Anda di halaman 1dari 17

FRAKTUR NASAL I.

Definisi Fraktur adalah terjadinya diskontinuitas jaringan tulang (patah tulang) yang biasanya disebabkan benturan keras. Fraktur tulang hidung dapat mengakibatkan terhalangnya jalan pernafasan dan deformitas pada hidung. Jenis dan kerusakan yang timbul tergantung pada kekuatan, arah dan mekanismenya.1 Fraktur os nasal merupakan kasus trauma terbanyak pada wajah dan merupakan kasus fraktur ketiga terbanyak di seluruh tulang penyusun tubuh manusia.2 Kejadian fraktur nasal sekitar 39%-45% dari seluruh fraktur maksilofasial yang ditangani oleh dokter telinga hidung dan tenggorokkan (THT) dan dokter bedah plastik.3 Di Amerika Serikat, kejadian fraktur os nasal rata-rata 51.200 per tahun. Fraktur os nasal banyak terjadi pada usia 15-40 tahun dan tiga kali lebih banyak terjadi pada laki-laki.2 Penyebab fraktur nasal adalah kekerasan (42,65%), kecelakaan lalu lintas (35,29%), pekerjaan (13,24%) dan terjatuh saat olahraga (8,82%).4

II.

Anatomi Hidung Hidung terdiri atas nasus eksternus (hidung luar) dan kavum nasi (rongga hidung).5

Hidung luar terdiri atas dorsum nasi yang terdiri dari pangkal hidung sampai puncak hidung, ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang hidung terdiri dari:6 Tulang hidung (os nasal) Prosesus frontalis os maxilla Prosesus nasalis os frontal

Kerangka tulang rawan terdiri dari lima pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior,, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago alas mayor) dan tepi anterior kartilago septum.5

Gambar 1: Anatomi hidung7,8 Septum nasal merupakan penyangga utama dari hidung. Bagian anterior adalah berupa tulang rawan dan agak kaku. Bagian posterior kaku dan keras mirip tulang. Tulang rawan dari septum-joint merupakan membran fleksibel di sisi kaudalanterior. Dibelakang ini, tulang rawan septal biasanya berada pada celah cekungan pada maksila, suatu area yang sering mengalami kerusakan. Tulang rawan septum berartikulasi dengan tulang septum. Tulang septum meliputi lempeng perpendikular dari etmoid posterior dan tulang vomer inferior.6 Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kiri dan kanan. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.9 Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksilla, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior

yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sfenoid.9

Gambar 2. Anatomi rongga hidung8 Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:10 1. Arteri Etmoidalis anterior 2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika 3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna.

Gambar 3. Sistem Vaskularisasi Hidung6 Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen 3

sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.9 Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.8 Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.10

III.

Mekanisme cedera Murray melaporkan bahwa kebanyakan deviasi akibat fraktur nasal meliputi juga fraktur

pada kartilago septum nasal. Fraktur nasal lateral merupakan yang paling sering dijumpai pada fraktur nasal. Fraktur nasal lateral akan menyebabkan penekanan pada hidung ipsilateral yang biasanya meliputi setengah tulang hidung bagian bawah, prosesus nasomaksilaris dan bagian tepi piriformis.11 Trauma nasal yang dihasilkan dari suatu pukulan bervariasi tergantung pada :12 1. Usia pasien yang sangat berpengaruh pada fleksibilitas jaringan dalam meredam energi dari pukulan 2. Besarnya tenaga pukulan, arah pukulan dimana akan menentukan bagian nasal yang rusak. Kondisi dari obyek yang menyebabkan trauma nasal dan trauma jaringan lunak yang umum terjadi meliputi: laserasi, ekimosis, hematom di luar dan di dalam rongga hidung. Trauma pada kerangka hidung meliputi fraktur (putusnya hubungan, lebih sering pada usia lanjut), dislokasi (pada anak-anak), dan fraktur dislokasi. Trauma dislokasi dapat mengenai artikulasi kerangka hidung luar atau pada septum nasi. 3. Waktu kejadian Trauma lain yang sering dihubungkan dengan fraktur nasal adalah fraktur frontalis, ethmoid dan tulang lakrimalis, fraktur nasoorbital ethmoid; fraktur dinding orbita; fraktur lamina kribriformis; fraktur sinus frontalis dan fraktur maksila Le Fort I, II, dan III.11 Terdapat beberapa jenis fraktur nasal antara lain :12

