Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK SKENARIO 1

ADUH TELINGAKU BAU!

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 15: Annisa Nur Hafika Chantika Bunga Nugraha Erlimia Eka Noor Yuliana G0011028 G0011058 G0011084 Rizky Hening Saputri Angga Suryawinata Hanif Hary Setyawan Muhammad Hanif Nur R Annisa Susilowati G0011182 G0011024 G0011102 G0011144 G0011030

Ida Ayu Sinthia Pradnya Swari G0011112 Melani Ratih Mahanani Putri Cahyaningsih G0011136 G0011160

Tutor: dr. Hadi Sudrajad, Sp. THT-KL, Msi Med.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2013

BAB I PENDAHULUAN

A. Pendahuluan Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba auditiva, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media ini dapat bersifat akut maupun kronis. Otitis media akut biasanya diawali dengan infeksi saluran napas atas, seperti rinitis yang akan menyebar lewat tuba auditiva sehingga menyebabkan gangguan pada telinga tengah. Rinitis sendiri banyak penyebabnya, bisa karena virus, bakteri, atau alergi. Jika otitis media akut ini tidak segera diobati maka bisa berlanjut menjadi otitis media supuratif kronis (OMSK) yang ditandai dengan keluarnya sekret mukopurulen lewat membran timpani yang mengalami perforasi. Untuk lebih memahami mengenai permasalahan kesehatan tersebut, berikut adalah skenario yang dapat membantu proses pembelajaran kali ini: Seorang buruh bangunan laki-laki usia 25 tahun, datang ke praktek dokter umum dengan keluhan utama telinga kanan mengeluarkan cairan kuning, kental dan berbau busuk. Pasien juga mengeluh telinga berdenging sehingga pendengaran terganggu, disertai kepala pusing. Pasien sejak remaja sering pilek, disertai hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama jika terpapar debu. Satu tahun yang lalu, telinga kanan keluar cairan encer, jernih dan ada sedikit darah. Riwayat kambuh-kambuhan terutama jika batuk dan pilek. Pada pemeriksaan otoskopi telinga kanan didapatkan: discharge mukopurulen dan granuloma. Rinoskopi anterior terdapat: discharge seromukous, konka hipertrofi, livide. Pemeriksaan pharing didapatkan: mukosa hiperemi. Selanjutnya, dokter merencanakan pemeriksaan penunjang.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah anatomi dan fisiologi dari telinga? 2. Mengapa timbul keluhan seperti pada skenario? 3. Apa saja etiologi dan bagaimana patofisiologi dari keluhan pada skenario? 4. Bagaimanakah hubungan antara pekerjaan, usia dan jenis kelamin dengan keluhan yang dialami oleh pasien? 5. Bagaimana hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan keluhan sekarang?

6. Mengapa ketika batuk dan pilek keluhan bisa kambuh? 7. Mengapaa jika terpapar debu pasien pilek dan hidung tersumbat? 8. Bagaimanakah interpretasi hasil pemeriksaan otoskopi, rinoskopi anterior dan pemeriksaan pharing? Bagaimanakah gambaran normal pada ketiga pemeriksaan tersebut? 9. Apa saja pemeriksaan penunjang lainnya yang digunakan untuk menegakkan diagnosis? 10. Apakah Difrensial Diagnosis (DD) yang mungkin terjadi pada kasus? 11. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis penyakit yang diderita pasien?
C. Tujuan

1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi telinga 2. Menjelaskan etiologi, epidemiologi, patofisiologi keluhan pada skenario 3. Menjelaskan hubungan antara pekerjaan, usia dan jenis kelamin dengan keluhan 4. Menjelaskan hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan keluhan sekarang 5. Menjelaskan interpretasi dari hasil pemeriksaan otoskopi, rinoskopi anterior dan pemeriksaan pharing 6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan skenario 7. Menjelaskan dasar diagnosis kasus, baik diagnosis banding maupun diagnosisnya 8. Menjelaskan penatalaksaanaan yang tepat sesuai skenario

D. Manfaat 1. Mahasiswa dapat memahami anatomi dan fisiologi dari telinga. 2. Mahasiswa dapat memahami definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, dan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya keluhan pada skenario 3. Mahasiswa dapat memahami cara mendiagnosis, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan yang tepat untuk kasus pada skenario.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


I. Anatomi Sistema Auditiva et Equilibrium

Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran dan keseimbanga Anatominya juga sangat rumit . Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar. Anatomi Telinga Luar Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis auditorius eksternus, dipisahkan dari telinga tengan oleh struktur seperti cakram yang dinamakan membrana timpani (gendang telinga). Telinga terletak pada kedua sisi kepala kurang lebih setinggi mata. Aurikulus melekat ke sisi kepala oleh kulit dan tersusun terutama oleh kartilago, kecuali lemak dan jaringan bawah kulit pada lobus telinga. Aurikulus membantu pengumpulan gelombang suara dan perjalanannya sepanjang kanalis auditorius eksternus. Tepat di depan meatus auditorius eksternus adalah sendi temporal mandibular. Kaput mandibula dapat dirasakan dengan meletakkan ujung jari di meatus auditorius eksternus ketika membuka dan menutup mulut. Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana kulit terlekat. Dua pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus,

glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen. Mekanisme pembersihan diri telinga mendorong sel kulit tua dan serumen ke bagian luar tetinga. Serumen nampaknya mempunyai sifat antibakteri dan memberikan perlindungan bagi kulit. Anatomi Telinga Tengah Telinga tengah tersusun atas membran timpani (gendang telinga) di sebelah lateral dan kapsul otik di sebelah medial celah telinga tengah terletak di antara kedua Membrana timpani terletak pada akhiran kanalis aurius eksternus dan menandai batas lateral telinga, Membran ini sekitar 1 cm dan selaput tipis normalnya berwarna kelabu mutiara dan translulen.Telinga tengah merupakan rongga berisi udara merupakan rumah bagi osikuli (tulang telinga tengah) dihubungkan dengan tuba eustachii ke nasofaring berhubungan dengan beberapa sel berisi udara di bagian mastoid tulang temporal. Telinga tengah mengandung tulang terkecil (osikuli) yaitu malleus, inkus stapes. Osikuli dipertahankan pada tempatnya oleh sendian, otot, dan ligamen, yang membantu hantaran suara. Ada dua jendela kecil (jendela oval dan dinding medial telinga tengah, yang memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam. Bagian dataran kaki menjejak pada jendela oval, di mana suara dihantar telinga tengah. Jendela bulat memberikan jalan ke getaran suara. Jendela bulat ditutupi oleh membrana sangat tipis, dan dataran kaki stapes ditahan oleh yang agak tipis, atau struktur berbentuk cincin. anulus jendela bulat maupun jendela oval mudah mengalami robekan. Bila ini terjadi, cairan dari dalam dapat mengalami kebocoran ke telinga tengah kondisi ini dinamakan fistula perilimfe. Tuba eustachii yang lebarnya sekitar 1mm panjangnya sekitar 35 mm, menghubngkan telingah ke nasofaring. Normalnya, tuba eustachii tertutup, namun dapat terbuka akibat kontraksi otot palatum ketika melakukan manuver Valsalva atau menguap atau menelan. Tuba berfungsi sebagai drainase untuk sekresi dan menyeimbangkan tekanan dalam telinga tengah dengan tekanan atmosfer. Anatomi Telinga Dalam Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal. Organ untuk pendengaran (koklea) dan keseimbangan (kanalis semisirkularis), begitu juga kranial VII (nervus fasialis) dan VIII (nervus koklea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari komplek anatomi. Koklea dan kanalis semisirkularis bersama menyusun tulang labirint.

