Anda di halaman 1dari 121

Anak Manusia Korban Politik

Muhammad Dafiq Saib, St. Lembang Alam

(1) Kawan Lama Wednesday, 03 September 2008

Marwan. Nama itu akhirnya muncul dari balik otak kecilku. Sudah berbulan-bulan aku mencoba mengingatnya. Nama pria di toko buku di komplek pertokoan Pasar Senen. Secara tidak sengaja aku bersirobok pandang dengannya kira-kira tiga bulan yang lalu. Alam bawah sadarku mengatakan bahwa aku kenal dengan orang ini. Dia duduk di belakang meja kasir ketika itu. Ketika aku membayar harga beberapa buah buku yang aku beli, dia mengembalikan uang kembalian tanpa berbicara banyak selain ucapan pendek terima kasih. Karena di belakangku ada antrian pembeli yang juga akan membayar belanjaan mereka. Aku memutar otak mengingatingat sepanjang perjalanan pulang. Ah, aku yakin aku kenal orang itu. Tapi siapa? Sampai malam hari aku mencoba mencari di antara ratusan bahkan ribuan memori dalam otakku. Tetap tak ketemu. Hampir dua bulan kemudian aku mampir lagi ke toko itu. Dia masih disitu, duduk di bangku kasir. Aku sudah membulatkan tekad ingin bertanya kepadanya di saat membayar nanti. Tapi tidak jadi. Karena pembeli yang membayar di depanku, yang rupanya kenalannya, berbicara dalam bahasa Jawa kepadanya. Dan dia berbicara dalam bahasa Jawa yang cukup medok melayani pembeli di depanku itu. Ah, aku tidak kenal orang Jawa yang bertampang seperti dia. Jadi aku tidak jadi bertanya dan berusaha melupakannya. Berarti dia mirip dengan seseorang yang pernah aku kenal. Meski siapa orang yang mirip dia itu tetap tidak muncul di otakku. Aku berusaha melupakannya. Sebulan kemudian aku kembali lagi berbelanja buku di toko itu. Kali ini berdua dengan istriku. Kami memilih buku-buku agama sesuai selera dan kebutuhan kami di toko yang luas itu. Agak sepi ketika kami mendekat ke meja kasir untuk membayar buku-buku belanjaan kami. Dari jauh dia tersenyum memandangku. Aku yakin dia mulai mengenalku sesudah aku beberapa kali mampir berbelanja di toko ini. Ketika kami telah berhadap-hadapan dia menyapaku ramah dan aku benar-benar kaget. Ternyata kau tetap kutu buku Safri, ujarnya. Aku melotot memandangnya. Dia mengenalku. Berarti orang ini memang seseorang yang aku kenal. Tapi belum juga keluar namanya dari dalam otakku. Siapa gerangan dia? Pelupa benar kamu. Tidak ingat lagi kamu denganku. Bagaimana kabar si Rosmiar? tanyanya tersenyum. Kau....kau.... si Marwan? spontan nama itu keluar akhirnya, begitu dia menyebut si Rosmiar. Kami bersalaman. Jadi kau si Marwan? Masya Allah.... Pecah kepalaku mengingat-ingat namamu sejak berbulan yang lalu. Sejak pertama kali melihatmu disini, aku yakin bahwa aku mengenalmu. Tapi siapa
2

dan entah dimana kita pernah bertemu lupa aku. Hilang sama sekali dari ingatanku, aku lega setelah kepenasarananku baru saja lepas sumbatnya. Mungkin karena janggutku ini. Tentu ini orang rumahmu ya ? Kami ini dulu sekelas, ibu. Di SMP di Bukit Tinggi, tahun 66, 42 tahun yang lalu, Marwan menyalami dan menyapa istriku. Jadi kau mengenalku sejak aku pertama kali masuk ke toko ini ? tanyaku penasaran. Ya, sejak pertama kali kau datang berbelanja dan membayar har ga bukumu disini. Seingatku itu sekitar tiga bulan yang lalu, jawabnya. Kenapa kau diam saja ketika itu ? He..he..he.., akupun mula-mula ragu-ragu. Tapi ketika kau datang lagi dan aku melihat goretan luka kecil di pelipismu ini, aku sudah yakin kau si Safri. Ketika itu aku ingin menyapamu, tapi kelihatannya kau terburu-buru. Goretan luka kecil di pelipisku yang dia maksud memang sangat istimewa. Karena itu terjadi ketika kami berkelahi suatu hari ketika itu. Tinjunya yang memakai cincin besi mampir di pelipisku dan meninggalkan luka. Aku mengamuk sesudah itu dan menyerangnya membabi buta dan dia akhirnya mengaku kalah. Sudah lama kau disini? Ini tokomu? tanyaku. Ya, ini tokoku. Sudah dua puluh tahun lebih, jawabnya. Alhamdulillah. Cukup maju kelihatannya. Ya, seperti yang kau lihat. Begini adanya, jawabnya. Dimana kau tinggal? Sudah berapa orang anak? tanyaku dengan pertanyaan klise. Aku tinggal di Pondok Kopi. Anak bertiga, masih kecil-kecil. Ada yang masih di kelas satu SD. Kau sendiri? Orang mana ibu ini? Berapa orang pula anak? dia balas bertanya. Kami tinggal di Pondok Kelapa. Tidak terlalu jauh rupanya tempat tinggal kita. Dia ini orang Solok. Anak kami berempat. Yang sulung sudah tamat dari kedokteran UI dan yang paling kecil kelas tiga SMA, jawabku. Berapa tahun sejak kita tamat di SMP? 42 tahun ya? Huh, cepatnya waktu berlalu. Sekarang kita sudah menjelang tua. Ya, bagaimana kabar si Rosmiar? Masih adakah kau berjumpa dengannya? ujarnya.

Si Rosmiar pomlemu dulu itu? Tidak pernah aku dengar beritanya. Entah dimana dia sekarang. Kok bukannya kamu yang lebih tahu dimana keberadaannya ? He..he..he.. Dia bukan pomleku. Aku memang tertarik dengannya ketika itu. Ah, kemana melanturnya cerita kita ini. Maaf, ibu, Marwan menoleh kepada istriku. Panggil saja saya Desi, jawab istriku. Teruskanlah bernostalgia. Sesudah sekian lama berpisah tentu memang banyak cerita lama yang terlupakan dan sekarang muncul kembali, istriku menjawab bijak. Kami dulu sekelas. Sama-sama main voli, sama-sama ikut pramuka, pergi jambore ke Sawah Lunto. Pernah berkelahi, bertinju. Huh, gara-gara anak gadis teman sekolah kala itu. Dan setamat SMP kami sama-sama kehilangan kontak, Marwan meneruskan cerita. Ya, kami pernah berkelahi. Tapi bukan memperebutkan anak gadis untuk jadi pomle. Si Marwan salah sangka ketika itu, merasa aku mempengaruhi si Rosmiar agar menolak cintanya. Padahal aku tidak ada urusan tentang itu. Rosmiar adalah adik kelas kami teman sekampungku, aku meneruskan sedikit ceritanya, untuk sedikit lebih memperjelas cerita nostalgia itu bagi istriku. Bagaimana kalau aku ajak kalian berdua makan siang, biar kita bisa berbincang-bincang lebih lama? Kita makan nasi Kapau di lantai bawah, ajak Marwan mengalih pembicaraan. Wah, kami memang berniat akan singgah di kedai nasi Kapau itu pula. Tapi sesudah shalat zuhur. Aku tidak akan menolak tawaranmu, jawabku. Cocok sekali kalau begitu. Sepuluh menit lagi masuk waktu zuhur. Kita shalat di mesjid di atas. Sesudah shalat kita pergi makan. Baik, kita sambung cerita sambil menunggu waktu. Dimana kau bekerja? tanyanya. Aku sudah pensiun. Baru saja pensiun dari sebuah perusahaan perminyakan asing. Sekarang menikmati masa-masa santai. Sampai bosan, nanti kalau perlu dicari lagi kerja, jawabku. Hebat, kau. Dimana terakhir kau bersekolah dulu ? tanyanya. Di ITB. Dan sejak lulus dari sana aku bekerja di beberapa perusahaan. Di perusahaan terakhir sejak lima belas tahun terakhir, jawabku. Aku ingat kau dulu selalu juara kelas dan kesayangan guru-guru, tambahnya. Dan kau? Dari SMP kita dulu itu kemana kau melanjutkan sekolah ? tanyaku. Ke SMA di Surabaya. Ikut dengan pak etekku. Aku di Surabaya sampai pertengahan tahun tujuh puluhan. Sempat pula aku mencoba jadi orang kantoran beberapa tahun. Tapi akhirnya ternyata urusan dagang yang lebih cocok untukku, jawabnya.

Sering kau pulang ke kampung kita? tanyaku pula. Ada jugalah. Bila-bila perlu. Kau sendiri bagaimana ? Tentu lebih sering agaknya ya, karena si Desi kan orang awak juga, dia bertanya dan menebak. Aku juga pulang kampung bila-bila perlu. Kadang-kadang sekali setahun, kadang-kadang sekali dua tahun. Oh, ya. Kau sendiri, orang mana orang rumah ? tanyaku. Sekarang orang Sunda, jawabnya. Hei, apa katamu? Sekarang? Berarti dulu ada bukan yang sekarang ? tanyaku menyelidik. Ada. Panjanglah ceritanya. Yang pasti bukan si Rosmiar...he..he..he, jawabnya terkekeh. Dan anak-anak yang kau katakan tadi? Dari istri yang dulu berapa orang? tanyaku pula. Banyak betul selidikmu. Baiklah, yang pertama itu tidak beranak. Kami bercerai. Aku lama menduda sesudah itu, ada sekitar lima tahun. Baru menikah lagi dengan yang sekarang. Dengan yang ini dapat tiga orang anak, jawabnya. Anak buah Marwan sudah mulai menutup toko buku itu. Rupanya hari Minggu begini mereka hanya buka setengah hari. Kami segera menuju ke mesjid di lantai atas untuk shalat. Ternyata cukup ramai jamaah mesjid di komplek pasar ini. Berbaur antara para pedagang dan pengunjung yang datang berbelanja. Sesudah shalat sunat qabliyah, dan iqamat dikumandangkan, Marwan maju menjadi imam shalat. Rupanya dia memang orang yang disegani disini dan dia pula yang dijadikan imam shalat rawatib, seperti yang diceritakannya kepadaku kemudian. Seselesai shalat dan shalat sunat, kami masih menunggu dulu sebentar karena ada beberapa orang yang datang berunding dengan Marwan. Kedengaran mereka membahas rencana mengumpulkan sumbangan untuk korban bencana alam. Barulah sesudah itu kami pergi makan siang di kedai nasi Kapau. Sambil makan kami sambung lagi obrolan. Marwan yang asyik betul bercerita. Kami ini dulu berteman sangat baik, Desi. Safri ini orang pintar, aku senang berteman dengannya. Kami pemain voli, pemain sepak bola. Aku pandai bergitar dan Safri pandai menyanyi. Ada acara di kelas kami waktu itu yang kami sebut main presiden-presidenan. Main oper-operan angka. Setiap kami mempunyai nomor urut dalam angka-angka. Permainan itu dipimpin ketua kelas yang disebut presiden. Dia yang mengawali memanggilkan angka. Misalnya presiden tujuh. Si nomor tujuh harus mengoper ke angka yang ada kelipatan tujuh, misalnya dia oper , tujuh empat belas. Si empat belas boleh mengoper ke angka berapa 14 itu bisa dibagi atau dikalikan. Siapa yang lupa dengan angkanya, atau tidak bisa melanjutkan angkanya kena hukum, harus menyanyi ke depan kelas. Si Safri jarang kena hukum. Tapi kalau dia lagi ingin menyanyi, ketika dipanggil nomornya sengaja disalah-salahkannya. Misalnya dia
5

angka lima, lalu disebutnya lima tujuh belas. Berarti dia keliru karena angka tujuh belas tidak ada hubungan dengan angka lima. Diapun dihukum dan maju ke depan. Lagunya Anak Salido atau Lintuah. Aku yang mengiringi dengan gitar. Suaranya merdu mendayu. Kalau si Safri menyanyi, anak dari kelas lain yang tidak ada gurunya pasti datang mengintip. Terutama anakanak perempuan, Marwan bercerita panjang. Ah, masih ingat saja kau cerita jaman dulu itu. Mana pula ada anak-anak perempuan datang menonton. Nanti cemburu pula istriku, jawabku bercanda. Tapi kenapa sampai pernah berkelahi, kalau begitu? tanya istriku. Begini ceritanya. Aku jatuh hati kepada si Rosmiar yang dari tadi kami sebut -sebut namanya, maklumlah, kan lagi masa pancaroba ketika itu. Tapi si Rosmiar rupanya tidak suka denganku, meskipun dia itu jinak-jinak merpati. Sebenarnya, kalaupun kami berpomle-pomlean ketika itu, belumlah ada diantara kami yang berani berbuat apa-apa. Paling-paling disamping bersuratsuratan, sedikit berbincang di saat keluar bermain. Aku beberapa kali menulis surat untuknya, pernah dibalasnya sekali dan sesudah itu tidak pernah lagi. Kalau aku ingin mengajaknya berbincang-bincang ketika keluar bermain dia selalu menghindar. Aku akhirnya agak mengkal dan aku katakan bahwa dia sombong dan mati kerancakan. Diapun marah. Entah dari mana datang ceritanya aku dengar dia pernah mengatakan, aku tidak mau dengan si Marwan, anak orang PKI itu, begitu katanya. Aku datangi dia, kali ini untuk marah-marah. Aku tanya, apa benar dia mengatakan seperti itu. Malah dia berbalik dan mengatakan, semua orang tahu kalau da Marwan anak orang PKI, aku tahu, da Safri tahu, semua orang tahu, katanya. Jadi si Safri yang mengatakan padamu bahwa aku anak orang PKI, aku desak dia. Ya, da Safri juga tahu, katanya. Aku datangi Safri dengan perasaan marah. Aku langsung bercarut kepadanya, memarahinya karena merasa cintaku ditolak si Rosmiar karena si Safri ikut merendahkan diriku dimatanya. Safri membantah bahwa dia pernah mengatakan hal itu, tapi aku tidak percaya dan terus mendesak, bukankah begitu Safri? ujar Marwan bersemangat. Aku yang sedang menikmati gulai tunjang mengangguk mengiyakan. Aku masih marah-marah dan menantangnya berkelahi. Kalau kau benar-benar jantan, kita selesaikan urusan ini dengan bertinju, desakku. Safri masih menghindar dan mengatakan, dia tidak pernah mengatakan yang aku tuduhkan. Dia tidak ada urusan soal aku jatuh hati kepada si Rosmiar, karena si Rosmiar bukanlah pomlenya, katanya. Tapi karena aku desak-desak juga berkelahi, entah setan dari mana yang merasuki aku ketika itu, akhirnya dia naik pasang pula dan menerima tantanganku. Safri adalah yang dituakan dari kampungnya, dan aku adalah yang dituakan pula dari kampungku. Sebelum kami berkelahi, para ketua setiap kampung (murid sekolah SMP berasal dari banyak kampung di sekitar sekolah itu, dan kami datang kesekolah berkafilah-kafilah) diberitahu untuk jadi saksi, agar perkelahian ini tidak berubah menjadi perkelahian massal antar kampung. Sehabis jam pelajaran, siang hari itu kami berkumpul di sawah yang agak jauh dari sekolah.

Dan kami berkelahi secara jantan. Bertinju dengan aturan main yang disepakati ketua-ketua kafilah, yaitu tidak boleh main keroyokan, tidak menggunakan alat alias dengan tangan terbuka. Aku sehari-hari memakai sebuah cincin besi putih. Sebenarnya kalau Safri menghendaki, dia boleh memprotes agar aku melepas cincin itu, tapi dia tidak melakukannya. Dalam perkelahian itu, tinjuku mengenai pelipis Safri sehingga berdarah. Darah mengucur dari keningnya. Tapi karena berdarah itu kekuatan aslinya keluar. Aku diserangnya habis-habisan. Dan ketika itu timbul rasa bersalahku, karena sudah melukainya. Konsentrasi berkelahiku buyar. Dan aku akhirnya dikalahkannya, Marwan mengakhiri cerita panjangnya. Semua yang diceritakannya benar dan aku tidak membantahnya sedikitpun. Terus bagaimana? tanya istriku masih penasaran. Ketika aku tidak memberikan perlawanan lagi, selain menahan serangan dan tinjunya, Safri berhenti menyerangku. Kami dipisahkan oleh ketua-ketua kafilah. Luka Safri diobatinya dengan daun ubi kayu yang dikunyahnya sendiri. Aku menyalaminya dan minta maaf kepadanya. Beberapa hari kami saling diam sesudah itu tapi kemudian berbaik kembali. Seru juga ceritanya. Anak laki-laki nggak dulu nggak sekarang rupanya memang hobi berantam. Dan si Rosmiar tidak tahu? Tentu saja dia tahu. Dan aku rasa dia sebenarnya juga kenai hati kepadamu, bukankah begitu Safri ? tanya Marwan. Entahlah. Tapi memang banyak yang kenai hati kepadaku ketika itu he..he..he.., jawabku sekenanya. Rupanya play boy juga beliau ini kala itu, ya da Marwan ? tanya istriku tersipu. Dia memang bintang. Benar itu. Pintar, atletis, biduan, Marwan memuji-muji. Jadi banyak pomle dong uda ketika itu, lanjut istriku. Kalau yang dimaksud berpomle adalah berbincang-bincang, ngobrol-ngobrol, memang banyak pomle uda. Anak-anak perempuan itu selalu mati kerancakan kalau sudah dekat uda, jawabku GR. Kalau yang benar-benar pomle? desak istriku. Entah kenapa bersemangat benar dia bertanya. Kalau yang benar-benar pomle uda ganti-ganti saja, he..he..he... Pekan ini si Zuniar, pekan depan si Ernawati, si Astuti dan seterusnya, jawabku. Dan yang dia sebut itu bintang-bintang semua, Marwan menambah bumbu. Iyalah. Bintang untuk bintang ha..ha..ha, jawabku.
7

Panjang cerita kami siang itu. Cerita yang mengalir begitu saja. Marwan yang membayarkan makan siang kami karena dia merasa jadi tuan rumah. Marwan, datanglah ke rumah kami kapan saja. Kenalkan pulalah istrimu kepada kami. Kita sambung cerita masa remaja kita disana, ajakku sebelum kami berpisah. Aku berikan nomor telepon dan alamat lengkap rumah kami kepadanya. Insya Allah. Ingin juga aku berbagi cerita yang lain denganmu. Sebenarnya banyak cerita yang ingin aku sampaikan kepadamu. Sekedar untuk melepaskan isi hati. Akan aku cari nanti alamat rumah kalian ini. Dan akan aku telepon sebelum kami datang nanti, jawabnya. Kami berpisah siang itu. Masih sempat Marwan mengingatkan. Ceritakanlah apa saja tentang aku yang kau ketahui kepada Desi. Engkau tidak bergunjing untuk itu. Mudah-mudahan ada maknanya cerita itu baginya, ujarnya sebelum kami berpisah.

(2) Nostalgia Masa Remaja Sunday, 14 September 2008 Dalam perjalanan pulang aku bercerita panjang kepada istriku. Menyambung yang sudah diceritakan Marwan sebelumnya. Istriku senang pula mendengar cerita pengalaman remajaku itu. Kami dulu bersekolah di SMP kecamatan. Murid-murid sekolah itu berasal dari berbagai kampung di sekitarnya. Kami datang ke sekolah berombongan-rombongan, berkafilah-kafilah. Ada kampung yang ramai anggota rombongannya tapi ada juga yang sedikit, terdiri dari beberapa orang saja. Rombongan dari kampung kami agak lumayan banyak, mungkin sekitar tiga puluhan orang untuk semua tingkatan kelas. Dari setiap kafilah pasti ada yang dituakan atau yang jadi pemimpin, biasanya murid kelas tiga dan ini berganti setiap tahun sebab yang lebih senior berangkat meninggalkan sekolah. Murid sekolah itu lumayan banyak. Masing-masing kelas dibagi menjadi lima ruangan, dari kelas a sampai kelas E. Pergaulan di sekolah itu cukup menyenangkan. Kami punya banyak sekali kawan. Meski kami adalah anak-anak orang kampung tapi kami juga tidak kalah aksi. Di sekolah kami mempunyai banyak kegiatan baik olah raga maupun kesenian. Tentu saja ada pula kegiatan pramuka. Kami latihan pramuka sekali seminggu, tiap hari Sabtu sore. Itu adalah arena kumpul-kumpul dan bersenang-senang, tempat kami belajar menjadi lebih dewasa. Pada saat acara kegiatan pramuka, disamping latihan bermacam-macam keterampilan, kami juga latihan bernyanyi-nyanyi, bermain gitar. Ujung-ujungnya kegiatan pramuka jadi arena tempat saling jatuh hati. Mulailah ada yang berpomle-pomlean. Biasanya kalau sudah begitu diikuti dengan bersurat-suratan. Kami pernah ikut jambore pramuka se Sumatera Barat di Sawah Lunto. Tentu saja tidak semua anggota pramuka ikut. Yang ikut adalah anggota-anggota pilihan. Aku dan Marwan ikut dalam rombongan itu. Kami berkemah di Muaro Kalaban dekat kota Sawah Lunto selama lima hari ketika itu. Banyak kenangan waktu kami ikut berjambore ini. Aku tidak akan pernah lupa ketika regu kami jadi juara waktu diadakan acara penjelajahan malam yang diikuti oleh puluhan perwakilan berbagai sekolah. Karena kami umumnya anak-anak kampung, kami lebih berani
8

dalam berjalan di tengah gelapnya suasana kampung di sekitar arena perkemahan yang waktu itu tidak ada penerangan listrik. Bahkan ada diantara rombongan kami yang diam-diam justru menakut-nakuti anak-anak dari rombongan lain ketika mereka melalui tempat-tempat gelap. Lawan-lawan kami yang kebanyakan berasal dari sekolah-sekolah di kota, yang sudah dimanjakan lampu listrik umumnya sangat ketakutan. Dan kami juga juara paduan suara. Dan disanapun aku jadi bintang karena aku adalah ketua grup paduan suara rombongan kami. Marwan dan aku juga pemain bola kaki sekolah. Pernah kami bertanding ke sekolah lain yang berakhir dengan kericuhan. Kami menang dalam pertandingan itu. Pemain lawan mulai bermain kasar. Kaki Marwan diserimpet hingga dia jatuh terjungkal. Dia tidak segera membalas. Pada saat lain terjadi perebutan bola. Marwan yang berada dekat anak yang menyerimpetnya tadi, dalam duel perebutan bola dengan indah menyikut kepala anak itu. Dalam permainan bola hal itu bisa terlihat sebagai ketidak sengajaan. Tapi rupanya anak itu tidak mau menerima. Marwan dikejarnya dan langsung dipukulnya. Marwan tentu saja melawan dan terjadi perkelahian singkat yang segera dilerai wasit. Seusai pertandingan, dan ketika akan berangkat pulang, kami sudah dikepung oleh murid-murid sekolah itu yang badannya besar-besar. Kami ada sekitar dua puluhan orang sedang mereka yang datang pada saat itu sedikit lebih banyak. Anak yang tadi berkelahi dengan Marwan langsung mendekatinya sambil bercarut dan mengajak berkelahi. Dia memegang sebuah tongkat kayu. Aku yang berada di samping anak itu, merampas kayu yang dipegangnya sambil mengatakan kalau mau berkelahi silahkan pakai tangan kosong. Temannya yang lain langsung menerjangku dan kami langsung terlibat dalam perkelahian. Kamipun akhirnya terlibat dalam tawuran massal. Berdebuk-debuk bunyi tinju dan sepakan kaki. Kami yang dua puluh orang kompak dalam perkelahian itu saling melindungi dan saling menyerang. Ada sekitar lima menit lamanya ketika akhirnya guru-guru sekolah itu datang melerai. Guru-guru itu bertanya apa yang terjadi dan kenapa kami berkelahi. Aku menjelaskan bahwa kami tiba-tiba diserang dan kami melawan. Pak guru itu menanyai murid-muridnya kenapa mereka menyerang pemain tamu. Kalau kalah main bola ya kalah saja, kenapa mesti berkelahi, katanya. Pemain lawan itu tidak ada yang bisa memberikan jawaban kenapa mereka menyerang kami. Untunglah guru mereka cukup adil dan menyalahkan murid-muridnya karena berkelahi dengan tamu. Kami disuruh pulang dan muridmurid sekolah itu diancam kalau masih berkelahi lagi akan dihukum di sekolah. Ketika aku baru duduk dikelas tiga, terjadi peristiwa pemberontakan PKI di bulan September tahun 1965. Meski hampir tidak ada dampak langsung dari peristiwa berdarah itu di daerah kami, ada juga pengaruhnya kepada kami. Kami ikut-ikutan jadi anggota Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia. Dan kami disuruh guru untuk bertugas ronda malam menjaga sekolah secara bergiliran. Hal yang tentu saja tidak akan kami tolak. Pada awal-awalnya ada bapak guru atau pegawai Tata Usaha yang ikut ronda bersama kami. Suasana masih lumayan tertib, meski sudah ada yang berani merokok saat jaga malam itu. Tentu saja ketika pak guru sedang tidak dekat kami. Setelah beberapa minggu, tidak ada lagi guru yang menemani. Kami jadi bebas dan leluasa. Acara ronda malam itu sedikit demi sedikit berubah menjadi pusat latihan jadi preman kecil-kecilan. Kami belajar main kartu koa sesama murid. Ada juga akhir-akhirnya yang benarbenar terlibat dalam perjudian kecil-kecilan. Sampai suatu hari pak kepala sekolah yang entah dapat laporan dari siapa menemukan kartu koa yang kami sembunyikan. Dan beliau juga menemukan banyak bekas sundutan api rokok di dinding ruangan posko ronda, bekas tempat
9

mematikan api rokok. Kami, ketua-ketua kelas dikumpulkan dan dimarahi. Dan sejak itu ronda malam tidak diadakan lagi. Karena sebenarnya memang tidak ada gunanya. Tapi di kampung masing-masing kami masih melanjutkan kegiatan ronda malam di hari Sabtu sore. Tentu saja dengan kegiatan yang mirip. Bergerombol-gerombol hilir mudik dalam kampung bersenjatakan pentungan kayu dan berbekal lampu senter. Kalau sudah capek meronda kami berkumpul untuk ngobrol. Lama kelamaan ada yang mengajak main kartu koa pula. Kami mulai pandai merokok dan main kartu serta bahampok kecil-kecilan.

Istriku mendengar cerita panjang lebar itu dengan penuh perhatian sepanjang perjalanan kami menuju rumah. Dia menyoalku dengan pertanyaan-pertanyaan. Dan uda jadi ikut-ikutan pandai main kartu dan merokok kala itu? tanyanya. Ya, bagaimana tidak. Karena baik di sekolah maupun di kampung, uda ketika itu s enang bergaul. Dan pergaulan kami memang seperti itu. Semua yang biasa bergaul pasti kena imbas. Tapi tidak lama sesudah itu, ke kampung kami datang beberapa orang anggota Pelajar Islam Indonesia, disingkat PII, dari Bukit Tinggi. Mereka ingin merekrut anak-anak muda di kampung kami menjadi anggota. Dan bagi yang berminat diharuskan menjalani masa pelatihan selama seminggu, jawabku. Aku termasuk yang berminat mengikuti pelatihan PII itu. Kami jalani masa pelatihan itu di saat libur sekolah, bertempat di ruangan sekolah dasar di kampung kami. Isinya adalah latihan berorganisasi secara islami. Kami diajar dan dilatih bagaimana cara berdiskusi, berdebat, berpidato bahkan berkhutbah. Tentu saja acara latihan itu sangat menarik bagiku. Programnya sangat intensif dan dilaksanakan sejak dari pagi, siang, malam, bahkan sampai tengah malam. Para pelatih itu pintar-pintar membawa acara, sehingga kami senang dan betah berada dalam acara itu. Sayang waktunya singkat untuk mempelajari materi latihan yang cukup banyak. Tapi paling tidak kepada kami sudah diajarkan dasar-dasar pengetahuan untuk berorganisasi dalam PII. Dan sesudah itu akupun menjadi anggota PII. Jadi anggota PII ini berhasil menetralisir latihan kepremanan yang didapatkan selama mengikuti acara ronda malam. Di kampung aku memang aktif kemana-mana. Termasuk di mesjid tentu saja. Apa lagi sejak jadi anggota PII. Kami menjadi anak-anak muda yang alim. Tahun 66 itu terjadi pergeseran tahun ajaran. Karena di kota-kota besar kegiatan sekolah banyak terganggu oleh kegiatan-kegiatan di luar sekolah, untuk berdemo. Masa belajar yang tadinya berakhir di bulan Julli di geser ke bulan Desember. Itu terjadi di seluruh Indonesia. Tanggal 1 Agustus seharusnya kami sudah duduk di bangku SMA tapi karena penundaan masa tahun ajaran kami masih tetap saja di SMP. Kami tidak terlalu perduli dengan hal itu. Dan kami tetap berada dalam kesibukan rutin sekolah baik yang perlu maupun yang tidak perlu. Kami tetap mengikuti latihan-latihan olah raga dan kegiatan pramuka seperti biasa.

10

Tapi, ngomong-ngomong. Apa benar uda ikut mengatakan bahwa da Marwan itu anak orang PKI? Apa benar dia anak orang PKI? tanya istriku. Sesudah peristiwa Gestapu, memang banyak orang curiga kepada orang-orang yang dikenal sebagai anggota PKI. Sebelum peristiwa itupun sebenarnya kami mendengar siapa yang anggota PKI siapa yang bersimpati kepada PKI. Bahkan di antara guru kami ada yang terang-terangan mengaku sebagai anggota PKI. Kami tidak mengerti apa-apa dan tidak perduli dengan semua itu. Dan dari mulut ke mulut memang kami dengar bahwa ayah si Marwan anggota PKI. Ketika kemudian PKI diketahui sebagai dalang peristiwa Gestapu, banyak orang yang tadinya mengaku PKI itu menghilang, bersembunyi entah kemana. Termasuk guru kami itu. Orang jadi takut diketahui sebagai anggota PKI. Dan Marwan pasti terhina ketika kePKIan ayahnya disebutsebut, aku mencoba menjelaskan. Dan benarkah uda menghalangi si Rosmiar jadi pomle da Marwan karena itu ? Jelas tidak. Uda tidak ada urusan dengan itu. Dan Marwan adalah teman baik uda. Seperti yang diceritakannya tadi, kami sebenarnya adalah sahabat baik. Dan uda tidak kenal siapa ayahnya, bagaimana mungkin uda akan menjelek-jelek orang yang tidak dikenal. Entah kenapa si Rosmiar menyebut pula nama uda ketika dia menolak si Marwan yang jatuh hati kepadanya. Dan entah kenapa Marwan mengajak uda berkelahi gara-gara itu. Dan sejak berkelahi tidak lagi jadi sahabat karib? Hanya untuk sementara waktu sesudah itu. Tapi lama kelamaan kami berbaik lagi. Bahkan sesudah kami berkelahi massal sesudah main bola, kami jadi bersahabat baik lagi. Dia sangat menghargai pembelaan uda kepadanya ketika berkelahi massal itu. Dan pergi jambore pramuka juga sesudah perkelahian? Uda lupa. Mungkin sebelum kami berkelahi. Ya, benar sebelum berkelahi. Karena sejak jambore itu dia mulai jatuh hati kepada si Rosmiar yang juga ikut dalam rombongan. Murid wanita juga ikut berjambore? Ya, ada rombongan murid laki-laki dan ada rombongan murid wanita. Kemah kami tidak berdekatan. Terpisah sejauh lima ratus meter di sebuah lapangan yang luas dekat sungai. Ketika jambore justru tidak ada waktu untuk berdekatan dengan murid wanita. Masing-masing kami sibuk dalam aneka perlombaan. Kami bersama-sama satu rombongan besar dalam perjalanan ketika berangkat dan pulang. Waktu itu kami naik keretapi ke Sawah Lunto. Dan selama dalam perjalanan itu anggota rombongan berpomle-pomlean? Ya lebih kurang begitulah. Sekedar untuk bernyanyi-nyanyi bersama dalam perjalanan. Bergurau dan bercanda. Tapi tidak bisa kami berbuat yang aneh-aneh karena disamping ada guru-guru yang mengawasi di dalam kereta juga ada penumpang lain. Lagi pula apa yang dapat dilakukan anak-anak kecil bercelana pendek berpacaran ketika itu.
11

Apakah da Marwan juga ikut jadi anggota PII? Ya, dia ikut. Karena di kampungnya juga ada acara yang sama. Waktu kami ngobrol di sekolah, dan uda katakan bahwa uda akan ikut latihan untuk menjadi anggota PII, banyak teman-teman yang juga ingin ikut, termasuk Marwan. Kala itu anggota senior PII memang datang ke kampung-kampung untuk merekrut anggota baru. Entah kenapa mereka tidak datang ke sekolah saja. Dan di sekolah tidak ada kegiatan PII atas nama sekolah? Tidak ada. Dan rasanya tidak boleh. Yang boleh hanya mendirikan sekeretariat KAPPI. Tapi KAPPI itu juga kalah pamor di sekolah kami. Seingat uda hanya sekali kami ikut dalam aksi demo mengatas namakan KAPPI, ketika seorang anak STM mati tertembak di Bukit Tinggi. Di sekolah kami lebih senang menggunakan identitas sebagai murid SMP kami saja. Apakah ketika itu uda dan teman-teman uda sudah mengerti politik? Jelas belum. Kami tidak tahu apa itu politik. Di sekolah guru mengajarkan kami tentang apa yang sedang terjadi di kancah politik ketika itu. Tapi kami hanya mengerti begitu-begitu saja dan tidak ada yang benar-benar tertarik. Apakah uda aktif pula di PII di luar kampung? Tidak. Hanya di kampung saja. Setelah seminggu latihan itu kami tidak pernah lagi bertemu dengan para pelatih dari Bukit Tinggi itu. Sesudah latihan kami diberi kartu anggota dan lencana PII dari logam untuk disematkan di kopiah atau jaket. Kami tidak punya kopiah dan jaket, jadi lencana itu untuk sementara kami sematkan di baju. Hanya beberapa hari dan sesudah itu kami sudah lupa. Jadi tidak banyak manfaatnya pelatihan seminggu itu kalau begitu? Tidak banyak, tapi ada. Paling tidak seperti uda katakan tadi menetralisir kami dari menjadi preman kampung. Kami tetap bergaul dengan preman kampung, yang suka merokok, suka berhampok. Tapi kami tidak ikut-ikutan merokok dan berhampok lagi sejak kami jadi anggota PII itu. Akhirnya kan selesai juga masa sekolah uda di SMP. Bagaimana lagi seterusnya pergaulan dengan teman-teman SMP itu? Ketika kami tamat dari SMP keadaan huru hara sudah semakin reda. Tahun 67 uda masuk SMA di Bukit Tinggi. Banyak juga muridnya yang dari SMP kami. Tapi disana gabungannya jadi lebih besar karena SMA itu menerima murid dari banyak SMP yang lain. Marwan sudah menghilang entah kemana. Ada juga uda dengar kabar selentingan bahwa dia dibawa saudara ayahnya ke Jawa. Kami tidak ada kontak sama sekali lagi sejak itu. Sampai hari ini?
12

Ya, sampai hari ini. Ketika tamat dari SMP tidak adakah acara perpisahan? Tidak adakah saling memberitahu kemana akan melanjutkan sekolah? Tentu saja ada. Tapi acara yang lebih banyak hura-huranya. Kami dalam keadaan gembira karena sudah lulus ujian dan akan melanjutkan sekolah ke sekolah berikutnya. Acara perpisahan itu diisi dengan berbagai acara nyanyi-nyanyi, ada deklamasi, ada pementasan drama juga oleh adik kelas kami. Wakil kami berpidato mengucapkan kata berpisahan. Kesempatan untuk mengeluarkan uneg-uneg tentang perlakuan guru-guru yang suka marah-marah. Uda tetap jadi penyanyi di saat perpisahan itu. Sudah barang tentu. Marwan yang mengiringi dengan gitar seperti biasa. Nyanyi bertambuh tambuh karena setiap kali selesai sebuah lagu, teman-teman itu berteriak-teriak mintak diteruskan. Pokoknya heboh dan ramai. Siapa yang berpidato mewakili anak kelas tiga untuk menyampaikan kata perpisahan? Uda juga? Bukan. Ada teman lain. Lupa pula uda namanya. Anaknya memang pintar berpidato. Seperti orang besar penampilannya. Dan mantap kata-katanya. Da Marwan tidak pamit mau melanjutkan sekolah kemana? Dia tidak pamit mau ke Surabaya? Seingat uda tidak. Kami merasa bahwa semua kami yang lulus pasti akan melanjutkan sekolah ke Bukit Tinggi. Baik ke SMA. Ke STM atau ke SMEA. Tapi tidak ada yang saling bertanya persisnya mau masuk sekolah mana. Mungkin semua menganggap nanti akan ketahuan juga ke sekolah mana masing-masing melanjutkan. Dan selama beberapa kali berjumpa di toko tadi uda tidak bisa mengingat dia. Berubah benarkah wajahnya? Ya iyalah. Dulu mana ada dia berjenggot dan berkumis seperti itu. Tapi garis wajahnya itu yang tetap uda ingat samar-samar sebagai orang yang pernah uda kenal. Tak terasa kami sudah sampai di rumah. Perbincangan nostalgia masa SMP ku itu sementara berhenti sampai disana.

(3) Kunjungan Keluarga Marwan Saturday, 27 September 2008 Beberapa minggu berlalu. Aku sudah hampir melupakan pertemuan tak terduga dengan Marwan. Suatu siang dia menelpon dan mengatakan dia ingin berkunjung bersama keluarganya ke rumah kami. Aku mempersilakannya untuk datang kapan saja dia mau. Akhirnya dia sepakat akan
13

datang pada hari libur 1 Muharam. Tokonya akan ditutupnya hari itu. Kami sepakat mengundang mereka sekeluarga untuk makan siang di rumah. Istriku sibuk menyiapkan makanan sejak pagi untuk menjamunya. Mereka datang sekitar jam sebelas. Istrinya berjilbab dan terlihat masih muda. Mereka membawa dua orang anak, yang tengah, berumur 12 tahun dan yang kecil yang berumur tujuh tahun. Anak-anak itu diajak main oleh anak bungsu kami, main game di komputer di kamarnya. Istri Marwan, namanya Kokom, cepat akrab dengan istriku. Dia minta ijin untuk ikut membantu istriku di dapur. Istriku sebenarnya sudah hampir siap dengan urusan masakannya. Tinggallah kami berdua di ruang tamu. Obrolan kami tentu saja kembali ke cerita jaman SMP yang penuh dengan bunga-bunga kenangan itu. Kau masih ingat nama yang menyampaikan pidato ketika acara perpisahan? tanyaku. Ya, aku masih ingat. Sebentar........ Dia itu anak kelas tiga C. Si Fakhri, jawab Marwan. Benar si Fakhri. Anak yang ikut main voli dengan kita, aku menambahkan. Kenapa ? tanya Marwan. Tidak apa-apa. Pulang dari pertemuan kita waktu itu aku bercerita panjang kepada Desi tentang kenangan masa SMP kita. Diantaranya aku bercerita tentang acara perpisahan, tentang teman yang berpidato, tapi aku lupa namanya. Benar, dia ikut tim bola voli kalau kita ada pertandingan dengan sekolah lain. Tapi dia tidak ikut main bola, Marwan menambahkan. Seringkah kau bertemu dengan teman-teman kita yang lain? tanyaku. Cukup sering. Umumnya yang datang ke toko membeli buku. Ada yang aku lupa namanya, tapi aku yakin bahwa itu teman SMP. Misalnya si Bahder. Kau ingat tidak, Bahder teman kita main bola dan ikut ke jambore? Ya, tentu saja aku ingat. Satu-satunya yang agak parah setelah kita berkelahi massal sesudah pertandingan bola di Atas Ngarai. Mukanya lebam ketika itu, aku menjelaskan. Berkelahi massal yang mana maksudmu? Berkelahi massal ketika kau akan dipukul pakai kayu sesudah kita menang pertandingan. Kita semuanya langsung ikut dalam adu jotos. Aku yang mula-mula diserang sesudah aku merebut kayu yang dibawa anak yang akan memukulmu itu. Temannya tanpa ba bi bu langsung maju menerjangku. Sesudah itu terjadi perang tanding. Lawan kita lebih banyak. Kebetulan si Bahder itu berdiri agak terpisah. Dia dikerubut tiga orang lawan sehingga dia agak kewalahan. Aku melihat itu dan berusaha mendekatinya. Sempat aku terjang seorang dari tiga penyerangnya. Kami berkelahi dua lawan empat, dan akhirnya si Mansur juga ikut bergabung. Jadinya kita tiga
14

lawan lima. Pada saat itu guru-guru mereka datang melerai, aku menjelaskan secara rinci. Benar sekali. Masih ingat kau sampai bagian yang sekecil-kecilnya. Dan si Bahder itu wajahnya berubah sekarang. Bercambang lebat. Tapi aku masih ingat dia itu teman kita. Sebaliknya dia juga lupa. Aku langsung menyapanya, aku lupa namamu, tapi aku yakin kita satu SMP dulu di Bukit Tinggi. Dia memelototi aku. Akupun lupa, katanya. Kamu siapa? Aku Bahder, dia bilang. Dan bercerita panjang pulalah kami waktu itu. Kapan kau bertemu dengannya? Mungkin setahun yang lalu. Dia bekerja dan tinggal di Medan. Waktu itu dia kebetulan berjalan-jalan ke Jakarta dan berbelanja di toko kami. Kau sendiri? Tidak adakah kau berjumpa dengan teman-teman kita? Ada beberapa orang, bahkan ada yang sama-sama di tempatku bekerja. Kau ingat si Indra? Yang pintar melukis, anak kelas tiga D kalau tidak salah. Dia sama sekantor denganku. Sudah lebih dulu dia pensiun. Ada lagi si Yasri teman sekampungmu yang bekerja di Pertamina. Ya, aku ingat si Indra. Yasri masih sering datang ke toko untuk ngobrol. Dia pernah bercerita tentang kau. Siapa lagi, ya ? Si Faisal yang juga pandai main gitar. Si Idrus si perokok, dia bekerja di pertambangan batu bara. Si Fahmi, yang kita gelari si Kilat, juara lari. Kami bertemu di Bandung. Dia jadi guru di sana. Ya, si Fahmi. Kesayangan pak Abrar guru olah raga kita. Yang katanya mau disiapkan akan dikirim ke PON, entah PON ke berapa waktu itu. Kau menyebut pak Abrar. Beliau ini pernah marah besar waktu aku tidak mau ikut pertandingan voli karena aku sedang bisulan. Dia tidak percaya. Dia pikir aku sedang berganyi karena nilai olah ragaku dikasihnya enam dalam rapor dan aku protes. Katanya itu salah tulis, tapi dia tidak mau mengoreksinya. Aku memang kesal, tapi tidaklah aku berganyi tidak mau ikut pertandingan voli gara-gara itu. Lalu bagaimana? Kau perlihatkan bisulmu itu kepadanya? Aku bilang, kalau bapak mau biar saya perlihatkan bisul di bawah pusar saya ini. Dia bilang, alasan saja kamu. Lagi pula kalaupun bisul di bawah pusar apa hubungannya dengan main voli. Aku malas menjawab dan aku diam saja. Tapi tetap aku tidak ikut bertanding. Bisul ini nyeri sekali kalau tersinggung sedikit saja. Mana mungkin aku bisa melompat-lompat main voli. Pak Abrar itu sebenarnya sangat baik. Betul. Kwartal berikutnya nilai olah ragaku dikasih angka sembilan. Sempat pula dia bilang, ini untuk membayar salah angka sebelumnya he..he..he..

