Anda di halaman 1dari 43

Referat ANESTESI PADA PASIEN GERIATRI

Oleh : Evi Fitriana, S.Ked Novia Winardi, S.Ked Defy Rizkiya Pradenty, S.Ked 04114705031 04124708040 04124708042

Pembimbing : dr. Agustina Br Haloho, Sp.An, M.Kes

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RSMH PALEMBANG 2013

HALAMAN PENGESAHAN REFERAT Judul ANESTESI PADA PASIEN GERIATRI Oleh: Evi Fitriana, S.Ked Novia Winardi, S.Ked Defy Rizkiya Pradenty, S.Ked 04114705031 04124708040 04124708042

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya Rumah Sakit Muhammad Hoesin periode 6 Mei 2013 10 Juni 2013 Palembang, Mei 2013 Mengetahui,

dr. Agustina Br Haloho, Sp.An, M.Kes

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Anestesi pada Pasien Geriatri, yang diajukan untuk memenuhi satu syarat salah satu syarat dalam menyelesaikan program Kepanitraan Klinik Senior di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin periode 6 Mei 2013 10 Juni 2013. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Agustina Br Haloho, Sp.An, M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan, masukan, kritikan dan perbaikan terhadap referat ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya laporan telaah ilmiah ini.. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik dalam hal isi maupun cara penulisan referat ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun sebagai masukan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palembang, Mei 2013

Penulis

DAFTAR ISI Halaman Judul...............................................................................................i Halaman Pengesahan....................................................................................ii Kata Pengantar..............................................................................................iii Daftar Isi........................................................................................................iv Daftar Tabel..................................................................................................v Daftar Gambar...............................................................................................vi BAB I Pendahuluan.......................................................................................1 1.1 Latar belakang ..............................................................................1 1.2 Tujuan ..........................................................................................2 1.3 Manfaat ........................................................................................2 BAB II Tinjauan Pustaka..............................................................................4 BAB III Kesimpulan..................................................................................... DAFTAR PUSTAKA...................................................................................

DAFTAR TABEL Tabel 1. Perubahan morfologi dan fungsi jantung yang berkaitan dengan pertambahan umur...................................................................................................5 Tabel 2. Perubahan morfologi dan fungsi vaskular yang berkaitan dengan pertambahan umur..................................................................................................6 Tabel 3. Konsekuensi fungsional akibat perubahan intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi sistem respirasi akibat proses penuaan..........................................8 Tabel 4. Perubahan fungsi ginjal akibat penuaan.................................................12 Tabel 5. Perubahan pada hepar yang terkait dengan proses penuaan...................13 Tabel 6. Konsekuensi fungsional perioperatif akibat kehilangan massa otot yang biasanya menyertai proses penuaan......................................................................14 Tabel 7. Perbedaan Anestesi Spinal dan Epidural................................................17 Tabel 8. Implikasi dari anestesi regional pada pasien geriatri..............................18 Tabel 9. Implikasi dari anestesi umum pada pasien geriatri.................................18 Tabel 10. Pertimbangan untuk sedasi pada orang tua..........................................23 Tabel 11. Eliminasi dari obat-obatan...................................................................34 Tabel 12. Perubahan Farmakologi Obat Anestesi terkait Umur..........................34

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Ilustrasi Posisi Pemasangan Face Mask..............................................24

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.1 Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari harapan hidup penduduknya. Demikian juga Indonesia sebagai suatu negara berkembang, dengan perkembangan yang cukup baik, dengan perbaikan pelayanan kesehatan baik dari segi pencegahan maupun pengobatan, makin tinggi harapan hidupnya diproyeksikan dapat mencapai lebih dari 70 tahun pada tahun 2000 yang akan datang. Pada tahun 2000 jumlah orang lanjut usia diproyeksikan sebesarn 7,28% dan pada tahun 2000 sebesar 11,34%.1 Adanya perbaikan dalam bidang anestesi dan teknik operasi telah menurunkan angka mortalitas tindakan pembedahan pada populasi umum tetapi kematian terkait dengan tindakan anestesi pada pasien yang berusia lanjut masih cukup tinggi. Pendekatan dan pengelolaan operasi dan anestesi pada pasien geriatri berbeda dan sering lebih kompleks dibandingkan pada pasien yang berusia lebih muda. Kapasitas fungsional organ berkurang seiring dengan proses penuaan, sehingga ketahanan terhadap stres menurun. Faktor risiko akibat proses penuaan bertambah akibat adanya penyakit penyerta.2 Para manula ini mempunyai kekhususan yang perlu diperhatikan dalam anestesi dan pembedahan, karena terdapat kemunduran sistem fisiologis

dan farmakologi sejalan dengan penambahan usia. Kemunduran ini mulai jelas terlihat setelah usia 40 tahun. Dalam suatu penelitian di Amerika, diduga setelah usia 70 tahun, mortalitas akibat tindakan bedah menjadi 3 kali lipat dibandingkan usia 18-40 tahun dan 2 % dari mortalitas ini disebabkan oleh anestesi.1 Tujuan dari pembuatan referat ini adalah agar memahami perubahan fisiologis pada geriatri, anestesi pada pasien geriatri, pemilihan obat dan dosis obat anestesi pada pasien geriatri. 1.2 Tujuan 1.2.1. Tujuan Umum Mengetahui dan memahami anestesi pada pasien geriatri 1.2.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui perubahan fisiologis pada geriatri 2. Mengetahui anestesi pada pasien geriatri 3. Mengetahui pemilihan obat anestesi pada pasien geriatri 4. Mengetahui dosis obat anestesi pada pasien geriatri 1.3 Manfaat 1.3.1. Bagi Rumah Sakit Pendidikan Sebagai tambahan sumber informasi tertulis di perpustakaan tentang Anestesi pada Pasien Geriatri yang berasal dari buku teks yang telah diterjemahkan. 1.3.2. Bagi Dokter Muda 1. Sebagai tambahan sumber informasi tertulis tentang Anestesi pada Pasien Geriatri yang berasal dari buku teks yang telah diterjemahkan dalam menyelesaikan referat yang berkaitan dengan topik tersebut.

2.

Sebagai tambahan panduan tentang Anestesi pada Pasien Geriatri yang berasal dari buku teks yang telah diterjemahkan dalam penerapan langsung anestesi pada pasien geriatri.

1.3.3. Bagi Mahasiswa Sebagai tambahan sumber informasi tertulis tentang Anestesi pada Pasien Geriatri yang berasal dari buku teks yang telah diterjemahkan dalam menyelesaikan tugas yang berkaitan dengan topik tersebut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia dan Proses Menua 2.1.1 Definisi Lansia Menurut BKKBN, penduduk lansia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, ditandai dengan penurunan daya tahan fisik dan rentan terhadap penyakit yang mengakibatkan kematian. Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Hal ini sesuai dengan UU No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, pada pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas.3,4 Pada lanjut usia, akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi.1 World Health Organization mengelompokkan lansia menjadi:5
a. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun b. Lansia (elderly) : 60-74 tahun c. Tua (old) : 75-90 tahun d. Sangat tua (very old) : di atas 90 tahun

2.1.2 Fisiologi Proses Menua

10

Menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang fragile (lemah) dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian secara eksponensional. Menua juga dianggap sebagai penurunan seiring waktu yang terjadi pada sebagian besar makhluk hidup yang berupa kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang terkait usia.1 Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh gerontologis ketika membicarakan proses menua: Aging (bertambahnya umur): menunjukkan efek waktu yaitu suatu proses perubahan biasanya bertahap dan spontan. Senescence (menjadi tua): hilangnya kemampuan sel untuk membelah dan berkembang. Homeostenosis: penyempitan/berkurangnya cadangan komeostasis yang terjadi selama penuaan pada setiap organ. Adapun perubahan anatomi dan fisiologi proses menua meliputi: a. Sistem Kardiovaskular Jantung Penuaan berkaitan dengan berbagai perubahan molekul, ion, biofisik dan biokimia pada jantung. Perubahan ini mempengaruhi fungsi protein, fosforilasi oksidatif mitokondria, kinetika Ca2+, coupling eksitasi-kontraksi, aktivasi miofilamen, respon kontraktil, komposisi dan regenerasi matriks, pertumbuhan dan ukuran sel, serta apoptosis.6 Tabel 1. Perubahan morfologi dan fungsi jantung yang berkaitan dengan pertambahan umur 6 Morfologi: penurunan jumlah miosit, peningkatan ukuran miosit, penurunan jumlah