Ketiga kanalis semisi posterior, superior dan lateral erletak membentuk sudut 90 derajat satu sama lain dan mengandung organ yang berhubungan dengan keseimbangan. Organ ahir reseptor ini distimulasi oleh perubahan kecepatan dan arah gerakan seseorang. Koklea berbentuk seperti rumah siput dengan panjang sekitar 3,5 cm dengan dua setengah lingkaran spiral dan mengandung organ akhir untuk pendengaran, dinamakan organ Corti. Di dalam lulang labirin, namun tidak sem-purna mengisinya,Labirin membranosa terendam dalam cairan yang dinamakan perilimfe, yang berhubungan langsung dengan cairan serebrospinal dalam otak melalui aquaduktus koklearis. Labirin membranosa tersusun atas utrikulus, akulus, dan kanalis semisirkularis, duktus koklearis, dan organan Corti. Labirin membranosa memegang cairan yang dinamakan endolimfe. Terdapat keseimbangan yang sangat tepat antara perilimfe dan endolimfe dalam telinga dalam; banyak kelainan telinga dalam terjadi bila keseimbangan ini terganggu. Percepatan angular menyebabkan gerakan dalam cairan telinga dalam di dalam kanalis dan merang-sang sel-sel rambut labirin membranosa. Akibatnya terjadi aktivitas elektris yang berjalan sepanjang cabang vesti-bular nervus kranialis VIII ke otak. Perubahan posisi kepala dan percepatan linear merangsang selsel rambut utrikulus. Ini juga mengakibatkan aktivitas elektris yang akan dihantarkan ke otak oleh nervus kranialis VIII. Di dalam kanalis auditorius internus, nervus koklearis (akus-dk), yang muncul dari koklea, bergabung dengan nervus vestibularis, yang muncul dari kanalis semisirkularis, utrikulus, dan sakulus, menjadi nervus koklearis (nervus kranialis VIII). Yang bergabung dengan nervus ini di dalam kanalis auditorius internus adalah nervus fasialis (nervus kranialis VII). Kanalis auditorius internus mem-bawa nervus tersebut dan asupan darah ke batang otak. II. Fisiologi Sistema Auditiva et Equilibrium Telinga terdiri dari tiga bagian : telinga luar, tengah, dan dalam. Bagian luar dan tengah telinga menyalurkan gelombang suara dari udara ke teelinga dalam yang berisi cairan, untuk memperkuat energi suara dalam proses tersebut. Telinga dalam berisi dua sistem sensorik yang berbeda : koklea, yang mengandung reseptor-reseptor untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls-impuls saraf, sehingga kita dapat mendengar dan apparatus vestibularis, yang penting untuk sensasi keseimbangan. (Sherwood, 2001) a. Fisiologi Pendengaran Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan tinggi karena

kompresi (pemampatan) molekul-molekul udara berselang-seling dengan daerah-daerah bertekanan rendah karena penjarangan (rarefaction) molekul tersebut. Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalm bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diaplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap longjong sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis. (Soetirto et al, 2007) Pada proses transmisi gelombang suara, gerakan cairan di dalam perilimfe ditimbulkan oleh getaran jendela oval mengikuti dua jalur (1) melalui skala vestibuli, mengitari helicotrema, dan melalui skala timpani menyebabkan jendela bundar bergetar, dan (2) jalan pintas dari skala vestibuli melalui membrana basilaris ke skala timpani. Jalur pertama hanya menyebabkan penghamburan energi suara, tetapi jalur kedua mencetuskan pengaktifan reseptor untuk suara dengan membengkokkan rambut di sel-sel rambut sewaktu organ corti pada bagian atas membrana basilaris yang bergetar, mengalami perubahan posisi terhadap membrana tektorial di atasnya. Berbagai bagian dari membrana basilaris bergetar secara maksimal pada frekuensi yang berbeda-beda. Ujung membrana basilaris yang pendek dan kaku, yang terletak paling dekat dengan jendela oval, bergetar maksimum pada nada berfrekuensi tinggi. Membrana basilaris yang lebar dan lentur dekat helicotrema bergetar maksimum pada nada-nada berfrekuensi rendah. (Sherwood, 2001) b. Fisiologi Sistem Keseimbangan Selain perannya dalam pendengaran yang bergantung pada koklea, telinga dalam memiliki komponen khusus lain, yakni aparatus vestibularis, yang memberikan informasi yang penting untuk sensasi keseimbangan dan untuk koordinasi gerakan-gerakan kepala

dengan gerakan-gerakan mata dan postur tubuh. Aparatus vestibularis terdiri dari dua set struktur yang terletak di dalam tulang temporalis di dekat koklea-kanalis semisirkularis dan organ otolit, yaitu utrikulus dan sakulus. Akselerasi (percepatan) atau deselerasi (perlambatan) selama rotasi kepala ke segala arah menyebabkan pergerakan endolimfe, paling tidak, di salah satu kanalis semisirkularis karena susunan tiga dimensi kanalis tersebut. Ketika kepala mulai bergerak, saluran tulang dan bubungan sel rambut yang terbenam dalam kupula bergerak mengikuti gerakan kepala. Namun, cairan di dalam kanalis, yang tidak melekat ke tengkorak, mula-mula tidak ikut bergerak sesuai arah rotasi, tetapi tertinggal di belakang karena adanya inersia (kelembaman). Ketika endolimfe tertinggal saat kepala mulai berputar, endolimfe yang terletak sebidang dengan gerakan kepala pada dasarnya bergeser dengan arah yang berlawanan dengan arah gerakan kepala. Gerakan cairan ini menyebabkan kupula condong ke arah yang yang berlwanan dengan arah gerakan kepala, membengkokkan rambut-rambut sensorik yang ada di dalamnya. Apabila gerakan kepala berlanjut ke dalam arah dan kecepatan yang sama, endolimfe akan menyusul dan bergerak bersama dengan kepal, sehingga rambut-rambut kembali ke posisi tegak. Ketika kepala melambat dan berhenti, keadaan yang sebaliknya terjadi. Endolimfe secara singkat melanjutkan diri bergerak searah dengan rotasi kepala sementara kepala melambat untuk berhenti. Akibatnya, kupula dan rambut-rambutnya secara sementara membengkok sesuai dengan arah rotasi semula, yaitu berlawanan dengan arah mereka membengkok ketika akselerasi. Pada saat endolimfe secara bertahap berhenti, rambutrambut kembali tegak. Dengan demikian, kanalis semisirkularis mendeteksi perubahan kecepatan gerakan rotasi kepala. Kanalis tidak berespons jika kepala tidak bergerak atau ketika bergerak secara sirkuler dengan kecepatan tetap. (Sherwood, 2001)

III.

