Anda di halaman 1dari 53

BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Hingga saat ini kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak penyakit kanker di negara berkembang (Edianto, 2006). Terhitung sebanyak 510.000 kasus baru terjadi tiap tahun dan lebih dari 288.000 kematian berlangsung akibat penyakit ini di seluruh dunia (Carr, 2004). Angka kejadian penyakit ini rendah pada wanita berumur dibawah 25 tahun, namun insidensi meningkat pada wanita berumur 35 sampai 40 tahun dan mencapai titik maksimum pada usia 50-an (Carr, 2004). Kemudian, Zeller (2007) menambahkan bahwa separuh dari seluruh kanker serviks terjadi pada wanita usia 35 sampai 55 tahun. Sementara itu, insidensi kanker serviks sendiri terus meningkat dari sekitar 25 per 100.000 pada tahun 1988 menjadi sekitar 32 per 100.000 pada 1992. Dari seluruh gambaran dan data global mengenai kanker serviks, penyakit ini memiliki indeks rasio yang lebih tinggi hingga 5 sampai 6 kali pada negara-negara berkembang (Rahmawan, 2009). Di Indonesia sendiri pada tahun 2005, jumlah perempuan yang berumur 1564 tahun adalah 65 juta dan prevalensi kanker serviks adalah 50 per 100.000 perempuan. Ini berarti jumlah penderita kanker serviks adalah sekitar 32.500 penderita. Dari sejumlah data diatas, penderita dengan stadium Ia sebanyak 7% atau 2.275, stadium Ib-IIa sebanyak 28% atau 9.100, dan stadium IIb-IV a sebanyak 65% atau 21.125 penderita (Rasjidi, 2007b). Deteksi dini secara gencar mulai dilakukan di berbagai rumah sakit dan unit kesehatan masyarakat atau klinik-klinik yang memiliki kompetensi dalam bidang kanker. Sejak dibentuk dan dinasionalisasikannya badan kanker Indonesian Cancer Foundation pada tahun 1977, program skrining kanker serviks segera dimulai. Namun, program yang telah disusun tidak sistematis, menyebabkan keuntungan yang diperoleh kecil, yang tampak dari sedikitnya penurunan insidensi dan derajat mortalitas kanker serviks (Rahmawan, 2009). Ditambah lagi, hingga saat ini program skrining belum lagi memasyarakat di negara berkembang sehingga mudah dimengerti mengapa insiden kanker serviks

masih tetap tinggi (Edianto, 2006). Masalahnya, tempat yang diteliti tergolong sebagai daerah urbanisasi dan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan minimnya pengetahuan di masyarakat sekitar. Sehingga penderita sudah mencapai stadium lanjut. Ditambah lagi sedikitnya pelaporan terhadap penyakit di rumah sakit tersebut karena mungkin pasien tidak tahu kalau penyakit tersebut berbahaya.

1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat kesadaran masyarakat akan kanker seviks dan pencegahannya sejak dini? 2. Bagaimana cara deteksi dini kanker serviks? 3. Adakah peran masyarakat untuk mencegah peningkatan kasus kanker serviks? 4. Adakah program pemerintah untuk penekanan angka kasus kanker serviks?

1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui kesaddaran masyarakat akan kanker serviks dan pencegahannya sejak dini. 2. Untuk mengetahui cara deteksi dini kanker serviks. 3. Untuk mengetahui peran masyarakat dalam mencegah peningkatan kasus kanker serviks. 4. Untuk mengetahui program pemerintah dalam penekanan angka kasus kanker serviks.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi 2.1.1 Pengertian Epidemiologi Epidemiologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari 3 kata dasar yaitu epi yang berarti pada atau tentang, demos yang berati penduduk dan kata terakhir adalalah logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi, epidemilogi adalah ilmu yang mempelajari tentang penduduk. Dalam pengertian modern pada saat ini epidemiologi adalah : Ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan distribusi serta determinan masalah kesehatan pada sekelompok orang/masyarakat. Dengan kata lain, epidemiologi merupakan suatu ilmu yang awalnya mempelajari timbulnya, perjalanan, dan pencegahan pada penyakit infeksi menular. Tapi dalam perkembangannya hingga saat ini, masalah yang dihadapi penduduk tidak hanya penyakit menular saja, melainkan juga penyakit tidak menular, penyakit degenaratif, kanker, penyakit jiwa, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya. Sebagai ilmu yang selalu berkembang, epidemiologi senantiasa mengalami perkembangan pengertian dan karena itu pula mengalami modifikasi dalam batasan / definisinya. Beberapa definisi telah dikemukakan oleh para pakar epidemiologi, beberapa diantaranya adalah : 1. Robert H. Fletcher ( 1991 ). Epidemiologi adalah disiplin riset yang membahas tentang distribusi dan determinan penyakit dalam populasi. 2. Anders Ahlbom & Staffan Norel ( 1989 ). Epidemiologi adalah ilmu pengetahuan mengenai terjadinya penyakit pada populasi manusia. 3. Brian Mac Mahon ( 1970 ). Epidemiologi adalah studi tentang penyebaran dan penyebab frekuensi penyakit pada manusia dan mengapa terjadi distribusi semacam itu. Di sini sudah mulai menentukan distribusi penyakit dan mencari penyebab terjadinya distribusi dari suatu penyakit.

Definisi epidemiologi menurut Center of Disease Control (CDC) 2002, menyatakan bahwa epidemiologi adalah studi yang mempelajari distribusi dan determinan penyakit dan keadaan kesehatan pada populasi serta penerapannya untuk pengendalian masalah masalah kesehatan. Dari pengertian ini, jelas bahwa epidemiologi adalah suatu studi dan studi itu adalah riset. Menurut Leedy (1974), riset adalah pencarian sistematis terhadap kebenaran yang belum terungkap. Definisi epidemiologi menurut WHO adalah studi tentang distribusi dan determinan kesehatan yang berkaitan dengan kejadian di populasi dan aplikasi dari studi untuk pemecahan masalah kesehatan. Epidemiologi dapat ditinjau dari berbagai aspek. Berikut merupakan pengertian epidemiologi ditinjau dari berbagai aspek tersebut : 1. Aspek akademik. Secara akademik, epidemiologi berarti analisa data kesehatan, sosialekonomi, dan tren yang terjadi untuk mengindentifikasi dan menginterpretasi perubahan-perubahan kesehatan yang terjadi atau akan terjadi pada masyarakat umum atau kelompok penduduk tertentu. 2. Aspek klinik. Ditinjau dari aspek klinik, epidemiologi berarti suatu usaha untuk mendeteksi secara dini perubahan insidensi atau prevalensi yang dilakukan melalui penemuan klinis atau laboratorium pada awal timbulnya penyakit baru dan awal terjadinya epidemi. 3. Aspek praktis. Secara praktis epidemiologi berarti ilmu yang ditujukan pada upaya pencegahan penyebaran penyakit yang menimpa individu, kelompok penduduk atau masyarakat umum. Dalam hal ini, penyebab penyakit tidak harus diketahui secara pasti, tetapi diutamakan pada cara penularan, infektivitas, menghindarkan agen yang diduga sebagai penyebab, toksin atau lingkungan dan membentuk kekebalan untuk menjamin kesehatan manusia. 4. Aspek administrasi. Epidemiologi secara administrasi berarti suatu usaha mengetahui keadaan masyarakat di suatu wilayah atau negara agar dapat

memberikan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 2.1.2. Tujuan Epidemiologi Secara umum, dapat dikatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam mempelajari epidemiologi adalah memperoleh data frekuensi distribusi dan determinan penyakit atau fenomena lain yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memperoleh informasi tentang penyebab penyakit, misalnya: 1. Penelitian epidemiologis yang dilakukan pada kejadian luar biasa akibat keracunan makanan dapat digunakan untuk mengungkapkan makanan yang tercemar dan menemukan penyebabnya. 2. Penelitian epidemiologis yang dilakukan untuk mencari hubungan antara karsinoma paru-paru dengan asbes. 3. Menetukan apakah hipotesis yang dihasilkan dari percobaabn hewan konsisten dengan data epidemiologis. Misalnya, percobaan tentang terjadinya karsinoma kandung kemih pada hewan yang diolesi tir. Untuk mengetahui apakah hasil percobaan hewan konsisten dengan kenyataan pada manusia, dilakukan analisis terhadap semua penderita karsinoma kandung kemih lebih banyak terpajan oleh rokok dibandingkan dengan bukan penderita. 4. Memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam menyusun perencanaan, penanggulangan masalah kesehatan, serta menentukan prioritas masalah kesehatan masyarakat; misalnya: a. Data frekuensi distribusi berbagai penyakit yang terdapat dimasyarakat dapat digunakan untuk menyusun rencana kebutuhan pelayanan kesehatan disuatu wilayah dan menentukan prioritas masalah. b. Bila dari hasil penelitian epidemiologis diperoleh bahwa insidensi tetanus neonatorum disuatu wilayah cukup tinggi maka data tersebut dapat digunakan untuk menyusun strategi yang efektif dan efisien dalam menggulangi masalah tersebut, misalnya dengan
5

mengirirm petugas lapangan untuk memberikan penyuluhan pada ibu-ibu serta mengadakan imunisasi pada ibu hamil. 2.1.3. Ruang Lingkup Dari pengertian epidemiologi dan metode epidemiologi, maka bentuk kegiatan epidemiologi meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik yang berhubungan dengan bidang kesehatan maupun diluar bidang kesehatan. Berbagai bentuk dan jenis kegiatan dalam epidemiologi saling berhubungan satu dengan lainnya sehingga tidak jarang dijumpai bentuk kegiatan yang tumpang tindih. Bentuk kegiatan epidemiologi dasar yang paling sering digunakan adalah bentuk epidemiologi deskriptif yakni bentuk kegiatan epidemiologi yang memberikan gambaran atau keterangan tentang keadaan serta sifat penyebaran status kesehatan dan gangguan kesehatan maupun penyakit pada suatu kelompok penduduk tertentu (terutama menurut sifat karakteristik orang, waktu, dan tempat). Bentuk kegiatan epidemiologi yang erat hubungannya dengan deskriptif epidemiologi adalah dalam menilai derajat kesehatan dan besar kecilnya masalah kesehatan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Bentuk kegiatan ini erat hubungannya dengan penyusunan perencanaan kesehatan masyarakat serta penilaian hasil kegiatan usaha pelayanan kesehatan pada penduduk tertentu. Dewasa ini penelitian epidemiologi pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bentuk dasar yakni penelitian observasi atau pengamatan terhadap kejadian alami dalam masyarakat untuk mencari hubungan sebab akibat terjadinya gangguan keadaan normal dalam masyarakat tersebut, serta penelitian eksperimental yang merupakan penelitian yang didasarkan pada perlakuan tertentu terhadap objek untuk dapat memperoleh jawaban tentang pengaruh perlakuan tersebut terhadap objek yang diteliti. Dalam hal ini, populasi sasaran dientukan secara cermat serta setiap perubahan yang timbul merupakan akibat dari perlakuan khusus oleh pihak peneliti. Dalam perkembangan selanjutnya maka prinsip epidemiologi yang meliputi epidemiologi deskriptif maupun penelitian epidemiologi dikembangkan lebih luas sebagai suatu sistem pendekatan didalam berbagai kehidupan kemasyarakatan. Adapun ruang lingkup epidemiologi seperti disebutkan diatas termasuk berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat, baik yang berhubungan erat dengan
6

bidang kesehatan maupun dengan berbagai kehidupan sosial, telah mendorong perkembangan epidemiologi dalam berbagai bidang : 1. Epidemiologi penyakit menular Bentuk ini yang telah banyak memberikan peluang dalam usaha pencegahan dan penanggulangan penyakit menular tertentu.

