Anda di halaman 1dari 14

Kanker Serviks; Skrinning-Tatalaksana By Exomed Indonesia 22/11/2010Posted in: Obstetri & Ginekologi Theresia Yinski, MD Skrining kanker serviks

s Perbedaan angka kejadian kanker serviks antara negara berkembang dan negara maju, di negara berkembang presentase kanker serviks sebesar 2030% sedangkan di negara maju hanya 4-6%, disebabkan oleh metode skrining terhadap serviks. Lesi prakanker dapat dideteksi dengan melakukan skrining berupa usapan serviks pada semua wanita, dan kolposkopi pada wanita dengan hasil apusan yang abnormal.1-7 Gabungan pap smear, kolposkopi dan biopsi merupakan paket diagnostik yang baik untuk digunakan pada pelayanan. Beberapa metode skrining ini antara lain:7

Pap-Smear, merupakan metoda skrining yang dikenal luas, dengan sensitivitas 90% bila dikerjakan setiap tahun, 87% jika tiap 2 tahun, 78% bila tiap 3 tahun dan 68% bila dikerjakan tiap 5 tahun. Thin Prep, merupakan metoda Pap-smear yang dimodifikasi yaitu pengumpulan sel usapan serviks di dalam cairan untuk menghilangkan darah, lendir, kotoran serat memperbanyak sel serviks yang dikumpulkan. Thin prep lebih sensitif dibandingkan Pap-smear (73,6% vs 67,3%) dengan spesifisitas yang hampir sama (76,2% vs 76,9%). Pap-Net, merupakan suatu sistem interaktif komputer untuk menilai sediaan Pap-smear. Keuntungan sistem ini adalah lebih sensitif dibandingkan tes konvensional. Untuk penilaian HGSIL pap-net memiliki hasil lebih baik dibandingkan pap-smear (0,55 % vs 0,43%) dengan sensitivitas lebih tinggi (86% vs 79,8%). Tes onkoprotein yaitu langsung mendeteksi onkoprotein E7 dengan sampel dari cairan bilasan servik-vagina. Skrining ini mendapatkan onkoprotein E7 positif sebesar 60% dari penderita kanker serviks yang positif HPV tipe 16.

Inspeksi visual asam asetat (IVA). Pada negara berkembang dengan keterbatasan kolposkopi, IVA dapat dilakukan dengan pembesaran menggunakan alat Gynscope atau Aviscope. Suatu penelitian di Mesir mendapatkan hasil sensitivitas dan nilai prediksi negatif sebesar 97%, dengan nilai prediksi positif sebesar 60% untuk semua grade NIS dan 90% untuk HGSIL. Meskipun terdapat angka positif palsu yang tinggi namun IVA dianjurkan sebagai sarana skrining kanker serviks. Saat ini masih dievaluasi efikasi dan cost-effectiveness IVA dalam menurunkan insidens dan mortalitas kanker serviks di daerah dengan sumber daya yang minim.8 Kolposkopi. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan standard apabila ditemukan hasil pap smear abnormal. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan pembesaran dengan alat kolposkop untuk melihat kelainan epitel serviks, pembuluh darah setelah pemberian asam asetat. Sensitivitas kolposkopi antara 69-95% dengan spesifisitas 67-93%.

Diagnosis Anamnesis

Pada wanita yang secara rutin menjalani skrining, temuan yang sering adalah hasil Pap smear yang abnormal. Secara klinis, gejala utama yang sering adalah perdarahan pervaginam yang abnormal, biasanya setelah koitus (postcoital bleeding). Rasa tidak nyaman di vagina, discharge yang tidak berbau, dan disuria merupakan gejala yang tidak jarang terjadi. Jika tumor tumbuh dan menginvasi kandung kemih atau rektum, dapat terjadi gejala-gejala seperti konstipasi, hematuria, fistula, dan obstruksi uretra dengan atau tanpa hidroureter atau hidronefrosis. Lokasi tersering metastasis jauh adalah kelenjar getah bening ekstrapelvis, hepar, paru-paru dan tulang.