1. Fraktur lateral Adalah kasus yang paling sering terjadi, dimana fraktur hanya terjadi pada salah satu sisi saja, kerusakan yang ditimbulkan tidak begitu parah.

Gambar 4. Fraktur lateral12 2. Fraktur bilateral Merupakan salah satu jenis fraktur yang juga paling sering terjadi selain fraktur lateral, biasanya disertai dislokasi septum nasal atau terputusnya tulang nasal dengan tulang maksilaris.

Gambar 5. Fraktur bilateral12 3. Fraktur direct frontal Yaitu fraktur os nasal dan os frontal sehingga menyebabkan desakan dan pelebaran pada dorsum nasalis. Pada fraktur jenis ini pasien akan terganggu suaranya.

Gambar 6. Fraktur direct frontal12 4. Fraktur comminuted Adalah fraktur kompleks yang terdiri dari beberapa fragmen. Fraktur ini akan menimbulkan deformitas dari hidung yang tampak jelas.

Gambar 7. Fraktur comminuted, 1: tulang hidung, 2: frontal dan 3 septum nasi12 IV. Klasifikasi fraktur nasal Terdapat berbagai klasifikasi mengenai fraktur nasal yang telah dibuat, yaitu Menurut Stranc dan Roberston, arah asal trauma akan mempengaruhi beratnya kerusakan pada tulang hidung dan septum. Klasifikasi ini hanya berdasarkan pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan radiologis.11 o Tipe I: fraktur ini menyebabkan terjadinya avulsi kartilago lateral atas, dislokasi posterior septum dan ala nasal. 6

o Tipe II : fraktur ini menyebabkan deviasi dorsum nasi dan juga menyebabkan tulang hidung menjadi datar. o Tipe III: fraktur pada tulang hidung dan juga menyebabkan kerusakan pada mata dan struktur intrakranial. Menurut Harrison, fraktur nasi dibagi menjadi 3 berdasarkan beratnya dan juga penatalaksanaannya:13 o Kelas I: pada keadaan ini terdjadi fraktur depres hidung tanpa melibatkan septum nasi. o Kelas II: fraktur yang terjadi menyebabkan fraktur komunitiva,sehingga deviasi semakin jelas. Khasnya pada fraktur ini akan tampak gambaran seperti huruf C. o Kelas III: fraktur ini disebut juga fraktur naso orbito etmoidalis (NOE) Menurut Hwang, fraktiur nasal dapat diklasifikasikan sebagai berikut:4 o Tipe I : fraktur sederhana tanpa deviasi o Tipe II: fraktur sederhana dengan deviasi IIA : unilateral IIAs:unilateral dengan fraktur septum nasi IIB: bilateral IIBs: bilateral dengan fraktur septum nasi

o Tipe III: Fraktur communited Menurut Michael, fraktur nasal dapat diklasifikasikan berdasarkan beratnya dan kerusakan pada septum nasi14 o Tipe I: fraktur sederhana tanpa deviasi, jika terjadi fraktur unilateral atau bilateral tanpa menyebabkan pergeseran pada garis tengah o Tipe II: fraktur sederhana dengan deviasi, jika terjadi fraktur unilateral atau bilateral dan menyebabkan pergeseran pada garis tengah o Tipe III: fraktur communited, jika terjadi fraktur bilateral yang menyebabkan septum tidak lurus tetapi tidak menyebabkan pergeseran garis tengah o Tipe IV: deviasi tulang hidung dan fraktur septum nasi , jika terjadi fraktur bilateral yang menyebabkan septum tidak lurus dan menyebabkan pergeseran garis tengah dan juga terjadi fraktur septum nasi ataupun dislokasi septum nasi.

