal anak yang terkena serangan pertama sindrom nefrotik yang berada pada usia dibawah 12 tahun atau usia lebih dari 16 tahun, yang disertai dengan hipertensi yang persisten, hematuria yang terus menerus dan nyata, kadar C3 dan C4 yang rendah dan tidak beresponnya terapi inisial kortikosteroid. Tujuan dialkukannya biopsi adalah untuk melihat kelaianan

histologi dari ginjal yang biasanya mengarah pada FSGS atau MCD. Harus diingat bahwa FSGS adalah suatu gambaran histologi yang buruk sebagai hasil dari perjalanan penyakit sindrom nefrotik, dan terdapat gambaran suatu bentuk resistensi terhadap semua tipe pengobatan. Dewasa ini diketahui bahwa mungkin hal ini terjadi karena diakibatkan oleh suatu mutasi dari gen 1q25-31 yang dimana gen tersebut mengkode untuk pembentukan membran protein, podokin, dan

24

melokalisasi sel podosit. Terdapat bebearapa data evidens yang mengatakan anak yang memperlihatkan lesi sindrom nefrotik tipe FSGS sejak awal penyakit sangat tidak responsif untuk menerima terapi steroid dan pengobatan lainnya dibandingkan MCD. Yang tpenting perlu diperhatikan bahwa beberapa pasien dengan tipe MCD pada pemeriksaan hasil biopsi ginjal pertama kali mungkin akan berubah atau bertransformasi menjadi tipe FSGS pada akhir penyakit, terutama jika mereka scara persisten resisten akan pengobatan steroid atau mereka yang tadinya mengalami remisi dengan pengobatan steroid pada awalnya kini berkembang menjadi resisten akan pengobatan steroid sekunder, hal itu dapat terjadi. Sejak saat itu hanya penting untuk mengidentifikasi area tunggal dari hyalinosis fokal pada glomerulus tunggal untuk mendiganosa FSGS, dan pertanyaannya adalah meskipun FSGS dapat tertampilkan setiap waktu dari hasil pemeriksaan biopsi ginjal tetapi selalu terlewatkan pada biposi ginjal pertama dikarenakan sebauah lesi yang representatif tidak masuk atau tidak tertampakan dalam biposi tersebut atau justru MCD yang sesungguhnya dapat berkembang menjadi ke tipe FSGS , jawabnnya belum diketemukan. Hal inilah yang sekarang dipercaya bahawa lesi yang makin hari makin memburuk atau meningkat untuk tipe FSGS sebanding dengan makin tidak adanya remisi akan protenuria berat . Jika hal tersebut benar adanya, hal tersebut akan menunjukan bahawa akan terjadi suatu bentuk resistensi akan pengobatan kortikosteroid pada perkembanagan FSGS yang tadinya berresponsif akan terapi steroid dan terdapat remisi. Inti dari dilakukannnya suatu tindakan biposi setelah kegagalan intial pada dalam merespon terapi steroid ialah untuk menyingkirkan kasus yang sangat langka lainnya seperti glomerrulonephritis nonploriferatif membran dimana akan diberikan perlakuan dan pengobatan yang berbeda juga nantinya.

Meskipun pengobatan untuk tipe sindrom nefrotik ini jauh dari hasil yang memuaskan, namun pengobatan tetap harus diberikan sesuai dengan dengan terapi immunosupresif yang empiris dengan kombinasi dan variasi obat-obatan yang digunakan sesuaikan dengan evidence base medicine, sekalipun laporan mengenai efektivitasnya kurang atau lemah. Karena hal tersebut untuk mencegah progresifitas dan memberikan remisi akan perjalanan penyakit tersebut sekalipun

25

memang terdapat suatu prognosis yang buruk dimana tipe sindrom nefrotik resisten steroid akan menuju kepada kegagalan ginjal dengan besar persentase mencapai 50% dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang.

Penatalaksanaan

Sindrom

Nefrotik

Secara

Suportif,

Diitetik

dan

Medikamentosa Suportif:

Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0.8-1.0 g/kg BB/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria. Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliseride dan meningkatkan kolesterol HDL. 7 Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas) Restriksi protein dengan diet protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam. Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 2 gram/hari. Menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan menghidari makanan yang diasinkan. Diet rendah kolestrol < 600 mg/hari

26

Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari Medikamentosa: 7,10 Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi pasien hingga kadar albumin darah normal kembali dan edema berkurang seiring meningkatnya kembali tekanan osmotik plasma. Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan garam, sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti spirinolakton, atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau butematid. Selama

pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan komplikasi seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskuler berat. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2 gram/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila ada harus dipantau secara berkala.9 Pemberian ACE-inhibitors misalnya enalpril, captopril atau lisinopril untuk menurunkan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal.

Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa. Pada pasien yang tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien yang ketergantungan dengan kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan pemberian cyclophosphamide 2 - 3 mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Obat-obat tersebut harus diperhatikan selama pemberian karena dapat menekan hormon gonadal (terutama pada remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis hemorrhagik dan menekan produksi sel sumsum tulang. 6,12.

27

Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal change nephritic syndrome secara acak mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 8 atau 12 minggu masing masing dalam kombinasi dengan prednisone. Tidak ada perbedaan antara dua kelompok dalam usia, onset neprosis, rasio jenis kelamin, lamanya neprosis atau jumlah pasien yang relap pada saat masuk penelitian. Diperoleh hasil angka bebas dari relap selama 5 tahun pada pasien yang mendapat terapi selama 8 minggu adalah 25 % serupa dengan yang mendapat terapi 12 minggu 24 %. Dari uji klinik tersebut dapat disimpulkan cyclophosphamide tidak perlu digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan dosis 2 mg/kg/hari pada anak anak dalam kombinasi dengan steroid pada minimal change nephotic syndrome.12

Komplikasi Sindrom Nefrotik 7,10 1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan hemostasis pada sindrom nefrotik: Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan: a) Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti AT III, protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin. b) Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2, meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya fibrinolisis. Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit. 2. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus, bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan. 3. Gangguan tubulus renalis

28

Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam. 4. Gagal ginjal akut. Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi karena edema interstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan penurunan LFG. 5. Anemia Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum yang menurun akibat proteinuria. 6. Peritonitis Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli. 7. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria. Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Disamping itu pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan. Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan. [3,7] Penatalaksanaan Komplikasi Sindroma Nefrotik: 7,10

29

Pengobatan komplikasi sindrom nefrotik ini secara simptomatik. 1. Pengobatan kelainan koagulasi dengan pemberian zat anti koagulan dan trombosis diberikan trombolitik. 2. Cegah infeksi. Jika terjadi infeksi sekunder maupun peritonitis diberikan antibiotik terutama yang berspektrum luas . 3. Pemberian furosemid untuk meningkatkan hantaran ke tubulus distal. Selain itu, furosemid juga diberikan bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam. Dosis furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Bila refrakter, dapat digunakan hidroklortiazid (2550 mg/hari). Selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravascular berat. 4. Jika terjadi gagal ginjal, hal ini membutuhkan proses dialisis, atau cangkok ginjal. 5. Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi inflamasi infeksi kulit. Prednison dosis penuh : 60 mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/kgBB/hari) selama 4 minggu dilanjutkan pemberian prednison dosis 40 mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2/3 dosis penuh, yang diberikan 3 hari berturut-turut dalam seminngu atau selang sehari selama 4 minggu, kemudian dihentikan tanpa tapering off. Bila relaps, berikan prednison dosis penuh seperti terapi awal sampai terjadi remisi, kemudian dosis diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh. Bila relaps sering atau resisten steroid, lakukan biopsi ginjal. 6. 1,25mg kalsiferol sehari (50.000 unit) untuk atasi hipokalsemia, tapi masih dalam tahap percobaan. Prognosis Sindrom Nefrotik 7,9,10 Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.

30

Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan kortikosteroid.

Kelainan minimal (minimal lesion): Prognosis lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang dewasa, bahkan bagi mereka yang tergantung steroid. Nefropati membranosa (glomrolunefritis membranosa) Prognosis kurang baik 95% pasien mengalami azotemia dan meninggal akibat uremia dalam waktu 10-20 tahun. Glomerulosklerosis fokal segmental Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik. Prognosis buruk Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN) Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik.

31

DAFTAR PUSTAKA
1. Agraharkar Mahendra, Nefrotik Syndrome. www.emedicine.com Last Update: september 2, 2004. 2. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO : Sindrom Nefrotik, Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2004 3. Hanno PM et al. Clinical manual of Urology 3rd edition. New York: Mcgraw-hill.2001 4. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US: FA Davis Company; 2007 5. Guyton.A.C. et all .Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelpia: Elsevier saunders. 1996 6. A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan Medik PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009 7. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. 4th ed. Jakarta: IPD FKUI. 2007. Hal: 547-549 8. Behram, dkk. 2002. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi II. Jakarta: EGC 9. Eric P Cohen.Nephrotic Syndrome. Website: emedicine nephrology. Mar 17, 2010. [cited Nov 10, 2012]. Available:

http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview 10. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008: vol.336.Website: BMJ. [cited 2012 Nov, 10] 11. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrisons Manual Of Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-806 12. Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website: Indonesia Kidney Care Club. [cited 2012, Nov,10].Available:

http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170

32

Anda mungkin juga menyukai