Berhasilnya manusia mengatasi berbagai gangguan penyakit menular dewasa ini merupakan salah satu hasil yang gemilang dari epidemiologi. Peranan epidemiologi surveilans pada mulanya hanya ditujukan pada pengamatan penyakit menular secara seksama, ternyata telah memberikan hasil yang cukup berarti dalam menangulangi berbagai masalah penyakit menular dan juga penyakit tidak menular. 2. Epidemiologi penyakit tidak menular Pada saat ini sedang berkembang pesat dalam usaha mencari berbagai factor yang memegang peranan dalam timbulnya berbagai masalah penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit sistemik serta berbagai penyakit menahun lainnya, termasuk masalah meningkatnya kecelakaan lalu lintas dan penyalahgunaan obat-obatan tertentu. Bidang ini banyak digunakan terutama dengan meningkatnya masalah kesehatan yang bertalian erat dengan berbagai gangguan kesehatan akibat kemajuan dalam berbagai bidang industri yang banyak mempengaruhi keadaan lingkungan, termasuk lingkungan fisik, biologis, maupun lingkungan sosial budaya. 3. Epidemiologi klinik Bentuk ini merupakan salah satu bidang epidemiologi yang sedang dikembangkan oleh para klinisi yang bertujuan untuk membekali para klinisi/ dokter tentang cara pendekatan masalah melalui disilin ilmu epidemiologi. Dalam penggunaan epidemiologi klinik sehari-hari, para petugas medis terutama para dokter sering

menggunakan prinsip-prinsip epidemiologi dalam menangani kasus secara individual. Mereka lebih berorientasi pada penyebab dan cara mengatasinya terhadap kasus secara individu dan biasanya tidak tertarik
7

untuk mengetahui serta menganalisis sumber penyakit, cara penularan dan sifat penyebarannya dalam masyarakat. Berbagai hasil yang diperoleh dari para klinisi tersebut, merupakan data informasi yang sangat berguna dalam analisis epidemiologi tetapi harus pula diingat bahwa epidemiologi bukanlah terbatas pada data dan informasi saja tetapi merupakan suatu disiplin ilmu yang memeliki metode pendekatan serta penerapannya secara khusus. 4. Epidemiologi kependudukan Merupakan salah satu cabang ilmu epidemiolgi yang

menggunakan sistem pendekatan epidemiolgi dalam menganalisi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan bidang demografi serta faktor-faktor yang mempengaruhi berbagai perubahan demografis yang terjadi didalam masyarakat. hanya Sistem pendekatan analisis epidemiologi tentang sifat

kependudukan

tidak

memberikan

karakteristik penduduk secara demografis dalam hubungannya dengan masalah kesehatan dan penyakit dalam masyarakat tetapi juga sangat berperan dalam berbagai aspek kependudukan serta keluarga berencana. Pelayanan melalui jasa, yang erat hubungannya dengan masyarakat seperti pendidikan, kesejahteraan rakyat, kesempatan kepegawaian, sangat berkaitan dengan keadaan serta sifat populasi yang dilayani. Dalam hal ini peranan epidemiologi kependudukan sangat penting untuk digunakan sebagai dasar dalam mengambil kebijakan dan dalam menyusun perencanaan yang baik. Juga sedang dikembangkan epidemiologi system reproduksi yang erat kaitannya dengan gerakan keluarga berencana dan kependudukan. 5. Epidemiologi pengolahan pelayanan kesehatan Bentuk ini merupakan salah satu sistem pendekatan manajemen dalam menganalis masalah, mencari faktor penyebab timbulnya suatu maslah serta penyusunan pemecahan masalah tersebut secara

menyeluruh dan

terpadu. Sisem pendekatan epidemiologi dalam

perencanaan kesehatan cukup banyak digunakan oleh para perencana

kesehatan baik dalam bentuk analisis situasi, penetuan prioritas maupun dalam bentuk penilaian hasil suatu kegiatan kesehatan yang bersifat umum maupun dengan sasaran khusus. 6. Epidemiologi lingkungan dan kesehatan kerja Bentuk ini merupakan salah satu bagian epidemioloi yang mempelajari serta mnganalisis keadaan kesehatan tenaga kerja akibat pengaruh keterpaparan pada lingkubngan kerja, baik yang bersifat fisik kimiawo biologis maupun social budaya, serta kebiasaan hidup para pekerja. Bentuk ini sangat berguna dalam analisis tingkat kesehatan ekerja serta untuk menilai keadaan dan lingkungan kerja serta penyakit akibat kerja. 7. Epidemiologi kesehatan jiwa Merupakan salah satu dasar pendekatan dan analisis masalah gangguan jiwa dalam masyarakat, baik mengenai keadan kelainan jiwa kelompok penduduk tertentu, maupun analisis berbagai factor yang mempengaruhi timbulnya gangguan jiwa dalam masyarakat. Dengan meningkatnya berbagai keluhan anggota masyarakat ang lebih banyak mengarah ke masalah kejiwaan disertai dengan perubahan sosial masyarakat menuntut suatu cara pendekatan melalui epidemilogi sosial masyarakat menuntu suatu cara pendekatan melalui epidemiologi sosial yang berkaitan dengan epidemiologi kesehatan jiwa, mengingat bahwa dewasa ini gangguan kesehatan jiwa tidak lagi merupakan masalah kesehaan individu saja, tetau telah merupakan masalah sosial masyarakat. 8. Epidemiologi gizi Dewasa ini banyak digunakan dalm analisis masalah gizi masyarakat dimana masalah ini erat hubungannya dengan berbagai faktor yang menyangkut pola hidup masyarakat. Pendekatan masalah gizi masyarakat melaui epidemiologi gizi bertujuan untuk menganalisis berbagai factor yang berhubungan erat dengan timbulnya masalah gizi masyarakat, baik yang bersifat biologis, dan terutama yang berkaitan
9

dengan kehidupan social masyarakat. Penanggulangan maslah gizi masyarakat yang disertai dengan surveilans gizi lebih mengarah kepad penanggulangan berbagai faktor yang berkaitan erat dengan timbulnya masalah tersebut dalam masyarakat dan sasaran individu atau lingkungan kerja saja. 2.1.4. Jangkauan Epidemiologi Dari pengetahuan tentang jangkauan epidemiologi, kita dapat mengetahui apa saja yang termasuk dalam epidemiologi karena jangkauan epidemiologi terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat. Perkembangan jangkauan epidemiologi dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Mula-mula epidemiologi hanya mempelajari penyakit yang dapat menimbulkan wabah melalui temuan-temuan tentang : a. Jenis penyakit wabah seperti cacar, pes, kolera, dan lain-lain. b. Cara penularan dan penyebab penyakit wabah. c. Cara-cara penanggulangan dan pencegahan penyakit wabah. 2. Tahap berikutnya, epidemiologi mempelajari penyakit infeksi nonwabah. 3. Dalam perkembangan selanjutnya, epidemiologi mempelajari penyakit non-infeksi, misalnya penyakit jantung, karsinoma, hipertensi, dan penyakit gangguan hormon (diabetes melitus dan lain-lain). 4. Pada tahap akhir, epidemiologi mempelajari hal-hal yang bukan penyakit, misalnya fertilitas, menopause, kecelakaan, kenakalan remaja, dan penyalahgunaan obat. Perkembangan epidemiologi yang sedemikian pesat merupakan tantangan yang sangat berat bagi tenaga kesehatan karena keadaan tersebut tidak dapat diatasi hanya dengan perbaikan sanitasi dan perbaikan ekonomi, tetapi merupakan masalah yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan berbagai instansi atau institusi. Jangkauan epidemiologi kini telah sedemikan luasnya hingga mempelajari semua hal yang menimpa masyarakat. Makin luasnya jangkauan tersebut antara lain disebabkan hal-hal berikut : tidak hanya terbatas pada

10

1.

Kemajuan teknologi yang sangat pesat pada beberapa dasawarsa terakhir.

2.

Kebutuhan dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan dan kehidupan masyarakat menjadi semakin kompleks.

3.

Metode epidemiologi yang digunakan untuk penyakit menular dapat digunakan untuk penyakit non-infeksi dan non-penyakit.

4.

Meningkatnya kebutuhan penelitian terhadap penyakit non-infeksi dan non-penyakit.

5.

Metode epidemiologi dapat digunakan untuk mempelajari asosiasi sebab-akibat, misalnya : asosisasi antara rokok dengan karsinoma paruparu; asosiasi antara pelayanan kesehatan dengan status kesehatan masyarakat.

2.1.5. Proses Terjadinya Penyakit Infeksi Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi antara agent atau faktor penyebab penyakit, manusia sebagai host, dan faktor lingkungan yang mendukung. Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai Trias Penyebab Penyakit. Proses interaksi ini disebabkan adanya agen penyebab penyakit kontak dengan manusia sebagai pejamu yang rentan didukung oleh keadaan lingkungan. Proses interaksi ini dapat terjadi secara individu atau kelompok, misalnya proses terjadinya penyakit TBC karena adanya mycobacterium tuberculosa yang kontak dengan manusia sebagai pejamu yang rentan, daya tahan tubuh yang rendah dan perumahan yang tidak sehat sebagai faktor lingkungan yang menunjang. Proses terjadinya penyakit sebenarnya telah dikenal sejak zaman Romawi yaitu pada masa Galenus (205 130 SM) yang mengungkapkan bahwa penyakit dapat terjadi karena adanya faktor predisposisi, faktor penyebab, dan faktor lingkungan. 2.1.5.1. Faktor Agen Agen sebagai faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati yang terdapat dalam jumlah yang berlebih atau kekurangan. Agen berupa unsur hidup terdiri dari virus, bakteri, jamur, parasit, protozoa, dan metazoa. Sedangkan agen berupa unsur mati dapat berupa fisika (sinar radioaktif), kimia (CO, Hg, Cd, Ar, obat-obatan, pestidida), dan fisik (benturan dan tekanan).

11

2.1.5.2. Faktor Pejamu Pejamu ialah keadaan manusia yang sedemikian rupa sehingga menjadi faktor risiko untuk terjadinya penyakit. Faktor ini disebut faktor intrinsik. Faktor pejamu dan agen dapat diumpamakan sebagai tanah dan benih. Tumbuhnya benih tergantung keadaan tanah yang dianalogikan dengan timbulnya penyakit yang tergantung keadaan pejamu. Faktor pejamu yang merupakan faktor risiko untuk timbulnya penyakit adalah sebagai berikut : 1. Genetik, misalnya penyakit herediter seperti hemofilia, sickle cell anemia, dan gangguan glukosa-6-fosfatase. 2. Umur. Usia lanjut mempunyai risiko untuk terkena karsinoma, penyakit jantung, dll. 3. Jenis kelamin. Beberapa penyakit memiliki kecenderungan terjadi pada wanita, misalnya : penyakit diabetes mellitus, sedangkan pada laki-laki penyakit jantung dan hipertensi. 4. Keadaan fisiologi. Kehamilan dan persalinan memudahkan terjadinya berbagai penyakit, seperti keracunan kehamilan, anemia, dan psikosis pasca-partum. 5. Kekebalan. Orang-orang yang tidak mempunyai kekebalatn terhadap suatu penyakit akan mudah terserang penyakit tersebut. 6. Penyakit yang diderita sebelumnya, misalnya : reumatoid artritis yang mudah kambuh. 7. Sifat-sifat manusia. Faktor kebersihan perorangan yang jelek akan mudah terserang penyakit infeksi, misalnya : balanitis, karsinoma penis bagi orang yang tidak sirkumsisi. 2.1.5.3. Faktor Lingkungan Lingkungan merupakan faktor ketiga sebagai penunjang terjadinya penyakit. Faktor ini disebut faktor ekstrinsik. Faktor lingkungan dapat berupa lingkungan fisik, lingkungan biologis, atau lingkungan sosial ekonomi. 1. Lingkungan fisik Yang termasuk lingkungan fisik antara lain geografik dan keadaan musim, misalnya negara yang beriklim tropis mempunyai pola penyakit yang berbeda dengan negara yang beriklim dingin atau
12

subtropis. Demikian pula antara negara maju dengan negara berkembang. Dalam satu negara pun dapat terjadi perbedaan pola penyakit, misalnya antara daerah pantai dan daerah pegunungan atau antara kota dan desa. 2. Lingkungan biologis Lingkungan biologis ialah semua makhluk hidup yang berada di sekitar manusia, yaitu flora dan fauna, termasuk manusia. Contohnya, wilayah dengan flora yang berbeda akan mempunyai pola penyakit yang berbeda. Faktor lingkungan biologis ini selain bakteri dan virus patogen, ulah manusia juga mempunyai peran yang penting dalam terjadinya penyakit, bahkan dapat dikatakan penyakit timbul karena ulah manusia. 3. Lingkungan sosial ekonomi Yang termasuk dalam faktor sosial ekonomi adalah pekerjaan, urbanisasi, perkembangan ekonomi, dan bencana alam. a. Pekerjaan. Pekerjaan yang berhubungan dengan zat kimia seperti pestisida atau zat fisika seperti zat radioaktif atau zat yang bersifat karsinogen seperti asbes akan memudahkan terkena penyakit akibat pemaparan terhadap zat-zat tersebut. b. Urbanisasi. Urbanisasi dapat menimbulkan berbagai masalah sosial seperti kepadatan penduduk dan timbulnya daerah kumuh, perumahan, pendidikan, dan sampah, dan tinja yang akan mencemari air minum, dan lingkungan. Lingkungan demikian merupakan penunjang terjadinya berbagai macam penyakit infeksi. c. Perkembangan ekonomi. Peningkatan ekonomi rakyat akan

mengubah pola konsumsi yang cenderung memakan makanan yang mengandung banyak kolesterol. Keadaan ini memudahkan timbulnya penyakit hipertensi dan penyakit jantung sebagai akibat kadar kolesterol darah yang meningkat. Sebaliknya, bila tingkat ekonomi rakyat yang rendah akan timbul masalah perumahan yang tidak sehat, kurang gizi, dan lain-lain yang memudahkan timbulnya penyakit infeksi.

13

d. Bencana alam. Terjadinya bencana alam akan mengubah sistem ekologi yang tidak dapat diramalkan sebelumnya, misalnya gempa bumi, banjir, meletusnya gunung berapi, dan perang yang akan menyebabkan kehidupan penduduk yang terkena bencana menjadi tidak teratur. Keadaan ini memudahkan timbulnya berbagai penyakit infeksi.