o Tipe V: fraktur kompleks nasal dan septum nasi, jika terjadi fraktur dan juga menyebabkan laserasi pada jaringan serta saddle nose. Menurut Samuel, yang memodifikasi klasifikasi fraktur nasal yang telah dibuat oleh Murray, fraktur nasal dapat diklasifikasikan menjadi:15 o Tipe I: cedera jaringan lunak sekitar hidung o Tipe IIa: fraktur sederhana unilateral tanpa deviasi o Tipe IIb: fraktur sederhana bilateral dengan deviasi o Tipe III: fraktur sederhana disertai deviasi o Tipe IV: fraktur communited tertutup o Tipe V: fraktur communited terbuka atau termasuk fratur tipe II-IV tetapi disertai dengan kebocoran cairan serebrospinal, hematom septum nasi, obstruksi jalan nafas, deviasi berat dan termasuk fraktur Naso-orbito-etmoidalis.

V.

Diagnosis 1. Anamnesis Rentang waktu antara trauma menentukan arah dan besarnya kekuatan dari benturan sangatlah penting untuk penatalaksanaan pasien. Sebagai contoh, trauma dari arah frontal bisa menekan dorsum nasal, dan menyebabkan fraktur nasal. Pada kebanyakan pasien yang mengalami trauma akibat olahraga, trauma nasal yang terjadi berulang dan terus menerus, dan deformitas hidung akan menyebabkan sulit menilai antara trauma lama dan trauma baru sehingga akan mempengaruhi terapi yang diberikan. Informasi mengenai keluhan hidung sebelumnya dan bentuk hidung sebelumnya juga sangat berguna. Keluhan utama yang sering dijumpai adalah epistaksis, deformitas hidung, obstruksi hidung, anosmia dan ekimosis.1,11,15,16 2. Pemeriksaan fisik1,11,15,16 Kebanyakan fraktur nasal adalah pelengkap trauma seperti trauma akibat dihantam atau terdorong. Pukulan substansial yang mengenai daerah wajah bagian tengah akan mengakibatkan trauma pada tulang belakang dan oleh karena itu dokter harus mempunyai pertimbangan klinis dalam melakukan tindakan tanpa mengesampingkan trauma tulang belakang. Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin bahwa jalan napas pasien aman dan ventilasi terbuka dengan sewajarnya. Fraktur nasal sering 8

dihubungkan dengan trauma pada kepala dan leher yang bisa mempengaruhi patennya trakea. Fraktur nasal ditandai dengan laserasi pada hidung, epistaksis akibat robeknya membran mukosa. Jaringan lunak hidung akan nampak ekimosis dan udem yang terjadi dalam waktu singkat beberapa jam setelah trauma dan cenderung nampak di bawah tulang hidung dan kemudian menyebar ke kelopak mata atas dan bawah. Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal yang sangat khas, deformitas yang terjadi sebelum trauma sering menyebabkan kekeliruan pada trauma baru. Pemeriksaan yang teliti pada septum nasal sangatlah penting untuk menentukan antara deviasi septum dan hematom septum nasi, yang merupakan indikasi absolut untuk drainase bedah segera. Sangatlah penting untuk memastikan diagnosa pasien dengan fraktur, terutama yang meliputi tulang ethmoid. Fraktur tulang ethmoid biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur nasal fragmental berat dengan tulang piramid hidung telah terdorong ke belakang ke dalam labirin ethmoid, disertai remuk dan melebar, menghasilkan telekantus, sering dengan rusaknya ligamen kantus medial, apparatus lakrimalis dan lamina kribriformis, yang menyebabkan rinore cerebrospinalis. Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya kebocoran cairan serebrospinal yang terlihat seperti rinore, emfisema subkutan yang ditandai dengan adanya krepitasi, perubahan status mental, maloklusi dan adanya keterbatasan pergerakan bola mata, maka pasien harus segera dirujuk.