Patofisiologi Keluhan a. Tinitus Pendekatan untuk mempelajari etiologi tinnitus dapat dilakukan dengan membedakan tinnitus menjadi 2 kelompok besar yaitu tinnitus obyektif dan tinnitus subyektif. Tinnitus obyektif adalah jika suara yang didengar oleh penderita dapat didengar pula oleh pemeriksa, sedangkan pada tinnitus subyektif suara hanya terdengar oleh penderita saja (Lockwood et.al., 2002).

Sebagian besar tinnitus sebyektif disebabkan oleh hilangnya kemampuan pendengaran (hearing loss), baik sensorineural ataupun konduktif. Gangguan pendengaran yang paling sering menyebabkan tinnitus subyektif adalah NIHL (noise induced hearing loss) karena adanya sumber suara eksternal yang terlalu kuat

impedansinya

(Crummer & Hassan, 2004).

Sumber suara yang terlalu keras dapat menyebabkan tinnitus subyektif dikarenakan oleh impedansi yang terlalu kuat. Suara dengan impedansi diatas 85 dB akan membuat stereosilia pada organon corti terdefleksi secara lebih kuat atau sudutnya menjadi lebih tajam, hal ini akan direspon oleh pusat pendengaran dengan suara berdenging, jika sumber suara tersebut berhenti maka stereosilia akan mengalami pemulihan ke posisi semula dalam beberapa menit atau beberapa jam. Namun jika impedansi terlalu tinggi atau suara yang didengar berulang-ulang (continous exposure) maka akan mengakibatkan kerusakan sel rambut dan stereosilia, yang kemudian akan mengakibatkan ketulian (hearing loss) ataupun tinnitus kronis dikarenakan oleh adanya hiperpolaritas dan hiperaktivitas sel rambut yang berakibat adanya impuls terusmenerus kepa ganglion saraf pendengaran (Folmer et. al., 2004). Tinnitus obyektif banyak disebabkan oleh adanya abonormalitas vascular yang mengenai fistula arteriovenosa congenital, shunt arteriovenosa, glomus jugularis, aliran darah yang terlalu cepat pada arteri carotis (high-riding carotid) stapedial artery persisten, kompresi saraf-saraf pendengaran oleh arteri, ataupun dikarenakan oleh adanya kelainan mekanis seperti adanya palatal myoclonus, gangguan temporo mandibular joint, kekauan muscullus stapedius pada telinga tengah (Folmer et. al., 2004) b. .Vertigo Patomekanisme BPPV dapat dibagi menjadi dua, antara lain : Teori Cupulolithiasis Pada tahun 1962 Horald Schuknecht mengemukakan teori ini untuk menerangkan BPPV. Dia menemukan partikel-partikel basofilik yang berisi kalsiurn karbonat dari fragmen otokonia (otolith) yang terlepas dari macula utriculus yang sudah berdegenerasi, menernpel pada permukaan kupula. Dia menerangkan bahwa kanalis semisirkularis posterior menjadi sensitif akan gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Hal ini analog dengan keadaan benda berat diletakkan di puncak tiang, bobot ekstra ini menyebabkan tiang sulit untuk tetap stabil, malah cenderung miring. Pada saat miring partikel tadi mencegah tiang ke posisi netral.

Ini digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). KSS posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel otolith tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya pusing dan nistagmus. Teori Canalithiasis Tahun1980 Epley mengemukakan teori canalithiasis, partikel otolith bergerak bebas di dalam KSS. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel ini berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika kepala direbahkan ke belakang partikel ini berotasi ke atas sarnpai 900 di sepanjang lengkung KSS. Hal ini menyebabkan cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok (deflected), hal ini menimbulkan nistagmus dan pusing. Pembalikan rotasi waktu kepala ditegakkan kernbali, terjadi pembalikan pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus yang bergerak ke arah berlawanan. Model gerakan partikel begini seolah-olah seperti kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil terangkat sebentar lalu jatuh kembali karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut memicu organ saraf dan menimbulkan pusing. Dibanding dengan teori cupulolithiasis teori ini lebih dapat menerangkan keterlambatan "delay" (latency) nistagmus transient, karena partikel butuh waktu untuk mulai bergerak. Ketika mengulangi manuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal inilah yag dapat menerangkan konsep kelelahan "fatigability" dari gejala pusing.

IV.

Interpretasi Hasil Pemeriksaan Fisik Otoskopi telinga kanan didapatkan: discharge mukopurulen kemungkinan penyebabnya otitis eksterna atau otitis media dan granuloma bisa berasal dari cholesteatoma yang merupakan komplikasi dari OMSK (Otitis Media Supuratif Kronis). Normalnya terdapat beberapa rambut dan serumen pada liang telinga. Sedangkan pada membran timpani normalnya berwarna putih mutiara dan reflek cahaya normal berbentuk kerucut warna seperti air raksa. Bayangan kaki maleus jelas kelihatan bila terdapat retraksi membrane timpani ke arah dalam. Perforasi umumnya berbentuk bulat.

Bila disebabkan oleh trauma biasanyaberbentuk robekan dan di sekitarnya terdapat bercak darah. Lokasi perforasi dapat di atik (di daerah pars flaksida), di sentral (di pars tensa dan di sekitar perforasi masih terdapat membran) dan di marginal (perforasi terdapat di pars tensa dengan salah satu sisinya langsung berhubungan dengan sulkus timpanikus) Gerakan membran timpani normal dapat dilihat dengan memakai balon otoskop. Pada sumbatan tuba Eustachius tidak terdapat gerakan membran timpani ini. (Sayuti, 2012) Rinoskopi anterior terdapat: discharge seromukous, konka hipertrofi, livide, kemungkinan penyebabnya dalah rhinitis alergi. (Irawati, 2002) Saat pemeriksaan diperhatikan keadaan : Rongga hidung, luasnya lapang/sempit( dikatakan lapang kalau dapat dilihat pergerakan palatum mole bila pasien disuruh menelan), adanya sekret, lokasi serta asal sekret tersebut. Konka inferior, konka media dan konka superior warnanya merah muda (normal), pucat atau hiperemis. Besarnya, eutrofi, atrofi, edema atau hipertrofi. Septum nasi cukup lurus, deviasi, krista dan spina. Jika terdapat sekret kental yang keluar daridaerah antara konka media dan konka inferior kemungkinan sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior, sedangkan sekret yang terdapat di meatus superior berarti sekret berasal dari sinus etmoid posterior atau sinus sphenoid. Massa dalam rongga hidung, seperti polip atau tumor perlu diperhatikan keberadaannya. Asal perdarahan di rongga hidung, krusta yang bau dan lain-lain perlu diperhatikan. Pemeriksaan pharing didapatkan: mukosa hiperemi, hal ini menendakan terjadinya infeksi pada pharing. (Nasution, 2008) Dua per tiga bagian depan lidah ditekan dengan spatula lidah kemudian diperhatikan : 1. Dinding belakang faring : warnanya, licin atau bergranula, sekret ada atau tidak dan gerakan arkus faring. 2. Tonsil : besar, warna, muara kripti, apakah ada detritus, adakah perlengketan dengan pilar, ditentukan dengan lidi kapas (Sayuti, 2012)

V.

