Diajukan sebagai Tugas Porto Folio dalam Rangkaian Matakuliah BIOFARMASETIKA Semester Akhir 2012/2013
PENDAHULUAN
Biofarmasetika adalah pengkajian faktor-faktor fisiologis dan farmasetik yang mempengaruhi pelepasan obat dan absorbansi dari bentuk sediaan. Sifat-sifat fisika kimia dari obat dan bahan-bahan penambah menetapkan laju pelepasan obat dari bentuk sediaan dan transport berikutnya melewati membran-membran biologis, sedangkan fisiologis dan kenyataan biokimia menentukan nasib obat dalam tubuh (1:427). Bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi daya terapetik, aktivitas klinik, dan aktivitas toksik obat, maka biofarmasetika menjadi sangat penting. Biofarmasetika bertujuan mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu (2:85). Bioavailabilitas (ketersediaan hayati, F) adalah bagian obat (dalam %) yang dilepaskan dari suatu sediaan farmasi dalam bentuk yang memiliki efek terapeutik (pada umumnya sebagai zat yang belum berubah), mengalami absorpsi dan akhirnya masuk kedalam peredaran darah besar, sehingga tersedia secara sistemik (3:15). Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat (3:15): 1. Kecepatan dan tingkat pembebasan zat berkhasiat dari suatu bentuk sediaan farmasi (misalnya, dragree atau tablet) 2. 3. Kecepatan absorpsi dan kuota absorpsi dari zat berkhasiat yang dibebaskan Tingkat first pass effect Banyak obat pada jalur absorpsinya keluar dari saluran lambung-usu mengalami first pass effect yang jelas, yaitu sebagian besar akan mengalami penguraian
metabolic sebelum sampai ke peredaran darah sistemik dan dengan demikian kehilangan efektivitasnya. First pass effect yang menonjol menyebabkan bioavailabilitas pada pemberian oral jelas berkurang (3:15). Setelah absorpsi, obat yang terikat pada protein plasma dengan tingkat yang berbeda-beda, ditransportasi di dalam darah. ikatan terutama terjadi pada albumin plasma, yang mempunyai banyak tempat ikatan untuk obat (3:15). Tempat ikatan tidak spesifik, sehingga pada satu tempat ikatan dapat terikat beberapa obat yang berbeda. Ini mengakibatkan obat-obat dapat saling mendesak secara kompetitif dari tempat ikatan. Obat yang terdesak tergantung pada konsentrasi obat tersebut dan afinitas masing-masing terhadap tempat ikatan yang tidak spesifik. beberapa jenis obat sudah dapat menjenuhkan tempat ikatan pada protein plasma dalam konsentrasi plasma terapeutik (3:16). Makin lipofil suatu obat, makin tinggi ikatan pada protein plasma Ikatan pada protein plasma bersifat reversible Zat yang terikat pada protein plasma dari ruang intravasal tidak dapat masuk ke dalam sel. Ini hanya memungkinkan bagi zat yang tersedia dalam keadaan bebas Zat yang terikat pada protein plasma tidak dapat dimetabolisme Zat yang terikat pada protein plasma tidak dapat mencapai tempat kerja dan menjadi efektif Zat yang terikat pada protein plasma tidak dapat dieliminasi melalu ginjal dan tidak dapat dihemodialisis Pada uremia, ikatan protein plasma obat-obatan dapat berkurang
Interaksi obat yang mempunyai relevansi klinis sebagai akibat saling mendesak dari ikatan protein plasma dapat terjadi, apabila ikatan protein plasma dari obat-obat yang tersedia jelas melebihi 90% dan obat yang terdesak dari ikatan ini memiliki lebar terapeutik yang sempit (3:16). Tolak ukur fisiko-kimia dari obat dan bentuk sediaan dapat diukur dengan tepat dan teliti secara in vitro, sedangkan perkiraan kuantitatif dari absorbsi obat yang berarti dapat diperoleh hanya melalui percobaan yang tepat secara ini vivo. Teknik farmakokinetika memberikan arti dalam mengukur proses-proses absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi obat pada organisme yang memakannya (hewan atau manusia) (1:427). Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorbsi serta sifat-sifat fisikokimia atau produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variabel-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat, maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorbsi yang cepat dan absorbsi lengkap menjadi lambat, kecepatan absorbsi diperlambat atau bahkan tidak terjadi sama sekali (2:85). Evaluasi dan interprestasi dari studi Biofarmasetika merupakan bagian yang integral dari pengembangan obat obat, (drug-product-design). Penelitian-penelitian di bidang biofarmaseutika mencakup (4:22):
1. Pengaruh dan interaksi antara formulasi obat dan teknologi, pembuatannya dalam berbagai bentuk sediaan yang akhirnya sangat menentukan kerja obat sesuai dengan sifat fisiko kimianya. 2. Pengaruh dan interaksi antara obat dan lingkungan biologik pada situs penyerapan dan cara pemberian obat yang akhirnya menentukan disposisi bahan/zat aktif dalam tubuh. 3. Pengaruh dan interaksi dari zat aktif dengan organisme menentukan ketersediaan obat secara biologis. Faktor-faktor yang memperngaruhi bioavailabilitas obat aktif yaitu (2:95-98) : 1. Disintegrasi. Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil dan melepaskan obat. 2. Pelarutan. Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorbsi sistemik obat. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh dikenal sebagai stagnant layer, berdifusi ke pelarut dari daerah konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi obat yang rendah. Laju pelarutan adalah jumlah obat yang terlarut per satuan luas per waktu (misal g/cm2.menit). Laju pelarutan dipengaruhi pula oleh sifat fisikokimia obat, formulasi, pelarut, suhu media dan kecepatan pengadukan 3. Sifat Fisikokimia Obat. Sifat fisika dan kimia partikel-partikel obat padat mempunyai pengaruh yang besar pada kinetika pelarutan. Sifat-sifat ini terdiri
atas: luas permukaan, bentuk geometrik partikel, derajat kelarutan obat dalam air, dan bentuk obat yang polimorf. 4. Faktor Formulasi Yang Mempengaruhi Uji Pelarutan Obat. Berbagai bahan tambahan dalam produk obat juga mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mengubah media tempat obat melarut atau bereaksi dengan obat itu sendiri. Misalnya, magnesium stearat (bahan pelincir tablet) dapat menolak air, dan bila digunakan dalam jumlah besar dapat menurunkan pelarutan. Natrium bikarbonat dapat mengubah pH media. Untuk obat asam seperti aspirin dengan media alkali akan menyebabkan obat tersebut melarut cepat. Serta, bahan tambahan yang berinteraksi dengan obat dapat membentuk kompleks yang larut atau tidak larut dalam air, contoh tetrasiklina dan kalsium karbonat membentuk kalsium tetrasiklina yang tidak larut air.