Gambar 8. Pemeriksaan krepitasi hidung17

Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi ditemukan krepitasi akibat emfisema sukutan, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi irregular. Pada pasien dengan hematom septi nampak area berwarna putih mengkilat atau ungu yang nampak berubahubah pada satu atau kedua sisi septum nasal. Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan penanganan akan menyebabkan deformitas bentuk pelana, yang membutuhkan penanganan bedah segera.

Gambar 9.Hematom septum nasi dan penatalaksanaannya16 Pemeriksaan dalam harus didukung dengan pencahayaan, anestesi, dan semprot hidung vasokonstriktor. Solusio kokain 5% atau 10% merupakan pilihan yang paling tepata, karena kokain tersebut dapat bekerja sebagai analgesic dan juga vasokonstriktor. Alternative lain sebagai analgesi adalah dengan lidokain (Xylocain), bupivakain (Marcaine) dan pantokain (Opticain) spray. Vasokonstriktor yang bisa digunakan seperti Oksimetazolin (Afrin) dan feniefrin hodroklorida (Neo-Synephrine) sebagai anti perdarahan dan juga untuk mengurangi edema. Beberapa laporan mengatakan bahwa penggunaan oksimetazolin atau fenilefrin dan lidokain topical 4% memiliki efektivitas yang sama dengan kokain. Spekulum hidung dan lampu kepala akan memperluas lapangan pandang. Pada pemeriksaan dalam akan nampak bekuan darah dan/atau deformitas septum nasal. Jika pada pemeriksaan tampak ada bekuan darah, maka bekuan darah tersebut harus segera dikeluarkan dengan menggunakan normal salin hangat untuk irigasi dan juga dengan suction.

10

3. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan radografi jarang dilakukan, karena foto plos memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Cedera tulang rawan tidak terdeteksi oleh radiografi, oleh karena itu tidak dianggap rutin dilakukan pemeriksaan foto polos hidung Tetapi, jika apada pemeriksaan ditemui adanya kebocoran cairan serebrospinal, gangguan pergerakan bola mata dan maloklusi, maka pemeriksaan CT-scan dianjurkan. CT-Scan menyediakan informasi terbaik mengenai sejauh mana cedera patah tulang di hidung dan wajah, khususnya digital Volume tomography (DVT). CTScan bisa melihat garis patah yang tidak nampak dengan foto polos.10

Gambar 10. Foto polos fraktur hidung17

VI.

Terapi1,11,15,16 Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan fraktur tulang hidung sebenarnya masih kontroversi. Edema yang terjadi setelah trauma membuat kesulitan dalam melakukan reduksi, sehingga edema harus berkurang untuk melakukan reduksi. Beberapa menyatakan bahwa edema akan berkurang setelah 3-5 hari. Tindakan konservatif yang dilakukan berupa meninggikan kepala dan memberikan kompres es pada bagian yang cedera. Tindakan definitif dimulai 5-12 hari setelah trauma, karena pada masa ini tulang nasal dapat dengan mudah dimanipulasi. Jika telah melebihi 12 hari, maka akan terbentuk fibrosis yang semakin mempersulit reduksi tertutup. 11

Jika fraktur dari tulang hidung saja, maka dapat dilakukan perbaikan dari raktur tersebut dengan anestesi lokal. Akan tetapi, pada anak-anak atau orang dewasa yang tidak kooperatif tindakan penanggulangan memerlukan anestesi umum. Anestesi lokal dapat dilakukan dengan pemasangan tampon lidokain 1-2 % yang dicampur dengan epinefrin 1:1000%. Tampon kapas yang berisi obat analgesia lokal ini dipasang masing-masing 3 buah, pada setiap lubang hidung. Tampon pertama diletakkan pada meatus superior tepat dibawah tulang hidung, tampon kedua diletakkan antara konka media dan septum dan bagian distal dari tampon tersebut terletak dekat foramen sfenopalatina, tampon ketiga ditempatkan antara konka inferior dan septum nasi. Ketiga tampon tersebut dipertahankan selama 10 menit. Kadang-kadang diperlukan penambahan penyemprotan oxymethaxolin spray beberapa kali, melalui rinoskopi anterior untuk memperoleh efek anestesi dan efek vasokonstriksi yang baik. Terdapat berbagai algoritma dalam penatalksanaan fraktur nasal tergantung dari klasifikasi yang digunakan. 1. Algoritma yang dibuat oleh Michael et al:
Evaluasi