Diagnosis Banding

1) Rhinitis Alergi ETIOLOGI Penyebab rinitis alergi berbeda-beda bergantung pada apakah gejalanya musiman, perenial, ataupun sporadik/episodik. Beberapa pasien sensitif pada alergen multipel, dan mungkin mendapat rinitis alergi perenial dengan eksaserbasi musiman. Ketika alergi makanan dapat menyebabkan rinitis, khususnya pada anak-anak, hal tersebut ternyata jarang menyebabkan rinitis alergi karena tidak adanya gejala kulit dan gastrointestinal. Untuk rinitis alergi musiman, pencetusnya biasanya serbuksari (pollen) dan spora jamur. Sedangkan untuk rinitis alergi perenial pencetusnya bulu binatang, kecoa, tikus, tungau, kasur kapuk, selimut, karpet, sofa, tumpukan baju dan buku-buku. Alergen inhalan selalu menjadi penyebab. Serbuksari dari pohon dan rumput, spora jamur, debu rumah, debris dari serangga atau tungau rumah adalah penyebab yang sering. Alergi makanan jarang menjadi penyebab yang penting. Predisposisi genetik memainkan bagian penting. Kemungkinan berkembangnya alergi pada anak-anak adalah masing-masing 20% dan 47%, jika satu atau kedua orang tua menderita alergi.

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :

Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur

Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang

Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah

Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan

PATOFISIOLOGI Terdiri dari 2 tahap: 1. Tahap sensitisasi 2. Reaksi alergi, terdiri dari 2 fase : Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC), sejak kontak alergen sampai 1 jam setelahnya Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL), yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan berlangsung 24-48 jam

KLASIFIKASI Saat ini, menurut WHO-ARIA, dibagi menjadi Berdasarkan terdapatnya gejala : a. Rinitis alergi intermiten: Gejala terdapat < 4 hari/minggu atau < 4 minggu b. Rinitis alergi persisten: Gejala terdapat > 4 hari/minggu dan > 4 minggu Berdasarkan tingkat ringan beratnya penyakit: a. Ringan, berarti tidak terdapat salah satu dari : o Gangguan tidur o Gangguan aktifitas sehari-hari/malas/olahraga o Gangguan pekerjaan atau sekolah o Gejala dirasakan mengganggu

b. Sedang-berat, berarti didapatkan satu atau lebih hal-hal di atas GEJALA KLINIK Adapun gejala Rhinitis Alergi adalah : - Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari (umumnya bersin lebih dari 6 kali). - Hidung tersumbat. - Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus. - Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok. - Badan menjadi lemah dan tak bersemangat Beberapa gejala lain yang tidak khas adalah : - allergic shiner bayangan gelap di bawah mata. - allergic salute Gerakan mengosok-gosokan hidung pada anak- anak - allergi crease, timbulnya g aris pada bagian depan hidung. DIAGNOSIS Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada bidang penelitian. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan :

Anamnesis Pemeriksaan rinoskopi anterior

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak.

Hitung eosinofil dalam darah tepi

Dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria.

Uji kulit

Untuk mencari alergen penyebab secara invivo. Jenisnya skin end-point tetration/SET (uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri), prick test (uji cukit), scratch test (uji gores), challenge test (diet eliminasi dan provokasi) khusus untuk alergi makanan (ingestan alergen) dan provocative neutralization

test atau intracutaneus provocative food test (IPFT) untuk alergi makanan (ingestan alergen) PENATALAKSANAAN Adapun beberapa cara penatalaksaan dari Rhinitis Alergi itu seperti : 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab. Hindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Keduanya merupakan terapi paling ideal. Eliminasi untuk alergen ingestan (alergi makanan) 2. Simtomatis. Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan

simpatomimetik, kortikosteroid dan sodium kromoglikat. jika gejala utama sumbatan hidung akibat repon fase lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain. Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi atau dengan kombinasi dekongestan oral. Obat Kortikosteroid dipil 3. Operatif. Konkotomi merupakan tindakan memotong konka nasi inferior yang mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. 4. Imunoterapi. Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat dikompromi. Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi juga meningkatkan titer antibodi IgG spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi & netralisasi. Desensitisasi dan hiposensitisasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan. KOMPLIKASI 1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hidung. 2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

3. Sinusitis paranasal. 4. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama khususnya pada anak-anak. 5. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar mendapat asma bronkial. PROGNOSIS Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus (khususnya pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang menjadi kurang sensitif pada alergen.

2) Otitis Media Akut PENGERTIAN Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tandatanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007). ETIOLOGI 1. Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis

mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007). 2. Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme

farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). FAKTOR RESIKO Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007). Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anakanak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus (Kerschner, 2007).

PATOFISIOLOGI Patofisiologi OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret ditelinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi (Kerschner, 2007). Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007). STADIUM OTITIS MEDIA AKUT 1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tubaEustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain

retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007). 2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007). 3. Stadium Supurasi Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot. Keadaan stadium supurasi dapat

ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan

menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007). 4. Stadium Perforasi Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak. Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007). 5. Stadium Resolusi Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul. Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007). GEJALA KLINIS Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat

gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar, 2007). PENATALAKSANAAN 1. Pengobatan Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan

memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005). 2. Pembedahan Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003). a) Miringotomi Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi thirdline pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007). b) Timpanosintesis

Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan. c) Adenoidektomi KOMPLIKASI Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak, tromboflebitis). PROGNOSIS Prognosis pada OMA baik bila diberikan terapi yang adekuat (Antibiotic yang tepat dan dosis yang cukup).