15

Dan kau ingat ibu Fauziah? Guru aljabar yang sangat disiplin ? Beliau sudah meninggal enam bulan yang lalu di Padang. Beliau sakit kanker getah bening. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiuun. Tentu saja aku ingat. Ibu Fauziah yang sangat baik kepadaku. Dari siapa kau dapat kabar beliau meninggal? Dari Syamsinar, teman sekelas kita. Dia ini kan sekampung dengan ibu Fauziah. Dan dia tinggal berdekatan denganku di Pondok Kopi. Si Syamsinar? Ya aku ingat dia. Kalau berjumpa lagi tolong sampaikan salamku kepadanya. Aku heran tidak ada teman-teman wanita satu orangpun yang pernah berjumpa denganku. Entah pada kemana mereka. Oh ya...., aku pernah berjumpa dengan Astuti, salah satu pomle kau dulu. Di Pasar Senen ketika dia sedang berbelanja. Masih cantik meski sudah jadi nenek. Jadi nenek betulan. Dia waktu itu berjalan dengan anak dan cucunya. Aku yang lebih dulu mengenalinya. Aku pura-pura bertanya, Rangkayo dimana kita pernah bertemu dulu, ya. Dia melotot memandangku dan langsung ingat. Ini si Marwan, ya? Si pemain gitar? Dan dia bercarut. Masih saja latah seperti dulu meski sudah nenek-nenek. Desi dan Kokom datang menemani kami ngobrol. Makanan sudah siap rupanya. Desi menanyakan apakah kami akan makan sekarang atau akan pergi shalat zuhur dulu. Marwan mengusulkan sebaiknya shalat zuhur dulu saja. Akupun setuju. Kebetulan sudah hampir masuk waktu zuhur. Kami berdua pergi ke mesjid untuk shalat berjamaah. Mesjid itu tidak jauh dari rumah kami. Cukup ramai jamaah mesjid ini. Kau selalu shalat berjamaah di mesjid? tanya Marwan keti ka kami menuju ke rumah sesudah shalat. Kalau aku tidak sakit, insya Allah selalu, jawabku. Syukurlah. Hanya amal shalih yang jadi milik kita. Yang lain hanya perhiasan hidup dunia, katanya bijak. Aku perhatikan Marwan memang lebih shalih. Dari cara berpakaiannya, dari tindak tanduknya. Toko bukunya khusus menjual buku-buku Islam. Istrinyapun lebih taat kelihatan dengan jilbab panjang menutupi tubuhnya. Aku kagum melihatnya. Tahun berapa kau naik haji ? tanyaku. Aku yakin dia pasti sudah haji. Tahun 1990. Ketika terjadi peristiwa terowongan Mina. Kau sendiri? Tentu kau juga sudah haji, bukan? dia balik bertanya. Dua tahun sesudah itu, jawabku.

16

Syukurlah, kalau begitu. Mudah-mudahan sudah sempurna keislaman kita. Sudah kita tunaikan kelima rukun Islam. Kami sampai di rumah dan langsung menuju ke meja makan. Wah, ramai sekali meja makan, karena istri Marwan ternyata juga membawa oleh-oleh. Pepes ikan mas ala Cianjur. Wah serba ikan ni, makanan kita, komentarku. Ya, rupanya Kokom membawa ikan pepes pula. Saya juga sudah menyiapkan gurami bakar ini, kata istriku. Bagus serba ikan. Insya Allah bebas kolesterol, tambah Marwan. Kami mulai makan. Serba enak semua. Pepes ikan itu sangat menyelera. Marwan sebaliknya sangat menikmati gurami bakar. Kami makan bertambuh-tambuh. Ada lagi kenanganku tentang ikan, Marwan mulai bercerita lagi sambil kami makan. Kenangan apa itu? tanya istriku. Waktu kami pergi berjambore. Safri sempat-sempatnya berbekal pancing. Puluhan buah pancing bertangkai pendek. Iya, kan Saf? katanya. Benar sekali. Aku sempat menganak di sungai Lasi dekat kita berkemah itu, jawabku. Menganak? Apa itu maksudnya? tanya Desi pula. Menahankan puluhan pancing sore-sore di sungai dan diambil pagi-pagi. Kami mendapatkan ikan besar-besar. Kami makan besar dengan ikan setiap hari, aku menjelaskan. Hebat sekali idenya. Tapi bagaimana dengan umpannya? Apakah dibawa dari rumah juga? Tidak. Umpannya cacing yang kami cari di sana, jawabku. Sempat-sempatnya mencari cacing? Ternyata perkara gampang bagi seorang Safri. Dia membalikkan batu-batu besar di pematang di tepi sungai. Dia dapatkan cacing gemuk-gemuk. Hari pertama kita disana, sore hari aku lihat Safri membawa bungkusan kertas koran menuju sungai yang ternyata berisi pancing. Aku ikuti dia dan aku bantu memasangkan cacing ke pancing. Kami menancapkan tangkai pancing pendek itu di tebing sungai. Pagi-pagi waktu kawan-kawan kami sibuk di sungai, kami mandi di sungai Lasi yang airnya jernih itu, kami terlebih dahulu memeriksa pancing-pancing yang diletakkan sore kemaren. Bukan main, hari pertama itu dari dua puluh lima buah pancing kami dapat sebelas ekor ikan besar-besar. Ada ikan lele dan entah ikan apa lagi namanya. Ikan garing, aku menjelaskan.
17

Dan ikannya diapakan? tanya Kokom. Hari pertama dan kedua kami goreng. Hari ketiga, minyak goreng kami sudah habis. Lalu kami bakar. Wah, lebih sedap pula lagi. Dan bau ikan bakar terbang kemana-mana. Heboh temanteman di kemah sebelah menyebelah kami, jawabku. Waktu membakar ikan itu pak Sofyan, guru pelatih datang dan ikut makan dengan kami. Dia bercerita kepada guru-guru yang lain. Kau dapat surat permintaan sumbangan ikan dari kemah si Astuti melalui pak Sofyan. Ingat ? tanya Marwan. Ya, aku ingat. Tapi tidak dapat kita kirim, jawabku. Kenapa? tanya Desi. Karena hari kelima, hari terakhir kami disana, gagal panen, jawabku. Lho, gagal panen bagaimana? tanyanya pula. Pagi-pagi waktu kami mau mengambil hasil pancingan hari itu, yang diikuti oleh makin ramai saja teman-teman, yang ikut senang melihat hasil tangkapan ikan, kami dapati pancing itu sudah tidak ada. Rupanya sudah ada yang duluan mengambilnya. Kami curiga, jangan-jangan temanteman sesama pramuka yang mengambil. Dan kalau memang ulah mereka tentu mudah bagi kami melacaknya nanti. Tapi Marwan melihat serombongan anak muda di sisi sungai sebelah sana, tertawa-tawa melihat ke arah kami. Seorang diantaranya menjinjing ikan yang entah berapa ekor. Siapa mereka? Orang kampung sana? tanya Desi. Ya. Orang kampung sana. Sempat juga mereka bilang, entah mencemooh atau bagaimana, yang ini untuk kami ya? katanya ketawa-ketawa, aku menjelaskan. Tidak dikejar? tanya Kokom. Marwan mengusul agar kami kejar ke seberang. Tapi saya larang. Percuma saja. Pasti mereka akan lari dan itu di kampung mereka, jawabku. Nggak jadi makan ikan hari itu, Marwan menambahkan. Teman papa, pramuka yang lain nggak ada yang meniru memancing seperti itu? tanya anakku Faisal. Ada. Sesudah hari ketiga. Mereka minta ijin pergi membeli pancing ke Silungkang. Dan sore hari keempat itu mereka ikut-ikutan menaruh pancing di sungai. Paginya tidak ada ada satupun dapat, jawabku. Lho? Kenapa? tanya Desi pula.
18

Mereka tidak tahu caranya. Hanya asal tiru saja. Tali pancing mereka terlalu pendek. Mudah ikan melepaskan diri dengan menarik tali pancing itu kuat-kuat. Banyak pancing yang hilang karena putus. Jadi hasilnya nol besar, jawabku. Ilmu menganak itu aku terapkan pula di kampung sepulang dari sana. Biasanya hari Sabtu sore. Cuma ikan di kampung kita tidak sebesar ikan di sungai Lasi itu, kata Marwan. Sungai Lasi itu sungai besar. Banyak ikannya. Cuma aku heran, sepertinya jarang penduduk disana menangkap ikan di sungai itu, aku menjelaskan. Mungkin sesudah peristiwa itu, anak-anak yang mencuri ikan pagi itu jadi tahu bagaimana caranya menganak, ungkap Desi. Entahlah. Mungkin juga, jawabku. Kami sudah selesai makan. Desi dibantu Kokom mengangkat piring-piring kotor ke belakang. Sebenarnya, ada cerita lain yang ingin kuceritakan kepadamu, kata Marwan waktu kami tinggal berdua. Ceritakanlah. Cerita apa? Sebuah cerita panjang. Dan ini akan memakan banyak waktu. Sebenarnya tidak ada lagi perlunya untuk diceritakan. Tapi entah kenapa. Aku ingin berbagi cerita ini dengan seseorang yang aku kenal dan terpercaya. Wah. Cerita apa itu? tanyaku pula. Cerita disekitar diriku. Kau mau mendengarkannya? tanya Marwan. Aku mengernyitkan kening. Boleh-boleh saja, silahkanlah, usulku. Kalau kau memang mau mendengarkan, menjadi pendengar yang baik, aku ada usulan lain terlebih dulu, katanya. Maksudmu ? Biar aku antarkan istri dan anak-anakku dulu pulang dan setelah itu aku kembali lagi kesini. Anak-anakku harus belajar sore ini, tambahnya. Oh begitu. Ya, nggak apa-apa juga. Aku siap mendengar ceritamu, jawabku. Mereka pamit. Aku memberi tahu Desi bahwa Marwan akan pulang sebentar mengantar keluarganya dan dia kembali lagi sesudah itu.
19

(4) Cerita Lama Sunday, 09 November 2008 Sebenarnya aku agak terheran-heran dalam hatiku ketika Marwan mengatakan ingin menyampaikan sebuah cerita. Hal apa yang ingin diceritakannya? Kenapa tiba-tiba dia ingin bercerita kepadaku pada hal kita baru saja berjumpa kembali sesudah lebih 40 tahun tidak bertemu? Marwan memang teman baikku dulu di SMP, tapi tidaklah istimewa-istimewa amat. Aku punya teman yang lebih akrab dari dia. Apakah ini cerita yang bersangkut paut dengan teman yang lain? Kalau ya dengan siapa? Masak dengan si Rosmiar lagi? Semua pertanyaan itu menari dalam otakku. Tapi, ya sudahlah. Kalau memang dia datang sebentar lagi, biarlah aku dengarkan saja apa ceritanya. Mungkin dia memang memerlukan seseorang tempat melepaskan isi hati. Tempat curhat kata anak-anak sekarang. Istriku datang mengusik dengan pertanyaan. Mau bercerita apa agaknya da Marwan itu, da? tanyanya. Entahlah. Udapun belum tahu, jawabku pendek. Masak urusan pomle-pomle lama lagi ? tanyanya lagi. Rasanya nggak mungkin. Harusnya sesuatu yang lebih serius dari itu. Tapi biarlah kita dengarkan saja. Sebentar lagi tentu dia akan sampai disini. Sepertinya dia tidak ingin cerita itu didengar istrinya, analisa istriku. Belum tentu demikian. Alasannya tadi karena anak-anaknya mau belajar makanya diantarnya dulu pulang. Boleh jadi dia memang akan bercerita sangat panjang, jawabku. Asal uda betah saja mendengarkan. Kalau tidak menarik, kalau uda jadi mengantuk mendengarkannya pasti dia akan tahu. Pasti dia tidak akan memaksakan meneruskan ceritanya, aku mencoba meyakinkan termasuk diriku sendiri. Ada yang perlu disiapkan? tanya istriku pula. Makanan? Siapkan saja pisang goreng. Dan nanti sore buatkan kami teh telor. Biar seperti duduk di lepau kopi di kampung, jawabku. Baik. Akan saya buatkan ketan dan goreng pisang raja. Tidak lama kemudian Marwan sudah sampai lagi. Dia tersenyum. Tangannya membawa sebuah kotak. Kelihatannya berisi makanan.
20

Tidak macet di jalan? tanyaku. Tidak. Dan ternyata rumahku dekat saja dari sini. Coba kita bertemu sejak lama, sudah lama pula aku sering main kesini. Dimana rumahmu di Pondok Kopi itu tepatnya? tanyaku. Di samping Rumah Sakit Islam, jawabnya Oh iya. Itu sangat dekat dari sini. Komplek perumahan disini bagus. Tertata rapi dan tidak bising. Kalau tempatku dekat dengan jalan raya. Kadang-kadang agak bising. Kadang-kadang ramai dengan suara ambulans keluar dari rumah sakit. Tapi kau kan sehari-hari tidak di rumah. Sampai jam berapa biasanya di toko? Benar sih. Aku di toko sampai sekitar jam empat. Aku selalu berusaha sudah sampai di rumah sebelum maghrib. Kalau benar-benar tertarik, kau pindah saja kesini. Masih banyak tanah kosong di sekitar sini, kataku. He..he..he.. iya juga. Boleh juga ide itu aku pikirkan. Dan mesjidpun dekat dari sini. Aku betah di tempat yang sekarang karena mesjidnya juga dekat. Rumah itu harus dekat dari mesjid. Mudah kita pergi shalat berjamaah. Kami masih berbincang hilir mudik beberapa saat lagi. Aku jadi tidak sabar untuk mendengar cerita yang akan disampaikannya. Dan segera mengingatkannya. Baik. Ngomong-ngomong apa cerita yang akan kau sampaikan ? tanyaku. Ya. Cerita lama. Mudah-mudahan kau sabar dan mau mendengarnya. Cerita ini hanya sekedar untuk mengeluarkan keprihatinan yang tersimpan lama dalam dadaku dan tidak bisa kuceritakan kepada siapapun. Maksudnya? Jadi istri kaupun tidak tahu? tanyaku. Belum tahu. Belum tahu seperti yang akan kuceritakan kepadamu. Baik. Mulailah. Tapi sebentar. Kalau nanti istriku sebentar-sebentar muncul disini, apakah dia boleh mendengarkan? Boleh saja. Ini bukan cerita rahasia. Bukan sesuatu yang kusembunyikan. Meski tidak mungkin kuceritakan ke sembarang orang, jawabnya.

21

Baik kalau begitu. Mulailah. Kau ingat kenapa kita berkelahi? tanyanya. Aku mengernyitkan kening dan terdiam. Kenapa kami dulu berkelahi? Bukankah waktu itu dia menuduhku mempengaruhi Rosmiar agak tidak mau menerima ungkapan cintanya. Jadi agaknya cerita ini akan ada kait berkait denganku? Tanyaku dalam hati. Seingatku, kau menuduhku menghalangi Rosmiar untuk jadi pomlemu. Bukankah begitu? tanyaku. Bukan sekadar itu. Aku menuduhmu bahwa kau mengatakan sesuatu tentang ayahku, jawabnya. Kau menuduhku, bahwa aku mengatakan sesuatu tentang ayahmu? Ah, nggak. Tentang apa? Seingatku kau marah-marah karena Rosmiar menolakmu jadi pomlemu. Bukan begitu? Bukan. Rosmiar mengatakan bahwa dia tidak mau denganku karena aku anak orang PKI. Bahwa semua orang tahu bahwa aku anak orang PKI. Dan dia juga menyebut bahwa kau juga tahu bahwa aku anak orang PKI. Aku malahan tidak ingat itu. Lalu kenapa? Sebenarnya aku memang adalah anak orang PKI, katanya. Aku kembali terdiam. Apa maksudnya? Maksudmu? Maksudku, aku benar-benar anak seorang PKI. Ayahku PKI. Ayahku anggota partai terlarang itu. Lagi-lagi aku terdiam. Inilah yang ingin kuceritakan. Bahwa aku mendapat pengalaman istimewa karena ayahku PKI itu. Entah dari mana cerita ini akan aku mulai. Ringkasannya dululah biar kau punya bayangan. Ayahku dulu seorang pegawai kantor pos. Awalnya ayahku bukanlah orang yang menyenangi politik. Justru ibuku yang lebih aktif dalam hal-hal politik. Ibuku aktif di Aisyiah dan jadi anggota Masyumi. Waktu terjadi peristiwa Gestapu, pamor PKI hancur. Orang-orang PKI menghilang atau dihilangkan. Tapi ayahku sendiri selamat. Beliau hanya berhenti atau disuruh menghilang saja oleh atasannya di kantor. Beliau tinggal saja di rumah dan kembali sakitsakitan. Ayahku memang agak penyakitan. Sampai beliau menemui ajalnya lima tahun kemudian di tahun 70. Marwan menarik nafas. Aku memandangnya dengan mata tak berkedip. Aku tidak bisa bersuara. Ayahku menitipkan aku kepada adik beliau, pak etekku yang merantau di Surabaya. Itulah sebabnya aku melanjutkan sekolah kesana. Tamat SMA aku masuk ITS, jurusan mesin. Tahun
22

77 aku tamat dari ITS. Agak terlambat karena aku menyambil membantu pak etekku berdagang. Setelah tamat aku mulai bekerja. Akupun dulu bekerja di perminyakan seperti kau. Sejak awal tahun 78. Tahun 79 aku menikah. Dengan orang Maninjau. Sayang kami tidak dikaruniai anak. Tahun 83 terjadilah huru hara. Seorang karyawan lapangan, yang adalah teman kita juga, sekampung dengan ayahku pindah ke kantor pusat di Jakarta. Baru beberapa hari saja, dia mengingatkan aku agar segera minta berhenti saja. Aku tentu saja kaget. Ada apa, tanyaku kepadanya. Kau sebaiknya minta berhenti saja baik-baik dan segeralah menghilang, katanya. Aku kembali bertanya, kenapa. Waktu itu, kalau kau masih ingat, sangat gencar diadakan screening. Kau pasti juga pernah mengalami. Akupun menjalaninya. Memang setiap kali ditanya tentang orang tua, apakah terlibat dengan partai terlarang, aku sudah barang tentu menyembunyikan dan mengatakan tidak. Nah, inilah yang diungkitnya waktu dia datang berbicara empat mata denganku. Katanya, pada kesempatan screening berikutnya, kalau dia ditanya tentang aku dan ayahku, sebagai teman sekampung, dia pasti akan mengatakan yang sebenarnya. Marwan kembali berhenti sejenak dan memandang ke arahku. Mungkin ingin meyakinkan dirinya bahwa aku mau mendengar ceritanya itu. Padahal aku sedang mendengarkan dengan penuh perhatian. Terus bagaimana ? tanyaku pendek. Mula-mula aku menganggap ucapannya hanya main-main. Mana mungkin dia akan menggulingkan periuk nasiku dengan cara seperti itu. Tapi dia sangat serius. Dia berulang-ulang mengingatkanku. Aku mulai agak penasaran dan mengingatkan bahwa bukankah tidak ada untungnya baginya membuka cerita itu. Tapi dia tetap bersikeras. Katanya kalau didiamkan, termasuk dia pasti akan celaka suatu hari nanti. Dan dia tidak mau mengambil resiko itu. Ringkas cerita, nanti akan aku jelaskan lebih rinci kalau kau tertarik, karena aku menolak mengundurkan diri, dia benar-benar melaporkan kepada petugas screening itu bahwa aku adalah anak orang PKI. Aku hampir diseret kepengadilan karena dianggap telah menipu dengan menyembunyikan kebenaran. Untung tidak jadi. Hanya dipecat dengan tidak hormat dari perusahaan tempatku bekerja. Dan tambahan atau bonusnya sesudah itu, beberapa bulan kemudian istriku minta cerai. Dia pergi meninggalkanku. Itulah kesimpulan dari cerita itu. Tentu ada rinciannya. Tapi aku hanya akan menceritakan kalau kau berminat mendengarkannya lebih jauh, Marwan mengakhiri ceritanya sementara. Aku terperangah mendengarnya. Aku tahu cerita screening. Akupun berkali-kali melaluinya. Menjawab pertanyaan yang memang kadang-kadang menggiring dan menjurus. Yang kalau salah-salah jawab bisa menimbulkan masalah. Tapi karena aku memang tidak punya masalah tidak pernah aku mendapat kesulitan apa-apa. Aku juga mengenal teman sekantor dulu yang juga diberhentikan karena terindikasi terlibat. Bahkan ada yang cucu dari orang PKI juga diberhentikan. Gara-gara dia cucu seorang anggota PKI. Aturan bersih lingkungan di jaman Orde Baru itu memang sangat susah dimengerti.

23

Aku prihatin mendengar ceritamu, kataku setelah kami sama-sama hening beberapa saat. Aku bukan minta simpati. Toh ini cerita lama. Sudah dua puluh tahun lebih yang lalu, kata Marwan. Teman yang melaporkan itu, kau bilang teman kita. Maksudmu teman satu SMP? Ya, tapi dibawah kita dua tahun. Mungkin kau tidak mengenalnya. Dia sekampung dengan ayahku. Masih sekampunglah denganku. Apakah kalian punya masalah di kampung? Kenapa dia sebegitu teganya melakukan itu kepadamu? Aku tidak yakin bahwa ada masalah. Tapi mungkin dari pihak orang itu seperti ada masalah. Lain lagilah ceritanya, kata Marwan. Aku jadi penasaran. Apa sebenarnya yang terjadi? Marwan memandang ke depan dengan pandangan setengah kosong. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Kami kembali sama-sama terdiam. Maaf, tapi....... Sebenarnya ayahmu itu benar-benar PKI nggak sih ? Kau bilang beliau bukan orang politik pada dasarnya, aku bertanya memecah kesunyian. Panjang lagi ceritanya itu, jawabnya. Cobalah ceritakan sedikit! kataku. Pada awalnya ayahku tidak pernah tertarik dengan politik. Tapi tidak pula terlalu alergi dengan politik. Ayah menerima bahwa ibu adalah aktifis Masyumi. Seingatku tidak pernah ada masalah. Sampai suatu hari, saudara kembar ayah di bunuh tentara PRRI. Ayah dan pak tangah itu sangat dekat satu sama lain. Ibaratnya kalau yang satu disakiti yang lain benar-benar merasa pula kesakitan. Nah, sesudah saudara kembar beliau itu terbunuh, ayah jadi agak labil. Beliau marah dan benci kepada PRRI, meski yang berbuat itu mungkin hanya oknum saja di kalangan PRRI. Dalam suasana labil itu, ayah didekati atau entah bagaimanalah ceritanya, oleh seseorang yang lebih tua dari ayah. Datuk Rajo Bamegomego gelar beliau, orang sekampung dengan ayah. Beliau ini seorang PKI sejak lama. Pelan-pelan, ayah mulai tertarik dan ikut partai komunis itu. Dan ayahmu aktif di partai itu? aku menyela. Kalau menurut pendapatku beliau hanya ikut-ikutan. Karena di partai itu sepertinya dipupuk rasa kebencian kepada PRRI. Kepada Masyumi dan sebagainya. Nah, bagaimana dengan ibumu. Kan ibumu justru orang Masyumi? Disana aku yakin bahwa ayah hanya sekadar ikut-ikutan. Beliau bercerita di rumah, bahwa inyiak Datuk Rajo Bamegomego berkali-kali menyuruh beliau menceraikan saja ibuku.
24

Kenyataannya beliau tidak pernah melakukannya. Dan kadang-kadang di rumah, keluar juga dari mulut beliau tentang ketidakberesan partai komunis itu. Misalnya? Kau ingat tidak? Waktu itu di kampung kita diperintahkan menggali lubang perlindungan di setiap pekarangan rumah? Di tahun-tahun 1964? Ya, aku ingat. Di kampung kami juga ada perintah itu. Aku masih ingat letak lubang perlindungan itu di samping rumah kami. Dalamnya kira-kira satu meter, lebar enam puluh senti meter dan harus dibuat cukup untuk tempat semua penghuni rumah. Katanya waktu itu untuk tempat berlindung seandainya rumah kita diserang tentara Inggeris, waktu kita sedang mengganyang Malaysia, jawabku. Ayahku bercerita, dalam rapat disebutkan bahwa lubang itu sebenarnya adalah untuk jadi kuburan penghuni rumah. Siapa saja yang jadi musuh revolusi akan dibunuh, dan mayatnya tinggal dimasukkan ke dalam lubang yang sudah disiapkan itu. Biar tidak mencurigakan, perintah membuat lubang diberikan kepada setiap warga. Oh ya? Mengerikan sekali. Tapi untunglah, seingatku tidak ada berita ada musuh revolusi yang dibunuh dan dikuburkan ke lubang perlindungan itu. Dan ayahmu bercerita seperti itu di rumah, maksudnya untuk apa? Untuk menunjukkan bahwa beliau tidak setuju dengan pemikiran itu. Tapi beliau tidak bisa membantahnya di dalam rapat, lalu mengeluarkan ceritanya kepada ibuku di rumah. Tadi kau bilang, awalnya karena saudara kembar ayahmu dibunuh PRRI sehingga beliau akhirnya ikut-ikutan bersimpati dengan PKI. Memangnya kenapa saudara ayahmu itu dibunuh? Begini lagi ceritanya, Marwan melanjutkan lagi cerita itu.

(5) Saudara Kembar Thursday, 20 November 2008 Sumatera Tengah di tahun 1958 adalah negeri yang bergolak. Sekelompok besar masyarakat di daerah itu menentang pemerintah pusat Republik Indonesia dan memproklamirkan perang. Perlawanan dibawah panji Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia disingkat PRRI menentang negara Republik Indonesia. Di Sumatera Barat sebahagian sangat besar penduduk mendukung PRRI dan ikut berpartisipasi baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hampir semua pegawai negeri, bahkan saudagar dan petani melibatkan diri, mengangkat senjata bergabung dengan PRRI. Tentara APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) didatangkan ke Sumatera Tengah untuk memerangi PRRI. Orang-orang PRRI itu, entah karena pertimbangan apa, mengundurkan diri ke

25

hutan. Namun sebagian besar pula, setelah beberapa bulan perang berkecamuk, tidak sanggup bertahan, lalu kembali. Istilahnya kembali ke pangkuan ibu pertiwi. *** Syamsuddin dan Burhanuddin adalah dua saudara kembar. Yang sehati lahir dan batin. Saling mengasihi, saling merindukan kalau dipisahkan. Begitu sejak masa kanak-kanak, begitu juga sampai mereka dewasa bahkan sampai mereka sudah berumah tangga, beranak pinak. Syamsuddin bekerja sebagai pegawai negeri. Pegawai kantor pos. Diawalinya sebagai petugas pengantar surat dengan sepeda dan terakhir sebagai pegawai kantoran di Bukit Tinggi. Syamsuddin sedikit lemah secara fisik, sering sakit. Orang kampung menyebutnya sakit jariah, dokter menyebut asma. Waktu dia bekerja sebagai pengantar surat dari kantor pos, kalau cuaca baik dia cukup sehat. Tapi kalau cuaca buruk di musim penghujan dia sering jatuh sakit. Sakit jariah atau sesak nafas. Atas pertimbangan itu akhirnya dia segera dipindahkan bekerja ke kantor. Burhanuddin kebalikannya adalah seorang yang sangat kuat secara fisik. Dia jadi pedagang tembakau di Paya Kumbuh. Usahanya lumayan maju. Tembakau yang dikumpulkannya dikirim ke Medan. Kalau sehabis musim panen tembakau, tiap hari oto prah mengangkut tembakau dagangannya ke sana. Ketika perang PRRI meletus, Burhanuddin ikut mendaftar untuk jadi pejuang PRRI. Sebenarnya Syamsuddin juga ikut-ikutan mendaftar. Tapi karena pertimbangan kesehatan hanya Burhanuddin yang diterima. Ditinggalkannya usaha dagangnya yang sedang maju-majunya. Karena semangat kesetiakawanan. Karena hampir semua orang laki-laki yang berumur di antara 18 tahun sampai 45 tahun di kampungnya ikut keluar, begitu istilahnya. Artinya ikut ambil bagian dalam perang sebagai tentara PRRI. Meskipun dia tidak punya latar belakang militer sedikitpun. Belum pernah dia memegang senjata. Tapi, sekali lagi karena semangat yang sangat menggebu, yakin bahwa mereka harus berjuang, menegor pemerintah pusat yang menurut keyakinan mereka telah berlaku tidak adil kepada daerah, Burhanuddin ikut berpartisipasi tanpa ada keraguan. Burhanuddin menjadi anggota kompi Kapten Udin Kulabu. Nama komandan itu sebenarnya Hasanuddin, seorang tentara asli berpangkat kapten, dan lebih dikenal sebagai Kapten Udin Kulabu. Lebih dari separuh anak buahnya adalah tentara asli sedangkan yang lainnya adalah tentara karbitan. Dalam kelompok yang terakhir ini termasuk Burhanuddin. Tapi di dalam pasukan tersebut tidak ada perbedaan. Semua sama-sama memegang senjata api. Burhanuddin berlatih secara kilat menggunakan senjata api, yang ternyata memang tidak terlalu susah. Dia bangga dan senang ikut ambil bagian di dalam kompi yang beranggotakan 120 orang tentara di bawah Kapten Udin Kulabu. Markas mereka di kaki gunung Marapi, tapi kadang-kadang mereka berpatroli sampai ke daerah Kamang di utara.

26

Sebagai saudagar, Burhanuddin adalah orang berduit. Ketika ikut berangkat berperang dibawanya bekal, empat buah rupiah emas. Siapa tahu ada juga gunanya nanti. Menyimpan empat buah rupiah emas yang digulung dengan sapu tangan di dalam kantong rahasia celananya, lama kelamaan diketahui oleh teman-teman satu kompi. Mula-mula hal itu diketahui oleh teman yang selalu bersama-sama, karena dia selalu menarik perhatian ketika berganti pakaian. Dia selalu bertingkah berhati-hati sekali. Sehingga temannya bertanya, ada apa sebenarnya. Sekali dua kali dijawab tidak ada apa-apa, malah semakin menarik perhatian temannya itu yang lalu mengajak teman lain memperhatikan. Pada suatu kali dia dijebak oleh teman-temannya itu. Celana yang selalu ditaruh dan dijaganya hati-hati kalau dia mandi atau berganti pakaian mereka ambil secara paksa. Dan terpaksalah dia menceritakan dengan sesungguhnya apa yang disimpannya dalam celana itu. Kabar bahwa dia menyimpan empat buah rupiah emas segera sampai ke telinga komandannya, kapten Udin Kulabu. Dia dipanggil dan dimintai konfirmasi. Burhanuddin menjelaskan bahwa memang dia punya empat rupiah emas. Kapten Udin Kulabu menasihati agar uang itu dipinjamkan kepadanya saja. Menyimpan uang emas itu sendiri beresiko menjadi incaran orangorang yang berniat jahat, begitu kata komandan. Dia akan menjualnya dan uangnya akan dibagikan kepada semua anak buah. Nanti kalau perang sudah usai, Kapten Udin Kulabu pribadi yang akan menggantinya, atau paling tidak yang akan mengusahakan mencari gantinya. Burhanuddin tidak bisa menolak dan keempat rupiah emas itu diserahkannya. Penyerahan itu dilakukan dengan disaksikan beberapa orang. Dan Kapten Udin menandatangani surat tanda terima yang juga ditandatangani dua orang dari saksi yang hadir. Baru beberapa bulan sejak pecah perang terdengar desas desus bahwa Kapten Udin berencana mau menyerah. Dikatakan bahwa dia sedang melakukan kontak dengan fihak APRI. Entah karena apa. Sebelum berita desas desus itu diketahui seluruh anak buahnya, terjadi peristiwa aneh ketika mereka kembali dari sebuah patroli di daerah Kamang. Tidak terdengar suara mobil konvoi tentara APRI, tiba-tiba sebagian anggota pasukan itu sudah terkepung di dekat Bukit Kalung. Termasuk ke dalam rombongan yang terkepung itu Kapten Udin Kulabu sendiri dengan 40 orang anak buahnya. Tidak ada tembak menembak. Sementara anggota rombongan yang lain masih berada agak jauh di belakang. Barulah tiba-tiba terdengar suara deruman lima buah truk tentara yang rupanya sebelum itu disembunyikan dan sengaja dimatikan mesinnya. Anak buah Udin Kulabu yang tertinggal berusaha menghindar begitu mendengar suara derum mobil. Kapten Udin Kulabu dan keempat puluh anak buah yang ikut bersamanya diangkut dengan truk tentara itu. Beredar lagi berita bahwa Kapten Udin menyerah dengan membayar upeti kepada komandan tentara APRI dengan 4 rupiah emas yang didapatnya dari Burhanuddin. Ini untuk melicinkan jalan baginya agar dianggap bahwa dia bukan menyerah tapi kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Dengan demikian dia tidak ditawan dan karir tentaranya dapat dipertahankan. Konon begitu kesepakatan sebelum dia menyerahkan diri. Menyerahnya Kapten Udin Kulabu dengan cara seperti itu, menimbulkan rasa sakit hati yang mendalam di kalangan sebagian anak buahnya yang tertinggal. Mereka merasa benar-benar dikhianati. Sisa pasukan yang berjumlah sekitar 80 orang itu sekarang dipimpin oleh Pembantu
27

Letnan Satu Sulaiman. Burhanuddin termasuk di dalam kelompok yang masih tinggal ini. Burhanuddinpun sangat kecewa dengan terjadinya peristiwa itu. Bertambah rasa kesalnya bukan karena kehilangan empat buah rupiah emas, tapi karena merasa dia punya andil untuk memuluskan rencana belot Kapten Udin Kulabu. Semangat untuk meneruskan perjuangan ini jadi jauh berkurang. Dalam kegalauannya, Burhanuddin jadi sangat rindu kepada saudara kembarnya Syamsuddin yang sudah berbulan-bulan ditinggalkannya di kampung. Hal ini sering diceritakannya kepada teman dekatnya di pasukan, Sersan Husin. Sersan ini selalu mendengar keluhan Burhanuddin tentang kerinduannya yang sangat kepada saudaranya itu. Dia selalu dihibur dan kadang-kadang diolok-olok agar sebagai tentara jangan cengeng. Tidak banyak orang yang bisa memahami, betapa dekatnya hati dua saudara kembar seperti ini dan betapa beratnya terasa bagi mereka perpisahan itu. Memang sulit bagi orang lain membayangkan hal itu. Hari-hari berjalan seperti biasa. Khawatir mereka akan diserang oleh tentara APRI di markas yang lama, sesudah Udin Kulabu menyerah, Letnan Sulaiman memindahkan tempat bertahan mereka ke daerah Kamang dan kemudian ke daerah Pasaman. Pasaman adalah daerah yang banyak berawa-rawa. Daerah yang rawan dengan nyamuk malaria. Mungkin karena masih dalam keadaan jiwa terpukul, fisiknya berubah menjadi lemah, Burhanuddin terserang demam malaria. Panasnya tinggi dan seringkali dalam demamnya dia mengigau. Igauannya selalu tentang penyesalan dan kerinduannya kepada Syamsuddin. Berharihari dia sakit demam panas seperti itu. Komandan baru Letnan Sulaiman sangat prihatin melihat kondisi Burhanuddin. Disamping karena sakitnya itu menjadi beban kepada anggota pasukan yang lain. Dia memutuskan untuk menyerahkan Burhanuddin melalui wali nagari di Bonjol, tempat yang terdekat waktu itu. Lepas tengah malam pada suatu malam dia diantar ke rumah wali nagari itu dengan ditandu. Masih dalam keadaan demam panas dan banyak mengigau. Di rumah wali nagari itu dia dirawat. Alhamdulillah setelah beberapa hari penyakitnya mulai sembuh. Oleh wali nagari kehadirannya dilaporkan kepada komandan APRI disana. Dia dijemput setelah dia sembuh dan dibawa ke Bukit Tinggi. Di markas APRI di Bukit Tinggi dia diinterogasi. Dia mengaku terus terang bahwa dia anggota PRRI, anak buah Kapten Udin Kulabu. Dalam keadaan sakit dan tidak sadar dia ditinggalkan teman-temannya dan waktu sadar dia sudah berada di rumah wali nagari di Bonjol. Cerita itu dipercayai komandan tentara, karena cocok dengan laporan wali nagari bahwa dia ditemukan di tepi hutan dalam keadaan sakit dan tidak sadarkan diri. Anehnya dia tidak dipertemukan dengan Kapten Udin Kulabu. Entah dimana keberadaan mantan komandannya itu. Setelah ditahan selama sebulan dia dibebaskan. Burhanuddin sangat gembira. Di kampung didapatinya saudaranya Syamsuddin dalam keadaan sakit pula. Tetapi begitu dia datang, aneh sekali, sakit Syamsuddin berangsur-angsur sembuh. Dimulainyalah kehidupan baru di kampung. Sebahagian besar kampung dan nagari sudah berada dibawah kontrol tentara APRI. Tentara PRRI makin menghindar ke hutan-hutan. Dengan
28

kondisi seperti itu, Burhanuddin kembali menggeluti usaha lamanya, berdagang tembakau di Paya Kumbuh. Semua berjalan lancar-lancar saja. Meskipun pada awalnya perdagangannya sangat mundur dibandingkan dengan sebelum pecah perang, tapi sedikit demi sedikit geliatnya terasa makin membaik. Burhanuddin tetap tinggal di kampung dan mengurus perdagangannya bolak balik dari kampung ke Paya Kumbuh. Ada terbersit di hatinya untuk pindah menetap di Paya Kumbuh sementara, tapi selalu saja ditunda-tundanya. Rasanya belum habis rasa rindu kepada keluarga dan saudara kembarnya sesudah berpisah sekitar tujuh bulan. Lalu terjadilah mala petaka itu. Pada suatu malam, lewat tengah malam pintu rumahnya diketok orang dan namanya dipanggil. Suara yang memanggil itu dikenalnya. Itu adalah suara seorang temannya di pasukan. Burhanuddin tidak berprasangka apa-apa. Dia bangun dan membukakan pintu. Empat orang tentara PRRI, teman-temannya sepasukan tempohari masuk secara kasar. Burhanuddin mempersilahkan orang-orang itu duduk. Mereka terlihat sangat kasar, tidak sama seperti waktu dulu ketika masih sama-sama di hutan. Yang satu bercarut-carut di tengah malam buta itu mengatakan bahwa Burhanuddin pengkhianat. Istrinya yang terbangun dan ikut keluar mendengar suara ribut-ribut, didorong tentara itu agar kembali masuk kamar. Istrinya sangat ketakutan dan mendengar saja dari dalam kamar apa yang terjadi diluar. Tentara yang satu orang masih saja bercarut-carut dan menuduh. Burhanuddin kaget mendengar tuduhan seperti itu. Dia masih mencoba membantah dengan mengatakan bahwa dia telah ditinggalkan ketika dia dalam keadaan sakit di tengah hutan. Jadi bukan dia yang berkhianat. Keempat orang itu memaksa dia agar sekarang ikut lagi ke hutan bersama mereka. Anehnya lagi keempat orang itu memaksa, kalau tidak mau ikut mereka, maka mereka minta bayaran 4 rupiah emas. Burhanuddin menangkap gelagat tidak benar. Timbul keberaniannya. Keempat orang tentara itu dilawannya dalam pertengkaran itu. Ini tidak benar. Ini bukannya kalian ingin menjemputku kembali ke pasukan tapi kalian ingin merampokku. Aku tidak punya rupiah emas di rumah ini. Kalaupun aku punya aku tidak akan mau menyerahkannya kepada kalian, katanya dengan penuh keberanian. Kalau begitu kau harus ikut kami ke pasukan! bentak yang satu. Aku tidak keberatan untuk kembali ke pasukan, tapi jangan begini caranya, jawab Burhanuddin tegas. Kubunuh kau pengkhianat! hardik yang paling sangar sambil menodongkan senjatanya. Temannya masih berusaha menahan si sangar itu. Kau tidak bisa membunuhku. Aku tidak keberatan untuk kembali ke pasukan kalau ini perintah komandan. Tapi tidak dengan cara seperti ini. Kalau kalian berniat baik, aku tunggu kalian besok malam. Bawakan surat perintah komandan. Aku akan ikut kembali ke pasukan. Tapi kalau tidak ada surat, aku tidak mau ikut, kata Burhanuddin tegas.
29

Benar-benar akan kubunuh kau! bentak si sangar kembali Mungkin karena mendengar suara ribut-ribut tengah malam itu, petugas ronda kampung yang posnya berjarak 30 meter saja dari rumah Burhanuddin, membunyikan tong-tong tanda bahaya. Tentara PRRI itu mungkin panik mendengar suara tong-tong itu. Mereka segera bersiap untuk lari keluar. Si sangar masih sempat menarik pelatuk senjatanya yang sudah terarah ke kepala Burhanuddin. Senjata itu menyalak dan Burhanuddin tersungkur rebah ke lantai bersimbah darah. Keempat tentara PRRI itu menghambur ke dalam gelap. Istri Burhanuddin menghambur keluar dari kamarnya dan menjerit histeris ketika dilihatnya Burhanuddin sedang dalam sakratul maut. Beberapa menit kemudian dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Hebohlah suasana malam itu. Dan lebih heboh lagi pada pagi harinya. Tentara APRI datang menyelidik dan menginterogasi istri Burhanuddin tentang ciri-ciri tentara PRRI yang datang tadi malam. Istri Burhanuddin yang masih sangat terpukul menjelaskan apa yang dialaminya dan suaminya tadi malam. Jenazah Burhanuddin dimakamkan pagi hari itu. Yang paling terpukul dengan peristiwa itu adalah saudara kembarnya Syamsuddin. Dia pingsan berkali-kali mendengar berita kejadian itu. Dan akhirnya dia kembali jatuh sakit. ***** (6) Syamsuddin Yang Malang Wednesday, 03 December 2008 Kampung berduka dengan kematian Burhanuddin. Masyarakat kampung sangat terpukul dengan peristiwa itu, apalagi dengan cara yang tidak disangka-sangka. Tentara PRRI ditembak tentara PRRI. Sudah banyak jatuh korban selama perang ini di kampung mereka, tapi sebelum ini kebanyakan adalah warga penduduk yang ditembak tentara APRI, baik yang dicurigai sebagai orang PRRI, ataupun yang salah tembak karena lari ketakutan waktu tentara APRI masuk kampung, terutama anak-anak muda umur belasan tahun. Tapi kali ini, kematian Burhanuddin, seorang anggota PRRI yang pulang karena sakit dan dibunuh oleh sesama tentara PRRI. Benarkah karena dia dianggap berkhianat? Kenapa Burhanuddin dianggap pengkhianat? Benarkah dia pengkhianat? Padahal dia ditinggalkan atas perintah komandannya karena sakit malaria berat waktu itu di Bonjol. Bukan dia yang minta ditinggalkan. Cerita yang diceritakannya kepada istri dan saudara kembarnya Syamsuddin, tentang komandannya Kapten Udin Kulabu menyerah, atau lebih tepat berkhianat, mulai dibicarakan orang kampung. Karena istri Burhanuddin menceritakannya kepada saudara-saudaranya. Dan sesudah itu cerita itu jadi omongan semua orang. Dengan sendirinya simpati orang kampung mulai berkurang kepada PRRI. Perjuangan PRRI dan cara PRRI berjuang sangat jauh dari yang digembar-gemborkan selama ini.

