Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

Tugas Mandiri Stase Praktek Profesi Keperawatan Medikal Bedah

Disusun Oleh: Listyanti Aninda 08/272742/KU/12862

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

A. PENGERTIAN BPH atau benign prostatic hyperplasia dalam bahasa Indonesia disebut sebagai pembesaran prostat jinak. Keadaan ini adalah kondisi alamiah bagi pria dewasa yang fertile dengan kadar testosteron yang normal. Dalam bahasa awam setiap pria normal pada usia tertentu (diatas 40 tahun) akan mengalami keluhan pembesaran prostat. Sebetulnya pembesaran postat sendiri telah dimulai sejak pubertas. Bagian prostat yang membesar pada BPH adalah di zona transisional dan periuretra, sedangkan persentase pada bagian lain sangatlah kecil untuk berkembang menjadi BPH.

Gambar Prostat Prostat adalah organ genetalia pria yang terletak di sebelah interior buli-buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 3 x 4 x 2,5 cm dan beratnya 20 gram. Sebagian prostat mengandung kelenjar grandular dan sebagian lagi otot involuter dan menghasilkan suatu cairan yang di sebut semen, yang basa dan mendukung nutrisi sperma. Cairan prostat merupakan kurang lebih 25% dari seluruh volume ejakulat. Jika kelenjar ini mengalami hiperlasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membantu uretra posterior dan mengakibatkan obstruksi saluran kemih.

1. Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang dominan adalah hyperplasia (Long, 2006). 2. Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker (Basuki, 2000).

3. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan (Soeparman, 2000). 4. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra (Hardjowidjoto, 2000). 5. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandungkemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Schwartz, 2000). Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. Prostatektomy adalah merupakan tindakan pembedahan bagian prostat (sebagian / seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.

B. ANATOMI FISIOLOGI Pada pria, beberapa organ berfungsi sebagai bagian dari traktrus urinarius maupun sistem reproduksi. Kelainan pada organ-organ reproduksi pria dapat menganggu salah satu atau kedua sistem. Akibatnya, penyakit sistem reproduksi pria biasanya ditangani oleh ahli urologi. Struktur dari sistem reproduksi pria adalah testis, vas deferen (duktus deferen), vesika seminalis, penis, dan kelenjar asesori tertentu, seperti kelenjar prostat dan kelenjar cowper (kelenjar bulbo-uretral). Organ genetalia pria terdiri dari 6 komponen yaitu : 1. Testis dan epididimis 2. Duktus deferen 3. Vesikula seminalis 4. Duktus ejakulatorius dan penis 5. Prostat 6. Kelenjar bulbo-uretra

C. ETIOLOGI Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari androgen dan

estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian inilah yang mengalami hiperplasia

(Hardjowidjoto,2000). Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnyahiperplasi prostat adalah : 1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut 2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat 3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati 4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan Pada umumnya dikemukakan beberapa teori yaitu : 1. Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengancepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral. 2. Teori kedua adalah teori Reawekering menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya. 3. Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya konversi testoteron menjadi estrogen. (Sjamsuhidayat, 2005).

D. PATOFISIOLOGI Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Basuki (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Basuki, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Basuki (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubahmenjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secaralangsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat. Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnyadisebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatankontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadiresistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering

berkontraksiwalaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria). Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung urin,sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter danginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinariamenjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluksmenyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

E. MANIFESTASI KLINIS Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining), kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow. Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitasotot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer,2000) Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium: 1. Stadium I Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis. 2. Stadium II Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.

3. Stadium III Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc. 4. Stadium IV Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flowin kontinen).

Menurut Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa : Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yangturun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut. Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini : 1. Rectal Gradding Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong : Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum. Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum. Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum. Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum. Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.

2. Clinical Gradding Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter. Normal : Tidak ada sisa Grade I : sisa 0-50 cc Grade II : sisa 50-150 cc Grade III : sisa > 150 cc Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing

F. DIAGNOSIS BPH atau pembesaran prostat jinak tidaklah menjadi masalah bagi manusia (hal inilah yang membedakan dari kanker). BPH menjadi masalah ketika mengakibatkan retensi urine (retensi urine adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat kencing padahal ingin kencing).