3) Otitis Media Supuratif Kronis PENGERTIAN Otitis media supuratif kronis adalah infeksi kronis dii telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. (Djaafar et.al, 2007). Pengertian lain OMSK adalah radang kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. OMSK juga merupakan peradangan akibat infeksi mukoperiosteum kavitas timpani yang ditandai oleh perforasi membran timpani dengan sekret yang keluar terus menerus atau hilang timbul selama lebih dari 3 bulan dan dapat menyebabkan perubahan patologik yang permanen. Ada juga yang

memberi batas waktu 6 minggu untuk terjadinya awal proses kronisitas pada OMSK. Sekret yang keluar mungkin serosa, mukus atau purulen. (Utami, 2010). ETIOLOGI Sebagian besar OMSK merupakan kelanjutan dari Otitis Media Akut (OMA) dan sebagian kecil disebabkan oleh perforasi membran timpani akibat trauma telinga. Kuman penyebab biasanya kuman gram positif aerob, pada infeksi yang sudah berlangsung lama sering juga terdapat kuman gram negatif dan kuman anaerob. Kuman penyebab OMSK antara lain kuman Staphylococcus aureus (26%), Pseudomonas aeruginosa (19,3%), Streptococcus epidermidimis (10,3%), gram positif lain (18,1%) dan kuman gram negatif lain (7,8%). Biasanya pasien mendapat infeksi telinga ini setelah menderita saluran napas atas misalnya influenza atau sakit tenggorokan. Melalui saluran yang menghubungkan antara hidup dan telinga (tuba Auditorius), infeksi di saluran napas atas yang tidak diobati dengan baik dapat menjalar sampai mengenai telinga. FAKTOR PREDISPOSISI Faktor predisposisi kronisitas otitis media diduga karena : 1. Disfungsi tuba auditoria kronik, infeksi fokal seperti sinusitis kronik, adenoiditis kronik dan tonsilitis kronik yang menyebabkan infeksi kronik atau berulang saluran napas atas dan selanjutnya mengakibatkan udem serta obstruksi tuba auditoria. Beberapa kelainan seperti hipertro adenoid, celah palatum mengganggu fungsi tuba auditoria. Gangguan kronik fungsi tuba auditoria menyebabkan proses infeksi di telinga tengah menjadi kronik, 2. Perforasi membran timpani yang menetap menyebabkan mukosa telinga tengah selalu berhubungan dengan udara luar. Bakteri yang berasal dari kanalis auditorius eksterna atau dari luar lebih leluasa masuk ke dalam telinga tengah menyebabkan infeksi kronik mukosa telinga tengah. 3. Pseudomonas aeruginusa dan Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang tersering diisolasi pada OMSKB, sebagian besar telah resisten terhadap antibiotika yang lazim digunakan. Ketidaktepatan atau terapi yang tidak adekuat menyebabkan kronisitas infeksi. 4. Faktor konstitusi, alergi merupakan salah satu faktor konstitusi yang dapat menyebabkan kronisitas. PATOFISIOLOGI

Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi kurang dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif subakut. Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau higiene buruk. (Djaafar, et.al, 2007) OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa = tipe beniga) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang = tipe maligna). Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan OMSK tenang. OMSK aktif ialah OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif, sedangkan OMSK tenang ialah yang keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau kering. (Djaafar, et.al, 2007) Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang.Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak terdapat kolesteatoma. (Djaafar, et.al, 2007) Yang disebut OMSK tipe maligna adalah OMSK yang disertai dengan kolesteatoma. OMSK ini dikenal juga dengan OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe tulang. Perforasi pada OMSK tipe bahaya letaknya marginal atau di atik, kadang kadang terdapat juga kolesteatoma pada OMSK dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe bahaya. (Djaafar, et.al, 2007) MANIFESTASI KLINIS Pasien mengeluh otore, vertigo, tinitus, rasa penuh di telinga, atau gangguan pendengaran. Mengingat bahaya komplikasi OMSK maligna harus dideteksi sejak dini. Diagnosis pasti ditegakkan pada penemuan di kamar operasi. Beberapa tanda klinis sebagai pedoman adalah perforasi pada marginal atau atik, abses atau fistel retroaurikuler, polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari telinga tengah, kolesteatom pada telinga tengah, sekret berbentuk nanah atau berbau khas. (Mansjoer, et.al, 2007) PENEGAKAN DIAGNOSIS Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan THT terutama pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan penala merupakan pemeriksaan sederhana untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran dapat dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri tutur, dan pemeriksaan

BERA (brainstem evoked response audiometry) bagi pasien/anak yang tidak kooperatif dengan pemeriksaan audiometri nada murni. Pemeriksaan penunjang lain berupa foto rontgen mastoid serta kultur dan uji resistensi kuman dari sekret telinga. (Djaafar, et.al, 2007) PENATALAKSANAAN Terapinya sering lama dan berulang ulang karena : 1. Adanya perforasi membran timpani yang permanen 2. Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, dan sinus paranasal 3. Telah terbentuk jaringan patologik yang ireversible dalam rongga mastoid 4. Gizi dan kebersihan yang kurang (Mansjoer, et.al, 2007) Prinsip terapi OMSK benigna adalah konservatif atau medikamentosa. Bila sekret keluar terus, diberikan obat cuci telinga, yaitu larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang atau bila sudah tenang, dilanjutkan dengan obat tetes telinga yang mengandung antiniotik kortikosteroid, tidak lebih dari 1- 2 minggu karena obat bersifat ototostik. Antibiotik oral dari golongan ampisilin atau eritromisisn diberikan sebelum hasil tes resistensi diterima. Pasien dianjurkan tidak berenang dan menghindari masuknya air ke dalam telinga. (Mansjoer, et.al, 2007) Bila sekret telah kering namun perforasi tetap ada setelah diobservasi selama 2 bualan, maka harus dirujuk untuk miringoplasti atau timpanoplasti. Sumber infeksi harus diobati lebih dulu, kalau perlu dengan pembedahan. (Mansjoer, et.al, 2007) Prinsip terapi OMSK maligna adalah pembedahan, yaitu mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi medikamentosa hanya bersifat sebelum pembedahan. Operasi direncanakan secepatnya untuk memperbesar kemungkinan keberhasilan dan memperkecil risiko komplikasi. Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikular, maka dilakukan insisi abses tersendiri sebelum mastoidektomi. (Mansjoer, et.al, 2007) KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS Paralisis nervus fasialis, fistula labirin, labirintis, labirintis supuratif, petrositis, tromboflebitis sinus lateral, abses ekstradual, abses subdural, meningitis, abses otak, dan hidrosefalus otitis. (Mansjoer, et.al, 2007) o OMSK tipe benigna : OMSK tipe benigna tidak menyerang tulang sehingga jarang menimbulkan komplikasi, tetapi jika tidak mencegah invasi organisme baru dari nasofaring dapat menjadi superimpose otitis media supuratif akut eksaserbsi akut dapat menimbulkan komplikasi dengan terjadinya tromboplebitis vaskuler.