30

Tentu saja ikut beredar cerita empat rupiah emas yang digondol komandan khianat itu. Dan malam terbunuhnya Burhanuddin, tentara-tentara pembunuh itu juga berupaya meminta empat rupiah emas, seperti yang diceritakan istri Burhanuddin. Hal ini tentu saja menambah buruk citra PRRI yang sudah mulai pudar. Kok seperti ini cara berjuang PRRI menuntut keadilan? Kok seperti itu moral tentara PRRI? Meskipun sebahagian masyarakat masih ada yang bisa melihatnya sedikit lebih jernih. Orang yang datang malam-malam itu bukan tentara PRRI, tapi lebih pantas disebut perampok. Ada sekelompok kecil orang yang ikut mencibir di kampung dengan peristiwa terbunuhnya Burhanuddin. Bukan mencibirkan Burhanuddin, tapi mengejek PRRI. Orang-orang yang selama ini memang tidak pernah bersimpati kepada PRRI. Kelompok yang terdiri hanya dari beberapa orang itu dipimpin oleh seorang pemuka adat. Gelarnya Datuk Rajo Bamegomego. Datuk Rajo Bamegomego seorang komunis, seorang PKI tulen. Bencinya kepada perjuangan PRRI selama ini, yang dipelopori oleh orang-orang yang berseberangan secara politik dengan PKI, naik sampai ke ubun-ubun. Tapi selama ini kebencian itu hanya disimpan di dalam hati saja, karena bagian terbesar penduduk justru sangat pro PRRI. Tidak mungkin dia melawan arus. Setelah perang kelihatannya tidak terlalu memihak kepada PRRI, Datuk Rajo Bamegomego mulai berani menyuarakan isi hatinya. Mula-mula dengan pelan-pelan. Tapi lama kelamaan dia semakin berani. Orang-orang PRRI yang dipimpin orang-orang Masyumi itu adalah orang-orang yang kontra revolusi, begitu katanya. Pengacau yang menyusahkan rakyat. Cobalah lihat, mereka umumkan perang. Siapa yang menderita akibat perang? Tidak lain adalah rakyat. Maka rakyat harus bangkit. Harus melawan. Orang-orang kontra revolusi itu harus dihancurkan, harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Rakyat harus bahu membahu menghancurkan kekuatan pemberontak yang kontra revolusi itu. Cerita seperti ini dihembuskannya dimana-mana. Kalau dulu secara bisik-bisik, sekarang dia berani berkoar-koar di lepau kopi. Mari, ikutilah kami. Ikut PKI untuk mengenyahkan pemberontak-pemberontak itu. Begitu dia sering berkampanye. Satu dua orang mulai tertarik mendengarkan ajakan Datuk Rajo Bamegomego. Kalau dilihat sepintas semua yang disampaikannya benar belaka. Sebelum perang PRRI ini kehidupan masyarakat di kampung-kampung aman-aman saja. Rakyat hidup dalam semangat gotong royong yang tinggi. Tapi setelah perang, mula-mula semua orang ikut berperang. Lalu lari masuk hutan. Sebagian ada yang kembali karena tidak tahan lalu langsung kabur ke rantau. Sementara yang tinggal di kampung tidak pula merasa aman. Siang takut kepada tentara APRI, malam takut kepada tentara PRRI. Akibatnya tatanan masyarakat jadi centang perenang. ***

Lama Syamsuddin terkapar sakit sesudah kematian Burhanuddin. Pada hari Burhanuddin dikuburkan dia berkali-kali pingsan. Sepertinya ruhnya ikut dibawa pergi saudara kembarnya itu. Belum lepas habis rindunya sesudah berpisah sekian lama, tiba-tiba sekarang saudaranya itu seperti direnggutkan dari sisinya. Ketika Burhanuddin muncul di kampung, senang hatinya,

31

langsung sehat badannya. Lama kedua saudara itu bercengkerama seperti anak-anak kecil, bercerita, tertawa-tawa, berjalan ke hilir ke mudik di tengah kampung. Untunglah istrinya sangat telaten merawat. Dan selalu berusaha memberinya semangat untuk tegar dalam menjalani kehidupan. Bagaimanapun juga sudah seperti itu ketentuan Allah Sang Maha Pencipta, tidak mungkin dirubah lagi. Burhanuddin tidak mungkin akan hidup kembali. Istri yang setia itu berusaha keras mencarikan obat untuknya. Dia berkeyakinan, sakit suaminya kali ini lebih banyak disebabkan faktor kejiwaan. Karena saking dekatnya hubungan mereka sebagai saudara kembar. Alhamdulillah, lama kelamaan penyakit Syamsuddin mulai sembuh. Sedikit demi sedikit dia mulai bisa kembali beraktifitas. Bisa pergi sembahyang jumat dan duduk ke lepau. ***

Di sebuah lepau kopi di kampung itu sering terjadi debat politik ala kampung. Yang paling garang dalam berdebat adalah Datuk Rajo Bamegomego. Hampir pada setiap kesempatan engku Datuk ini berkampanye tentang partainya PKI. Tentang revolusi. Tentang pentingnya arti kekuatan segenap rakyat, termasuk buruh dan tani dalam mengawasi negeri ini. Sayangnya pula, tidak banyak yang sanggup mematahkan kaji orang tua ini. Ada yang segan karena dia ini seorang penghulu. Ada yang memang tidak tahu apa-apa sehingga segala yang keluar dari mulut engku Datuk indah saja terdengarnya. Kalaupun ada yang menggerutu tidak setuju hampir tidak pernah berani mematahkan pendapatnya. Syamsuddin sering mendengar ceramah Datuk Rajo Bamegomego di lepau itu. Ikut terbakar emosinya. Timbul simpatinya kepada engku Datuk itu. Lama-kelamaan simpati itupun semakin terbaca oleh engku Datuk. Jadilah dia ditawari ikut barisannya, ikut masuk partainya, PKI. Syamsuddin tidak serta merta menerima. Sempat juga dia berdiskusi dengan istrinya di rumah. Istrinya melarangnya ikut partai merah itu. Ketika dia bertanya apa alasannya, istrinya hanya mengatakan bahwa dia merasa partai komunis itu berbahaya. Kalau hanya perasaan tentulah tidak boleh dijadikan alasan, begitu jawabnya. Istrinya mengingatkan lagi bahwa orang-orang PKI itu atheis. Mereka tidak percaya dengan Tuhan. Syamsuddin kembali mematahkan, biarlah dia jadi komunis yang perkecualian, karena dia adalah orang yang tetap memelihara sembahyang. Dia tetap percaya dengan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa. Akhirnya diapun masuk menjadi anggota PKI. Resmi dan diberi kartu anggota PKI. Senang hati Datuk Rajo Bamegomego, karena dia salah satu orang berpendidikan yang berhasil direkrutnya. Seorang pegawai kantor, meski dia hanya tamat sekolah desa di jaman Belanda. Syamsuddin selalu diajaknya ikut kalau dia pergi rapat ke Bukit Tinggi atau ke Padang. Syamsuddin selalu diindoktrinasi, agar menjadi kader yang benar-benar militan. Tidak boleh melempem, tidak boleh loyo dan lemah, jangan hanya jadi kader sontoloyo, begitu selalu pesan engku Datuk kepadanya.

32

Perang PRRI akhirnya selesai. Orang-orang PRRI akhirnya menerima untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi meski pada hakekatnya mereka sudah dikalahkan. Para pemimpinnya ditahan pemerintah, tapi tentara biasa umumnya dimaafkan dan dibolehkan kembali ke masyarakat. Tapi luka akibat perang itu tertoreh sangat dalam. Sebahagian besar orang laki-laki yang tadinya ikut berperang, berhamburan ke rantau. Malu untuk tetap tinggal di kampung. Yang ikut menang adalah PKI. Partai itu semakin lantang saja suaranya. Memaki ke kiri dan ke kanan, memusuhi setiap yang mereka anggap sebagai musuh revolusi. Yang dituduh sebagai antek-antek kapitalis dan kolonialis. Di kampung-kampung, laki-laki sudah banyak yang pergi merantau. Yang tinggal umumnya hanyalah petani, dan banyak di antaranya yang masih buta huruf. Ada petani yang tidak bersekolah itu yang mau diajak masuk partai komunis dengan diiming-imingi cangkul dan sabit. Walaupun tidak banyak. Syamsuddin selalu dibawa Datuk Rajo Bamegomego mengunjungi orang-orang kampung yang petani itu. Di hadapan mereka biasanya engku Datuk berpidato berapi-api. Pidato itu sering kali tidak terlalu jelas ujung pangkalnya, tapi secara sederhana isinya adalah ajakan, mari ikut dengan kami, mari ikut masuk PKI, kita hancurkan musuh revolusi. Sebenarnya engku Datuk seringkali dibuat jengkel oleh Syamsuddin karena tidak menurut semua perintahnya. Ada dua perintah engku Datuk yang tetap dilanggarnya. Pertama perintah meninggalkan sembahyang. Mulai dengan cara halus, dengan mengatakan mengerjakan sembahyang itu nanti saja kalau perjuangan sudah selesai. Dengan cara setengah kasar, dengan mencemeeh apa gunanya sembahyang yang membuang-buang waktu, tidak ada manfaatnya. Sampai dengan cara kasar, dengan mengatakan Syamsuddin bodoh, mau tunggang tunggik menghadap yang sudah pasti tidak ada. Hal kedua yang tidak kunjung dikerjakan Syamsuddin adalah menceraikan istrinya yang anggota Masyumi itu. Kamu harus menceraikan istrimu yang musuh dalam selimut itu Marajo, ujar Datuk Rajo Bamegomego pada suatu kesempatan. Gelar Syamsuddin adalah Sutan Marajo. Musuh bagaimana engku Datuk? Dia taat dan patuh kepada saya. Apa alasan saya menceraikannya? Kamu jangan jadi komunis sontoloyo. Masak kamu tidak melihat orang seperti istrimu itu musuh? Dia orang Masyumi. Masyumi itu partainya para pemberontak. Masak kamu tidak faham? Di rumah dia tidak sejahat itu engku. Baju saya dicucikannya, makanan saya dimasakkannya, anak-anak saya diurusnya, bagaimana mungkin saya akan menceraikannya? Kau betul-betul bodoh. Kalau itukan memang sudah menjadi tugas istri. Ceraikan dia, cari istri yang lain, yang sefaham dengan perjuangan kita. Kalau kau dapat istri baru, maka tugas istrimu
33

itu nantipun akan seperti itu juga. Mencucikan bajumu, memasakkan nasi untukmu, engku Datuk bertambah marah. Tapi diakan ibu anak-anak saya. Masakan harus beributiri pula anak-anak saya? Hei Marajo teleng!. Orang komunis sejati itu merah darahnya, merah tulangnya, merah hatinya, merah segala-galanya. Jangankan menceraikan istri, kalau diharuskan oleh perjuangan, kalau memang terbukti istri itu musuh, seorang komunis sejati tidak akan ragu-ragu membantai istrinya. Jangankan istri, orang tuanyapun bila perlu sanggup dia membantai. Jelas olehmu? Camkan itu! Kalau kau tidak mau menjadi kader yang militan kau akan digilas roda revolusi. Hati-hati kau! Aku sudah berkali-kali mengalangkan leherku membela kau di hadapan kamerad lain di Padang. Gara-gara sembahyang kau. Sembahyang yang jelas tidak ada gunanya itu. Pekerjaan orang sakit jiwa yang percaya takhayul. Percaya sesuatu yang tidak ada. Kamerad yang lain sudah ingin agar kau keluar saja. Kau diselesaikan saja. Kau hanya akan menjadi penyakit di dalam tubuh partai. Aku masih kasihan kepadamu. Makanya aku kalangkan marihku membelamu. Kau tak kunjung faham-faham juga. Syamsuddin diam saja. Dalam hatinya sedikitpun tidak ada niatnya untuk menceraikan istrinya. Partai ini sepertinya makin kelihatan tidak sendereh. Tapi sayang dia sudah berada di dalam. Biarlah, selama kemarahan Datuk Rajo Bamegomego baru sampai sejauh itu masih bisa ditahankannya. Biarpun dia bercarut-carut bungkang sekalipun. Tapi kalau sudah mengancamancam mungkin dia harus berpikir lebih jauh. Dia tidak yakin engku Datuk akan berbuat lebih jahat kepadanya. Paling tidak belum sekarang ini. Karena selama ini dia masih sangat dibutuhkan. Sekurang-kurangnya, kalau ada urusan rapat ke Padang selalu dia yang membayar karcis oto. Jadi dia aman-aman saja. Kalau engku Datuk kembali heboh, kapanpun, cukuplah dia mengorbankan telinganya saja. Didengar dengan telinga kanan, dikeluarkan kembali lewat telinga kiri. Di rumah segala cerita ganjil-ganjil yang didapatnya dari lingkungan partai diceritakannya kepada istrinya. Istrinya menasihatinya supaya segera sajalah keluar dari partai itu. Partai yang terlalu kasar sepak terjangnya dan sangat menghina akidah. Sudah ada terngiang dihatinya untuk mempertimbangkan usulan istrinya itu. Tapi ada pula kekhawatiran kalau-kalau orang partai itu mengamuk nanti kepadanya. Caranya bisa saja dengan segala macam. Cara menyelesaikan orang yang tidak disenangi dibahas terang-terangan di dalam rapat. Istilahnya orang itu dibiarkan digilas roda revolusi untuk dikirim ke neraka. Sementara itu Syamsuddin tetap bertahan.

(7) Cuaca Makin Panas Tuesday, 23 December 2008 Makin lama jadi anggota partai bukannya membuat Syamsuddin tambah nyaman. Sebaliknya dia malah semakin kegerahan. PKI makin menjadi-jadi. Semua organisasi yang berseberangan
34

dengan mereka digilas dan di ganyang. Kata-kata ganyang ini sangat populer sejak diperkenalkan oleh Presiden Republik Indonesia, Paduka Yang Mulia Presiden Seumur Hidup, Pemimpin Besar Revolusi, Putera Fajar Yang Agung, Dr. H. Soekarno. Yang mula-mula diganyang adalah musuh revolusi, kemudian siapa saja yang berseberangan dengan Bung Karno. Yang paling heboh adalah himbauan untuk mengganyang Malaysia, negara boneka New Colonialisme (Nekolim). Negara boneka Malaysia harus diganyang, Kalimantan Utara harus dibebaskan, Inggeris harus dilinggis, Amerika harus diseterika. Hayo, mana dadamu, ini dadaku. Bung Karno, sebagai Pemimpin Besar Revolusi, sibuk dengan slogan-slogan. Rakyat kenyang dengan slogan-slogan itu, tapi diam saja. Bangsa Indonesia harus Vivere veri coloso, harus berani nyerempet-nyerempet bahaya. Harus berani, harus menentang musuh. Hayo, teriakkan, mana dadamu, ini dadaku. Biar harus antri untuk mendapatkan minyak tanah. Biar harus makan nasi bulgur. Tidak mengapa, kita harus tegar sebagai anak-anak bangsa. PKI menjiplak slogan-slogan Bung Karno. Siapa saja yang menghalang-halangi revolusi harus diganyang. Yang kontra revolusi adalah yang melawan komunis. Semua orang harus menerima komunis seperti sudah dicanangkan Bung Karno agar setiap penduduk Indonesia menganut faham Nasakom. Ketiga unsur itu harus dalam satu tarikan nafas sekaligus. Nasionalis, agamis dan komunis. Syamsuddin yang sedikit mengerti dengan makna pidato-pidato Bung Karno menjadikan katakata bertuah ini sebagai tameng terakhir. Dia proklamirkan sendiri dirinya adalah seorang Nasakom. Pada kesempatan rapat partai di Padang, dia masih tetap berani terang-terangan melakukan sembahyang. Ketua partai yang memimpin rapat sudah mengumumkan sejak awal bahwa rapat kali ini harus bersih dari daki-daki revolusi. Dari kotoran revolusi. Harus bersih dari sembahyang. Semua peserta rapat tidak diijinkan mengerjakan sembahyang selama hari-hari rapat berlangsung. Tapi Syamsuddin tetap nekad, meski dia melakukannya agak sembunyisembunyi. Rupanya ada kamerad lain yang memang sudah ditugaskan untuk memata-matai kemudian melaporkannya kepada ketua partai. Buntutnya dia disidangkan. Diinterogasi di depan petinggi-petinggi partai. Tapi Syamsuddin berkelit. Dia mengatakan dia tidak melanggar peraturan sedikitpun. Dia sudah mempraktekkan yang diamanatkan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, menjalankan Nasakom. Dia mejalankan ketiga unsur itu dalam satu tarikan nafas. Sudah barang tentu dia jadi bulan-bulanan petinggi-petinggi partai itu. Nasakom itu untuk orang lain di luar partai, untuk kita hanya ada kom, begitu kata Ketua. Komunis, komunis, komunis. Komunis yang tidak dicampur aduk dengan yang lain. Komunis tidak percaya agama. Komunis tidak butuh agama. Tidak perlu sembahyang. Sembahyang itu perbuatan sia-sia, perbuatan orang yang jiwanya sakit. Percaya dengan yang tidak ada. Komunis tidak percaya adanya Tuhan. Nah lho! Belum jugakah jelas ? Syamsuddin dikenai sangsi karena indisipliner. Sangsi dikurung sehari semalam tanpa diberi makan di sebuah ruang gelap di kantor partai. Untung, itu terjadi di hari terakhir rapat. Dia hanya lemas sesudah menjalani hukuman itu. Sungguh aneh, tidak timbul penyakitnya. Karena hari

35

terakhir, dan karena Datuk Rajo Bamegomego tidak punya ongkos oto untuk pulang, dia diijinkan pulang bersama engku Datuk. Itulah kau, madar. Sudah sejak lama aku nasihati, kau tidak juga kunjung berubah. Yang sekali ini hendaknya kau jadikan benar pelajaran, petuah engku Datuk dalam perjalanan pulang. Syamsuddin mengkal bukan main. Dalam hatinya dia berniat, cukup sampai disini partai ini. Dia tidak akan pernah ikut-ikut lagi di hari-hari berikutnya. Di depan engku Datuk ini biarlah dia diam-diam saja. Itulah yang dia lakukan. Sejak pulang dari rapat di Padang itu Syamsuddin benar-benar menjaga jarak dengan Datuk Rajo Bamegomego. Sebisa-bisanya dia menghindar untuk bertemu. Dia lebih banyak berdiam di rumah. Menyendiri dalam penyesalan, kenapa dia dulu ikut-ikutan dengan partai yang garang itu. Tentu saja Datuk Rajo Bamegomego kehilangan. Berkali-kali dia bertanya di lepau tempat mereka biasa berkumpul-kumpul, kemana menghilangnya Syamsuddin Sutan Marajo. Dia diberitahu bahwa Syamsuddin ada di rumah. Pulang dari kantor, dia memang tidak mau keluar rumah. Paling-paling hanya keluar kalau pergi sembahyang Jumat. Entah kenapa sampai demikian, kata orang yang bercerita. Tapi engku Datuk tahu penyebabnya. Tentulah dia kecewa dan marah gara-gara dia dikurung sehari semalam ketika rapat di Padang beberapa hari yang lalu. Engku Datuk menceritakan kejadian itu di lepau. Diujung cerita ditambahinya pula dengan katakata, Jangan dikira mudah untuk jadi orang PKI tulen. Sutan Marajo itu masih sontoloyo. Masih PKI gadungan. Baru digenjot sedikit saja sudah terampun-ampun. Bagaimana akan menggulirkan roda revolusi kalau loyo seperti itu. Kalau tidak cepat berubah dia nanti yang akan dilindas roda revolusi, begitu kata engku Datuk. Dia tidak sekedar berbicara di lepau saja. Sesudah dia yakin bahwa Syamsuddin memang benarbenar menghindar darinya, dia putuskan untuk mendatanginya ke rumah. Akan dinasihatinya kader yang satu itu baik-baik. Sangat sayang kalau sampai Syamsuddin berputar haluan. Pada suatu sore niat itu dilaksanakannya. Dia datangi Syamsuddin ke rumah istrinya. Syamsuddin sedang santai di rumah. Sedang membaca-baca Tafsir Al Quran Mahmud Yunus. Istrinya menganjurkan agar banyak-banyak membaca dan memahami kandungan al Quran kalau pikiran sedang kalut. Sampai di pekarangan rumah itu didapatinya istri Syamsuddin sedang menampi beras di luar dapur. Langsung disapanya, menanyakan Syamsuddin. Di rumah Tan Marajo, Zahara? tanyanya. Ee engku Datuk. Ada engku, ke rumahlah, jawab Siti Zahara, istri Syamsud din, sambil membasakan tamunya itu naik ke rumah.

36

Datuk Rajo Bamegomego naik ke rumah. Dia bertanya lagi. Sedang apa dia ? Apa dia kurang sehat ? Ya, engku Datuk. Sejak pulang dari Padang kemarin ini sakit-sakit perut dia. Katanya mungkin masuk angin karena terlalu letih dalam rapat. Masuklah engku, dia ada duduk di dalam, ucapnya lagi. Siti Zahara langsung meninggalkannya dan berlalu ke dapur. Syamsuddin mendengar pembicaraan istrinya dengan engku Datuk. Dia berusaha menenangkan dirinya. Apa pula yang akan ditakutkan dengan orang ini, katanya dalam hati. Tafsir Al Quran yang dibacanya dibiarkannya saja tergeletak di atas meja dalam keadaan terbuka. Begitu engku Datuk sampai di dalam rumah, dia bangkit berdiri menyongsong tamu itu. Merepotkan diri benar engku Datuk menyilau saya. Duduklah engku! katanya berbasa. Tidak repot. Saya sudah menduga, tentu Marajo sedang kurang sehat sehingga jarang keluar. Makanya saya sengaja datang menyilau. Sakit apa Marajo? Entahlah engku. Sejak pulang dari Padang, sejak saya dikurung dan tidak makan sehari semalam tempohari kumat lagi penyakit saya. Badan terasa lemah dan perut saya terasa mualmual. Ah, itu kan sedikit latihan untuk mempertegar semangat. Kalau hanya sakit seperti itu sebentar juga akan sembuh. Anu..... Ada yang perlu saya sampaikan. Kita harus hadir pada rapat cabang di Bukit Tinggi pekan depan. Ini dalam rangka persiapan rapat tahunan yang akan dilangsungkan di Jakarta dua bulan lagi. Saya sudah mengusulkan waktu di Padang kemaren bahwa untuk mewakili Kabupaten Agam tahun ini, dimana saya ditunjuk sebagai wakil, membawa Marajo sebagai pendamping. Rasanya hanya dengan Marajo saya cocok untuk hadir di rapat di Jakarta itu, kata engku Datuk. Saya rasa saya tidak sanggup engku Datuk. Saya penyakitan dan saat ini badan saya tidak sehat, jawab Syamsuddin. Kan tidak sekarang. Masih sepekan lagi. Sehatkanlah badan Marajo. Dan ke Jakarta itu masih dua bulan lebih lagi. Masih panjang hari lagi. Saya rasa, saya tidak akan ikut-ikut lagi, kata Syamsuddin dengan suara agak bergetar. Kenapa? Apa alasan Marajo tidak akan ikut-ikut lagi? tanya engku Datuk dengan mata melotot. Saya ternyata tidak cocok ikut di partai engku Datuk. Saya tidak sanggup mematuhi semua aturan partai. Jadi lebih baik saya beristirahat dulu saja, suara Syamsuddin sedikit lebih mantap. Oh. Tidak bisa begitu. Marajo kan sudah diangkat sebagai anggota. Marajo sudah punya kartu
37

anggota. Menjadi anggota partai yang revolusioner ini memang tidak mudah. Perlu penggemblengan. Perlu mental yang kuat seperti besi. Masakan baru digantik sedikit saja Marajo mau mundur? Kecil betul nyali Marajo. Kecil betul arti partai bagi Marajo kalau demikian. Jangan patah arang begitu. Marajo sendiri yang akan rugi nanti. Saya sudah mantap. Sudah saya pikir matang-matang dan saya sudah sampai kepada kesimpulan bahwa tempat saya tidak ada di partai. Saya tidak cocok duduk di partai. Oleh karena itu saya ingin mengundurkan diri secara baik-baik. Tidak bisa begitu Marajo. Tidak ada istilahnya orang keluar dari partai. Itu berkhianat namanya. Kan Marajo tahu, berkhianat itu tidak boleh. Berkhianat itu berdosa. Kan Marajo orang yang beragama. Orang yang membaca Quran seperti ini. Carilah di dalam buku ini, pasti ada keterangan tidak boleh berkhianat. Tiba-tiba saja Datuk Rajo Bamegomego menyinggung-nyinggung soal agama. Saya tidak berkhianat engku Datuk. Saya hanya ingin keluar secara baik -baik. Saya tidak mengkhianati siapa-siapa. Tidak bisa itu. Kalau Marajo keluar itu namanya berkhianat. Hukumannya berat itu nanti. Saya ingatkan saja. Marajo akan dilindas roda revolusi kalau begitu caranya. Saya sampaikan ini dengan niat baik. Saya yang mengajak Marajo ikut bergabung, maka saya juga bertanggung jawab membela Marajo. Jangan sampai terniat-niat oleh Marajo untuk berkhianat seperti itu. Cukuplah saya saja yang tahu, jangan sampai orang lain tahu. Rubahlah pikiran dangkal Marajo yang sangat mengandung resiko itu. Engku. Partai ini kan organisasi. Tempat orang-orang yang sepemahaman berkumpul. Saya sudah mencoba mengikuti aturan main partai. Dan ternyata saya sendiri yang berbeda. Partai ternyata tidak membenarkan orang masih menjalankan agama. Partai melarang anggotanya sembahyang. Dan ternyata saya sendiri yang berlain dari orang banyak dalam partai. Saya sendiri yang berbeda. Saya sembahyang juga. Beragama juga. Berarti saya memang tidak cocok untuk bertahan di partai. Itulah sebabnya saya mencoba tahu diri. Biarlah saya yang keluar, karena saya tidak sesuai dengan kondisi partai. Ibaratnya orang berlaki istri engku. Sudah tidak ada kecocokan. Tentu boleh bercerai. Seperti itu pula saya. Biarlah saya bercerai dengan partai. Karena saya tidak sanggup memenuhi aturan-aturan partai, Syamsuddin makin tegas dalam berbicara. Sudah pintar Marajo sekarang. Sudah pandai Marajo membantah. Ingat -ingat benarlah. Besar taruhannya nanti, Datuk Rajo Bamegomego merasa sedikit kewalahan. Maksudnya engku mengancam saya? Bukan saya yang mengancam Marajo. Roda revolusi yang mengancam. Marajo akan digilingnya. Akan dilindasnya sampai lumat. Apa Marajo tidak melihat apa yang terjadi dengan musuh-musuh revolusi? Apa yang terjadi dengan PRRI? Ini akan lebih hebat lagi nanti. Semua
38

kerikil yang menghalangi roda revolusi pasti akan lumat. Terserah Marajo. Marajo akan menjadi bagian dari penggerak revolusi atau akan jadi bagian yang dilindas revolusi. Pikirkan benar itu! Saya siap dengan resiko apapun engku Datuk. Saya sudah mantap untuk tidak ikut-ikut lagi. Saya mohon maaf kalau engku Datuk kecewa. Sudahlah. Saya tidak mau berpanjang-panjang. Satu hal saja yang saya ingatkan. Jangan berkhianat. Marajo akan menanggung resiko berat nanti. Bukan hanya Marajo sendiri. Anak istri Marajopun akan dilindas roda-roda revolusi kalau Marajo teruskan niat itu. Saya beri Marajo waktu untuk berpikir seminggu ini. Camkan baik-baik pesan saya. Sudahlah. Saya pamit dulu, kata Datuk Rajo Bamegomego sambil berdiri. Syamsuddin tidak menjawab. Diamatinya saja orang tua itu pergi. Dia tidak bergeming dari tempat duduknya. Kok tergegas benar engku Datuk. Ini saya sudah buatkan kopi, kata istri Syamsuddin ketika dilihatnya engku Datuk mau meninggalkan rumah. Tidak usahlah Zahara. Saya baru saja minom kopi di lepau sebentar ini, jawabnya dengan muka yang kelihatan sekali sedang meradang. ***

Siti Zahara, istri Syamsuddin meletakkan dua cangkir kopi di meja di hadapan suaminya. Kopi yang seharusnya untuk Datuk Rajo Bamegomego. Yang agak terlambat dia mengetengahkan karena harus menjerangkan air terlebih dahulu. Dia tersenyum melihat wajah suaminya. Dia bangga. Suaminya ternyata punya keberanian untuk menentang Datuk Rajo Bamegomego. Syamsuddin terlihat tenang. Dia lega sesudah mengeluarkan isi hatinya. Dan dia menyampaikan secara santun dan baik-baik. Untunglah pembicaraan tadi berlangsung cukup tertib dan sopan. Tidak keluar caci maki. Tidak keluar carut bungkang. Bahkan tidak seperti di tempat rapat, engku Datuk berbahasa halus disini. Di rumah ini. Dia tidak manden, tidak beraku-aku. Tapi berambo, bersaya. Dan meski sekedar ungkapan Basa basinya, keluar pengakuan agama dari mulutnya. Disinggungnya urusan agama, urusan khianat yang tidak dibenarkan agama. Syamsuddin sangat yakin, dia bukan berkhianat. Dia tidak mengkhianati siapa-siapa. Syamsuddin percaya Datuk Rajo Bamegomego tidak bisa garang disini karena tuah rumah ini. Karena tuah istrinya yang salehah. Jeri dia untuk bersilantas angan dalam berbicara. Minumlah, tuan! Biarlah kita saja lagi minum kopi ini, sudah pergi tamu, kata Siti Zahara memecah kesunyian.. Bagaimana pendapatmu? tanya Syamsuddin pendek. Apa yang tuan sampaikan sudah benar. Tuan sudah mengundurkan diri. Tidak perlu diikuti lagi kegiatan partai itu. Dan tidak perlu khawatir. Begitu pendapat saya, jawab istrinya.
39

Dan ancamannya? Bagaimana pendapatmu tentang ancamannya? Kita serahkan kepada Allah semata tuan. Apa pula yang akan ditakutkan dengan ancaman manusia. Terus terang, ada juga kekhawatiranku. Kalau-kalau, dengan cara-cara kasar mereka, orangorang mereka menghempas kesini. Merusak dan mencelakai kita, ujar Syamsuddin. Sekali lagi, kita serahkan kepada Allah. Allah lah sebaik-baik tempat berlindung. Mereka punya rencana, seandainya benar demikian, Allah pasti punya rencana pula. Cukuplah Allah sebagai sandaran kita, Siti Zahara berusaha menenangkan hatinya. Kamu benar. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Apapun yang akan mereka lakukan, kalaupun kita terkorban, mudah-mudahan kita terkorban masih dalam keadaan Islam. Saya tidak akan takut-takut lagi menghadapi Datuk Rajo Bamegomego itu. Insya Allah, tuan. Mudah-mudahan kita selalu mendapat kemudahan dan bimbingan serta petunjuk Allah. Terpelihara dari rencana makar dan kejahatan orang-orang zalim.

(8) Api Mulai Membakar Monday, 12 January 2009 Syamsuddin konsisten dengan ucapannya. Dia tidak lagi takut-takut. Dia tidak perlu bersembunyi panjang di rumah lagi sepulang dari kantor. Sore-sore, dia ikut duduk di lepau sebentar, sekedar mendengar obrolan orang. Tapi dia tidak mau ikut-ikut sedikitpun berkomentar kalau sudah masalah politik. Datuk Rajo Bamegomego merasa bahwa Syamsuddin sudah sadar dan akan segera mau lagi ikut berpolitik dengannya. Pasti dia sudah kembali bisa diajak pergi rapat ke Bukit Tinggi. Tapi itu belum perlu ditanyakan segera. Hari kelima sejak kunjungannya ke rumah Syamsuddin, barulah Datuk Rajo Bamegomego bertanya. Kan tidak lupa kau Marajo, bahwa lusa kita ada rapat di Bukit Tinggi, katanya mengingatkan ketika mereka bertemu di lepau sore itu. Kan sudah saya katakan engku, saya tidak akan ikut-ikut lagi. Saya sudah cukup ikut sampai kemarin itu saja. Besok-besok tidak lagi, jawab Syamsuddin tenang. Orang di lepau menarik nafas mendengar jawaban yang bagi mereka cukup mengejutkan itu. Apa Marajo sakit? Demam? tanya engku Datuk. Sehat. Sehat walafiat. Saya tidak demam, jawab Syamsuddin.

40

Terdengar seperti mengigau. Apa tadi Marajo katakan? Maaf, engku saya tak ingin berpanjang-panjang, ada urusan saya yang lain. Dan tidak perlu pula saya ulang yang saya katakan. Maaf, saya duluan, ujar Syamsuddin sambil meninggalkan tempat duduknya. Syamsuddin beranjak keluar dari lepau. Tidak terus pulang. Dia sengaja berjalan berlawanan dengan arah pulang. Datuk Rajo Bamegomego geram dan bercarut. Kencing! Bedebah! Besar betul nyalinya. Betul-betul mencari ilik-ilik manusia kere ini. Dia akan menyesal, katanya. Kenapa dia engku? tanya Mantari Gobah, lawan diskusi engku Datuk, meski selalu bertentangan pendapat pula. Dia mencari penyakit. Uir-uir minta getah. Dan dia akan dapat getahnya. Tidak ada orang yang boleh menghinakan partai seperti itu. Menghinakan partai bagaimana? Apa yang dilakukannya? tanya Mantari Gobah. Dia mau keluar. Tidak ada aturan seperti itu di tubuh partai. Orang yang sudah masuk tidak boleh keluar. Kalau masuk artinya sudah kontrak mati. Harus berada di dalam sampai maut memisahkan. Makanya, dahsyat betul partai komunis ini saya lihat. Mana ada aturan seperti itu? Orang ikut partai harusnya ya sesuka-sukanya. Kalau dia merasa bahwa partai memang cocok dengannya bertahan dia. Kalau dia merasa tidak cocok, mana ada aturan tidak boleh keluar? Apa ada dalam AD/ART partai tertulis seperti itu, engku Datuk? Mantari Gobah seperti biasa menantan g pendapat Datuk Rajo Bamegomego. Kencing! Jangan kau ikut-ikut pula menyiram bensin Gobah. Kaupun bisa digilas roda revolusi itu nanti. Kau tunggulah tanggal mainnya. Ini ibarat bisul, sebentar lagi akan pecah. Berhatihatilah semua orang yang jadi musuh revolusi. Kalau soal itu sama kita nanti sajalah engku. Sama kita lihat. Mana yang akan lebih dulu datang, Inggeris menyerang seperti yang engku katakan selama ini atau roda revolusi yang akan duluan tiba. Jadi menantang kau ? Engku penggegas betul naik darah. Siapa pula yang menantang? Saya hanya mengatakan sama kita lihat. Kalau memang datang sesuatu yang mengancam, tentu bersiap-siap pula kita untuk menghindar.

41

Hei bundung! Menghindar? Menghindar kata kau? Jangan kau pandang enteng, Gobah. Jangan kau anggap semudah itu urusan. Bagi partai tidak ada urusan yang main-main. Partai ini sekarang sudah sangat besar dan tidak akan ada yang sanggup melawan. Bagi kami sekarang terbujur lalu, terbelintang patah. Mana yang di depan sebentar lagi kami lendo, kami gilas semua. Aku ulang sekali lagi, bukan untuk menakut-nakuti kalian. Berhati-hatilah kalian. Kalian semuanya. Ada jelas? Faham tidak kalian? Tidak bisa pula begitu engku Datuk. Ini tidak sesuai dengan petitih adat, engku. Kita hidup bermasyarakat. Duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang. Tidak baik gemuk membuang lemak, yang cerdik menjual yang bodoh. Yang besar mau main terjang saja. Tidak baik berleluasa begitu. Ingat pula dahan yang tinggi dapat menimpa, urat menjela dapat menyandung. Cirit gedang! kapunduang! Banyak benar hetongan kau. Berpandai-pandai pula kau berpetatah petitih kepadaku. Lebih tahulah aku lagi dari kau. Aku ini penghulu adat. Rebah kerbau dulu ketika aku diangkat jadi Datuk. Kini kau yang pesong ini pula yang akan mengajar-ajar aku. Bercerminlah kau Gobah! Mata Datuk Rajo Bamegomego berubah merah. Wajahnya menakutkan. Sutan pamenan yang duduk di sebelah Mantari Gobah sudah dari tadi memberi isyarat agar tidak diteruskan perdebatan itu. Iyalah engku Datuk. Kalau begitu kata engku. Pahamlah kami. Biarlah lain kali kita sambung lagi. Saya permisi dulu, kata Mantari Gobah. Sebenarnya Mantari Gobah lebih segan kepada Sutan Pamenan yang adalah mamak rumahnya dari pada kepada Datuk Rajo Bamegomego. Itulah sebabnya dia mau berhenti. Sebenarnya masih ingin dilawannya orang tua itu. Tidak pernah terlulur olehnya kaji engku Datuk PKI itu. Kajinya tidak pernah berubah dari roda revolusi yang akan melindas. Orang yang duduk dalam lepau itu keluar satu persatu. Ngeri juga melihat mata merah Datuk Rajo Bamegomego. Bagaimana tidak akan marah besar dia, dua kali dalam tempo singkat dia disinaruskan orang sore hari ini. Dilecehkan dirinya. Dilecehkan partainya. Ini yang lebih berat. Tidak ada orang yang boleh dibiarkan menghina partai.

*** Rumah istri Syamsuddin adalah rumah gadang bergonjong lima ruang. Rumah gadang yang berderet dua buah, sama besar, sama bergonjong. Di hadapan kedua buah rumah masing-masing ada rangkiang beratap gonjong pula. Ke sebelah belakang ada rumah dapur dan terakhir dapur di paling ujung. Itupun sama belaka. Orang di kampung menjuluki kedua rumah itu rumah gadang kamba. Penghuninya dikenal dengan menyebut nama seperti itu. Kak Zahara rumah gadang kamba. Guru Dawahir rumah gadang kamba. Bedanya, di belakang rumah Siti Zahara ada tebat ikan sementara di belakang rumah yang satunya ada kebun pisang.

42

Di rumah sebelah itu tinggal saudara sepersukuan Siti Zahara, Dawahir namanya dengan suaminya Tahar. Kedua-duanya guru sekolah rakyat di kampung itu. Malam hari banyak Sutan anak-anak datang belajar ke rumah guru ini, terutama anak kelas enam yang mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir. Yang datang belajar anak laki-laki dan perempuan. Mereka belajar sampai larut malam dan menompang tidur disitu. Murid perempuan tidur di ruangan rumah atas, sementara anak laki-laki tidur di rumah dapur. Sekitar jam setengah sepuluh malam anak-anak perempuan sudah pada tidur. Mereka tidak berani membuat heboh karena pasti kena marah ibu Dawahir. Kebalikannya, anak laki-laki yang tidur di rumah dapur lebih bebas. Mereka biasa bergurau dan bergelut dulu sebelum tidur. Kadang-kadang sampai jam sebelas malam. Ada-ada saja bahan gurauan mereka sebelum tidur. Macam-macam saja ulah mereka. Main lempar-lemparan bantal. Perang kentut. Siapa yang cepat tidur alamat akan jadi korban. Diolesi mukanya dengan jelaga lampu. Malam itu Poan susah tidur. Teman-temannya sudah tertidur semua. Hari sudah lewat tengah malam. Tiba-tiba Poan ingin buang air kecil. Tapi dia tidak berani turun sendiri ke sumur. Dari tadi anjing heboh menyalak. Lalu Poan mendengar anjing itu terkaing-kaing dan suara kaingannya makin menjauh. Mungkin anjing itu lari menghindar. Celakanya, Poan benar-benar sudah tidak tahan ingin buang air kecil. Dibangunkannya teman yang tidur di sebelahnya. Ancin! Bangunlah. Temani aku ke sumur, katanya. Yang dibangunkan hanya menggeliat sedikit. Poan menguncang-guncang tubuh temannya itu. Tidurnya sedang nyenyak betul. Ancin. Ooi Ancin. Bangunlah. Temani aku. Si Ancin menggeliat dan bertanya. Ada apa ? Temani aku ke sumur. Aku ingin kencing, katanya. Si Ancin bangkit sambil mengusap matanya. Kedua anak itu turun ke dapur dan keluar ke sumur di samping dapur. Si Poan melepas hajatnya. Bunyi apa itu? tanya si Poan. Entahlah. Bunyi apa maksudmu? Aku tidak mendengar apa-apa, jawab Ancin sambil menguap. Bunyi berdesir. Hei. Kenapa terang di samping sana? tanya Poan pula. Banyak betul tanya kau. Cepatlah. Aku mengantuk, kata Ancin. Aku bersungguh-sungguh. Benar. Lihatlah di sebelah sana. Terang. Cahaya apa ini?

43

Si Ancin menoleh. Dan dia terkesiap. Ya ampuuun. Apiii. Apiii. Dapur rumah da Marawan terbakar... teriaknya. Si Poan menghambur karena kaget. Kedua anak-anak itu lari ke dalam rumah dan berteriak keras-keras. Apiiii...apiiiiii. Dapur terbakaar...... Apiiiiii.... Apiiii, teriak mereka. Teman-teman mereka yang lain berlompatan bangun. Sekarang semua ikut berteriak. Anak-anak perempuan yang tidur di ruangan tengah rumah ikut pula terbangun. Ada yang menjerit-jerit histeris dan ada yang langsung menangis. Pak guru Tahar terbangun dan berlari ke belakang. Diapun ikut berteriak dan menggedor-gedor rumah Siti Zahara. Apiiii. Da Marajoo apiii.... cepat banguuun. Gempar tengah malam itu. Si Poan melihat tong-tong tergantung di dekat rumah dapur. Diambilnya tong-tong itu lalu dipukulnya bertalu-talu. Mendengar suara tong-tong, Marwan di rumah sebelah juga melakukan hal yang sama. Mengguguh tong-tong. Ramai suara tong-tong tengah malam itu. Syamsuddin dibantu Tahar berusaha menyiram api yang baru mulai marak itu dengan air dari tebat. Terbirit-birit mereka berdua membawa air dari tebat dengan ember. Hampir tidak ada pengaruhnya hasil siraman air mereka. Api tetap marak berdetus detus melahap kayu kering bahan perumahan itu. Orang-orang kampung, tetangga di sebelah menyebelah terbangun mendengar suara tong-tong. Mereka berdatangan untuk membantu. Ada yang menyiram dengan air dari tebat. Mereka membuat barisan dari pinggir tebat ke tempat menyiramkan air. Ember berisi air dikirim dengan cara estafet. Ada yang memotong pohon pisang untuk dilemparkan ke api. Alhamdulillah, setelah bekerja keras, api dapat dipadamkan. Lebih separuh dapur dan sebagian rumah dapur terbakar. Orang-orang yang berdatangan itu memastikan bahwa api benar-benar sudah mati. Kebakaran itu tampak agak aneh karena bagian dapur dekat tungku tidak terbakar. Jadi tidak mungkin api berasal dari tungku. Tidak mungkin berasal dari api tungku yang lupa dimatikan. Dan di rumah ini tidak ada kompor minyak tanah. Untuk memasak semua memakai kayu bakar. Lalu dari mana agaknya api berasal? Yang hadir, membahas masalah itu sesudah api berhasil dipadamkan. Dari mana asal api? Kakak yakin api di tungku sudah dimatikan tadi sebelum tidur, kak? tanya guru Tahar kepada Siti Zahara. Yakin. Aku tidak ada masuk-masuk ke dapur lagi sesudah magrib. Sebelum magrib urusan dapur sudah selesai, dan api tungku pasti sudah mati, jawab Siti Zahara.
44

Benar itu. Cobalah lihat. Paran di samping tungku ini tidak terbakar. Api jelas tidak berasal dari tungku, seorang dari yang hadir membenarkan. Atas himbauan pak wali jorong, malam itu masyarakat diminta berjaga-jaga. Meskipun sudah ada orang ronda. Yang lain ikut duduk meramaikan pos ronda malam itu. Disana mereka berdiskusi. Bertanya-tanya. Gejala apa agaknya kebakaran tengah malam ini. Karena memang banyak yang ganjil. Kebakaran ini bukan sembarang kebakaran kelihatannya. *** Aku yakin ini kerja mereka. Kerja anak buah engku, kata Syamsuddin kepada istrinya ketika mereka kembali ke rumah sudah menjelang parak siang. Tidak usah kita berburuk sangka. Biar sajalah dahulu. Paling tidak kan tuan lihat, bagaimana Allah menyelamatkan kita. Kalau tidak ada yang terbangun tadi entah apa yang sudah terjadi. Rumah kayu ini cepat betul api menyelesaikan. Syukurlah kita selamat, jawab Siti Zahara dengan bijaknya. Engkau benar. Anak-anak yang belajar di rumah sebelah itu tadi yang mula-mula melihat api ketika mereka pergi buang air ke dekat sumur. Anak-anak itu tadi yang lebih dulu berteriakteriak dan mengguguh tong-tong. Itulah. Itukan Tuhan yang menggerakkan semua. Allah yang melindungi kita semua, tambah Siti Zahara. Aku khawatir mereka akan kembali lagi. Pasti mereka akan kembali lagi. Huh, sesaknya nafasku memikirkan kejahilan ini. Mereka itu memang orang-orang jahat dan zalim. Entah kenapa dulu aku mau pula mendekat-dekat kepada mereka. Huh, sekarang begini jadinya. Sabar tuan. Sabar itu indah. Tidak elok kita sesali yang sudah terjadi. Kita serahkan semua urusan ini kepada Allah. Allah pasti menolong kita. Syamsuddin terdiam. Kata-kata istrinya itu benar belaka. Ah, dia memang wanita yang tegar dan teguh imannya. Masih belum masuk waktu subuh. Marilah kita sembahyang tahajud. Kita berdoa kepada Allah, ajak Siti Zahara, setelah mereka terdiam agak lama. Syamsuddin menurut. Mereka pergi lagi turun ke sumur. Untuk mengambil air sembahyang. Kedua suami istri itu sembahyang. Mereka shalat dan setelah itu berdoa kepada Allah. Panjang doa mereka. Bercucuran air mata mereka.

(9) Bisul yang Semakin Meradang Saturday, 07 February 2009

45

Keesokan harinya ramai orang membicarakan tentang kebakaran tadi malam. Hampir semua yang melihat tempat kejadian sependapat bahwa yang terjadi bukan kebakaran tapi justru pembakaran. Semua setuju mengatakan bahwa bagian dapur rumah Siti Zahara terbakar bukannya secara tidak sengaja tapi disengaja. Artinya ada orang yang membakar. Nah, ini dia masalahnya sekarang. Siapa yang membakar ? Di lepau hal itu dibahas orang. Begitu juga di surau. Begitu juga di kantor kepala jorong. Siapa agaknya yang membakar? Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk sembarang menuduh. Salah-salah menuduh bisa balik awah penebangan. Bisa yang menuduh jadi tertuduh. Jadi tidak ada yang berani menuduh. Atau menyelidik-nyelidik. Lebih baik dengarkan saja cerita radio lutut. Siapa tahu nanti terbongkar juga sendirinya. *** Subuh itu sedikit lebih banyak yang ikut sembahyang di mesjid. Mereka yang ikut berjaga-jaga di pos ronda sesudah memadamkan api, hadir ke mesjid pagi itu. Sesudah sembahyang, Kari Sutan, imam mesjid, mengajak jemaah subuh itu untuk berdoa bersama-sama, meminta perlindungan Allah bagi warga anak nagari beserta harta benda dari segala kezaliman. Dari segala sifat aniaya orang-orang zalim. Sesudah berdoa itu, jamaah masih berunding di mesjid, membicarakan apa langkah yang sebaiknya diambil untuk mengatasi situasi yang semakin tidak mengenakkan. Takutnya, kalau-kalau mesjid inipun sekali waktu jadi sasaran pula, Ahmad Sinaro berkomentar. Mungkin saja. Tapi itulah sebabnya saya mengajak engku-engku berdoa bersama. Kepada Allah kita memohon perlindungan. Dari perbuatan orang-orang jahil dan zalim yang memang semakin berani kelihatannya berbuat aniaya, jawab Kari Sutan. Jadi bagaimana langkah kita di luar itu sebaiknya Kari? tanya Katik Sati. Bagi kita-kita yang dapat giliran ronda, lebih sering datang mengawasi mesjid ini. Tuanku mesjid, Pakih Basa, banyak-banyaklah bangun malam hari berjaga-jaga. Seandainya terjadi yang membahayakan, cepat pukul tabuh. Itu jalan tambahan yang tampak oleh saya. Apalagi yang dapat kita upayakan di luar itu? Dan nanti kita bicarakan pula hal ini dengan engku wali jorong. Tentu nanti inyiak wali nagari akan hadir ke sini. Bisa pula kita bicarakan dengan beliau, jawab Kari Sutan pula. *** Pagi harinya wali nagari datang pula meninjau. Beliaupun menyarankan supaya ronda malam lebih ditingkatkan. Hanya itu usaha yang paling baik bisa dilakukan sementara ini kata nyiak wali.

