Anda di halaman 1dari 41

BAB I PENDAHULUAN Sifilis adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Treponema pallidum.

Sifilis biasanya menular melalui hubungan seksual atau dari ibu kepada bayi, akan tetapi sifilis juga dapat menular tanpa hubungan seksual pada daerah yang mempunyai kebersihan lingkungan yang buruk. Treponema pallidum juga dapat menular melalui transfusi darah. Meskipun insidens sifilis kian menurun, penyakit ini tidak dapat diabaikan,karena merupakan penyakit berat. Hampir semua organ tubuh dapat diserang,termasuk sistem kardiovaskular dan saraf. Selain itu wanita hamil yang menderit asifilis dapat menularkan penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan sifiliskongenital yang dapat menyebabkan kelainan bawaan dan kematian. Istilah untuk penyakit ini yaitu raja singa sangat tepat karena keganasannya. 8 Pada tahun1494 terjadi epidemi di Napoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis dan gonore disebabkan oleh sanggama dan keduanya dianggap disebabkan oleh infeksi yang sama. Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar antara 0,04 -0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di Amerika Selatan. Di Indonesia insidensinya 0,61%. Di bagian kami penderita yang terbanyak ialah stadium laten, disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II. WHO memperkirakan bahwa terdapat 12 juta kasus baru pada tahun 1999, dimana lebih dari 90% terdapat di negara berkembang.1

BAB II PEMBAHASAN I. DEFINISI Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum ; sangat kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir seluruh alat tubuh, dapat mnyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. 1 II. EPIDEMIOLOGI Asal penyakit ini tak jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di Eropa. Ada yang menganggap penyakit ini berasal dari penduduk Indian yang dibawa oleh anak bush Columbus waktu mereka kembali ke Spanyol pada tahun 1492. Pada tahun 1494 terjadi epidemi di Napoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis dan gonore disebabkan oleh sanggama dan keduanya dianggap disebabkan oleh infeksi yang sama. Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar antara 0,04 -0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di Amerika Selatan. Di Indonesia insidensinya 0,61%. Di bagian kami penderita yang terbanyak ialah stadium laten, disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II. WHO memperkirakan bahwa terdapat 12 juta kasus baru pada tahun 1999, dimana lebih dari 90% terdapat di negara berkembang. 1 III. ETIOLOGI Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae, dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol.. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam. Pembiakan pada umumya tidak dapat dilakukan diluar badan. Diluar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat hidup tujuh puluh dua jam.1
2

Gambar 1 Treponema pallidum

IV.

KLASIFIKASI Sifilis dibagi menjadi: 1. Sifilis kongenital a. Dini : Sebelum 2 tahun b. Lanjut: Sesudah 2 tahun c. Stigmata 2. Sifilis Akuisita (didapat) Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara; a. Secara klinis dibagi menjadi tiga stadium: 1. Stadium I (SI) 2. Stadium II (SII) 3. Stadium III (SIII) b. Secara epidemiologi menurut WHO dibagi menjadi: 1. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi) : terdiri atas SI, SII, Stadium rekuren dan stadium laten dini. 2. Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), tediri atas stadium laten lanjut dan SIII.

c. Bentuk

lain

adalah

sifilis

kardiovaskular

dan

neurosifilis.

Ada

yang

memasukkanya kedalam S III atau S IV.1 V. PATOGENESIS Stadium dini T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui sanggama. Kuman tersebut membiak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel- sel plasma, terutama di perivaskular, pembuluhpembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan perivaskular di sekitarnya. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofik endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans). Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S1. Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian.1 Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi enam sampai delapan minggu sesudah S1. S1 akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. SII juga mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang. Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi dengan sifilis kongenital. Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga T.pallidum membiak lagi pada tempat S I dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren S II, yang terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat timbul berulang-ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi 2 tahun. 1

Stadium lanjut
4

Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita. Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat sekonyong-konyong berubah, sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat itu muncullah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T. pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat lain. Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan menjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan guma biasanya tidak mendapat gangguan saraf dan kardiovaskular, demikian pula sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium laten tidak memberi gejala.1 VI. GAMBARAN KLINIS A. Sifilis Akuisita 1. Sifilis Dini a. Sifilis primer (SI) Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal (disebut chancre), tetapi bisa juga terdapat tukak lebih dari satu. Tukak dapat terjadi dimana saja di daerah genitalia eksterna, 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 1-2 cm. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras. Bila tidak disertai infeksi bakteri lain, maka akan berbentuk khas dan hampir tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut dinamakan afek primer. Pada pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor. Selain itu juga dapat diekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus.1 Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal medial unilateral/bilateral.2 Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks primer. Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak, besamya biasanya
5

lentikular, tidak supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut.

Gambar 2. Ulkus durum 4 Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu. Istilah syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfuse darah atau suntikan. b. Sifilis sekunder (SII) Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan bulan .Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan, malese, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan artralgia. Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya kelainankulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustul. Jarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital. Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut the great imitator. 1
6

Selain memberi kelainan pada kulit, SII dapat juga memberi kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf. Gejala lainnyaa dalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam dan anemia.2

Gambar 3. Bercak-bercak eritema pada S II Bentuk Lesi Lesi dapat berupa roseola, papul, pustul, atau bentuk lain. a. Roseola Roseola ialah eritema makular, berbintik-bintik atau berbercak-bercak, warna merah tembaga, berbentuk bulat atau lonjong, diameter 0,5-2 cm (8). Roseola biasanya merupakan kelainan kulit yang pertama terlihat pada S II dan disebut roseola sifilitika. Karena efloresensi tersebut merupakan kelainan S II dini, maka seperti telah dijelaskan, lokalisasinya generalisata dan simetrik, telapak tangan dan kaki ikut dikenai. Disebut pula eksantema karena timbulnya cepat dan menyeluruh. Roseola akan menghilang dalam beberapa hari atau minggu, dapat pula bertahan hingga beberapa bulan. Kelainan tersebut dapat residif, jumlahnya menjadi lebih sedikit, lebih lama bertahan, dapat anular, dan bergerombol. Jika menghilang, umumnya tampak bekas, kadangkala dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi dan disebut leukoderma sifilitikum. Jika roseola terjadi pada kepala yang berambut, dapat menyebabkan rontoknya rambut. 1