11

matriks dalam jaringan ikat, peningkatan ketebalan dinding ventrikel kiri, penurunan kepadatan serat konduksi, penurunan jumlah sel sinus node. Fungsi: penurunan kontraktilitas intrinsik, pemanjangan waktu kontraksi miokard, penurunan kecepatan kontraksi miokard, peningkatan kekakuan miokard, peningkatan tekanan pengisian ventrikel, peningkatan tekanan / ukuran atrium kiri, pemanjangan waktu potensial aksi, penurunan rendah koroner cadangan, penurunan -adrenoceptor-dimediasi modulasi inotropik dan chronotropic. Dalam hal fungsi jantung, pasien geriatri mengalami penurunan respon betaadrenergik dan mengalami peningkatan insiden gangguan konduksi, bradiaritmia dan hipertensi. Curah jantung menurun sebesar 1% per tahun dan bertanggung jawab untuk penundaan absorpsi, onset aksi dan eliminasi obat. Proporsi sel pacemaker jantung menurun dari 50% pada usia anak lanjut menjadi kurang dari 10% pada usia 75 tahun, sehingga berkontribusi terhadap peningkatan insiden blok jantung derajat satu dan dua, sick sinus syndrom dan fibrilasi atrium pada usia lanjut.7,8,9 Disfungsi diastolik merupakan penyumbang utama penyakit kardiovaskular pada populasi usia lanjut dan diperparah oleh beberapa penyakit penyerta. Karena disfungsi diastolik dan penurunan penyesuaian pembuluh darah, pasien usia lanjut mengkompensasi hipovolemia dengan buruk. Demikian pula, transfusi berlebihan juga tidak dapat ditoleransi dengan baik. Dengan sedikit penurunan pada preload (perdarahan, penurunan asupan per oral) memiliki efek yang bermakna pada cardiac output.8,9,10 Pembuluh darah Perubahan fisiologis normal dari sistem vaskular meliputi aterosklerosis (yang mengarah ke kekakuan arteri, berkurangnya compliance pembuluh darah, dan pelebaran tekanan nadi), peningkatan ketebalan dinding arteri dan penurunan vasodilatasi yang dimediasi oleh 2 adrenoseptor. Impedansi vaskular meningkat, yang akhirnya meningkatkan stres dan konsumsi oksigen dinding miokard.

12

Berbagai aspek morfologi dan fungsi vaskular yang dipengaruhi oleh proses penuaan ditunjukkan pada tabel berikut.6 Tabel 2. Perubahan morfologi dan fungsi vaskular yang berkaitan dengan pertambahan umur Morfologi: peningkatan diameter dan kekakuan arteri elastika besar, peningkatan ketebalan tunika media dan intima, peningkatan varian sel-sel endotel, peningkatan aktivitas elastolitik dan kolagenolitik, perubahan proliferasi / migrasi sel vaskular, perubahan matriks dinding pembuluh darah. Fungsi: penurunan vasodilatasi yang dimediasi oleh -adrenoseptor, low-dependent, endotelium-dependent dan atrial natriuretic-peptide, penurunan produksi / efek nitrat oksida, kenaikan impedansi pembuluh darah, peningkatan kecepatan denyut nadi, relected awal pulsasi gelombang b. Sistem Respirasi Pada pasien usia lanjut, elastisitas paru-paru, pengembangan paru-paru dan dinding dada, total lung capacit /kapasitas paru total (TLC), forced vital capacity/kapasitas vital paksa (FVC), forced expiratory volume in one second /volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV 1), vital capacity / kapasitas vital (VC) dan inspiratory reserve volume/volume cadangan inspirasi (IRV) semuanya mengalami penurunan yang disertai dengan peningkatan volume residu. Meskipun functional residual capacity / kapasitas residual fungsional (FRC) tidak berubah. PaO2 juga menurun seiring dengan pertambahan usia (PaO2 = 13.3-umur/30 kPa, atau Pao2 = 100-umur/4mmHg) meskipun PaCO2 tetap konstan.11 Penurunan elastisitas paru-paru diakibatkan oleh penurunan sebesar 15% dari fungsi alveolar pada usia 70 tahun, sehingga keadaan ini tampak seperti pada emfisema. Kehilangan fungsi alveoli pada daerah lapangan paru tertentu menyebabkan peningkatan volume dead space yang meningkatkan ketidaksesuaian ventilasi-perfusi (V/Q). Hal ini meningkatkan gradien O2 alveoliarterial dan mengurangi PaO2 istirahat.8 Penurunan pengembangan dinding dada meningkatkan kerja pernapasan dan mengurangi ventilasi maksimal per menit. Kehilangan massa otot skelet
13

dinding dada lebih memperburuk proses ini. Karena penurunan recoil elastis paruparu, volume akhir respirasi meningkat sedemikian rupa sehingga melebihi kapasitas residual fungsional pada usia > 65 tahun.8 Respon pernapasan terhadap hipoksia menurun seiring dengan pertambahan usia. Selain itu, fungsi silia dan refleks batuk juga menurun. Sehingga sensasi faring, pita suara dan fungsi motorik yang diperlukan untuk menelan berkurang pada pasien usia lanjut sehingga aspirasi lebih mungkin terjadi.8 Nyeri pasca operasi, posisi telentang, golongan narkotika, serta operasi dada dan perut bagian atas dapat mengganggu fungsi paru-paru, menyebabkan atelektasis, embolisme, infeksi paru-paru serta depresi pernapasan. Aktivitas mukosiliar yang efektif diperburuk oleh kebiasaan merokok sehingga meningkatkan risiko komplikasi.11,12 Tabel 3. Konsekuensi fungsional akibat perubahan intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi sistem respirasi akibat proses penuaan

Penurunan elastisitas recoil paru-paru Peningkatan pengembangan jaringan paru-paru Penurunan kapasitas difusi oksigen Penutupan jalan napas prematur yang mengakibatkan ketidaksesuaian V/Q dan meningkatkan gradien oksigen alveolar terhadap arteri Penutupan saluran napas yang berukuran kecil dan perangkapan gas Penurunan laju aliran ekspirasi

c. Sistem Saraf Pusat Massa otak mengalami penurunan seiring pertambahan usia, kehilangan sel-sel neuron yang paling menonjol di temukan pada korteks serebral khususnya di lobus frontalis. Aliran darah otak juga menurun sekitar 10-20% yang sesuai dengan penurunan sejumlah sel-sel neuron. Sel-sel neuron mengalami penurunan dalam hal ukuran dan kehilangan beberapa kompleksitas cabang dendritik dan

14

sejumlah sinapsis. Sintesis dari beberapa neurotransmiter, seperti dopamin, dan sejumlah reseptornya mengalami penurunan. Tempat pengikatan serotonergik, adrenergik, dan asam -aminobutirat(GABA) juga berkurang. Jumlah astrosit dan sel-sel mikroglial meningkat. Degenerasi sel-sel saraf perifer menyebabkan perlambatan kecepatan konduksi dan atrofi otot rangka.7 Proses penuaan dikaitkan dengan peningkatan ambang batas untuk hampir semua modalitas sensorik termasuk sentuhan, sensasi suhu, proprioseptif, pendengaran, dan penglihatan. Perubahan dalam persepsi nyeri sangat kompleks dan kurang dapat dipahami, mekanismenya mungkin diakibatkan oleh perubahan proses nyeri sentral dan perifer. Tanpa penyakit penyerta, penurunan fungsi kognitif biasanya sederhana tetapi jenisnya bervariasi. Memori jangka pendek tampaknya yang paling terpengaruh. Aktivitas fisik dan intelektual yang kontinyu memberikan efek positif pada pelestarian fungsi kognitif. Pasien usia lanjut sering membutuhkan lebih banyak waktu untuk sembuh sepenuhnya dari efek anestesi umum terhadap sistem saraf pusat, terutama jika mereka mengalami penurunan kesadaran atau disorientasi sebelum operasi.2,13 Etiologi POCD kemungkinan multifaktorial, termasuk efek obat, nyeri, gangguan kognitif sebelumnya, hipotermia, status gizi buruk, usia lanjut, dan gangguan metabolik. Rendahnya kadar neurotransmiter tertentu seperti asetilkolin mungkin ikut berperan. Pasien usia lanjut sangat sensitif teradap obat-obatan antikolinergik kerja sentral seperti skopolamin dan atropin. Beberapa pasien mengalami POCD yang berkepanjangan atau permanen setelah tindakan operasi dan anestesi. Beberapa metode sederhana untuk mengevaluasi fungsi kognitif usia lanjut seperti tes Folstein Mini Mental atau three item recall test.2 d. Sistem Renal Fungsi ginjal menurun seiring bertambahnya usia. Proses penuaan pada ginjal mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional yang mengurangi cadangan fungsional. Hal ini menciptakan keterbatasan homeostatik pada