Fraktur tipe I,II,III

Fraktur Tipe IV

Fraktur Tipe V

Dapat digerakkan

Fraktur inkomplit

Deviasi septu ringan-sedang

Deviasi septum berat

Reduksi tertutup gagal

septorinoplasti
Reduksi terbuka tulang dan septum

Modifikasi reduksi terbuka dengan osteotomi

Gagal/terdap at pilihan

Deformitas (+), deviasi septum (+)

Gambar 11. Algoritma penatalaksanaan fraktur nasal14 12

2. Algoritma yang dibuat oleh Samuel et al:


Tipe I
Tidak terdapat fraktur,kompres dingin 24 jam, follow up seperti biasa Reduksi tertutup Manipulasi septum Splinting Kompres dingin 24 jam Kompres hangat 7 hari Reduksi terbuka Manipulasi septum External splinting Doyle splinting Graft luas

Tipe II

< 4 jam

Tipe IIa-III

Tipe III

Waktu
Tipe IV

Tipe IV

> 4 jam Kompres dingin Elevasi Nilai ulang edema Septorinoplasti Osteotomi External splinting Doyle splinting Graft luas

Tipe V

CT scan axial/koronal 3mm Reduksi terbuka secepatnya Fiksasi interna Konsul bedah saraf jika diperlukan

Gambar 12. Algoritma penatalaksanaan fraktur hidung 215 1. Teknik reduksi tertutup11 Teknik reduksi tertutup merupakan tindakan manipulasi pada fraktur hidung dengan jari atau alat tanpa membuat insisi. Tindakan ini merupakan pilihan yang tepat pada kasus fraktur nasal sedrhana. Penggunaan analgesia lokal yang baik, dapat memberikan hasil yang sempurna pada tindakan reduksi fraktur nasal. Jika tindakan reduksi tidak sempurna maka fraktur nasal tetap saja pada posisi yang tidak normal. Tindakan reduksi ini dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang terjadi mungkin sangat sedikit. Namun demikian tindakan reduksi secara lokal masih dapat dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma. Sesudah waktu tersebut, tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah terjadi kalsifikasi sehingga harus dilakukan tindakan rinoplasti estetomi. Alat-alat yang dipakai pada tindakan reduksi adalah elevator tumpul yang lurus (Boies Nasal Fracture Elevator ), cunam Asch, cunam Walsham, spekulum hidung pendek dan panjang (killian) dan pinset bayonet

13

Gambar 13. Cunam Asch (kiri), Cunam Walsham (tengah) dan Elevator Boies (kanan)14 Deformitas hidung yang minimal akibat fraktur, dapat direposisi dengan tindakan yang sederhana. Reposisi dilakukan dengan bantuan cunam walsham. Pada penggunaan cunam walsham ini, satu sisinya dimasukkan ke dalam kavum nasi sedangkan sisi lain di luar hidung di atas kulit yang di proteksi dengan selang karet. Tindakan manipulasi dilakukan dengan control palpasi jari. Jika deviasi piramid hidung karena dislokasi tulang hidung, cunam Asch digunakan dengan cara memasukkan masing masing sisi (blade) ke dalam kedua rongga hidung sambil menekan septum dengan kedua sisi forsep. Sesudah fraktur nasal dikembalikan pada keadaan semula dilakukan pemasangan tampon didalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat ditambah dengan antibiotika. Perdarahan yang timbul selama tindakan akan berhenti, sesudah pemasangan tampon pada kedua rongga hidung. Fiksasi luar (gips) dilakukan dengan menggunakan beberapa lapis gips yang dibentuk seperti huruf T dan dipertahankan hingga 10 14 hari.