Gambar 4. Roseola Sifilitika b. Papul Bentuk ini merupakan bentuk yang paling sering terlihat pada S II. Bentuknya bulat, adakalanya terdapat bersama dengan roseola. Papul tersebut dapat berskuama yang terdapat di pinggir (koleret) dan disebut papulo-skuamosa. Skuama dapat pula menutupi permukaan papul sehingga mirip psoriasis, oleh karea itu dinamakan psoriasiformis. Jika papul-papul tersebut menghilang dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi dan disebut leukoderma sifilitika, yang akan menghilang perlahan-lahan. Bila pada leher disebut leukoderma koli atau kolar of Venus. Selain papul yang lentikular dapat pula terbentuk papul yang likenoid, meskipun jarang dapat pula folikular dan ditembus rambut. Pada S II dini, papul generalisata dan simetrik, sedangkan pada yang lanjut bersifat setempat dan tersusun secara teratur, arsinar, sirsinar, polisiklik, dan korimbiformis. Jika pada dahi susunan yang arsinar/sirsinar tersebut dinamakan korona venerik karena menyerupai mahkota. Papul-papul tersebut juga dapat dilihat pada sudut mulut, ketiak, di bawah mamae, dan alat genital. Bentuk lain ialah kondilomata lata, terdiri atas papul-papul lentikular, permukaannya datar, sebagian berkonfluensi, terletak pada daerah lipatan kulit akibat gesekan antar kulit permukaan menjadi erosif, eksudatif, sangat menular. Tempat predileksinya di lipat paha, skrotum, vulva, perianal, di bawah mamae dan antar jari kaki. Kejadian yang jarang terlihat ialah pada tempat afek primer terbentuk lagi infiltrasi dan reindurasi sebabnya treponema masih tertinggal pada waktu S I menyembuh dan kemudian akan membiak dan dinamakan chancer redux.1
8

Gambar 5. Kondiloma lata c. Pustul Bentuk ini jarang terdapat. Mula-mula terbetuk banyak papul yang menjadi vesikel dan kemudian terbentuk pustul, sehingga di samping pustul masih pula terlihat papul. Timbulnya banyak pustul ini sering disertai demam yang intermitten dan penderita tampak sakit, lamanya dapat berminggu-minggu. Kelaianan kulit demikian disebut sifilis variseliformis karena menyerupai varisela.1 d. Bentuk lain Kelainan lain yang dapat terlihat pada S II ialah banyak papul, pustul, dan krusta yang berkonfluensi sehingga mirip impetigo, karena itu disebut sifilis impetiginosa. Dapat pula timbul berbagai ulkus yang tertutupi krusta yang disebut ektima sifilitikum. Bila krustanya tebal disebut rupia sifilitika. Disebut sifilis ostrasea jika ulkus meluas ke perifer sehingga berbentuk seperti kulit kerang. Sifilis yang berupa ulkus-ulkus yang terdapat di kulit dan mukosa disertai demam dan keadaan umum buruk disebut sifilis maligna yang dapat menyebabkan kematian.1

Gambar 6. S II pada wajah8

Gambar 7. S II pada mulut7

Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut dapat terjadi kerontokan setempat setempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut yang tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah seperti digigit ngengat dan disebut alopesia areolaris. Gejala dan tanda sifilis sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi bilatidak diobati, infeksi akan berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis stadium lanjut.

Gambar 8. Alopecia areolaris7 c. Sifilis laten dini Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk alat-alat dalam, tetapi infeksi masih ada dan aktif. Tes serologik darah postitif, sedangkan tes likuorserebrospinal negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA.1 Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler. Tes
10

serologik darah positif, sedangkan tes likuor serebrospinalis negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRLdan TPHA. Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali muncul. d. Stadium Rekuren 2. Sifilis lanjut Perbedaan karakteristik sifilis dini dan sifilis lanjut ialah sebagai berikut: 1. Pada sifilis dini bersifat infeksius, pada sifilis lanjut tidak, kecuali kemungkinan pada wanita hamil. 2. Pada sifilis dini hasil pemeriksaan lapangan gelap ditemukan T. pallidum, pada sifilis lanjut tidak ditemukan. 3. Pada sifilis dini infeksi ulang dapat terjadi walau telah diberi pengobatan yang cukup, sedangkan pada sifilis lanjut sangat jarang. 4. Pada sifilis dini tidak bersifat destruktif, sedangkan pda sifilis lanjut destruktif 5. Pada sifilis dini hasil tes serologis selalu reaktif dengan titer tinggi, setelah diberi pengobatan yang adekuat akan berubah menjadi non reaktif atau titer rendah, sedangkan pada sifilis lanjut umumnya reaktif, selalu dengan titer rendah dan sedikit atau hampir tidak ada perubahan setelah diberi pengobatan. Titer yang tinggi pada sifilis lanjut dijumpai pada gumma dan paresis. I. Sifilis laten lanjut Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan dapat seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat, apakah ada aorititis.1
11

II.

Sifilis tersier (S III) Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar telur ayam. Kulit diatasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut dan dapat digerakkan. Setelah beberapa bulan mulai melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen; pada beberapa kasus disertai jaringan nekrotik. Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat,dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar. Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga membentuk pinggiryang polisiklik. Jika telah menjadi ulkus,maka infiltrat yang terdapat di bawahnya yang semula sebagai benjolan menjadi datar. Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa bulan hingga beberapatahun. Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel, umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma multipel dan perlunakannya cepat,dapat disertai demam. Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula-mula di kutan kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan dan umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus tersebut dalam perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik. Perbedaannya dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan untuk bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata). Warnanya merah kecoklatan. Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terus secara serpiginosa. Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan disebut psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak membesar. Kelainan yang jarang ialah yang disebut nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen, biasanya pada sendi besar.
12

Gambar 9. Guma pada SIII7 S III pada mukosa Guma juga ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar. Yang setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti biasanya akan melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat merusak tulang rawan septum nasi atau palatum mole hingga terjadi perforasi. Pada lidah yang tersering ialah guma yang nyeri dengan fisur-fisur tidak teratur serta leukoplakia.1 S III pada tulang Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan humerus. Gejala nyeri, biasanya pada malam hari. Terdapat dua bentuk, yakni periostitis gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat didiagnosis dengan sinar-X.1

S III pada alat dalam Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang. Guma bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami retraksi, membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar lobatum.
13

Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma dapat menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat terjadi di dalam atau di luar bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan menyebabkan bronkiektasi. Guma dapat menyerang ginjal, vesika urinaria, dan prostat, meskipun jarang. S III pada ovarium jarang, pada testis kadang-kadang berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata dan unilateral. Kadang kadang memecah ke bagian anterior skrotum.1 Sifilis Kardiovaskuler Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-30 tahun. Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih banyak tiga kali daripada wanita.1 Biasanya disebabkan karena nekrosis aorta yang berlanjut ke arch katup. Tandatanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau aneurisma, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah dikenal. Secara teliti harus diperiksa kemungkinan adanya hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung rematik sebelumnya. Aneurisma aorta torakales merupakan tanda sifilis kardiovaskuler. Bila ada insufisiensi aorta tanpa kelainan katup pada seseorang yang setengah umur disertai pemeriksaan serologis darah reaktif, pada tahap pertama harus diduga sifilis kardiovaskuler, sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan serologis umumnya menunjukkan reaktif. Neurosifilis Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimtomatik dan sangat jarang terjadi dalam bentuk murni.1,2 Pada semua jenis neurosifilis terjadi perubahan berupa endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala pada saat pemeriksaan.2 Neurosifilis dibagi menjadi empat macam:
14

a. Neurosifilis asimtomatik b. Sifilis meningovaskular (sifilis serebrospinalis): meningitis,

meningomielitis, endarteritis sifilitika. c. Sifilis parenkim: tabes dorsalis dan demensia paralitika. d. Guma.