46

Perkara ronda iyalah nyiak wali. Saya sependapat. Ada suatu pertanyaan sambil berandai-andai. Seandainya tertangkap orang yang berbuat aniaya ini, orang yang tukang bakar ini, bagaimana kita bertindak ? tanya Mukhtar guru. Diikat tangannya, kita antarkan ke kantor polisi, jawab wali nagari. Kalau dipukuli beramai-ramai bagaimana ? tanya yang lain. Sebaiknya jangan. Salah-salah tangan kita, nanti lain lagi urusan yang timbul, jawab nyiak wali. Sebab tadi malam di pos ronda, ada yang mengusulkan, kalau dapat ditangkap perusuh ini, kita pukuli ramai-ramai. Bila perlu kita gantung hidup-hidup. Tidak usahlah menggunakan cara-cara seperti itu. Bertambah masai kusutnya nanti. Kita harus lebih banyak menahan diri. Tapi.... sampai kapan kita akan menahan diri terus? Orang sudah terang-terangan bersilantas angan kepada kita, Mukhtar guru masih penasaran. Kalau saran ambo, seperti itu dululah. Kita tingkatkan kewaspadaan. Mudah-mudahan berhitung pula tukang kacau ini berbuat, kalau kita sudah siap siaga. Hikmah itu saja yang kita ambil. Ketika suasana agak panas, kita tingkatkan kewaspadaan, kata nyiak wali nagari mengakhiri diskusi di kantor kepala jorong pagi itu. *** Sore harinya di lepau simpang masih itu juga bahasan orang. Dan yang memulai cerita adalah Datuk Rajo Bamegomego. Habis kabarnya dapur rumah anak Sutan Marajo dilahap api tidak malam ya? datuak Rajo Bamegomego bertanya lepas saja. Betul, engku. Hampir habis. Rumah dapurpun sudah ikut terbakar sebagian, jawab Katik Sati. Untung cepat kepintasan. Kalau tidak, tentu habis dengan telur-telur kepinding, tambah engku Datuk. Ya. Untunglah. Ditolong Tuhan Allah, ada anak sekolah yang belajar di rumah guru Tahar, pergi ke jamban tengah malam. Dia yang melihat api mula-mula, tambah Katik Sati. Mana yang benar ini? Ditolong Tuhan Allah atau karena dilihat anak kecil itu? Ya sejalan itu engku. Tuhan Allah yang menggerakkan sehingga anak itu turun ke halaman, lalu melihat api. Jangan-jangan Tuhan Allah justru yang membakar...he...he..he.
47

Kalau melihat bukti, ada orang yang membakar, tambah Mantari Gobah. Apa buktinya? tanya engku Datuk. Paran di atas tungku selamat. Tidak ikut terbakar. Berarti api tidak dari tungku datangnya. Kalau tidak dari tungku dari mana lagi? Tentu dari luar. Kalau dari luar tentu ada orang yang membakar, Mantari Gobah menjelaskan. Atau jangan-jangan ada lampu togok tersandung. Kan bisa juga, engku Datuk menimpali. Api datang dari sebelah dapur. Maksudnya dapur yang mula-mula terbakar. Buat apa pula lampu togok ada di dapur, Mantari Gobah membantah. Iya ya. Atau jangan-jangan api sikulambai. Api jadi-jadian he..he..he.. Itu entahlah engku. Sebenarnya ada lagi tambahan cerita, tambah Khaidir Malin Basa. Cerita apa itu? Cerita kau karang atau cerita sebenarnya? tanya engku Datuk. Yang mula-mula melihat api, yang pergi ke jamban di rumah guru Tahar tadi malam itu kemenakan saya si Poan. Dia bercerita dia tidak bisa tidur. Heboh betul salak anjing waktu itu, katanya. Lalu kemudian anjing yang menyalak itu terkengkeng dan sesudah itu suaranya makin menjauh. Tentu anjing itu lari ketakutan agaknya. Tidak lama sesudah itu sunyi. Barulah dia turun ke sumur ditemani kawannya. Waktu itulah dia melihat api, Khaidir menjelaskan. Apa maksudnya itu? tanya engku Datuk. Pendapat saya, ada orang datang ke pekarangan itu. Dia disalak anjing. Anjing yang menyalak itu mungkin saja dilempar sehingga terkengkeng dan lari ketakutan. Sesudah itulah barangkali orang itu beraksi. Sumir itu. Tuduhan serupa itu lemah itu, kata engku Datuk. Saya bukan menuduh. Saya berteori. Lagi pula siapa yang akan dituduh? Sejujurnya, kalau pendapat engku Datuk bagaimana terjadinya kebakaran itu kira-kira ? tanya Mantari Gobah. Bagaimana pula aku bisa tahu? Aku kan bukan tukang tenung, jawabnya. Siapa tahu, ada yang bercerita kepada engku, Mantari Gobah menambahkan.

Walaupun aku tidak tahu, sejujurnya, tapi aku rasa kebakaran itu merupakan suatu tanda, ujar engku Datuk.
48

Orang-orang yang hadir memandangnya penuh tanda tanya. Tanda apa? tanya Mantari Gobah. Tanda roda revolusi sudah mulai bergulir, jawabnya. Datuk Rajo Bamegomego sedikit terbatuk-batuk. Dia kesedakan. Diraihnya gelas kopinya dan diseruputnya kopi yang sudah tinggal seperempat gelas itu. Matanya terlihat sedikit mendelik, lalu melihat berputar. Melihat ke sekeliling lepau. Yang lain diam. Jadi maksud engku....... Revolusi yang membakar rumah itu tadi malam? tanya Gobah hati-hati. Mungkin saja. Aku mencoba menyimpulkan demikian dari cerita yang engku-engku sampaikan. Bahwa kelihatannya rumah itu dibakar bukan terbakar. Siapa yang memakar di tengah malam buta begitu? Bagaimana kira-kira cara roda revolusi membakar rumah? Sebenarnya makhluk seperti apa roda revolusi itu? Mantari Gobah jadi lebih berani seperti biasa. Kau memang pandir Gobah. Kalau memang ada yang membakar, tentulah manusia yang membakar. Mana pula mungkin anjing yang terkengkeng seperti disebut Malin Basa itu yang akan membakar. Kalau sekiranya itu memang dibakar, tentu manusia biasa yang membakarnya. Siapa manusia itu? Tentu manusia yang sedang menggulirkan roda revolusi. Roda revolusi yang menghukum orang-orang yang menjadi musuh revolusi. Orang-orang yang berkhianat kepada revolusi. Masakan itu saja tidak terjangkau oleh otakmu, Datuk Rajo Bamegomego mulai naik pasang. Oh begitu?! Lebih jelasnya tentu orang PKI yang membakar rumah itu, apa betul begitu? tanya Mantari Gobah lebih berani. Aku tidak mengatakan begitu. Tapi juga tidak keberatan dengan teori itu. Mungkin saja yang kau sebutkan itu bisa terjadi, jawab Datuk Rajo Bamegomego penuh percaya diri. Mengerikan sekali kalau begitu. Kalau sudah mulai main bakar orang PKI. Alamat akan sansai nagari, ujar Mantari Gobah. Sekali lagi aku hanya berandai-andai. Andainya memang orang partai kami yang melakukannya, hal itu adalah sesuatu yang sangat pantas. Memang kadang-kadang hukuman untuk yang melanggar disiplin itu sangat keras. Orang komunis di seluruh dunia ini memang sangat keras dalam berdisiplin, itu tidak perlu ditutup-tutupi. Sangat keras dalam menghukum. Tapi itu untuk kesejahteraan rakyat banyak. Rakyat berderai, rakyat kecil. Mereka-mereka penggerak roda revolusi. Seandainya yang engku Datuk andaikan benar pula, bahwa yang membakar rumah Siti Zahara tadi malam itu orang PKI, kenapa rumah itu yang dibakar? Katakanlah tuan Syamsuddin Sutan Marajo tidak mau lagi ikut partai, dia dianggap bersalah. Dia perlu dihukum. Tapi kenapa rumah
49

istrinya yang dibakar ? Itukan rumah kaum istrinya? Kalau tidak cepat kepintasan tadi malam paling tidak empat buah rumah orang Simabur terpanggang jadi abu. Apa dosa orang Simabur? Kalau roda sudah menggelinding, kalau api sudah membakar, dimana pula dia akan tahu batas. Dimana pula dia tahu rumah orang Simabur atau bukan. Memang seperti itulah resikonya. Makanya jangan main-main dengan roda revolusi. Berbuat pelihara tangan, berjalan pelihara kaki, berkata pelihara mulut. Roda itu sangat perkasa. Kan sudah aku katakan, terbujur lalu, terbelintang patah. Tidak ada suatu apa yang akan dapat menghalanginya, ucapan dan percaya diri engku Datuk makin mantap saja Ini jelas tidak bisa. Ini mengerikan sekali kalau dibiarkan. Nanti malam bisa merah semua rumah di kampung ini oleh api kalau begini caranya. Untunglah engku wali jorong sudah meminta supaya petugas ronda malam ditingkatkan jumlahnya, Mantari Gobah sedikit terbawa emosi. Tidak akan terhalang oleh petugas ronda, Gobah. Tidak akan ada yang sanggup menahan. Kalau ini betul-betul sudah bagian dari gerakan roda revolusi. Hanya, sementara ini kan kita belum tahu secara pasti. Dari tadi aku masih berandai-andai. Jangan pula kau cepat memburansang, kata engku Datuk. Harus diupayakan menghalanginya. Untuk kampung kita ini paling tidak. Jauhlah hendaknya siar bakar seperti ini. Betul. Ditingkatkan kesiagaan. Ketika ronda kita harus lebih banyak berjalan mengelilingi kampung di malam hari. Jangan hanya duduk-duduk di pos ronda saja, Katik Sati menambahkan. Sama kita lihatlah bagaimana nanti. Kalau aku berharap mudah-mudahan cepat pecah bisul revolusi ini. Biarlah dia menggelinding, digilasnya semua musuh revolusi, semua antek-antek kolonialis, semua antek-antek kapitalis, semua antek-antek penyebar kebodohan, barulah selesai urusan. Barulah kita hidup dalam ketenteraman sesudah itu. Tidak ada lagi ketakutan. Entahlah engku Datuk. Kelihatannya memang seperti kata engku Datuk juga. Seperti menahan bisul mau pecah kita rasanya. Aku benar-benar takut, kalau bisul ini benar-benar pecah, berpetaipetai kita semua jadinya. Berhamburan nanah busuknya kemana-mana, kata Mantari Gobah. Sebenarnya, kalau dijalankan kincir-kincir agak sedikit, tidak sulit benar ilmunya. Kalau sudah tahu kita bahwa roda akan menggilas, janganlah ditahankan tubuh kita, naiklah meloncat ke atas kereta yang punya roda. Tentu aman jadinya. Tapi kalau berani mengalangkan marih, harus berani pula menerima segala akibatnya. Kan seringkas itu saja kaji. Meminta kita kepada Tuhan Allah mudah-mudahan terhindar negeri ini dari bencana. Itu saja yang dapat kita lakukan lagi, ujar Katik Sati pasrah. Kalau itu aku tidak ikut serta. Selama ini kan tidak berhenti-henti Katik meminta kepada Nya. Tidak henti-henti Katik tunggang tunggik. Namun perang terjadi juga.
50

Memang disanalah perbedan kita engku Datuk. Saya mohon pamitlah dahulu, kata Katik Sati. Orang-orang di lepau itu berangsur keluar satu persatu. (10) Pecah Thursday, 19 February 2009 Suasana semakin mencekam saja. Sesudah terbakarnya dapur Siti Zahara, hari demi hari tambah menegangkan. Benar bahwa kegiatan ronda malam sudah ditingkatkan, tapi macam-macam pula yang terjadi sekarang. Sering rumah orang-orang tertentu dilempari tengah malam. Berdentangdentang bunyi atap seng dilempari batu sebesar tinju. Yang punya rumah bangun, diguguhnya tong-tong, datang orang ronda. Tapi yang melemparkan batu entah sudah kemana lari. Tangga mesjid sudah beberapa kali dilumuri orang dengan najis, dengan cirik. Orang yang sudah berwudu mau masuk ke dalam mesjid, terinjak barang lunak dan baunya menguap sesudah itu. Ke dalam surau tempat anak-anak mengaji dimasukkan orang anjing yang diikat dengan rantai. Karena pintu surau itu mudah membukanya. Dimasukkannya anjing dan diletakkannya makanan sehingga anjing itu tenang saja. Siang hari waktu guru mengaji masuk dengan murid-muridnya, anjing itu menyalak. Yang paling mengenaskan, seorang wanita tua yang akan pergi sembahyang subuh, berjalan di pinggir kolam mesjid, disikut oleh orang berkelumun kain sarung bertopi sebo sehingga terpelanting masuk kolam. Alhamdulillah dia tidak apa-apa, kecuali basah kuyup. Tidak jadi sembahyang subuh. Wanita tua itu ketua Aisyiah di kampung. Singkat cerita rakyat sekarang diteror. Yang jadi korban umumnya orang-orang tertentu. Kalau ditarik garis, sepertinya ada hubungan antara orang yang kena teror dengan orang yang berani bersuara lantang melawan PKI. Orang yang berani berdebat dan menyinggung martabat PKI langsung mengalami teror. Rumahnya dilempari batu. Ini yang paling umum. Rumah Mantari Gobah sudah jadi langganan. Hebatnya, ketika Mantari Gobah mencoba mengintip diam-diam, sengaja dia berangin-angin di tengah malam, bersembunyi menantikan orang yang akan melempar rumah istrinya, tidak ada kejadian. Dua hari dia diam-diam meronda, tidak terjadi apaapa. Hari ketiga dia beristirahat, menjelang tengah malam bunyi atap seng rumah itu kembali berdengkang-dengkang dilempari orang. Seolah-olah si pelaku itu tahu benar kapan Mantari Gobah lengah, barulah dia bertingkah. Sebenarnya penduduk tahu siapa-siapa saja orang PKI di kampung itu. Induk angkangnya siapa lagi kalau bukan Datuk Rajo Bamegomego. Tapi dia ini sudah orang tua, rasanya tidak mungkinlah dia yang akan turun tangan meneror. Ada satu orang yang agak dicurigai masyarakat, seorang mantan anggota OPR, tentara bentukan APRI ketika perang PRRI. Orangnya memang masak mentah, beringas. Tapi ada pula alibinya. Dia lebih banyak berada di rumah istrinya di kampung lain yang cukup jauh dari kampung ini. Ada dua orang lagi yang biasa menemani engku Datuk dan memang dikenal sebagai orang PKI. Tapi orang ini agak bodoh dan lamban. Tidak ada yang yakin bahwa kedua orang ini yang membuat teror. Itulah yang rumit. Jadi siapa sipembuat onar ini sebenarnya? Atau mungkinkah orang dari kampung

51

lain? Itupun sulit pula diterima akal. Bagaimana dia dapat mengetahui sasaran yang akan di teror dengan begitu tepat? Suasana mencekam di kampung itu sudah pernah dilaporkan ke polisi dan tentara di kantor kecamatan, tapi keduanya sama saja nasihatnya. Tingkatkan penjagaan dengan ronda malam. Hati-hati dengan api di tungku, periksa benar sebelum tidur. Begitu pula hati-hati dengan lampu minyak tanah. Hanya itu saja nasihatnya. Sekali-sekali datang polisi berpatroli, senja hari. Padahal kejadian teror biasanya lewat tengah malam. Begitulah suasana di kampung kala itu. Lebih dari cukup untuk membuat resah. Sebenarnya perbuatan teror itu semata-mata perang urat syaraf saja. Kecuali rumah Siti Zahara yang nyaris habis terpanggang, gangguan lain belum ada atau tidak ada yang fatal. Seperti melempari rumah dengan batu di tengah malam, mengotori tangga mesjid, mengganggu orang yang akan pergi ke mesjid. Semua kejadian pasti malam hari, bahkan di sekitar tengah malam sampai menjelang subuh. Tidak pernah siang hari atau waktu masih senja. Siang hari kehidupan berjalan biasa-biasa saja. Lepau kopi tetap dikunjungi orang dan tetap ramai di sore hari. Mantari Gobah bukannya jadi takut karena rumah istrinya jadi langganan teror. Malahan semakin lantang suaranya setiap berdebat dengan Datuk Rajo Bamegomego. Masih sering juga rumah istrimu dilempar orang tengah malam, Gobah, tanya Khaidir Malin Basa. Masih, jawab Mantari Gobah singkat. Aku dengar pernah kau rondai sendiri. Kau nantikan si pembuat onar itu. Benar? Benar. Tidak ada dia datang. Tidak takut kau? tanya Katik Sati. Apa yang akan ditakutkan? Buktinya mereka juga orang-orang penakut. Orang gedang serawar, jawab Mantari Gobah. Huh, hebat. Besar juga nyali kau Gobah, ujar Datuk Rajo Bamegomego. Begitu buktinya engku Datuk. Siapapun orang-orang itu. Itu adalah orang-orang gedang serawar, pengecut. Beraninya hanya membuat teror. Beraninya berbuat sembunyi-sembunyi. Melempari rumah orang tengah malam, membakar rumah orang tengah malam. Kalau memang berani, keluar siang-siang begini. Buat perkara siang-siang begini. Baru jantan namanya itu, jawab Gobah. Huh. Akan datang masanya Gobah. Akan datang masanya. Orang-orang seperti kau ini didatangi orang-orang revolusioner terang-terangan. Boleh kau terampun-ampun kala itu nanti, ujar engku Datuk.

52

Kenapa mesti menunggu? Kalau seandainya engku Datuk tahu orangnya, suruhlah dia datang sekarang-sekarang. Saya ini apa yang akan saya takutkan. Nyawa saya nyawa berlebih sisa perang kemarin. Dan saya, kalau dapat orang itu, siapapun dia, akan saya patahkan tangannya, Mantari Gobah mulai naik pasang. Kalau aku tahu orangnya? Kalau aku tahu orangnya aku perkenalkan kau kepadanya, jawab engku Datuk. Entah apa maksudnya. Kalau dipikir-pikir ini memang perang urat syaraf saja. Ada usaha untuk menakut-nakuti masyarakat. Entah apa tujuannya sesudah itu, Katik Sati berkomentar. Betul. Itu hanya usaha menakut-nakuti masyarakat. Dan yang diteror orang-orang yang tertentu pula. Orang-orang yang dekat ke mesjid atau orang-orang yang sering berdebat di lepau ini, Mantari Gobah menambahkan. Orang-orang yang berdebat di lepau ini belum tentu pula semua. Rumah anakku sudah pernah dilempari orang itu, begitu pula rumah anakmu. Rumah Malin Basa juga, bukan ? kata Katik Sati. Khaidir Malin Basa mengangguk. Ya iyalah. Rumah anak engku Datuk mana pula akan dilemparinya, Mantari Gobah menambahkan dengan sedikit menyindir. Rumah anakku siapa pula yang akan berani melempari he..he..he, kata Datuk Rajo Bamegomego sambil tertawa menyeringai. Tapi aku yakin, suatu saat si tukang lempar batu sembunyi tangan ini akan tertangkap juga, kata Mantari Gobah. Dan kalau tertangkap kau patahkan tangannya? tanya engku Datuk. Kalau tertangkap olehku, kupatahkan tangannya, jawab Mantari Gobah mantap. Tidak percuma kau bekas tentara PRRI, kata engku Datuk. Ya, tidak percuma. Dan aku tentara PRRI yang bertahan sampai perang selesai. Sudah dua kali aku ikut perang bersosoh. Sudah dua kali nyawaku hampir hilang. Jadi yang ada sekarang sisa nyawa saja lagi. Makanya aku tidak takut. Bagus itu. Siapa tahu pada saatnya bersobok betul kau dengan lawan yang setanding. Aku tunggu, engku Datuk. Aku tunggu. Biarlah sama didengar angin, mudah-mudahan sampai tantanganku ini. Aku tunggu manusia jelatang kampung ini kapan saja.

53

*** Sejak kegiatan ronda malam lebih ditingkatkan lepau simpang dibuka sampai larut malam. Orang yang tidak sedang giliran rondapun senang duduk-duduk sambil mendengarkan radio transistor milik orang lepau. Transistor yang suaranya sayup-sayup sampai. Tidak banyak orang yang punya radio transistor di kampung ini. Salah satunya adalah orang lepau ini. Sudah beberapa malam Datuk Rajo Bamegomego ikut bertahan di lepau ini mendengarkan radio. Dan dia minta agar yang didengar hanya RRI pusat saja. Siaran RRI isinya sebahagian besar adalah berita pengganyangan Malaysia dan ulasan beritanya, atau pidato-pidato Bung Karno entah pada kesempatan apapun. Tapi malam itu agak berbeda. RRI banyak memutar lagu-lagu mars. Lagu Maju Tak Gentar, lagu Nasakom, lagu ganyang Malaysia. Hampir tidak ada berita apa-apa. Datuk Rajo Bamegomego terlihat agak berbeda dari biasanya. Dia terlihat gelisah. Sampai jauh malam, ketika orang lepau mau menutup lepau, tetap tidak ada berita apa-apa. Engku Datuk baru pulang setelah larut malam itu. Keesokan harinya, orang-orang kembali berkumpul di lepau. Orang lepau bercerita, sepertinya telah terjadi sebuah peristiwa pagi itu di Jakarta. Begitu yang dia dengar di radio. Hanya beritanya tidak terlalu jelas. Samar-samar terdengar bahwa ada korban tentara-tentara yang terbunuh di Jakarta. Datuk Rajo Bamegomego yang juga hadir ikut mendengar berita. Masih sempat dia berkomentar bahwa kelihatannya mesin revolusi yang sangat besar itu sudah dinyalakan di Jakarta dan gelindingnya akan segera sampai ke daerah-daerah. Ternyata berita itu semakin jelas. Malam hari itu RRI sudah kembali mengudara dan menurut berita telah terjadi sebuah usaha perebutan kekuasaan. Akan tetapi presiden Soekarno selamat dan dalam keadaan sehat. Enam orang jenderal TNI terkorban secara mengenaskan. Pelaku kudeta itu sedang ditumpas oleh tentara. Siapa yang melakukan perebutan kekuasaan masih samar-samar. Beberapa hari sesudah itu orang baru berbicara bahwa dalang kudeta itu adalah PKI. Hah? PKI? PKI melakukan kudeta? Apakah ini yang dimaksud Datuk Rajo Bamegomego sebagai roda revolusi yang mulai menggelinding? Kalau benar demikian, maka sepertinya PKI tidaklah diatas angin sementara ini. Karena usaha kudeta itu sendiri ternyata dapat digagalkan. Dan sisa-sisa gerakan itu sedang ditumpas di Jakarta. Selama dua hari Datuk Rajo Bamegomego tidak ada di kampung. Dia pergi ke Bukit Tinggi dan terus ke Padang untuk mencari informasi. Pulang dari Padang terjadi perubahan drastis atas diri engku Datuk. Serta merta hilang nada suara jumawanya. Bahkan kalaupun masih sama duduk di lepau tidak banyak lagi bicaranya. Kumis beranting berwarna kelabu itupun sepertinya agak layu sekarang. Matanya tidak segarang biasanya. Kemana menghilang saja dua hari ini, engku Datuk? tanya Mantari Gobah.

54

Aku ke Padang menyilau anak, jawab engku Datuk tanpa gairah. Menyilau anak atau mencari berita, engku? tanyanya pula. Menyilau anak. Anakku sakit. Tidak sekalian pergi rapat? Bagaimana kabar roda revolusi, engku Datuk? Mantari Gobah terus mencecar. Belum ada kabar. Belum ada kejelasan, jawabnya pula. Tapi kata radio sudah jelas. Orang-orang PKI membuat onar di Jakarta dan sedang ditumpas. Kabarnya pula ketua besar PKI sudah menghilang dari Jakarta. Apa menemui dia engku di Padang? tanya Mantari Gobah bersemangat. Belum tentu benar berita itu. Tunggulah dahulu. Kita lihat sebentar lagi. Nanti akan terbuka juga kejadian sebenarnya. Jadi menurut engku Datuk, masih harus kita tunggu roda revolusi itu bergulir? Roda revolusi yang akan menghancurkan musuh-musuh revolusi itu? Tunggu sajalah Gobah. Tunggu sajalah dulu. Maaf aku kurang sehat sejak di Padang kemarin. Nantilah kita sambung cerita. Engku Datuk beranjak meninggalkan lepau. Belum pernah terjadi seperti ini. Biasanya orang lain yang mengalah. Orang lain yang keluar dari lepau kalau debat sudah terlanjur panas. Tapi sekali ini lain. Hanya ditanyakan hal-hal sederhana seperti itu saja engku Datuk sudah keletihan. Atau boleh jadi dia sakit ? Ah, selama ini tidak pernah dia mengeluh sakit. Memang berbeda sekarang. Datuk Rajo Bamegomego yang selama ini tuhuk-tahan, kali ini sepertinya sinarus. Yang selama ini seperti tidak ada matinya, kali ini terlihat loyo. Benar-benar sudah berakhirkah riwayat partainya? Ada satu lagi yang tiba-tiba berubah. Tiba-tiba tidak ada lagi orang mengguguh tong-tong tengah malam karena rumahnya dilempari batu. Sudah tiga hari ini berturut-turut. Sudah amankah nagari dari teror? Namun atas saran wali nagari, kewaspadaan tetap harus dijaga. Ronda malam tetap harus dilakukan dengan penuh kesiagaan. Suasana memang berubah dari sehari ke sehari. Berita tentang kudeta itu semakin jelas. Korankoran menyebutnya sebagai pemberontakan Gestapu PKI. Gerakan tiga puluh September PKI. Rupanya tanggal 30 September itu PKI menghidupkan mesin besar revolusinya, seperti yang selalu digembar-gemborkan dan dinanti-nanti Datuk Rajo Bamegomego. Dan rupanya roda revolusi itu tidak berjalan sebagaimana yang mereka harapkan. Datuk Rajo Bamegomego sekarang jarang hadir ke lepau. Dia ada di rumah anaknya, tapi lebih banyak bermenung saja. Roman mukanya semakin lusuh. Di rumahpun dia tidak seperti biasanya

55

lagi. Selama ini Datuk yang satu ini memang terkenal penaik darah. Pemarah dan suka bercarut. Orang lain yang gelinggaman mendengarnya. Padahal dia penghulu adat.

(11) Melarikan Diri Thursday, 12 March 2009 Siapa Datuk Rajo Bamegomego sebenarnya? Nama kecilnya adalah Saman. Dia ini penghulu adat salah satu suku di kampung. Istrinya orang kampung ini juga. Di tengah kaumnya dia adalah orang pilihan, makanya diangkat jadi penghulu adat. Dia tamat sekolah Schakel, setingkat sekolah dasar di jaman Belanda. Dia pandai berbahasa Belanda. Ketika Indonesia merdeka diapun ikut jadi tentara pelajar dan sudah mulai tertarik dengan partai komunis karena pergaulannya dengan orang-orang komunis. Sejarah mencatat, partai komunis membuat kekeliruan pada tahun 1948. Tapi kekomunisannya sesudah pemberontakan PKI yang gagal di Madiun itu tidak pernah surut. Dia tetap bertahan sebagai kader PKI. Sesudah penyerahan kedaulatan dia diangkat kaumnya jadi penghulu dan sejak itu dia menyandang gelar Datuk Rajo Bamegomego. Dia bekerja di kantor pemerintahan kota di Bukit Tinggi. Orangnya ambisius. Sayangnya dalam pergaulan dia sombong dan tinggi hati. Di matanya orang lain bodoh saja semua. Sifat ini kadang-kadang salah pasang secara keterlaluan. Dengan teman sekantornya sering terjadi kesalahafahaman akibat sikap sombong itu. Padahal orang-orang di kantor itu ada yang lebih pintar dan lebih tinggi pendidikannya dari dia. Akibatnya dia mempunyai banyak musuh di kantor. Dia semakin terkucil karena keaktifannya dalam partai komunis. Di kantornya kebetulan tidak ada orang yang sealiran dengannya. Dalam setiap diskusi dan perdebatan sering dia jadi bulanbulanan kawan-kawannya. Dia frustrasi dan berbuat nekad dengan cara berhenti jadi pegawai negeri untuk lebih berkonsentrasi di partai. Jadilah dia semakin kental dalam kekomunisan. Sebelum pecah perang PRRI dia lebih banyak tinggal di Padang tapi keluarganya tetap tinggal di kampung. Ketika perang pecah, kebanyakan orang pulang ke kampung masing-masing. Diapun ikut pulang kampung. Sejak itu dia tidak pernah meninggalkan kampung kecuali pergi sebentarsebentar untuk keperluan partai. Karirnya di partai cukup baik. Pernah dia ikut rombongan anggota partai dalam perjalanan ke luar negeri. Secara ekonomi dia hampir tidak punya masalah. Di kampung dia tergolong orang kaya. Di tengah kaum sepersukuan, saudara perempuannya terhitung kaya. Begitu pula istrinya, untuk ukuran kampung termasuk orang berpunya dengan sawah yang luas. Dalam kegiatan partai, meski partai tidak memberinya penghasilan, tetapi ketika ada rapat-rapat khusus ada jugalah uang pengganti. Kadang-kadang cukup juga jumlahnya. Ketika dia tinggal di Padang sebelum pindah kembali ke kampung, partai menyewakan sebuah rumah kecil untuknya. Di tengah-tengah kaum sepersukuan, meskipun para kemenakannya tidak menyukai kekomunisannya, terlebih-lebih ketidakpercayaannya dengan Tuhan, namun hubungan kekeluargaan mereka cukup baik. Dalam masalah kepentingan kemenakan dia tetap seorang Minang yang sangat perduli kepada mereka. Para kemenakan yang laki-laki selalu diberinya
56

semangat agar rajin sekolah. Banyak dari kemenakan itu yang mengidolakan dia sebagai seorang laki-laki panutan, karena dalam anggapan mereka dia adalah seorang penghulu yang pintar dan cerdas. Bagi kaum sepesukuannya dia adalah seorang pemimpin yang sangat dihargai. Kebalikannya, di tengah-tengah keluarga istrinya dia kurang disenangi karena disebabkan keangkuhan juga. Dengan mamak rumahnya (saudara laki-laki istrinya) dia sangat bertentangan karena mamak rumah tersebut orang surau. Orang surau punya tempat tersendiri sebagai musuh dalam kehidupannya. Hubungan dengan istrinya cukup istimewa untuk ukuran di kampung karena dia bertahan dengan mempunyai seorang istri saja. Kalau dia mau dia bisa dengan sangat mudah kawin lagi, karena dia penghulu. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Anaknya empat orang. Perempuan keempatnya. Anak-anak itu disuruhnya sekolah sampai sekolah menengah atas. Tidak ada yang sampai masuk ke perguruan tinggi. Dua orang anaknya bidan dan bekerja di rumah sakit. Yang dua orang lagi jadi guru sekolah rakyat dikampung. Hubungan ayah dan anak biasa-biasa saja. Tidak ada satupun dari anaknya yang tertarik dengan partai komunis. Di dekat rumah saudaranya ada sebuah bangunan bekas surau yang tidak lagi difungsikan sebagai surau. Rumah kecil itu dijadikannya seperti kantor. Disana dia betah duduk membaca berlama-lama. Banyak buku-buku komunis terdapat disana. Umumnya buku-buku berbahasa Belanda dan sebagian berbahasa Indonesia. Dia juga menyimpan semua surat menyurat urusan partai dalam sebuah lemari kecil. Di dinding bagian mihrab surau ditempelkannya lambang PKI, sebuah bendera merah berlambang palu arit. Saudara perempuannya sebenarnya sangat risih dengan lambang palu arit itu. Risih saja karena bangunan kecil itu tadinya adalah surau kaum. Benar bahwa surau itu sudah tidak digunakan sebagai surau lagi, tapi dengan melihat bendera merah besar itu, entah kenapa dia sangat kurang senang. Namun hanya sekedar tidak senang begitu saja. Tidak pernah dia berani mengatakan apa-apa. Setiap kali dia datang membawakan kopi untuk kakaknya kesana selalu dilengahkannya pandangannya dari bendera merah itu. Kemenakan-kemenakan yang ingin berdiskusi atau bertanya kepadanya diterimanya di dalam kantornya yang bekas surau ini. Ada yang betah duduk dengannya berlama-lama disini, bertanya dan berdiskusi tentang masalah-masalah adat, karena dalam masalah adat dia cukup berpengetahuan. Aneh juga karena dia tidak pernah mempengaruhi seorangpun dari kemenakannya untuk jadi anggota PKI. Seperti itulah sedikit latar belakang dan lingkungan kekerabatan Datuk Rajo Bamegomego. *** Peristiwa yang terjadi tanggal 1 Oktober 1965 pagi di Jakarta, semakin jelas memojokkan posisi partai komunis. Hal itu tidak bisa lagi ditutup-tutupi. Namun Datuk Rajo Bamegomego bukan orang yang cepat putus asa. Dia ingat betul, tahun 1948 dulu PKI juga gagal. Tapi sesudah itu? PKI bangkit kembali dengan lebih gagah. Kali inipun dia yakin hal yang sama akan terjadi. Walaupun dia kecewa, karena sementara ini yang terjadi sangat berbeda dengan yang dia harapkan. Tapi dia tetap yakin dalam waktu yang tidak lama PKI akan bangkit lagi.

57

Dan dia harus melakukan sesuatu. Dia harus pergi dari kampung karena di kampung semua orang kenal dengan kePKIannya. Tahu dengan sepak terjangnya selama ini. Di kampung cepat atau lambat dia pasti tidak akan aman. Datuk Rajo Bamegomego berniat untuk pergi ke Medan. Ini termasuk strategi yang dibahas dalam rapat-rapat internal PKI, bahwa seandainya terjadi sesuatu yang menyulitkan di Sumatera Barat, mereka, para pengurus partai akan lari ke Jakarta. Tapi jika Jakarta dinilai tidak aman, mereka akan menghindar ke Medan. Datuk Rajo Bamegomego merancang sebaik-baiknya hari keberangkatannya. Sebelum itu, semua surat-surat dan buku-buku partai cukup disurukkan ke atas loteng surau ini saja. Termasuk bendera palu arit. Toh nanti, kalau keadaan sudah kembali aman dan terkendali dia segera akan pulang dan akan kembali berkantor disini. Rencana keberangkatan itu sudah disampaikannya kepada saudara dan beberapa kemenakan terpercayanya. Sanak saudara dan kemenakan-kemenakannya sebenarnya keberatan dia pergi. Terdengar berita bahwa di pulau Jawa, orang-orang PKI sudah mulai diburu-buru dan dibunuhi. Meski di kampung tidak ada yang sanggup menjamin keamanannya, tapi rasa-rasanya orang kampung belumlah akan seberingas orang-orang di Jawa itu. Yang ada dalam benak engku Datuk justru sebaliknya. Terlalu beresiko baginya kalau dia tetap tinggal di kampung. Akhirnya, keluarga menyetujui kepergiannya. Dan kepergian itu tetap dirahasiakan dari penduduk kampung. Seorang kemenakannya membelikan karcis oto Sibualbuali dan dipesankan bahwa dia nanti akan naik di Palupuh, sebuah kampung yang sangat jauh dari kampungnya. Disana ada rumah temannya satu partai. Koper kecilnya dibawakan oleh seorang kemenakannya dengan dibonceng sepeda malam hari ke Bukit Tinggi. Koper kecil itu dititipkan di loket Sibualbuali. Dia sendiri berangkat subuh-subuh buta dengan berjalan sambil melenggang. Seandainya ada orang yang melihat dan bertanya dapatlah dia mengatakan bahwa dia akan pergi ke Bukit Tinggi saja. Kepada istrinya dia berpesan bahwa dia akan pergi keluar kota untuk beberapa hari. Jadi kepada istrinyapun kepergiannya itu dirahasiakannya. Dari Bukit Tinggi dia menyewa bendi ke Palupuh. Begitu benar dia menjaga diri agar tidak ada yang tahu kemana dia pergi. Maka berangkatlah dia ke Medan. *** Agak tepat juga langkah Datuk Rajo Bamegomego. Tidak berapa lama kemudian ada petugas tentara dari kantor Kodim datang untuk mendata siapa-siapa saja orang PKI di setiap kampung. Untuk sementara hanya didata saja. Mereka yang memang terdaftar sebagai anggota PKI diwajibkan untuk datang melapor sekali seminggu ke kantor koramil terdekat. Tidak ditahan dan tidak diapa-apakan. Petugas kantor Kodim itu tentu saja sudah dapat laporan bahwa di kampung ini ada seorang PKI dengan gelar Datuk Rajo Bamegomego. Petugas itu mendatangi rumah istrinya. Istrinya memberitahu bahwa engku Datuk sedang keluar kota untuk beberapa hari. Waktu ditanya kemana keluar kotanya, istrinya tidak tahu. Petugas itu berjanji akan datang lagi beberapa hari kemudian.

58

Seminggu kemudian petugas itu datang lagi. Ternyata engku Datuk tetap tidak ada. Tentu saja petugas-petugas itu kesal. Atas saran istri engku Datuk mereka disuruh menanyakan ke rumah saudaranya. Adik Datuk Rajo Bamegomego, Rohana namanya, sangat gugup ketika didatangi tentara. Tapi tentara itu cukup simpatik dan memberitahukan bahwa tugas mereka hanya mendata saja semua anggota PKI. Kepada petugas itu akhirnya Rohana tidak berani berbohong. Dia memberitahukan terus terang bahwa kakaknya, engku Datuk sedang pergi ke Medan. Untuk keperluan apa beliau pergi ke Medan? tanya tentara petugas itu. Kami kurang tahu. Menurut beliau masih untuk keperluan partai, jawab Rohana. Tahu ibu dimana alamat beliau disana? Tidak tahu. Ada sanak famili yang bisa dihubungi di Medan? Tidak ada. Pernyataan ibu kami percayai sebagai keterangan yang benar. Karena kalau kemudian hari ternyata ibu mengatakan sesuatu yang tidak benar, ibu akan berhadapan dengan petugas hukum. Saya rasa ibu faham tentang itu, ujar tentara petugas itu. Saya faham, jawab Rohana mulai tersedu. Atau ada keterangan ibu yang ingin dikoreksi? tanya petugas itu pula. Tidak ada. Saya tidak menyembunyikan apa-apa. Semua keterangan saya sejujurnya. Baik ibu. Kalau seandainya beliau pulang suruh beliau segera melapor. Dengan demikian beliau berada di bawah perlindungan kami. Sementara ini tugas kami hanya mendata setiap anggota PKI. Mereka diwajibkan melapor ke kantor koramil. Seandainya dikemudian hari ada masalahmasalah hukum, maka hukumlah yang akan berbicara. Itu sudah diluar tanggung jawab kami, begitu pesan petugas tentara itu. *** Datuk Rajo Bamegomego sepertinya membuat kesalahan fatal dengan keberangkatannya dari kampung untuk menyelamatkan diri. Terdorong oleh harapannya bahwa PKI akan kembali lagi suatu saat nanti, akibatnya sungguh mengenaskan. Beritanya tidak pernah terdengar lagi. Dia hilang raib seperti ditelan bumi. Di medan orang-orang PKI ternyata juga diburu dan dibunuh orang. Banyak mayat orang-orang PKI itu dicampakkan orang ke sungai Ular di kota Medan, hanyut ke selat Malaka.

59

Tidak ada yang tahu apakah Datu Rajo Bamegomego termasuk satu di antara yang jadi korban seperti itu. Yang diketahui orang hanyalah bahwa dia tidak pernah lagi pulang. Kaum sepersukuannya merasakan ini sebagai aib besar. Penghulu mereka hilang tidak tentu rimbanya. Mati tidak tahu dimana kuburnya. Salah satu kemenakannya mencoba mencari jejaknya ke Medan. Bertanya kalau-kalau ada orang yang kira-kira tahu. Tapi pekerjaan itu siasia saja. Beberapa orang kemenakannya merasa malu dan sangat terpukul. Mereka jadi serba rumit. Untuk menegakkan penghulu yang baru pengganti Datuk yang hilang tidak mungkin dilakukan. Kebalikannya, orang kampung mencatat di dalam hati saja kehilangan Datuk Rajo Bamegomego. Boleh dikatakan tidak ada yang perduli dengan hal itu. Rasanya, seandainya beliau tetap menetap dikampung, paling-paling akan ditinggalkan orang dalam pergaulan, tidaklah ada orang yang akan sampai hati mencelakai jiwanya. Masyarakat kampung lebih pemaaf.

(12) Tahanan Politik Thursday, 16 April 2009 Sudah hampir menjelang asar ketika Marwan menyelesaikan cerita panjang itu. Aku dan istriku benar-benar menjadi pendengar yang baik selama itu. Kami simak setiap uraiannya dengan penuh perhatian. Sebagian dari kejadian itu samar-samar masih aku ingat nuansanya. Meski di kampungku sendiri tidak ada orang yang menjadi anggota PKI, aku ingat dengan lobang perlindungan yang disuruh buat entah oleh siapa ketika itu. Setiap rumah harus mempunyainya. Anak-anak yang lebih kecil dari kami menggunakannya untuk tempat bermain sembunyisembunyian. Aku ingat dimana letaknya tong-tong dirumahku. Alat dari bambu yang harus dibunyikan kalau ada bahaya sebagai peringatan atau sebagai permohonan bantuan. Tapi seingatku belum pernah tong-tong di rumah ibuku itu diguguh. Kami berhenti sebentar untuk pergi shalat asar, lalu melanjutkan lagi kisah itu. Sambil menikmati ketan dan pisang goreng yang dibuatkan Desi. Dan minum teh telor seperti yang tadi aku pesan. Aku menanyakan beberapa hal dari cerita yang sudah diuraikan Marwan. Ada yang ingin kutanyakan. Pertama, tidak adakah keterangan tentang orang yang membunuh pak tangahmu itu sesudah perang selesai? Tidak adakah permintaan maaf atau apalah misalnya dari komandannya? Maksudku, apakah kematian beliau itu tidak diketahui oleh komandan barunya? Setahuku tidak ada yang datang minta maaf dan sepertinya keluarga kami sudah menerima itu sebagai takdir. Sebagai sebuah kemalangan di tengah susana perang. Tapi ada cerita dari orang lain, yang katanya ikut satu pasukan dengan pak tangahku itu. Orang ini dari kampung tetangga kami. Aku tidak kenal dengannya. Dia punya teman lain lagi di kampungku. Nah, orang kampungku ini yang mendapat cerita bahwa kejadian pembunuhan pak tangahku itu diluar sepengetahuan komandannya. Orang yang datang berempat malam itu, kata cerita ini, adalah
60

yang paling kecewa dan marah ketika dikhianati komandannya kapten Udin Kulabu. Salah satu dari mereka itu bersumpah akan membunuh teman-teman yang meyerah itu kalau mereka bertemu. Teman pak tangahku yang dari kampung tetangga itu mendengar sumpahnya. Tapi aku merasa heran, kenapa pak tangah juga dijadikannya sasaran, padahal beliau bukan termasuk kelompok yang membelot. Tambahan ceritanya, si pembunuh itu juga terbunuh dalam suatu pertempuran di Lintau setahun kemudian. Atau jangan-jangan mereka memang berniat merampok ? Karena menduga pak tangahmu banyak uang ? Entahlah. Aku tidak tahu tentang itu. Pertanyaan berikutnya tentang rumah ibumu. Jadi tetap tidak diketahui siapa yang berusaha membakar rumah itu? Tidak. Memang sebuah teka-teki besar. Tapi orang kampung tidak pernah ada yang berhasil mengungkapkannya, jawab Marwan. Dan kau bilang bahwa tidak ada kemenakan engku Datuk itu yang komunis satu orangpun. Tapi dia sangat dihormati oleh anggota kaumnya, terlepas dari kekomunisannya. Aneh juga orang itu ya? Maksudku, kalau dia sebegitu yakin dengan partai komunis sebagai sebuah ideologi, kenapa justru dia tidak mengajak para kemenakannya untuk ikut? Aku tidak tahu apakah dia benar-benar tidak pernah mengajak mereka jadi komunis. Tapi aku tahu dan sangat yakin bahwa tidak ada satupun kemenakannya yang komunis. Di tengah kaumnya dia benar-benar bertindak sebagai seorang penghulu. Seorang datuk yang mengayomi mereka semua. Dalam masalah adat, sebagai seorang penghulu dia juga disegani oleh penghulupenghulu lain di kampungku. Orang tidak menyukainya kalau dia sudah berbicara atas nama partainya. Adakah dari kalangan kemanakannya yang alim? Karena kau bilang dia alergi terhadap orangorang surau di kampung? Setahuku tidak. Tapi kenapa kau tanyakan itu ? tanya Marwan. Akan cukup menarik juga mengetahui apakah para kemenakannya itu betul-betul diperlakukan secara khusus secara adat Minang saja. Tidak diajaknya kemenakannya masuk PKI meski dia seorang PKI tulen, sementara dia berusaha mempengaruhi orang lain. Dan apakah dibiarkannya saja kalau ada kemenakannya yang alim sementara kalau orang lain alim dia alergi? Entahlah. Tapi aku dengar, konon ibu kandungnya pernah berpesan ketika dia sudah tidak bisa lagi dipengaruhi oleh ibunya itu untuk berhenti jadi orang komunis, kalau dia mau jadi PKI, lakukan sajalah sendiri, tapi anak kemenakannya jangan sampai diajak-ajaknya pula ikut serta. Wallahu alam apakah itu penyebabnya.