Gambar 14. Penggunaan elevator Boies dan pemsangan nasal splint18

14

2. Teknik reduksi terbuka11 Teknik reduksi terbuka diindikasikan untuk : Ketika operasi telah ditunda selama lebih dari 3 minggu setelah trauma. Fraktur nasal berat yang meluas sampai ethmoid. Reduksi terbuka juga dapat dilakukan pada kasus dimana teknik manipulasi reduksi tertutup telah dilakukan dan gagal. Pada teknik reduksi terbuka harus dilakukan insisi pada interkartilago. Gunting Knapp disisipkan di antara insisi interkartilago dan lapisan kulit beserta jaringan subkutan yang terpisah dari permukaan luar dari kartilago lateral atas, dengan melalui kombinasi antara gerakan memperluas dan memotong.

15

DAFTAR PUSTAKA 1. Batniji RK, Perkins SW. Post traumatic nasal deformity and nasal fracture management.
uicentskimeeting org data papers 2 pdf.(diakses tanggal 27 juni 2013)

2. Perkins SW, Dayan SH. Management of nasal trauma. Aesthetic Plastic Surgery.2002 3. Naik SM, Naik SS. A study of external nasal splint used in nasal fractures and rhinoplasties. Clinical rhinology: An international journal. 2001; 4(1). 4. Sinha V, Chayya VA, Patel R, Barot DA, Modi N, Maniyar H, et al. Nasal bone fracture reduction.http://www.waent.org/archives/2010/Vol3-2/20100720-nose fracture/nasal_fracture.htm. (diakses tanggal 27 juni 2013) 5. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokterana; editor, Wijaya C; alih bahasa, Tambayong J. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC.1997,152-54. 6. Moore KL, Agur AM, Dalley AF. Essential clinical anatomy. 4th edition.2000. 690-93. 7. Smith O. Rhinoplasty. http://droakleysmithrhinoplasty.com/?page_id=1671&/nasal-

aesthetics/ (diakses tanggal 27 juni 2013) 8. Netter FH. Interactive atlas of human anatomy.1995. 9. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Hidung. Dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokkan kepala leher; editor, Soepardi EA, Iskandar N. Jakarta: Balai penerbit FKUI.2001.88-90. 10. Higler PA. Hidung: anatomi dan fisiologi terapan. Dalam : Boies buku ajar penyakit THT. Adams GL, Boies LR, Higler PA; editor, efendi H, alih bahasa, Wijaya C; Edisi 6. Jakarta: Penerbit buku edokteran EGC. 1997.180-81 11. Arden RL, Mathog RH. Nasal fracture. famona.tripod.com/ent/cummings/cumm042.pdf. (diakses tanggal 27 juni 2013) 12. Rubinstein B, Strong B. Management of nasal fracture. Arch Fam Med. 2000;9:738-42. 13. Thiagarajan B, Ulaganathan V. Fracture nasal bones. Otolaryngology online journal. 2013; 3. 14. Ondik MP, Lipinski L, Dezfoli S, Fedok FG. The treatment of nasal fracture: a changing paradigm. Arch Facial Plast Surg. 2009;11(5):296-302 15. Kelley BP, Downey CR, Stal S. Evaluation and reduction of nasal trauma.. Seminars in plastic surgery. 2010; 24(4). 339-46. 16. Kucik CJ, Clenney T, Phelan J. Management of acute nasal fracture. Am Fam Physician 2004;70:1315-20 16

17. Nasal fracture. https://www2.aofoundation.org. (diakses tanggal 27 juni 2013) 18. Treating a broken nose. http://www.primary-surgery.org/ps/vol2/html/sect0187.html.

(diakses tanggal 27 juni 2013.

17

Anda mungkin juga menyukai