2.2 Kanker Serviks Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim (WHO, 2008). Kanker serviks adalah hasil akhir perubahan progresif epitel serviks, paling sering sekitar 90% terjadi pada sambungan skuamokolumner atau sel skuamosa. Sel skuamosa dibagi lagi menjadi tipe keratinisasi, non keratinisasi, dan tipe small cell berdasarkan gambaran histologinya. Adenokarsinoma dan karsinoma adenoskuamosa menempati bagian terbesar dari kanker serviks (11%-16%), terutama pada wanita berusia di bawah 35 tahun (Otto, 2003). Ketidaknyamanan atau disfungsi kandung kemih atau rektum dan fistula merupakan manifestasi lanjut kanker serviks. Rasa sakit, seringkali satu sisi dan menjalas ke panggul dapat terjadi pada kanker lanjut ketika ureter tersumbat sebagian atau nervus sakralis terkena tumor. Anemia, anoreksia dan kehilangan berat badan merupakan tanda-tanda penyakit keganasan lanjut. (Benson, 2008) Gejala Klinis lainnya yaitu perdarahan abnormal pada vagina, urgensi berkemih, disuria, dan hematuria (Otto, 2003). Untuk menentukan stadium atau perkiraan kemungkinan penyebaran penyakit keganasan serviks penting untuk pengobatan dan prognosis. Data

14

diperoleh dari pemeriksaan klinis (inspeksi, palpasi, dan kolposkopi)., pemeriksaan radiologi (paru, tulang, ginjal, kolon sigmoid, dan rektum), dan evaluasi patologi dari biopsi dan bahan kuretase yang digunakan untuk menentukan perkembangan penyakit dan rencana terapinya. (Otto, 2003) International Classification of Cancer of the Cervix merupakan salah satu klasifikasi yang paling umum digunakan (Benson, 2008).

2.2.1 Penyebab Penyebab utama timbulnya kanker serviks adalah infeksi HPV risiko tinggi atau HPV onkogenik yaitu HPV yang mengandung protein yang menyebabkan terjadinya kanker (onkoprotein). Telah diidentifikasi sebanyak 20 tipe yang menjadi penyebab kanker serviks, tetapi paling banyak (70%) kanker serviks disebabkan tipe 16 dan 18 (Hartanti, 2010). Virus Human Papilloma (HPV) adalah kelompok virus yang terdiri dari 150 jenis virus yang dapat menginfeksi sel-sel pada permukaan kulit. Ada 30-40 jenis HPV yang menyebabkan penyakit kelamin. Bebebrapa jenis HPV yang menyebabkan penyakit kelamin. Beberapa jenis HPV menyebabkan kutil pada kelamin. Jenis lainnya menyebabkan kanker serviks. Jenis HPV (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, dan 69) yang menyebabkan kanker disebut HPV risiko tinggi yang ditularkan melalui hubungan seks. Sedangkan HPV yang tidak menyebabkan penyakit kanker disebut HPV risiko rendah ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui hubungan seksual (kulit ke kulit) seperti vaginal, anal, ataupun oral (Hartanti, 2010). Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV risiko rendah adalah satu asam amino saja. Asam amino tersebut adalah aspartat pada HPV risiko tinggi dan glisin pada HPV risiko rendah dan sedang. Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50% kanker leher rahim. Seseorang yang sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki risiko kemungkinan terkena kanker leher rahim sebesar 5%. Dinyatakan pula bahwa tidak terdapat perbedaan probabilitas terjadinya kanker serviks pada infeksi HPV-16 dan infeksi HPV-18 baik secara sendirisendiri maupun bersamaan (Bosch et al, 2002). Akan tetapi sifat onkogenik HPV-

15

18 lebih tinggi daripada HPV-16 yang dibuktikan pada sel kultur dimana transformasi HPV-18 adalah 5 kali lebih besar dibandingkan dengan HPV-16. Selain itu, didapatkan pula bahwa respon imun pada HPV-18 dapat meningkatkan virulensi virus dimana mekanismenya belum jelas. HPV-16 berhubungan dengan skuamous cell carcinoma serviks sedangkan HPV-18 berhubungan dengan adenocarcinoma serviks. Prognosis dari adenocarcinoma kanker serviks lebih buruk dibandingkan squamous cell carcinoma. Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko mayor kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas, aktivitas seksual dini/prilaku seksual, dan meroko, pil kontrasepsi, genetik, infeksi virus lain dan beberapa infeksi kronis lain pada serviks seperti klamidia trakomatis dan HSV-2 (Hacker, 2000). Penelitian telah banyak dilakukan untuk menentukan penyebab apa saja dari kanker serviks. Sejauh ini, Human Papilloma Virus tipe 16 dan 18 diduga kuat sebagai etiologi utama melalui mekanisme mutasi gen yang diakibatkannya. Faktor risiko pasangan lain yang diketahui antara lain

multiparitas,

berganti-ganti

seksual,

kemampuan

imunitas

tubuh, usia pertama saat berhubungan seksual, pengaruh kontrasepsi oral, rokok, riwayat sosial ekonomi, dan riwayat keganasan kanker serviks pada keluarga (Greer B E et al, 2002).

2.2.2 Gejala Klinis Etiologi pasti belum diketahui tetapi faktor risiko terjadinya kanker serviks adalah memiliki banyak mitra seksual, koitus pertama sangat dini (<20 tahun), menikah usia muda, hamil pertama pada usia muda, paritas tinggi, status ekonomi rendah dan merokok (Benson, 2008). Tidak ada tanda-tanda atau gejala pada kanker serviks non invasif. Namun, harus dilakukan pemeriksaan berkala seperti penilaian sitologi dengan apusan Pap, kolposkopsi, dan biopsi serta kecurigaan tinggi. Perdarahan bercak pasca koitus atau leukorea yang bercampur darah sering merupakan awal kanker serviks ulseratif. Karena itu metroragi merupakan tanda keganasan serviks invasif yang paling sering (Benson, 2008).

16

Menurut Dalimartha (2004), gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker ditandai dengan Fluor albus (keputihan) merupakan gejala yang sering

ditemukan getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami segera setelah bersenggama (disebut sebagai perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 -80%). Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus. Biasanya timbul gejala berupa ketidak teraturannya siklus haid, amenorhea, hipermenorhea, dan penyaluran sekret vagina yang sering atau perdarahan

intermenstrual, post koitus serta latihan berat. Perdarahan yang khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk mukoid.

2.2.3 Metastasis Kanker serviks merupakan kanker yang tumbuh secara lambat yang menginvasi langsung jaringan yang berdekatan dengan uterus, vagina, rektum, kandung kemih, dan jaringan parametrium. Invasi limfatik juga terjadi baik regional maupun yang lebih jauh. Kanker serviks jarang mengalami metastasis secara hematologi walaupun demikian, dapat timbul juga di paru atau hati (Otto, 2003). Metastasis ke nodus limfe regional meningkat sesuai peningkatan stadium penyakit dari sekitar 15% pada stadium I hingga paling sedikit 60% pada stadium IV. Nyeri dan pembengkakan pada tungkai bawah terutama paha atas dapat menunjukkan adanya sumbatan limfatik atau aliran darah balik vena oleh karsinoma. Nyeri punggung dan penyebarannya melalui pleksus lumbosakral menunjukkan infeksi kronis atau keterlibatan neurologis karena perluasan kanker. Invasi ke rektum melalui perluasan ke posterior dari serviks sepanjang ligamentum uerosakrum, dan perkembangan ke anterior diikuti invasi ke kandung kemih terjadi pada stadium III dan IV. Ureter di samping serviks seringkali tersumbat. Hidroureter dan hidronefrosis mengganggu fungsi ginjal. Hampir dua per tiga pasien dengan karsinoma serviks meninggal karena uremia ketika terjadi obstruksi ureter bilateral. Kematian karena perdarahan terjadi sekitar 10%-20% kasus karsinoma serviks dengan invasi luas. Fistula vagina pada saluran cerna dan kemih sangat merugikan. Inkontinensia urin dan alvi merupakan komplikasi utama terutama pada pasien yang lemah. Saluran perivaskular, perineural dan

17

saluran limfe mempermudah penyebaran kanker. Metastasis ke hati sering terjadi, tetapi penyebaran ke paru atau otak jarang (Benson 2008).

2.2.4 Jenis Histopatologis Jenis skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan, yaitu 90% merupakan karsinoma sel skuamosa (KSS), adenokarsinoma 5% dan jenis lain sebanyak 5%. Karsinoma skuamosa terlihat sebagai jalinan kelompok sel-sel yang berasal dari skuamosa dengan pertandukan atau tidak, dan kadang-kadang tumor itu sendiri berdiferensiasi buruk atau dari sel-sel yang disebut small cell, berbentuk kumparan atau kecil serta bulat seta mempunyai batas tumor stroma tidak jelas. Sel ini berasal dari sel basal atau reserved cell. Sedang adenokarsinoma terlihat sebagai sel-sel yang berasal dari epitel torak endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang mengeluarkan mukus (Notodiharjo, 2002). Klasifikasi histologik kanker serviks ada beberapa, di antaranya : 1. Skuamous carcinoma a. Keratinizing b. Large cell non keratinizing c. Small cell non keratinizing d. Verrucous 2. Adeno carcinoma a. Endocervical b. Endometroid (adenocanthoma) c. Clear cell - paramesonephric d. Clear cell - mesonephric e. Serous f. Intestinal 3. Mixed carcinoma a. Adenosquamous b. Mucoepidermoid c. Glossy cell d. Adenoid cystic 4. Undifferentiated carcinoma

18

5. 6. 7.

Carcinoma tumor Malignant melanoma Maliganant non-epithelial tumors a. Sarcoma : mixed mullerian, leiomysarcoma, rhabdomyosarcoma b. Lymphoma

2.2.5 Perjalanan Penyakit Perjalanan penyakit kanker serviks didahului dengan infeksi HPV onkogenik,virus HPV menyebabkan sel prakanker berkembang menjadi sel kanker. Biasanya diperlukan waktu bertahun-tahun untuk kanker serviks atau kanker leher rahim berkembang, tetapi prosesnya juga dapat terjadi dalam waktu kurang dari 12 bulan. Sebagai bentuk sel-sel kanker, sel-sel abnormal ukuran dan bentuknya muncul di permukaan leher rahim dan mulai berkembang biak (Hartanti, 2010). Displasia digunakan serviks atau kondisi pra-kanker adalah awal istilah yang

untuk

menggambarkan

pertumbuhan

sel-sel

abnormal

pada leher rahim yang bisa berkembang menjadi kanker. Displasia serviks biasanya merupakan tahap pertama dari kanker serviks. Tetapi perempuan yang memiliki displasia yang rendah dan ringan di leher rahimnya tidak selalu berkembang menjadi kanker serviks, karena dapat hilang dan

lenyap dengan sendirinya tergantung sistem kekebalan tubuh. Sebaliknya jika kondisi displasia tidak diketahui dan diberi perawatan maka akan berkembang menjadi kanker serviks. Displastik sel-sel seperti sel-sel kanker, serviks tidak dan dianggap tidak ganas karena jaringan mereka sel tetap pada permukaan atau sehat

menginvasi

yang

normal

(Hartanti, 2010). Jika infeksi ini persisten maka akan terjadi integrasi genom dari virus ke dalam genom sel manusia, menyebabkan hilangnya kontrol normal dari pertumbuhan sel serta ekspresi onkoprotein E6 atau E7 yang bertanggung jawab terhadap perubahan maturasi dan differensiasi dari epitel serviks (Edianto, 2006). Lokasi awal dari terjadinya karsinoma serviks biasanya pada atau dekat dengan

19

pertemuan epitel kolumner di endoserviks dengan epitel skuamous di ektoserviks atau yang juga dikenal dengan squamocolumnar junction. Terjadinya karsinoma serviks yang invasif berlangsung dalam beberapa tahap. Tahapan pertama dimulai dari lesi pre-invasif, yang ditandai dengan adanya abnormalitas dari sel yang biasa disebut dengan displasia. Displasia ditandai dengan adanya anisositosis (sel dengan ukuran yang berbeda-beda), poikilositosis (bentuk sel yang berbeda-beda), hiperkromatik sel, dan adanya gambaran sel yang sedang bermitosis dalam jumlah yang tidak biasa. Displasia ringan bila ditemukan hanya sedikit sel-sel abnormal, sedangkan jika abnormalitas tersebut mencapai setengah ketebalan sel, dinamakan displasia sedang. Displasia berat terjadi bila abnormalitas sel pada seluruh ketebalan sel, namun belum menembus membrana basalis. Perubahan pada displasia ringan sampai sedang ini masih bersifat reversibel dan sering disebut dengan Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) derajat 1-2. Displasia berat (CIN 3) dapat berlanjut menjadi karsinoma in situ. (Greer B E et al, 2002) Perubahan dari displasia ke karsinoma in situ sampai karsinoma invasif berjalan lambat (10 sampai 15 tahun). Gejala pada CIN umumnya asimptomatik, seringkali terdeteksi saat pemeriksaan kolposkopi. Sedangkan pada tahap invasif, gejala yang dirasakan lebih nyata seperti perdarahan intermenstrual dan post koitus, discharge vagina purulen yang berlebihan berwarna kekuning-kuningan terutama bila lesi nekrotik, berbau dan dapat bercampur dengan darah, sistisis berulang, dan gejala akan lebih parah pada stadium lanjut di mana penderita akan mengalami cachexia, obstruksi gastrointestinal dan sistem renal (HT Ng et al, 2002).