61

Boleh jadi itulah penyebabnya. Lalu, bagaimana dengan ayahmu sendiri? Apakah ayahmu mendapat kesulitan dari pihak militer ? Mulanya ayahku bekerja saja seperti biasa. Sepertinya lancar-lancar saja. Tapi beliau tahu, suatu saat pasti akan timbul masalah karena bagaimanapun beliau memang terdaftar sebagai anggota PKI. Ternyata benar. Sekitar awal tahun 66 semua anggota PKI tidak diizinkan lagi masuk kantor. Kepala kantor ayahku menasihati beliau agar jangan kemana-mana. Maksudnya agar jangan pergi melarikan diri. Dan beliaupun memang tidak ada niat untuk meninggalkan kampung. Sebenarnya adik beliau, pak etekku yang di Surabaya itu mengajak beliau agar datang saja ke Surabaya. Ayahku tidak mau. Termasuk ibukupun melarang beliau pergi. Ayahku siap menerima segala resiko di kampung ini. Beliau tidak ingin melarikan diri. Datanglah waktunya petugas militer mendata anggota PKI ke kampung-kampung. Ada beberapa orang yang diwajibkan melapor sekali seminggu ke kantor koramil, termasuk ayahku. Kecuali ayahku, yang lain umumnya adalah petani bahkan ada yang buta huruf. Mereka yang buta huruf itu sesudah beberapa kali datang wajib lapor dibebaskan dan tidak perlu lagi datang. Ayahku akhirnya ditahan dan dimasukkan ke penjara di Padang, karena menurut catatan para petugas itu beliau adalah anggota PKI aktif. Dan kau tahu, waktu itu tidak ada pengadilan. Ayahku menerima keputusan petugas militer itu tanpa perlawanan. Tiga bulan pertama beliau tidak boleh dikunjungi. Kami sangat khawatir dengan kesehatan beliau. Ibuku tetap tegar dan memperbanyak doa dan zikir. Hanya itu senjata beliau. Ada famili ayah di Padang yang bekerja di kantor pemerintah. Dia berusaha mencari jalan agar kami dapat menjenguk beliau. Sebelum itu kami dibuat panik ketika mendengar kabar, kemungkinan ayahku akan dikirim ke pulau Buru. Ibuku tetap tegar dan semakin khusyuk dalam setiap shalatnya. Alhamdulillah, akhirnya kami diizinkan untuk mengunjungi ayah. Ayahku terlihat sangat kurus, tapi menurut beliau, beliau tidak pernah sakit selama di penjara di Padang. Mungkin udara panas kota Padang lebih cocok untuk beliau. Walaupun kami kurang yakin akan hal itu. Beliau benarbenar kurus. Hanya anehnya, muka beliau terlihat lebih cerah. Kata beliau, di penjara beliau berusaha untuk beribadah dengan sebaik-baiknya. Dua bulan kemudian pak etekku yang di Surabaya itu pulang ke kampung dalam rangka menjenguk ayah. Pak etekku menawarkan untuk membawaku ikut dengan beliau ke Surabaya. Mulanya ibuku keberatan karena aku anak laki-laki satu-satunya. Tapi ayahku justru mengijinkan. Kata beliau, biarkan saja dia pergi, mudah-mudahan bisa lanjut sekolahnya. Aku sendiri sebenarnya tidak ingin pergi karena kasihan meninggalkan ibu dan ayahku di penjara. Tapi beliau selalu memberi semangat kepadaku. Akhirnya aku menerima tawaran pak etekku itu kalau aku sudah tamat SMP. Ayahku ditahan selama dua tahun sampai pertengahan tahun 68. Entah atas pertimbangan apa akhirnya beliau dilepaskan. Kalau menurut ayah mungkin karena selama berada di dalam penjara
62

beliau tidak terlihat sama sekali sebagai orang komunis. Beliau selalu sembahyang dan berpuasa hari Senin dan Kamis, Marwan berhenti sejenak. Di penjara beliau ditahan bersama-sama penghuni penjara yang lain ? Maksudku bercampur dengan para penjahat kriminal ? Tidak. Beliau dan orang-orang PKI lain ditahan terpisah. Sesudah tiga bulan pertama itu beliau selalu boleh dikunjungi? tanya Desi. Boleh. Kami datang bergantian sekali seminggu. Setiap kali datang kami boleh bertemu sekitar satu jam. Dan beliau juga diperbolehkan menerima buku-buku untuk bacaan. Ibuku membawakan banyak buku-buku agama. Beliau mengisi waktu di penjara dengan banyak membaca, jawab Marwan. Selama di penjara apakah beliau pernah disakiti ? Atau diinterogasi oleh petugas ? tanyaku. Menurut beliau tidak pernah beliau diperlakukan secara kasar. Tapi memang pernah diinterogasi berkali-kali. Biasanya untuk menanyakan tentang anggota PKI yang lain. Dan ayahku tidak banyak mengenal anggota PKI yang lain. Tidak adakah yang membela beliau pada waktu itu ? Misalnya yang membantu memberitahu bahwa beliau sebenarnya sudah keluar dari partai komunis ? tanya Desi istriku. Tidak mungkin. Dan percuma saja. Pertama karena tidak ada pengadilan. Siapa yang akan percaya bahwa ayahku sudah keluar dari partai itu? Jelas tidak ada buktinya. Yang kedua orang pasti takut membela-bela karena khawatir akan ikut pula ditahan atau dipenjarakan. Ibuku sendiripun tidak mungkin melakukan pembelaan seperti itu. Lagi pula melalui siapa kita akan memberikan pembelaan ? jawab Marwan. Tentulah merepotkan sekali bagi ibumu menjadi single parent ketika itu? tanyaku. Tidak juga. Ibuku pedagang kecil-kecilan. Beliau berjualan beras. Adalah untung sedikit-sedikit. Dengan keuntungan itulah beliau dapat biaya untuk menjenguk ayah hampir tiap minggu. Setelah beliau bebas adakah masalah dengan penduduk di kampung? tanyaku. Hampir tidak ada. Masyarakat kampung umumnya lebih mengerti dan pemaaf. Bahkan warga kampung sangat prihatin waktu ayahku ditahan, karena di kampung orang-orang tahu bahwa beliau sudah tidak ingin bersama partai komunis lagi. Bahkan rumah ibuku hampir habis dibakar gara-gara beliau ingin keluar dari partai. Semua orang tahu itu. Tapi, mereka tidak bisa membela apa-apa waktu ayahku ditahan. Jadi waktu ayahku bebas, orang kampung menerima dengan sangat baik. Hanya, ayahku merasakan ada sedikit kekurang nyamanan dalam pergaulan di kampung waktu itu dengan keluarga sepersukuan Datuk Rajo Bamegomego. Sepertinya ada anggota persukuan itu yang tidak rela ayah dibebaskan sesudah ditahan dua tahun. Mungkin mereka menginginkan agar ayah ditahan lebih lama. Mungkin juga karena mereka
63

membandingkan dengan kerugian mereka sendiri dengan hilang lenyapnya penghulu mereka. Ya, itukan sudah takdirnya masing-masing. Tidak ada hubungan antara apa yang dialami engku Datuk dengan yang dialami ayahmu, aku berkomentar. Betul. Tapi bukan seperti itu mungkin yang mereka rasakan. Lalu, apa yang terjadi? Kenapa kau bilang ayahmu sakit-sakitan sampai akhirnya beliau meninggal beberapa tahun kemudian? Ayahku memang sakit-sakitan. Di penjara itupun beliau pernah sakit dan hampir tidak pernah diobati. Waktu beliau keluar dari penjara badan beliau kurus. Aku tidak tahu apakah karena perbedaan cuaca antara Padang dan kampung kita. Di kampung penyakit sesak nafas beliau itu sering kumat. Beliau berobat kemana-mana di kampung dan di Bukit Tinggi, tapi tidak banyak hasilnya. Kau sendiri di akhir tahun 66 berangkat ke Surabaya. Masih sempatkah kau bertemu dengan beliau sebelum beliau meninggal? tanyaku. Sempat. Persis sebelum beliau meninggal. Pak etekknu itu menyuruhku pulang ke kampung di pertengahan tahun 70, waktu liburan semester pertama. Karena ibuku memberi khabar bahwa penyakit ayah semakin parah. Waktu aku sampai dikampung, beliau sangat gembira. Beliau sangat kurus. Tapi masih bisa berkomunikasi denganku. Ayahku menasihatiku tentang banyak hal. Tapi satu hal yang beliau tekankan betul agar aku jangan ikut-ikutan berpolitik. Politik itu sangat kotor, kata beliau ketika itu. Benar juga yang dikatakan ayahmu. Beliau benar-benar telah jadi korban politik. Dan tentunya nasihat beliau kau jalankan sampai sekarang. Ya. Aku tidak pernah mau ikut-ikutan berpolitik. Dan kau berangkat kembali ke Surabaya ketika beliau masih sakit? Tidak. Beliau meninggal ketika aku sedang di kampung. Seolah-olah beliau menunggu kedatanganku untuk meninggal. Jadi kau sempat mengurus jenazah beliau, kataku. Ya. Dan beliau dimakamkan disamping makam pak tangahku, kata Marwan. Lalu apa yang terjadi dengan kau? Kau kembali ke Surabaya untuk melanjutkan sekolah? Ya, aku kembali ikut dengan pak etekku. Meneruskan sekolah sampai selesai kuliah. Lalu bekerja. Lalu menikah dengan wanita, anak orang awak yang tinggal di Malang. Seterusnya akan kuceritakan pengalamanku sampai aku diberhentikan dari tempat kerjaku, sampai akhirnya aku berdagang buku seperti sekarang.
64

(13) Surabaya Tuesday, 28 April 2009 Marwan melanjutkan lagi ceritanya. Aku berangkat dari kampung akhir tahun 66. Mula-mula ada terniat di hatiku untuk memberi tahu ke beberapa orang teman tentang keberangkatanku tapi akhirnya aku batalkan. Aku malu, kalau nanti teman-teman tahu alasanku meninggalkan kampung. Aku malu dan khawatir kalaukalau nanti mereka semua tahu bahwa ayahku sedang di penjara karena beliau seorang anggota PKI. Bahkan setelah sampai di Surabaya dan bersekolah disana, aku sengaja tidak menulis surat kepada siapapun di antara teman-teman kita. Dengan alasan yang sama. Aku berangkat berdua dengan mertua pak etek yang juga diminta datang oleh beliau. Aku dititipkanlah ibaratnya kepada mertua beliau itu. Nenek itu sudah berumur sekitar 60 tahun, masih gesit dan lincah. Dia sudah tiga kali bolak balik ke Surabaya. Kami naik kapal laut dari Teluk Bayur menuju Jakarta. Di Jakarta kami dijemput anak nenek itu, adik dari istri pak etek. Dua hari kemudian kami berangkat ke Surabaya dengan keretapi. Di Surabaya, aku dimasukkan ke SMA. Aku mulai sekolah. Aku cepat beradaptasi dengan suasana sekolah. Dengan modal pandai main gitar seperti di SMP. Aku mulai punya teman. Mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan olah raga. Main voli dan main bola. Di rumah aku berusaha menyesuaikan diri pula sebaik-baiknya. Aku bersyukur karena anak-anak pak etek itu sangat baik-baik kepadaku. Mereka benar-benar menganggapku sebagai kakak mereka. Mereka lebih banyak menggunakan bahasa Jawa Surabaya di rumah. Sesama mereka atau bahkan kadang-kadang kalau berbicara dengan ayah mereka. Dalam waktu singkat akupun mulai pandai berbahasa Jawa. Hari Minggu aku menawarkan diri untuk membantu pak etek di toko beliau. Beliau mempunyai toko buku di pasar Tunjungan. Beliau mengijinkan dan aku ikut dengan beliau ke toko. Pelanpelan aku berlatih mengingat dan menghafal harga buku-buku yang ratusan banyaknya. Berlatih melayani pembeli. Ternyata jauh hari kemudian ilmu itu yang paling banyak kupakai dalam hidup. Ketika aku punya toko buku sendiri seperti sekarang. Dengan kesibukan baik di sekolah, di rumah dan di toko buku, aku betah-betah saja disana. Meskipun pada awal-awalnya, hampir setiap malam pikiranku selalu melayang ke kampung. Aku rajin menulis surat ke ayah dan ibuku. Beliaupun rajin membalas. Surat untuk ayah aku kirim melalui ibu di kampung. Ayahku sangat senang mendengar ceritaku seperti yang selalu beliau tulis dalam surat-surat beliau. Beliau selalu berharap agar aku bisa melanjutkan sekolahku sampai perguruan tinggi. Ayahku menaruh harapan sangat besar padaku. Dan aku menyadari betul hal itu.

65

Begitulah kehidupanku pada waktu itu. Prestasi di sekolah hampir-hampir sama saja seperti ketika di SMP. Aku termasuk golongan sedikit di atas rata-rata, Marwan berhenti sejenak untuk meneguk teh telor. Tidak ada berpomle-pomle? tanya Desi sambil tertawa. Boleh dikatakan tidak ada. Ada teman-teman wanita, seperti di SMP juga. Tapi teman selama di sekolah saja. Anak-anak SMA waktu itu sudah ada yang berani berjalan berdua-dua pulang sekolah. Tapi aku belum berani. Tidak berani. Aku menjaga benar jangan sampai ditegor pak etek, jawab Marwan. Kau bilang ikut main voli dan main bola. Ikut bertanding juga seperti ketika kita di SMP? tanyaku. Main voli aku kurang masuk hitungan di sana. Banyak anak-anak lain yang lebih hebat dariku. Paling-paling aku terpakai kalau pertandingan antar kelas. Tapi main bola aku tetap terpakai. Kami cukup sering pergi bertanding antar sekolah. Ada juga hampir-hampir berkelahi. Biasalah, main bola, kalau tidak ada main kasar-kasarnya kan bukan main bola namanya. Kami pernah pergi bertanding ke luar kota. Ke Malang, ke Blitar. Pokoknya lumayan, aku bisa ikut melihatlihat negeri orang. Aku juga ikut bermain basket. Permainan yang juga aku sukai. Kadang-kadang diikutsertakan dalam pertandingan. Dan aku pernah diajak ikut bermain band. Karena aku pandai bergitar. Untuk mengisi acaraacara sekolah, terutama mendekati tanggal tujuh belas Agustus. Ketika disekolah diadakan banyak perlombaan-perlombaan. Waktu di sekolah aku ikut. Teman-temanku mengajak untuk latihan hari Minggu. Cita-cita mereka ingin membuat grup band benaran di luar sekolah. Aku menolak, karena hari Minggu benar-benar aku gunakan untuk bekerja di toko. Dengan kegiatan seperti itu apakah kau tidak menjadi bintang? Sehingga disenangi anak -anak perempuan? Kan anak-anak perempuan senang kepada anak laki-laki yang olahragawan, yang pemain musik, apa bukan begitu? tanyaku. Iya ya. Kalau uda pasti sudah dikerubuti anak-anak gadis barangkali ya ? Sudah banyak pomle, Desi mengusik. Aku tersenyum. Ternyata tidak. Tapi entah jugalah. Mungkin karena aku berusaha benar untuk tidak berpacaran. Tidak mau mendekati, tidak mau didekati anak-anak perempuan, jawab Marwan. Di luar sekolah tidak ada kegiatan? Ada, banyak. Aku ikut jadi anggota karang taruna. Aku ikut aktif jadi remaja mesjid di dekat kami tinggal. Aku ikut lagi jadi anggota PII. Ini secara tidak sengaja. Karena aktif di mesjid ada
66

yang mengajakku masuk anggota PII. Aku bilang aku sudah jadi anggota PII. Kebetulan kartu anggota yang aku dapat di kampung dulu kubawa. Teman-teman itu sangat senang dan sejak itu aku selalu diajak ikut kegiatan mereka. Dan aku usahakan selalu ikut. Biasanya setiap hari Jumat dan Sabtu sore. Kadang-kadang hari Minggu pagi. Sekali-sekali aku minta izin pak etek untuk ikut. Sebenarnya pak etekku itu mengizinkan aku ikut kegiatan-kegiatan remaja di luar sekolah. Tapi aku harus tetap tahu diri. Ada suatu pengalaman lucu dengan kegiatan PII. Aku ikut pelatihan selama seminggu ketika libur sekolah. Orang-orang Surabaya berbahasa Jawa agak kasar. Ini menurut pengakuan mereka sendiri. Dalam omongan sehari-hari sering kali mereka mengeluarkan kata-kata carut. Di dalam masa pelatihan itu semua peserta diminta menghindarkan kata-kata carut itu. Tapi mungkin karena sudah bagian dari kebiasaan, mereka tidak bercarut tapi mengganti setiap makian dengan kata PKI. Kalau ada hal yang kurang menyenangkan, mereka mengatakan, PKI tenan. Aku bergidik setiap kali ada yang mengeluarkan kata PKI. Satu saat, aku bertanya kenapa dia mengganti kata makian dengan PKI. Jawabnya, karena PKI itu memang sama dengan carut. Maksudnya PKI itu brengsek. Lalu kami membahas tentang keberengsekan PKI. Temanku itu bercerita bagaimana jahil dan biadabnya orang-orang PKI itu di kampung-kampung di Jawa Timur sebelum meletusnya peristiwa Gestapu. Mereka meneror masyarakat jauh lebih kejam. Kata temanku itu ada yang berani menyerang orang sedang shalat subuh di mesjid. Imam dan jamaah mesjid itu dipukuli ketika mereka sedang shalat. Ada yang membakar mesjid terang-terangan. Itulah sebabnya ketika kemudian PKI dan Gestapunya gagal, orang-orang PKI itu banyak yang dibunuhi masyarakat beramai-ramai. Seingatku di daerah kita tidak ada sampai kejadian seperti itu. Setahuku juga tidak pernah. Makanya orang-orang di kampungku mengatakan, seandainya Datuk Rajo Bamegomego tidak lari ke Medan dia akan selamat di kampung. Tapi mungkin dikirim ke pulau Buru, kataku. Ya, itu sangat mungkin. Dan cerita itu belum selesai. Aku bertanya kepada temanku itu, apakah cerita yang baru disampaikannya itu, tentang pembunuhan orang-orang PKI, dia dengar dari orang lain? Dia bilang, di antara peserta sekarang ini ada yang jadi saksi langsung. Nanti aku kenalkan, katanya. Dan aku berkenalan dengan seorang teman yang lain. Kakak ayahnya, atau pakdenya termasuk salah seorang anggota PKI yang terbunuh dikampungnya. Dia bercerita dengan nada biasa-biasa saja. Lalu aku tanya, apakah ketika PKI masih jaya, pakdenya itu pernah berlaku jahat juga di kampung itu? Jawabnya sungguh mengerikan. Di samping jahat dan beringasan, orang itu membunuh kakaknya sendiri yang adalah imam mesjid di kampung itu. Alasannya sangat di buat-buat. Katanya karena kakaknya tidak membagi harta warisan secara adil. Padahal harta warisan itu sudah dibagi ayah mereka dengan adil sesuai syariat Islam. Dua orang saudara wanita mereka mendapat seperempat bagian untuk berdua dan mereka bertiga laki-laki masing-masing mendapat seperempat. Kakak
67

yang paling tua itu karena memang lebih baik ekonominya memberikan sebagian dari pembagiannya kepada kedua adik wanitanya sebagai tambahan. Lalu bapak yang PKI ini juga ikut-ikutan meminta dan tidak dikasih. Dia langsung naik pitam dan membunuh kakaknya. Sesudah kejadian itu dia ditahan polisi sebentar tapi segera dilepas lagi. Karena dia orang pentingnya PKI di kecamatan. Mengerikan sekali, ujar Desi Memang mengerikan. Dan orang itu akhirnya dibunuh massa. Tapi bukan karena alasan pembunuhan kakaknya itu saja. Banyak kesewenang-wenangan yang dilakukannya di kampung sehingga penduduk kampung benar-benar sangat membencinya. Betul-betul mengerikan, aku ikut bergidik mendengarnya. Sepertinya orang-orang PKI di Jawa memang lebih buas. Paling tidak dari apa yang aku dengar. Ada dua tiga orang temanku yang bercerita tentang prilaku orang-orang PKI di kampung mereka. Nadanya mirip semua. Suka meneror dan membuat onar. Tapi kemudian juga banyak orang PKI yang terbunuh, begitu aku pernah baca di koran. Benar. Seperti yang diceritakan temanku itu. Waktu mereka sudah tidak berkuku lagi, habis mereka. Ceritanya mengenaskan juga. Ribuan orang-orang PKI itu dibunuh. Pokoknya kacaulah. Dendam dibalas dendam. Kejahatan dibalas kejahatan. Di daerah kita rasanya tidak ada cerita seperti itu. Dan kau tidak bercerita..... Tentang orang-orang PKI di kampung kita? tanyaku. Aku menahan diri untuk tidak bercerita. Aku takut kelepasan omong tentang ayah. Aku tidak ingin orang tahu ayahku juga PKI. Kami kembali terdiam. Aku mencomot sebuah pisang goreng. Marwan juga. Sementara kami menyibukkan diri dengan goreng pisang raja. Desi menanyakan apakah kami mau minum yang lain. Marwan minta segelas air putih. Kau tidak pulang kampung waktu ayahmu dibebaskan? tanyaku lagi beberapa saat kemudian. Tidak. Kebetulan pak etekku sudah berencana untuk membawa keluarganya pulang kampung ketika liburan sekolah. Tadinya dia menanyakan apakah aku juga ingin ikut pulang atau mau tinggal di Surabaya. Kalau aku mau tinggal, tokonya akan dipercayakannya kepadaku selama beliau pergi. Kalau aku memilih ikut pulang toko itu akan dipercayakan kepada kawannya. Aku bingung menjawabnya. Sebenarnya, tentu saja aku juga ingin pulang melihat ayah. Tapi tawaran mengurus toko merupakan tantangan yang cukup menarik. Aku menulis surat kepada ayahku menanyakan pendapat beliau. Beliau mengatakan, tidak usah pulang. Ambil kesempatan belajar mengurus toko itu dan usahakan sebaik-baiknya, jangan sampai gagal. Begitu pesan ayahku. Aku tidak ikut pulang kampung dan menggantikan pak etek mengurus toko. Tidak sulit bagiku karena selama dua tahun disana aku selalu berlatih setiap libur dan hari Minggu. Sebelum itu, pernah
68

juga beliau menyuruhku menjaga toko sehari dua kalau beliau ada urusan ke Jakarta atau ke tempat lain. Apa saja pekerjaan di toko buku itu ? tanyaku. Selain menjual buku juga memesan buku-buku baru. Menerima kiriman buku-buku baru dari penerbit. Mengirim buku yang dipesan pembeli. Semua tentu harus dicatat sehingga nanti mudah melaporkannya. Dan kau kerjakan sendirian ? Tidak. Ada seorang karyawan yang membantu. Berapa lama pak etekmu di kampung? Tiga minggu termasuk di perjalanan. Di kampungnya mungkin hanya dua minggu. Mereka naik kereta ke Jakarta dan naik kapal laut ke Padang. Dan kau berhasil menjalankan tugas itu dengan baik? Alhamdulillah, aku berhasil. Pak etek sangat senang. Ayahku yang kemudian kukabari juga senang. Kata pak etek aku boleh pulang kampung tahun berikutnya. Tapi tahun berikutnya aku sudah kelas tiga. Aku ingin masuk ITS. Jadi aku tidak menggunakan tawaran itu karena aku sibuk dengan pelajaran. Aku bekerja keras untuk menghadapi ujian akhir dan ujian saringan masuk. Dan kau hanya mendaftar untuk masuk ke ITS? Aku disuruh pak etek ikut test masuk di Gajah Mada. Sebagai cadangan seandainya gagal ke ITS. Tapi aku berharap agar aku diterima di Surabaya. Maksudku dengan demikian aku tetap bisa membantu-bantu beliau. Kalau aku sekolah di Yogya dengan biaya dari beliau rasanya kurang pas. Aku berdoa setiap saat agar aku dapat sekolah di Surabaya. Alhamdulillah doaku dikabulkan Allah. Malahan yang di Gajah Mada itu aku tidak lulus. Selama itu kau tidak pernah bertemu dengan siapapun dari kampung kita? Entah teman -teman atau siapa saja? Orang kampung yang aku kenal sejak di kampung tidak pernah. Ada orang kampung kami tapi sudah lama menetap di Surabaya dan aku baru kenal disana. Dengan teman-teman sama sekali tidak pernah. Aku sudah hilang lenyap dari mereka dan mereka sudah hilang dariku. Pelan-pelan aku sudah berubah kejawa-jawaan. Kecuali dengan pak etek dan etek di rumah aku tidak pernah lagi berbahasa Minang. Aku ingat, kali kedua mampir ditokomu, aku hampir menyapamu tapi tidak jadi karena aku mendengar kau berbahasa Jawa dengan orang di depanku. Ya, karena aku bergaul dengan orang Jawa semua.

69

Lalu sesudah kau diterima di ITS? Begini lagi ceritanya, jawab Marwan. Diapun melanjutkan ceritanya kembali. *****

(14) Kuliah Wednesday, 13 May 2009 Aku sangat bahagia karena diterima di ITS. Ini benar-benar di luar dugaan. Waktu masih di SMP dulu cita-citaku sangat sederhana. Aku tahu bahwa otakku tidak pintar. Kemampuanku hanya rata-rata. Jadi tidak pernah terlintas di otakku untuk bersekolah tinggi. Tamat SMP aku ingin masuk STM. Sesudah itu mencari kerja. Ada orang kampungku bekerja di Caltex di Pekan Baru. Kelihatan hidupnya sangat berkecukupan. Itulah idolaku. Aku ingin nanti bisa bekerja seperti orang itu kalau aku besar. Musibah yang menimpa ayahku ternyata membawa hikmah tersendiri. Sejak ikut dengan pak etek, cara pandangku berubah. Pertolongan pak etekku sungguh sangat luar biasa artinya dalam kehidupanku. Beliau mendorong agar aku rajin dan nanti bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Beliau mendapat amanah dari ayahku seperti itu dan itu beliau jaga. Di SMA di Surabaya, teman-temanku punya cita-cita. Punya keinginan untuk bersekolah tinggi. Mereka punya target ingin masuk ke perguruan tinggi tertentu. Aku ikut kena imbas. Mereka bersaing dan bekerja keras. Aku juga ikut-ikutan bersaing. Aku sadar bahwa aku menumpang di rumah pak etek, dan aku harus berusaha jangan sampai mengecewakan. Hal ini merupakan pemicu tersendiri. Aku bekerja keras dan ternyata aku juga bisa. Bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Dan puncaknya adalah ketika ternyata aku diterima di ITS. Ayah dan ibuku sangat bahagia mendengar berita ini. Pak etek senang. Dan aku bertekad untuk mengikuti kuliah ini dengan sungguh-sungguh. Aku ingin berhasil jadi seorang insinyur. Wah, alangkah tingginya cita-cita itu. Aku akan menjadi seorang insinyur? Di kampungku baru satu orang yang sudah menjadi insinyur. Akupun mulai kuliah. Cakrawalaku bertambah luas. Kawan sekuliah datang dari lingkungan masyarakat yang lebih majemuk. Ada anak orang kaya, ada anak orang miskin. Dan di tempat kuliah nuansanya tidak melulu Jawa Timuran seperti di SMA. Banyak mahasiswa yang datang dari daerah lain di luar Jawa Timur, bahkan dari luar Jawa. Bahkan ada yang dari SMA Padang. Kunikmati susana di kampus dengan segala macam kegiatannya. Yang berhubungan dengan kuliah ataupun yang ekstra kurikuler. Semuanya indah dan aku menyukainya. Ada teman yang mengajakku ikut organisasi HMI dan akupun ikut. Berorganisasi ini juga merupakan suatu hal yang menyenangkan bagiku terlebih-lebih setelah adanya pengalaman di PII. Yang agak berkurang adalah kegiatan olah raga. Meski sekali-sekali aku masih ikut main bola, tapi tidak sama seperti ketika masih di SMA.
70

Waktu aku sedang menghadapi ujian akhir semester pertama, aku mendapat surat dari ibuku. Beliau bercerita bahwa keadaan ayahku bertambah parah. Aku sedih sekali memikirkan hal itu. Aku sangat rindu, ingin melihat beliau. Aku perlihatkan surat itu ke pak etek. Beliau menyuruhku pulang. Begitu selesai ujian, aku berangkat ke kampung. Dengan keretapi ke Jakarta dan dengan kapal laut ke Padang. Aku sampai di kampung. Ayahku terbaring sakit. Badan beliau benar-benar sudah habis, tapi beliau masih sadar. Nafasnya tersengal-sengal. Kedatanganku menambah semangat hidup beliau kelihatannya. Selama seminggu aku di kampung, sepertinya beliau berangsur agak membaik. Beliau mau makan, yang sebelumnya sangat susah. Muka beliau berubah jadi agak berseri. Dan beliau banyak menasihatiku. Dengan suara bisikan parau. Aku menangis mendengar nasihatnasihat beliau. Seperti yang aku ceritakan, yang sangat benar beliau tekankan agar aku jangan ikut-ikutan berpolitik. Satu hal lagi yang aku catat bahwa beliau sangat taat. Dalam keadaan sakit parah itu, beliau tidak meninggalkan shalat. Aku percaya ini berkat bimbingan ibuku yang dengan penuh kesabaran selalu mengingatkan beliau untuk senantiasa berzikir mengigat Tuhan. Dan beliau melakukannya. Beliau sangat senang mendengar kalau ada yang mengaji. Dan kami bergantian mengaji disisi tempat tidur beliau. Minggu kedua aku di kampung, kesehatan beliau menurun lagi. Dua hari terakhir beliau tidak sadar. Kami menjagai beliau bergantian siang dan malam. Ibuku, aku dan adik-adikku. Dan akhirnya, tanggal 5 Juli 1970, jam 7 pagi beliau berpulang kerahmatullah, Marwan terdiam sesudah itu. Meninggal di rumah sakit? tanyaku. Tidak. Di rumah. Pernah beliau dirawat di rumah sakit sebelumnya. Tapi karena tidak ada angsuran kesehatannya, beliau merasa hal itu hanya membuang-buang biaya saja, beliau minta dibawa pulang. Berapa usia ayahmu ketika meninggal? tanyaku. 42 tahun. Masih muda sebenarnya, kata Desi. Ya, masih muda. Pak tangah meninggal lebih muda lagi. Umur 31 tahun, jawab Marwan. Pak etekmu tidak pulang ke kampung ketika itu? Pulang. Tapi sepuluh hari sesudah ayahku meninggal. Beliau menerima telegram tentang kematian ayah keesokan harinya. Waktu itu perjalanan pulang kampung hanya dengan kapal laut dan keretapi. Pesawat masih sangat mahal. Beliau tinggal di kampung sekitar sepuluh hari dan kembali ke Surabaya bersama-sama denganku.
71

Berapa orang ayahmu bersaudara? Berlima. Ada dua orang saudara perempuan beliau. Mak tuo, yang paling tua, ayah dan pak tangah, ada etek satu orang lagi dan terakhir pak etekku. Saudara perempuan beliau semua di kampung? Ya. Keduanya masih ada di kampung sampai sekarang. Lalu, sesudah itu kau segera balik ke Surabaya, kembali lagi melanjutkan kuliah? Tidak terlambat? Aku masih di kampung sekitar tiga minggu sesudah itu, karena masih dalam masa liburan semester. Dan kembali ke Surabaya bersama-sama pak etek. Tidak terlambat untuk memulai kuliah semester kedua. Aku kembali lagi mengikuti kegiatan-kegiatan di kampus. Ikut lagi kegiatan HMI. Aku cepat melupakan kehilangan ayah karena kesibukan. Aku selalu sibuk. Termasuk sibuk membantu pak etek di toko. Dalam mengurus toko aku sudah sangat dipercaya. Aku sering disuruh beliau mengurus pembelian buku-buku ke penerbit, melakukan pengaduan ketika kami menerima buku yang kurang baik kualitas penjilidannya dan minta diganti. Ketika etek sakit dan pak etek harus banyak mengurus beliau di rumah sakit, kendali pengurusan toko buku beliau percayakan kepadaku. Lalu beberapa bulan kemudian, beliau sendiri jatuh sakit, aku kembali disuruh mengurus toko. Aku selalu mengerjakannya dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab. Setiap malam aku berikan laporan keuangan toko yang aku bukukan dengan rapi. Pak etek sangat senang dengan pekerjaanku. Sayang kuliahku agak tersendat pada tahun-tahun berikutnya karena kegiatan-kegiatan di toko. Tahun 73 pak etek pergi melaksanakan ibadah haji selama tiga bulan lebih. Dan selama itu aku hampir tidak pernah bisa kuliah. Di toko aku banyak waktu untuk membaca dan belajar tapi aku tidak mungkin meninggalkan toko untuk menghadiri kuliah. Aku dipinjami catatan-catatan kuliah oleh teman-teman. Di beberapa mata kuliah aku lulus tapi lebih separuhnya aku gagal. Karena dosen-dosen juga memperhitungkan kehadiran diruang kuliah. Pak etek menyadari bahwa kuliahku terganggu karena keterlibatanku dalam mengurus toko. Sepulang dari ibadah haji, beliau lebih berkonsentrasi mengurus toko dan menyuruhku agar lebih bersungguh-sungguh menghadapi kuliah. Jadi kau tidak pernah dapat masalah selama itu ? Selama mengurus toko? Masalah karena tidak bisa hadir di kuliah. Dan akibatnya tidak lulus ujian. Untungnya sistim kuliah masih santai. Tidak lulus ambil lagi tahun berikutnya. Yang mengulang seperti itu cukup banyak dikalangan mahasiswa. Jadi tidak terasa berat. Dalam mengelola toko hampir tidak pernah aku menghadapi kesulitan. Ada masalah, tapi dapat kuatasi sendiri. Misalnya ketika pak etek dan etek pergi naik haji. Sebulan sesudah mereka
72

berangkat, datang adik etek dari Jakarta. Aku memanggilnya mak etek. Aku pernah mendengar bahwa dia kurang cocok dengan kakaknya. Maksudnya dengan etek. Hubungan kakak beradik ini kurang harmonis. Tapi itukan bukan urusanku. Di rumah ada ibunya, yang mengawasi anakanak. Mak etek itu tidak mengatakan apa-apa. Besoknya dia datang ke toko dan bilang dia datang untuk meminjam uang. Cukup besar jumlah uang yang ingin dipinjamnya. Katanya akan dikembalikannya dalam tempo sebulan. Sebelum pak etek dan etek kembali uang itu sudah dibayarnya. Aku agak bingung. Menolak susah, menyerahkan aku tidak pula berani. Tapi akhirnya aku dapat akal. Aku perlihatkan buku besar berisi semua catatan jual beli toko. Lalu aku bilang, boleh dia meminjam uang tapi aku minta dia menanda tangani pernyataan bahwa dia berhutang di atas kertas meterai, yang nanti akan aku tulis di dalam buku besar. Dia marah kepadaku. Keluar kata-kata kasar. Dia mengatakan bahwa aku telah bertindak dibawah kepatutan karena tidak percaya kepadanya, adik istri pak etek. Aku jawab sesopan mungkin bahwa aku ini bukan siapa-siapa dan hanya menjalankan amanah. Aku tidak akan bisa nanti mempertanggungjawabkan peminjaman uang sebesar yang dia minta kalau tidak ada bukti hitam di atas putih. Dia pergi dalam kemarahannya, langsung kembali ke Jakarta. Sore harinya aku ditanyai nenek, apakah benar adik etek itu tadi datang meminjam uang. Aku jawab, benar. Nenek itu menanyakan lagi, apakah aku berikan. Aku jawab, apa adanya, bahwa aku meminta beliau menandatangani surat pernyataan berhutang kalau memang beliau mau meminjam. Tapi beliau malah marah. Jadi belum kau berikan, tanya nenek kepadaku. Aku jawab, belum. Syukurlah kalau begitu. Jangan kau berikan. Jadi masalah nanti, begitu kata nenek. Mak etek itu segera kembali ke Jakarta, tidak pernah bertemu denganku lagi. Waktu pak etek dan etek pulang, nenek yang menceritakan kejadian itu. Pak etek tersenyum saja kepadaku tanpa berkata-kata. Hebat. Jadi kuncinya adalah sifat amanah. Dan kau berhasil memegang teguh sifat itu, aku berkomentar. Ya, alhamdulillah. Ditambah rasa hormat dan terima kasihku kepada pak etek yang sangat baik serta besar jasanya. Aku tidak berani mengkhianatinya. Apapun tugas yang diberikannya aku berusaha melaksanakan dengan hati-hati. Bagaimana hubunganmu dengan istri pak etekmu itu? Sangat baik. Beliau adalah seorang ibu rumah tangga yang sangat taat kepada suami. Tidak banyak bicara, tapi penuh perhatian. Aku dianggapnya seperti anaknya sendiri. Dan akupun menghormatinya seperti menghormati ibuku sendiri. Ibunya yang kau panggil nenek, selalu tinggal bersama di Surabaya? Tidak. Orang tua itu, yang juga sangat baik, sering berkeliling menemui anak-anaknya. Anakanaknya ada di kampung, di Pekan Baru, di Jakarta dan di Surabaya. Tapi biasanya dia lebih banyak tinggal di kampung dengan anaknya. Tahun berapa kau selesai kuliah?
73

Tahun 77, sesudah kuliah selama hampir delapan tahun. Langsung bekerja sesudah itu? Ya. Aku melamar ke beberapa perusahaan. Dan aku diterima di sebuah perusahaan eksplorasi minyak bumi milik Amerika. Aku mulai bekerja awal tahun 78 di perusahaan itu. Kantor pusatnya di Jakarta. Daerah operasinya di Irian. Aku sering pergi ke lapangan ke Irian ketika itu. Dan menikah tahun 79? Ya, kami menikah tahun 79. Di Malang. Dimana kau berkenalan dengan calon istrimu? Dia kuliah di Universitas Airlangga. Aktif di HMI juga. Kami berkenalan di HMI sejak tahun 74. Dia 4 tahun lebih muda dariku. Ternyata dia keturunan orang awak. Ayah dan ibunya tinggal di Malang. Ayahnya seorang dokter. Sempat berpomle-pomle juga dong? Berpomle ala HMI. Ada jugalah.