1. Neurosifilis asimtomatik Diagnosis berdasarkan kelainan pada likuor serebrospinalis. Kelainan tersebut belum cukup memberi gejala klinis.1 2. Sifilis Meningovaskular Terjadi inflamasi vaskular dan perivaskular. Pembuluh darah di otak da nmedula spinalis mengalami endarteritis proliferatif dan infiltrasi perivaskular berupa limfosit, sel plasma, dan fibroblas. Pembentukan jaringan fibrotik menyebabkan terjadinya fibrosis sehingga perdarahannya berkurang akibat mengecilnya lumen. Selain itu juga dapat terjadi trombosis akibat nekrosis jaringan karena terbentuknya guma kecil multipel.1 Bentuk ini terjadi beberapa bulan hingga lima tahun sejak S I. Gejalanya bermacammacam bergantung pada letak lesi. Gejala yang sering terdapat ialah: nyeri kepala, konvulsi fokal atau umum, papil nervus optikus sembab, gangguanmental, gejalagejala meningitis basalis dengan kelumpuhan saraf-saraf otak, atrofinervus optikus, gangguan hipotalamus, gangguan piramidal, gangguan miksidan defekasi, stupor, atau koma. Bentuk yang sering dijumpai ialah endarteritissifilitika dengan hemiparesis karena penyumbatan arteri otak.1 3. Sifilis Parenkim Termasuk golongan ini ialah tabes dorsalis dan demensia paralitika.1,3
15

Tabes dorsalis Timbulnya antara delapan sampai dua betas tahun setelah infeksi pertama.Kira-kira seperempat kasus neurosifilis berupa tabes dorsalis. Kerusakan terutama pada radiks posterior dan funikulus dorsalis daerah torako-lumbalis. Selain itu beberapa saraf otak dapat terkena, misalnya nervus optikus, nervus trigeminus, dan nervus oktavus. Gejala klinis di antaranya ialah gangguan sensibilitas berupa ataksia,arefleksia, gangguan virus, gangguan rasa nyeri pada kulit, dan jaringan dalam. Gejala lain ialah retensi dan inkontinensia urin. Gejala tersebut terjadi berangsur-angsur terutama akibat demielinisasi dan degenerasi funikulus dorsalis.1 Demensia Paralitika Penyakit ini biasanya timbul delapan sampai sepuluh tahun sejak infeksi primer, umumnya pada umur antara tiga puluh sampai lima puluh tahun. Sejumlah 10-15% dari seluruh kasus neurosifilis berupa demensia paralitika. Prosesnya ialah meningoensefalitis yang terutama mengenai otak, ganglia basal, dan daerah sekitar ventrikel ketiga. Lambat laun terjadi atrofi pada korteks dansubstansi albs sehingga korteks menipis dan terjadi hidrosefalus.1 Gejala klinis yang utama ialah demensia yang terjadi berangsur-angsur dan progresif. Mula-mula terjadi kemunduran intelektual, kemudian kehilangan dekorum, bersikap apatis, euforia, waham megaloman, dan dapat terjadi depresif atau maniakal.1 Gejala lain di antaranya ialah disartria, kejang-kejang umum atau fokal,muka topeng, dan tremor terutama otot-otot muka. Lambat laun terjadi kelemahan, ataksia, gejalagejala piramidal, inkontinensia urin, dan akhirnya meninggal.1 4. Guma Umumnya terdapat pada meninges, rupanya terjadi akibat perluasan pada tulang tengkorak. Jika membesar akan menyerang dan menekan parenkim otak. Guma dapat solitar atau multipel pada verteks atau dasar otak.1

16

Keluhannya nyeri kepala, mual, muntah, dan dapat terjadi konvulsi dangangguan visus. Gejalanya berupa udema papil akibat peninggian tekanan intrakranial, paralisis nervus kranial, atau hemiplegia.1

B. Sifilis Kongenital Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis dini sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. treponema masuk secara hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat masa kehamilan 10 minggu. Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I setelah infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai 90%. Jika ibu menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila sifilis lanjut 30 %. Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang kemudian menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi abortus pada bulan kelima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan, berikutnya janin dengan sifilis kongenital yang akan meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga bayi yang hidup dengan sifilis kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi yang sehat. Keadaan ini disebut hukum Kossowitz. 1 Pemeriksaan dengan mikroskop elektron tidak terlihat adanya atrofi lengkap. Hal yang demikian saat ini tidak dianut lagi sebab ternyata infeksi bayi dalam kandungan dapat terjadi pada saat 10 minggu masa kehamilan. Setiap infeksi sebelum 20 minggu kehamilan tidak akan merangsang mekanisme imunitas, sebab sistem imun bayi yang dikandung belum berkembang dan tidak tampak kelainan histologi reaksi bayi terhadap infeksi.4 Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis kongenital lanjut (tarda), dan stigmata. Batas antara dini dan lanjut ialah dua tahun. Yang dini bersifat menular, jadi menyerupai S 11, sedangkan yang lanjut berbentuk guma dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat penyembuhan kedua stadium tersebut.1
17

Sifilis kongenital dini Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T. pallidum. Bayi tampak sakit.Bentuk ini adakalanya disebut pemfigus sifilitika. Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa minggu dan mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papuloskuamosa yang simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada tempat yang lembab papul dapat mengalami erosi seperti kondilomata lata. Ragades merupakan kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dananus; bentuknya memancar (radiating). Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan sehingga kulit berkeriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan belakang kepala. Kuku dapat terlepas akibat papul di bawahnya; disebut onikia sifilitika. Jika tumbuh kuku yang bare akan kabur dan bentuknya berubah. Pada selaput lender mulut dan tenggorok dapat terlihat plaques muqueuses seperti pada S II. Kelainan semacam itu sering terdapat pada daerah mukoperiosteum dalam kavum nasi yang menyebabkan timbulnya rinitis dan disebut syphilitic snuffles. Kelainan tersebut disertai sekret yang mukopurulen atau seropurulen yang sangat menular dan menyebabkan sumbatan. Pernapasan dengan hidung sukar. Jika plaques muqueuses terdapat pada laring suara menjadi parau.Kelenjar getah bening dapat membesar, generalisata, tetapi tidak sejelas pada S 11. Hepar dan lien membesar akibat invasi T. pallidum sehingga terjadi fibrosis yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit ikterik (fungsi hepar terganggu). Ginjal dapat diserang, pada urin dapat terbentuk albumin, hialin, dan granular cast. Pada umumnya kelainan ginjal ringan. Pada paru kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut "pneumonia putih". Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu.Osteokondritis pada tulang panjang umumnya terjadi sebelum berumur enam bulandan memberi gambaran khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-X. Ujung tulang terasa nyeri dan bengkak sehingga tidak dapat digerakkan; seolah-olah terjadi paralisis dan disebut pseudo paralisis Parrot. Kadang-kadang terjadi komplikasi berupa terlepasnya epifisis, fraktur patologik,
18

dan artritis supurativa. Pada pemeriksaan dengan sinar-X terjadi gambaran yang khas. Tanda osteokondritis menghilang setelah dua belas bulan, tetapi periostitis menetap. Koroiditis dan uveitis jarang. Umumnya terdapat anemia berat sehingga rentan terhadap infeksi. Neurosifilis aktif terdapat kira-kira 10%. Akibat invasi T. pallidum Pada otak waktu intrauterin menyebabkan perkembangan otak terhenti. Bentuk neurosifilis meningovaskular yang lebih umum pada bayi muds menyebabkankonvulsi dan defisiensi mental. Gangguan nervus II terjadi sekunder akibatkorioditis atau akibat meningitis karena guma. Destruksi serabut traktus piramidalis akan menyebabkan hemiplegia/ diplegia. Demikian pula dapat terjadi meningitis sifilitika akuta.1 Sifilis kongenital lanjut Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun. Guma dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas ialah guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi akan terjadi perforasi, bila meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung mengalami kolaps dengan deformitas. Guma pada palatum mole dan durum juga sering terjadi sehingga menyebabkan perforasi pada palatum.1 Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai sepertiga tengah tulang

danmenyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Osteoperiostitis setempat pada tengkorak berupa tumor bulat yang disebut Parrot nodus, umumnya terjadi padadaerah frontal dan parietal.