2.2.6 Prognosis Prognosis ditentukan oleh saat dimulainya penyakit tersebut. Harapan hidup 5 tahun bagi pasien dengan diagnosis karsinoma in situ mendekati 100 %, dengan kanker terbatas secara lokal 88%, penyakit berkembang ke area regional 52%, dan metastasi jauh 14% (Otto, 2003). Semakin awal penegakkan diagnosis stadium kanker, semakin baik prognosisnya. Kanker pre invasif biasanya terdiagnosis pada wanita <30 tahun tetapi sebagian besar pasien dengan karsinoma invasif terdiagnosis pada umur 40-

20

50 tahun. Karena itu perlu waktu 5-10 tahun untuk karsinoma menembus membran basalis dan menjadi invasif. Angka kelangsungan hidup dilaporkan menurut stadium penyakit ketika ditemukan sangat bervariasi. Gabungan angka kelangsungan hidup 5 tahun di pusat-pusat kanker yang besar di seluruh dunia dimana radioterapi merupakan metode pengobatan utama yaitu: stadium I 86%89%, stadium II 43%-70%. Stadium III 27%-43%, stadium IV 0%-12% (Benson, 2008).

2.2.7 Epidemiologi Penyakit Kanker Serviks Kanker serviks merupakan keganasan yang sering dijumpai pada wanita. Kanker serviks menempati urutan ketiga didunia untuk jenis kanker yang sering terjadi pada wanita setelah kanker payudara dan kanker endometrium. Kejadian kanker serviks terhitung 10% dari semua jenis kanker. Pada negara berkembang, kanker serviks menempati urutan kedua, dengan kejadian sebanyak 15% dari semua jenis kanker. Pada tahun 2008, estimasi kasus kanker serviks di dunia mencapai 529.800 kasus dan lebih dari 85% terjadi di negara berkembang. Risiko tertinggi kanker serviks terdapat di Amerika Selatan, Afrika Timur dan Afrika Selatan, dan India. Kejadian yang sangat tinggi pada negara berkembang dikarenakan kurangnya pelayanan kesehatan dan sedikitnya tindakan deteksi dini pada wanita.

Gambar 2.1 Peta penyebaran kanker serviks (Globocan, 2008).

21

Kanker serviks juga merupakan urutan keempat penyebab utama kematian pada wanita dengan estimasi 275.100 kematian terjadi di dunia pada tahun 2008. Lebih dari 90% kematian terjadi di negara berkembang (Bray F, et al, 2005). Kejadian kenker serviks paling tinggi terjadi pada usia dekade 5-7. Kematian yang terjadi akibat kanker serviks mencapai 73% pada usia diatas 50 tahun.

Gambar 2.2 Grafik kasus dan kematian kanker serviks pada tahun 2008 (Globocan, 2008).

22

Tabel 2.1 Jumlah kasus dan kematian kanker serviks pada tahun 2008 (dalam ribu) (Globocan, 2008).

Estimated numbers (thousands) World More developed regions Less developed regions WHO Africa region (AFRO) WHO Americas region (PAHO) WHO East Mediterranean region (EMRO) WHO Europe region (EURO) WHO South-East Asia region (SEARO) WHO Western Pacific region (WPRO) IARC membership (22 countries) United States of America China India European Union (EU-27)

Cases 530 76 453 75 80 18 61 188 105 193 11 75 134 31

Deaths 275 32 242 50 36 11 28 102 46 96 3 33 72 13

Untuk wilayah ASEAN, insidens kanker serviks di Singapore sebesar 25,0 pada ras Cina; 17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar 23,7 per 100.000 penduduk. Insidens dan angka kematian kanker serviks menurun selama beberapa dekade terakhir di AS. Hal ini karena skrining Pap menjadi lebih populer dan lesi serviks pre-invasif lebih sering dideteksi daripada kanker invasif. Diperkirakan terdapat 3.700 kematian akibat kanker serviks pada 2006. Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker mulut rahim setiap tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih kurang 36%. Dari data 17 rumah sakit di Jakarta 1977, kanker serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada perempuan. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar 76,2% di antara kanker ginekologi.Terbanyak pasien datang pada stadium lanjut, yaitustadium IIB-IVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu
23

stadium dengan gangguan fungsi ginjal, sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga kasus.2 Relative survival pada wanita dengan lesi pre-invasif hampir 100%. Relative 1 dan 5 years survival masingmasing sebesar 88% dan 73%. Apabila dideteksi pada stadium awal, kanker serviks invasif merupakan kanker yang paling berhasil diterapi, dengan 5 YSR sebesar 92% untuk kanker lokal. Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker serviks saat ini menempati urutan pertama kanker yang diderita oleh kaum wanita Indonesia. Saat ini ada 100 kasus per 100.000 penduduk atau 200.000 kasus setiap tahunnya dengan usia antara 45-54 tahun dan menempati urutan teratas dari 10 kanker yang banyak pada wanita dan sekitar 65% berada pada stadium lanjut. Data yang dikumpulkan dari 13 laboratorium patologi anatomi di Indonesia menunjukkan bahwa frekuensi kanker serviks tertinggi di antara kanker yang ada di Indonesia maupun Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr.

Ciptomangunkusumo. Akumulasi penyebaran kanker serviks sendiri terdapat di Jawa-Bali yakni 92,44%. Untuk wilayah kota medan terdapat 62 kasus kanker seviks sepanjang tahun 2010. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari berbagai rumah sakit di Sumatera Utara ditemukan bahwa di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dalam kurun waktu 1998-2002 dari 802 kasus kanker ginekologik dan 421 (52,5%) diantaranya adalah kanker leher rahim. Di Rumah Sakit St. Elisabeth Medan selama kurun waktu 1998-2004 dari 1.672 kasus kanker ditemukan 195 kasus (11,66%) diantaranya didiagnosis sebagai kanker leher rahim (Zai Elwin, 2009). Dan data dari RSUD dr.Pirngadi Kota Medan pada tahun 2006, jumlah penderita kanker serviks sebanyak 28, tahun 2007 sebanyak 32 orang,tahun 2008 sebanyak 35 orang, tahun 2009 sebanyak 25 orang, dan pada tahun 2010 sebanyak 40 orang. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa kasus kanker leher rahim mengalami peningkatan setiap tahunnya (Universitas Sumatera Utara, 2012). Untuk daerah dengan penderita kanker terbanyak di Indonesia adalah di Yogyakarta. Di daeerah tersebut, tingkat prevalensi tumor mencapai 9,6 per 1000 orang. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari nilai rata-rata prevalensi nasional yang sebesar 4,3 per 1.000 orang (Jerry, 2009).

24

Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan prognosis dari penderita (Imam, 2009). Saat ini telah diketahui di beberapa negara bahwa puncak insidensi lesi prakanker serviks terjadi pada kelompok usia 30-39 tahun, sedangkan kejadian kanker serviks terjadi pada usia di atas 60 tahun. Di Indonesia, telah dilakukan penelitian pada tahun 2002 mengenai puncak insidensi kanker serviks yaitu pada kelompok usia 45-55 tahun. Penelitian lain di RSCM (1997-1998) menunjukkan insidens kanker serviks meningkat sejak usia 25-34 tahun dan puncaknya pada usia 35-44 tahun, sementara di Indonesia pada usia 45-55 tahun. Pada penelitian lain secara retrospektif yang dilakukan oleh Schellekens dan Ranti di Rumah Sakit dr.Hasan Sadikin Bandung untuk periode Januari tahun 2000 sampai Juli 2001 dengan interval umur mulai 21 sampai 85 tahun (N=307), didapatkan usia rata-rata dari pasien karsinoma serviks yaitu 32 tahun (Lestari, 2009). Tingginya kasus kanker leher rahim disebabkan minimnya kesadaran untuk melakukan deteksi dini, dikarenakan upaya promosi dan preventif dalam pencegahan terhadap kasus kanker leher rahim masih kurang digalakkan oleh pemerintah yang mengakibatkan masyarakat menjadi kurang informasi mengenai bahaya kanker leher rahim dan berbagai upaya pencegahannya. Selain itu, rasa keingintahuan masyarakat Indonesia juga dinilai masih rendah, khususnya ibuibu. Ditambah lagi masih berkembangnya persepsi di setiap masyarakat kita bahwa sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit hanya sebagai tempat untuk berobat saja, itu artinya masyarakat hanya datang ke pusat pelayanan kesehatan jika mereka sudah sakit. Akibatnya, sebagian besar kasus yang ditemukan sudah masuk pada stadium lanjut dan menyebabkan kematian karena kanker leher rahim tidak menunjukkan gejala (Universitas Sumatera Utara, 2012).

25

2.2.7.1 Faktor Risiko Terdapat banyak faktor risiko dari penyakit kanker serviks. Beberapa faktor tersebut yaitu: 1. Hubungan Seksual Karsinoma serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan secara seksual. Beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan antara riwayat hubungan seksual danrisiko penyakit ini. Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita dengan partner seksual yang banyak dan wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko terkena kanker serviks. Karena sel kolumnar serviks lebih peka terhadap metaplasia selama usia dewasa maka wanita yang

berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks lima kali lipat. Keduanya, baik usia saat pertama berhubungan maupun jumlah partner seksual, adalah faktor risiko kuat untuk terjadinya kanker serviks (Imam, 2009). 2. Karakteristik Partner Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung, tetapi sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko. Studi kasus kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan kanker serviks lebih sering menjalani seks aktif dengan partner yang melakukan seks berulang kali. Selain itu, partner dari pria dengan kanker penis atau partner dari pria yang istrinya meninggal terkena kanker serviks juga akan meningkatkan risiko kanker serviks (Imam, 2009). 3. Riwayat Ginekologis Walaupun usia menarke atau menopause tidak mempengaruhi risiko kanker serviks, hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak tepat dapat pula meningkatkan risiko (Imam, 2009). 4. Dietilstilbesterol (DES) Hubungan antara clear cell adenocarcinoma serviksdan paparan DES in utero telah dibuktikan. Agen Infeksius Mutagen pada umumnya berasal dari agen-agen yang ditularkan melalui hubungan seksual

26

seperti Human Papilloma Virus (HPV) dan Herpes Simpleks Virus Tipe 2 (HSV 2) (Imam, 2009). 5. Human Papilloma Virus (HPV) Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab neoplasia servikal.

Karsinogenesis pada kanker serviks sudah dimulai sejak seseorang terinfeksi HPV yang merupakan faktor inisiator dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks. Ada bukti lain yaitu onkogenitas virus papilom ahewan; hubungan infeksi HPV serviks dengan kondiloma dan atipik koilositotik yang menunjukkan displasia ringan atau sedang; serta deteksi antigen HPV dan DNA dengan lesi servikal. HPV tipe 6 dan 11 berhubungan erat dengan diplasia jaringan yang sering regresi. HPV tipe 16 dan 18 dihubungkan dengan diplasia berat yang jarang regresi dan seringkali progresif menjadi karsinoma insitu. Infeksi Human Papilloma Virus persisten dapat berkembang menjadi neoplasia intraepitel serviks (NIS). Seorang wanita dengan seksual aktif dapat terinfeksi oleh HPV risiko-tinggi dan 80% akan menjadi transien dan tidak akan berkembang menjadi NIS. HPV akan hilang dalam waktu 6-8 bulan. Dalam hal ini, respons antibodi terhadap HPV risiko-tinggi yang berperan. Dua puluh persen sisanya berkembang menjadi NID dan sebagian besar, yaitu 80%, virus menghilang, kemudian lesi juga menghilang. Oleh karena itu, yang berperan adalah cytotoxic T-cell. Sebanyak 20% dari yang terinfeksi virus tidak menghilang dan terjadi infeksi yang persisten. NIS akan bertahan atau NIS 1 akan berkembang menjadi NIS 3, dan pada akhirnya sebagiannya lagi menjadi kanker invasif. HPV risiko rendah tidak berkembang menjadi NIS 3 atau kanker invasif, tetapi menjadi NIS 1 dan beberapa menjadi NIS 2. Infeksi HPV risiko-rendah sendirian tidak pernah ditemukan pada NIS 3 atau karsinoma invasif. Berdasarkan hasil program skrining berbasis populasidi Belanda, interval antara NIS 1 dan kanker invasif diperkirakan 12,7 tahun dan kalau dihitung dari infeksi HPV risiko-tinggi sampai terjadinya kanker

27

adalah 15 tahun. Waktu yang panjang ini, di samping terkait dengan infeksi HPV risiko-tinggi persisten dan faktor imunologi (respons HPVspecific T-cell, presentasi antigen), juga diperlukan untuk terjadinya perubahan genom dari sel yang terinfeksi. Dalam hal, ini faktor onkogen E6 dan E7dari HPV berperan dalam ketidakstabilan genetik sehingga terjadi perubahan fenotipe ganas. Oncoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi

keganasan. Oncoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG p53 akan kehilangan fungsinya. Sementara itu, oncoprotein E7 akan mengikat TSG Rb. Ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol (Imam, 2009). 6. Virus Herpes Simpleks Walaupun semua virus herpes simpleks tipe 2 (HPV-2) belum didemonstrasikan pada sel tumor, teknik hibridisasi insitu telah menunjukkan bahwa terdapat HSVRNA spesifik pada sampel jaringan wanita dengan displasia serviks. DNA sekuens juga telah diidentifikasi pada sel tumor dengan menggunakan DNA rekombinan Diperkirakan, 90% pasien dengan kanker serviks invasif dan lebih dari 60% pasien dengan neoplasia intraepitelial serviks (CIN) mempunyai antibodi terhadap virus (Imam, 2009). 7. Lain-lain Infeksi trikomonas, sifilis, dan gonokokus ditemukan

berhubungan dengan kanker serviks. Namun, infeksi ini dipercaya muncul akibat hubungan seksual dengan multipel partner dan tidak dipertimbangkan sebagai faktor risiko kanker serviks secara langsung (Imam, 2009). 8. Merokok Saat ini terdapat data yang mendukung bahwa rokok sebagai penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker sel skuamosa pada serviks (bukan adenoskuamosa atau

adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa langsung (aktivitas mutasi