15

kemampuan ginjal untuk merespon dengan benar terhadap kelebihan atau pun defisit volume. Perubahan fisiologis ginjal yang menyertai proses penuaan antara lain: Penurunan massa ginjal (usia 25 sampai 85 tahun) yang dibuktikan oleh penurunan jumlah glomeruli dan nefron sebesar hampir 40%. Aliran darah ginjal menurun sekitar 10% per dekade setelah usia 50 tahun. Aliran darah ginjal berkurang akibat penurunan curah jantung. Penurunan laju filtrasi glomerulus / glomerular filteration rate ((GFR) sebesar 45% pada usia 80 tahun) mencerminkan penurunan bersihan kreatinin sebesar 0,75 ml / menit / tahun. Meskipun kadar kreatinin tidak terpengaruh karena pada pasien usia lanjut juga terjadi penurunan massa otot.9,12 Penurunan aliran darah ginjal dikaitkan dengan kondisi medis seperti hipertensi, penyakit pembuluh darah, diabetes, dan penyakit jantung yang dapat memperburuk efek dari kelainan ginjal. Penurunan aliran darah ini dihubungkan dengan penurunan respon terhadap stimulus vasodilatasi, sehingga ginjal pada usia lanjut sangat rentan terhadap efek berbahaya dari penurunan curah jantung, hipotensi, hipovolemia, dan perdarahan. Stres akibat tindakan anestesi dan pembedahan, nyeri, stimulasi simpatik, dan obat-obatan vasokonstriksi ginjal dapat berkontribusi untuk terjadinya disfungsi ginjal perioperatif. Pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, ginjal pada usia lanjut ditandai dengan peningkatan jumlah jaringan fibrosis, atrofi tubulus, dan arteriosklerosis. Adanya kelainan pembuluh darah kecil pada usia lanjut tanpa disertai penyakit ginjal atau hipertensi, menunjukkan bahwa pada usia lanjut yang sehat pun terdapat perubahan ginjal yang mungkin diakibatkan oleh penyakit vaskuler dan respon vaskuler yang berubah. Penurunan GFR yang terkait dengan proses penuaan dianggap sebagai perubahan farmakokinetik yang paling penting pada usia usia lanjut. GFR yang normalnya sekitar 125 mL / menit pada orang dewasa muda, menurun menjadi sekitar 80 mL / menit pada usia 60 tahun, dan sekitar 60 mL / menit pada usia80 tahun. Karena penurunan GFR lebih rendah dari pada aliran darah ginjal, fraksi

16

filtrasi meningkat menjadi keadaan hiperfiltrasi. Hal ini merupakan kompensasi terhadap penurunan jumlah glomeruli fungsional sampai batas tertentu. Akibatnya tekanan dalam glomerulus meningkat sehingga dapat mempercepat glomerulosklerosis. Pada usia lanjut, obat yang bergantung pada fungsi ginjal untuk pembersihan dapat terakumulasi, yang mungkin diperberat oleh penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya. Selain itu usia lanjut cenderung mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit serta gagal ginjal yang diinduksi oleh obatobatan.11,12 Penelitian menunjukkan bahwa fungsi tubulus umumnya menurun pada usia lanjut, yang membatasi sejauh mana urin dapat terkonsentrasi dalam menanggapi defisit air. Demikian pula, jumlah beban garam yang dapat diekskresikan menjadi lebih terganggu akibat penuaan. Selain itu, seseorang yang berusia lanjut tidak dapat menekan sekresi hormon antidiuretik secara maksimal ketika osmolaritas serum berkurang. Hal ini bersamaan dengan penurunan efisiensi sistem renin-angiotensin, menunjukkan bahwa kegagalan pasien usia lanjut untuk mempertahankan natrium secara efektif dalam kondisi kontraksi volume plasma tidak semata-mata disebabkan oleh penurunan GFR. Kapasitas konsentrasi merupakan indikator tambahan yang sensitif untuk fungsi ginjal. Ketika jumlah cairan dibatasi, pasien yang berusia lanjut menunjukkan penurunan kemampuan untuk memekatkan urinnya. Aktivitas sistem renin-angiotensin menurun seiring dengan pertambahan dengan usia, dan pada usia diatas 40 tahun terjadi penurunan aktivitas renin aldosteron plasma, serta penurunan kemampuan ginjal untuk mempertahankan jumlah garam dengan pembatasan asupan. Pada usia lanjut, ginjal dapat mempertahankan keseimbangan asam-basa jika berfungsi di bawah kondisi dasar. Namun dengan adanya gangguan fungsi tubular ginjal untuk mengekskresikan sejumlah asam dibandingkan dengan pasien

17

yang lebih muda berkontribusi terhadap insiden yang lebih tinggi untuk terjadinya asidosis metabolik pada usia lanjut. Pada pasien bedah yang berusia lanjut, gagal ginjal akut bertanggung jawab untuk seperlima dari semua kematian operasi. Penyebab gagal ginjal yang mengarah ke dialisis belum dipahami secara jelas. Namun, sebagian besar kasus disebabkan nekrosis tubular akut. Respon ginjal terhadap tindakan pembedahan dan anestesi tampaknya tidak mengalami perubahan yang signifikan dengan pertambahan usia. Telah diketahui bahwa GFR secara langsung mengalami penurunan pada tindakan anestesi umum, namun, secara klinis hal ini tidak terlalu signifikan. Penurunan curah jantung dan tekanan darah, sering disebabkan oleh defisit intravaskular dan hipotermia pada saat operasi, hal ini akan menurunkan aliran darah ginjal.14 Penilaian yang tepat dan mempertahankan volume intravaskular memiliki dampak paling besar pada fungsi ginjal pada periode perioperatif. Pengenalan dan penanganan hipovolemia berpotensi untuk mengurangi kejadian disfungsi organ, morbiditas dan mortalitas pasca operasi. Pasien usia lanjut yang berisiko lebih tinggi terkena gagal ginjal akut karena kurangnya cadangan fungsional ginjal. Insiden gagal ginjal pasca operasi dapat berkisar antara 0,1% sampai 50% setelah operasi berisiko tinggi seperti trauma, intervensi rongga dada, atau kardiovaskular yang sangat tergantung pada lokasi operasi.14 Tabel 4. Perubahan fungsi ginjal akibat penuaan9

Penurunan jumlah nefron korteks Penurunan massa ginjal Penurunan laju filtrasi glomerulus (kreatinin serum tidak berubah karena penurunan massa otot rangka) Penurunan aliran darah ginjal

e. Sistem Hepatobilier7

18

Hepar juga dapat dipengaruhi oleh proses penuaan. Karena beberapa obat anestesi dan nyeri seperti opioid dan tranquilizer disaring dari plasma oleh hepar, sehingga durasi efek obat tersebut dapat memanjang pada pasien geriatri. Obat yang tergantung pada hepatosit seperti warfarin, dapat menghasilkan efek berlebihan karena terjadi peningkatan sensitivitas sel. Dilaporkan peningkatan insiden kolelitiasis pada pasien yang berusia di atas 90 tahun. Perubahan makroskopis hepar akibat proses penuaan diantaranya gambaran "atrofi cokelat." Perubahan warna ini dikaitkan dengan akumulasi pigmen lipofusin pada hepatosit, tetapi tidak jelas apakah perubahan morfologi ini berhubungan dengan perubahan dalam fungsi hepar. Aliran darah hepar menurun seiring dengan pertambahan usia. Sebagian besar penurunan ini dikaitkan dengan penurunan 35% massa hepar. Penurunan aliran darah hepar mungkin sedikit lebih besar daripada penurunan massa hepar, yang mengakibatkan penurunan aliran darah sebesar 10% per unit massa hepar. Namun pada usia lanjut, ukuran hepar yang cukup besar memberikan cadangan fungsional yang besar pula sehingga fungsi pemeliharaan relatif baik. Tabel 5. Perubahan pada hepar yang terkait dengan proses penuaan

Penurunan massa dan aliran darah hepar (penurunan metabolisme first pass) Fungsi preservasi hepatoseluler Kemungkinan penurunan produksi albumin (yang berkaitan dengan nutrisi) Peningkatan konsentrasi asam -1-glikoprotein Kemungkinan penurunan produksi kolinesterase plasma Terdapat sedikit perubahan mikroskopis hepar akibat proses penuaan.