(15) Kisah Cinta Monday, 01 June 2009 Marwan kembali melanjutkan ceritanya. Namanya Rosita. Dia kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga. Ayahnya seorang dokter di Rumah Sakit Umum Malang. Ayahnya orang Bukit Tinggi dan ibunya orang Maninjau. Mereka sudah lama tinggal di Malang. Rosita angkatan 74. Dan tahun 74 itu dia masuk menjadi anggota HMI. Aku mengenalnya sejak masa perkenalan anggota baru. Sejak pandang pertama aku mulai kenai hati kepadanya meski aku tidak berani mengutarakannya. Orangnya cantik, ceria, baik, pandai berbicara. Paslah untuk jadi aktifis HMI Sesudah masa perkenalan anggota, dia langsung aktif dan diangkat menjadi pembantu pengurus sebuah bidang dalam organisasi HMI. Aku sendiri adalah salah satu pengurus ketika itu. Kami sering bertemu dalam rapat-rapat pengurus dan kami sering berdiskusi. Dia banyak bertanya tentang HMI dan aku berusaha memberikan keterangan untuk hal-hal yang ditanyakannya. Dan kami terlibat juga dalam pembicaraan di luar HMI. Aku makin tertarik saja kepadanya. Tapi aku sendiri heran, kenapa aku sangat takut untuk menunjukkan perasaanku. Aku berusaha menjaga penampilan. Menjaga image atau jaim kata anak-anak sekarang. Mungkin agak sedikit berlebihan. Hubungan jaim itu berlangsung selama hampir setahun. Setiap kali aku maju mundur, antara keinginan mengutarakan perasaanku kepadanya atau tidak. Dan selama setahun itu selalu
74

berakhir dengan tidak usah sekarang, nanti-nati saja. Sepertinya aku memang agak penakut. Diam-diam aku berusaha memonitor sambil dag dig dug apakah dia sudah punya pacar. Untungnya sejauh yang aku ketahui dia tidak punya pacar. Kami secara berkala melakukan pertemuan pengurus sekali sebulan. Aku selalu hadir dan dia juga. Lama kelamaan timbul juga keberanianku. Dengan sindiran aku akhirnya menyampaikan bahwa aku menyukainya. Dia diam saja dan tidak menanggapi. Hanya dia jadi semakin sering dan betah berdiskusi denganku pada setiap kali bertemu dalam acara HMI. Kami semakin akrab, semakin kelihatan bahwa kami saling cocok. Akhirnya aku bertanya dengan lebih jelas, aku ingin dia jadi ibu anak-anakku suatu saat nanti. Aku tanyakan apakah dia setuju. Dia tetap tidak menjawab selain hanya tersenyum. Dan aku menganggap senyuman itu sebagai kesediaannya. Diam-diam, teman-teman HMI yang lain juga memberikan dukungan. Dengan sedikit keusilan mereka mengatakan, dasar Padang, maunya mesti ketemu Padang lagi. Seperti itu awal hubungan cinta kami. Kami tidak berpacaran seperti orang lain berpacaran. Aku hampir tidak pernah datang ke tempat kostnya untuk berpacaran di malam minggu seperti yang banyak dilakukan mereka-mereka yang berpacaran. Kami hampir tidak pernah pergi berdua-dua. Tapi sebaliknya dia sering datang ke toko buku di hari Minggu. Dia betah di toko buku sambil membaca-baca. Dan kami sering berdiskusi. Begitulah cara berpomle kami yang aku katakan ala HMI. Wah... Kisah cintanya jadul sekali ya? Mirip kisah cinta jaman Siti Nurbaya. Tidak adakah acara pergi nonton, pergi piknik misalnya? tanya Desi menggoda. Ya begitulah. Memang jadul. Memang hampir tidak pernah kami pergi nonton bioskop berdua. Kebetulan, kami memang orang yang tidak suka menonton filem. Seingatku kami pernah pergi menonton bioskop itu tiga kali. Dua kali bersama-sama teman HMI lain dan sekali, hanya sekali yang berdua. Tapi waktu datang ke rumah orang tuanya di Malang kami pergi berdua, jawab Marwan. Jadi pernah ada juga acara pergi berduaan..he..he..he, aku berkomentar karena geli mendengar ceritanya. Adalah. Sebelumnya, setiap kali pak etek menanyakan apakah Rosita itu pacarku, aku mengatakan bahwa dia teman di HMI. Tapi lama kelamaan, pak etekku tentu arif bahwa sebenarnya hubungan kami tidak hanya sekedar teman. Hanya beliau agak heran, bahwa aku tidak pernah pergi berkunjung ke rumahnya. Bahkan pernah beliau menanyakan, kenapa aku tidak berusaha mengenal keluarganya. Aku tidak berkomentar apa-apa. Pada kesempatan berdiskusi lagi, ketika Rosita datang lagi ke toko pada suatu hari Minggu, aku sampaikan apa yang dikatakan pak etek itu kepadanya. Dia mengajakku untuk datang mengunjungi orang tuanya di Malang. Tawaran sekaligus tantangan itu tentu saja aku terima. Kami pergi ke Malang. Aku dikenalkan kepada kedua orang tuanya. Mereka sangat baik kepadaku, lebih-lebih ibunya. Kami berbicara dengan bahasa Minang di rumah itu, kecuali Rosita yang tidak pandai berbahasa Minang. Mereka bertanya tentang diriku dan aku bercerita seperlunya. Bahwa aku tinggal dengan pak
75

etek di Surabaya, bahwa ayahku sudah meninggal, dan ibuku dan adik-adikku tinggal di kampung. Pokoknya setiap pertanyaan dan interview pak dokter dan istrinya aku jawab sebaik mungkin. Kedatanganku menemui orang tuanya di Malang itu terjadi di awal tahun 76. Belum ada pernyataan apa-apa dari pihak orang tuanya waktu itu. Belum ada pertanyaan apa-apa yang menyangkut hubungan aku dengan Rosita. Kami tetap bergaul seperti biasa di Surabaya. Rosita tetap rajin ke toko buku. Atas saran pak etek lagi, (aku benar-benar sangat tergantung kepada beliau), Rosita kuajak pula datang ke rumah untuk berkenalan dengan keluarga pak etek. Sejak itu adik-adikku, anak-anak pak etek mengenal uni Rosita mereka, yang langsung mereka anggap sebagai kakak ipar. Mereka menyukai Rosita. Pada hari raya Idul Fitri tahun 76 itu aku datang ke Malang untuk kedua kalinya bersama Rosita. Ketika itulah ayahnya bertanya agak lebih menjurus, apakah aku merencanakan untuk menikahi Rosita. Dan aku jawab sejujurnya, bahwa aku menyukai Rosita dan kalau diizinkan aku berniat menikah dengannya. Tapi tentu bukan untuk segera karena kuliahku belum selesai. Orang tua itu menerima yang aku sampaikan dan menasihatiku. Katanya, kalau aku bersungguh-sungguh, dia akan merestui anaknya jadi istriku. Dalam perjalanan pulang ke Surabaya aku ceritakan pembicaraan kami itu kepada Rosita. Dia tersenyum mendengarnya. Dan dia menambahkan bahwa ibunya yang lebih jatuh hati kepadaku, untuk menjadikan aku menantunya. Marwan berhenti sejenak dari cerita kisah cintanya untuk minum dulu seteguk. Aku dan Desi menunggu lanjutannya. Cerita itu dilanjutkannya lagi. Akhir tahun 76 sampai pertengahan tahun 77 aku disibukkan penulisan skripsi. Aku tidak setiap minggu datang ke toko. Karena pertemuan kami biasanya di toko pada hari Minggu, dengan sendirinya kami jadi agak jarang bertemu pada masa-masa itu. Hal itu tidak jadi masalah bagi hubungan kami. Lucunya waktu itu kami rajin bersurat-suratan. Tidak tanggung-tanggung, surat Rosita dia titipkan melalui pak etek di toko. Surat-surat kami bukanlah surat cinta. Rosita bertanya entah tentang apa saja. Atau menceritakan hal-hal sepele. Sangat kentara bahwa suratsurat itu hanya sekedar untuk membina hubungan. Setiap suratnya pasti aku balas. Surat balasan itu aku kirim dengan pos. Bulan Oktober tahun 77 aku lulus ujian sarjana. Subhanallah, alhamdulillah. Aku jadi insinyur. Aku, si Marwan anak mak Syamsuddin Sutan Marajo, anak tukang pos, jadi insinyur. Terkabul cita-citaku. Betapa bahagianya aku ketika itu. Betapa bahagianya orang-orang di sekelilingku. Ibuku yang jauh di kampung. Pak etek dan etek. Adik-adikku, baik yang di kampung maupun anak-anak pak etek. Dan tentu saja Rosita ikut bahagia. Pasti bangga sekali kau ketika itu, aku menyela. Bangga luar biasa. Aku lega sekali. Aku minta izin pak etek untuk pulang ke kampung menemui ibuku. Sekalian menziarahi pusara ayahku. Aku ingin mendatangi kuburan beliau, memberi tahu
76

bahwa aku, anak beliau sudah tamat sekolah. Sudah jadi insinyur. Pak etek mengijinkanku. Sebelum pulang ke kampung aku menyempatkan pula menemui orang tua Rosita di Malang, untuk menyampaikan kabar bahwa aku sudah lulus. Mereka sangat senang dan memberi ucapan selamat. Ibu Rosita bertanya setengah memancing apa rencanaku selanjutnya. Aku jelaskan bahwa aku akan mencari kerja. Tapi sebelumnya aku ingin menemui ibuku dulu di kampung. Meski dengan nada gurau dia menanyakan apakah aku sudah punya calon istri di kampung. Aku jawab sejujurnya saja. Pertanyaan selanjutnya lebih tepat menuju sasaran. Kapan rencanaku mau menikahi Rosita. Aku ulangi sekali lagi keinginanku untuk mencari kerja terlebih dahulu. Ayah Rosita sangat setuju dengan rencana seperti itu, karena diharapkan kuliah Rosita akan selesai di tahun 78. Rasanya hidupku sangat berbunga-bunga. Tapi, apakah ibumu di kampung sudah tahu kau sudah punya pomle? Punya calon istri? Jangan jangan ibumu di kampung memang sudah menyiapkan calon menantu, aku bertanya. Aku pernah memberi tahu ibuku tentang Rosita. Sejak aku datang mengunjungi rumah orang tuanya yang pertama kali. Ada juga kekhawatiranku, seandainya ibuku entah dengan alasan apa menyatakan tidak setuju. Lebih baik aku mendengar pendapat beliau dulu sebelum terlanjur lebih jauh. Akupun menanyakan kepada beliau, bagaimana seandainya nanti, sesudah sekolahku selesai aku berjodoh dengan Rosita. Ibuku tidak keberatan. Beliau hanya menyuruh agar aku merundingkannya dengan pak etek. Jadi amanlah, karena pak etek sudah lebih dulu setuju. Aku berangkat ke kampung. Dan tinggal di kampung selama hampir sebulan. Melepaskan rindu dan teragakku kepada kampung. Yang sudah tujuh tahun pula aku tinggalkan sejak kematian ayah. Ketika itu aku datang mengunjungi SMP kita. Masih ada dua orang guru kita dulu yang aku jumpai disana. Ibu Halimah dan ibu Rosna. Tentu kau masih ingat. Mereka masih ingat denganku. Aku datangi pula kepala sekolahnya dan mengatakan bahwa aku dulu bersekolah di sekolah itu. Aku ingat ibu Halimah guru Bahasa Indonesia dan ibu Rosna guru Bahasa Inggeris, jawabku. Ketika sedang di kampung aku mendapat telegram dari pak etek, ada panggilan dari perusahaan minyak yang aku lamar, ingin menginterviewku di Jakarta. Aku segera berangkat ke Jakarta mendatangi kantor perusahaan itu. Sesudah diinterview aku disuruh menunggu hasilnya. Katanya aku akan dihubungi secepatnya seandainya aku diterima. Aku kembali ke Surabaya. Santai-santai saja sambil tetap membantu pak etek di toko. Sampai pada suatu hari aku menerima surat panggilan dari perusahaan itu. Aku diterima bekerja. Aku disuruh segera datang ke Jakarta. Menggunakan pesawat udara. Itulah pertama kali aku naik pesawat udara. Aku diharuskan menjalani pemeriksaan kesehatan dan wawancara politik alias screening di kantor security Pertamina. Kau tentu tahu tentang screening. Hatiku bergetar ketika mengisi pertanyaan tentang orang tua, tentang ayahku. Apakah ayahku pernah ikut organisasi terlarang. Aku berbohong. Aku tulis bahwa ayahku sudah meninggal dunia, dan setahuku beliau tidak pernah ikut organisasi terlarang. Ketika diwawancara, pertanyaan lebih banyak diarahkan tentang diriku karena aku menulis bahwa aku adalah anggota HMI. Aku ditanya bagaimana pendapatku
77

tentang DI TII, tentang Piagam Jakarta. Dan kau tentu tahu, jawaban yang diharapkan adalah jawaban-jawaban klise. Aku diarah-arahkan untuk menjawab sesuai dengan yang mereka inginkan. Dan aku ikuti saja. Tidak ada sedikitpun pertanyaan tentang ayahku selama wawancara berlangsung. Setelah itu aku mulai bekerja. Mula-mula hanya di kantor. Tapi segera aku diperkenalkan pula dengan pekerjaan di lapangan di daerah pedalaman Irian sana. Pekerjaan itu sangat menyenangkan. Aku sangat menyukainya. Pergaulanku dengan semua orang di kantor sangat baik. Dengan teman-teman, dengan atasanku yang orang Canada. Aku kost di Jakarta di daerah Tebet, tidak jauh dari kantorku. Kalau aku bertugas di lapangan dan tinggal disana untuk seminggu atau bahkan kadang-kadang lebih, maka setelah pulang aku berhak mendapat libur. Waktu libur itu aku gunakan untuk pulang ke rumah pak etek di Surabaya. Aku beruntung karena penerbangan dari Sorong di Irian mampir dulu di Ujung Pandang. Dengan seizin kantor, dari Ujung Pandang aku ganti pesawat dan aku ambil penerbangan melalui Surabaya. Jadi aku sering pulang ke Surabaya. Menemui keluarga pak etek dan menemui Rosita. Aku telah membuat rencana pernikahan kami yang lebih tepat. Aku beritahu Rosita niatku untuk menikahinya awal tahun 79, ketika aku cuti tahunan yang pertama nanti. Dia setuju. Orang tuanya setuju. Pak etek setuju. Ibuku setuju. Pokoknya jalan lurus terhampar dihadapanku. Jalan lurus dan indah. Hebat. Terus menikah dong? Desi berkomentar. Ketika kami sudah sama-sama setuju dengan hari pernikahan, yang hanya tinggal beberapa bulan lagi, Rosita sedang menyiapkan tugas akhir untuk jadi sarjana. Ajakanku itu memacunya untuk bekerja lebih keras. Akhirnya dia lulus sebagai sarjana ekonomi bulan November 78. Kami terus mempersiapkan pernikahan itu setahap demi setahap. Rencananya kami akan menikah di Malang. Tentu saja disana karena orang tua Rosita tinggal di kota itu. Aku akan membawa ibu dan adik-adikku ke Surabaya untuk hadir pada hari pernikahan kami nanti. Aku akan pergi menjemput beliau ke kampung. Dan sesudah nikah aku akan membawa Rosita ke Jakarta. Kami akan menyewa rumah di Jakarta. Rosita setuju. Orang tuanyapun setuju dengan rencanaku.

(16) Pernikahan Tuesday, 16 June 2009 Kami semakin terbuai mendengar cerita Marwan yang runtut dan rinci. Pengalaman hidupnya ternyata penuh dengan bunga-bunga. Termasuk bunga-bunga cinta. Dari ceritanya aku bisa membayangkan betapa bahagianya pasangan anak muda itu waktu itu. Mereka berkenalan secara indah di lingkungan organisasi kemahasiswaan, HMI, saling menjaga kehormatan dalam masamasa berpacaran tanpa mengumbar hawa nafsu, mendapat restu orang tua, dan segera akan berakhir ke pelaminan. Aku dapat membayangkan betapa besarnya cinta Marwan kepada Rosita. Dan aku tidak sabar menanti bahagian ceritanya ketika dia terpaksa berpisah dengan istri pertamanya itu. Apakah Rosita ternyata berubah sesudah mereka menikah ?
78

Marwan melanjutkan lagi ceritanya dan kami, aku dan Desi istriku kembali menyimak seperti orang menonton wayang. Semua berjalan sesuai dengan yang kami rencanakan. Pertengahan bulan Januari 79 aku mengambil cuti tahunan. Aku juga mempunyai sekitar seminggu libur ekstra pengganti hari-hari aku bekerja di lapangan. Aku pulang ke kampung untuk menjemput ibu dan adik-adikku. Dan untuk minta izin kepada mamak-mamakku, karena aku akan pergi menikah. Sesuai dengan aturan adat di kampung. Dan sebelumnya, ke kampung kami telah datang pula utusan famili Rosita dari Maninjau menjemputku secara adat. Mengisi adat dengan membawa carano. Begitu kesepakatan yang dibuat di Surabaya dan Malang. Karena orang tua Rosita masih sangat teguh memegang adat. Menantunya harus orang yang dijemput secara adat Minang. Kami segera berangkat ke Surabaya. Dengan seorang mamakku, ibuku dan kedua adikku. Kedua adikku itu bekerja sebagai perawat bidan di rumah sakit umum Bukit Tinggi dan mereka mengambil cuti pula. Orang tua Rosita merencanakan pesta pernikahan dengan adat Minangkabau di Malang. Ada acara malam bainai, acara mengantar marapulai sebelum akad nikah, dan diakhiri dengan resepsi pernikahan. Pada acara mengantar marapulai itu harus ada acara pasambahan. Rombongan kami dari Surabaya harus membawa dua tiga orang yang pandai bapasambahan dan di Malang kami akan disambut oleh orang yang punya kemampuan serupa. Semua permintaan untuk melaksanakan pesta dengan adat Minang itu, yang dibicarakan ketika rapat persiapan pesta, disanggupi oleh pak etek. Beliau juga sangat senang dengan acara pesta seperti itu dan bersedia mencarikan orang-orang yang akan mengantarkan aku pergi nikah, lengkap dengan ahli pasambahan. Kami dinikahkan pada hari Jumat tanggal 2 Februari 1979, sesudah shalat isya di rumah orang tua Rosita. Kami rombongan dari Surabaya datang dengan dua buah bus. Aku berpakaian marapulai Minang, berpakaian warna merah dan bersaluk, di temani oleh sepuluh orang yang juga berpakaian Minang warna hitam dan berdestar. Pak etek dan mamakku memakai jas dengan kain sarung bugis. Sesudah akad nikah, sebelum acara makan minum ada pasambahan yang persis seperti di kampung. Yang asli. Yang baunyai-unyai. Sehingga para tamu itu baru makan malam jam sebelas malam dan acaranya sendiri baru selesai lepas tengah malam. Ini atas pesanan dokter Sofyan, mertuaku. Seolah-olah alek itu sedang terjadi di Maninjau. Untungnya yang hadir malam itu hampir semua urang awak, kecuali beberapa temanku anggota HMI dan beberapa orang tetangga mertuaku. Resepsi pernikahan dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 4 Februari. Pesta itu berjalan sangat meriah. Aku sendiri sebenarnya merasa risih. Aku, si Marwan, anak mak Syamsuddin Sutan Marajo, tukang pos, jadi marapulai dalam pesta semegah itu. Tapi itu adalah atas kemauan mertuaku. Maklum, Rosita adalah anak perempuan mereka satu-satunya. Banyak tamu yang datang. Handai tolan dokter Sofyan maupun ibu mertuaku di kota Malang dan sekitarnya. Karena mereka suami istri, orang yang sangat luas pergaulannya disana. Ada juga tamu dari Surabaya. Teman dan relasi pak etek serta teman-temanku di HMI.
79

Usai baralek gadang. Seterusnya kami jalani masa-masa indah. Masa-masa bulan madu. Mertuaku sudah memesankan paket liburan di Bali selama 4 malam untuk kami. Untuk menyenangkan hati anak padusinya satu-satunya sehingga aku tidak bisa menolak. Jadi terpaksa aku nikmati saja. Masa cutikupun habis. Aku harus kembali ke Jakarta untuk bekerja. Rosita langsung aku bawa. Atas permintaan etek Rosita, (adik ibunya), kami tinggal di rumah eteknya itu di Cempaka Putih selama beberapa hari pertama kami sampai di Jakarta. Aku sudah mengontrak sebuah rumah kecil di jalan H. Yahya di Kampung Melayu. Sebuah rumah sederhana dengan dua buah kamar. Sesudah seminggu di rumah eteknya kami mulai menempati rumah di Kampung Melayu itu. Kami jalani hari-hari yang indah. Aku bekerja seperti biasa. Alhamdulillah sementara tidak dikirim ke Irian. Ita, (aku memanggil namanya seperti itu) sementara itu berusaha memasukkan lamaran mencari kerja. Kecuali mamakku yang segera buru-buru pulang, rombongan ibuku ditahan pak etek di Surabaya sampai hari kami memasuki rumah kontrakan kami. Pada hari beliau sampai di Jakarta, kami mulai menempati rumah kontrakan mungil itu. Kedua adikku tinggal seminggu di Jakarta dan setelah itu kembali ke Bukit Tinggi. Cuti mereka sudah habis. Ibuku aku tahan untuk tinggal sementara dengan kami. Ibuku sangat menyayangi Ita. Begitu juga sebaliknya. Aku sangat bahagia melihatnya. Ibu mengajar Ita memasak gulai-gulai seperti di kampung. Dari bahan-bahan sederhana tapi dengan rasa prima. Ibuku memang tipe wanita Minang ideal, ahli dalam masak memasak. Ibu betah saja tinggal bersama kami sampai lebih dua bulan. Selama dua bulan itu aku bertugas ke lapangan dua kali, masing-masing seminggu. Tapi adik-adikku di kampung mulai tidak sabar ditinggal ibu. Mereka menulis surat kilat khusus bertubi-tubi, meminta agar ibu segera pulang. Mereka sangat canggung tanpa ibu di rumah. Menurut mereka mamak kami juga sudah tiap hari bertanya, kapan ibu pulang. Setelah ibu pulang tinggallah kami berdua menghuni rumah mungil itu. Ita masih menunggu kepastian diterima bekerja di Bank Bumi Daya. Dia menata rumah dengan sebaik-baiknya, mengerjakan pekerjaan kecil di rumah, memasak untukku. Tidak canggung sedikitpun dia mengerjakan semua itu. Tidak lama kemudian, sekitar bulan Mai, dia akhirnya diterima di Bank Bumi Daya. Ita sangat gembira dan akupun sangat setuju dia bekerja. Karena kasihan dia tinggal sendirian sehari-hari di rumah. Kami berangkat ke kantor pada jam yang sama meski dengan kendaraan yang berbeda. Samasama naik bus kota. Kantorku di daerah Pancoran Pasar Minggu, kantor Ita di Matraman. Karena istriku sudah tidak punya waktu lagi untuk memasak kecuali di hari libur, kamipun merantang. Atau kadang-kadang kami pergi makan malam ke luar. Atau kadang-kadang kami memasak berdua untuk makan malam. Beberapa bulan sudah berlalu sejak hari pernikahan kami. Tidak ada tanda-tanda bahwa Ita mulai hamil. Kami bersabar saja menunggu. Mungkin memang belum waktunya. Pekerjaanku tetap mengharuskan aku secara berkala pergi ke lapangan ke Irian. Kalau aku pergi ke lapangan, Ita mengajak anak pemilik rumah yang juga adalah tetangga kami untuk
80

menemaninya. Seorang anak gadis murid SMP. Anak itu sangat baik dan Ita sangat sayang kepadanya. Daerah tempat tinggal kami aman. Aman dari kejahatan, aman dari kenakalan remaja. Aku tidak perlu khawatir kalau harus meninggalkan Ita untuk beberapa hari. Setelah enam bulan Ita tidak kunjung hamil kami mulai bertanya-tanya. Akhirnya kami sepakat untuk berkonsultasi ke dokter. Ita yang lebih dahulu mengajak memeriksakan dirinya. Dokter yang memeriksa mengatakan Ita tidak punya masalah. Dokter itu hanya menganjurkan agar kami lebih banyak melakukan hubungan di masa-masa subur. Serta menasihatiku agar menjaga pola makan agar lebih berstamina. Rasanya aku tidak punya masalah tentang itu. Untuk lebih meyakinkan akupun juga memeriksakan diri ke dokter yang lain. Menurut dokter tidak ada masalah. Aku dinyatakan sangat sehat. Jadi mungkin masalah waktu saja. Kami bersabar lagi. Meskipun belum kunjung dikaruniai momongan, kami menjalani hidup yang damai hari demi hari. Di saat liburan kami pergi melancong. Kalau ada liburan akhir minggu yang panjang kami pergi ke Malang. Ketika cuti pertama Ita, setahun kemudian aku ajak dia ke kampung. Ke kampung ibunya di Maninjau dan mengunjungi tempat-tempat lain di negeri kita. Ita sangat menikmati kunjungan itu. Dia belum pernah menginjak bumi Minangkabau sebelumnya. Kami tidak henti-hentinya berikhtiar. Secara berkala kami tetap berkonsultasi dengan dokter. Minta saran dan obat yang mungkin bisa membantu memicu kehamilan. Dua tahun berlalu. Kami semakin tidak sabar. Kenapa kami belum juga punya anak. Kami datangi lagi dokter spesialis yang lain, yang menurut rekomendasi teman-teman lebih ahli dan konon bertangan dingin. Ita menjalani pemeriksaan yang lebih teliti dan bahkan kami lakukan juga pemeriksaan oleh dokter lain. Untuk mendapatkan second opinion. Dari pemeriksaan dokter itu ada anjuran agar Ita menjalani terapi ditiup dengan alat untuk melancarkan jalan sperma menuju indung telur. Terapi itu dilakukan dua tiga kali dan menurut Ita sangat sakit. Tapi dia rela menahan rasa sakit itu. Ibuku menganjurkan agar kami lebih banyak shalat malam. Bertahajud dan memohon pertolongan Allah. Itupun kami lakukan. Kami bangun tengah malam untuk shalat. Untuk memohon kepada Allah. Ita sampai menangis-nangis dalam doa. Akupun ikut terharu dan berdoa bersungguh-sungguh. Kami memohon agar kami dikaruniai Allah dengan keturunan. Tiba-tiba pada suatu saat Ita terlambat datang bulan. Seminggu dia belum dapat haid dari jadwal rutinnya dia masih diam-diam saja. Tapi di minggu kedua dia memberi tahuku. Meski belum ada kepastian dari dokter karena belum ada pemeriksaan apa-apa aku langsung sujud syukur. Aku begitu yakin doaku sudah dikabulkan Allah. Yakin bahwa istriku mulai hamil. Kami pergi ke dokter untuk melakukan pemeriksaan. Alhamdulillah, benar. Ita hamil. Aku sujud syukur sekali lagi di tempat praktek dokter itu. Kami gembira sekali. Berita disebar kemana-mana. Ke papa dan mama Ita, ke ibuku, ke keluarga pak etek di Surabaya. Ita hamil. Kami segera akan punya anak. Ita mulai sering merasa tidak enak badan. Mual-mual dan muntah-muntah. Pusing dan sebagainya. Gejala umum orang hamil. Dia masih tetap bekerja meski sudah agak sering minta ijin karena sakit. Kalau agak sehat dia

81

tetap masuk kantor. Aku menyuruhnya untuk menggunakan taksi pergi dan pulang ke kantor. Jangan lagi berdesak-desak di bus kota. Untungnya gejala morning sicknessnya Ita segera berakhir. Menginjak bulan ketiga kehamilan dia sudah sehat walafiat. Tidak ada lagi mual dan muntah-muntah. Aku sangat gembira melihat dia seperti itu. Pada waktu itu papa dan mamanya datang mengunjungi kami. Mereka juga sangat berbahagia. Beliau tinggal di rumah kami di Jakarta selama dua minggu. Sebelum kembali ke Malang beliau mengajak kami berjalan-jalan ke Puncak. Ita sangat sehat dan tidak ada alasan sedikitpun untuk melarangnya ikut. Papa Ita yang dokter itu yakin bahwa istirahat di alam segar Puncak akan sangat baik bagi pertumbuhan janin. Kami menyewa sebuah mobil untuk pergi kesana. Di Puncak kami menyewa sebuah bungalow. Kami tidak pergi kemana-mana selain berjalan kaki pagi di udara yang sangat bersih dan nyaman. Dua malam kami menginap disana. Hari Minggu siang kami kembali ke Jakarta dengan selamat. Hari Seninnya kedua orang tua Ita kembali ke Malang. Ita minta izin tidak masuk kantor hari Senin itu sedangkan aku menggunakan hari libur pengganti masa kerja di lapangan. Kami mengantarkan papa dan mama Ita ke Kemayoran. Pulang dari bandara, sesampai di rumah, Ita merasa perutnya kejang-kejang. Tiba-tiba saja dia merasa sakit luar biasa. Keringatnya bercucuran dan dia merintih kesakitan. Aku segera keluar mencari taksi dan kami langsung pergi ke dokter ahli kandungan. Ita mengalami pendarahan di tempat praktek dokter itu. Dokter menyuruh agar Ita segera dibawa ke rumah sakit. Dengan taksi kami berangkat menuju RSCM. Dokter itu ikut menyusul. Ternyata Ita keguguran. Dia harus dirawat di rumah sakit selama dua hari. Ita sangat sedih. Akupun sebenarnya sangat sedih. Tapi sudah seperti itu ketentuan Allah. Aku mengajaknya untuk bersabar. Paling tidak kami sudah tahu dan yakin bahwa Ita bisa hamil dan mudah-mudahan setelah kesehatannya pulih dia bisa hamil lagi. Kami mulai lagi dari nol. Kami penuh harap bahwa Ita akan segera hamil lagi. Dan kami jalani kehidupan sehari-hari seperti biasa. Penuh dengan cinta dan kasih sayang. Kami rajin shalat tahajud, memohon agar kiranya Allah mengganti janin yang sudah terlanjur gugur itu. Berbulan-bulan berlalu tanpa hasil. Bahkan setahun lagi sesudah itu, Ita tidak pernah hamil lagi. Kami kembali berikhtiar, mendatangi dokter. Ita memeriksakan diri lagi. Untuk kedua kalinya dia menjalani terapi ditiup saluran menuju indung telur. Dokter memperkirakan saluran itu kembali menyempit. Tapi tetap tidak ada kemajuan. Ita tidak juga kunjung hamil. Setelah itu mertuaku menganjurkan agar Ita mencoba memeriksakan diri ke seorang dokter kenalannya di Malang. Dokter itu sudah membantu banyak orang yang sulit mendapat keturunan dan kemudian berhasil. Kami berangkat ke Malang untuk berobat ke dokter yang direkomendasi papa Ita tersebut. Ita tinggal sebulan disana, mengambil cuti tahunan. Mengikuti pola perawatan dokter itu yang termasuk mengatur diet.

82

Ternyata tetap tidak ada hasil. Lama-lama Ita mulai pasrah, walau juga agak frustrasi. Dia memikirkan untuk mengadopsi anak saja. Kami berdiskusi berkali-kali tentang ide mengangkat anak. Kami maju mundur untuk merealisasikan ide itu. Banyak pertimbangan yang harus kami pikirkan dan akhirnya kami putuskan belum akan mengangkat anak. Marwan menghentikan ceritanya untuk pergi ke kamar kecil sebentar.

(17) Riak-Riak Kecil Friday, 24 July 2009 Aku minta tolong Desi membuatkan teh. Dia segera pergi ke dapur. Aku duduk sendiri, sambil termangu membayangkan cerita Marwan. Menarik sekali pengalaman hidupnya, yang ternyata sangat berbeda dengan kehidupannya sekarang. Desi kembali membawa teko teh dan kue-kue. Marwan masih belum keluar dari kamar mandi. Kemana da Marwan? tanya Desi. Ngga tahu. Dia masih di kamar mandi. Capek dia barangkali bercerita, da. Panjang sekali ceritanya. Ya, sangat menarik pengalaman hidupnya. Marwan muncul dari kamar mandi, sambil menyeka mukanya dengan sapu tangan. Matanya agak merah. Kenapa kau? Kenapa matamu merah? tanyaku. Ah, nggak apa-apa. Kecapekan? Kau mau minum kopi? Nggak. Nggak usah. Aku nggak capek. Mungkin aku agak terbawa emosi. Wah! Kau terkenang Rosita? Kau masih belum bisa melupakannya? Marwan tersenyum. Senyum agak kecut. Aku yakin ceritanya ini mengungkit lagi semua kenangan indah cintanya dengan Rosita. Tapi aku juga yakin dia perlu melepaskan semua cerita panjang yang selama ini menyekat di dadanya. Indah dan mengharukan sekali ceritamu tadi. Apakah waktu itu kalian tidak terpikir untuk mendapatkan bayi tabung? tanyaku.

83

Terpikir. Kami pernah berkonsultasi dengan dokter. Kami diberitahu bahwa bayi tabung di luar negeri ketika itu masih dalam fasa percobaan. Ada resiko cacad kepada bayi. Jadi, seandainya sudah adapun kami tidak berani mengambil resiko itu, jawab Marwan. Maaf pertanyaan saya agak bodoh. Tidak pernah dicoba minta pertolongan orang pintar? tanya Desi. Sejujurnya, kami sama-sama tidak percaya dengan orang pintar. Tapi pernah juga suatu kali kami hampir berurusan dengan seorang dukun atau orang pintar itu. Kami dikenalkan oleh famili suami eteknya Ita yang tinggal di Cempaka Putih. Famili itu sengaja membawa orang pintar, seorang ibu-ibu, ke rumah etek, ketika kami sedang berada disana. Kami dikenalkan kepada ibu itu. Dia bilang dia berpengalaman mengobati wanita yang sulit dapat anak. Ita bertanya bagaimana cara pengobatannya, karena tentu tidak enak kalau langsung mengatakan tidak berminat. Kata ibu itu dengan cara diurut. Bagian perut harus diurut. Tapi tidak boleh kalau sedang haid. Ita pura-pura saja mengatakan bahwa dia saat itu sedang tidak shalat, dan biar dipikir-pikir dulu. Kami tidak pernah menghubungi orang itu lagi. Kenapa da Marwan tidak percaya? Kenapa ya? Susah juga saya menjelaskannya. Tapi kenyataannya begitu. Ita tidak percaya, mungkin karena didikan ayahnya yang dokter. Dan saya juga tidak percaya dengan dukun. Memangnya kamu juga mengenal orang yang berhasil ditolong orang pintar untuk mendapat keturunan? Marwan balik bertanya. Saya tidak mendengar dari yang bersangkutan langsung. Tapi saya pernah diceritakan ada orang yang berhasil dapat anak sesudah datang ke orang pintar. Ceritanya si Dewi temannya Ratna itu lho, da. Uda kenal Dewi kan? Si Ratna yang bercerita. Katanya Dewi itu baru dapat anak sesudah 7 tahun menikah dan sesudah mendapat pertolongan orang pintar. Oh ya? Uda nggak pernah dengar cerita itu? Memangnya dengan cara apa orang pintar itu mengobati atau menolong si Dewi? giliranku bertanya. Itu entahlah. Saya hanya mendengar cerita dari Ratna, bukan dari Dewi. Tapi kelihatan kan? Dewi sudah berumur sementara anak-anaknya masih kecil-kecil, Desi menambah keterangan. Nggak tahu juga itu. Entah bagaimana membuktikannya secara ilmiah, kataku. Akupun ada mendengar cerita seperti itu. Termasuk cerita famili etek di Cempaka Putih itu. Tapi kami kok ya tidak yakin, Marwan menambahkan. Tapi ngomong-ngomong, adakah pengaruhnya pada hubungan kalian karena belum kunjung punya anak itu? Maksudku, apakah misalnya, timbul kekhawatiran istrimu bahwa kau akan meninggalkannya? Aku yakin tidak ada kekhawatiran seperti itu. Paling tidak, dia tidak pernah mengungkapkannya. Meskipun ada perubahan-perubahan kecil dalam kehidupan kami. Kami
84

yang sebelumnya hampir tidak pernah bertengkar, pada tahun ke empat pernikahan, mulai sering berdebat untuk hal-hal kecil dan kadang-kadang meningkat kepada pertengkaran. Pertengkaran yang biasanya berakhir dengan Ita menangis. Aku selalu berusaha mengalah kalau sudah terjadi yang seperti itu, aku minta maaf kepadanya. Dan kami berbaikan lagi. Jadi mesra lagi. Tapi beberapa hari kemudian kami terlibat dalam kejadian yang mirip seperti itu lagi. Ita jadi lebih sensitif. Aku bisa memahami keadaan jiwanya. Repotnya sesuatu yang tadinya diniatkan untuk kegembiraan, misalnya ketika kami berencana untuk pergi libur ke luar kota, muncul kejadiankejadian yang menimbulkan emosi Ita, dan kami bertengkar lagi. Tapi selalu aku mengalah kalau sudah demikian. Pada suatu waktu aku dikirim perusahaan untuk training ke Dallas selama 3 bulan. Sebelum itu aku pernah beberapa kali dikirim untuk seminar di Singapura selama seminggu. Ke Singapura aku selalu mengajak Ita. Waktu aku akan pergi ke Dallas tentu tidak mungkin dia ikut karena dia bekerja. Bagaimana mungkin mau mengambil cuti selama tiga bulan. Aku menyuruh dia menyusul kesana seminggu sebelum training itu selesai. Ita bersikukuh ingin ikut. Aku tanya bagaimana dengan pekerjaan? Dia bilang, masa bodoh dengan pekerjaan, pokoknya dia harus ikut. Dia tidak mau ditinggal selama itu. Aku berusaha untuk meyakinkannya, bahwa sebaiknya dia menyusul saja nanti sebelum aku pulang. Akan sangat sayang kalau dia berhenti bekerja gara-gara itu. Dia marah besar. Belum pernah dia marah seperti itu. Kami bertengkar agak berat ketika itu. Meskipun sesudah pertengkaran itu aku berusaha minta maaf, masalah utamanya tetap belum terselesaikan. Dia kepingin ikut. Aku jadi sangat kebingungan. Sayang juga kalau aku menolak ikut training itu, meski kemungkinan itu sudah aku pikirkan. Hubungan kami, seperti yang kau tanyakan, agak kaku untuk beberapa hari. Kami sama-sama hemat bicara. Padahal waktu untuk berangkat sudah semakin dekat. Dua minggu sebelum waktu berangkat aku mengajak Ita membicarakan hal itu lagi. Dia masih belum berubah. Kalau aku pergi dia harus ikut. Bahkan ditunjukkannya visa USA yang sudah diurusnya sendiri. Aku tanya, apakah dia sudah siap untuk berhenti bekerja? Dia bilang siap. Aku bilang, kalau kamu sudah yakin, baik kita berangkat bersama-sama. Aku hubungi biro perjalanan yang mengurus tiketku untuk memesan tempat untuknya. Pada hari yang sama mamanya datang. Pertama karena ada urusan dengan etek yang di Cempaka Putih. Mereka akan pulang kampung berdua. Dan yang kedua, sekembalinya dari kampung mamanya akan menemani Ita di rumah selama kepergianku. Aku memang sudah memberi tahu rencana kepergian ke Dallas kepada mertuaku itu jauh hari sebelumnya. Ita memberi tahu mamanya bahwa dia akan ikut denganku. Mamanya bingung, kok tiba-tiba yang akan pergi berdua? Bukankah Ita bekerja? Bagaimana dengan pekerjaan? Ita tiba-tiba saja menangis, mengadu bahwa dia tidak mau ditinggal sendiri selama itu. Aku tidak tahu bagaimana pembicaraan antara ibu dan anak itu, tapi tiba-tiba Ita berubah jadi lunak. Dia mengijinkan aku pergi sendiri dan dia akan menyusul nanti. Akhirnya kau pergi sendiri? tanyaku

85

Ya aku berangkat sendiri. Tidak ada masalah. Ita baik-baik saja dan membiarkan aku pergi. Ita, mamanya, etek dan pak eteknya mengantarku ke Halim waktu itu. Seperti rencanaku sebelumnya, Ita menyusul kesana beberapa hari sebelum training selesai. Kami sama-sama rindu. Belum pernah kami berpisah selama itu. Sebelum pulang kami pergi berjalan-jalan di Amerika. Sampai di Jakarta kami kembali lagi berada dalam rutinitas kerja. Belum sampai sebulan sejak aku pulang, aku berangkat lagi ke lapangan di Irian. Kali ini untuk jangka waktu sebulan. Untuk menemani Ita, aku minta ibuku datang dari kampung. Ita setuju-setuju saja. Aku berangkat ke Irian. Bekerja dengan ilmu yang baru dapat selama training yang baru kujalani. Waktu itu aku bertemu dengan orang sekampungku. Indra namanya. Dia karyawan lapangan. Seorang ahli perminyakan lulusan AKAMIGAS Cepu. Rupanya dia sudah bergabung dengan perusahaan ini sejak hampir setahun. Sebagai karyawan lapangan dia bekerja dua minggu dan istirahat seminggu. Itu sebabnya aku belum pernah bertemu dengannya disini. Indra ini adik kelas kita dulu di SMP. Senang sekali berjumpa dengan orang sekampung di lokasi kerja seperti itu. Kami biasa berbincang-bincang setiap bertemu di ruang makan. Sesudah makan malam biasanya kami masih bertahan sampai agak larut malam di messhall, bercerita ke hilir ke mudik. Biasanya bergabung dengan teman-teman yang lain. Kami baru masuk kamar kalau benar-benar sudah mengantuk. Suatu malam kami tinggal berdua saja. Dia bercerita tentang keadaan di kampung kami. Tentang keluarga dan sanak famili di kampung. Rupanya dia sering pulang dan selalu mengikuti perkembangan di kampung. Cerita seperti itu sangat menarik bagiku. Kami berbincang tentang sumbangan apa yang dapat kita lakukan untuk perbaikan kampung dan masyarakatnya. Tapi lama kelamaan ceritanya mulai agak melantur. Aku pikir dia mungkin sudah kecapekan. Katanya, da Marwan tahu tidak, kami sepesukuan terus terang iri kepada ayah da Marwan. Waktu itu, ayah da Marwan hanya ditahan dua tahun dan sesudah itu dilepas, sementara inyiak kami, penghulu kami hilang dibunuh orang tidak tahu dimana rimbanya. Wah, itukan sudah cerita lama. Cerita tentang orang-orang tua kita yang tidak perlu dibahas lagi, kataku. Aku memang sangat tidak suka mendengar pengalaman buruk ayahku gara-gara partai itu. Katanya pula, betul cerita lama. Tapi bagi kami cerita itu belum selesai. Datuk kami, penghulu kami belum kami temukan. Kalau beliau sudah meninggal dimana kuburnya. Kalau beliau hilang dimana rimbanya. Aku berusaha menghiburnya. Buat apa kita kenang lagi cerita itu yang tidak mungkin akan dapat kita perbaiki keadaannya. Yang meninggal tidak akan mungkin hidup lagi. Lebih baik kita bantu saja dengan doa, agar kekeliruan orang-orang tua kita itu diampuni Allah.
86

Katanya pula, kalau urusan doa ialah. Tapi urusan malu? Bagaimana kami menebus dan menutup malu? Terus terang aku bingung juga menghadapi si Indra ini dengan ceritanya. Dan aku sedikitpun tidak tahu apa maunya. Sebelum kami menutup cerita pada malam itu masih sempat dia bertanya setengah menyelidik yang aku tidak juga mengerti apa maksudnya. Katanya, kok da Marwan bisa ya bekerja di perusahaan ini ? Apa da Marwan tidak di screening Pertamina. Memangnya kenapa, aku tanya. Da Marwan kan tidak bersih lingkungan. Apa da Marwan berbohong ketika di screening, dia bertanya lagi. Aku menatap matanya dalam-dalam. Apa maunya orang ini, tanyaku dalam hati. Akhirnya aku katakan, sudahlah Indra, cerita ini kurang menarik bagiku untuk diteruskan. Kita berhenti sampai disini saja. Aku meninggalkannya dan pergi tidur. Besok-besoknya aku malas untuk duduk dekatnya. Aku malas dia akan mengungkit cerita yang bagiku sangat tidak perlu untuk dibahas itu. Masih sekitar seminggu lagi sebelum aku kembali ke Jakarta. Aku tetap tidak mau banyak bercerita dengan si Indra ini lagi. Dalam hatiku ada juga sedikit kekhawatiran, kalau-kalau dia sengaja bercerita tentang aku, tentang ayahku kepada orang-orang di lapangan. Seandainya dia lakukan mungkin akan menimbulkan masalah juga suatu saat kepadaku. Tapi sudahlah, apa pula gunanya hal itu aku pikirkan. Aku berusaha untuk melupakannya saja. Aku berprasangka baik saja bahwa Indra tidaklah akan sampai menyusahkanku. Aku kembali ke Jakarta sesudah tugasku selesai.

(18) Gelombang Besar Sunday, 06 September 2009 Dan rupanya Indra ini yang kan jadi bintang berikutnya dalam ceritamu ? aku bertanya sebelum Marwan melanjutkan ceritanya. Ya, begitulah, jawabnya. Rupanya dia kemenakan Datuk Rajo Bamegomego kalau begitu ? tanyaku lagi. Cucu sepersukuannya. Terus bagaimana kelanjutannya ? Marwan meraih cangkir dan meneguk teh. Dia tersenyum memandang ke arahku. Baiklah, aku teruskan. Lama aku tidak berjumpa dengan si Indra sesudah pertemuan sekali itu. Aku kembali bekerja seperti biasa di Jakarta. Kalaupun aku pergi ke lapangan, hanya untuk

87

maksimum seminggu seperti dulu-dulu lagi. Dan di lapangan aku tidak pernah bertemu dengannya karena dia sedang off. Sampai di Jakarta, aku tanyakan kepada ibuku bagaimana hubungan silaturrahmi dengan keluarga Datuk Rajo Bamegomego di kampung. Karena secara kekerabatan persukuan, suku inyiak Datuk itu masih dekat dengan persukuan ayahku meski ayah bukan satu penghulu dengan beliau. Ibuku agak heran kenapa aku menanyakan hal itu. Aku ceritakan pertemuanku dengan Indra di lapangan. Ibuku langsung mengerti dan mengatakan bahwa ibu si Indra dan mamak kandungnya adalah yang paling keras rasa permusuhannya dengan keluarga persukuan ayah. Ibuku bercerita ; Sesudah dapur rumah kita terbakar, etek Sadiyahmu, adik ayahmu bertanya ke engku Datuk Rajo Bamegomego, siapa agaknya yang membakar dapur itu. Engku Datuk balik bertanya, kenapa hal itu ditanyakan kepadanya. Kata etekmu pula, tentu engku Datuk tahu karena yang membakar itu pasti orang PKI. Engku Datuk marah besar kepada etek Sadiyah, jangan sembarang menuduh, katanya. Etek Sadiyah menggerutu dan mengatakan, engku Datuk ini, kemenakan dibeda-bedakan. Kemenakan engku disini tidak seorangpun yang dipaksa jadi PKI, aman-aman saja. Giliran tuan ambo, masih kemenakan engku juga, tidak mau lagi jadi PKI engku marahi. Engku Datuk tambah marah. Etek Sadiyahmu diam saja lagi. Tapi omongan itu terdengar pula oleh si Kawisah, ibunya si Indra. Didatanginya etek Sadiyah dan mereka berkelahi. Bukan saja perang kata-kata tapi sampai baruli. Begitu bodoh-bodohnya orang-orang itu. Aku bertanya, berkelahi kenapa? Kata ibuku pula ; Mereka tersinggung, penghulu mereka didakwa seperti itu dengan cara yang tidak pantas sepanjang adat. Sebenarnya si Kawisah mungkin sudah ada permasalahan lain, yang wallahu alam, dengan etek Sadiyah. Jadi kejadian itu hanya dijadikan pencetus perkelahian saja. Karena secara kekerabatan dalam persukuan, dalam ranji, Kawisah bukan kemenakan langsung engku Datuk. Ada kemenakannya langsung tapi tidak seagresif si Kawisah. Aku tanyakan pula, apakah perseteruan itu masih berlanjut sesudah itu? Masih berlanjut. Waktu engku Datuk menghilang, etek Sadiyah kelepasan kata-kata yang terdengar pula oleh si Kawisah. Kata-kata yang sebenarnya tidak perlu dan juga tidak dimaksudkan untuk memojokkan kaum engku Datuk. Dia mengatakan, itulah engku Datuk, kenapa mesti lari ke Medan. Kan jadi sulit saja ujung urusannya. Begitu katanya. Ternyata si Kawisah tersinggung lagi. Datang lagi dia menyerang. Ikut campur pula si Kahar saudara lakilakinya membela. Waktu itu ayahmu sudah di penjara. Itupun dibahas pula dalam perseteruan yang tidak jelas itu. Pokoknya mereka menyumpahi semoga ayahmu juga mati dalam penjara. Aku tanya ibuku, apakah beliau juga terlibat dalam perseteruan itu.
88

Kata ibuku; Tidak pernah. Ibu tidak pernah terlibat. Dan kalau orang berbicara apapun juga ibu tidak pernah mau menanggapi. Buat apa menambah-nambah dosa. Meskipun ibu juga merasakan bahwa si Kawisah kurang begitu elok perasaannya kepada ibu, tapi ibu diamkan saja. Dan aku tanyakan, lalu apa yang terjadi ketika ayah sudah bebas. Waktu ayahmu bebas, keluarga ayahmu melakukan doa tanda bersyukur dengan cara di kampung. Dipotong kambing, dipanggil orang siak ke rumah dan diundang orang kampung. Maksudnya untuk memberi tahu jugalah bahwa ayahmu, yang sebenarnya tidak ikut-ikut lagi dengan partai jahat itu, tapi kena getahnya sampai dipenjara. Sekarang sudah bebas, maka dilakukan doa syukur dengan memotong kambing. Bertambah panas pula pasaran. Si Kawisah bertambah sakit hati. Herannya yang sakit hati hanya dia dan si Kahar saudara laki-lakinya itu saja. Kak Rohana, adik engku Datuk datang ke acara mendoa itu. Tidak ada masalah. Jadi urusan itu masih saja seperti api dalam sekam. Entah apa yang menjadi pokok pangkal masalah yang sebenarnya. Apakah permusuhan itu masih berlanjut sampai sekarang, tanyaku pula. Saling diam mungkin masih berlanjut sampai sekarang. Ibu kurang begitu pasti. Tapi perkelahian sudah tidak pernah ada lagi. Waktu ayahmu meninggal, si Kawisah ada menjenguk ke rumah kita tapi kata kak Sadiyah dia tidak datang menjenguk ke rumahnya. Umumnya orang kampung datang menjenguk ke kedua tempat. Ke rumah kita dan ke rumah bakomu itu. Selama kami berdiskusi itu Ita hanya mendengarkan saja. Banyak hal-hal yang dia tidak pernah tahu karena aku tidak pernah memberi tahu. Di ujung diskusi malam itu dia bertanya, ada apa yang terjadi dengan almarhum ayahku. Ibuku, yang menyangka Ita sudah tahu, terheran-heran pula bahwa menantunya tidak tahu apaapa. Ibupun bercerita secara ringkas dan garis besar bahwa ayahku pernah jadi tahanan politik. Malam itu Ita menanyakan dan menyoalku kenapa hal itu tidak pernah diceritakan kepadanya. Aku jawab sejujurnya bahwa aku malu dengan pengalaman ayahku, yang sebenarnya hanya jadi korban politik. Padahal beliau sebenarnya bukanlah benar-benar orang komunis yang biasanya identik dengan atheis. Ita tidak puas kelihatannya. Malam itu secara berbisik-bisik kami bertengkar, takut ketahuan ibuku. Ita menuduhku telah mengelabuinya. Dia mengatakan bahwa aku mau aktif di HMI rupanya hanya untuk menutup-nutupi aib itu. Aku sebenarnya tersinggung dengan pernyataannya itu. Tapi aku usahakan sekuatku untuk tidak marah. Aku takut ibuku mendengar pertengkaran kami. Aku katakan sejujurnya pula, bahwa ayahku masuk penjara itu bagiku adalah suatu aib. Dan tidak ada gunanya aib itu dibeberbeberkan apa lagi beliau sudah meninggal. Ita tetap besikukuh bahwa dia itu kan istri. Kenapa tidak pernah cerita aib itu diberitahukan kepadanya. Pokoknya kalau istilah bahasa Jawanya sudah mbulet urusannya waktu itu.