Prognosis dengan pengobatan local, otorea dapat mongering. Tetapi sisa perforasi sentral yang berkepanjangan memudahkan infeski dari nasofaring atau bakteri dari meatus eksterna khususnya terbawa oleh air, sehingga penutupan membrane timpani disarankan. o OMSK tipe maligna : Komplikasi dimana terbentuknya kolesteatom berupa : - erosi canalis semisirkularis - erosi canalis tulang - erosi tegmen timpani dan abses ekstradural - erosi pada permukaan lateral mastoid dengan timbulnya abses subperiosteal - erosi pada sinus sigmoid Prognosis kolesteatom yang tidak diobati akan berkembang menjadi meningitis, abes otak, prasis fasialis atau labirintis supuratif yang semuanya fatal. Sehingga OMSK type maligna harus diobati secara aktif sampai proses erosi tulang berhenti.

4) Otitis Media Non Supuratif Otitis media non supuratif nama lain adalah otitis media musinosa, otitis media efusi, otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis media mucoid (glue ear). Otitis media efusi (OME) adalah keadaan terdapatnya sekret yang nonpurulen di telinga tengah, sedangkan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi disebut juga otitis media dengan efusi. Apabila efusi tersebut encer disebut otitis media serosa dan apabila efusi tersebut kental seperti lem disebut otitis media mukoid (glue ear). OME adalah salah satu penyakit yang paling sering terjadi pada anak. Pada populasi anak, OME dapat timbul sebagai suatu kelainan short-term menyertai suatu infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), ataupun sebagai proses kronis yang disertai gangguan dengar berat, keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa, gangguan

keseimbangan, hingga perubahan struktur membrana timpani dan tulang pendengaran. ETIOLOGI 1. 2. 3. Kegagalan fungsi tuba Eustachi. Alergi Otitis media yang belum sembuh sempurna Terapi antibiotik yang tidak adekuat pada OMSA dapat menonaktifkan infeksi

tetapi tidak dapat menyembuhkan secara sempurna. Akan menyisakan infeksi dengan grade yang rendah Proses ini dapat merangsang mukosa untuk menghasilkan cairan dalam jumlah banyak. Jumlah sel goblet dan kelenjar mukus juga bertambah. 4. Infeksi virus Berbagai virus adeno dan rino pada saluran pernapasan atas dapat menginvasi telinga tengah dan merangsang peningkatan produksi sekret. PATOFISIOLOGI OME dapat terjadi sepanjang stadium resolusi dari OMA setelah melewati stadium hiperemis. Pada anak-anak yang menderita OMA, sebanyak 45% akan menjadi efusi yang persisten setelah 1 bulan, tetapi jumlah ini berkurang menjadi 10% setelah 3 bulan. Dalam kondisi normal, mukosa telinga bagian dalam secara konstan mengeluarkan sekret, yang akan dipindahkan oleh mukosiliari ke dalam nasopharynx melalui tuba Eustachi. Sebagai konsekuensi, faktor yang mempengaruhi produksi sekret yang berlebihan, klirens sekret yang optimal, atau kedua-duanya dapat mengakibatkan pembentukan suatu cairan di telinga tengah. Infeksi (peradangan) yang disebabkan bakteri dan virus dapat mendorong peningkatan produksi dan kekentalan sekret di dalam mukosa telinga tengah. Infeksi yang mengarah kepada peradangan mukosa yang edema dapat menyebabkan obstruksi tuba Eustachi. Kelumpuhan silia yang sementara yang disebabkan oleh eksotoksin bakteri akan menghambat proses penyembuhan dari OME. Ada dua mekanisme utama yang menyebabkan OME: 1. Kegagalan fungsi tuba Eustachi. Kegagalan fungsi tuba Eustachi untuk pertukaran udara pada telinga tengah dan juga tidak dapat mengalirkan cairan. 2. Peningkatan produksi sekret dalam telinga tengah. Dari hasil biopsi mukosa telinga tengah pada kasus OME di dapatkan peningkatan jumlah sel yang menghasilkan mukus atau serosa. Terjadi akibat terganggunya faktor pertahanan tubuh yang bertugas menjaga

kesterilan telinga tengah. Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran menyebabkan transudasi, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang telinga. Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 dB (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 dB (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya. Saat lahir tuba Eustchius berada pada bidang paralel dengan dasar tengkorak, sekitar 10 derajat dari bidang horisontal, dan memiliki lumen yang pendek dan sempit. Semakin bertambah usia, terjadi perubahan bermakna, terutama saat mencapai usia 7 tahun, di mana lumen tuba Eustchius lebih panjang dan lebar, serta ujung proksimal tuba Eustchius di nasofaring terletak 2-2.5 cm di bawah orifisium tuba Eustchius di telinga tengah atau membentuk sudut 45 derajat terhadap bidang horisontal telinga. Dengan struktur yang demikian, pada anak usia. Terjadi penurunan yang tajam dari prevalensi terjadinya OME pada anak-anak dengan usia diatas 7 tahun, yang menandakan meningkatnya fungsi tuba Eustachi dan matangnya sistem imun. Barotrauma adalah keadaan dengan terjadinya perubahan tekanan yang tiba-tiba diluar telinga tengah sewaktu di pesawat terbang atau penyelam, yang menyebabkan tuba gagal untuk membuka. Apabila perbedaan tekanan melebihi 90 cmHg, maka otot yang normal aktivitasnya tidak mampu membuka tuba. Pada keadaan ini terjadi

tekanan negatif di rongga telinga tengah, sehingga cairan keluar dari pembuluh kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai ruptur pembuluh darah, sehingga cairan di telinga tengahdan rongga mastoid tercampur darah. DIAGNOSIS Diagnosis OME seringkali sulit ditegakkan karana prosesnya sendiri yang kerap tidak bergejala (asimptomatik), atau dikenal dengan silent otitis media. Dengan absennya gejala seperti nyeri telinga, demam, ataupun telinga berair, OME sering tidak terdeteksi baik oleh orang tuanya, guru, bahkan oleh anaknya sendiri.10 Gejala klinik meliputi: a. Berkurangnya fungsi pendengaran. Keadaan ini sering ditemukan dan kadangkadang satu-satunya gejala. Onsetnya tersembunyi dan jarang melebihi 40 dB. Ketulian bisa saja tidak terdeteksi oleh orang tua dan mungkin ditemukan secara tidak sengaja pada saat dilakukan skrining tes audiometri. b. Percakapan yang lambat dan bisu. Disebabkan oleh ketulian, perkembangan dari fungsi percakapan menjadi lambat atau bisu. c. Sakit pada telinga tengah. Hal ini mungkin disebabkan adanya infeksi pada saluran pernapasan atas. Lazimnya diagnosis OME dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik telinga dengan menemukan cairan di belakang membran timpani yang normalnya translusen. Pemeriksaan otoskopik dapat memperlihatkan: Membran timpani yang retraksi (tertarik ke dalam), nyeri tumpul, dan opaque yang ditandai dengan hilangnya refleks cahaya. Warna membran timpani bisa merah muda cerah hingga biru gelap. Processus brevis maleus terlihat sangat menonjol dan processus longus tertarik medial dari membran timpani. PENATALAKSANAAN Pengobatan OME langsung diarahkan untuk memperbaiki ventilasi normal telinga tengah. Untuk kebanyakan penderita, kondisi ini diperoleh secara alamiah, terutama jika berasosiasi dengan ISPA yang berhasil disembuhkan. Artinya banyak OME yang tidak membutuhkan pengobatan medis. Akan lebih baik menangani faktor