Gambar 10. Sabbre Tibia7


19

Keratitis interstisial merupakan gejala yang paling umum, biasanya terjadi antara umur tiga sampai tiga puluh tahun, insidensnya 25% dari penderita dengan sifiliskongenital dan dapat menyebabkan kebutaan. Akibat diserangnya nervus VIII terjadi ketulian yang biasanya bilateral.

Gambar 11. Sifilis kongenital9 Pada kedua sendi lutut dapat terjadi pembengkakan yang nyeri disertai efusi dan disebut Glutton's joints. Kelainan tersebut terjadi biasanya antara umur sepuluh sampai dua puluh tahun, bersifat kronik. Efusi akan menghilang tanpa meninggalkan kerusakan. Neurosifilis berbentuk paralisis generalisata atau tabes dorsalis. Neurosifilis meningovaskular hemiplegia, jarang, atau dapat menyebabkan Paralisis palsi nervus

kranial,hemianopia,

monoplegia.

generalisata

juvenilia biasanya terjadi antara umur sepuluh sampai tujuh betas tahun. Taber juveniliaumumnya terjadi kemudian dan belum bermanifestasi hingga dewasa muds. Aortitis sangat jarang terjadi.1 Stigmata Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh serta meninggalkan parut dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian merupakan stigmata sifilis kongenital, akan tetapi hanya sebagian penderita yang menunjukkan gambaran tersebut. 1. Stigmata lesi dini.3

20

a. Facies : Gangguan pertumbuhan septum nasi, depresi jembatan hidung (saddle nose), maksila tumbuh abnormal lebih kecil dari mandibula (bulldog jaw) menunjukkan saddlenose. b. Gigi menunjukkan gigi hutchinson, pada gigi insisi permanen lebih kecil dari normal dengan bagian sisi konveks dan daerah untuk menggigit konkav. Moons molar atau mulbery molar yaitu permukaan gigi molar berbintil bintil.

Gambar 12 . Hutcinson teeth9

Gambar 13. Keratitis interstitial9

c. Ragadesd. Atrofi dan kelainan akibat peradangan

Gambar 14. Ragadesd9 d. Jaringan parut koroid Koroidoretinitis, membentuk daerah parut putih dikelilingi pigmentasi padaretina. e. Kuku : onikia akan merusak dasar kuku. 2. Stigmata dan lesi lanjut.3
21

a. Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels b. Lesi tulang: Osteoporosis gumatosa meninggalkan deformitas sebagai sabre tibia. Frontal bossing, saddle nose dan buldog jaw. c. Atrofi optikus d. Trias hutchinson: terdiri dari keratitis intertisialis, gigi hutchinson, tuli nervus VIII

Gambar 15. Guma Nasal VII. DIAGNOSIS 1. Pemeriksaan T. Pallidum Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari lesi kulit dan dilihat bentuk dan pergerakannya dengan microskop lapangan gelap. Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturutturut. Jika hasil pada hari I dan II negatif. Sementara itu lesi dikopres dengan larutan garam faal. Bila negatif bukan selalu berarti diagnosisnya bukan sifilis, mungkin kumannya terlalu sedikit. Treponema tampak berwarna putih pada latar belakang gelap. Pergerakannya memutar terhadap sumbunya, bergerak perlahan-lahan melintasi lapangan pada pandangan, jika tidak bergerak cepat seperti Borrelia vincentii penyebab stomatitis. Pemeriksaan lain dengan pewarna menurut Buri, tidak dapat dilihat pergerakannya karena treponema tersebut telah mati, jadi hanya tampak bentuknya saja. Sementar itu lesi dikompres dengan larutan garam faal setiap hari. Pemeriksaan yang tidak rutin ialah dengan
22

teknik fluoresen. T. pallidum tidak dapat dibedakan secara mikroskopik dan serologik dengan T. Penrtenue penyebab frambusia dan T. Carateum penyebab pinta.1 2. Tes Serologik Sifilis (T.S.S) T.S.S. atau Serologic Tests for Sypilis (S.T.S) merupakan pembantu diagnosis yang penting bagi sifilis. Sebagai ukuran untuk mengevaluasi tes serologi ialah sensitivitas dan spesifisitas. Sentivitas ialah kemampuan untuk bereaksi pada penyakit sifilis. Sedangkan spesifisitas berarti kemampuan nonreaktif pada penyakit bukan sifilis. Makin tinggi sensitivitas suatu tes, makin baik tes tersebut dipakai untuk tes screening. Tes dengan spesifisitas yang tinggi sangat baik untuk diagnosis. Makin spesifik suatu tes, makin sedikit memberi hasil semua positif.1,5 S I pada mulanya memberi hasil T.S.S. negatif (seronegatif), kemudian menjadi positif (seropositif) dengan titer rendah, jadi positif lemah. Pada S II yang masih dini reaksi menjadi positif agak kuat, yang akan menjadi sangat kuat pada S II lanjut. Pada S III reaksi menurut lagi menjadi positif lemah atau negatif.6 T.S.S. dibagi menjadi dua berdasarkan antigen yang dipakai, yaitu : 1. Nontreponema (tes reagin). Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiolipin yang dikombinasikan dengan lesitin dan kolestrol, karena itu tes ini dapat memberi Reaksi Biologik Semu (RBS) atau Biologic Fase Positive (BFP). Antibodinya disebut reagin, yangterbentuk setelah infeksi dengan T.pallidum, tetapi zat tersebut terdapat pula pada berbagai penyakit lain dan selama kehamilan. Reagin ini dapat bersatu dengan suspensi ekstrak lipid dari binatang atau tumbuhan, menggumpal membentuk masa yang dapat dilihat pada tes flokulasi. Massa tersebut juga dapat bersatu dengan komplemen yang merupakan dasar bagi tes ikatan komplemen. Contoh tes nontreponemal : Tes fiksasi komplemen : Wasserman (WR), Kolmer. Tes flokulasi : VDRL (Venereal Disease Research Laboratories), Kahn, RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test), dan RST (Reagin Screen Test).