89

Aku minta maaf. Itu satu-satunya jalan bagiku. Malam itu kami tidak meneruskan lagi bahasan itu. Paginya Ita masih cemberut kepadaku. Untungnya dia tetap biasa-biasa saja dengan ibuku. Di depan ibu kami baik-baik saja, tapi di kamar kami saling diam. Beberapa hari kemudian ibuku kembali ke kampung. Sesudah ibu berangkat Ita mengungkit lagi masalah itu. Aku tanyakan baik-baik, sekarang apa masalahnya. Kenapa dia begitu tersinggung hanya karena tidak diberitahu perihal ayahku yang sekarang sudah almarhum. Aku ceritakan pelan-pelan perjalanan hidup ayah sejak pak tangah meninggal, sampai beliau ikut-ikutan jadi PKI, kemudian beliau dianiaya orang-orang PKI dalam sebuah rapat, kemudian ayahku menyatakan tidak mau ikut-ikut lagi dengan partai itu. Dan rumah ibuku dibakar. Dan Gestapu PKI meletus. Dan orang-orang PKI ditangkapi. Begitu ceritanya sampai terakhir ayahku dipenjarakan. Kata Ita, dia sangat bisa mengerti semua itu. Dia percaya bahwa ayahku hanya jadi korban politik. Tapi, katanya, kenapa dia tidak diberitahu dulu-dulu. Aku bilang, sudahlah, aku minta maaf karena merahasiakan itu dengan maksud baik. Sekarang toh dia sudah tahu. Kan tidak perlu lagi dipermasalahkan. Aku agak heran kenapa hal itu begitu penting bagi Ita. Aku menganggap pengalaman ayahku itu sebagai aib, makanya aku berusaha menutupnya rapat-rapat, kenapa dia tidak bisa memahamiku. Sesudah hari itu memang hal itu tidak kami bahas lagi. Tapi sikap Ita semakin berubah. Aku masih menganggap bahwa hal itu sebagai akibat kelabilan dirinya karena kekecewaan belum punya anak. Ita jadi sangat sensitif. Lalu timbul lagi percekcokan baru beberapa waktu sesudah itu. Dari uang tabungan kami yang sudah terkumpul sedikit, Ita ingin kami membeli mobil. Membeli dengan sistim kredit. Tentu sah-sah saja keinginannya itu, meski aku lebih ingin membeli tanah untuk rumah. Aku tidak suka membeli dengan sistim kredit yang akan menyebabkan kita terikat hutang dalam jangka waktu panjang. Ita bersikeras untuk membeli mobil. Alasannya, papanya sudah menghadiahinya sebidang tanah di daerah Pondok Gede. Tapi aku tentu ingin mempunyai tanah dari hasil kami sendiri. Aku seperti biasa tidak mau ngotot dan kamipun membeli mobil. Sesudah itu dia menginginkan agar aku yang membawa mobil itu tapi mengantarnya pagi-pagi dan menjemputnya waktu pulang kantor. Cara seperti ini tidak efektif. Perginya masih mungkinlah, dengan berangkat lebih awal. Tapi pulangnya, dengan kondisi jalan macet tentu sangat tidak efisien. Aku suruh dia saja membawa mobil itu ke kantor, aku biar tetap menggunakan bus kota. Aku memang tidak terlalu suka menyetir mobil. Tapi Ita merasa bahwa aku merajuk. Kami bertengkar lagi, aku berusaha meyakinkan dia bahwa aku bukannya merajuk. Dengan terpaksa akhirnya aku ikuti lagi kemauan Ita. Mengantarnya pagi-pagi dan menjemputnya sore-sore. Ada teman sekantorku, sekretaris di kantor yang tinggal tidak jauh dari rumah kami. Ita kenal dengannya. Suatu pagi kami melihatnya menunggu kendaraan umum di pinggir jalan. Ita ingin mengajaknya ikut. Dia yang menyuruhku berhenti dan menawarkan wanita itu ikut. Aku berhenti
90

dan kami menawarkan kalau dia mau ikut. Dan dia mau. Besoknya dia menunggu lagi dan kami ajak ikut lagi. Setelah itu dia sudah secara teratur ikut terus. Aku merasa tidak nyaman, khawatir suatu saat akan timbul salah pengertian. Masalahnya dari kantor Ita ke kantorku, aku berdua saja dengan wanita sekretaris itu. Pulang dari kantor, dengan alasan aku ada acara dengan Ita, aku tidak mau mengajaknya bersama-sama. Betul saja, orang-orang di kantor mulai menggosipkan aku ada apa-apa dengan wanita itu karena setiap hari selalu datang berbarengan satu mobil. Dan wanita itu memang rada-rada ganjen pula. Gosip yang tidak jelas itu lama kelamaan sampai pula ke telinga Ita. Heboh lagi. Bahkan merembet kemana-mana. Sejak itu aku terpaksa memberi tahu wanita sekretaris itu untuk tidak ikut lagi dengan kami karena aku tidak mau jadi korban gosip yang sudah mulai melanda rumah tanggaku. Selesai urusan itu aku mendapat lagi urusan baru. Kali ini di kantor. Di kantor tiba-tiba aku melihat si Indra. Aku pikir dia datang berkunjung sebentar di kantor Jakarta. Mungkin dia sedang ikut seminar. Aku sapa sekedar berbasa basi. Aku sudah terlanjur tidak suka dengannya. Ternyata dia pindah ke kantor Jakarta. Sepertinya dia juga tidak suka kepadaku. Aku merasakan itu dari cara dia berbicara dengan orang lain kalau aku ada di dekatnya. Rada-rada memandang entenglah sepertinya. Bagiku tidak ada masalah. Aku menghindar saja dari dekatnya. Beberapa minggu berlalu sejak dia pindah ke Jakarta. Pada suatu hari dia datang kepadaku dan mengajakku ngobrol. Tapi dari pembicaraan pertama aku sudah langsung tahu arahnya ingin mempermalukan aku. Dimulainya lagi dengan cerita malu kaumnya di kampung. Bahwa mereka tidak bisa menerima malu seperti itu. Aku langsung saja menyela. Lalu apa urusannya denganku? Katanya, urusannya adalah bahwa da Marwan anak mak Syamsuddin yang juga anggota PKI. Aku mulai tidak sabar. Apa maksudmu, tanyaku kepadanya. Dia bercerita bertele-tele. Tentang PKI, tentang bersih lingkungan, tentang screening. Dan akhirnya tentang aku sebenarnya tidak berhak bekerja di perusahaan ini karena aku tidak bersih lingkungan. Aku berusaha berbicara sesabar mungkin, meski sebenarnya darahku sudah mendidih. Apa urusannya bersih lingkunan itu dengan pekerjaanku. Ancaman apa yang aku berikan kepada perusahaan ini pada hal aku sudah bekerja disini hampir lima tahun. Ujung-ujungnya, hari itu dia mengatakan bahwa kita harus jujur dan adil. Bahwa kita tidak boleh memanipulasi informasi. Dia mengatakan bahwa aku pasti sudah berbohong, karena pasti aku pernah ditanya tentang ayahku apakah ikut organisasi terlarang. Aku minta maaf kepadanya dan aku katakan aku tidak senang membicarakan hal itu yang adalah urusan pribadiku. Sore itu aku diselamatkan atasanku karena kami ada rapat. Aku tinggalkan dia. Aku punya firasat, urusan ini bakal jadi serius. Aku berpikir keras bagaimana cara mencegah orang ini mendiskreditkan aku.

91

(19) Badai Menerpa Tuesday, 20 October 2009 Aku berusaha untuk selalu menghindar dari Indra. Orang ini kelihatannya benar -benar beritikad tidak baik kepadaku. Apapun alasannya, keinginannya memojokkanku dengan cerita lama itu sangat tidak dapat aku terima. Aku tidak ada urusan dengan semua masalah yang diceritakannya. Beberapa bulan berlalu tanpa terjadi apa-apa. Resistensiku kepadanya sudah agak berkurang. Aku pikir dia sudah tidak mau lagi menggangguku. Ternyata duagaanku salah. Satu kali dia menelponku dari ruangannya, mengatakan ingin berbicara empat mata denganku. Aku tanyakan, untuk urusan apa. Nantilah dia jelaskan katanya. Aku dag dig dug menunggu waktu berakhirnya jam kantor yang kami sepakati untuk bertemu. Dia datang ke kantorku dengan tampang yang kembali tidak bersahabat. Aku persilahkan dia duduk dan aku tanyakan apa yang ingin disampaikannya. *** Begini da Marwan. Aku ingin berbicara tembak langsung saja. Sebaiknya da Marwan mengundurkan diri dari perusahaan ini, katanya begitu dia duduk. Aku tidak langsung menjawab. Darahku mendidih mendengar apa yang baru saja dikatakannya. Aku berusaha bersabar, mengurut dada, sebelum bertanya. Ada apa Indra? Ada apa denganmu yang dari dulu, dari pertama kali kita bertemu di Irian seperti memendam dendam kesumat kepadaku. Ada apa? Apa maksud dan tujuannya? tanyaku. Da Marwan boleh mengatakan ini sebuah dendam kesumat. Pada kenyataannya kami memang dendam dengan pengalaman yang menimpa inyiak Datuk. Kami, sepersukuan, dendam karena inyiak Datuk jadi korban. Mati tidak tentu kuburnya, hilang tidak tentu rimbanya. Kami tidak bisa menerima ini... Apa urusan semua itu denganku? Kenapa kau mau membalas dendam kepadaku? kataku memotong pembicaraannya. Kami, menginginkan orang-orang PKI yang lain di kampung itu harus mendapat hukuman yang sama dengan apa yang dialami inyiak Datuk. Hukuman yang sama bagaimana? Harus mati? Dan kepada orang-orang PKI yang lain? Apa yang kau lakukan kepada mereka? Kau bunuh mereka? Kan tidak ? Dan ayahku bukankah sudah meninggal. Lalu apa lagi maumu ? Tidak. Orang-orang PKI lain yang tinggal di kampung kita adalah orang-orang pandir yang sudah menderita sendiri dalam kehidupannya. Kami tidak lagi terlalu dendam kepada mereka. Lah, ayahku sendiri kan sudah meninggal, apa lagi yang didendamkan ?
92

Tidak sama. Inyiak dan mak Syamsuddin adalah orang-orang penting PKI waktu itu di kampung kita. Hukuman yang diterima inyiak lebih berat. Ayahku bukan orang pentingnya PKI. Ayahku sebenarnya sudah keluar dari partai itu. Yang karena sebab itu rumah ibuku nyaris habis dibakar orang. Dan meski demikianpun ayahku sudah pula dihukum. Apa lagi? Hukuman yang diterima mak Syamsuddin tidak seimbang. Terus, sekali lagi apa hubungannya denganku? Ayahku juga sudah dihukum pemerintah. Dipenjarakan sampai sakit-sakitan. Dan sekarang sudah meninggal. Apa lagi masalahnya? Hukuman itu tidak setara. Tidak adil. Mak Syamsuddin mati secara terhormat di kampung. Inyiak kami hilang. Dibunuh orang. Kami sudah bersumpah, anak keturunan mak Syamsuddin Sutan Marajo harus ikut mendapat hukuman atas perkara ini..... Indra! Cobalah berpikir jernih. Pertama apa hubungannya urusan ayahku dengan pengalaman inyiak Datuk Rajo Bamegomego. Inyiak Datuk itu hilang di Medan, siapa yang membunuhnya? Apa urusan hilangnya beliau dengan ayahku? Ayahku, sebagai orang yang terlibat juga, sudah mendapat hukuman pemerintah, sudah dipenjarakan. Yang ketiga kau mengatakan, kami sudah bersumpah. Kami yang mana? Kalian sepersukuan bersumpah mau memusuhi aku bersudara? Dimana logikanya? Apa dosa kami, aku dan saudara-saudaraku kepada kalian? Jadi ada apa sebenarnya? Memang ini tidak masuk di akal da Marwan. Makanya aku menawarkan jalan kompromi kepada da Marwan. Da Marwan keluar saja dari perusahaan ini. Sebab setiap kali aku melihat da Marwan, dendam di hatiku selalu menggelegak. Aku dendam kepada mak Syamsuddin. Dan aku melihat sosok mak Syamsuddin dalam diri da Marwan.. Kenapa kau dendam kepada ayahku? Apa salah ayahku kepada kalian? Kepada inyiak Datuk? Kan tidak ada? Aku tahu, ayahku dulu ikut-ikutan masuk PKI karena ajakan inyiak Datuk. Tapi aku tidak merasa dendam apa-apa kepada inyiak Datuk. Kenapa mesti dendam? Lalu dengan mendendam itu apa yang kalian harapkan? Tidak perlu logika dalam hal ini da Marwan. Ini seperti penyakit. Terus terang seperti penyakit kejiwaan kepada kami. Aku mengatakan kami, mungkin tidak semua kami sepersukuan merasakannya. Tapi paling tidak, mak dang Kahar dan aku merasakannya. Mak dang Kahar mengingatkanku tentang dendam ini. Aku harus melakukan sesuatu. Kalau da Marwan tidak keluar dari sini... Sebenarnya aku capek menghadapimu Indra. Sekarang begini saja. Aku sudah lima tahun bekerja disini. Sudah lebih dulu aku berada di perusahaan ini. Kalau aku tidak mau keluar, apa yang akan kau lakukan? aku benar-benar sudah kesal. Aku akan melaporkan da Marwan. Kalau ada kesempatan screening berikutnya, aku akan melaporkan da Marwan. Aku akan mengatakan ayah da Marwan PKI.
93

Aku terpana mendengar ucapan orang sakit jiwa ini. Bukankah kau sendiri juga tidak bersih lingkungan? Bukankah inyiakmu juga seorang PKI? Apakah kau tidak takut kau akan kena imbas juga? tanyaku. Aku tidak akan kena. Ayahku, ibuku tidak ada yang PKI. Inyiak Datuk tidak ada hubungan apaapa dalam kekeluargaan yang ditanyakan pemerintah denganku. Sudah tahu kau. Kau tidak ada hubungan keturunan apa-apa dengan inyiak Datuk. Tapi kenapa kau pelihara dendam kesumat seperti itu? Lain lagi urusannya. Ini dendam pesukuan. Dendam adat, jawabnya. Indra, maaf ya. Kita ini kan orang bersekolah tinggi. Orang berpendidikan. Masakan seperti itu cara berpikirmu. Terus terang, apa untungnya bagimu kalau aku celaka? Kalau aku dikeluarkan dari perusahaan ini? Keuntungan moril saja. Bahwa aku sudah memenuhi sumpah kami. Tidak membiarkan keturunanan mak Syamsuddin enak-enak saja dalam hidupnya di depan mataku. Maaf, ya. Aku yakin kau sakit jiwa. Aku rasa ada yang tidak beres dengan cara berpikirmu. Sudahlah. Aku benar-benar tidak ingin kau melakukan hal konyol itu. Tidak ada untungnya itu buat kau. Hanya dosa yang akan kau dapat. Aku mohon baik-baik, kau lupakan sajalah hal itu. Kalau memang kau tidak suka melihat tampangku, sudahlah, kita kan tidak perlu berurusan di kantor ini. Urus pekerjaanmu dan tinggalkan aku dengan pekerjaanku pula. Sudah kucoba da Marwan. Aku tidak bisa. Setiap kali aku tahu da Marwan ada di kantor ini aku ingin berteriak. Mengatakan kepada semua orang, bahwa da Marwan anak orang PKI. Kau benar-benar sakit. Aku bukan menghinamu, tapi benar-benar ada yang tidak beres dengan pemikiranmu. Cobalah berobat. Coba berkonsultasi ke ahli jiwa. Aku tidak memerlukan nasihat da Marwan. Aku juga tidak memerlukan ancamanmu, jawabku pendek. Aku bukan sekedar mengancam. Kalau da Marwan masih disini, tidak mesti menunggu screening berikutnya aku akan laporkan da Marwan ke Pertamina. Ke security Pertamina. Boleh. Baiklah. Kau lakukan apa yang menurutmu baik untuk kau lakukan. Aku tidak takut. Aku tidak akan mengundurkan diri dari perusahaan ini. Tidak ada alasanku untuk keluar dari sini. Baik pula. Kalau begitu jangan salahkan aku nanti, katanya. Sudahlah. Ada lagi yang ingin kau katakan? Aku sudah mau pulang, kataku.
94

Tidak ada. Aku juga mau pulang, jawabnya. *** Aku pulang dengan perasaan bercampur aduk. Marah, benci, prihatin, khawatir. Di rumah Ita menanyakan ada rapat apa sampai aku terlambat pulang. Aku bercerita tentang pembicaraan menyakitkan antara aku dengan Indra di kantor tadi. Dan Ita menanggapi dengan caranya sendiri yang penuh dengan kekhawatiran. Aku menjadi semakin tidak tenang. *** Uda tidak bisa membiarkan saja ancaman seperti itu. Ancaman itu serius dan akibatnya bisa kemana-mana, kata Ita. Apa yang harus uda lakukan ? tanyaku buntu. Uda harus melapor bahwa uda diancam. Lapor ke siapa? Ke polisi? Melaporkan bahwa uda diancam seseorang yang akan melaporkan bahwa uda anak orang PKI? Kan sama saja tindakan bunuh diri namanya. Uda lapor ke atasan uda di kantor kek. Bilang bahwa orang itu mengancam dan menyuruh uda keluar dari perusahaan. Atasan uda tidak akan mengerti, dia orang asing. Pasti dia akan bertanya ke orang administrasi, ke orang personalia. Sama juga. Sama seperti uda membuka borok sendiri di hadapan orang yang pasti akan mempercepat proses uda dikeluarkan. Kalau begitu uda ikuti saja saran orang gila itu. Uda mengundurkan diri saja dari perusahaan ini. Cari perusahaan lain. Aku terdiam. Apa aku memang harus mengalah? Keluar agar aku tidak lagi bertemu dengan si Indra itu ? Siapa yang bisa menjamin bahwa dia akan tinggal diam karena dia memang memperlihatkan gejala sakit otak? Begini Ita. Masalah ini memang tidak akan sederhana. Uda memang sedang berhadapan dengan seorang yang psichopat. Orang sakit jiwa. Seandainya uda pindah perusahaanpun, tidak ada jaminan dia akan tinggal diam. Uda akan usahakan seperti ini. Uda akan coba usulan Ita. Akan berbicara dengan hati-hati sekali dengan atasan uda si Brian Skinner itu. Akan uda jelaskan persoalannya sehati-hati mungkin. Walaupun tidak ada jaminan, siapa tahu si Brian bisa mempengaruhi boss si Indra untuk memindahkannya kembali ke lapangan. Kalaulah benar seperti yang dikatakannya, bahwa dia jadi sakit hati kalau melihat uda dalam sehari-hari, dengan dia dipindah ke lapangan mudah-mudahan selesai masalah ini. Harapannya? Biar kita serahkan kepada Allah. Kita berdoa, kita memohon kepada Allah. Mudah-mudahan Allah memberikan yang terbaik kepada uda dalam masalah ini.

95

Ya, uda coba saja begitu. Karena ini masalah serius, da. Semua kita akan kena getahnya nanti. Semua, bahkan mungkin papa juga akan kena imbasnya. Tidak. Itu kekhawatiran yang berlebihan. Insya Allah papa tidak akan kena pengaruh apa-apa dari kasus uda ini. Jangan khawatir. Belum tentu. Pokoknya harus diusahakan jangan sampai jadi kenyataan ancaman si Indra itu. Ya, itu tadi yang dapat kita lakukan. Dan berdoa. Kapan uda akan berbicara dengan si Brian ? Besok pagi, insya Allah. Kita lihat bagaimana reaksinya. Kalau gagal? Sudahlah, Ita. Kita coba dulu yang ini. Kalau gagal kita pikirkan lagi langkah lain. Apa tidak mungkin dengan minta bantuan siapa-siapa di kampung misalnya untuk mempengaruhi si Indra ? Mungkin melalui mamaknya di kampung ? Mamak kandungnya di kampung itu adalah grand masternya urusan ini. Tapi baiklah. Uda akan mencoba menelpon mamak Sinaro besok. Siapa tahu beliau bisa berbuat sesuatu. Kami mengakhiri diskusi seperti itu. Ita tampak gelisah dan nervous . Aku apa lagi, meski aku berusaha menenangkan diri dengan banyak-banyak berzikir. Aku tidak bisa tidur semalaman memikirkan urusan yang tidak terduga-duga itu.

(20) Puting Beliung Tuesday, 17 November 2009 Aku berangkat ke kantor dalam keadaan lusuh pagi itu. Sesampai di kantor aku coba menelpon ke RSU Bukit Tinggi untuk menghubungi adikku. Aku beruntung karena dia dinas malam dan aku dapat langsung berbicara dengannya. Aku minta tolong agar meminta mamak kami, kakak ibuku, datang ke Bukit Tinggi untuk menelponku. Ada urusan sangat penting. Adikku tentu saja sangat heran, urusan penting apa yang ingin aku sampaikan. Aku suruh dia bersabar saja karena nanti pasti dia akan tahu juga. Jadi tolong jemput mamak dan bawa beliau ke kantor telepon di Bukit Tinggi, kataku. Sesudah itu aku datang menghadap Brian Skinner, atasanku. Aku minta waktu untuk membicarakan masalah pribadi yang sangat rumit, kataku. Brian seorang atasan yang baik, sangat perduli dengan bawahan. Aku menceritakan masalahku secara ringkas dan ancaman Indra kepadaku. Dia melongo mendengar ceritaku, tapi mungkin agak kurang mengerti.

96

Apa urusanmu dengan bapakmu yang PKI? Apalagi bapakmu sudah meninggal, katanya. Urusan ini akan sangat fatal akibatnya kepadaku dari sisi pandangan pemerintah dan Pertamina, karena aku dicap tidak besih lingkungan, jawabku. Itu impossible. Selama kamu tidak PKI kan tidak ada problem. What is the problem? tanyanya lagi. Aku ulangi lagi menerangkan bahwa ini aturan pemerintah Republik Indonesia yang memerintahkan kepada badan-badan pemerintah untuk memberhentikan orang-orang yang ada keterkaitannya dengan PKI apakah itu istri, anak atau bahkan cucu. Memang impossible secara logika tetapi itu yang berlaku dan sudah banyak yang jadi korban. Jadi bagaimana saya harus membantumu ? tanyanya. Ini memang urusan dengan orang sakit jiwa. Orang yang mengancamku ini mengatakan bahwa kalau dia melihatku dia tergoda untuk melampiaskan kekesalannya dengan membocorkan masalahku ini. Aku berpikir apa tidak ada kemungkinan orang ini dikembalikan saja bekerja di lapangan seperti sebelumnya. Karena kalau dia di lapangan seperti setahun sejak dia mulai bekerja, dia tidak pernah mengancamku seperti ini, kataku menjelaskan. Wah, ini usul yang sulit bagiku melakukannya. Bagaimana aku bisa menerangkan urusan seperti ini ke atasannya? Dan atasannya si Dick Knox itu juga sama psichopatnya, jawab Brian. Aku tentu tidak bisa memaksakan. Tapi aku serius, bahwa itu salah satu langkah yang mungkin menolongku, dan aku ulangi, mungkin bisa menyelamatkanku, kataku. Kamu tidak usah terlalu pusing. Pasti ada jalan lain. Aku akan coba membicarakannya dengan Dick Knox meski aku kurang yakin akan berhasil. Nanti aku pikirkan lagi cara lain , katanya. Terima kasih, Brian. *** Aku tinggalkan Brian Skinner. Aku sejujurnya tidak terlalu yakin dia akan dapat berbuat sesuatu. Bagaimana mungkin usulku, agar orang dari departemen lain disuruh pindah, akan diterima oleh perusahaan. Siapa benar aku di perusahaan ini? Mungkin justru akan jadi bahan tertawaan. Jam sepuluh aku dapat telepon dari mamakku dari Bukit Tinggi. Aku jelaskan serba singkat apa yang sedang menimpaku. Ancaman dari Indra anak tek Kawisah, kemenakan pak Kahar Sutan Mudo, cucu inyiak Datuk Rajo Bamegomego. Mamakku berjanji akan mencoba berbicara dengan orang sepersukuannya. Mungkin dengan nenek Rohana adik inyik Datuk, orang tua yang cukup disegani di kalangan kaum itu, yang lebih jernih pemikirannya. Kalaulah nenek Rohana itu bisa mempengaruhi tek Kawisah, apakah tek Kawisah akan mampu mempengaruhi si Indra? Tidakkah pak Kahar akan justru membela si Indra?
97

Aku berzikir, berzikir, berzikir. Ah, apa pula yang akan ditakutkan. Apa pula yang akan dipusingkan. Kalau benar-benar nanti yang paling buruk yang terjadi, karena aku tidak mau mengundurkan diri dari perusahaan ini, yang justru akan menimbulkan tanda tanya orang, kenapa aku keluar, biarlah kuhadapi saja. Bumi Allah seluas ini kenapa mesti takut. Bukan di perusahaan ini saja Allah menyediakan rezeki untukku. Sudahlah. Biarkan sajalah. Apapun yang akan diperbuat oleh manusia jahil itu akan aku terima apa adanya. Karena aku memang diposisi yang tidak mungkin membela diri. Bukan aku putus asa. Bukannya aku sudah apatis. Aku mencoba realistis saja. Ayahku memang PKI, terdaftar sebagai anggota PKI, yang kenyataannya belum pernah keanggotaan beliau dibatalkan dari partai itu. Buktinya, beliau dipenjarakan oleh pemerintah. Jadi aku tidak akan menghindar dari tudingan itu kalau memang nanti aku dituding seperti itu, sebagai anak orang PKI, sebagai orang yang tidak bersih lingkungan istilahnya. Subhanallah, aku tiba-tiba jadi tenang. Dengan pertolongan Allah. Aku kembali bisa bekerja. Aku lupakan urusan besar itu. Berminggu-minggu berlalu. Tidak aku dengar entah apa hasil pembicaraan atasanku si Brian Skinner. Aku tidak tahu entah jadi dia berbicara dengan si Dick Knox atau dengan siapapun, entah tidak. Aku tidak pernah menanyakan kepadanya. Yang aku tahu si Indra masih berkantor disini. Aku bahkan tidak takut bertemu dengan si Indra. Kalau bertemu aku sapa dia seperti tidak terjadi apa-apa. Wajahnya masih tetap tidak berubah kalau melihatku. Wajah orang sakit jiwa. Tapi aku biarkan saja. Aku tidak perduli. Dari mamakku dapat berita, beliau sudah berbicara dengan nenek Rohana. Nenek Rohana minta maaf kalau benar itu yang terjadi. Kalau benar si Indra mengancam akan menyulitkanku di kantor. Beliau benar-benar sangat menyesali perbuatan jahil seperti itu. Nenek Rohana akan berbicara dengan pak Kahar Sutan Mudo. Dan hasil pembicaraan itu nanti akan diberitahukan kepada mamakku. Tapi, sudah dua minggu sejak mamakku menelpon balik mengabarkan berita itu, belum ada berita tambahan. Dan aku tidak mau menanyakannya lagi. Di rumah aku berusaha meyakinkan Ita. Seandainya aku keluarpun dari perusahaan ini nantinya, aku akan banting stir. Aku akan manggaleh, akan membuka toko buku seperti punya pak etek di Surabaya. Tapi Ita sangat terpukul, sangat takut dan khawatir kalau aku benar-benar sampai dikeluarkan. Dia khawatir dia akan kena imbas. Papanya akan kena imbas. Sebuah kekhawatiran yang berlebih-lebihan. Sudah lebih dua bulan berlalu sejak hari ancaman Indra. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa. Sementara itu aku diminta untuk mengikuti seminar wellhead engineering di Perth, Australia selama seminggu nanti di bulan September. Dua minggu sebelum berangkat, aku sudah memegang tiket pesawat, sudah dapat visa Australia. Visa untukku dan Ita yang akan kubawa ikut kesana. Aku diingatkan oleh kepala security kantor bahwa aku harus mengikuti screening karena akan pergi ke luar negeri. Hal yang dulu juga aku lalui tanpa masalah ketika aku akan pergi ke Dallas.
98

Pada satu hari Senin pagi aku diantarkan petugas security ke kantor security Pertamina seperti biasa. Aku bertemu dengan bapak petugas security yang dulu juga melakukan interview atau screening. Dan screening itupun berlangsung. Dimulai dengan kata-kata maaf dari pak Sugito petugas security Pertamina itu. Ini ada informasi baru tentang diri saudara yang kami sedang mencoba mempelajari kebenarannya, katanya. Aku diam. Berusaha untuk tidak gugup. Dalam hatiku aku baca ayat kursiy. Dan diam. Aneh juga bahwa informasi ini diberikan oleh rekan sekerja saudara yang rupanya berasal dari satu kampung dengan saudara, katanya lagi. Aku tetap diam. Diam dalam zikir. Jangan panik, jangan memelas-melas, jangan berbohong, kata suara dalam hatiku. Maaf, bagaimana komentar saudara tentang laporan ini? tanya petugas itu kembali. Maaf pak, bapak belum menjelaskan apa informasi yang bapak dapat itu, kataku tenang. Laporan yang mengatakan bahwa ayah saudara adalah anggota PKI aktif sampai tahun 1965 dan bahkan dipenjarakan karena itu, katanya pula. Tidak saya bantah. Beliau memang pernah terdaftar jadi anggota PKI. Walaupun beliau kemudian menyatakan keluar dari partai itu. Benar pula bahwa beliau pernah dipenjarakan selama dua tahun, dan kemudian dilepaskan. Saya mengetahui beliau dilepas sesudah dua tahun itu karena pejabat pemerintah menilai beliau tidak lagi anggota PKI, jawabku. Pertanyaan pertama, kenapa saudara berbohong selama ini dengan mengatakan bahwa ayah saudara tidak pernah menjadi anggota partai terlarang. Pertanyaan kedua apakah saudara punya bukti tertulis bahwa ayah saudara tersebut sudah keluar dari partai komunis ketika itu? Pertanyaan bapak yang pertama saya jawab sejujurnya saja, saya memang menyembunyikan fakta bahwa ayah saya pernah terlibat PKI. Karena, saya berkeyakinan bahwa apapun dosa dan kekeliruan ayah saya tentu tidak bisa dipikulkan kepada saya. Yang kedua bukti tertulis bahwa beliau sudah tidak lagi jadi anggota PKI memang tidak ada. Pasti beliau tidak akan minta surat pemecatan dari partai tersebut. Saya hanya bisa mengatakan bahwa ada saksi-saksi di kampung saya yang menyaksikan bahwa beliau pernah menyatakan tidak akan ikut-ikut lagi dengan kegiatan partai itu. Jawaban saudara yang pertama tidak bisa dipertanggung jawabkan. Pemerintah mengambil kebijaksanaan yang sangat berhati-hati dalam masalah kegiatan partai yang sangat berbahaya ini. Sejarah membuktikan bahwa orang-orang PKI yang membuat makar di tahun 1965 adalah anakanak dari angkatan yang berbuat makar di tahun 1948. Jadi ada hubungan sangat jelas dalam hal
99

ini dan sangat perlu adanya jaminan bahwa setiap individu itu bersih lingkungan. Bersih dari pengaruh ideologi yang mungkin didapat dari pengaruh ayah atau bahkan kakeknya sekalipun. Jawaban saudara yang kedua perlu pembuktian lebih lanjut. Bagaimana kesaksian orang-orang yang menyaksikan bahwa ayah saudara sudah menyatakan keluar dari PKI. Kapan dan dimana ucapan itu dikeluarkan. Dalam kesempatan apa. Karena mungkin saja itu juga merupakan suatu taktik. Apa lagi kalau pernyataan itu dikeluarkan sesudah tanggal 30 September tahun 1965. Komentar bapak untuk yang pertama, bisa saya fahami untuk kondisi secara khusus. Mungkin sekali orang menjadi anggota PKI karena faktor pengaruh orang tuanya. Saya hanya bisa mengatakan untuk diri saya, insya Allah saya tidak pernah terpengaruh sedikitpun dengan ideologi tersebut. Dan saya juga mengetahui latar belakang kenapa ayah saya ikut-ikutan jadi PKI, dan kemudian menyesal setelah itu. Maaf saudara, saya tidak dalam posisi mau menghakimi saudara. Saudara boleh saja memberikan segala macam alasan dan alibi. Tapi saya hanya meminta konfirmasi dan kejujuran saudara tentang informasi yang kami dapatkan ini. Jadi ringkasnya, saudara mengakui bahwa ayah saudara pernah jadi anggota partai terlarang, dalam hal ini PKI? Baik, pak. Saya akui. Baik kalau begitu. Saudara tahu apa sangsinya? Saya tahu. Saya akan diberhentikan dari tempat saya bekerja. Mungkin bisa lebih jauh dari itu. Mungkin saudara akan dituntut di pengadilan sebagai orang yang memberikan data palsu. Baik, pak. Saya tidak akan berkomentar apa-apa. Saya hanya memberi tahu saudara saja, bahwa bagaimanapun kasus ini masih akan diselidiki lebih lanjut walaupun saudara sudah mengakuinya. Bukan tidak mungkin kami akan memeriksa sampai ke kampung saudara kebenaran informasi yang saudara tambahkan seperti misalnya, ayah saudara sudah dalam proses mau keluar dari partai komunis waktu itu. Ada yang ingin saudara tanyakan yang lain? Tidak ada pak. Saudara tidak ingin menanyakan siapa yang memberi laporan ini? Kan sudah bapak katakan tadi bahwa dia rekan sekerja dan satu kampung dengan saya. Ya, dan bahkan dikukuhkan oleh orang lain dari kampung saudara. Saudara kenal dengan Kaharuddin Sutan Mudo? Kenal, betul beliau itu satu kampung dengan ayah saya. Dengan saya.

100

Baik. Terima kasih atas kerja sama saudara. Saya harap saudara cukup jantan untuk menghadapi segala sesuatu yang mungkin menimpa saudara karena kasus ini. Sementara ini saudara tetap saja bekerja seperti biasa, sampai nanti ada keputusan yang lebih pasti dari fihak manajemen Pertamina. Baik, pak, jawabku pendek. Aku keluar dari ruangan security itu dengan dada plong saja. Dengan perasaan tenang saja. Tidak ada marah. Tidak ada mangkel. Tidak ada sumpah serapah dalam hati. Aku hanya berzikir. Berzikir. Berzikir. Dan kembali ke kantor.

(21) Menjelang Tamat Friday, 05 February 2010 Desi meneteskan airmata mendengar cerita Marwan. Sebegitu teganya orang itu, katanya. Akupun keluar keringat dingin mendengarnya. Aku tahu persis dengan screening dan peraturan pemerintah tentang bersih lingkungan. Aku juga kenal seorang teman di tempatku bekerja yang diberhentikan karena kakeknya PKI. Kalau dipikir secara logika sehat memang tidak masuk akal. Sedang Allah Sang Maha Pencipta saja sangat pengampun. Maha Pengampun. Tapi dalam hal ini orang yang tidak bersalah yang dihukum, sementara orang yang bersalahnya sendiri mungkin sudah insaf. Dan dalam kasus Marwan, ayahnya sudah pula dihukum. Seandainya ada orang berdosa, berbuat salah lalu minta ampun pasti diampuni Allah. Sedangkan nabi Ibrahim punya orang tua tidak seiman alias kafir sementara beliau sendiri seorang nabi. Tidak ada istilahnya dosa turunan, itu sangat tidak masuk di akal. Katakanlah, seorang ayah bisa saja mempengaruhi anak-anaknya untuk menjadi seorang yang sama dengan dia dalam hal ideologi, tapi bukankah hal seperti itu bisa diperiksa. Apa susahnya untuk memeriksa latar belakang orang seperti Marwan? Bagaimana sepak terjangnya selama hidupnya? Seandainya ada yang mencurigakan, bolehlah ditindak. Atau seorang cucu orang PKI seperti orang sekantorku dulu? Tahu apa sang cucu tentang dosa kakeknya ? Tapi itu fakta. Itu kenyataan yang dicatat sejarah di negeri ini. Suatu kesewenang-wenangan dengan dalih pencegahan. Betul-betul tragis, Wan. Betul-betul tragis kisahmu. Dan sesudah itu kau benar-benar langsung berhenti dari pekerjaan? tanyaku. Biar aku teruskan cerita sepulang dari kantor security Pertamina itu. Aku kembali ke kantor. Di dalam mobil, sopir yang orang Jawa Timur, yang denganku selalu berbahasa Jawa Surabayaan itu bertanya dengan guyon, apakah urusanku beres. Aku jawab, beres. Jadi bisa to mas, aku nitip dibeliin kanguru, katanya. Kujawab, bisa, nanti aku belikan sekebun binatang. Kami tertawa-tawa dalam mobil, bertiga dengan petugas security dari kantor yang ikut mengantar. Aku tertawa tanpa dibuat-buat. Plong saja dadaku, tidak ada beban sedikitpun.
101

Di kantor aku temui atasanku. Dia langsung menyapa dan bertanya apakah semuanya ok. Aku jawab dengan tenang semuanya tidak OK. Apa maksudmu, bukankah hari Sabtu ini kamu berangkat ke Perth, tanyanya lagi. Aku ceritakan apa yang baru saja aku alami. Brian Skinner menggebrak meja dan memaki. God damned it, katanya. Justru aku yang bertanya jadinya, kenapa dia sebegitu marah. Rupanya dia benar-benar sudah berbicara dengan Dick Knox. Bahkan disampaikannya pula ke GM kami karena dia tahu ini masalah besar. Dia tahu bahwa masalah ini serius setelah dia mendapat informasi dari bagian legal di departemen administrasi. Dia bertanya apakah betul ada sangsi dikeluarkan bagi orang yang dinilai tidak bersih lingkungan, dan dia mendapat jawaban, betul. Kepadanya dijelaskan oleh karyawan dari bagian legal apa yang dimaksud bersih lingkungan. Dan GM, mau-maunya memerintahkan Dick Knox agar menasihati anak buahnya untuk tidak membuat kesulitan kepada karyawan lain di kantor ini. Dan ternyata tidak ada gunanya. Brian, jadi gugup dan nervous. Dia memutar nomor GM yang rupanya tidak ada di tempat. Mungkin sedang meeting ke luar kantor. Dia putar nomor Dick Knox yang ternyata juga tidak ada di tempat. Orang itu bersama-sama Indra pagi hari ini berangkat ke Irian. Brian menyuruhku tenang. Sebuah saran yang pasti Basa basi saja, karena aku yakin tidak ada apapun lagi yang bisa diperbuat. Aku kembali ke ruanganku. Aku teruskan bekerja, meski otakku mulai dibisiki setan sedikit demi sedikit. Bukankah ini benar-benar kurang ajar? Benar-benar keterlaluan? Bahkan seandainya kau bunuhpun pantas rasanya si Indra itu, kata setan. Untunglah kebiasaan berzikir cepat menyadarkanku. Tidak. Tidak perlu itu. Tenang. Tenang sajalah. Percayalah Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan hamba Nya yang berserah diri. Dikeluarkan dari perusahaan ini bukanlah berarti kiamat. Jangan panik, kata hati kecilku. *** Di rumah aku beritahu Ita dengan sesabar mungkin tentang apa yang terjadi pada diriku pagi hari itu. Ita menagis histeris. Aku sabarkan dia, agar menerima musibah ini dengan penuh kesabaran. Ini namanya musibah, dan sebagai orang yang beriman kita harus bersabar. Dia mulai agak tenang. Malamnya kami berdiskusi tentang cara menghadapi hidup ke depan. Tapi pada saat berdiskusi itu reaksi Ita jadi kacau kembali. Dia mengumpat habis-habisan kepada Indra yang tidak dia kenal. Dengan mengatakan orang itu manusia iblis. Terkutuk. Aku cegah dia dari mengumbar marah seperti itu yang tidak akan ada gunanya. Dia berbalik marah kepadaku. Uda jangan terlalu sok percaya diri. Harga diri uda dihinakan orang. Periuk nasi uda dipecahkan orang, uda hanya bisa bilang sabar, sabar. Sabar itu kan ada batasnya. Uda berurusan dengan manusia sakit berhati setan, uda masih bisa bilang sabar. Seharusnya uda melakukan sesuatu, katanya. Apa yang harus uda lakukan? Melaporkannya ke polisi? Membunuhnya? Orang itu betul -betul sakit jiwa. Uda yakin dia sudah dinasihati atasannya, seperti yang diberitahu oleh atasan uda
102

karena general manejer juga ikut campur. Tapi buktinya dia tetap melapor ke Pertamina. Bahkan diperkuat pula oleh kesaksian mamaknya. Ini semua perbuatan orang-orang sakit jiwa. Dan uda berada dalam posisi yang tidak bisa melawan. Bagaimana uda akan melawan? Dulu, Ita nasihati uda agar membicarakan hal ini dengan atasan uda di kantor, sudah uda lakukan. Bagus reaksi atasan uda itu. Bagus reaksi pihak GM. Tapi orang ini tidak perduli. Ita sarankan agar uda minta tolong mamak di kampung menghubungi familinya di kampung. Sudah pula uda lakukan. Mak Sinaro sudah berbicara dengan nenek Rohana, adik Datuk Rajo Bamegomego. Dia sanggupi untuk menasihati saudaranya. Uda yakin dia melakukan itu karena uda kenal dari ibu bahwa nenek Rohana itu baik dan jernih pikirannya. Tapi apa yang terjadi? Pak Kahar Sutan Mudo, mamak si Indra itu malah membuat kesaksian di atas kertas bermeterai membuat laporan untuk Pertamina. Ita, ini skenario Allah. Sesudah terjadi seperti ini, uda meyakininya sebagai takdir Allah. Allah sedang menguji uda. Sedang menguji kita. Bagaimana reaksi kita dihadapan Allah. Tapi ini terlalu konyol. Terlalu menyakitkan, jawab Ita terisak-isak. *** Pagi besoknya aku dipanggil Brian dan diajak menghadap GM. Aku ditanyai apa yang terjadi di security Pertamina kemarin. Aku ulangi lagi cerita itu. Dia mengangguk-angguk mendengar ceritaku. Apakah kamu yakin kamu pasti diberhentikan gara-gara itu ? tanyanya. Seperti itu yang kemarin mereka katakan sebagai resiko paling ringan. Resiko paling berat saya akan diajukan ke pengadilan karena berbohong tentang informasi yang sangat penting. Ke pengadilan? tanyanya heran. Begitu kata petugas yang kemarin berbicara dengan saya, jawabku. Apakah mungkin ada orang yang akan mengaku bahwa ayahnya PKI, meski seandainya ayahnya memang PKI ketika melamar pekerjaan? tanya GM itu. Sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Aku diam saja. Apa rencanamu kalau keputusan itu jatuh? tanyanya lagi. Belum tahu, jawabku singkat. Aku hanya bisa mengatakan bahwa aku sangat bersimpati degan masalahmu. Perusahaan akan melakukan yang terbaik yang bisa diperbuat untukmu. Hanya itu yang dapat saya katakan. Oh ya, saya akan konfrontir dengan Indra untuk mengkonfirmasi bahwa memang dia yang membuat laporan itu. Kau setuju?
103

Pertama terima kasih atas simpati anda. Kedua saya tidak merasa perlu di konfrontir dengan orang itu. Tidak ada gunanya, jawabku. *** Aku dipanggil dua kali lagi ke kantor security Pertamina. Hanya dalam waktu sepuluh hari. Untuk diinterogasi lagi. Untuk ditanya pertanyaan yang itu-itu lagi. Aku tidak pernah bergairah untuk menjawabnya. Dari kampung aku terima sebuah surat dari mamakku. Surat pernyataan kesaksian dari empat orang yang menyaksikan bahwa ayahku, dulu di awal tahun 1965 menyatakan di depan umum bahwa beliau keluar dari partai komunis, sesudah perlakuan pemimpin PKI menghukum beliau secara fisik dengan mengurung beliau satu hari satu malam karena beliau kedapatan masih melakukan shalat ketika berlangsung rapat PKI di kota Padang. Akibat pernyataan beliau keluar dari partai itu, rumah istri beliau dibakar oleh orang PKI. Surat pernyataan itu ditanda tangani empat orang saksi, Rusyad gelar Katik Sati, Tamimi gelar Sutan Mantari Gobah, Khaidir gelar Malin Basa dan Mukhtar gelar Sutan Sampono. Surat itu disahkan oleh Kepala Desa / Wali Jorong, tertanda Marlis gelar Sutan Pamuncak nan Basa. Aku serahkan juga surat itu kepada petugas security. Surat itu akan dijadikan pertimbangan, kata kepala security waktu itu. Sementara ini terhitung tanggal 1 Oktober saudara diminta non aktif dari kantor, menunggu keputusan final dewan pimpinan security Pertamina, kata petugas itu. Aku pulang dengan pikiran sangat mumet. Tidak semudah itu urusan ini bisa selesai rupanya. Maksudku selesai dengan langsung saja mengatakan bahwa aku diberhentikan. Apa lagi yang mereka cari? Bukankah mereka bertugas membersihkan lingkungan? Dan mereka sudah membuktikan bahwa aku berasal dari lingkungan yang tidak bersih, menurut kaca mata mereka? Lalu kenapa masih bertele-tele? Aku bukan sok jagoan. Bukan sok tidak sabaran. Aku hanya sudah terlalu letih. Terlalu capek. *** Di kantor aku tetap bekerja. Semampuku. Menyelesaikan tugas dan pekerjaanku dengan sebaik yang aku bisa. Aku biasanya selalu sibuk dan banyak pekerjaan, dengan laporan-laporan pekerjaan dari lapangan. Pada siang hari ketika aku kembali dari kantor security Pertamina yang ketiga kali, aku ditelpon Dick Knox. Dia menyuruhku datang ke ruangannya. Dan aku datang tanpa memikirkan apa yang akan dikatakannya. Di kantornya sedang ada Indra. Aku sapa kedua orang itu, dengan senyum. Dan aku tanya, ada perlu apa dia memanggilku. Aku telah mendengar masalahmu, katanya membuka pembicaraan. OK, jawabku singkat. Aku sangat prihatin dan bersimpati kepadamu, katanya.
104

Baik, terima kasih, jawabku singkat. Aku ingin bertanya kepadamu....... katanya ragu-ragu. Silahkan, kataku singkat. Selalu aku jawab singkat-singkat saja. Sementara itu terdengar bunyi tapak kaki orang datang. Dugaanku, orang itu Brian, atasanku. Aku kenal suara ketukan sepatunya. Apakah dia hanya kebetulan lewat atau menuju ke ruangan ini? Tapi aku tidak mau menoleh. Aku masih menunggu kata-kata Dick Knox yang masih raguragu. Brian muncul di pintu, mengucapkan salam dan bertanya kalau dia boleh masuk. Dick mengijinkannya masuk. Aku perhatikan si Indra dengan tampang yang aneh sekarang. Bukan dengan tampang biasanya yang aku menyebut tampang orang sakit jiwa. Apa yang kalian bicarakan? tanya Brian. Aku bersimpati kepada Marwan, kata Dick Knox. Tadi kau bilang kau ingin menanyakan sesuatu! Tanyakanlah! aku mengingatkannya. Baik... Aku ingin menanyakan. Bagaimana pandanganmu tentang orang ini? tanyanya sambil memberi isyarat ke arah Indra. Aku tidak segera menjawab. Pertanyaan itu terlalu mengambang. Pertanyaan macam apa ini? Memang apa yang akan dilakukannya terhadap Indra? Pandangan apa maksudmu? tanyaku. Pandanganmu. Atau perasaanmu atas apa yang dia lakukan yang menyebabkan kau mendap at masalah, katanya. Perlukah aku jawab pertanyaan itu? Aku kira dia sudah mengerjakan sebuah tugas penting yang berat. Dan dia telah mengerjakannya dengan sangat baik. Bagaimana pendapatmu kalau dia aku pecat? Dick, maaf. Itu bukan urusanku. Aku tidak suka dengan manusia bajingan seperti dia ini, katanya lagi. Dick! Itu urusanmu. Tidak usah melibatkan aku, jawabku tenang. Maksudmu? Apakah kau memaafkannya? Itu juga bukan urusanmu, jawabku. Kau takut kepadanya? tanyanya memancing.
105

Takut kenapa? aku agak terpancing. Kalau kau mengatakan setuju dia aku pecat, apakah kau takut dia akan menyerangmu? Dia tidak akan sanggup menyerangku, jawabku. Aku ingin kau tahu bahwa aku memecatnya, kata Dick Knox. Sudahlah. Aku yakin itu bukan urusanku. Masih ada yang lain yang ingin kau katakan? tanyaku. Tidak, jawabnya. Brian Skinner mungkin masih penasaran. Dia mengajukan pertanyaan bodoh kepada Indra. Kenapa kau lakukan hal itu? tanyanya. Indra yang wajahnya sekarang pucat itu tidak berani menjawab. Sepertinya dia menangis. Aku minta ijin untuk keluar dari ruangan itu. Brian Skinner mengikutiku. Kami tidak berkatakata apapun. Aku kembali ke ruanganku. Beberapa orang rekan datang bertanya tentang perkembangan terakhir statusku. Aku jawab bahwa aku sudah menjelang tamat.

(22) Tinggal Puing Monday, 22 February 2010 Ujung kisah Marwan semakin mencekam dan mengharukan. Kami, aku dan istriku semakin jarang memotong dengan pertanyaan. Semua kisahnya sangat rinci dan jelas. Dan sangat mengharukan. Desi berkali-kali menyapu air matanya. Marwan melanjutkannya lagi. Aku bekerja sampai tanggal 30 September dan sesudah itu di grounded. Tidak boleh lagi masuk kantor. Gajiku masih dibayar. Aku isi waktuku dengan banyak-banyak merenung. Tidak, aku tidak berubah jadi muno meski kuakui aku jadi sangat pendiam ketika itu. Di rumah aku usahakan untuk bersikap sewajar mungkin, meski tentu saja tidak mudah. Setiap pagi aku antarkan Ita ke kantor dan sore-sore aku jemput dia. Di rumah sendirian di siang hari aku isi waktuku dengan membaca dan merenung. Mungkin lebih banyak merenung, dan berpikir. Ya, aku merenung dan merenung, menerobos waktu ke masa-masa yang sudah kujalani. Sejak masa kanak-kanak. Masa sekolah sampai SMP di kampung. Masa SMA dan kuliah di Surabaya. Masa aku mulai bekerja dan menikah. Dan akhirnya sampai di muaranya seperti sekarang ini. Ini tentu tidak boleh jadi akhir segala-galanya. Dunia belum kiamat. Apa yang akan aku kerjakan besok? Dunia perminyakan di Indonesia otomatis sudah tertutup bagiku. Pindah ke negeri orang? Ke Singapura? Atau bahkan ke
106

Amerika? Aku akan terasing disana. Tidak cukup keberanianku. Aku akan terlalu jauh dari ibuku nanti. Aku teringat kepada ibu. Ibu yang sangat salihah itu. Yang sangat tabah dan santun. Wajah ibu muncul di pelupuk mataku. Beliau seorang wanita yang sangat aku sanjung karena kesalehan dan kesabarannya. Ingat beliau aku jadi ingat berzikir. Dan aku berzikir. Dan mengaji. Ya, aku rajin membaca al Quran. Dan berdoa panjang sesudah setiap shalat. Aku tidak berdoa agar aku jangan sampai dikeluarkan dari kantor, tapi aku meminta kepada Allah agar aku diberi ketabahan. Aku menerima segala keputusan Allah dan aku memohon agar aku diberi hikmah dari setiap ujian yang aku terima. Agar aku diberi segala sesuatu yang terbaik dari sisi Allah. Ternyata doa seperti itu membawa ketenangan kepada batinku. Hubungan dengan istriku di rumah tidak bisa tidak ikut terguncang. Hari-hari pertama sejak aku tidak lagi bekerja, aku dan Ita tidak banyak berbicara. Kami sama-sama membatasi diri untuk tidak banyak omong. Itapun jadi sangat hemat bicara. Aku tidak tahu persis apa yang dipikirkan istriku itu dalam kesunyiannya. Aku berprasangka baik bahwa dia tidak ingin menambah beban pikiranku. Aku terima sebuah surat kilat khusus dari kampung. Surat itu dari mamakku. Beliau memberi tahu bahwa ada petugas tentara dari kantor Kodim baru-baru ini datang ke kampung menemui kepala desa dan juga bertemu dengan empat orang saksi yang menulis surat kesaksian yang sudah kuserahkan ke kantor security Pertamina dulu itu. Kata mamakku, mudah-mudahan informasi itu bisa membantuku, karena keempat orang tersebut menjelaskan kesaksian mereka tanpa ragu-ragu kepada petugas yang datang itu. Aku menerima informasi itu biasa-biasa saja. Tidak menambah harapan apapun. Apapun yang diberikan Allah kepadaku, aku akan menerimanya. Jadi aku tidak mau berkhayal dan berharapharap. Lagi pula aku sadar, aku tidak akan mungkin pergi menanyakan hasil interview petugas Kodim dengan orang-orang kampungku itu ke kantor Pertamina. Pertengahan bulan Oktober aku di panggil ke kantor untuk dibawa ke kantor security Pertamina lagi. Aku yakin kedatangan kesana hanya untuk menerima vonis. Dan benar sekali. Komandan security memberi tahuku tentang surat keputusan mereka yang sudah dikirim ke kantorku dengan rekomendasi agar aku diberhentikan dengan tidak hormat sejak 1 November. Aku dipecat. Di saat menerima keputusan terakhir ini dadaku bergemuruh. Timbul juga emosiku tapi aku tetap berusaha menahannya. Aku hanya sekedar bertanya kepada komandan security itu kebenaran berita bahwa ada petugas tentara datang ke kampungku menemui orang-orang yang memberi kesaksian tentang ayahku. Komandan itu membenarkan. Hanya, kesaksian itu dinilai tidak punya kekuatan hukum. Kenyataannya, ayahku waktu itu menerima dipenjarakan, ketika terbukti nama beliau terdaftar sebagai anggota aktif PKI. Masih aku komentari, pada waktu itu siapa yang akan berani membantah, pak. Bahkan par a saksi sekarang inipun seandainya diminta kesaksiannya ketika itu belum tentu mereka akan mau memberikan, kataku.

107

Itulah buktinya, katanya. Bahwa ayah saudara sebenarnya pada tahun 1965 itu adalah secara sah terdaftar sebagai anggota PKI. Aku tidak merasa perlu membantah atau berkelit apa-apa lagi. Petugas ini sedang melakukan tugasnya. Dan adalah bagian dari tugasnya untuk menyingkirkan aku dari tempat kerjaku. Titik. Maaf, ya dik. Ini resiko. Memang begitu ketentuan peraturan yang berlaku sah di negara kita ini. Saya pribadi bersimpati kepada adik. Adik hanyalah seorang anak manusia korban politik. Dan saya tahu bahwa adik adalah seorang yang tegar. Mudah-mudahan adik bisa menerima ketetapan ini dengan sabar. Subhanallah, pandai pula bapak petugas ini berpidato indah. Bagaimanapun, aku pantas berterima kasih dengan ucapannya sebentar ini. Yang tidak garang. Tidak arogan. Malahan banyak benarnya. Dia inikan hanya seorang pelaksana tugas. Bapak komandan itu menyalamiku. Dan ada dua orang petugas lain dalam ruangan itu yang ikut bersalaman denganku. Lucu juga. Apakah ini salaman dalam rangka mereka mengucapkan selamat bahwa akhirnya tugas mereka selesai untukku? Aku kembali mampir ke kantor. Menemui atasanku. Sekalian melaporkan bahwa vonis untukku sudah jatuh. Brian Skinner memandangku dengan wajah yang susah aku jelaskan. Lama dia memandangku tanpa berkata apa-apa. Orang ini memang sangat baik kepadaku. Di hadapannya ada beberapa buah amplop berwarna putih. Setelah lama tercenung keluar juga kata-katanya. Marwan, aku tidak percaya dengan apa yang terjadi. Aku tidak percaya dengan peraturan yang berlaku di negerimu ini, katanya. Aku tidak berkomentar apa-apa. Apa rencanamu sesudah ini? tanyanya. Mungkin aku akan berdagang, jawabku. Kau tidak berpikir untuk pindah ke Singapura atau ke Australia? Coba mencari kerja disana? tanyanya lagi. Tidak. Tidak untuk sekarang, jawabku. Aku tidak mengusulkan agar kau pindah jauh-jauh. Singapura atau Australia dekat saja dengan Indonesia. Aku yakin kau bisa mendapatkan kerja disana. Tidak. Biarlah aku disini saja, jawabku. Marwan, aku bersimpati dengan penderitaanmu. Hanya itu. Aku tidak bisa menolongmu. Terima kasih Brian. Terima kasih dengan simpatimu, jawabku.

108

Brian menyerahkan amplop-amplop putih itu kepadaku. Salah satunya berisi surat pemberhentian. Pemberhentian tidak hormat. Dan surat rekomendasi dari manejemen yang meng acknowledge bahwa aku adalah seorang karyawan yang baik, yang harus pergi karena political reason. Brian mengajakku untuk menemui GM lagi tapi aku menolaknya dengan sopan. Dia lalu menelpon dan GM itu datang ke kantor Brian. Dia menyalamiku dan memberikan kata-kata penyemangat. Kata-kata klise. Menanyakan pertanyaan yang mirip dengan pertanyaan Brian. Dan aku jawab dengan jawaban yang sama pula. Aku berpamitan dengan karyawan yang kantornya berdekatan dengan ex kantorku. Tapi kemudian ternyata karyawan-karyawan lain ikut berdatangan. Semua karyawan yang satu lantai dan beberapa orang dari lantai lain beramai-ramai datang menyalamiku dan menyampaikan rasa prihatin mereka. Semua bersimpati kepadaku. Sedih kami harus berpisah dengan cara yang tidak disangka-sangka seperti ini. Begitulah perpisahan kami di kantor. Perpisahan spontan begitu saja. Tidak ada perpisahan resmi karena mungkin dilarang pula oleh peraturan. Karir kecilku bekerja di perusahaan perminyakan yang baru berumur lima tahun sudah berakhir. Bukan hanya di perusahaan ini saja, tapi di perusahaan minyak yang manapun di negeri ini, aku tidak akan bisa diterima lagi. Padahal pekerjaan itu aku sukai. Aku tinggalkan kantor dan menuju pulang. Dadaku kembali bergemuruh dalam perjalanan ke rumah. Aku merasa kesunyian luar biasa di tengah kota Jakarta yang sangat ramai ini. Rasanya dadaku seperti mau pecah. Aku yang sampai sejauh ini berhasil meyakinkan diriku untuk tetap tegar, disaat mendapatkan kenyataan yang sebenarnya dan dinyatakan kalah seperti ini, rupanya hatiku hancur juga. Tak terasa air mataku mengalir. Ya aku menangis dalam kesendirianku di dalam mobil. Tepat saat dikumandangkan azan zuhur waktu aku sampai di rumah. Aku pergi shalat ke mesjid yang sebenarnya lumayan jauh dari rumah. Mesjid yang sejak aku tidak masuk kantor aku datangi untuk shalat Jumat. Sesudah shalat aku pulang dan aku mengaji di kamarku. Sore itu aku jemput Ita seperti biasa. Sampai di rumah aku beritahu dia bahwa surat pemberhentianku sudah keluar. Aku sudah resmi dipecat. Ita menangis tersedu-sedu dan memelukku. Dalam kesunyian. Dia tidak mengatakan apa-apa. Dia banyak menangis malam itu. Tapi kami tidak membicarakan apapun. Sudah terlalu banyak pembicaraan kami sebelum ini. Sudah terlalu kenyang Ita mendengar himbauanku untuk bersabar. *** Setelah goncangan di dadaku mulai berkurang beberapa hari kemudian, aku ajak Ita berdiskusi. Aku sampaikan rencanaku untuk banting stir menjadi pedagang. Aku akan membuka toko buku
109

seperti toko pak etek di Surabaya. Sambutan Ita tidak terlalu bersemangat. Dia tidak mengatakan setuju atau tidak setuju. Barangkali Ita masih belum siap diajak berdiskusi tentang hal itu. *** Kali ini Desi terisak-isak dalam tangis. Tanpa kusadari air matakupun menetes. Terdengar azan maghrib. Ternyata sudah masuk waktu maghrib. Kami beristirahat dulu untuk pergi shalat ke mesjid. Dan kami berjalan kaki menuju mesjid. Sungguh tragis pengalaman hidupmu, kataku di jalan. Sebentar lagi akan aku ceritakan puncak dari semua cerita itu, katanya. Bagaimana kau bercerai denga Ita ? tanyaku. Marwan mengangguk. Kami sudah sampai di mesjid. Sungguh tragis pengalaman hidupmu, kataku di jalan. Sebentar lagi akan aku ceritakan puncak dari semua cerita itu, katanya. Bagaimana kau bercerai dengan Ita ? tanyaku. Marwan mengangguk. Kami sudah sampai di mesjid. -oOo-

(23) Bonus Pukulan Terakhir


Desi sedang menata meja untuk makan malam waktu kami sampai kembali di rumah. Sepertinya dia juga sedang menyiapkan sesuatu di dapur. Aku bertanya apakah dia tidak tertarik meneruskan mendengar cerita Marwan. Dia bilang kalau dia akan menggoreng telor untuk tambahan lauk dan setelah itu sebaiknya kami makan malam dulu. Marwan mengusulkan agar makannya nanti saja karena dia merasa masih kenyang. Aku mengusulkan menyuruh Faisal pergi membeli sate untuk makan malam. Usul yang akhirnya disetujui. Marwan mulai lagi bercerita. Ketika aku diberhentikan aku diberi uang pesangon sekedarnya. Enam bulan gaji. Tabunganku boleh dikatakan nol ketika itu karena disamping kami membeli mobil dan membayar cicilannya, kami juga baru saja membayar perpanjangan kontrak rumah untuk dua tahun ketiga. Tabungan Ita adalah sedikit. Aku mulai mencari tempat untuk memulai usaha membuka toko buku. Pilihanku adalah Pasar Senen, pasar yang lumayan besar. Aku cari toko kecil. Sewanya setahun segera menguras setara dengan empat bulan gaji yang aku terima. Aku segera mulai. Membeli beberapa buah rak tempat memajang buku di toko itu. Akhirnya semua uang pesangon masuk kesana. Toko itu mulai berjalan tertatih-tatih. Pengalamanku membantu pak etek dulu di Surabaya sangat banyak membantu usaha ini. Untuk biaya di rumah dan melanjutkan pembayaran cicilan mobil kami tergantung dari gaji Ita. Kami harus menjalani hidup sehemat mungkin. Ita bukan wanita boros, tapi untuk hidup
110

prihatin seperti ketika itu sangat berat baginya. Kami jalani hidup seperti itu beberapa bulan sampai datangnya cobaan berikutnya. Mungkin karena tekanan dan kesulitan hidup, hubungan kami, hubungan antara aku dan Ita, sedikit demi sedikit semakin renggang. Tidak ada lagi masa-masa indah seperti dulu ketika kami banyak canda dan ketawa. Ketika kami sangat bahagia dan selalu ceria. Rumah tangga kami sekarang seperti selalu ditutupi awan hitam. Kami tidak pernah bertengkar. Tapi kami lebih banyak saling diam. Sebenarnya kalau menurutku, musibah yang kami alami masih dapat ditahankan, masih banyak orang yang lebih tidak beruntung dari kami. Tapi tidak demikian halnya dengan Ita. Dia betul-betul tersiksa oleh kepedihan dan keberatan beban mental selama ini. Entah deraan apa pula yang diterimanya di kantornya, dari rekan-rekan sekerjanya yang pasti juga tahu apa yang sedang kami alami. Ita tidak pernah bercerita. Dan Ita tidak pernah tertarik mendengar ceritaku berjuang menjalankan usaha toko buku.

Akhirnya datanglah hari yang paling dahsyat dalam hidupku itu. Ita mengajakku berunding. Tentang sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.

*** Malam itu sesudah shalat isya, kami duduk di sajadah masing-masing, dalam zikir dan doa. Ita masih memakai mukena. Dia memulai pembicaraan. Uda, Ita ingin berbicara serius dengan uda, katanya mengawali. Tentang apa Ita? tanyaku. Tentang rumah tangga kita, da. Tentang kita......., katanya terbata-bata. Apa yang ingin Ita sampaikan ? tanyaku, tanpa prasangka buruk sedikitpun. Uda... Ita sangat sayang kepada uda. Dan Ita tahu, uda sangat sayang kepada Ita. Kita saling mengasihi, saling mencintai...... Ita mulai menangis. Mataku ikut berlinang-linang. Tapi apa yang akan disampaikannya ? Da, mungkin Ita keliru. Untuk itu maafkan Ita. Ita melihat penderitaan uda. Ita sedih, karena Ita tidak sanggup membantu penderitaan uda. Uda sangat menderita selama ini... katanya terbata-bata dalam isak tangis. Ita, bukankah ada Allah yang menolong kita. Berapapun beratnya penderitaan ini , uda akan tanggungkan. Uda percaya Allah akan menolong kita, jawabku. Itapun percaya dengan itu, uda. Ita percaya dengan ketegaran dan kesabaran uda. Ita yakin Allah akan menolong kita, katanya.
111

Uda hanya meminta agar Ita, tetap bersabar. Sekali lagi permintaan uda tentang sabar ini mungkin sudah membosankan telinga Ita mendengarnya. Tapi percayalah, Allah mencintai orang-orang yang sabar. Betul uda. Tapi seperti yang sering juga uda katakan. Kita harus melihat perjalanan hidup ini secara nyata. Secara realistis. Ini yang sangat berat bagi Ita untuk menyampaikannya........... Maafkan Ita.... katanya terisak-isak. Hatiku mulai berdetak. Apa yang akan dikatakan Ita berikutnya? Aku terdiam mematung. Itapun terdiam cukup lama. Maafkan Ita, da. Maafkan kalau Ita lancang dengan yang akan Ita katakan ini........ Ita menutup mukanya dengan mukena. Ita menangis sejadi-jadinya. Apa yang akan Ita katakan? Katakanlah! kataku membujuknya sambil merangkulnya ke dalam pelukanku.

Tangisnya semakin menjadi-jadi. Ita, katakanlah. Apa yang menyesakkan dada Ita ? Katakanlah! Uda akan mendengarkannya, kataku. Maaf, da. Ita minta beribu-ribu maaf. Ita merasa kita tidak beruntung menjadi pasangan suami istri. Uda sudah banyak menderita karena Ita. Uda tidak bahagia dengan Ita. Ita mohon maaf sekali lagi....... Sejujur-jujurnya Ita minta...... Maafkan Ita....... Ceraikanlah Ita uda.... Petir. Patuih tungga. Itu rasanya yang menghajar telingaku. Dadaku bergemuruh kencang. Sakit luar biasa. Yang dibicarakan Ita bukan hal main-main. Dia tidak menyampaikannya dalam suasana kami bertengkar. Dia menyampaikannya sesudah kami selesai shalat. Pasti ini sudah hasil telaahan panjang. Pantas dia sangat berubah sejak beberapa bulan terakhir. Terlebih-lebih sejak aku berhenti bekerja. Aku peluk Ita. Aku menangis. Benar-benar menangis tersedu-sedu. Aku sangat menyayanginya. Mencintainya. Ya Allah... Ujian apa lagi ini ? Ita juga menangis dalam pelukanku. Lama kami larut terbawa emosi masing-masing. Mencurahkan banyak air mata. Kami tidak mampu bersuara untuk waktu cukup lama. Akhirnya aku memecah kesunyian kami. Kenapa Ita sampai pada kesimpulan seperti ini? Ini tidak boleh terjadi Ita......... Ita tahu uda sangat menyayangi Ita. Kita saling mengasihi........ Uda tidak akan menceraikan Ita........., kataku terbata-bata.
112

Ita mengangkat kepalanya. Uda. Ita sangat sadar tentang hal itu. Uda sangat sayang kepada Ita. Itapun demikian. Tapi Allah menunjukkan bahwa hidup kita tidak nyaman selama ini. Allah tidak memberi kita keturunan. Padahal uda sehat walafiat. Uda mampu. Ita pernah hamil. Tapi sesudah itu, jalan kita seperti sudah tertutup untuk punya anak. Sudah lama Ita merenungkan hal itu. Dan nasib tidak baik yang uda alami selama ini, boleh jadi karena ketidak sabaran Ita menerima ujian Allah. Allah menguji uda, menguji kita dengan ujian yang lebih berat lagi. Oleh karena itu biarlah kita terima takdir ini. Bahwa kita memang ditakdirkan Allah untuk tidak beruntung dalam berjodoh. Hidup kita dihadapkan kepada banyak tantangan. Ita bukannya ingin lari, uda. Bukan Ita ingin berkhianat kepada uda.....Maafkan Ita........... Ita meyakini, mudah-mudahan perpisahan kita akan memperbaiki jalan hidup kita masing-masing sesudah itu... katanya panjang lebar. Hatiku berdetak. Aku pegang bahunya dan aku tatap matanya. Apakah Ita sedang didekati laki-laki lain? tanyaku. Demi Allah, da. Ita tidak berkhianat, da. Ita tidak pernah mengkhianati uda, jawabnya. Jawab sejujurnya Ita! Ada laki-laki lain yang menyebabkan Ita sampai berpemikiran seperti ini? tanyaku dengan suara bergetar. Ita, sujud mencium kakiku dalam tangis. Demi Allah, da. Ita tidak mau melayaninya da......... Demi Allah.... jawabnya tersedusedu. Aku terpana. Aku paham sekarang. Jadi itu rupanya. Ada pemain baru yang mencoba mendekat. Lama aku terdiam. Dadaku bergemuruh kencang. Aku akan jadi pecundang lagi? Aku akan dikalahkan lagi? Istriku sekarang didekati orang dan Ita rupanya sudah hampir tidak bisa bertahan lagi. Di saat aku sedang terpuruk. Sudah jatuh, sekarang akan ditimpa tangga pula. Dia tidak mau melayani orang itu, siapapun dia. Tapi Ita sudah sampai ke penghujung titik pertahanannya dan kelihatannya menunggu rubuh. Entah dengan cara bagaimana pendekatan itu dilakukan. Entah kapan dimulai. Dan entah siapa orangnya. Sakit, betul-betul sakit dadaku sampai ke hulu hati. Tapi salahkah Ita ? Mungkin dia memang tidak siap untuk dibawa hidup melarat. Dibawa hidup dalam keadaan tidak ada jaminan seperti keadaanku saat ini. Ita anak orang kaya. Hidupnya sudah biasa senang dan berkecukupan sejak dia kecil. Ita masih berada dalam pelukanku, menelungkup terisak-isak di pahaku. Sarungku basah oleh air matanya. Dan air matakupun meleleh bercucuran. Siapa dia, Ita ? tanyaku akhirnya memecah kesunyian.

113

Ita semakin meratap di pahaku. Ita tidak pernah mengkhianati uda...... Demi Allah da, Ita tidak pernah mengkhianati uda.... Apa saja yang dilakukannya kepada Ita ? tanyaku bodoh. Demi Allah da..... Ita tidak pernah mengkhianati uda. Demi Allah.... Uda mempercayai Ita. Uda percaya Ita tidak mengkhianati uda........ kerongkonganku seperti tercekik. Apa yang terjadi? Sejak kapan dia itu mendekati Ita... ? aku mencoba bersikap tenang. Ita hanya bisa larut dalam tangis. Dia tidak bisa berkata apa-apa selain isak tangis. Ita, cobalah tenangkan hati Ita. Uda tidak akan memarahi Ita. Ceritakanlah! Apa yang terjadi? kata-kataku keluar lebih tenang tanpa getaran. Tetap tidak ada suara. Biarlah uda yang mencoba menerka. Ada seorang laki-laki di kantor Ita. Yang bersimpati dengan penderitaan Ita. Mencoba menghibur Ita. Mendekati Ita. Begitu kan ? kataku setenang mungkin. Ita mengangkat kepalanya. Melihat kepadaku dengan mata basah oleh air mata. Dia memberi tahu uda.....? tanyanya dalam sesenggukan. Tidak ada yang menghubungi uda. Uda hanya menerka seperti itu jalan ceritanya. Tidak akan jauh dari itu. Benar kan? Ada orang kantor Ita yang menghubungi uda? tanyanya lagi dengan suara yang lebih teratur. Tidak ada, Ita. Tidak ada siapapun yang menghubungi uda. Jadi betul begitu ceritanya? Ceritakanlah lebih jelas. Uda tidak marah, Ita. Ini pelajaran berharga untuk hidup uda. Ceritakanlah apa yang terjadi!

Setelah perasaannya lebih tenang, Ita bercerita panjang. Tentang seorang laki-laki lajang yang sudah sejak lama bersimpati kepadanya di kantor. Katanya, pada awalnya laki-laki itu selalu sopan dan tidak pernah berlaku tidak pantas kepadanya. Hubungan mereka hanya sebatas teman sekantor. Sejak aku dapat masalah dan ada teman sekantornya yang tahu, (bukan dari Ita, tapi
114

teman yang juga istri karyawan tempat aku bekerja) si laki-laki simpatiknya itu semakin memberikan perhatian. Memberi nasihat, memberi semangat, katanya. Hal itu dilakukannya setiap hari dengan cara yang Ita tidak bisa menolaknya. Tapi lama kelamaan, karena setiap hari memberi perhatian seperti itu, laki-laki itu semakin berani memberi saran-saran yang rupanya mulai menarik perhatian Ita. Dia yang menyuruh pikirkan kemungkinan agar kami bercerai saja. Dengan semua alasan seperti yang sudah dijelaskan Ita kepadaku. Bahwa menurut dia, kami bukan pasangan yang cocok, karenanya tidak ada salahnya kehidupan rumah tangga kami untuk dievaluasi ulang. Aku mendengarkan uraian Ita dengan dada bergemuruh. Racun untukku, tapi simpatik dan masuk akal bagi Ita. Ita, barangkali benar. Kita harus realistis. Apa lagi yang akan uda katakan? Ita sudah terbawa hanyut olehnya bukan? Dan uda saat ini adalah biduk tiris pendayung patah, buat Ita, kataku lirih. Uda.... jangan begitu uda...... katanya mulai menangis lagi. Apanya yang jangan begitu ? kataku dengan suara serak. Uda..... Bukan begitu uda.... Maafkan Ita....... katanya sambil merangkulku. Tiba-tiba saja aku jadi muak. Setan masuk kedalam dadaku. Aku dorong tubuh Ita dengan kasar. Dia terjatuh. Dia merangkul kakiku dan menangis sejadi-jadinya. Setan masih bercokol didadaku. Aku dorong tubuh Ita dengan kakiku sehingga dia terjengkang. Aku keluar dari kamar. Ita menjerit-jerit histeris di tengah malam itu. Aku biarkan dia. Aku sangat terluka untuk mendekati dan memperhatikannya. Aku tidak bisa tidur semalaman. Dari dalam kamar aku dengar tangisan Ita juga hampir sepanjang malam. Sampai masuk waktu subuh. Aku tersentak. Dan bersitighfar. Ya Allah, ampuni hambamu ini. Aku masuk ke kamar. Ita masih menangis. Dia telah menangis sepanjang malam. Aku dekati dia dan aku rangkul tubuhnya. Maafkan uda, Ita. Maafkan uda, kataku. Ita makin keras lagi tangisnya. Ita, maafkan uda. Sudah azan. Marilah kita shalat. Mari kita minta ampun kepada Allah, ajakku.

115

Ita bangkit. Aku bimbing dia ke kamar mandi. Kami berwuduk. Dan shalat subuh. Dan berdoa. Doa yang panjang sekali. Sesudah shalat aku ulangi minta maaf kepada Ita. Dia rebah lagi di dadaku dalam tangisannya. Kami berbaring. Dan akhirnya tertidur keletihan di lantai beralaskan sajadah.
-oOo-

(24) Penutup
Sekitar jam delapan aku terbangun. Ita masih tertidur di dadaku. Aku bangkit pelan-pelan sambil mengangkat kepalanya dan meletakkannya di atas bantal. Ita masih lelap dalam tidurnya. Aku kecup keningnya. Aku duduk ke luar kamar. Bermenung. Merenung. Berliku-likunya jalan hidupku. Lama aku duduk diam disana. Aku bangkit dan pergi mandi. Sehabis mandi, aku perhatikan Ita masih tidur nyenyak. Aku tidak mau membangunkannya. Aku berpikir sebaiknya aku pergi ke toko pagi hari Minggu ini. Karena kalau duduk di rumah aku khawatir pikiranku makin suntuk. Sebelum berangkat aku tulis pesan singkat di kertas dengan tulisan, Ita, Ita masih tidur nyenyak, uda tinggal. Uda pergi ke toko. Nanti kita berdiskusi lagi. Uda. Jam 9.00. Tidak semudah yang kubayangkan untuk tidak suntuk berada di toko. Aku terpuruk di dalam kesunyianku sendiri di tengah pasar besar itu. Sesudah shalat zuhur aku sudah tidak betah. Segera kututup lagi toko dan aku langsung menuju pulang. Sampai di rumah aku lihat tidak ada mobil. Rumah terkunci. Aku coba mengetuk-ngetuk dan memanggilmanggil, Ita tidak menyahut. Anak gadis orang punya rumah datang membawakan kunci. Uni Ita tadi menitipkan kunci ini. Dia pergi, kata anak gadis itu. Aku terima kunci itu dan segera masuk rumah. Aku masuk ke kamar. Ada sebuah amplop putih di atas meja. Amplop yang pasti ditinggalkan Ita. Dadaku bergemuruh lagi dan tanganku bergetar. Aku buka amplop itu dan kubaca isinya; Uda Marwan yang sangat Ita sayangi, Untuk kesekian ribu kalinya Ita meminta maaf kepada uda. Ita telah banyak sekali berbuat dosa kepada uda. Menyakitkan hati uda, menyusahkan uda. Ita memang tidak pantas menjadi istri uda. Uda seorang yang sabar, seorang yang saleh, seorang yang teguh imannya. Sementara Ita adalah wanita yang suka berkeluh kesah, yang tidak tahan menderita dan tidak sabar. Ita terlalu lemah, uda. Terlalu rapuh untuk melawan goncangan-goncangan dan cobaan-cobaan yang kita lalui selama ini. Sekali lagi maafkanlah Ita, uda.

116

Ita tahu, perpisahan ini pasti merobek-robek hati uda. Ita tahu betapa besarnya cinta uda kepada Ita. Itapun sangat mencintai uda. Ita sangat bangga jadi istri uda. Tapi kelemahan jiwa dan kerapuhan batin Ita telah merusak diri Ita dari dalam. Ita sangat menderita karenanya, uda. Uda Marwan, Ijinkanlah Ita mengulangi sekali lagi menyampaikannya, bahwa Ita tidak pernah mengkhianati pernikahan kita. Ita tidak pernah mengkhianati uda. Ita tetap mempertahankan kesucian pernikahan kita. Namun Ita sangat lemah uda. Setan selalu berbisik di telinga dan dada Ita. Dan Ita khawatir suatu saat nanti Ita tidak mampu lagi bertahan dari godaannya. Iman Ita tidak seteguh iman uda. Uda yang Ita sayangi, Sementara ini ijinkanlah Ita pergi dulu dari rumah. Ita pergi kerumah etek di Cempaka Putih. Perbuatan Ita ini pasti akan sangat menyusahkan uda. Sekali lagi, untuk kesekian kalinya, maafkan Ita. Wassalam dan maaf dari istri uda Rosita

Ya Allah........ keluhku. Beri hamba kekuatan..... Aku pergi berwudhu ke kamar mandi. Aku ambil al Quran. Aku mengaji dan aku baca surat Yasin. Aku ulang menamatkan bacaan surat itu sampai tiga kali. Sesudah itu aku tertidur terkapar di atas sajadah. *** Aku terbangun ketika mendengar pintu diketok dari luar. Aku lihat jam, sudah jam setengah lima. Aku segera keluar membukakan pintu. Di luar berdiri etek dan pak etek Cempaka Putih. Aku persilahkan beliau masuk. Etek langsung berbicara kepadaku. Marwan. Sepertinya ada masalah dalam rumah tangga kalian. Etek dan pak etek tentu tidak boleh ikut campur dalam masalah ini. Ita sekarang ada di rumah. Menurut etek, biarkanlah dia disana dulu menenangkan hatinya semalam dua malam ini. Etek dan pak etek akan membantu menenangkan pikiran Ita. Kami bantu dengan doa, mudah-mudahan masalah kalian bisa cepat selesai dengan baik, kata beliau. Baiklah tek, jawabku pendek. Sabar, Marwan. Biasa. Rumah tangga tanpa riak dan gelombang hambar rasanya seperti sayur tanpa garam. Sabar. Banyak-banyak sabar, ujar pak etek menambahi. Insya Allah pak etek, jawabku pendek. Baiklah Marwan, etek tidak lama-lama. Kami hanya ingin menyampaikan itu saja. Marwan sabar, ya. Dan hati-hati. Nanti kalau Ita sudah tenang, insya Allah kami antarkan kembali kesini. Oh, ya. Ini etek bawakan nasi bungkus. Sudah ya Marwan, kami pamit dulu, kata etek.

117

Baik, tek. Terima kasih pak etek, terima kasih tek, jawabku. Aku antarkan kedua orang tua yang baik itu ke mobil mereka. Dan aku tunggu sampai mobil itu menghilang dari pandangan. Aku ingat, aku belum shalat asar dan bergegas shalat. Sesudah shalat aku mengaji lagi. Dan terasa perutku lapar. Ya aku belum makan apa-apapun sejak pagi. Belum minum setegukpun. *** Tiga hari berlalu. Air mataku sudah kering untuk menangis. Aku kusut masai selama tiga hari ini. Tidak pergi ke toko. Hatiku maju mundur antara keinginan pergi melihat Ita ke Cempaka Putih dengan membiarkannya saja. Entah bisikan apa ini yang berdengung di otakku. Sudahlah Marwan. Hidup ini memang kalah dan menang. Ketika kalah, sabar. Ketika menang, berlakulah wajar. Sekarang kau kalah, hendaklah kau sabar. Apa yang disampaikan Ita ada benarnya. Dia tidak tahan hidup menderita seperti yang kamu tanggungkan. Dia wanita dengan segala kelemahannya. Biarkanlah dia, demi cinta dan kasihmu kepadanya. Maafkanlah dia. Bersabarlah sekali lagi. Dibalik kesabaran itu ada keindahan. *** Jam setengah empat sore, ketika aku sedang shalat asar, aku dengar pintu diketok. Aku selesaikan shalatku. Diluar terdengar suara orang bercakap-cakap. Sesudah shalat aku segera bangkit dan membukakan pintu. Di luar ada papa dan mama Ita, pak etek dan etek dan Ita. Berlima. Aku salami semua satu persatu. Ketika menyalami Ita aku peluk dia. Dan aku menangis lagi. Itapun menangis. Kami segera terlibat dalam perbincangan. Papa Ita yang memulai pembicaraan. Marwan. Pertama sekali, papa dan mama sangat prihatin dengan masalah rumah tangga kalian saat ini. Papa dan mama sangat tidak setuju dengan perlakuan Ita, meninggalkan rumah, meninggalkan kamu. Kami sudah menasihatinya sangat panjang. Papa dan mama sudah berbicara panjang di telepon dengannya. Pak etek dan etek sudah menasihatinya sangat panjang sampai kewalahan dan meminta papa dan mama datang. Sekarang, papa memaksa Ita datang kesini. Usul papa, biarlah Ita menenangkan pikiran dulu agak beberapa waktu ini. Bagaimana pendapat Marwan? Aku terdiam mendengar uraian singkat itu. Ita rupanya benar-benar sudah berada di titik yang tidak mungkin kembali lagi. Ita, katakanlah apa yang ingin Ita katakan. Sampaikanlah apa yang ingin Ita sampaikan, uda akan menjawabnya. Uda akan mengabulkan apapun permintaan Ita selama uda sanggup melakukannya, kataku. Ita menangis. Menangis tersedu-sedu. Tidak satu patah katapun keluar dari mulutnya. Katakanlah Ita ! Apa keinginan Ita ? Sampaikanlah ! aku ulangi lagi. 118

Mama dan etek ikut menangis melihat pemandangan itu. Ita berbicaralah ! Katakanlah apa saja ! pintaku lagi. Ita mendekat kepadaku dan memeluk tubuhku. Dia menangis tersedu-sedu di bahuku. Apakah dia mau kembali, tanyaku dalam hati. Uda.........., Demi Allah uda........... Ceraikanlah Ita........ katanya tambah tersedu-sedu. Mama dan etek Ita menjerit histeris mendengar kata-kata itu. Papa dan pak etek memandang Ita dengan pandangan tidak percaya. Baik........ Uda ceraikan Ita....... Saat ini jatuh talak uda satu kali kepada Ita.... jawabku setenang mungkin. Mama Ita menjerit mengatakan tidak dan memelukku. Marwan.... Jangan........ katanya terbata-bata. Kami semua yang laki-laki diam. Ketiga wanita itu bertangis-tangisan sambil berpelukan. *** Drama itupun selesailah. Lama kami duduk saling membisu sementara ketiga wanita itu larut dalam tangis. Tapi drama itu benar-benar sudah selesai. Talakku sudah jatuh. Itu memang lebih baik. Mereka baru pergi dari rumah itu sesudah maghrib. Masih kami coba berbincang-bincang sesudah itu, tapi tidak ada satu katapun yang lengket di telingaku. Begitulah akhir cerita panjangku, kata Marwan. Mata Desi merah karena tangis. Akupun menangis. Tragis sekali. Dan kau tidak pernah lagi berjumpa dengan Ita sejak itu ? tanyaku. Sering, jawab Marwan tersenyum. Maksudmu? Ita menikah dengan teman simpatiknya itu. Rupanya ada benarnya ramalan mereka. Ita melahirkan dua orang anak dengannya. Suaminya itu meninggal karena kecelakaan lalu lintas sepuluh tahun yang lalu. Inna lillaahi wa inna ilaihi raajiuun. Terus? Ya, Ita menjanda sampai sekarang, jawab Marwan. Dan kau sering berkunjung lagi ke tempatnya? Ya, jawab Marwan tersenyum.

119

Maksudmu? Ya, menyantuni anak yatim. Menjenguk dan melihatnya saja. Terus. Kau sendiri apa yang terjadi sesudah perceraian itu? Mula-mula sakit. Sakit lahir dan batin. Terkapar sendiri di rumah kontrakanku selama berhari-hari. Ditolong oleh pemilik rumah yang tetanggaku. Lama menduda? Lima tahun. Lebih sedikit lima tahun. Dimana bertemu dengan Kokom? Di rumah kontrakanku itu. Bagaimana caranya? Kokom adalah anak gadis kecil yang dulu suka menemani Ita kalau aku pergi ke Irian. Kokom yang sering disuruh ibunya mengantarkan makanan ketika aku sakit sesudah perceraian. Ketika itu dia baru saja mulai kuliah. Terus? Aku dilamar lagi oleh orang tua Kokom. Orang Minang kan laki-lakinya yang dilamar. Aku orang Minang dan aku dilamar untuk Kokom, Marwan tersenyum. Hey. Bisa panjang lagi dong ceritanya, kataku. Ah, nggak juga. Ayah Kokom menanyaiku apakah aku mau menikahi Kokom. Aku bilang, apa nggak salah. Aku duda berumur hampir 40 tahun. Kokom masih gadis 24 tahun. Apa Kokom mau, tanyaku kepadanya. Dan ternyata mau? tanya Desi. Itu, buktinya sekarang, jawab Marwan. Lalu bagaimana hubungan dengan Ita? Maksudku bagaimana tanggapan Ita dan bagaimana tanggapan Kokom terhadap Ita? Baik-baik saja. Orang mereka saling kenal sejak lama. Bahkan ada usulan Kokom yang sangat dahsyat, kata Marwan tersenyum lebar. Apa itu? tanyaku. Supaya aku menikahi Ita kembali...he...he...he... Marwan tertawa terkekeh. Gila. Dan terus? Kau mau? tanyaku. 120

Nggak. Belum..he.he.he.. Kapan dia menyuruhmu menikahi Ita kembali? Wouf.... Pertanyaanmu kayak wartawan. Sejak 7 tahun yang lalu. Sesudah Ita 3 tahun jadi janda, jawab Marwan. Kenapa tidak mau ? tanya Desi. Saya bilang kan belum mau. Siapa tahu nanti kapan-kapan mau...he..he..he, Marwan kembali terkekehkekeh. *** Kami makan malam dengan sate kambing yang dibelikan Faisal anakku. Sudah jam sembilan malam waktu Marwan meninggalkan rumah kami

Tamat Jatibening, 22 Januari 2008

121

Anda mungkin juga menyukai