predisposisi-nya, misalnya: jika dikarenakan barotrauma, maka aktivitas yang berpotensi untuk memperoleh barotrauma berikutnya, seperti: penerbangan atau menyelam, sebaiknya dihindarkan. Strategi lainnya adalah menghilangkan atau menjauhkan dari pengaruh asap rokok, menghindarkan anak dari fasilitas penitipan anak, menghindarkan berbagai alergen makanan atau lingkungan jika anak diduga kuat alergi atau sensitif terhadap bahan-bahan tersebut. Pengobatan pada barotrauma biasanya cukup dengan cara konservatif saja, yaitu dengan memberikan dekongestan lokal atau dengan melakukan perasat Valsava selama tidak terdapat infeksidi jalan napas atas. Apabila cairan atau cairan yang bercampur darah menetap di telinga tengah sampai beberapa minggu, maka dianjurkanuntuk tindakan miringotomi dan bila perlu memasang pipa ventilasi (Grommet). Usaha pereventif terhadap barotrauma dapat dilakukan dengan selalu mengunyah permen karet atau melakukan perasat Valsalva, terutama sewaktu pesawat terbang mulai turun untuk mendarat. Jika OME ternyata menetap dan mulai bergejala, maka pengobatan medis mulai diindikasikan, seperti : 1. Antihistamin atau dekongestan 2. Mukolitik 3. Antibiotik 4. Kortikosteroid KOMPLIKASI Otitis media yang tidak diatasi juga dapat menyebabkan kehilangan pendengaran permanen. Cairan di telinga tengah dan otitis media kronik dapat mengurangi pendengaran anak serta menyebabkan masalah dalam kemampuan bicara dan bahasa. Otitis media dengan efusi didiagnosis jika cairan bertahan dalam telinga tengah selama 3 bulan atau lebih. Komplikasi dapat berupa: Infeksi telinga akut Kista di telinga tengah Kerusakan permanen dari telinga dengan hilang fungsi pendengaran yang

parsial/sebagian atau seluruhnya. Skar pada membran timpani (timpanosklerosis). Kesulitan berbicara dan berbahasa Kolesteatoma.

PROGNOSIS Otitis media efusi biasanya akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu minggu atau bulan. Penatalaksanaan yang tepat dapat mempercepat proses penyembuhan. Selama cairan masih terakumulasi di tengah telinga, maka akan mengurangi fungsi pendengaran. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan bahasa pada anak-anak. Gangguan ini tidak akan menjadi ancaman bagi kehidupan tetapi dapat mengakibatkan komplikasi serius.

5) Otitis Eksterna Otitis eksterna adalah radang liang telinga luar baik akut maupun kronis yang disebabkan oleh bakteri dan dapat terlokalisir atau difus. Kondisi liang telinga yang gelap dan lembab menyebabkan bakteri dan jamur mudah berkembang. Faktor yang mempermudah terjadinya otitis eksterna adalah perubahan pH di liang telinga luar yang biasanya asam menjadi basa menyebabkan proteksi terhadap infeksi menurun. Trauma ringan pada liang telinga yang terjadi saat berenang (swimmers ear) atau membersihkan telinga secara berlebihan juga bisa menyebabkan timbulnya otitis eksterna. ETIOLOGI Sekitar 98% otitis eksterna disebabkan aleh Pseudomonas aeroginosa. Kasus sisanya mungkin disebabkan oleh Proteus vulgaris, Escherichia coli, S. aureus dan jamur seperti Candida albicans, Aspergillus sp dan Mucor sp. Pada kasus Otitis eksterna bakterialis, kulit liang telinga berwarna merah dan biasanya edamatosa kadangkadang sampai tingkat yang menyumbat total liang tersebut. Selain itu ada beberapa faktor predisposisi yang dapat memicu terjadinya otitis eksterna : Faktor endogen Keadaan umum yang buruk akibat anemia, hipovitaminosis, diabetes mellitus, atau alergi, imunodefisiensi, dan irigasi telinga. Diabetik (90 % ), diabetik merupakan

faktor resiko utama berkembangnya otitis eksterna maligna. Vaskulopati pembuluh darah kecil dan disfungsi imun yang berhubungan dengan diabetik merupakan penyebab utama predisposisi ini. Serumen pada pasien diabetik mempunyai pH yang tinggi dan menurunnya konsentrasi lisosim mempengaruhi aktifitas antibakteri lokal.Tidak perbedaan antara DM tipe I dan II. Faktor eksogen a) Trauma karena tindakan mengorek telinga. b) Suasana lembab, panas, atau alkalis didalam MAE (Meatus Akustikus Eksternus). c) Udara yang lembab dan panas menyebabkan oedema pada stratum korneum kulit MAE, sehingga menurunkan resistensi kulit terhadap infeksi. d) Kelembaban kulit yang tinggi setelah berenang/mandi menyebabkan maserasi. e) Bentuk MAE yang tidak lurus menyulitkan penguapan dan mengakibatkan kulit MAE lebih sering dalam keadaan lembab. f) Keadaan-keadaan tersebut menimbulkan rasa gatal yang mendorong penderita mengorek telinga, sehingga trauma yang timbul akan memperhebat perjalanan infeksi. PATOFISIOLOGI Otitis eksterna adalah penyakit yang sering diderita oleh semua orang. Otitis eksterna seringkali ditunjukkan adanya infeksi bakteri akut dari kulit canalis auricularis tapi juga dapat disebabkan adanya infeksi jamur. Adanya lekukan pada liang telinga dan adanya kelembaban dapat menyebabkan laserasi dari kulit dan merupakan media yang bagus untuk pertumbuhan bakteri. Hal ini sering terjadi setelah berenang dan mandi. Otitis eksterna ini sering terjadi jika suasana panas dan lembab. Faktor lain yang dapat menyebabkan otitis eksterna adalah adanya trauma pada liang telinga yang diikuti invasi bakteri kedalam kulit yang rusak trauma ini sering terjadi akibat dari pembersihan liang teling dengan cotton bud ataupun alat lain yang dimasukkan ke dalam telinga. Selain itu masuknya air atau bahan iritan atau hair spray atau cat rambut dapat menyebabkan otitis eksterna