23

Diantara tes-tes tersebut, yang dianjurkan ialah VDRL dan RPR secara kuantitatif, karena teknik lebih mudah dan lebih cepat dari pada tes fiksasi komplemen, lebih sensitif daripada tes Kolmer/Wasserman, dan baik untuk menilai terapi. Tes RPP dilakukan dengan antigen VDRL, kelebihan RPP ialah flokulasi dapat dilihat secara makroskopik, lebih sederhana, serta dapat dibaca setelah sepuluh menit sehingga dapat dipakai untuk screening. Kalau terapi berhasil, maka titer VDRL cepat menurun, dalam enam minggu titer akan menjadi normal. Tes ini dipakai secara rutin, termasuk untuk tes screening. Jika titer seperempat atau lebih tersangka penderita sifilis, mulai positif setelah dua sampai empat minggu sejak S I timbul. Titer akan meningkat hingga mencapai puncaknya pada S II lanjut (1/64) atau (1/128) kemudian berangsurangsur menurun dan menjadi negatif. Pada tes flokasi dapat terjadi reaksi negatif semu karena terlalu banyak reagin sehingga flokulasi tidak terjadi. Reaksi demikian disebut reaksi si prozon. Jika serum diencerkan dan tes lagi, hasilnya menjadi positif. 2. Treponemal Tes ini bersifat spesifik karena antigennnya ialah treponema atau ekstraknya dan dapat digolongkan menjadi empat kelompok : Tes Imobilisasi : TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test). Tes fiksasi komplemen : RPCF (Reiter Protein Complement Fixation Test). Tes Imunofluoresen : FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antbody Absorption Test), ada dua : lgM, lgG; FTA-Abs DS (Fluorescent Treponemal Antibody-Absorption Double Staining). o Tes hemoglutisasi : TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination Assay), 19S lgM SPHA (Solid-phase Hemabsorption Assay), HATTS (Hemagglutination Treponemal Test for Syphilis), MHA-TP (Microhemagglutination Assay for Antibodies to Treponema pallidum).
24

TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai kekurangan : biasanya mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak. Selain itu juga reaksinya lambat , baru positif pada akhir stadium primer, tidak dapt digunakan untuk menilai hasil pengobatan, hasil dapat negatif pada sifilis dini dan sangat lanjut. RPCF sering digunakan untuk tes screening karena biayanya murah; kadangkadang didapatkan reaksi positif semu. FTA-Abs paling sensitif (90%), terdapat dua macam yaitu untuk lgM dan lgG sudah positif pada waktu timbuk kelainan S I. lg M sangat reaktif pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer lgM cepat turun, sedangkan lgG lambat. lgM penting untuk mendiagnosis sifilis kongenital (lihat bab mengenai sifilis kongenital). TPHA merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena teknis dan pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan sensitif, menjadi reaktifnya cukup dini. Kekurangannya tidak dapat dipakai untuk menilai hasil terapi, karena tetap reaktif dalam waktu yang lama. Tes ini sudah dapat dilakukan di Indonesia. Sebaliknya dilakukan secara kuantitatif yakni dengan pengenceran antar 1/80 1/1024. lgS lgM SPHA merupakan tes yang reaktif baru. Sebagai antiserum ialah cincin spesifik U dan reagin TPHA. Secara teknis lebih mudah daripada FTA-Abs lgM. Maksud tes ini ialah untuk mendeteksi secara cepat lgM yang spesifik terhadap T. Pallidum dan memegang peranan penting untuk membantu diagnosis neurosifilis. Jika titernya melebihi 2560, artinya menyongkong diagnosis aktif. Menurut Notowics (1981) urutan sensitivitas untuk S I sebagai berikut: FTAAbs, RPR, RPCF, VDRL, Kolmer, TPI. Pada sifilis laten ialah : FTA-Abs, RPCF, RPR, VDRL, Kolmer. ONeil membandingkan tes FTA-Abs lgG/lgM, TPHA, dan VDRL. Yang cepat bereaksi ialah FTA-Abs, yakni satu minggu setelah afek primer. Disusul oleh FTA-Abs lgG, kemudian TPHA bersama-sama VDRL. Pada pengobatan yang paling cepat menurun berturt-turut ialah VDRL, FTA-Abs lgM, FTA-Abs lgG, sedangkan titer TPHA masih tetap tinggi. Menurut Platts (1974), WR lebih lambat bereaksi dibandingkan VDRL/RPCF, sedangkan TPI lebih lambat daripada WR.

25

Pada tabel 58-1 dicantumkan enam pola serologik dan interprestasinya yang dikemukakan oleh ONeil. Sensitivitas MHA-TP hampir sama dengan FTA-Abs pada S II, laten dan stadium lanjut, tetapi pada S I FTA-Abs lebih sensitif. Pada sifilis laten dan S III, tes nontreponemal bervariasi : positif lemah atau negatif, sedangkan tes treponemal positif lemah. Tes rutin yang dianjurkan ialah RPP/VDRL dan TPHA, dipakai sebagai pemeriksaan pembantu dan screening. Jika perlu baru FTA-Abs; sayang tes ini umumnya belum dapat dilakukan di Indonesia. Bila hasil tes serologik tidak sesuai dengan klinis, tes tersebut peru diulangi, karena mungkin terjadi kesalahan teknis. Kalau perlu di laboratorium lain. Demikian pula jika hasil tes yang satu dengan yang lain tidak sesuai, misalnya titer VDRL rendah (1/4), sedangkan titer TPHA tinggi (1/1024) Pemeriksaan mikroskopis lapangan gelap terhadap lesi kulit, merupakan pemeriksaan yang paling spesifik untuk diagnosis sifilis. Kuman spirochaeta hidup berbentuk khas seperti sekrup, dapat terlihat pada pemeriksaan slide eksudat secara mikroskopis. Uji absorpsi antibodi treponema menggunakan fluoresensi akan mendeteksi antigen T.pallidum yang terdapat pada jaringan, cairan mata, LCS, sekret trakeobronkial dan eksudat pada lesi. Pemeriksaan ini sangat sensitif untuk mendeteksi sifilis pada berbagai tahap. Sekali reaktif, ia akan tetap reaktif. Prosedur lain adalah uji serologis berupa uji VDRL (Venereal Disease Research Laboratory) dan RPR (Rapid Plasma Reagin), untuk mendeteksi antibodi nonspesifik. Keduanya reaktif pada minggu 1-2 setelah munculnya lesi primer atau 4-5 minggu setelah dimulainya infeksi. Pada neurosifilis, pemeriksaan LCS menunjukkan kadar protein di atas 40 mg/dL, VDRL reaktif, dan hitung sel lebih dari 5 sel mononuklear/ uL. Pemeriksaan LCS Diagnosis neurosifilis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan LCS dengan hitung leukosit > 20 sel/ L, dan/atau VDRL LCS reaktif, dan/atau indeks antibodi T. pallidum LCS intratekal positif. Terdapat kelainan LCS berupa peningkatan kadar
26