Diantaranya peningkatan volume hepatosit yang mungkin akibat pembengkakan intraseluler. Terdapat pula beberapa perubahan karakteristik organel sel, misalnya penurunan jumlah dan kepadatan mitokondria, penurunan jumlah reduksi retikulum endoplasma kasar dan halus. Penurunan jumlah retikulum endoplasma

19

kasar mungkin merupakan penyebab dari penurunan kemampuan untuk mensintesis protein. Namun, penurunan jumlah retikulum endoplasma halus mungkin berhubungan dengan penurunan protein mikrosom.

f. Sistem Endokrin dan Metabolik Terdapat penurunan konsumsi oksigen basal dan maksimal akibat penuaan. Pada usia sekitar 60 tahun, kebanyakan pria dan wanita mulai mengalami penurunan berat badan. Pria dan wanita yang berusia lanjut rata-rata memiliki berat yang lebih rendah dari pada orang yang berusia lebih muda. Penurunan produksi panas, peningkatkan kehilangan panas, dan pengaturan suhu pada hipotalamus mungkin diatur pada tingkat yang lebih rendah. Peningkatan resistensi insulin menyebabkan penurunan secara progresif dalam hal kemampuan untuk menghadapi beban glukosa. Insiden diabetes meningkat pada orang tua sampai dengan 25% pada pasien yang berusia lebih dari 80 tahun. Penderita diabetes sering memiliki gangguan kardiovaskular, ginjal, neurologis dan visual, sehingga memerlukan kontrol kadar glukosa darah selama periode perioperatif.8 Pada pasien usia lanjut yang sehat, respon neuroendokrin terhadap stres tampaknya tidak berubah atau sedikit menurun. Proses penuaan berhubungan dengan penurunan respon terhadap obat-obatan adrenergik ("blok endogen"). Jumlah norepinefrin yang beredar dilaporkan meningkat pada pasien usia lanjut.2 g. Sistem Muskulosketal Massa otot berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Gambaran mikroskopis menunjukkan penebalan neuromuscular junction. Tampak pula penyebaran extrajunctional dari beberapa reseptor asetilkolin. Dengan etiologi yang belum diketahui, sebagian besar kehilangan protein tubuh yang berkaitan dengan penuaan dikaitkan dengan penurunan 20% dari massa otot rangka yang

20

dikenal dengan istilah sarcopenia. Hal ini terjadi bahkan pada orang dewasa sehat dan berhubungan dengan hilangnya kekuatan. Tabel 6. Konsekuensi fungsional perioperatif akibat kehilangan massa otot yang biasanya menyertai proses penuaan Gangguan mobilisasi dan ambulasi pasca operasi Mengurangi efektifitas batuk Mengurangi thermogenesis dengan menggigil Merubah disposisi obat Mengurangi cadangan fungsional neuromuskuler Waktu pemulihan dan perawatan yang memanjang Pada dekade kedua, seseorang memiliki massa otot 60% dari massa tubuh, namun pada usia 70 tahun menurun hingga kurang dari 40%. Meskipun penurunan jaringan otot dimulai sekitar usia 50 tahun, namun hal inimeningkat setelah usia 60 tahun. Penurunan ini sebagian dapat dikembalikan dengan latihan beban. Meskipun demikian, tidak terdapat perbedaan dalam sensitivitas terhadap pelumpuh otot pada usia lanjut. Farmakokinetik obat-obatan tersebut ditandai dengan penurunan eliminasi. Pemberian dosis awal obat tersebut mungkin tidak harus dikurangi, tetapi pemberian dosis total umumnya dikurangi. Namun, karena terdapat penurunan eliminasi, maka efek obat-obatn ini harus hati-hati dipantau menggunakan komponen fungsi neuromuskuler seperti train-of-four tests. 2 Kulit mengalami atrofi dan rentan terhadap trauma akibat plester perekat, bantalan elektrokauter, dan elektroda elektrokardiografi. Dinding vena sering menjadi rapuh dan mudah ruptur pada saat infus intravena. Atritis sendi dapat mengganggu pengaturan posisi pasien (misalnya, litotomi) atau anestesi regional (misalnya, blok subaraknoid). Penyakit degeneratif servikal dapat membatasi ekstensi leher yang berpotensi membuat intubasi menjadi sulit.2 2.2 Anestesi pada Pasien Geriatri

21

Adanya perubahan pada berbagai sistem organ tubuh berkaitan dengan bertambahnya usia mengakibatkan perbedaan perlakuan tindakan anestesia pada pasien geriatri. Hal ini berkaitan dengan proses penuaan yang menimbulkan perubahan sistem organ yang mengakibatkan meningkatnya resiko anestesi berkaitan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas.2 Risiko tindakan anestesia dan pembedahan pasien usia lanjut akan meningkat karena adanya kelainan degeneratif, penyakit lain yang diderita, pengobatan sendiri atau kebiasaan-kebiasaan yang menahun. Klasifikasi ASA pun meningkat seiring dengan meningkatnya usia berkaitan dengan meningkatnya komplikasi dan resiko yang dapat terjadi. 2.2.1 Tipe Anestesi Anestesi Umum Adalah suatu keadaan kehilangan kesadaran disertai hilangnya sensasi rasa sakit di seluruh tubuh dan relaksasi otot pada derajat tertentu karena pemberian obat anestesi. Anestesi regional Adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara pada impuls syaraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar. Pembagian anestesi regional: 1. Blok sentral (blok neuroaksial), meliputi blok spinal, epidural dan kaudal
-

Anestesi Spinal : pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.

22

Anestesi Epidural : Blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang epidural. Ruang ini berada diantara ligamentum flavum dan duramater. Kedalaman ruang ini rata-rata 5 mm dan dibagian posterior kedalaman maksimal pada daerah lumbal.

2. Blok perifer (blok saraf) misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok lapangan, blok saraf, dan regional intravena

Tabel 7. Perbedaan Anestesi Spinal dan Epidural

2.2.2

Pemilihan Tipe Anestesi pada Pasien Geriatri Regional anestesi lebih menguntungkan pada opersai hip arthroplasty

(mengurangi perdarahan intraoperasi dan mengurangi insidens deep vein thrombosis) dan TUR-P (transurethral resection prostatectomy).2 Dosis yang dibutuhkan untuk spinal, epidural, dan blok saraf perifer harus dikurangi karena perubahan-perubahan yang terkait usia berupa penurunan jumlah axon di saraf perifer, deteriorasi dari selaput myelin, penyempitan intervertebral space (reduce transforminal escape and facilitates cephalad spread in the epidural space), dan berkurangnya panjang vertebra columnis (mempengaruhi dosis anestesi spinal).2

23

Tabel 8. Implikasi dari anestesi regional pada pasien geriatri

Tabel 9. Implikasi dari anestesi umum pada pasien geriatri

2.2.2.1 Evaluasi Praoperatif, Manajemen Perioperatif, Intraoperatif, dan Pasca Operatif a. Evaluasi Praoperatif8 Penilaian pra operasi berperan penting dalam mengurangi komplikasi pasca operasi. Pemahaman tentang status fisik pasien akan memberikan panduan terhadap penilaian jenis penyakit komorbid dan tingkat keparahannya, jenis