Sebagai akibatnya terjadi respon inflamasi, edema dan pembengkakan liang telinga yang akan menyebabkan visualisasi membran timpani terganggu. Eksudat dan pus dapat terproduksi di liang telinga. Pada keadaan yang berat, infeksi dapat meluas pada wajah dan leher. Kuman pathogen yang sering kali menyebabkan otitis eksterna adalah Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus dan bakteri gram negatif lainnya. Meskipun demikian, jamur, seperti Candida atau Aspergilus sp dapat menyebabkan otitis eksterna. Hal ini terjadi karena adanya penimbunan sel-sel kulit yang mati dan serumen yang menumpuk didaerah dekat gendang telinga menyebabkan penimbunan air yang masuk ke liang telinga ketika mandi atau berenang sehingga kulit pada liang telinga basah dan lembut. Ballenger membagi otitis eksterna dalam tiga bentuk, yaitu : Otitis eksterna peradangan, dibagi tiga : telokalisasi, akut difusa dan kronik difusa Otitis eksterna eksematoid Otitis eksterna seboroid

GEJALA Dua gejala yang khas yang dijumpai pada otitis eksterna yaitu otalgia dan otorea. Otalgia bisa diawali dengan rasa gatal dalam liang telinga. Rasa nyeri timbul akibat edema yang menyertainya. Sedangkan otorea yang terbentuk bisa berbentuk encer atau bisa juga purulen bila bercampur dengan nanah dan sel-sel epitel yang ikut terkelupas. Jika discharge yang keluar berbau amis atau busuk, disebabkan oleh bakteri saprofit dan jamur dalam liang telinga. Sedangkan gejala predominannya adalah gatal, rasa penuh pada telinga atau keluar cairan dari telinga. PENEGAKAN DIAGNOSIS Diagnosis otitis eksterna dapat ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa terdapat riwayat telinga dikorek atau berenang. Pemeriksaan fisik akan ditemukan rasa nyeri atau sakit saat daun telinga dan tragus disentuh atau ditekan. Pemeriksaan dengan spekulum atau otoskop didapatkan liang telinga yang hiperemis, edema dan akumulasi debris pada liang telinga. Membrana timpani kadang tidak terlihat karena liang telinga yang edema. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah kultur dari sekret atau discharge

yang keluar dari liang telinga untuk menentukan jenis bakteri atau jamur sehingga dapat diberikan terapi dengan antibiotik yang tepat. TERAPI Ada beberapa prinsip yang paling mendasar untuk terapi otitis eksterna, yaitu: Membersihkan liang telinga dengan teliti dan hati-hati ( Ear Toilet ), jika liang telinga edema maka pembersihan harus menunggu sampai peradangan mereda Mengatasi rasa sakit dan peradangan dengan cara pengompresan liang telinga dengan tampon yang sudah ditetesi larutan Burowi atau ichtyol 10%. Selain itu dapat juga diberikan obat tetes telinga selama 3 hari Pengasaman liang telinga dilakukan untuk mengurangi kelembaban yang tinggi pada liang telinga. Penggunaan antibiotik, jenis antibiotik yang digunakan bisa berupa topikal bisa juga obat tetes. Pemakaian antibiotik topikal biasanya lebih efektif untuk terapi otitis eksterna. Sedangkan untuk antibiotik tetes telinga tidak boleh digunakan lebih dari 23 minggu. Mencegah faktor predisposisi KOMPLIKASI Otitis eksterna maligna merupakan komplikasi dari otitis eksterna yang terjadi pada pasien yang mengalami imunocompresi atau pasien yang mendapatkan radioterapi pada tulang kepala. Pada kondisi ini bakteri akan meninvasi jaringan lunak yang dalam dan menyebabkan oeteomielitis pada os temporal. Manifestasi klinisnya gatalgatal, keluar cairan berbau busuk dari liang telinga, jika saluran telinga membengkak atau terisi nanah dan sel-sel kulit mati maka bisa terjadi gangguan pendengaran. Selain itu, akan timbul nyeri apabila daun telinga ditarik atau ditekan atau terkadang muncul nyeri spontan saat membuka mulut. PROGNOSIS Hampir semua pasien dengan otitis ekterna akan membaik selama satu minggu sampai sepuluh hari. Pemeriksaan yang berulang, pembersihan dan pengeringan liang telinga merupakan faktor terpenting untuk memperoleh penyembuhan otitis eksterna. Pengobatan pada keadaan awal akan lebih baik jika menunggu infeksi sampai parah.

BAB III PEMBAHASAN

BAB IV PENUTUP
VI. Kesimpulan Dari diskusi tutorial skenario 1 dapat disimpulkan bahwa mula mula pasien menderita rinitis alergi sejak remaja karena ketika terpapar debu pasien jadi pilek dan hidung tersumbat. Efek dari infeksi saluran pernafasan atas yang lama tersebut, bisa menyebabkan terjadinya obstruksi pada tuba auditiva eustachius sehingga terjadi tekanan negatif pada cavum tympani. Hal ini mengakibatkan mukosa dan sel sel di cavum tympani menjadi terserap sehingga terjadi oedem yaitu keluarnya cairan intravaskuler ke interseluler yang lama kelamaan akan penuh di cavum tympani. Hal ini dapat menyebabkan perforasi pada membran tympani. Berawal dari etiologi di atas, timbulah otitis media akut pada pasien dari stadium oklusi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi. Karena pengobatan otitis media akut tersebut tidak berjalan dengan baik otitis media akut berkembang menjadi otitis media supuratif kronis. Komplikasi dari otitis media supuratif kronis dapat berupa kolesteatoma, myringitis, dan labirinitis yang menimbulkan vertigo pada pasien. VII. Saran Seharusnya pasien menghindari faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya alergi. Sebaiknya pasien segera mendapat penatalaksaan yang adekuat sehingga tidak terjadi komplikasi.

BAB V DAFTAR PUSTAKA


Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC Irawati. 2002. Universitas Sumatera Utara http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21493/4/Chapter%20II.pdf (Diakses 21 Agustus 2013) Nursiah, Siti. 2003. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan terhadap Beberapa Antibiotika di Bagian THT FK USU / Rsup.H. Adam Malik Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/fk/thtsiti%20nursiah.pdf (Diakses 21 Agustus 2013) Soetirto, Indro, Hendarmin, Hendarto, dan Bashiruddin, Jenny. 2007. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. Nasution, Minasari. 2008. Infeksi Laring Faring. Universitas Sumatera Utara.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1150/1/08E00706.pdf (Diakses 21 Agustus 2013) Sayuti, Kemala. 2012. Gangguan Indra Khusus (Mata, Kulit dan THT) Edisi Ke 1. Universitas Andalas. http://fk.unand.ac.id/images/BLOK_3.6_update.pdf (Diakses 21 Agustus 2013) Asroel, Harry A. 2010. Otitis Eksterna. Fakultas Kedokteran Sumatera Utara : Divisi Otologi THT KL. Diakses pada ocw.usu.ac.id/course/download/.../sss155_slide_otitis_eksterna.pdf (31

September 2013)

Anda mungkin juga menyukai