protein dan pleiositosis pada 70% pasien, disertai hasil VDRL terhadap LCS yang reaktif. Pemeriksaan LCS dianjurkan bagi semua pasien sifilis yang tidak diobati, karena ketidaktahuan atau pada yang lebih dari 1 tahun tanpa diobati. Pemberian penisilin G pada tahap awal sifilis tidak mencapai kadar treponemasidal di LCS, sehingga para ahli menganjurkan agar penderita sifilis sekunder dan laten awal melakukan pungsi lumbal, dan terus memfollow-up penderita yang hasilnya abnormal. Pungsi lumbal diperlukan untuk mengevaluasi sifilis laten yang telah berlangsung lebih dari 1 tahun, pada kecurigaan neurosifilis, dan komplikasi lanjut selain neurosifilis simtomatik (sifilis asimtomatik dapat timbul bersama komplikasi lainnya). Titer RPR serum 1:32 merupakan batas perlu tidaknya dilakukan pungsi lumbal. Untuk menilai keberhasilan terapi, dapat dilakukan pengawasan berkala terhadap hasil pemeriksaan LCS, misalnya pleiositosis pada LCS. Meski demikian, pungsi lumbal harus dilakukan dengan hati-hati jika pada pemeriksaan neuroimaging ditemukan adanya gumma (berupa space- occupying lesion) karena dapat terjadi hernia sefalokaudal. Kriteria diagnosis standar untuk sifilis, adalah ditemukannya spirochaeta pada lesi primer dan sekunder menggunakan pemeriksaan lapangan gelap. Namun diagnosis neurosifilis ditegakkan berdasarkan klinis, yaitu manifestasi neurologis, temuan LCS dan bukti paparan pada uji serologis. Pada kasus perinatologi, jika terjadi peningkatan beta2-mikroglobulin pada LCS, maka diduga ada keterlibatan SSP pada kasus sifilis kongenital. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk memonitor respon terhadap terapi. Pemeriksaan serologis Infeksi sifilis akan merangsang timbulnya 2 jenis antibodi, yaitu antibodi nonspesifik reaginik (cardiolipin) dan antibodi spesifik treponema. Cardiolipin dapat positif pada infeksi yang disebabkan oleh semua infeksi treponema, termasuk treponema nonsifilis. Pemeriksaan VDRL dan RPR termasuk pemeriksaan nontreponemal, sementara yang termasuk pemeriksaan treponema adalah FTA-ABS dan microhemag-glutination assay-T pallidum (MHA-TP).
27

FTA-ABS dan MHA-TP bersifat sangat reaktif (sensitif dan spesifik) dan mengonfirmasi diagnosis sifilis sekunder, laten, tersier, dan kuarterner. Hasil ini tetap positif, meski telah terjadi kesembuhan atau serokonversi. Hasil positif palsu dapat terjadi pada Lyme disease. Pada pemeriksaan nontreponema, RPR lebih sering digunakan dibanding VDRL. Keduanya memiliki sensitivitas yang sama, dan dapat digunakan dalam tes penyaringan serta follow-up serial. Pada sifilis tersier, hasil pemeriksaan VDRL akan tetap positif. Respon terhadap terapi dapat dinilai berdasarkan penurunan titer antibodi. Jika titer malah meningkat, kemungkinan ada reinfeksi atau terapi yang inadekuat. Titer VDRL tidak berhubungan langsung dengan titer RPR. Oleh karena itu, jenis pemeriksaan yang digunakan untuk menilai harus selalu sama. Hindari kontaminasi darah selama pungsi lumbal, untuk mencegah hasil positif palsu pada pemeriksaan serologis LCS, termasuk untuk FTA-ABS. Untuk follow-up, CDC AS menganjur- kan bahwa pasien yang menjalani terapi sifilis primer atau sekunder harus dianggap mengalami kegagalan pengobatan, jika titer RPRnya tidak menurun dengan 2 atau lebih pengenceran dalam waktu 3 bulan setelah terapi. Sejumlah ahli menganjurkan pungsi lumbal 6 bulan setelah terapi pada penderita sifilis dengan infeksi HIV, guna mengevaluasi respon terapi, bersama dengan evaluasi klinik dan pemeriksaan serologis berkala. Pemeriksaan VDRL pada LCS perlu waktu bertahun-tahun untuk kembali normal. Untuk itu, respon terapi sebaiknya dilihat melalui pleiositosis pada LCS. Pasien dianggap tidak memiliki kecenderungan neurosifilis, jika pemerik- saan LCS normal dua tahun setelah terapi. VIII. DIAGNOSIS BANDING SI Dasar diagnosis S I sebagai berikut. Pada anamnesis dapat diketahui masa inkubasi; gejala konstitusi tidak terdapat, demikian pula gejala setempat yaitu tidak ada rasa nyeri. Pada afek primer yang penting ialah terdapat erosi/ulkus yang bersih,solitar, bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi: T. pallidum positif. Kelainandapat nyeri
28

jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional dapat membesar, indolen,tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa supurasi. Tes serologik setelah beberapa minggu bereaksi positif lemah. Sebagai diagnosis banding dapat dikemukakan berbagai penyakit.1 1. Herpes simpleks Penyakit ini residif dapat disertai rasa gatal/ nyeri, lesi berupa vesikel di alaskulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah tampak kelompok erosi, sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat indurasi. 2. Ulkus piogenik Akibat trauma misalnya garukan dapat terjadi infeksi piogenik. Ulkus tampak kotor karena mengandung pus, nyeri, tanpa indurasi. Jika terdapat limfadeniti sregional disertai tanda-tanda radang akut dapat terjadi supurasi yang serentak, dan terdapat leukositosis pada pemeriksaan darah tepi. 3. Skabies Pada skabies lesi berbentuk beberapa papul atau vesikel di genitalia eksterna,terasa gatal pada malam hari. Kelainan yang sama terdapat pula pada tempat predileksi, misalnya lipat jari Langan, perianal. Orang-orang yang serumah juga akanmenderita penyakit yang sama. 4. Balanitis Pada balanitis, kelainan berupa erosi superficial pada glans penis disertaieritema, tanpa indurasi. Faktor predisposisi: diabetes melitus dan yang tidak disirkumsisi. 5. Limfogranuloma venereum (L.G.V.)Afek primer pada L.G.V. tidak khas, dapat berupa papul, vesikel, pustul,ulkus, dan biasanya cepat hilang. Yang khas ialah limfadenitis regional, disertaitanda-tanda radang akut, supurasi tidak serentak, terdapat periadenitis. L.G.V. disertaigejala konstitusi: demam, malese, dan artralgia. 6. Karsinoma sel skuamosa
29

Umumnya terjadi pada orang usia lanjut yang tidak disirkumsisi. Kelainankulit berupa benjolan-benjolan, terdapat indurasi, mudah berdarah. Untuk diagnosis, perlu biopsi. 7. Penyakit Behcet Ulkus superficial, multipel, biasanya pada skrotum/labia. Terdapat pula ulserasi pada mulut dan lesi pada mata.