24

monitoring yang diperlukan, optimasi pra operasi dan prediksi akan timbulnya komplikasi pasca operasi. Pemahaman riwayat penyakit yang mendetail, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penilaian risiko tindakan pembedahan harus difokuskan selama evaluasi pra operasi. Informed Consent Pasien, anggota keluarga atau wali pasien harus diberitahu tentang intervensi bedah dan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. Kapasitas putusan merupakan prasyarat untuk suatu informed consent yang sesuai dengan hukum dan moral. Pasien usia lanjut mungkin tidak sepenuhnya memahami intervensi yang direncanakan, sehingga kerabat terdekat harus terlibat untuk memperoleh informed consent yang terperinci. Status mental dan kognitif pasien harus dipertimbangkan dan didokumentasikan. Riwayat Penyakit dan Status Gizi Riwayat kondisi medis lengkap dan operasi sebelumnya harus dicatat karena pasien usia lanjut biasanya sedang menjalani banyak terapi obat-obatan. Defisiensi nutrisi yang sering dialami oleh pada usia lanjut harus dinilai secara akurat. Hitung darah lengkap yang menunjukkan anemia, kadar albumin serum yang kurang dari 3.2g/dl dan kolesterol kurang dari 160mg/dl telah terbukti sebagai penanda risiko outcome pasca operasi yang merugikan. Indeks massa tubuh yang kurang dari 20 kg/m2 pada pasien usia lanjut mungkin mengarahkan peningkatan morbiditas karena penyembuhan luka yang tertunda, sehingga suplemen gizi pra operatif harus dipertimbangkan. Pemeriksaan fisik Meskipun pasien usia lanjut memiliki riwayat medis yang panjang, mereka biasanya tidak memberikan rincian penyakit mereka, ini merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari akibat usia tua. Pemeriksaan fisik harus mencakup

25

informasi yang mendetail tentang status hidrasi, gizi, tekanan darah, nadi dan kondisi sistemik. Penilaian status mental pra operasi sangat penting karena biasanya mencerminkan status kognitif pasca operasi. Demensia pra operasi merupakan prediktor yang penting dari outcome bedah yang buruk. Pemeriksaan Penunjang Pra operasi Pasien usia lanjut harus menjalani berbagai tes yang akan membantu menentukan parameter kesehatan pasien, bahkan pada mereka yang sehat dan termasuk diantaranya:
-

Hitung darah lengkap: Hb, jumlah limfosit Urem, kreatinin dan elektrolit akan memberikan informasi tentang fungsi ginjal karena akan mengalami perubahan secara bertahap dengan pertambahan usia. Creatinin clearance merupakan indeks penting.

Gula darah dan kolesterol harus diperiksa karena tingginya insiden diabetes mellitus dan ateroskleorsis.

Kadar albumin dan fungsi pembekuan darah. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan pada semua pasien yang berusia di atas 60 tahun, terlepas dari ada riwayat penyakit jantung atau tidak.

Rontgen dada dan tes fungsi paru pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis.

Pemeriksaan jantung.

26

b. Manajemen perioperatif Penyakit yang umumnya ditemukan pada usia lanjut memiliki dampak yang signifikan terhadap tindakan anestesi dan memerlukan perawatan khusus, sehingga penting untuk menentukan status fisik pasien dan memperkirakan cadangan fisiologis dalam evaluasi preanestesi. Jika kondisi dapat dioptimalkan sebelum operasi, maka operasi dapat dilakukan tanpa penundaan. Penundaan operasi yang lama dapat meningkatkan morbiditas. Diabetes mellitus dan penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang paling sering dialami oleh pasien geriatri. Komplikasi paru adalah salah satu penyebab utama morbiditas pasca bedah pada pasien usia lanjut. Untuk pasien ini diperlukan optimalisasi paru-paru. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium dan diagnostik sangat penting. Masalah yang yang harus selalu dipikirkan pada pasien geriatri adalah kemungkinan terjadinya depresi, malnutrisi, imobilitas dan dehidrasi. Sehingga penting untuk menentukan status kognitif seorang pasien usia lanjut. Defisit kognitif berkaitan dengan outcome yang buruk dan morbiditas perioperatif yang lebih tinggi. Namun masih kontroversial apakah anestesi umum dapat mempercepat perkembangan demensia senilis.8,10 c. Manajemen Intraoperatif Manajemen intraoperatif diarahkan untuk membatasi stres akibat pembedahan dan menghindari kejadian yang lebih memperburuk cadangan fisiologis pasien. Tidak ada teknik universal khusus yang disetujui untuk pasien usia lanjut tetapi beberapa intervensi dapat meningkatkan outcome.7 1. Induksi Anestesi Pada pasien usia lanjut, preoksigenasi agresif yang setara untuk anestesi inhalasi menurun secara linear dengan pertambahan usia, oleh karena itu dosis obat yang mempengaruhi SSP perlu dikurangi untuk mengantisipasi efek sinergi obat. Penggunaan bersama propofol, midazolam, opioid dapat meningkatkan kedalaman anestesi. Hipotensi adalah kejadian yang umum didapatkan sehingga
27

dosis obat-obatan ini harus dititrasi. Dipilih obat yang bekerja singkat. Stimulasi intubasi trakea tidak memberikan efek hipotensi pada pasien usia lanjut.7 Efek puncak obat mengalami penundaan, diantaranya: midazolam 5 menit, fentanil 6-8 menit, dan propofol 10 menit. Untuk meminimalkan kedalaman dan durasi hipotensi, dosis propofol tanpa suplementasi opioid disesuaikan dengan cara dikurangi 1,0-1,5 mg / kg lean body weight (LBW) dan 0.5-1.0mg/kg jika diberikan opioid secara bersamaan khususnya jika disertai juga dengan pemberian ketamin dosis rendah dan midazolam.10 Penggunaan profilaksis aspirasi dan rapid sequence intubation (RSI) harus dilakukan secara rutin, khususnya pada pasien dengan diabetes mellitus atau penyakit refluks dan prosedur darurat. Antisipasi pemanjangan durasi obat neuromuskuler yang bersifat organ based klirens. Seiring pertambahan usia, obatobatan intermediate acting bekerja lebih lama (kecuali atrakurium dan cisatrakurium), dapat menurunkan suhu tubuh, menyebabkan diabetes dan obesitas (jika dosisnya dihitung berdasarkan berat badan total) dan peningkatan blok neuromuskuler. Dosis antikolinesterase inhibitor juga harus dikurangi dan pasien dipantau dengan ketat di unit perawatan pasca-anestesi (PACU) untuk tanda-tanda rekurarisasi.7 Obat-obatan non-steroid anti-inflammatory drug (NSAID) untuk

menghilangkan rasa sakit pasca operasi harus diberikan dengan dosis dikurangi untuk menghindari komplikasi seperti gastritis, gagal ginjal akut. NSAID harus dihindari pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi ginjal preoperatif (peningkatan kadar urea / kreatinin) atau jika pasien mengalami hipovolemia. 2. Sedasi dan Monitoring Populasi usia lanjut adalah kelompok yang heterogen, dan kronologis pertambahan usia tidak selalu paralel dengan kondisi fisiologis. Pasien yang berusia lebih tua menunjukkan sejumlah komorbiditas, riwayat pengobatan yang banyak, dan kurangnya cadangan fisiologis. Pasien usia lanjut lebih sensitif
28

terhadap efek sedatif dan depresan dari obat-obatan yang digunakan untuk sedasi dan juga mengalami peningkatan risiko untuk efek samping aditif ika diberikan obat-obatan kombinasi. Jika episode singkat dari hipotensi atau desaturasi mungkin tidak bermakna pada pasien muda, episode yang sama pada pasien usia lanjut dapat mengakibatkan konsekuensi serius, seperti aritmia dan iskemia jantung.14 Pemantauan klinis pada pasien usia lanjut mungkin lebih dituntut dibandingkan pasien yang lebih muda. Selama prosedur, individu yang bertugas harus dapat mengawasi pasien. Individu ini tidaklah melakukan prosedur melainkan harus terus memantau respon, kerjasama, dan tanda-tanda vital pasien. Karena pasien yang tersedasi harus responsif setiap saat, maka komunikasi dengan pasien adalah salah satu metode pemantauan yang paling berharga. Tabel 10.Pertimbangan untuk sedasi pada orang tua. 1. Adanya beberapa komorbiditas: penyakit koroner, aritmia 2. Riwayat cedera serebrovaskular sebelumnya 3. Kesulitan memposisikan pasien 4. Nyeri kronis terutama bagian tulang belakang dan spinal 5. Prevalensi hipoksia kronis dan kebutuhan oksigen di rumah 6. Gangguan fungsi pendengaran dan visual yang mengganggu komunikasi 7. Demensia dan disfungsi kognitif

2.Ventilasi Face Mask pada Pasien Geriatri Ventilasi face mask adalah komponen esensial dalam management airway selama pembiusan. Ventilasi masker sulit (Difficult Mask ventilation/DMV) dapat menyebabkan situasi komplek dan berpotensi menghasilkan outcome yang serius dan buruk. Pathogenesis penyebab DMV belum sepenuhnya dimengerti.