28

mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek imunosupresif dari merokok. Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau dapat dijumpai dalam lendir dari mulut rahim pada wanita perokok. Bahan karsinogenik ini dapat merusak DNA sel epitel skuamosa dan bersama infeksi HPV dapat mencetuskan transformasi keganasan (Imam, 2009). 9. Faktor risiko yang diperkirakan. a. Kontrasepsi Oral Risiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan hubungan dengan kontrasepsi oral. Bagaimanapun, penemuan ini hasilnya tidak selalu konsisten dan tidak semua studi dapat membenarkan perkiraan risiko dengan mengontrol pengaruh kegiatan seksual. Beberapa studi gagal dalam menunjukkan beberapa hubungan dari salah satu studi, bahkan melaporkan proteksi terhadap penyakit yang invasif. Hubungan yang terakhir ini mungkin palsu dan menunjukkan deteksi adanya bias karena peningkatan skrining terhadap pengguna kontrasepsi. Beberapa studi lebih lanjut kemudi memerlukan konfirmasi atau menyangkal observasi ini mengenai kontrasepsi oral. b. Diet Diet rendah karotenoid dan defisiensi asam folat juga dimasukkan dalam faktor risiko kanker serviks. c. Etnis dan Faktor Sosial Wanita di kelas sosioekonomi yang paling rendah memiliki faktor risiko lima kali lebih besar daripada wanita di kelas yang paling tinggi. Hubungan ini mungkin dikacaukan oleh hubungan seksual dan akses ke sistem pelayanan kesehatan. Amerika Serikat, ras negro, hispanik, dan wanita Asia memiliki insiden kanker serviks yang lebih tinggi daripada wanita ras kulit putih. Perbedaan ini mungkin mencerminkan pengaruh sosioekonomi.

29

d.

Pekerjaan Sekarang ini, ketertarikan difokuskan pada pria yang pasangannya menderita kanker serviks. Diperkirakan bahwa paparan bahan tertentu dari suatu pekerjaan (debu, logam, bahan kimia, tar, atau oli mesin) dapat menjadi faktor risiko kanker serviks.

Faktor risiko lain menurut American Cancer Society karangan Marcovic tahun 2008 yaitu: (Hartanti, 2010) a. Riwayat keluarga: terutama yang mempunyai ibu atau saudara perempuan yang telah menderita kanker serviks. Beberapa ilmuwan percaya bahwa mereka membawa kondisi genetik sehingga membuat lebih rentan terinfeksi HPV. b. Usia: kanker ini lebih sering terjadi pada usia 40 tahun keatas dan sangat jarang terjadi pada wanita kurang dari usia 15 tahun. c. Diet yang tidak sehat: jenis asupan makanan sehari-hari yang tidak sehat dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks, begitu juga jika kekurangan gizi, maka tubuh menjadi lemah dan tidak dapat melawan viru. d. Adanya sel abnormal: sel seperti diskaryosis meningkatkan tingkat risiko kanker. e. Sering hamil: melahirkan anak banyak dan sering hamil juga dapat meningkatkan risiko kanker serviks pada wanita. f. Pil KB: penggunaan pil KB dapat meningkatkan risikio terjadinya kanker serviks, terutama yang sudah positif terhadap HPV. Fakta menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral (pil KB) sedikitnya 5 tahun ada hubungannya dengan peningkatan risiko kanker serviks. Analisis data oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun 2003 menemukan bahwa ada peningkatan kanker serviks dengan penggunaan pil KB. Menurut hipotesis Gustav et al (2009), kekentalan lendir pada serviks akibat penggunaan pil KB menyokong terjadinya kanker serviks, karena dengan kekentalan lendir ini akan memperlama keberadaan suatu agen karsinogenik (penyebab kanker) di serviks

30

yang terbawa melalui hubungan seksual termasuk adanya HPV (Imam, 2009).

2.3

Pencegahan Kanker Serviks Umumnya virus HPV tertular melalui kontak seksual. Kondom dapat

mencegah penyebaran berbagai penyakit seksual, tetapi tidak HPV. HPV ditemukan pada semua jaringan genitalia dan kondom pada penis tidak dapat mencegah transmisi HPV. Virus dapat tinggal dengan masa dorman pada serviks selama sekitar 20 tahun sebelum ia menyebabkan perubahan pada sel, yang biasanya ditemukan pada pemeriksaan rutin pap smear (Stoppler, 2013). Kanker serviks dimulai dengan perubahan abnormal pada jaringan serviks. Infeksi dengan human papillomavirus (HPV) adalah penyebab pada hampir semua kasus kanker serviks. Faktor risiko lain yang dikenal untuk kanker serviks meliputi kontak seksual dini, banyak pasangan seksual, merokok, infeksi HIV dan sistem kekebalan tubuh yang lemah, dan menggunakan kontrasepsi oral (pil KB) (Stoppler, 2013). 1. Karena HPV dapat ditularkan melalui hubungan seksual, kontak seksual dini dan memiliki banyak pasangan seksual telah diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk perkembangan lesi serviks yang dapat berkembang menjadi kanker. Cara ini cara paling sering untuk penularan kanker serviks. 2. Merokok merupakan faktor risiko untuk perkembangan kanker serviks. Bahan kimia dalam asap rokok berinteraksi dengan sel-sel leher rahim, menyebabkan perubahan prakanker yang mungkin suatu saat akan menjadi kanker. 3. Kontrasepsi oral dapat meningkatkan risiko untuk kanker serviks, terutama pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral selama lebih dari lima tahun. 4. Wanita yang sistem kekebalan tubuhnya lemah, seperti perempuan yang terinfeksi HIV, juga berisiko lebih besar untuk kanker serviks (Stoppler, 2013).

31

Infeksi HPV sangat umum dan tidak menyebabkan kanker pada sebagian besar kasus. Infeksi kelamin dengan HPV biasanya tidak menimbulkan gejala dan sembuh dengan sendirinya, walaupun terkadang infeksi sebenarnya terus berlanjut. Perubahan pra-kanker atau kanker serviks pada akhirnya hanya muncul ketika ada infeksi persisten oleh salah satu jenis HPV yang terkait dengan kanker serviks dan lainnya (Stoppler, 2013). Kanker serviks dimulai pada sel-sel pada permukaan serviks. Seiring waktu, kanker serviks dapat menyerang lebih dalam ke dalam serviks dan jaringan di dekatnya. Sel-sel kanker serviks dapat menyebar dengan memecah dari tumor serviks. Mereka dapat melakukan perjalanan melalui pembuluh getah bening ke kelenjar getah bening di dekatnya. Juga, sel-sel kanker dapat menyebar melalui pembuluh darah ke paru-paru, hati, atau tulang (Anonim, 2011). 2.3.1 Deteksi Dini Kanker Serviks Karena deteksi dini memprediksi prognosis yang lebih baik, salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah dan mengendalikan kanker serviks adalah skrining rutin dan diagnosis dini. Terlepas dari kenyataan bahwa lebih dari 80% kasus kanker serviks di negara berkembang, hanya 5% dari wanita setiap satu sampai tiga tahun, pernah diperiksa untuk kelainan serviks. (Duraisamy, 2011 cit. WHO, 2006) Berikut merupakan berbagai jenis pemeriksaan sebagai bentuk deteksi dini kanker serviks: 1. Papanicolaou Test (Pap Smear) Bentuk yang paling umum dari diagnosis untuk mendeteksi kanker serviks pada tahap awal adalah prosedur yang disebut tes Pap Smear atau Papanicolaou. Tes ini tidak menimbulkan rasa sakit, biasanya memakan waktu kurang dari 5 menit untuk menyelesaikan dan dapat dilakukan di tempat praktik dokter. Wanita yang berusia 18 atau lebih tua atau yang sudah aktif secara seksual disarankan untuk menjalani tes Pap smear tahunan. Prosedur ini dilakukan dengan seorang wanita berbaring telentang di atas meja. Dokter akan memasukkan alat yang disebut spekulum dalam vaginanya sebelum mengeluarkan beberapa sel dari leher rahim menggunakan kapas atau sikat kecil. Sel-sel tersebut kemudian dikirim ke laboratorium dan akan
32

diamati di bawah mikroskop untuk menentukan apakah terdapat sel-sel prakanker atau kanker. Jika hasil tes menunjukkan kelainan, pasien akan diminta untuk kembali ke dokter sehingga tes tambahan dapat dilakukan. Jika hasil tes negatif, perempuan dapat menjadwalkan janji tahunan untuk melakukan tes Pap smear secara rutin. Nilai dari tes Pap smear pada kanker serviks metode ini telah menghasilkan penurunan angka kematian akibat kanker serviks mendekati 60% pada wanita berusia 30 dan lebih tua. Namun,dari hasil identifikasi beberapa keterbatasan Pap smear konvensional, sensitivitas untuk mendeteksi tanda awal kanker serviks kurang dari 50%, transfer yang tidak memadai memadai sel untuk slide, distribusi yang tidak homogen dari sel-sel abnormal, adanya lapisan darah, peradangan atau daerah yang tebal sehingga mengakibatkan sel-sel epitel menjadi tumpang tindih. Terjadinya Pap smear yang palsu dan tidak memuaskan telah mendorong pengembangan perangkat skrining LBC dan otomatis. 2. Pemeriksaan Panggul Pemeriksaan panggul juga merupakan metode yang penting untuk mendeteksi kanker serviks. Pemeriksaan ini sangat mirip dengan Pap smear. Seorang wanita dalam posisi berbaring sementara dokter memasukkan spekulum ke dalam vagina. Dokter kemudian akan memeriksa vagina dan organ sekitarnya baik secara visual dan manual. Dia akan memasukkan jari bersarung dan lembut merasakan leher rahim dan organ sekitarnya dengan jari-jarinya, sementara tangan lainnya menekan lembut pada perut pasien. 3. Kolposkopi Kolposkopi diperbesar pemeriksaan visual dari ektoserviks, SCJ dan kanal endoserviks menggunakan alat khusus yang disebut colposcope. Ini dapat disertai dengan biopsi dari setiap jaringan abnormal yang tampak sangat mirip dengan Pap smear. Seorang wanita akan berbaring telentang sementara dokter memasukkan spekulum ke dalam vagina. Dia juga akan menerapkan anestesi lokal untuk leher

33

rahim serta cairan khusus yang akan mewarnai setiap sel abnormal putih. Dokter kemudian dapat melihat sel-sel dengan menggunakan mikroskop bertenaga tinggi untuk mendeteksi sel-sel kanker yang abnormal. Hal ini digunakan bukan sebagai tes skrining, tetapi sebagai tes diagnostik. Konisasi atau Cone Biopsi, kuretase Edocervical, LLETZ/ LEEP dan prosedur pencitraan adalah teknik lebih lanjut yang dapat diterapkan ketika mendiagnosis kanker serviks. 4. Liquid-Based Cytology (LBC) Semua teknologi sitologi yang tersedia saat ini bergantung pada analisis visual sel yang dikelupas dari serviks uterus. Peningkatan skrining sitologi konvensional telah diusulkan oleh pengenalan penanda berbasis molekuler diterapkan untuk sitologi berbasis cairan (LBC). Hal ini dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan Pap smear dan mewakili perubahan besar pada persiapan sampel skrining serviks. Alih-alih sel yang diusapkan ke slide kaca, tetapi sel dicuci ke dalam botol cair dan disaring dan sampel acak disajikan dalam lapisan tipis pada slide kaca. Perubahan metilasi DNA terjadi pada awal karsinogenesis dan identifikasi penanda metilasi DNA yang sesuai dalam sampel tersebut harus dapat membedakan lesi squamous intraepithelial (HSIL) tingkat tinggi dari perubahan sitologi spesifik dan leher rahim yang normal. Sitologi berbasis cairan (LBC) sesuai dengan sampling dimana sel-sel yang dimasukkan ke dalam suspensi dalam cairan. Untuk dokter, sampel dibuat dengan cara yang sama seperti yang dari smear konvensional dengan menggunakan sikat plastik, yang dapat mengambil persimpangan squamo-kolumnar dan endoserviks, atau dengan mengkombinasikan penggunaan spatula dan sikat endoserviks. Yang diambil material kemudian segera dibilas dalam botol, yang berisi fixative sehingga memungkinkan dikirim ke laboratorium. Sebuah bagian dari sikat yang cukup besar dapat dibiarkan dalam botol. Dokter tidak harus berurusan dengan spreading, yang dilakukan di laboratorium. Saat ini, dua metode teknis, yang