8. Ulkus mole Penyakit ini kini langka. Ulkus lebih dari sate, disertai tanda-tanda radangakut, terdapat serentak. S II Dasar diagnosis S II sebagai berikut. S II timbul enam sampai delapan minggu sesudah S I. Seperti telah dijelaskan, S II ini dapat menyerupai berbagai penyakitkulit. Untuk membedakannya dengan penyakit lain ads beberapa pegangan. Padaanamnesis hendaknya ditanyakan, apakah pernah menderita luka di alai genital (S I)yang tidak nyeri. Klinis yang penting umumnya berupa kelainan tidak gatal. Pada S II dinikelainan generalisata, hampir simetrik, telapak tangan/kaki juga dikenai. Pada S IIlambat terdapat kelainan setempat-setempat, berkelompok, dapat tersusun menurut susunan tertentu, misalnya: arsinar, polisiklik, korimbiformis. Biasanya terdapat limfadenitis generalisata. Tes serologik positif kuat pada S II dini, lebih kuat lagi pada S II lanjut. Seperti telah diterangkan, sifilis dapat menyerupai berbagai penyakit karenaitu diagnosis bandingnya sangat banyak, tetapi hanya sebagian yang akan diuraikan. 1. Erupsi obat alergik pus, dindingnya bergaung. Haemophilus Ducreyi positif. Jika terjadilimfadenitis regional juga disertai tanda-tanda radang akut, terjadi supurasi

30

Pada anamnesis dapat diketahui timbulnya alergi karena obat yang dapatdisertai demam. Kelainan kulit bermacam-macam, di antaranya berbentuk eritema sehingga mirip roseala pada S II. Keluhannya gatal, sedangkan pada sifilis biasanya tidak gatal. 2. Morbili Kelainan kulit berupa eritema seperti pada S II. Perbedannya: pada morbilidisertai gejala konstitusi (tampak sakit, demam), kelenjar getah bening tidak membesar. 3. Pitiriasis roses Terdiri atas banyak bercak eritematosa terutama di pinggir dengan skuamahalus, berbentuk lonjong, lentikular, susunannya sejajar dengan lipatan kulit. Penyakitini tidak disertai limfadenitis generalisata seperti pada S II. 4. Psoriasis Persamaannya dengan S II : terdapat eritema dan skuama. Pada psoriasis tidak didapati limfadenitis generalisata; skuama berlapis-lapis serta terdapat tanda tetesan lilin dan Auspitz. 5. Dermatitis seboroika Persamaannya dengan S II ialah terdapatnya eritema dan skuama.Perbedaannya pada dermatitis seboroik; tempat predileksinya pada tempat seboroik,skuama berminyak dan kekuning-kuningan, tidak disertai limfadenitis generalisata. 6. Kondiloma akuminatum Penyakit ini mirip kondiloma lata, kedua-duanya berbentuk papul.Perbedaannya: pada kondiloma akuminata biasanya permukaannya runcing-runcing,sedangkan papul pada kondiloma lata permukaannya datar serta eksudatif. 7. Alopesia areata

31

Kebotakan setempat; penyakit ini mirip alopesia areolaris pada S II. Perbedaannya: pada alopesia areata lebih besar (numular) dan hanya beberapa,sedangkan alopesia areolaris lebih kecil (lentikular) dan banyak serta seperti digigit ngengat. S III Kelainan kulit yang utama pada S III ialah guma. Guma juga terdapat pada penyakit lain: tuberkulosis, frambusia, dan mikosis profunda. Tes serologik pada S IIIdapat negatif atau positif lemah, karena itu yang penting ialah anamnesis, apakah penderita tersangka menderita S I atau S II dan pemeriksaan histopatologik. Mikosis dalam yang dapat menyerupai S III ialah sporotrikosis dan aktinomikosis. Perbedaannya: pada sporotrikosis berbentuk nodus yang terletak sesuai dengan perjalanan pembuluh getah bening, dan pada pembiakan akan ditemukan jamur penyebabnya. Aktinomikosis sangat jarang di Indonesia. Penyakit ini jugaterdiri atas infiltrat yang melunak seperti guma S III. Lokalisasinya khas yakni dileher, dada, dan abdomen. Kelainan kulitnya berbeda, yakni terdapat fistel multipel; pada pusnya tampak butir-butir kekuningan yang disebut sulfur granules. Pada biakan akan tumbuh Actinomyces. Tuberkulosis kutis gumosa mirip guma S III. Cara membedakannya dengan pemeriksaan histopatologik. Demikian pula frambusia stadium lanjut. Guma S III bersifat kronis dan destruktif, karena itu kelainan tersebut mirip keganasan. Cara membedakannya dengan pemeriksaan histopatologik. IX. PENATALAKSANAAN Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, danselama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedinimungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi bermaksud mencegah proses lebih lanjut.1,3,5 Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain.

PENISILIN
32

Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat menembus placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat menyembuhkan janin yangterinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis. Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang dari0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam serum selamasepuluh sampai empat betas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh sate hariuntuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak. Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin: a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam, jadi bersifat kerja singkat. b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang. c. Penisilin G benzatin, dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam serum dua sampai tiga minggu, bersifat kerja lama. Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral

tidak dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan suntikan. Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-masing; yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga biasanya setiap minggu. Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, maka kadar obat dalam serum dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu disuntik setiap hari seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua. Obat ini mempunyai kekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis karena sukar masuk ke dalam darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua. Karena penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan, ada yang tidak menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian pula PAM memberi rasa nyeri
33

pada tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses jika suntikan kurangdalam; obat ini kini jarang digunakan.1 Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu. Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua 18-24 jutaunit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.2Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua100.000150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg B.B., i.m.,setiap hari selama 10 hari. Reaksi Jarish-Herxheimer Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer. Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T. Pallidum yang coati. Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi setelah enam sampai dua belas jam pada suntikan penisilin yang pertama.1 Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi, nyeri kepala ,artralgia, malese, berkeringat, dan kemerahan pada muka.3 Gejala lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh sampai dua belas jam tanpa merugikan penderita pada S I.1 Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema glotis pada penderita dengan guma di laring, penyempitan arteria koronaria pada muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu juga dapat terjadi ruptur aneurisma atau ruptur dinding aorta yang telah menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang berlebihan akibat penyembuhan yang cepat.1 Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid, contohnya dengan prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan sebagai pencegahan,
34

misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dan diberikandua sampai tiga hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian.1 Tabel 1. Ikhtisar Penatalaksanaan Sifilis Sifilis Sifilis primer Pengobatan Pemantauan Serologik

1. Penisilin G benzatin Pada bulan I, III, VI, dan dosis 4,8 juta unit XII dan setiap enam bulan secara IM 2,4 juta) dan pada tahun ke dua diberikan satu kali seminggu unit. 2. Penisilin G prokain

dalam akua dosis total 6 juta, diberi 0,6 juta unit/hari hari 3. PAM (penisilin prokain +2% aluminium monostrerat) dosis 4,8 juta unit, diberikan 1,2 juta unit/kali 2 kali seminggu selama 10

Sifilis sekunder Sifilis laten

Sama seperti sifilis primer 1.Penisilin G benzatin

dosis total 7,2 juta unit 2.Penisilin G prokain

dalam akua, dosis total 12


35

juta unit (0,6 juta unit/hari) 3. PAM dosis total 7,2juta unit (1,2 juta unit/kali, 2 kali seminggu) Sifilis S III 1.Penisilin G benzatin

dosis total 9,6 juta unit 2.Penisilin G prokain

dalam akua, dosis total 18 juta unit (0,6 juta unit/hari) 3. PAM dosis total 9,6 juta unit (1,2 juta unit/kali, 2 kali seminggu)

ANTIBIOTIK LAIN Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan

sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin. Bagi yang alergi terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atauaeritromisin 4 x 500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama pengobatan 15 hari bagi S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil, efektivitasnya meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik daripada tetrasiklin, yakni 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%. Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin yangdiberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan perbaikan. Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500 mgsehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m. atau i.v.selama 15 hari.