Untuk mengetahui apakah seseorang menderita BPH dengan dilakukan: 1. Anamnesis atau wawancara yang mendalam kepada pasien tentang keluhan berkemihnya. Pertanyaan yang diajukan antara lain:

selama sebulan terakhir seberapa sering tidak lampias setelah kencing? (beri skor 0 hingga 5)

selama sebulan terakhir seberapa sering kencing kurang dari 2 jam? (beri skor 0 hingga 5)

selama sebulan terakhir seberapa sering anda kencing terputus-putus? (beri skor 0 hingga 5)

selama sebulan terakhir seberapa sering anda sulit menahan kencing? (beri skor 0 hingga 5)

selama sebulan terakhir seberapa sering pancaran kencing lemah? (beri skor 0 hingga 5)

selama sebulan terakhir seberapa sering anda harus mengedan untuk mulai kencing (beri skor 0 hingga 5)

selama sebulan terakhir seberapa sering anda harus bangun saat malam hari untuk kencing (beri skor 0 hingga 5)

Setelah menjawab dan menghitung skor tersebut maka:

Jika skor 0 hingga 7 digolongkan ringan dan dilakukan perubahan gaya hidup dengan terus diamati apakah terjadi perburukan keluhan.

Jika skor 8 hingga 19 digolongkan keluhan sedang diterapi dengan obatobatan.

Jika skor 19 hingga 35 digolongkan keluhan berat dengan terapi operatif.

2. Pemeriksaan fisik yang akan dilakukan oleh dokter 3. USG prostat, untuk menguukur volume prostat dan seberapa besar prostat masuk ke kandung kencing. Volume prostat tidak berhubungan dengan beratnya keluhan, artinya mungkin volume prostat yang kecil tetapi sangat menyumbat. 4. Uroflowmetri, jika kecepatan aliran kencing maksimal lebih dari 15 ml/detik berarti aliran masih baik, jika kecepatan kurang dari 10 ml/ detik perlu dilakukan operasi. 5. Kadar PSA total. kadar PSA lebih dari 10ng/dL kemungkinan kanker prostat, antara 4 hingga 10ng/dl perlu dilakukan biopsi (pengambilan sampel jaringan). Dan jika kurang dari 4mg/dL kemungkinan besar BPH.

Indikasi operasi pada pasien BPH adalah:

a. retensio urine berulang. b. gangguan fungsi ginjal karena hambatan aliran urine karena pembesaran prostat. c. hematuria (kencing darah baik yang makroskopis atau mikroskopis) karena pembesaran prostat. d. infeksi traktus urinarius berulang karena pembesaran prostat. e. batu saluran kencing oleh karena pembesaran prostat. f. perubahan fisiologi dan anatomis proksimal dari prostat dan kandung kemih (divertikel, hidronefrosis dll) g. gagal atau menolak terapi medikamentosa. h. hernia, hemmorhoid karena mengejan saat kencing.

Terdapat banyak cara operasi prostat (yang secara medis disebut prostatektomi). Tindakan ini bertujuan mengangkat jaringan prostat yang menyumbat aliran kencing. Cara prostatektomi yang umum dilakukan adalah: 1. open prostatektomi (operasi terbuka). 2. TURP (Trans Urethral Resection of Prostate) 3. TUNA (Trans Urethral Needle Ablation) 4. TUVP (Trans Urethral Vaporization of Prostate) dan lain sebagainya.

G. KOMPLIKASI Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksisaluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

H. PENATALAKSANAAN MEDIS Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinisa. a. Stadium I Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa, seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama. b. Stadium II Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksiendoskopi melalui uretra (trans uretra). c. Stadium III Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal. d. Stadium IV Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka. Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH. Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan: 1. Observasi Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol,tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur. 2. Medikamentosa a. Penghambat alfa (alpha blocker) Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-1, dan prostat memperlihatkanrespon mengecil terhadap agonis. Komponen yang

berperan dalam mengecilnya prostat dan leher buli- buli secara primer diperantarai oleh reseptor alpha blocker. Penghambatan terhadap alfa telah

memperlihatkanhasil berupa perbaikan subjektif dan objektif terhadap gejala dan tanda BPH pada beberapa pasien. Penghambat alfa dapat diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu paruhnya b. Penghambat 5-Reduktase (5-Reductase inhibitors) Finasteride adalah penghambat 5-Reduktase yang menghambat

perubahan testosteron menjadi dihydratestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen epitel prostat, yang menghasilkan pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna melihat efek maksimal terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan gejala-gejala c. Terapi KombinasiTerapi kombinasi antara penghambat alfa dan penghambat 5-Reduktase memperlihatkan bahwa penurunan symptom score dan

peningkatan aliran urin hanya ditemukan pada pasien yang mendapatkan hanya Terazosin. Penelitian terapi kombinasi tambahan sedang berlangsung. d. Fitoterapi Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuhtumbuhan untuk tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada BPH telah popular di Eropa selama beberapa tahun. Mekanisme kerjafitoterapi tidak diketahui, efektifitas dan keamanan fitoterapi belum banyak diuji. 3. Terapi Bedah Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi salurankemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan: a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy) Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra b. Prostatektomi Suprapubis Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih. c. Prostatektomi Retropubis Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.