34

menggunakan automatis, telah divalidasi oleh Food and Drug Administration (FDA) dan sering digunakan. Salah satunya adalah melanjutkan dengan filtrasi dan

mengumpulkan sel vakum yang dikemas pada membran dengan mentransfer sel pada kaca (ThinPrep, Cytyc). Yang lainnya adalah melanjutkan dengan sentrifugasi dan sedimentasi melalui kepadatan gradien (SurePath, Tripath Pencitraan). Cytoscreen Sistem (SEROA), Turbitec (Labonord), CellSlide (Menarini) dan Papspin (Shandon) adalah teknik sentrifugasi dan teknik panduan sedimentasi, yang tidak menggunakan mengotomatisasi dan tidak memerlukan perjanjian FDA. 5. SurePath (AutoCytePREP atau CytoRich LBC) Metode SurePath mensyaratkan bahwa perangkat koleksi

ditempatkan dalam botol koleksi proprietary SurePath, yang berisi cairan transportasi, sehingga semua sel serviks yang dikumpulkan dikirim ke laboratorium. Botol di-vortex dan disentrifugasi oleh pegawai laboratorium, semua persiapan berikutnya dari sampel dan slide otomatis menggunakan mesin Prepstain, yang memproses 48 sampel pada suatu waktu. 6. Cytoscreen Cytoscreen adalah metode manual persiapan sampel

menggunakan sampel koleksi perangkat proprietary (CYTOPREP) dan cairan transportasi (CYTeasy). Sampel vortexed dan pembacaan fotometri diambil untuk memperkirakan cellularity sampel. Sebuah alikuot sampel disentrifugasi ke slide kaca yang kemudian diwarnai dengan menggunakan prosedur laboratorium normal. 7. Labonard Easy Prep Labonard Easy Prep adalah metode manual persiapan sampel yang menggunakan perangkat koleksi sampel proprietary (CYTOPREP sikat) dan fiksatif (CYTOscreen). Cairan sampel aliquot ditempatkan dalam ruang pemisahan melekat pada slide kaca yang berisi kertas penyerap.

35

Sedimen sel serviks diletakan di atas slide dalam lapisan tipis dan slide diberi warna menggunakan prosedur laboratorium umum. 8. ThinPrep ThinPrep menyediakan metode persiapan sampel semi-otomatis (T2000) atau otomatis (T3000). Sampel serviks dibilas dengan media transportasi PreservCyt proprietary ke dalam botol, yang kemudian diolah dengan metode ThinPrep menggunakan mesin T2000 atau T3000. Proses slide untuk mesin T2000 dilakukan secara individual, sementara mesin T3000 adalah perangkat otomatis yang dapat memproses sampai dengan 80 spesimen per siklus. Pewarnaan berikutnya dan evaluasi mikroskopis slide dilakukan dengan cara yang mirip dengan pemeriksaan Pap smear konvensional. Kualitas evaluasi kinerja teknologi ini sering buruk dan jarang atas dasar hasil yang didefinisikan secara histologis menggunakan desain studi acak. Secara umum, proporsi sampel tidak memuaskan lebih rendah dibandingkan dengan di LBC sitologi konvensional dan penafsiran LBC membutuhkan waktu yang relative lebih sebentar. Biaya tes LBC individu jauh lebih tinggi, tapi pengujian molekuler tambahan, seperti pengujian HPV risiko tinggi dalam kasus sel skuamosa atipikal yang signifikansinya belum ditentukan (ASC-US), dapat dilakukan pada sampel yang sama. Keuntungan ekonomi LBC karena berkurangnya pengambilan kembali sampel baru. Keuntungan dari LBC termasuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas sejak fiksasi lebih baik dan rincian nuklir terjaga dengan baik. Selain itu tarif yang lebih rendah untuk sampel serviks yang lebih memuaskan. Keuntungan lain utama dari LBC adalah bahwa spesimen sisa dapat digunakan untuk ancillarytesting seperti imunohistokimia dan deteksi HPV DNA. 9. Automated Screening Technology Efektivitas program skrining kanker serviks yang mengandalkan sitologi serviks adalah kontrol kualitas dari tinjauan sitologi Pap smear. Hal ini penting untuk mengurangi positif dan negatif yang salah yang

36

dihasilkan dari variasi inter-dan intra-pengamat. Teknik penyaringan otomatis baru-baru ini telah dikembangkan yang tidak hanya dapat melakukan ini kontrol kualitas skrining kembali tetapi juga dapat digunakan untuk penyaringan utama pada hapusan serviks. Autopap300 (Tripath Imaging, Burlington NC) dan PAPNET (sistem Neuromedical) adalah dua teknik penyaringan otomatis yang sebagian besar bergantung pada jaringan saraf dan didasarkan pada pencitraan terkomputerisasi dan identifikasi sel serviks yang abnormal. Diantara ini hanya Autopap300 disetujui oleh USFDA untuk skrining serviks primer dan sekunder sedangkan PAPNET ini hanya disetujui untuk skrining sekunder. 10. HPV-DNA Testing Peran etiopathological HPV dalam perkembangan kanker serviks telah dibuktikan. HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39 45, 51, 52, 56, 59 dan 68 yang diketahui sering dikaitkan dengan HSIL dan kanker invasif serviks. Pemeriksaan untuk memeriksa adanya HPV-DNA dalam sel-sel serviks sehingga metode skrining berpotensi berguna, yang dapat dimasukkan dalam program skrining kanker serviks. Ada berbagai teknik yang tersedia untuk tes HPV-DNA yang Southern Blot hibridisasi dianggap sebagai standar laboratorium. Namun ini tidak cocok untuk penggunaan klinis karena melelahkan, membosankan dan membutuhkan jaringan yang segar. Spesimen untuk pengujian HPVDNA dapat diperoleh dengan dua cara, baik dengan menggunakan suspensi sel dari sitologi berbasis cairan atau dengan menggunakan Cytobrush endoserviks. 11. Visual Inspection of the Cervix with Acetic Acid (VIA) Teknik ini sangat sederhana dan terdiri dari pemeriksaan leher rahim setelah aplikasi asam asetat. Setelah mendapatkan catatan klinis dan melakukan pemeriksaan umum, serviks dibuka menggunakan spekulum. Asam asetat 4% kemudian diaplikasikan pada leher rahim dan kelebihan cairan disedot dari forniks posterior vagina. Leher rahim diperiksa setelah dua menit. Lesi yang memberi warna acetowhite

37

dianggap sebagai positif untuk VIA. Lesi dengan plak putih kusam dan perbatasan samar dianggap kelas rendah VIA sementara mereka dengan batas tajam dianggap kelas tinggi VIA. Tes ini dianggap sebagai negatif jika tidak ada lesi acetowhite terdeteksi. Penelitian telah menunjukkan bahwa VIA merupakan pemeriksaan yang akurat, sensitif dan biaya yang efektif merupakan alternatif untuk pengujian Pap smear konvensional, terutama dalam pengaturan sumber daya yang rendah. VIA lebih baik daripada Pap smear untuk mengidentifikasi ini CINterutama jika seorang wanita diuji hanya sekali dalam masa hidupnya.VIA sederhana untuk dilakukan dan memberikan hasil langsung tanpa peralatan mahal. 12. Visual Inspection with Lugols Iodine (VILI) VILI juga merupakan metode visual untuk skrining kanker serviks. Setelah serviks wanita diperiksa menggunakan VIA, serviks dicat dengan larutan yodium lugol dan diperiksa lagi dengan mata telanjang. Lesi kecil dengan tingkatan yang lebih tinggi lebih mudah untuk dilihat dalam wilayah tingkat yang lebih rendah yang luas. Sel epitel skuamosa normal memiliki penyimpanan untuk glikogen. Glikogen akan memberi warna cokelat kemerahan dengan larutan yodium. Daerah abnormal dari epitel skuamosa (CIN atau peradangan) tidak mengandung glikogen pada tingkat yang sama dan tidak noda coklat. VILI lebih akurat dan lebih dapat direproduksi dari VIA dan lebih baik daripada Pap smear untuk mengidentifikasi CIN. VILI lebih sederhana untuk dilakukan dan memberikan hasil langsung tanpa peralatan mahal. 13. Speculoscopy Speculoscopy melibatkan pemeriksaan leher rahim setelah aplikasi asam asetat 5% dengan cahaya chemiluminescent dan sedikit perbesaran. 14. Servikografi Servikografi melibatkan mengambil foto serviks menggunakan kamera khusus setelah aplikasi asam asetat 5% selama pemeriksaan

38

panggul rutin dan pada koleksi Pap smear. Foto-foto tersebut kemudian dikembangkan dan slide diproyeksikan pada layar 2x2 meter dan dibaca oleh seorang ahli kolposkopi. 15. Polar Probe Teknologi ini didasarkan pada fakta bahwa impedansi jaringan pada stimulasi listrik berbeda antara jaringan normal dan abnormal. Ilmuwantelah mencoba untuk memanfaatkan rangsangan spektral dan listrik dari jaringan serviks sebagai tambahan untuk pengujian Pap smear konvensional. 16. Laser Induced Fluorescence Berbagai peneliti telah menunjukkan bahwa pencahayaan laser bertenaga rendah dapat menginduksi fluoresensi jaringan endogen. Hal ini tergantung pada komposisi kimia dan morfologi jaringan individu. Jika perbedaan spektroskopik terdeteksi maka dapat digunakan untuk membedakan jaringan normal dan abnormal. 17. Computer Imaging Diagnosis perubahan prakanker dapat dilakukan dengan

pemilahan informasi grafis. Baru-baru ini banyak pemeriksaan dengan fokus pada penggunaan komputer untuk membantu proses pemeriksaan. Ini sangat mirip dengan teknik cervicographic dengan komputer menggantikan ahli kolposkopi. Namun banyak penelitian perlu dilakukan untuk mengevaluasi teknologi ini sebelum dapat dimasukkan ke dalam program skrining (Duraisamy, 2011). 2.3.2 Vaksin Human Papilloma Virus (HPV) Vaksin HPV adalah vaksin yang memberi kekebalan tubuh terhadap virus HPV yang menjadi penyebab dari sebagian besar kanker serviks. Vaksin HPV terdiri dari HPV yang dilemahkan sehingga tidak akan menginfeksi tubuh ketika vaksin diberikan. Kehadiran virus yang dilemahkan ke dalam tubuh membuat tubuh secara alami membuat antibodinya sehingga ketika suatu hari orang tersebut terinfeksi virus HPV dari luar maka didalam tubuhnya sudah ada antibodinya sehingga virus tidak menganggu sistem imun orang yang teinfeksi.

39

Vaksin diberikan kepada para anak perempuan berusia 10-15 tahun, perempuan usia 15-55 tahun, dan anak laki-laki usia 10-26 tahun. Untuk perempuan, vaksin HPV tipe 16 dan 18 berpotensi mencegah lebih 70 persen kanker serviks dan tipe 6 dan 11 untuk kutil kelamin. Vaksin HPV merupakan era baru dalam pencegahan kanker serviks bagi remaja putri dan perempuan dewasa. Vaksinasi yang dilengkapi dengan skrining akan mengurangi risiko kanker serviks dibanding dengan skrining saja (Koran Jakarta, 2013). Vaksinasi virus Human Papilloma (HPV) untuk mencegah kanker rahim ternyata belum populer dilakukan di Indonesia. Padahal, vaksinasi ini berhasil mencegah hingga 70 persen kanker rahim. Salah satu penyebabnya adalah tingginya harga vaksinasi ini. Harga vaksinasi memerlukan biaya Rp600.000,00 hingga Rp1.200.000,00. Vaksin ini harus diberikan tiga kali, yakni pada bulan nol, satu, dan lima. Penyebab lain kurang populernya vaksin ini karena masih baru dan perlindungan patennya masih cukup lama (National Geographic Indonesia, 2012). 2.3.2.1 Mekanisme Kerja Vaksin HPV Vaksin mengandung antigen spesifik yang dapat meningkatkan respon imun tubuh dengan cara menstimulasi fungsi sel memori. Sel-sel leukosit memegang peranan penting dalam melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme ataupun terhadap keberadaan sel yang abnormal, terutama limfosit. Sekelompok sel limfosit yang berperan dalam respon imun spesifik ini adalah sel B dan sel Tsitotoksik. Sel B memproduksi antibodi, yang dapat mengenali dan mencegah terjadinya infeksi. Sel T sitotoksik yang juga dikenal killer T cells, akan melisiskan sel yang terinfeksi dengan cara menginduksi apoptosis. Vaksin kanker bekerja dengan cara mengaktifasi sel B dan sel T sitotoksik dan mensensitisasi sel kanker. Pada umumnya sel kanker mengandung self antigens dan non-self antigens atau cancer-associated antigens. Keberadaan cancer-associated antigens tersebut dapat memicu sel B dan sel T-sitotoksik untuk bekerja menghancurkan sel-sel kanker. Vaksin kanker merupakan sediaan farmasi yang termasuk dalam senyawa biological response modifiers, yang bekerja untuk menstimulasi respon imun sehingga mampu mencegah terjadinya penyakit kanker. Terdapat dua jenis vaksin kanker yaitu cancer prophylactic vaccines, yang digunakan untuk
40