36

Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama dinegara yang sedang berkembang untuk menggantikan penisilin. Dosisnya 500 mg sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari. TINDAK LANJUT Evaluasi T.S.S. (V.D.R.L) dibagian kami sebagai berikut: 1 bulan sesudh pengobatan selesai T. S. S diulang: a. Titer : tidk diberikan pengobatan lagi. b. Titer : pengobatan ulang c. Titer menetap : tunggu 1 bulan lagi 1 bulan sesudah c: a. Titer : tidak diberikan pengobatan b. Titer atau tetap : pengobatan ulang Kriteria sembuh, jika lesi telah menghilang, kelenjar getah bening tidak teraba lagi dan V.D.R.L negatif. Pada sifillis dini yang diobati T.S.S (VDRL/RPR) akan menjadi negative dalam 3-6 bulan. Pada 16% kasus tetap positif dengan titer rendah selama setahun atau lebih, tetapi akan menjadi neatif setelah 2 tahun. Tindak lanjut dilakukan sesudah 3,6 dan 12 bulan sejak selesai pengobatan. Setelah setahun diperiksa liquor serebrispinal. Kasus yang mengalami kambuh serologic atau klinis diberikan terapi ulang dengan dosis dua kali lebih banyak. Terapi ulang juga untuk kasus seroresisten yang tidak terjadi penurunan titer serologic setelah 6-12 bulan setelah terapi. Pada sifilis laten tindak lanjut dilakukan selama 2 tahun. Penderita sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis selama bertahun-tahun. yang telah diobti hendaknya ditindaklanjuti

37

X.

PROGNOSIS Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis sifilis menjadi lebih baik. Untuk menentukan penyembuhan mikrobiologik, yang berarti bahwa semua T.pallidum di badan terbunuh tidaklah mungkin. Penyembuhan berarti sembuh klinis seumur hidup, tidak menular keorang lain, T.S.S pada darah dan likuor serebrospinalis selalu negative. Jika sifilis tidak diobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh, 5% akan mendapat S III, 10% mengalami sifilis kardiovaskular, neurosifilis pada pria 9% dan pada wanita 5%, 23%akan meninggal. Pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam 7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah bening akan menetap berminggu-minggu. Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I dan S II. Kambuh klinis umumnya terjadi 30 setahun sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut, tenggorok, dan region perianal. Disamping itu dikenal pula kambuh serologic, yang berarti T.S.S yang negative menjadi positif atau yang telah positif menjadi makin positif. Rupanya kambuh serologic ini mendahului kambuh klinis. Kambuh klinis pada wanita juga dapat bermanifestasi pada bayi berupa sifilis kongenital. Pada sifilis laten lanjut prognosisnya baik, prognosis pada sifilis gumatosa bergantung pada alat yang dikenai dan banyaknya kerusakan. Dengan melihat hasil T.S.S pada sifilis lanjut sukar ditentukan prognosisnya. T.S.S yang tetap positif lebih daripada 80% meskipun telah mendapat terapi yang adekuat. Umumnya titer akan menurun jika meningkat menunjukkan kambuh dan memerlukan terapi ulang. Pada sifilis kardiovaskular prognosisnya suka ditentukan. Pada aortitis tanpa komplikasi prognosisnya baik. Pada payah jantung prognosisnya buruk. Aneurisma merupakan komplikasi berat karena dapat mengalami rupture. Meskipun demikian sebagian penderita dapat hidup sampai 10 tahun atau lebih. Prognosis pada wanita lebih baik daripada pria. Pada kelainan arteria koronaria, prognosisnya bergantung pada derajat penyempitan yang Pada setiap stadium sifilis berhubungan dengan kerusakan miokardium. koronaria,

kardiovaskular penderita dapat meninggal secara mendadak akibat oklusi muara arteri rupture aneurisma, atau kerusakan katup. Prognosis neurosifilis neurosifilis dini baik, angka penyembuhan dapat
38

bergantung pada tempat dan derajat kerusakan. Sel saraf yang rusak bersifat irreversible. Prognosis

mencapai100%, neurosifilis asimptomatik pada stadium lanjut prognosisnya juga baik, kurang dari 1%memerlukan terapi ulang. Pada kasus sifilis meningitis, penyembuhan lebih dari 50%. Pada demensia paralitika ringan 50% menunjukkan perbaikan. Pada tabes dorsalis hanya sebagian gejala akan menghilang, sedangkan yang lain menetap. Prognosis sifilis congenital dini baik. Pada yang lanjut prognosisnya bergantung pada kerusakan yang telah ada. Stigmata akan menetap, misalnya keratitis interstitialis, ketulian nervus VIII, dan Clutton`s joint . Meskipun telah diobati, tetapi pada 70% kasus ternyata tes reagen tetap positif.1

BAB III KESIMPULAN Sifilis ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema Pallidum yang termasuk ordo Spriochaetaeas, famili Treponematoceae, yang sangat kronik dan bersifat
39

sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampr smua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. Asal penyakit ini tidk jelas. Sebelum tahun 1942 dikenal di Eropa. WHO memperkirakan bahwa terdapat 12 juta kasus baru pada tahun 1999, dimana lebih dari 90% terdapat di negara berkembang. Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat). Patogenesis penularan terjadi melalui kontak langsung dengan lesi yang mengandung treponema. Gambaran klinis ditandai oleh tukak tunggal (chancre), lesi dapat berbentuk roseola, papul, pustul, atau bentuk lain. Diagnosis berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis, sebagai penunjang diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan T. Pallidum, test serologik sifilis (T.S.S.) dan pemeriksaan liquor serebospinalis. Sebagai diagnosis banding dapat dikemukakan berbagai penyakit seperti : herpes simpleks, ulkus piogenik, skabies, balanitis, limfogranuloma venerum (LGV), karsinoma sel skuamosa, penyakit benchet, ulkus mole, erupsi obat alergik, morbili, ptiriasis rosea, psoriasis, dermatitis seboroika, kondiloma akuminatum, alopesia areata. Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, danselama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedinimungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi bermaksud mencegah proses lebih lanjut. Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain. Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis jadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA 1. Natahusada, EC, Djuanda A. Sifilis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. h:393-413.3. 2. Dugdale DC, Vyas JM, Zieve D.Syphilis available at http//www.medlineplus.com.
40

3. Hutapea, NO. Sifilis. Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular Seksual, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,2009. h:84-102. 4. Rook Arthur, Wilkinson DS, Edling FJG, 1982, Textbook of Dermatology. 5. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3402/1/08E00859.pdf 6. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26065/4/Chapter%20II.pdf 7. http://ibmi.mf.uni-lj.si/mmd/derma/eng/sz-00/sldr00291.html 8. http://id.wikipedia.org/wiki/Sifilis 9. http://dro.hs.columbia.edu/ik.htm

41

Anda mungkin juga menyukai