Anda di halaman 1dari 9

STATUS PASIEN A. ANAMNESIS I. Identitas Pasien Nama Umur Jenis kelamin Alamat II.

Keluhan Utama Sesak napas sejak 1 minggu SMRS. III. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSUD Tanah Bumbu dengan keluhan sesak napas yang dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Sesak yang dirasakan pasien hilang timbul, sesak terutama muncul saat pasien melakukan aktivitas sehari-harinya sehingga ia tidak dapat bekerja lagi. Pasien mengatakan sesak muncul saat berbaring tidur di malam hari, sehingga ia harus menggunakan 2 sampai 3 bantal untuk mengurangi rasa sesaknya. Ia juga sering terbangun di malam hari karena tiba-tiba sesak dan sering buang air kecil. Pasien juga mengatakan adanya batuk berdahak dengan lender berwarna putih, tanpa adanya darah. Sejak 3 hari SMRS pasien mengeluhkan sesak napasnya bertambah berat disertai adanya bengkak di kedua kaki sehingga ia sulit untuk berjalan. Selain itu pasien juga mengeluh adanya pusing yang terasa di bagian depan kepala dan sulit tidur karena terasa berdebar-debar. Demam, mual, muntah, riwayat merokok, ataupun nyeri dada disangkal oleh pasien. IV. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien memliki riwayat darah tinggi sejak 2 tahun yang lalu dan minum obat tidak teratur. Riwayat penyakit jantung, paru, ginjal, hati, dan kencing manis disangkal
pasien. Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan seperti yang pasien alami sekarang.

: Tn U : 69 tahun : Laki-laki : Ds Bangkalan, Kota Baru

B. PEMERIKSAAN FISIK I. STATUS GENERALIS


Keadaan umum/ kesadaran : tampak sakit berat/ compos mentis Tanda vital:

Tekanan darah : 170/90 mmHg Nadi Pernapasan Suhu a. Kepala b. Mata c. Telinga d. Hidung e. Mulut f. Leher g. Thoraks h. i. Ekstremitas : 100 x/menit : 27 x/menit : 36,7 C : normocephali : tidak ditemukan kelainan : bentuk normal, sekret -/-, darah -/: simetris, deformitas -, sekret : tidak ditemukan kelainan : pembesaran KGB , distensi vena + JVP 5 3 cm H2O : S1 dan S2 reguler, murmur -, gallop Suara napas vesikuler, ronkhi +/+ basal paru, wheezing -/Abdomen : CRT < 2 Akral hangat + + + + Oedema (pitting) + + : Supel, nyeri tekan -, bising usus + normal, hepar, lien, ataupun massa tidak teraba

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium Darah Hb Ht Leukosit : 10,9 g/dl : 35 % : 10.200


2

Trombosit Eritrosit Ureum Kreatinin BUN GDS 2. EKG

: 286.000 : 3,8 juta/ul : 44 mg/dl : 1 mg/dl : 20,56 mg/dl : 98 mg/dl

Kesan: tampak gelombang QRS yang tinggi di V2-V5 kesan LVH

3. Rontgen thoraks

Kesan: CTR > 50% menunjukkan kardiomegali. D. ASSESMENT Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosa Gagal Jantung Kongestif (CHF) NYHA klas III. Gagal jantung adalah keadaan patofisiologi berupa sindroma klinik, diakibatkan oleh ketidakmampuan jantung untuk memenuhi cardiac output /CO yang cukup untuk melayani kebutuhan jaringan tubuh akan oksigen dan nutrisi lain meskipun tekanan pengisian (filling pressure atau volume diastolik) telah meningkat. Istilah gagal jantung kongestif paling sering digunakan apabila terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan. Etiologi yang mendasari diantaranya: 1. Kelainan Otot Jantung Penderita kelainan otot jantung menyebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit otot degenaratif atau inflamasi. 2. Aterosklerosis Koroner Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadinya hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. 3. Hipertensi Sistemik atau Pulmonal
4

Peningkatan afterload meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertropi miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung. Tetapi untuk alasan yang tidak jelas, hipertrofi otot jantung tadi tidak dapat berfungsi secara normal, dan akhirnya akan terjadi gagal jantung.
Pada Framingham Study mengungkapkan, 90 persen gagal jantung kongestif (CHF) disebabkan penyakit jantung koroner dan hipertensi.

Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian, dimana hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard. Dari anamnesa pada pasien ini, ditemukan bahwa pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu dan meminum obat tidak teratur. 4. Peradangan dan Penyakit Miokardium Degenaratif Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara lansung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun. 5. Penyakit Jantung Lain Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang lain. Sebenarnya tidak langsung mempengaruhi jantung. Mekanime yang biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah melalui jantung (misalnya, stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (misalnya, temponade perikardium, perikarditis konstriktif atau stenosis katup AV), peningkatan mendadak afterload akibat meningkatnya tekanan darah sistemik (hipertensi Maligna) dapat mengakibatkan gagal jantung meskipun tidak ada hipertropi miokardial. 6. Faktor Sistemik Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung : a. b. c. d. Meningkatnya laju metabolisme (misalnya, demam dan tirotoksikosis) Hipoksia dan anemia: memerlukan peningkatan cairan jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik ; menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis (respiratori atau metabolik) Abnormalitas elektrolit : menurunkan kontrktilitas jantung.

e.

Disritmia jantung : terjadi denga sendirinya atau secara sekunder akibat gagal jantung menurunkan efisiensi keseluruhan fungus jantung.

Mekanisme yang mendasarai gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Bila curah jantung kurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jrntung untuk mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung. Jika curah jantung gagal untuk dipertahankan maka akan terjadi gagal jantung kongestif karena kontraktilitas, karena preload, kontraktilitas dan afterload terganggu. Kriteria diagnosis CHF kiri dan kanan dari Framingham: Kriteria mayor 1. Paroksismal Nocturnal Dispnea 2. Distensi vena leher 3. Ronki basah 4. Kardiomegali 5. Udema paru akut 6. S3 gallop 7. Peningkatan tekanan vena > 16 cm H2O 8. Waktu sirkulasi > 25 detik 9. Hepatojugular refluks positif 10. Hidrotoraks Kriteria Minor 1. Udema tungkai 2. Batuk malam hari 3. Dispnea saat aktivitas 4. Hepatomegali 5. Efusi pleura 6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari maksimum 7. Takikardia (>120x/menit) Diagnosis CHF ditegakkan apabila didapatka 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor + 2 minor yang terjadi bersamaan. Berdasarkan keluhan terdapat klasifikasi fungsional dari New York Heart Association (NYHA), dimana kelas fungsional ini harus dicantumkan dalam diagnosis :
6

I.

NYHA Klas I: Penderita dengan kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik sehari-hari tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea atau angina.

II.

NYHA Klas II: Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan ringan aktivitas fisik. Merasa enak pada istirahat. Aktivitas fisik sehari-hari menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea, atau angina.

III.

NYHA Klas III: Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan berat aktivitas fisik. Merasa enak pada istirahat. Aktivitas yang kurang dari aktivitas fisik sehari-hari menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea, atau angina.

IV.

NYHA Klas IV: Penderita dengan kelainan jantung yang dengan akibat tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun. Keluhan timbul meskipun dalam keadaan istirahat. Pada kasus ini dari hasil anamnesa didapatkan seorang pasien laki-laki berusia 69

tahun dengan keluhan sesak sejak 1 minggu SMRS dan memberat sejak 3 hari SMRS. Pasien mengatakan sesak muncul saat berbaring tidur di malam hari,keadaan ini disebut dengan Paroksismal Nokturnal Dispnea (PND). Ia juga menggunakan 2 sampai 3 bantal untuk mengurangi rasa sesaknya menunjukkan adanya orthopnea. Pasien juga mengatakan adanya batuk berdahak dengan lender berwarna putih dan adanya bengkak di kedua kaki sehingga ia sulit untuk berjalan. Dari pemeriksaan fisik pada kasus ini didapatkan adanya distensi vena leher, pada auskultasi thoraks didapatkan ronki basah di bagian basal kedua paru, serta pada kedua tungkai didapatkan udema pitting. Selain itu, pasien mengatakan bahwa ia sulit melakukan aktivitas sehari-harinya karena sesak yang muncul saat aktivitas. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pada kasus ini terdapat 4 kriteria mayor: paroksismal nocturnal dispnea (PND), distensi vena leher, ronhi basah, dan kardiomegali yang dapat dilihat dari EKG dan rontgen thoraks. Terdapat juga 3 kriteria minor yaitu: udema tungkai, batuk pada malam hari, dan dispnea saat aktivitas. Berdasarkan klasifikasi NYHA, pasien ini digolongkan CHF fungsional III karena ia sulit melakukan aktivitas sehari-hari karena sesak. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa CHF yaitu EKG yang menunjukkan keadaan yang mendasari gagal jantung kiri, antara lain AF dengan QRS rate yang cepat, pembesaran ruang jantung: LAH dan LVH. Selain EKG
7

dapat dilakukan juga pemeriksaan rontgen foto thoraks yang dapat memberikan informasi diantarany adanya pembesaran jantung,baik yang mencerminkan dilatasi atau hipertrofi bilik jantung, atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal. Biasanya pemeriksaan dengan EKG lebih sensitif dibandingkan dengan rontgen thoraks, namun pemeriksaan yang lebih spesifik dan sensitive untuk mendiagnosa CHF yaitu dengan ekokardiografi untuk meniai meningkatnya masa ventrikel (hipertrofi ventrikel). Pada pasien ini, didapatkan gambaran EKG berupa gelombang QRS yang tinggi di V2-V5, kesan LVH. Didapatkan juga gambaran radiologi dari rontgen thoraks yaitu CTR > 50% yang menunjukkan adanya kardiomegali. E. PLANNING Prinsip penatalaksanaan gagal jantung yaitu: Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian O2 Menurunkan konsumsi O2 dengan pembatasan aktivitas fisik Meningkatkan kontraktilitas otot jantung dengan digitalisasi Menurunkan beban jantung dengan diet rendah garam, diuretik, dan vasodilator. Obat-obatan yang dapat diberikan diantaranya: 1. ACE inhibitor: merupakan inhibitor kompetitif dari ACE, oleh karena itu mencegah konversi Angiotensin I menjadi angiotensin II yang memiliki efek retensi garam dan air serta merupakan vasokonstriktor kuat. Contoh obat: Captopril untuk gagal jantung sebaiknya titrasi mulai dari 2 x 6,25 mg per hari dan seterusnya. 2. Angiotensin II reseptor blocker (ARB): dapat diberikan pada pasien yang tidak toleran terhadap ACE inhibitor, contoh obat: losartan dosis 50-100 mg diberikan sekali sehari. 3. Obat-obat inotropik, yang biasa dipakai adalah digitalis/digoksin. Digoksin memiliki mekanisme kerja menambah kontraksimiokard, baik kecepatan maupun kekuatan kontraksi. Pada gagal jantung, digoksin menambah cardiac output yang melawan reflex stimulasi simpatis dan RAA dengan akibat vasodilatasi dan penurunan SVR (systemic vascular resistance) dengan kata lain menurunkan afterload. Dosis digoksin 2x1 tablet (2 x 0,25 mg) selama 2-3 hari, kemudian disusul dosis maintenance 1 tablet/hari atau tablet per hari.

4. Diuretika. Salah satu cara menanggulangi gagal jantung ialah dengan mengurangi retensi garam dan air yaitu dengan diet rendah garam dan pemberian diuretika. Contoh: furosemid, cara kerja dengan menghambat raebsorpsi Na, Cl pada ascending limb loop of Henle, sedikit efek pada tubulus proksimal. Oleh karena letak kerja dan potensinya, loop diuretic lebih efektif. Apabila GFR sangat menurun loop diuretik masih efektif bahkan pada GFR rendah10 ml/menit. Furosemid yang diberikan secara i.v mempunyai efek vasodilatasi selain efek diuretika. Indikasi pemberian i.v yaitu pada udema paru pada gagal jantung kiri, gagal jantung berat/ CHF, krisis hipertensi, hiperkalsemia dan hiperkalemia. 5. Venodilator. Dengan diberikannya venodilator dan diuretika, filling pressure dapat diturunkan dengan akibat simptom berkurang seperti sesak napas, orthopnea, tanpa menyebabkan turunnya CO. Penurunan preload secara signifikan mengurangi kongesti pulmonal. ISDN diberikan pada jam 8, 12, 16 sehingga terdapat 12 jam interval bebas nitrat untuk mencegah toleransi nitrat. Digoksin, diuretika, dan ACE inhibitor secara kombinasi merupakan terapi standar untuk gagal jantung.

Anda mungkin juga menyukai