29

Obstruksi jalan nafas atas dan kebocoran udara dapat menyebabkan segel masker inadekuat dan berkontribusi terhadap masalah ini.15 Pasien geriatri cenderung mempunyai gigi ompong dan membutuhkan general anestesi. Pada pasien ompong, kebocoran udara timbul karena berkurangnya kontak antara pipi dan masker. Sehingga pada pasien ompong dapat mengalami kesulitan untuk melakukan ventilasi face mask karena segel yang tidak adekuat pada masker akan menyebabkan kebocoran udara.15

Gambar 1. Ilustrasi Posisi Pemasangan Face Mask Ventilasi face mask standar dilakukan dengan menempatkan ibu jari dan jari telunjuk pada bagian masker dimana jari lainnya menekan mandibula kea rah gigi atas dan mengekstensikan kepala. Ketika kebocoran terjadi, kedudukan masker dipindahkan ke bibir bawah dengan cara reposisi bagian kaudal masker ke atas bibir bawah sambil mempertahankan posisi ekstensi kepala. Ventilasi masker kadang tidak efektif dan pada beberapa kasus hampir tidak mungkin dilakukan pada pasien ompong karena kurangnya facial support. Kurangnya support menyebabkan masker eksternal yang inadekuat dan kebocoran udara yang signifikan. Langeron et al menyarankan untuk tidak melepas gigi palsu sebelum induksi anestesi, namun demikian hal ini berbahaya karena gigi palsu

30

dapat tertelan ataupun teraspirasi. Tekanan positif nasal dapat dilakukan pada pasien ompong karena kontak masker hanya pada daerah maksila. Hal lain yang dapat dilakukan adalah reposisi kaudal masker ke bibir bawah. Hal ini lebih mudah dilakukan karena tidak membutuhkan peralatan tambahan dan secara potensial efektif mengurangi kebocoran udara. Karena pada prakteknya sulit dilakukan dengan satu tangan, sehingga diputuskan untuk menggunakan teknik dua tangan untuk mencapai ventilasi adekuat. Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini dipilih pengukuran obyektif dari efisiensi ventilasi. Perbedaan setidaknya 33 % antara volume tidal ekspirasi dan inspirasi menunjukkan ventilasi yang inadekuat.15 4. Hipotermia Pembedahan umumnya dapat menyebabkan hipotermia karena faktor lingkungan dan tindakan anestesi yang menginduksi inhibisi mekanisme termoregulator normal. Pasien usia lanjut lebih beresiko untuk mengalami hipotermia karena anestesi yang mengubah mekanisme termoregulator dan tingkat metabolisme basal yang rendah. Hipotermia intraoperatif dapat menjadi faktor risiko jantung independen untuk penyakit jantung pasca operasi pada usia lanjut. Oleh karena itu, pada pasien usia lanjut harus dilakukan upaya untuk mencegah kehilangan panas. Langkah-langkah untuk mencegah hipotermia adalah: pembersihan pasca operasi dengan cairan yang hangat, menggunakan sistem pemanasan, menghangatkan cairan IV, menjaga suhu lingkungan tetap hangat, menutupi pasien dengan selimut sebelum dan setelah operasi.2 5. Manajemen cairan Mengelola volume intravaskular yang tepat sangat penting dengan menghindari kelebihan dan kekurangan pemberian cairan. Karena adanya peningkatan afterload, penurunan respon inotropik atau chronotoropic serta gangguan respon vasokonstriksi menyebabkan pasien usia lanjut sangat tergantung pada preload yang memadai. Pasien usia lanjut juga rentan terhadap

31

dehidrasi karena penyakit, penggunaan diuretik, puasa pra operasi dan penurunan respon haus. Asupan cairan oral hingga 2 - 3 jam sebelum operasi, dan terapi pemeliharaan cairan yang cukup serta menghindari terapi diuretik sebelum operasi dapat menghindarkan kejadian hipotensi mendadak segera setelah induksi anestesia. Hidrasi yang berlebihan juga harus dihindari pada usia lanjut dengan gangguan jantung karena mereka lebih rentan untuk terjadinya kegagalan sistolik, perfusi organ yang jelek dan penurunan GFR.7 Penting pula untuk melakukan pemantauan kateter vena sentralis atau arteri pulmonalis intraoperatif untuk mengukur volume darah sentral khusus pada pasien usia lanjut yang cenderung memiliki penurunan volume darah dalam jumlah besar atau pergeseran cairan. Penting untuk menaga tekanan vena sentral pada kisaran 8 - 10 mmHg dan tekanan arteri pulmonalis14 - 18 mm Hg untuk mempertahankan output jantung yang memadai.7 d. Manajemen pasca operasi 1. Manajemen jalan napas Perubahan fungsi faring, refleks batuk, dapat diperburuk oleh efek dari anestesi, instrumentasi faring dan operasi yang dapat meningkatkan kemungkinan aspirasi pascaoperasi pada usia lanjut. Pembalikan efek blok neuromuskuler, penggunaan pipa nasogastrik, mengembalikan refleks faring dan laring, motilitas gastrointestinal dan ambulasi dini dengan konversi intake oral setelah operasi dapat meminimalkan insiden aspirasi pasca operasi.7 2. Terapi oksigen Dianjurkan untuk memberikan terapi oksigen pasca-operasi untuk semua pasien usia lanjut, terutama setelah pembedahan abdomen atau dada, penyakit kardiovaskuler atau pernapasan, kondisi kehilangan darah yang signifikan, atau bila telah diberikan analgetik opioid. Nasal kanul sering ditoleransi lebih baik daripada masker.10

32

3. Perawatan intensif Jika pasien sangat tergantung pada perawatan tingkat tinggi atau tersedia fasilitas perawatan intensif, hal ini dapat meningkatkan outcome jangka panjang dari pasien usia lanjut, khususnya mereka yang menjalani operasi darurat. 4. Manajemen Nyeri Manajemen nyeri akut sangat penting pada pasien bedah berusia lanjut, dimana nyeri pasca operasi dapat menghasilkan efek yang berbahaya. Kontrol nyeri yang kurang optimal dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut karena komorbiditas terkait seperti penyakit jantung iskemik, penurunan cadangan ventilasi, perubahan metabolisme, efek dan ekskresi.7 Pertimbangkan pemberian analgetik sederhana seperti parasetamol, dan NSAID dengan hati-hati. Titrasi morfin IV menggunakan protokol usia lanjut (> 70 tahun) yaitu 2-3 mg morfin IV setiap 5 menit untuk skor analog visual lebih dari 30 dilaporkan dapat memberikan kontrol nyeri yang memadai. Opioid kerja singkat seperti fentanil atau sufentanil dan strategi manajemen nyeri intensif dengan bolus intermiten atau patient controlled analgesia (PCA) secara parenteral atau dengan blok neuraxial dilaporkan paling bermanfaat untuk pasien usia lanjut beresiko tinggi atau pasien usia lanjut dengan risiko rendah yang menjalani operasi berisiko tinggi dengan mengurangi respon stres terhadap pembedahan dan ambulasi dini.7,10 5. Pertimbangan lainnya Fisioterapi dini dan kontinyu serta mobilisasi dapat membantu pemulihan pasca-operasi dan dapat mengurangi lama perawatan di rumah sakit secara signifikan. Pertimbangkan profilaksis deep vein thrombosis (DVT) dimana pasien usia lanjut adalah kelompok berisiko tinggi, terutama mereka dengan fraktur kolum femoris atau mereka yang tirah baring selama beberapa hari. Cari kemungkinan munculnya komplikasi pascaoperasi. Komplikasi yang paling sering