d. Prostatektomi Peritoneal Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum. e. Prostatektomi retropubis radikal Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan keleher kandung kemih pada kanker prostat. 4. Terapi Invasif Minimal a. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT) b. Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostatmelalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter. c. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP) d. Trans Uretral Ballon Dilatation(TUBD)

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :a. Laboratorium 1. Sedimen Urin Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih. 2. Kultur Urin Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kumanterhadap beberapa antimikroba yang diujikan. b. Pencitraan1). Foto polos abdomenMencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin. 3. IVP ( Intra Vena Pielografi) Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis,memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli. 4. Ultrasonografi ( trans abdominal dan trans rektal ) Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor. 5. Systocopy Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum

J. PERAWATAN Persiapan Pre-Operatif

SEBELUM

DAN

SESUDAH

PEMBEDAHAN

1. Tanda persetujuan secara tertulis, penderita dan keluarga harus menyatakan persetujuan pembedahan (informed konsen). 2. Persiapan kulit Daerah yang akan dicukur ditentukan, lebih baik kalau pencukuran langsung dilaksanakan sebelum pembedahan. Penderita harus dimandikan dan bersih malam sebelum pembedahan. 3. Diet Penderia tidak boleh makan makanan padat selama 12 jam pasien dipuasakan minum cairan selama 8 jam sebelum pembedahan. 4. Cairan IV Pemberian cairan intravena tidak diperlukan pada berbagai kasus tetapi pada penderita yang lansia atau lemah perlu diberi cairan penguat pada malam sebelum pembedahan. 5. Pengurangan isi perut Pencahar dan enema kebanyakan dilaksanakan pada pembedahan perut, pengosongan sebagian dari usus dilaksanakan pemberian 2-3 tablet dulcolax. 6. Pemberian obat-obatan Premedikasi anastetik biasanya ditangani oleh dokter ahli anastesi 7. Tes laboratorium

Penentuan BUN, kreatinin serum dan kalium serum, lab darah dan lain-lain. 9. Transfusi darah Harus disiapkan bilamana perlu 10. Kandung kencing Kateter folley digunakan pada pembedahan yang lama lebih baik memasang kateter sesudah di bedah daripada sebelumnya.

Persiapan Post-Operatif 1. Jenis pembedahan Sehingga perawat dan dokter yang jaga mengetahui persoalan yang dihadapi 2. Tanda-tanda vital Tekanan darah, denyut nadi, respirasi, harus dicatat tiap 15 menit sesudah operasi, tiap jam selam beberapa jam kemudian 4 jam hingga penderita sembuh

3. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit setiap hari 4. Aktivitas dan posisi Posisi mula-mula telentang tetapi penderita harus dimiringkan ke kiri atau ke kanan setiap 30 menit sementara ia tidak sadarkan diri. Anjurkan menggerakan kaki secara aktif atau pasif setiap jam. 5. Makanan 6. Cairan intra vena (catat jenis cairan dan kecepatan tetesan pemberiannya) 7. Pantau drain pada luka pembedahan bila ada catat outputnya 8. Monitor kateter dan pengeluaran urinenya 9. Perawatan luka bersih pada daerah luka pasca bedah 10. Pemberian antibiotic untuk menimimalkan infeksi pasca operasi

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL 1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri fisik, pembedahan 2. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer yang tidak adekuat, prosedur invasif. 3. Kurang pengetahuan tentang penyakit, perawatan dan pengobatannya berhubungan dengan kurang familier terhadap informasi, kognitif. 4. Resiko perdarahan

L. PERENCANAAN KEPERAWATAN

DAFTAR PUSTAKA Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD): Jakarta. Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University Press: Surabaya Long, Barbara C. (2006). Perawatan Medikal Bedah. Volume 1. (terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran: Bandung. Schwartz, dkk, (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires dkk, EGC: Jakarta. Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC Soeparman. (2000). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. FKUI: Jakarta Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai