Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN Sistemik lupus eritematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun non-organ spesifik.

Semua komponen utama sistem imun terlibat dalam mekanisme yang mendasari terjadinya penyakit ini. SLE bersifat multisistem. Kerusakan sel dan organ terjadi akibat adanya autoantibodi dan endapan kompleks imun. Etiologi dan patogenesis SLE sangat kompleks, dengan gambaran patologik utama berupa inflamasi, vaskulitis, deposit kompleks imun, dan vaskulopati1,2. Di Amerika Serikat insidennya sejumlah 5.1 per 100,000 jumlah populasi dengan prevalensi 52 kasus per 100.000 populasi. Berdasarkan laporan tahun 2008 dari National Arthritis Data Working Group, diperkirakan 250,000 penduduk Amerika Serikat terkena SLE. Frekuensi SLE bervariasi sesuai ras dan ethnis, dengan angka lebih tinggi dilaporkan pada ras Negroid dan Hispanik. SLE juga dinyatakan lebih sering terjadi pada wanita Asia disbanding wanita kulit putih. Kelainan biasanya mulai muncul pada usia dekade kedua dan ketiga1,2. SLE diakibatkan oleh terjadinya peristiwa autoimun. Sinyal pertama timbul saat reseptor sel T (T cell receptor/TCR) berikatan dengan fragmen antigen pada permukaan antigen presenting cell (APC).1,2

Gambar 1. Faktor faktor terkait dengan SLE1,2 Sinyal ini tidak cukup kuat untuk mengaktifkan sel T. Untuk memicu terjadinya respons imun, sel T harus menerima sinyal kedua dari pasangan

reseptor-ligan lain, yang disebut kostimulasi. Sinyal kedua tersebut menentukan apakah sel T akan diaktifkan untuk menimbulkan respons imun, atau sebaliknya, menjadi tidak mampu berespons (anergi)3,4. Hingga saat ini masih dibutuhkan terapi yang lebih efektif dengan efek samping lebih ringan dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh sitotoksik dan glukokortikoid. Beberapa penelitian terus dilakukan untuk mencari strategi terapi baru dengan efektivitas lebih tinggi dan komorbiditas lebih rendah. Strategi ini didasarkan atas teori mengenai kehadiran dua jenis sinyal yang diperlukan untuk aktivasi sel T, dan pemutusan salah satu sinyal ini akan menyebabkan dari sel T tidak berespons.5,6 Prognosis dan harapan hidup penderita SLE terus membaik dalam dua dekade terakhir. Diagnosis dini, kewaspadaan yang lebih baik, spesifisitas autoantibodi baru, dan perbaikan teknik serologik telah memperbaiki prognosis SLE. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah peningkatan pengetahuan tentang SLE, perbaikan pelayanan kesehatan secara umum, serta pemakaian obat-obatan anti-inflamasi, imunosupresor, dan imunomodulator (steroid, sitostatika, & gammaglobulin)1,2,3,6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SLE ditandai oleh gangguan sistem imun yang melibatkan sel B, sel T, dan sel kelompok monosit, yang menyebabkan aktivasi sel B poliklonal, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergammaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun. Sel T yang berlebihan dan tidak terkontrol akan mengakibatkan diferensiasi sel B dan aktivasinya untuk menghasilkan autoantibodi. Aktivasi sel B dan sel T membutuhkan stimulasi oleh antigen spesifik. Bahan kimia iritan, seperti pristin, DNA dan fosfolipid dinding sel bakteri, dan antigen virus dapat menginduksi antibodi anti-DNA pada tikus.2,3 Self-antigen (antigen diri), seperti protein DNA dan kompleks proteinRNA dapat menginduksi produksi autoantibodi. Antigen lingkungan dan antigen diri akan ditangkap oleh APC atau diikat oleh antibodi pada permukaan sel B. Antigen presenting cell (APC) dan sel B memroses antigen menjadi peptide kemudian menyajikannya kepada sel T melalui molekul human leucocyte antigen (HLA) permukaan sel. Sel T aktif ini akan merangsang sel B untuk memroduksi autoantibodi yang patogenik. Selain stimulasi kontak, interaksi APC, sel T, dan sel B difasilitasi oleh berbagai sitokin, dan membutuhkan molekul tambahan seperti sistem CD40/CD40L dan B7/CD28/ CTLA4 untuk menginisiasi sinyal kedua.2,3 Pada penderita SLE aktif terjadi peningkatan jumlah sel B pada semua tingkat aktivasi dalam darah perifer. Sel B penderita lupus mempunyai respons kalsium intrasitoplasmik yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu normal4. Akibatnya, didapatkan bukti bahwa sel B penderita SLE lebih sensitif terhadap pengaruh stimulasi sitokin, seperti IL-6, dibandingkan dengan sel B pada individu normal. Sel B penderita SLE lebih mudah mengalami aktivasi poliklonal oleh antigen, sitokin, dan perangsang lain. Penderita SLE juga mengalami kelainan pada fungsi sel T berupa pergeseran respons imun Th1 ke Th2 yang menyebabkan hiperaktivitas sel B dan produksi autoantibodi yang patogenik. Mekanisme yang mendasari gangguan respons Th1 pada SLE diduga adalah akibat sitokin yang diproduksi oleh Th2 secara berlebihan, gangguan interaksi antara APC dan sel T,

efek supresi oleh sel T CD8+ dan NK, inhibitor IL-2, dan penurunan jumlah reseptor IL-2.3,4 Bersihan kompleks imun oleh sel fagosit juga mengalami gangguan pada penderita SLE. Hal ini terjadi akibat berkurangnya jumlah reseptor CR1 untuk komplemen dan gangguan fungsi reseptor pada permukaan sel. Gangguan bersihan ini juga timbul sebagai akibat dari tidak adekuatnya fagositosis IgG2 dan IgG3 yang mengandung kompleks imun. Gangguan bersihan kompleks imun oleh fagositosis merupakan suatu mekanisme patogenesis penting pada LES.3,4 Limfosit T berperanan yang sangat penting dalam patogenesis lupus. Setiap sel T membawa molekul reseptor permukaan yang memiliki kemampuan berinteraksi dengan antigen tertentu jika disajikan ke reseptor sel T dalam bentuk kompleks dengan molekul MHC pada permukaan APC seperti telah dikemukakan di atas, dibutuhkan interaksi molekuler kedua dengan limfosit T melalui kostimulasi, antara lain dengan pasangan molekul CD40-CD40 ligan dan CD28B7, sehingga aktivasi sel T dapat terjadi. Jika kostimulasi dapat dihambat, begitu pula respons imun yang diperantai oleh sel T.2,4,6 Sel B dan sel T berinteraksi dan saling memberikan stimulasi. Sitokin yang dilepaskan sel T mempengaruhi sel B untuk berproliferasi, untuk mengalihkan produksi antibody dari IgM menjadi IgG, dan untuk meningkatkan perubahan molekuler antibodi yang disekresikan sehingga berikatan lebih kuat dengan antigen. Akibatnya Sel T membantu produksi autoantibodi IgG yang punya afinitas tinggi dan sangat berkaitan dengan kerusakan jaringan pada lupus.2,4,6 Sel T regulator menekan aktivasi sel T helper dan sel B. Beberapa peneliti melaporkan bahwa terjadi pengurangan jumlah dan/atau fungsi sel T regulator pada penderita lupus. Pada penderita lupus aktif, kemampuan sel T regulator untuk menekan proliferasi sel T helper lebih rendah jika dibandingkan dengan sel T regulator dari penderita lupus inaktif atau kontrol sehat. Diduga bahwa sel T helper yang terstimulasi akan membantu sel B yang juga berespons dengan epitop antigen yang berasal dari nukleosom. Jadi, interaksi limfosit B dan limfosit T akan menyebabkan produksi autoantibodi patogenik berafinitas tinggi. Nukleosom

membawa kedua epitop sel T dan sel B, dan nyatanya didapatkan antibodi antinukleosom yang patogenik pada penderita lupus.4,6 CD28 dan CTLA4 (disebut juga CD152) termasuk kelompok koreseptor yang memiliki domain IgV ekstraseluler tunggal, domain transmembran, dan domain sitoplasma. CD28 adalah reseptor kostimulator yang diekspresikan pada (terdapat pada) permukaan sel T. CD28 melakukan transduksi sinyal, bersamaan dengan sinyal yang dihantarkan oleh kompleks reseptor sel T, untuk mengaktifkan sel T naive. Sifat umum limfosit B dan sel T naive adalah keduanya membutuhkan dua sinyal ekstraseluler yang berbeda untuk memulai proliferasi dan diferensiasi menjadi sel efektor. Sinyal pertama berasal dari pengikatan antigen dengan reseptor dan berperanan menentukan spesifisitas dan respons imun selanjutnya.3,4,6 Sinyal kedua untuk aktivasi sel T berasal dari molekul yang disebut kostimulator. Kostimulator yang paling dikenal untuk limfosit T adalah sepasang protein, yaitu B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86), yang diekspresikan APC. Kostimulator B7 pada APC akan dikenali oleh reseptor spesifik pada sel T, yaitu CD28 yang diekspresikan pada lebih dari 90% sel T CD4+ dan pada 50% sel T CD8+ manusia. Sinyal kostimulasi melalui CD28, bersama sinyal TCR, dibutuhkan untuk aktivasi sel T naive. Pengikatan molekul B7 pada APC dengan CD28 akan menghantarkan sinyal untuk mengatur produksi IL-2, menginduksi ekspresi protein antiapoptosis, merangsang produksi faktor pertumbuhan (growth factor) dan sitokin lain, serta meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel T. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa CD28 merupakan reseptor utama yang menghantarkan sinyal kedua untuk aktivasi sel T.2,3,4 Reseptor kedua untuk molekul B7 dikenal sebagai CTLA4 (CD152). Secara struktur, reseptor ini homolog dengan CD28, tetapi CTLA4 diekspresikan pada sel T CD4+ dan CD8+ yang baru diaktifkan, dan fungsinya adalah menghambat aktivasi sel T dengan menghalangi sinyal yang dihantarkan oleh CD28. CTLA4 hanya sedikit diekspresikan pada sel T naive, dan meningkat segera setelah aktivasi sel T, sehingga CTLA4 berperanan mengakhiri respons sel T. Tikus yang tidak memiliki CTLA4 akan menunjukkan aktivasi dan proliferasi sel T yang berlebihan, dan autoimunitas. Karena sinyal CTLA4 menghambat

aktivasi sel T, diduga bahwa mutasi genetik yang menyebabkan berkurang atau hilangnya fungsi atau ekspresi CTLA4 sehingga tidak mampu menimbulkan mekanisme supresi, akan menyebabkan terjadinya autoimunitas.2,3,4 Bagaimana kedua reseptor tersebut mengatur respons dengan cara yang berlawanan meski keduanya mengenali molekul B7 yang sama pada APC belum diketahui dengan pasti. CD28 dan CTLA4 menimbulkan pengaruhnya melalui pengikatan ligan dari kelompok B7, yaitu B7-1 dan B7-2. Kedua reseptor ini dapat berinteraksi dengan B7-1 dan B7- 2, akan tetapi reseptor CTLA4 dapat mengikat ligan B7 dengan afinitas 20 kali lipat lebih besar dibandingkan reseptor CD28.4,6 Beberapa protein lain yang secara struktur berhubungan dengan B7-1 dan B7-2 atau dengan CD28 dan CTLA4 telah diidentifikasi dengan cara kloning dan diteliti fungsinya. Protein ini dianggap sebagai bagian dari kelompok B7 dan CD28. Di antara kelompok CD28 adalah ICOS (inducible costimulator), PD-1 (programmed death- 1), dan BTLA (sama seperti CTLA4). CD28 penting untuk mengaktifkan sel T naive, sedangkan ICOS lebih berperan pada respons efektor, terutama produksi IL-10 dan IL-44. Sementara itu, CTLA4, PD-1, dan BTLA merupakan reseptor inhibitori. Di antara protein yang termasuk dalam kelompok B7 adalah B7-1, B7-2, ICOS-ligan, B7-H1 (PD-L1), B7-DC (PDL2), B7-H3, dan B7-H4. Seluruh protein tersebut merupakan protein transmembran atau protein yang berikatan dengan glikosilfosfatidilinositol.4,6 Fungsi utama molekul ini adalah mengikat reseptor kelompok CD28 pada sel T, sehingga merangsang jalur transduksi sinyal pada sel T. B7-1 dan B7-2 terutama diekspresikan pada APC, termasuk di antaranya adalah sel dendritik, makrofag, dan sel B. B7-1 dan B7-2 mempunyai peranan yang tidak sama dalam modulasi sistem imun, karena perbedaan interaksi dengan CD28 dan CTLA4. Interaksi B7-1-CTLA4 lebih kuat dibandingkan dengan interaksi B7-2-CTLA4, sedangkan afinitas B7-2 terhadap CD28 diduga lebih tinggi efektif dibandingkan dengan afinitas B7-1.3,4 Ligan B7, B7-1 dan B7-2 dan reseptornya, CD28 dan CTLA4, merupakan regulator sistem kostimulasi-koinhibisi yang berperanan dalam mengatur respons imun. Interaksi B7- 1 dan B7-2 dengan reseptor CD28 akan menimbulkan sinyal

kostimulasi yang menyebabkan aktivasi produksi, ekspansi, diferensiasi dan survival sel T, sehingga terjadi respons imun seluler dan respons imun melalui antibodi. Respons imun produktif ini akan dijaga keseimbangannya oleh sinyal yang dihantarkan melalui interaksi ligan B7 dengan reseptor CTLA4. Interaksi B7-CTLA4 akan berlawanan dengan interaksi B7- CD28, yang menghasilkan pengaturan sinyal reseptor sel T dan CD28, produksi interleukin-2, dan berlangsungnya siklus sel.3,4,6 2.1 MANIFESTASI KLINIS a. Gejala sistemik meliputi demam subfebris, kelemahan, lesu, anoreksia, nausea, dan kehilangan berat badan. Tampilan awal biasanya juga mengikut sertakan satu atau lebih dari sistem organ. b. Atralgia (53-95%) adalah keluhan utama dari banyak pasien. Seringnya, keluhan nyeri lebih berat dibandingkan temuan pada fisiknya. c. Juga dilaporkan butterfly rash pada pipi dan hidung dengan fotosensitif terhadap sinar matahari (sering pada kulit putih). Juga sering meliputi dagu dan telinga. d. Sering dikeluhkan ulkus dengan atau tanpa nyeri di hidung dan mulut. e. Gejala pada CNS bisa dari yang ringan (disfungsi kognitif) sampai riwayat kejang (12-59%). Bagian apa saja dari otak, mening, spinal cord, serta saraf kranial dan saraf tepi bisa terkena. Sakit kepala yang sulit sembuh serta sulit untuk mengingat dan mengambil keputusan adalah tampilan tersering dari gangguan saraf pada pasien SLE. f. Nyeri pleura (31-57%), dyspnoe, batuk, demam, dan nyeri dada adalah keluhan jantung dan paru yang penting. g. Gejala psikiatrik (steroid dosis tinggi juga bisa menimbulkan psikosis537%). Bila psikosis memburuk setelah steroid dihentikan, paling sering adalah akibat dari proses penyakit ini. h. Pasien bisa datang dengan nyeri perut, diare, dan muntah. Pengecualian untuk perforasi usus dan vaskulitis.1,2,3

Pasien dengan SLE dan manifestasi di paru harus selalu diawasi adanya infeksi, khususnya infeksi bakteri dan virus. Termasuk juga tuberkulosis, karena banyak dari penderita yang immunocompromise. Hampir 90% pasien dengan SLE mengalami nyeri dada saat bernafas. Ini bisa disebabkan dari muskuloskeletal atau radang pleura.1,2,3 Sebagian besar dari nyeri dada pada SLE berasal dari otot, jaringan ikat, atau sendi costochondral. Nyeri dada ditandai dengan rasa sakit saat bernafas dalam, yang diperburuk oleh gerakan dan perubahan posisi (khususnya saat tidur), dan bisa dipicu dengan meraba daerah yang nyeri1,2,3. 2.2 DIAGNOSIS Pasien didiagnosis sebagai SLE jika: (1) pasien harus memiliki empat dari delapan gejala dibawah, (2) gejalanya bisa bersamaan atau berturut-turut, (3) gejala timbul selama masa observasi.1,2,3 a. Malar rash (rash pada pipi) b. Diskoid lupus c. Fotosensitif (paparan matahari menyebabkan rash) d. Ulkus di mulut, termasuk ulkus nasofaring e. Arthritis: nonerosif arthritis pada dua atau lebih sendi perifer, dengan perlunakan, pembengkakan atau effuse f. Kelainan ginjal: proteinuria lebih dari 0,5 gr perhari g. Kelainan saraf: kejang atau psikosis h. Serositis: pleuritis atau perikarditis i. Kelainan hematologik: anemia hemolitik atau leukopeni, lympopenia, atau trombositopenia j. Tes anti nuclear antibody positif k. Kelainan immunolgik: anti-Sm positif, anti-ds DNA, anti-fosfolipid antibody dan atau false positif dari tes serologis untuk syphilis. Tes anti-nuclear antibody dan antiextractable nuclear antigen (anti-ENA) adalah bentuk dari tes serologis untuk lupus. Antiphospolipid timbul lebih sering pada SLE dan bisa menjadi predisposisi untuk trombosis. 1,2,3

Ekokardiogram

bisa

dilakukan

untuk

mengevaluasi

efusi

yang

menyebabkan nyeri pericardial atau adanya patologi lainnya pada pembuluh darah dan untuk memastikan adanya tanda hipertensi pulmonal. MRI sangat berguna dalam menilai patologi dari otak.1,2,3 2.3 MANAGEMEN Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas.2,3,5,6 Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif. Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas tidur. Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan luas gerakan dari persendian.2,3,5,6 2.3.1 Terapi Obat-obatan Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila diperlukan, NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Pada beberapa keadaan tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2 karena dapat meningkatkan resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif dengan efek samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping. Kadang-

kadang, obat yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan, seperti misoprostol.2,3,5,6 Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih berguna terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid bisa diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau diberikan intra vena. Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila diberikan dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari penyakitnya untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari kortikosteroid adalah penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah membengkak, katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang besar.2,3,5,6 Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang ditemukan efektif untuk pasien SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi. Efek samping termasuk diare, tidak enak perut, dan perubahan pigmen mata. Perubahan pigmen mata jarang, tetapi diperlukan, monitor oleh ahli mata selama pemberian obat ini. Ditemukan bahwa obat ini mengurangi frekwensi bekuan darah yang abnormal pada pasien dengan SLE. Jadi, obat ini tidak hanya mengurangi kemungkinan serangan dari SLE, tetapi juga berguna untuk mencegah pembekuan darah abnormal yang luas.2,3,5,6 Untuk penyakit kulit yang resisten, obat anti malaria lainnya, seperti chloroquine atau quinacrine bisa diberikan, dan bisa dikombinasikan dengan hydroxychloroquine.2,3 Pengobatan alternatif untuk penyakit di kulit adalah dapsone dan asam retinoat (Retin-A).2,3,5,6 Pengobatan immunosupresan digunakan pada pasien dengan manifestasi SLE berat dan kerusakan organ dalam. Contohnya adalah methotrexate, azathioprine, cyclophosphamide, chlorambucil dan cyclosporine. Semua immunosupresan menyebabkan jumlah sel darah menurun dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan perdarahan. Efek samping lainnya berbeda pada tiap obat. Methotrexate menyebabkan keracunan hati, cyclosporine bisa mengganggu fungsi ginjal.2,3,5,6

Tahun-tahun belakangan, mycophenolate mofetil digunakan sebagai obat yang efektif terhadap SLE, khusunya bila dikaitkan dengan penyakit ginjal. Obat ini menolong dalam mengembalikan dari keadaan lupus renal disease dan untuk mempertahankan remisi setelah stabil. Efek samping yang lebih sedikit membuatnya lebih bermanfaat dibandingkan pengobatan imunosupresan yang tradisional.2,3,5,6 Pada pasien SLE dengan penyakit otak dan ginjal yang serius, plasmapharesis (mengeluarkan plasma dan menggantikannya dengan plasma beku yang spesifik) kadang-kadang dibutuhkan untuk menghilangkan antibodi dan bahan-bahan imunitas lainnya dari darah untuk menekan imunitas. Pada beberapa pasien SLE, hal ini bisa menyebabkan tingkat platelet yang sangat rendah yang meningkatkan resiko perdarahan spontan dan luas. Karena spleen dipercaya sebagai tempat penghancuran platelet yang utama, operasi pengangkatan spleen kadang kala dilakukan untuk meningkatkan jumlah platelet.2,3,5,6

Mekanisme Berbagai Macam Imunoterapi Yang Ada Saat Ini.5 Kerusakan ginjal stadium akhir akibat SLE membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal. Sebagian besar penelitian menunjukkan keuntungan rituximab dalam mengobati lupus. Rituximab intra vena, yaitu memasukkan antibodi yang

menekan sejumlah sel darah putih, sel B, dan menurunkan jumlahnya dalam sirkulasi. Sel B ditemukan memainkan peranan penting dalam aktifitas lupus, dan bila ditekan, penyakitnya memasuki masa remisi.5,6 2.3.2 Perubahan Pola Hidup Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi dari sinar matahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif. Penurunan berat badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihan berat badan untuk mengurangi beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketika ada masalah dengan persendian.2,3,5,6 2.4 Prognosis Perkembangan dalam diagnosis dan pengobatan meningkatkan angka harapan hidup lebih dari 90% pasien bertahan hidup lebih dari sepuluh tahun dan banyak yang relatif tanpa gejala. Penyebab kematian yang paling sering adalah infeksi akibat imunosupresan sebagai hasil dari pengobatan dari penyakit ini. Prognosis normalnya lebih buruk pada pria dan anak-anak dibandingkan pada wanita.2,3,4

DAFTAR PUSTAKA 1. American College of Rheumatology. Systemic lupus erythematosus research. Education. Atlanta:Rheumatology; 2012 2. DCruz DP. Systemic lupus erythematosus. Br Med J. 2006;332:890-4. 3. Anisur Rahman, Ph.D., David A. Isenberg, M.D. Mechanisms of Disease Systemic Lupus Erythematosus. N Engl J Med 2008;358:929-39 4. K. Tenbrock1, Y.-T. Juang2, V. C. Kyttaris2 and G. C. TsokosM. Y. Karim. Altered signal transduction in SLE T cells. Oxford University Press. Rheumatology 2007;46:15251530. 5. C. N. Pisoni, M. A. Khamashta. Update on immunotherapy for systemic lupus erythematosuswhats hot and whats not!. Oxford University Rheumatology 2009;48:332341. 6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

Anda mungkin juga menyukai