33

termasuk infeksi (terutama luka, dada, saluran kemih), DVT dan emboli paru. Dapat pula timbul delirium dan mungkin disebabkan oleh sepsis, dehidrasi, overhidrasi, ureum dan elektrolit yang abnormal, hipoksia, sindrom putus alkohol / obat atau gangguan kognitif / demensia.10 2.2.2.2 Farmakologi Klinis Obat-Obatan Anestesi pada Pasien Geriatri Secara umum berbagai obat-obatan dan teknik anestesi yang sesuai digunakan untuk orang yang berusia lebih muda dan dewasa juga dapat digunakan pada pasien usia lanjut dengan keterbatasan fisiologi mereka. Mungkin diperlukan modifikasi teknik dan khususnya dosis obat.11 Tidak ada regimen anestesi yang "ideal" untuk pasien usia lanjut. Mayoritas obat-obatan anestesi yang lebih poten pada pasien usia lanjut dengan pengecualian atropin (dosis harus ditingkatkan untuk menghasilkan respon heart rate yang diinginkan).8 Proses penuaan dapat menyebabkan perubahan farmakokinetik (hubungan antara dosis obat dan konsentrasi plasma) dan farmakodinamik (hubungan antara konsentrasi plasma dan efek klinis). Namun perubahan yang berhubungan dengan penyakit dan variasi antar individu yang luas bahkan pada populasi yang sama menyebabkan perubahan ini tidak selalu konsisten.2 Penurunan progresif massa otot dan peningkatan lemak tubuh (terutama pada wanita usia lanjut) menyebabkan penurunan total jumlah cair tubuh. Hal ini menyebabkan konsentrasi plasma obat-obatan yang larut air dapat lebih tinggi, sebaliknya konsentrasi plasma obat-obatan larut lemak dapat dapat lebih renah. Perubahan dalam volume distribusi obat dapat mempengaruhi waktu paruh eliminasi obat. Jika volume distribusi obat ditingkatkan, waktu paruhnya akan diperpanjang kecuali tingkat klirens juga meningkat. Namun karena fungsi ginjal dan hepar juga berkurang seiring pertambahan usia, penurunan tingkat klirens memperpanjang durasi kerja beberapa obat. Studi menunjukkan bahwa pasien usia lanjut yang sehat, aktif hanya mengalami sedikit sedikit atau tidak ada perubahan dalam volume plasma.2

34

Distribusi dan eliminasi obat juga dipengaruhi oleh perubahan binding protein plasma. Albumin, yang cenderung untuk mengikat obat-obatan yang bersifat asam (misalnya, barbiturat, benzodiazepin, agonis opioid), biasanya menurun sesuai pertambahan usia. Asam-1 glikoprotein, yang mengikat obat dasar (misalnya, anestesi lokal) mengalami peningkatan. Obat-obatan yang terikat dengan protein tidak dapat berinteraksi dengan reseptor organ dan tidak dapat dimetabolisme atau diekskresi.2 Perubahan farmakodinamik utama yang terkait dengan penuaan adalah penurunan kebutuhan obat-obatan anestesi, ditunjukkan oleh MAC yang lebih rendah. Titrasi obat-obatan anestesi secara hati-hati dapat membantu untuk menghindari efek samping dan durasi kerja yang berkepanjangan. Obat-obatan kerja pendek seperti propofol, remifentanil, desflurane, dan suksinilkolin mungkin sangat berguna pada pasien usia lanjut. Obat yang tidak terlalu tergantung pada fungsi hepar, ginjal atau aliran darah seperti mivakurium, atrakurium, dan cisatrakurium juga dapat bermanfaat.2 Mekanisme farmakokinetik mencakup proses absorpsi obat, distribusi ke jaringan, metabolisme, dan eksresi obat. Sedangkan mekanisme farmakodinamik adalah perubahan fisiologik yang dihasilkan oleh kadar obat tertentu pada jaringan. Waktu paruh (T) dari obat-obat intravena biasanya memanjang pada pasien geriatri, mencerminkan peningkatan volume distribusi (obat-obat yang larut lipid disimpan dalam total volume lemak yang juga meningkat pada passien geriatri) dan penurunan fungsi klirens ginjal dan hepar yang menyertai proses penuaan. Karena alasan ini terjadi efek kumulatif obat-obatan anestesi pada pasien-pasien geriatri, menyebabkan memanjangnya waktu pulih dari obat-obat anestesia. a. Anestesi Intravena 1. Propofol. Dosis induksi propofol harus dikurangi sampai setengah dari dosis yang digunakan untuk passien dewasa muda usia 20 tahun, karena pada pasien geriatri dibutuhnya hanya 50% kadar propofol
35

dalam plasma untuk mendapatkan efek anestesi yang sama pada pasien dewasa muda. Propofol merupakan induksi anestesi yang ideal pada pasien geriatri karena eliminasinya yang cepat, tetapi perlu diwaspadai karena kejadian apnue dan hipotensi pada pasien geriatri lebih sering daripada pasien dewasa muda. 2. Barbiturat. Dosis thiopental sebagai induksi anestesi harus dikurangi pada pasien geriatri. Pengurangan dosis ini dikarenakan penurunan klirens thiopental dari kompartemen sentral ke kompartemen perifer. Penurunan dosis ini menghasilkan konsentrasi dalam plasma yang sama dengan pemberian dosis yang lebih besar pada pasien yang lebih muda. Onset kerja thiopental yang memanjang merupakan cerminan peningkatan volume distribusi dan pemanjangan waktu paruh (T).2 3. Benzodiazepin. Waktu paruh (T) diazepam dalam jam hampir sama dengan usia pasien dalam tahun, sebagai tanda peningkatan volume distribusi. Peningkatan volume distribusi dizepam karena obat ini larut dalam lemak dan volume lemak pada pasien geriatri yang meningkat. Pada pasien geriatri juga tampak peningkatan sensitifitas terhadap midazolam.2 4. Opioid. Waktu paruh (T) opioids meningkat mencerminkan peningkatan volume distribusinya. Waktu paruh diazepam dapat mencapai 36 72 jam. Sedangkat untuk midazolam kebutuhan dosisnya menurun 50% dengan waktu paruh 2,5 4 jam. Pengurangan dosis opioids ini juga dikarenakan peningkatan sensitifitas otak terhadap efek opioids. 5. Etomidat. Klirens plasma menurun sebagai akibat dari penurunan aliran darah ke hepar dan penurunan metabolisme. Tidak terdapat perubahan pada efek farmakodinamik, tetapi penurunan laju klirens antar kompartemen menyebabkan peningkatan konsentasi etomidat

36

dalam plasma sehingga dibutuhkan pengurangan dosis pemberian etomidat untuk kebutuhan anestesi.2 6. Narkotik. Terjadi peningkatan sensitifitas otak terhadap efek fentanyl, alfentanil, sefentanil, dan remifentanil. Dosis yang dibutuhkan untuk pasien geriatri harus dikurangi 50% dari dosis untuk pasien dewasa muda untuk mendapatkan gambaran efek eeg end point yang sama.

a.

Anestesi Inhalasi Konsentrasi alveolar minimum (Minimum Alveolar Concentration = MAC) dari anestesi inhalasi adalah konsentrasi alveolar yang mencegah gerakan pada 50% pasien dalam merespon stimulus standar (ex. insisi bedah). MAC merupakan pengukuran yang berguna karena merupakan cermin tekanan parsial otak, memungkinkan perbandingan potensi antara agen, dan menyediakan standar untuk evaluasi eksperimental. Meskipun demikian, harus dianggap sebagai rata-rata statistik dengan nilai terbatas dalam mengelola pasien individu, terutama selama masa cepat perubahan konsentrasi alveolar (ex. induksi).7 MAC untuk agen inhalasi akan berkurang hingga 4% per dekade pada usia di atas 40 tahun. Sebagai contoh, MAC halotan pada orang 80 tahun yang diharapkan menjadi 0,65 (0,77 - [0,77 x 4% x 4]). Onset kerja akan menjadi lebih cepat jika cardiac output ditekan, padahal onset tersebut akan tertunda jika ada ventilasi yang signifikan / abnormalitas perfusi. Efek depresan miokardial dari anestesi volatile meningkat pada pasien geriatri, sedangkan kecenderungan takikardi dari isoflurane dan desflurane akan menurun. Dengan demikian, berbeda dengan dampaknya pada pasien yang lebih muda, isoflurane mengurangi output jantung dan denyut jantung pada pasien geriatri. Pemulihan dari anestesi dengan anestesi volatile mungkin berkepanjangan karena adanya peningkatan volume distribusi (peningkatan

37

lemak tubuh), penurunan fungsi hepar (penurunan metabolisme halotan), dan penurunan pertukaran gas paru. Eliminasi cepat desflurane dapat menjadikannya anestesi inhalasi pilihan bagi pasien geriatri.7

b.

Muscle Relaxants 1. Selain deteriorasi dari neuromuskular junction dan saraf karena usia, tidak ada perubahan terkait usia pada konsentrasi plasma (mekanisme farmakodinamik) yang menyebabkan adanya efek spesifik musle relaxants pada pasien geriatri jika dibandingkan dengan pasien dewasa muda. 2. Klirens pancuronium atau metakurin (melalui ginjal) dan vercuronium (melalui hepar) dapat memanjang (mekanisme farmakokinetik) pada pasien geriatri, sehingga diperlukan untuk penyesuaian interval pemberian dosis anestesi untuk mencegah terjadinya efek kumulatif. 3. Klirens atracurium tidak dipengaruhi oleh penuaan. Karena inaktivasi atracurium melalui eliminasi Hofmann atau hidrolisis plasma ester yang tidak dipengaruhi oleh proses penuaan. 4. Kebutuhan dosis suksinilkolin tampaknya sedikit berubah karena usia karena adanya kemungkinan penurunan cardiac output dan aktifitas kolin esterase. 5. Pemulihan dari relaksan otot nondepolarizing yang bergantung pada ekskresi ginjal (ex. metocurine, pankuronium, doxacurium, tubocurarine) mungkin tertunda karena penurunan klirens obat. 6. Demikian pula, penurunan ekskresi hepatik karena kehilangan massa hati memperpanjang eliminasi dan durasi aksi rocuronium dan vecuronium.

38

7.

Profil farmakologis atracurium dan pipecuronium tidak signifikan dipengaruhi oleh usia.

8.

Laki-laki tua (tapi tidak perempuan tua) mungkin menampilkan efek sedikit berkepanjangan dari succinylcholine karena kadar cholinesterase plasma yang lebih rendah.

c.

Agen anestesi non volatile Secara umum, pasien lanjut usia menampilkan kebutuhan dosis rendah untuk propofol, etomidate, barbiturat, opioid, dan benzodiazepines. Sebagai contoh, seorang yg berusia delapan puluh tahun ke atas mungkin memerlukan kurang dari setengah dosis induksi propofol atau thiopental daripada yang dibutuhkan oleh pasien 20 tahun. Meskipun mungkin propofol dekat dengan agen induksi ideal untuk pasien usia lanjut karena eliminasi yang cepat, obat tersebut cenderung menyebabkan apnea dan hipotensi dibandingkan pada pasien yang lebih muda. Penggunaan midazolam, opioid, atau ketamin akan mengurangi penggunaan propofol. Baik faktor farmakokinetik dan farmakodinamik bertanggung jawab pada peningkatan sensitivitas ini. Pasien geriatri membutuhkan tingkat darah hampir 50% lebih rendah untuk propofol untuk anestesi dibandingkan pasien yang lebih muda. Selain itu, kedua kompartemen perifer dan clearance sistemik untuk propofol secara signifikan berkurang pada pasien geriatri. Dalam kasus thiopental, peningkatan sensitivitas tampaknya terutama karena faktor farmakokinetik. Peningkatan sensitivitas untuk fentanyl, alfentanil, dan sufentanil terutama karena farmakodinamik. Farmakokinetik untuk opioid ini tidak secara signifikan dipengaruhi oleh usia. Dosis persyaratan untuk titik akhir EEG menggunakan fentanil dan alfentanil adalah 50% lebih rendah pada pasien geriatri. Sebaliknya, volume kompartemen pusat dan clearance mengalami penurunan untuk remifentanil; sehingga kedua faktor farmakodinamik dan farmakokinetik adalah penting. Farmakokinetik opioid

39

lainnya belum diteliti dengan baik pada pasien geriatri, tetapi peningkatan sensitivitas harus dipertimbangkan. Penuaan meningkatkan volume distribusi untuk semua benzodiazepin, yang secara efektif memperpanjang eliminasi. Dalam kasus diazepam, eliminasi bisa selama 36 jam-72 jam. Peningkatan sensitivitas farmakodinamik untuk benzodiazepin juga diamati. Kebutuhan midazolam umumnya berkurang hingga 50% kurang pada pasien geriatri; eliminasi memanjang dari sekitar 2,5 jam menjadi 4 jam.

Tabel 11. Eliminasi dari obat-obatan

Tabel 12. Perubahan Farmakologi Obat Anestesi terkait Umur

40

BAB III KESIMPULAN

41

DAFTAR PUSTAKA

1. Darmojo B. Geriatri Edisi 4. Balai Penerbit FK UI:Jakarta, Indonesia; 2009. 2. Morgan GE, Mikhail SM, Murray JM. Geriatric Anesthesia. Dalam: Clinical Anesthesiology. Edisi Keempat. New York: McGraw-Hill Company; 2006. 3. http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/928/950/, diakses tanggal 21 Mei 2013. 4. DPR RI. 1998. http://www.dpr.go.id/uu/uu1998/UU_1998_13.pdf, diakses tanggal 21 Mei 2013. 5. Sudoyo, Aru W. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. 6. Priebe HJ. The aged cardiovascular risk patient. British Journal of Anaesthesia 85 Mei 2013. 7. Kumra VP. Issues in geriatric anaesthesia. SAARC J. Anesthesia. New Delhi, 2008. Hal:39 49. (5): 76378 (2000) Available from: http://www.bja.oxfordjournals.org/content/85/5/763.long, diakses tanggal 22

42

8. Kanonidou Z, Krystianou G. Anesthesia for Elderly. Hippokratia 2007, 11, 4: 175-177. Mei 2013. 9. Stoelting RK, Hillier SC. Physiology of the newborn and elderly. Dalam: Handbook of pharmacology and physiology in anesthetic practice, 2nd ed. Philadelphia, 2006. Lippincott Williams & Wilkins, hal: 871-81. 10. Anonym. Geriatrics (Anesthesia Text). Available from: Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC255979/, diakses tanggal 22

http://www.OpenAnesthesia.org, diakses tanggal 21 Mei 2013. 11. Kelly 2013. 12. Ceba RC, Sprung J, Gajic O, Warner DO. The aging respiratory system: anesthetic strategies to minimize perioperative pulmonary complications . Dalam: Silverstein JH, Rooke GA, Reves JG, Mcleskey CH. Geriatric anesthesiology 2nd Edition. New York. 2008. Springer, hal: 149- 163. 13. Anwer HM. Postoperative cognitive dysfunction in adult and elderly patients. M.E.J. Anseth 18 (6), 2006. 14. Silverstein JH. The Practice of Geriatric Anesthesia. Dalam: Silverstein JH, Rooke GA, Reves JG, Mcleskey CH. Geriatric anesthesiology 2nd Edition. New York. 2008. Springer, hal:3-15. 15. Racine, S.X., A. Solis, N.A. Hamou. 2010. Face Mask Ventilation in Edentulous Patients. A Comparison of Mandibular Groove and Lower Lip Placement. 2010 May;112(5):1190-3. F. Anesthesia for the erderly patient. Available from:

http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/15/u15513_01, diakses tanggal 22 Mei

43

Anda mungkin juga menyukai