mencegah terjadinya kanker dan cancer therapeutic vaccines, yang digunakan untuk mengobati penyakit kanker dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap kanker (Maksum, 2009). Vaksin HPV merupakan hasil pengembangan virus-like particles (VLPs). DNA rekombinan digunakan untuk menghasilkan VLPs yang mampu menyerupai virus asli dan memunculkan antibodi untuk mengeliminasi virus. VLP merupakan substansi bersifat imunogenik yang dapat menginduksi antibodi untuk menetralisasi L1 dengan konsentrasi tinggi, serta memiliki kemampuan untuk mengaktifkan sistem imun bawaan. (Mariani et al, 2010; Stanley, 2010) VLP juga menstimulasi respon imun poliklonal (Mariani et al, 2010). HPV berikatan dengan reseptornya yang terdapat di membran basal sebelum memasuki keratosit. Vaksin HPV dapat menginduksi terbentuknya Virus Neutralising Antibodies yang mampu berikatan dengan reseptor HPV atau berikatan dengan kapsid untuk mencegah viral entry (Stanley, 2008). Infeksi HPV pada umumnya terjadi pada intraepitel. Antigen viral kemudian masuk ke saluran limfatik dan lymphnodes yang merupakan tempat inisiasi respon imun, Vaksin VLP diberikan melalui injeksi intra muskuler akan masuk ke sirkulasi darah dan saluran limfe yang kemudian akan mengaktifkan sel T helper. VLP yang berikatan dengan Antigen Presenting Cells (APC) maupun sel-sel imunokompeten lainnya akan merangsang kaskade dan sel B yang terdapat pada folikel sehingga terjadi proteksi oleh sistem imun (Stanley, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Adeodata (2010), menunjukkan bahwa serum IgG dapat bersifat melindungi terhadap infeksi HPV dan kadar IgG yang tinggi dalam darah disebabkan oleh adanya vaksin L1 HPV yang telah diberikan sebelumnya. Pada prinsipnya IgG pada cairan yang keluar dari mulut rahim bersifat melindungi terhadap infeksi HPV dan hal ini diperantarai oleh serum IgG yang biasa melakukan transudasi pada epitel mulut rahim terutama pada daerah squamo-columnar junction dan dalam konsentrasi tinggi mengikat partikel virus yang akhirnya mencegah infeksi. Kadar sistemik dari IgG secara substansial lebih tinggi dibandingkan pada cairan mulut rahim, sehingga biasanya menimbulkan kekebalan sistemik terhadap infeksi virus HPV pada lokasi lain seperti kulit dan selaput lendir permukaan epitel lainnya. Kadar antibodi menurun setelah

41

mencapai puncaknya setelah imunisasi dan kemudian menetap, tetapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan respon kekebalan tubuh yang timbul pada infeksi alami HPV dan kadar tersebut menetap pada 48 bulan setelah vaksinasi. Infeksi HPV dapat berulang setelah beberapa tahun dan risiko mendapat infeksi baru sangat bergantung ada perilaku seksual dari individu tersebut. Kadar antibodi kapsid pada infeksi alami HPV biasanya stabil pada beberapa tahun dan apabila diikuti, sebesar 50% dari wanita akan menghasilkan seropositif pada 10 tahun setelah ditemukannya infeksi virus HPV pada daerah cervico vaginal. 2.3.2.2 Jenis Vaksin HPV 1. Gardasil Gardasil merupakan salah satu vaksin HPV yang dibuat dibuat oleh Merck Sharp & Dohme. Ada 4 tipe HPV yang dilawan oleh Gardasil, yakni tipe 6, 11, 16, dan 18. Indikasi Gardasil adalah

mencegah high-grade cervical dysplasia (CIN 2/3), karsinoma serviks, high-grade vulvar dysplastic lesions (VIN 2/3), dan kutil kelamin eksternal (condyloma acuminata) yang disebabkan oleh HPV tipe 6, 11, 16 dan 18 (Anonim, 2011). Gardasil adalah vaksin quadrivalent yang melindungi tubuh dari Human Papilloma Virus (HPV). Gardasil merupakan cairan steril yang dibuat dari seperti partikel virus yang sangat murni atau highly purified virus like particles (VLPs). Cairan ini merupakan rekombinan dari protein kapsid utama (L1) dari HPV tipe 6, 11, 16, dan 18. Protein L1 dihasilkan dengan fermentasi terpisah dalam rekombinan dari Saccharomyces cerevisiae (ragi) (Anonim, 2011). Gardasil adalah preparat steril untuk pemberian secara intramuskular. Tiap dosis 0,5 ml mengandung kurang lebih 20 mcg protein L1 HPV 6, 40 mcg protein L1 HPV 11, 40 mcg protein L1 HPV 16, dan 20 mcg protein L1 HPV 18 (Anonim, 2011). Gardasil dijual dalam kemasan yang berisi tiga buah tabung masing 0,5 ml. satu tabung digunakan untuk satu kali vaksin pada periode tertentu. Pada kotak kemasan Gardasil juga disediakan syringe. Untuk vaksinasi, dibutuhkan tiga kali penyuntikan, yaitu pada saat:
42

a. Dosis penyuntikkan pertama kali b. Dua bulan setelah dosis pertama diberikan c. Enam bulan setelah dosis pertama diberikan (Akhmad, 2011). Harga vaksin Gardasil di pasaran beragam dengan rentang harga antara Rp2.000.000,00 hingga Rp3.000.000,00 untuk tiga kali suntik atau satu rangkaian vaksinasi (Anonim, 2011). 2. Cervarix Cervarix (Human Papillomavirus Bivalent Vaccine) yang digunakan untuk HPV tipe 16 dan 18 adalah vaksin rekombinan yang tidak menginfeksi. Cervarix dibuat dari partikel mirip virus yang sangat murni atau highly purified virus-like particles (VLPs) dari protein kapsid utama L1 dari HPV tipe 16 dan 18 yang dibantu oleh sistem pembantu dari AS04. Cervarix ini mengandung 3-O-desacyl-4 monophosphoryl lipid A (MPL), aluminum hidroksida, natrium klorida, dan natrium dihidrogen fosfat dehidrat (Anonim, 2009). Cervarix diindikasikan untuk pencegahan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe 16 dan 18, yaitu: a. Kanker serviks b. Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) grade 2 atau yang lebih buruk dan adenocarcinoma in situ c. Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) grade 1. (Akhmad, 2011) Vaksinasi dengan Cervarix terdiri dari tiga dosis masing-masing sebanyak 0.5 ml, dengan penyuntikkan intramuskular. Penyuntikan dilakukan pada saat penyuntikan pertama, satu bulan setelah penyuntikan pertama, dan yang terakhir enam bulan setelah penyuntikan yang pertama. Penyuntikan pada regio deltoid pada lengan atas (Akhmad, 2011). Harga vaksin Cervarix lebih murah jika dibandingkan dengan Gardasil. Cervarix di pasaran dijual dengan rentang harga antara Rp1.500.000,00 hingga Rp1.900.000,00 untuk tiga kali suntik atau satu rangkaian vaksinasi (Anonim, 2009).

43

2.3.2.3 Penyebaran Vaksin HPV di Indonesia Kanker menjadi pembunuh utama perempuan di Indonesia, terutama kanker leher rahim dan kanker payudara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, terdapat 490.000 perempuan terkena kanker leher rahim tiap tahun, dan 240.000 di antaranya meninggal dunia. Sementara itu, sebanyak 80 persen kasus terjadi di negara berkembang (National Geographic Indonesia, 2012). Di Indonesia, ada 15.000 kasus baru tiap tahun dan 8.000 diantaranya meninggal. 70 persen penderita kanker serviks datang dalam stadium lanjut sehingga tingkat kesintasan (survival rate) rendah dan biaya perawatan mahal (National Geographic Indonesia, 2012). Sekitar 70 persen kanker serviks disebabkan virus HPV tipe 16 dan tipe 18. HPV sendiri ditularkan lewat hubungan seksual. Untuk itu, perempuan perlu rutin melakukan deteksi dini dan pap smear di fasilitas pelayanan kesehatan. Sebab, kemunculan infeksi dan kanker biasanya terjadi pada rentang durasi agak panjang, yakni 3 hingga 14 tahun (National Geographic Indonesia, 2012).

44

BAB 3 PEMBAHASAN

Kanker serviks adalah pertumbuhan abnormal dari sel-sel pada leher rahim (serviks), yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) yang bersifat onkogenik (penyebab kanker). Di Indonesia, kanker serviks merupakan jenis kanker yang paling sering dijumpai pada wanita. Setiap hari diperkirakan 20 orang wanita Indonesia meninggal karena kanker serviks.Setiap tahun 200.000 orang Indonesia yang didiagnosis dengan kanker, 20% dari mereka (40.000 orang) divonis menderita kanker serviks. Penyakit ini terutama tersebar luas di masyarakat tradisional di daerah pedesaan, di mana beberapa faktor risiko berkontribusi terhadap peluang peningkatan kanker serviks. Sayangnya, banyak masyarakat khususnya perempuan yang belum mengenal penyebab kanker serviks. Padahal kanker serviks telahmenjadi pembunuh nomor satu yang mengintai perempuan. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), 630 juta perempuan terjangkit penyakit ini. Di mana Indonesia menjadi salah

satu negara dengan jumlah kasus kanker serviks tertinggi di dunia. Setiap harinya kanker ini merenggut 600 nyawa wanita di dunia. Menurut dr Ayu Muhajiroh dari yayasan Kanker Indonesia (YKI) Wonosobo, kanker saat ini merupakan salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Jumlah penderita kanker di Indonesia dari tahun-ketahun kian meningkat, pada tahun 2011 penderita kanker mencapai 1 per-1000 penduduk, sedangkan tahun 2012 meningkat menjadi 4,3 per-1000 penduduk. Dua per tiga dari penderita kanker di dunia berada di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesiamenunjukkanjumlah penderita kanker di Indonesia mencapai 6% dari populasi. Pakar penanganan kanker, dr. Dimyati, mengatakan, survei jumlah penderita kanker yang dilakukan WHO terhadap negara berkembang juga menunjukkan, bahwa penyebab kematian akibat kanker yang paling besar dialami oleh perempuan yaitu kanker serviks dan payudara. Sementara kaum perempuan sendiri mendominasi penderita kanker di Indonesia.

45

Menurut dr. Laila Nuranna, seorang Obstetrik-ginekologik, konsultan onkologi ginekologi yang merupakan salah satu pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyatakan, hal ini disebabkan mayoritas penderita datang untuk berobat ketika keadaan kesehatannya telah kritis atau ketika penyakitnya sudah stadium lanjut. Kurangnya pengetahuan tentang kanker serviks

mengakibatkan kesadaran masyarakat untuk deteksi dini pun masih rendah, sehingga cenderung terlambat memeriksakan diri. Padahal keberhasilan pengobatan kanker serviks besar jika diketahui pada stadium dini. Sampai saat ini 99.7% penyebab kanker serviks yaitu Human Papilloma Virus (HPV). Bak musuh dalam selimut, infeksi HPV tidak menimbulkan gejala, sehingga banyak orang tidak menyadari bahwa dirinya sudah terinfeksi bahkan sudah menularkannya kepada orang lain. Pada stadium awal (prekanker) tidak ada gejala yang jelas, setelah berkembang menjadi kanker timbul gejalagejala keputihan yang tidak kunjung sembuh meskipun sudah diobati, keputihan yang keruh dan berbau busuk, perdarahan setelah berhubungan seks, perdarahan di luar siklus haid dan lain-lain. Pada stadium lanjut dimana sudah terjadi penyebaran ke organ-organ sekitar mungkin terdapat keluhan nyeri daerah panggul, sulit membuang air kemih dan bahkan juga mengeluarkan darah. Dapat dilihat bahwa kesadaran masyarakat akan bahay kanker serviks masih kurang, hal ini dapat disebabkan karena kurangnya informasi tentang kanker serviks dan kurangnya sosialisasi pencegahan kanker serviks. Oleh karena itu, diperlukannya informasi yang cukup bagi masyarakat agar dapat mencegah kanker serviks dan menurunkan angkata kematian akibat kanker serviks. Pertama-tama, sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dokter dan wanita. Ini adalah titik awal untuk deteksi dini dan untuk saran lebih lanjut terkait dengan risiko gaya hidup. Sementara itu, kerjasama ini telah diperluas untuk semua Rumah Sakit Universitas di Indonesia. Di negara-negara maju jumlah penderita kanker mulut rahim tidaklah sebanyak di negara berkembang. Hal ini disebabkan tingginya kesadaran masyarakat untuk mengikuti program pendeteksian dini dan pencegahan. Biasanya penderita kanker datang berobat ketika telah ada gejala-gejala dan ini berarti kanker sudah mulai menyebar sehingga penanganannya akan lebih sulit

46

(Menczer, 2003). Pencegahan dan deteksi dini terhadap kanker mulut rahim dilakukan dengan melakukan pemeriksaan pap smear. Pap smear adalah tes kesehatan untuk memeriksa sel-sel di sekitar mulut rahim. Pemeriksaan pap smear sebaiknya dilakukan setahun sekali oleh wanita yang telah melakukan hubungan intim. Cara lain adalah melakukan vaksinasi terhadap virus HPV. Vaksinasi merupakan metode deteksi dini sebagai upaya pencegahan kanker serviks. Langkah ini dapat membantu memberikan perlindungan terhadap beberapa tipe HPV yang dapat menyebabkan masalah dan komplikasi seperti kanker serviks dan genital warts. Vaksin ini sebaiknya diberikan pada perempuan muda sedini mungkin, karena kondisi imun tubuh serta pertumbuhan dan reproduksi sel di area serviks masih sangat baik (Lethinen, Diller, 2002). Secara umum, pencegahan kanker serviks dapat dibagi menjadi tiga area yaitu primer, sekunder, dan tersier (Peto, et al, 2004). 1. Pencegahan Primer Pencegahan primer bertujuan menurunkan angka kejadian suatu penyakit dan seluruh populasi adalah targetnya. Untuk kanker serviks, pencegahan primer dapat dilakukan melalui perubahan pola diet, melaksanakan pola hidup sehat, penggunaan vaksin HPV dan reduksi faktor-faktor risiko. Cara untuk menurunkan risiko adalah dengan setia pada satu pasangan atau tidak memiliki banyak partner hubungan seksual, serta menunda aktivitas seksual sampai usia 20 tahun. Selain itu, faktor nutrisi juga dapat mengatasi masalah kanker mulut rahim. Penelitian mendapatkan hubungan yang terbalik antara konsumsi sayuran berwarna hijau tua dan kuning yang banyak mengandung betha karoten atau vitamin A, vitamin C dan vitamin E, dengan kejadian neoplasia intra epithelial, termasuk kanker serviks. Artinya semakin banyak makan sayuran berwarna hijau tua dan kuning, maka akan semakin kecil risiko terkena penyakit kanker serviks. 2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder meliputi deteksi dini atau penapisan yang

47

bertujuan menurunkan kejadian penyakit dengan menemukan penyakit sebelum menimbulkan gejala dan memulai pengobatan sedini mungkin. Pencegahan sekunder dilakukan dengan berdasarkan pada risiko pasiennya yaitu pasien dengan risiko sedang dan tinggi. Pada kanker serviks pencegahannya dapat dilakukan melalui tes Pap (pap smear), deteksi adanya virus papiloma manusia dan teknik baru yang dapat meningkatkan kemampuan tes Pap dan deteksi virus papiloma manusia. Proses dari sel normal menjadi kanker membutuhkan waktu yang cukup lama. Tes Pap dilakukan setelah usia 25 tahun atau setelah aktif berhubungan seksual sebagai usaha pencegahan. Pada pasien dengan risiko sedang, sangat dianjurkan untuk melakukan tes Pap hingga mendapatkan hasil tes Pap yang negatif sebanyak 3 kali berturut-turut dengan selisih waktu antar pemeriksaan 1 tahun. Pasien atau partner hubungan seksual dengan level aktivitas yang tidak diketahui, dianjurkan untuk melakukan tes Pap tiap tahun. Pada pasien dengan risiko tinggi yakni bagi yang memulai hubungan seksual di bawah usia 20 tahun dan wanita yang mempunyai banyak partner hubungan seksual seharusnya melakukan tes Pap setiap tahun dan setiap 6 bulan sekali terutama untuk pasien dengan risiko khusus, seperti mereka yang mempunyai riwayat penyakit seksual berulang.

Gambar 3.1 Tes Pap Smear

48

3.

Pencegahan Tersier Pencegahan tersier ditujukan kepada penderita yang sudah menunjukkan adanya penyakit atau gejala penyakit. Tujuannya adalah menurunkan kekambuhan atau menemukan kekambuhan seawal mungkin. Pencegahan tersier meliputi pelayanan di rumah sakit seperti diagnosis dan pengobatan, serta pelayanan paliatif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Tindakannya dapat berupa tindakan psikologis, fisik, spiritual. Semakin dini kanker mulut rahim terdeteksi maka semakin mudah penangannya dan semakin besar harapan hidup yang dimiliki.

Masyarakat dapat ikut berperan menekan kasus kanker serviks dengan memulai dari diri sendiri dan hal atau kebiasaan yang sederhana. Kebiasaan sederhana tersebut dapat berupa pola hidup sehat dengan mengonsumsi makanan yang bergizi seimbang atau nutrisi yang cukup, terutama sayuran yang mengandung beta karoten (vitamin A), vitamin C dan vitamin E. Selain itu, sanitasi lingkungan dan kebersihan tubuh juga harus senantiasa diperhatikan, salah satunya dengan menghindari pembersihan bagian genital dengan air yang kotor. Program KB juga dapat mendukung penekanan kasus kanker serviks dengan menghindari berhubungan intim saat usia dini.

49

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan 1. Kesadaran masyarakat akan kanker serviks dan pencegahannya sejak dini masih tergolong rendah. 2. Beberapa acara deteksi dini kanker serviks antara lain pap smear, pemeriksaan panggul, kolposkopi, liquid based cytology, sure path, cytoscreen, labornard easy prep, thinprep, automated screening technology, HPV-DNA testing, VIA, VILI, speculoscopy, servikografi, polar probe, laser induced fluorescence dan computer imaging. 3. Membiasakan masyarakat dengan pola hidup sehat, mengonsumsi makanan yang bergizi seimbang atau nutrisi yang cukup, sanitasi lingkungan, menghindari pembersihan bagian genital dengan air yang kotor untuk peningkatan kasus kanker serviks. 4. Program KB dari pemerintah juga dapat mendukung penekanan kasus kanker serviks dengan menghindari berhubungan intim saat usia dini.

4.2 Saran Masih diperlukan sosialisasi lebih lanjut serta dukungan program pemerintahterhadap pencegahan dini kanker serviks.

50

DAFTAR PUSTAKA

Adeodata, LW 2010, Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Sarjana Kedokteran Universitas Sumatera Utara Mengenai Vaksin HPV. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. pp. 16-17. Akhmad, S 2011, Infeksi Human Papillomavirus Dan Cara Pencegahannya. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. p. 2. Anonim 2011, What You Need to know About Cervical Cancer. National Cancer Institute Publications. Diakses pada 12 April 2013, tersedia dari http://www.cancer.gov/cancertopics/wyntk/cervix/cervix.pdf. Anonim 2011. GARDASIL [Quadrivalent Human Papillomavirus (Types 6, 11, 16, 18) Recombinant Vaccine] Suspension for injectionActive Immunizing Agent. Canada: Merck Canada Inc. pp: 3, 21. Anonim 2009, CERVARIX Human Papillomavirus Bivalent (Types 16 and 18) Vaccine , Recombinant Vaccines and Related Biological Products Advisory Committee (VRBPAC). p.14 Anonim 2011, CERVARIX [Human Papillomavirus Bivalent (Types 16 and 18) Vaccine, Recombinant]. Belgia: GlaxoSmithKline Biologicals. pp. 22, 27. Benson, Ralph C, Martin L. 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC. Pp. 533539. Bosch, et.al., 2001. Gangguan Sistem Reproduksi Perempuan. In: Hartanto, H., et al, eds. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC, 12941296Dalimartha, S, 2004. Deteksi Dini Kanker dan Diplasia Anti Kanker. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. Bray F, Loos AH, McCarron P, et al. 2005. Trends in cervical squamous cell carcinoma incidence in 13 European countries: changing risk and the effects of screening. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 14(3):677-686. Budiarto, Eko.2003. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Bustan MN. 2002. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta Canavan TP, Doshi NR. Cervical cancer. Am Fam Physician. 2000 Carr, Katherine Camacho, Sellor, John W. 2004. Cervikal Cancer Screening in Low Resource Setting: Using Visual Inspection With Acetic Acid. J Midwifery Womens Health 49(4):329337. Available from http://www.medscape.com/viewarticle/484034. [Accessed 20 April 2013]. Edianto Deri. 2006. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. In: Aziz M Farid, Adrijojo, Saifuddin Abdul Bari, editors. Kanker Sserviks. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2006. p. 442-455. Edianto, Deri. 2006. Kanker Serviks, Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Jakarta : 442-54 Epidemiology of Cervical Cancer. Available from: http://www.phac-aspc.gc.ca/publicat/ccsicdccuac/pdf/chap_2_e.pdf. Accessed on April 12, 2013.

51

Globocan. 2008. Cervical Cancer Incidence and Mortality Worldwide in 2008. Available from: http://globocan.iarc.fr/factsheets/cancers/cervix.asp. Accessed on April 12, 2013. Greer B E, Koh W J. Diagnosis and treatment of cervical carcinomas. American College of Obstetricians and Gynecologists 2002; 99(5): 855866. Hacker, N.F., 2005. Cervical Cancer. In: Weinberg, R. ed Practical Gynecologist Oncolog. 4th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 337-342 Hamid, TB 2011, Interactive thinking: student review, Dental Journal, vol. 62, no. 3, pp. 15-18, accessed 20 May 2011, available from http://journals.unair.ac.id/ejournal/332- 037-53.pdf Hartanti N., Andrijono, H. K. Suhelmi. 2010. cegah dan Deteksi Kanker Serviks. Jakarta: Elex Media Komputindo. Pp. 27-38. H T Ng, S K Shyu, Y K Chen, C C Yuan, K C Chao, Y Y Kan. A scoring system for predicting recurrence of cervical cancer. International Journal of Gynecological Cancer 2002; 2: 75 78. Imam Rasjidi. 2009. Epidemiologi Kanker Serviks. Indonesian Journal of Cancer Vol. III, No. 3 Juli - September 2009. Jerry. 2009. Intisari Kanker Serviks. Universitas Satya Dharm. Available http://www.library.usd.ac.id/Data%20PDF/F.%20Farmasi/Farmasi/058114085.pdf Accessed on Thursday, April 12 2013 at 7:14 AM from

Koran Jakarta. Minggu, 17 Maret 2013. Era Baru Vaksinasi HPV. Digital Ed. Jakarta Pusat. Diakses pada 12 April 2013, tersedia dari http://koranjakarta.com/index.php/detail/view01/114752. Lehtinen M, Dillner J. Preventive HPV vaccination. Sex Transm Infect. 2002 Lestari Mustika Rini. 2009. Analisa Faktor Risiko Pada Penderita Kanker Serviks. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Available from http://www.lontar.ui.ac.id/ Accessed on Thursday, April 11 2013 at 6:40 AM Mac Mahon B dan TF Pugh. Epidemiology, Principle and Methods. Boston : Little Brown, 1970. Maksum, R 2009, Vaksin Kanker. Majalah Ilmu Kefarmasian, vol. VI, no. 3, pp. 109 118. Mariani, L & Venuti, A 2010, HPV Vaccine: An Overview of Immune Response, Clinical Protection, and New Approaches for The Future. Journal of Translational Medicine 2010, vol 8, no. 105. pp. 1-8. Menczer J. The low incidence of cervical cancer in Jewish women. 2003 National Geographic Indonesia. Selasa, 3 April 2012. Pencegahan Kanker Lewat Vaksinasi HPV. Diakses pada 12 April 2013, tersedia dari http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/04/pencegahan-kanker-lewat-vaksinasi-hpv. Notodiharjo., R. 2002. Reproduksi Kontrasepsi dan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Kinicius Press. Otto, Shirley E. 2003. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta: EGC. 159-162. Peto J, Gilham C, Fletcher O, Matthews FE. The cervical cancer epidemic that screening has prevented in the UK. Lancet. 2004

52

Rahmawan, Ahmad. 2009. Perkembangan Lanjutan Metode Skrining Kanker Serviks dan Antisipasinya dengan Vaksinasi HPV di Indonesia . One-cardio. Avalaible from: http://ahmadrahmawan.blogspot.com/2009/10/perkembangan-lanjutan-metodeskrining.html. [Accessed 21 April 2013] Rasjidi, Imam. 2007a. Panduan Penatalaksanaan Kanker Ginekologis Berdasarkan Evidence Base. Jakarta: EGC Snijders PJ, Steenbergen RD, Heideman DA, Meijer CJ. HPV-mediated cervical carcinogenesis. J Pathol. 2006 Stanley, M 2008, Immunobiology of HPV and HPV Vaccines. Gynecologic Oncology, no. 109, pp. 1521. Stanley, M 2010, HPV Immune Response to Infection and Vaccination. Infectious Agents and Cancer, vol. 5, no. 19. pp. 1-6. Stoppler, MC 2013, Cervical Cancer. Diakses pada 12 April, tersedia dari http://www.emedicinehealth.com/cervical_cancer/page5_em.htm#cervical_cancer_abnorma l_cells. Sutopo, TB 2011, Cariology: a new start, Airlangga University Press, Surabaya, pp. 17-20, accessed 20 May 2011, available from http://pub.library.unair.ac.id/ebooks/33 9-0327-39 Universitas Sumatera Utara. 2012. Kanker Serviks. Available from http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33681/5/Chapter%20I.pdf Accessed on Thursday, April 11 2013 at 7:03 AM World Health Organization. World Cancer Report 2008. WHO Press, 2008. Zeller, John L. 2007. Carsinoma of The Cervix. JAMA: 298 (19): 2336. Avalaible from:http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/298/19/2336. [Accessed 23 April 2013].

53

Anda mungkin juga menyukai