Pemeriksaan Fisik

Pada pasien dengan kanker serviks stadium awal, pemeriksaan fisik dapat relatif normal. Seiring berjalannya perkembangan penyakit,

serviks akan terlihat abnormal, dengan erosi, ulkus, atau massa. Abnormalitas ini dapat meluas ke vagina. Pemeriksaan rektal dapat menunjukkan adanya massa eksternal atau darah dari erosi tumor. Pemeriksaan bimanual dibutuhkan untuk mengetahui adanya metastasis pada pelvis. Edema tungkai menunjukkan adanya obstruksi vaskular/limfatik dari tumor. Jika penyakit melibatkan hepar, akan terdapat hepatomegali. Metastasis pulmoner biaasanya sulit dideteksi dengan pemeriksaan fisik kecuali jika terdapat efusi pleura atau obstruksi bronkus.

Pemeriksaan Lab

Jika diduga kanker serviks, harus dilakukan pemeriksaan Pap smear Pasien harus dikonsulkan pada ginekologis untuk dilakukan kolposkopi, biopsi langsung, dan kuretase endoserviks Setelah diagnosis ditegakkan, hitung sel darah lengkap dan kimia serum untuk fungsi ginjal dan hepar harus dilakukan untuk melihat adanya kemungkinan metastasis.

Pemeriksaan Radiologi

Jika diagnosis sudah ditegakkan, lakukan pemeriksaan radiologi untuk mengetahui staging dari kanker Foto toraks dilakukan secara rutin untuk mengetahui metastasis ke paru CT-scan abdomen dan pelvis dilakukan untuk melihat adanya metastasis pada liver, kelenjar getah bening, atau organ lain dan menyingkirkan adanya hidronefrosis/hidroureter Pada pasien dengan tumor primer yang besar, pemeriksaan barium enema dapat dilakukan untuk mengevaluasi kompresi rektal oleh massa tumor

Federation of Gynecology & Obstetrics (FIGO) Staging System

FIGO staging system untuk kanker serviks didasarkan atas evaluasi klinis (lihat tabel 2) Pemeriksaan fisik, kolposkopi atau biopsi, sitoskopi, endoskopi saluran cerna bagian bawah, IVP dan foto thoraks dapat digunakan untuk menentukan stadium.9 Penetapan stadium kanker serviks yang ideal adalah penetapan stadium dengan narkose.7 Apabila dilakukan pembedahan, maka penemuan pembedahan tidak akan merubah stadium, stadium yang digunakan tetap stadium klinik, sedangkan penemuan pembedahan dapat digunakan untuk menentukan prognosis. Tabel 2. Stadium kanker serviks berdasarakan kriteria FIGO Stadiu Keterangan m 0 Lesi belum menembus membran basalis I Lesi tumor masih terbatas di serviks IA1 IA2 IB1 IB2 Lesi telah menembus membrana basalis sama atau <3 mm, dengan diameter permukaan tumor sama atau < 7 mm Lesi menembus membran basalis >3 mm, tetapi sama atau < 5 mm dengan diameter permukaan tumor sama atau< 7 mm Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer sama atau< 4 cm Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer > 4 cm Lesi telah keluar dari serviks (meluas ke parametrium dan sepertiga proksimal vagina) Lesi telah meluas pada sepertiga vagina proksimal Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai dinding panggul Lesi telah keluar dari serviks (menyebar

II IIA IIB

III

IIIA IIIB

ke parametrium dan atau sepertiga vagina distal) Lesi menyebar pada sepertiga vagina distal/ bawah Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding panggul Lesi menyebar keluar dari organ genitalia Meluas keluar rongga panggul seperti vesika dan rectum Meluas ke organ yang jauh

IV IVA IVB

Tatalaksana karsinoma serviks Pilihan terapi untuk kanker serviks adalah pembedahan, radioterapi dan kemoterapi. 7,9,10,11 Stadium IA1 Kejadian penyebaran ke KGB pada stadium IA1 hanya sekitar <1% sehingga terapi konservatif dapat memberikan hasil terapi yang cukup baik. Pada wanita yang masih menginginkan anak, maka pembedahan konisasi merupakan terapi pembedahan terpilih. Pembedahan konservatif lainnya adalah amputasi serviks. Pembedahan dianggap cukup bila pada spesimen tidak dijumpai emboli di pembuluh limfe ataupun pembuluh darah dan tepi sayatan bebas tumor. Tindakan konservatif lainya adalah LEEP (loop electrosurgical excision procedure). Penelitian prospektif yang dilakukan pada stadium IA1 yang dilakukan konisasi memberi hasil sementara yang cukup baik. Pada pasien yang memilih untuk dilakukan terapi konservatif harus dilakukan follow-up secara ketat. Bila jumlah anak sudah cukup, maka pembedahan histerektomi totalis merupakan terapi pembedahan yang terpilih. Pembedahan histerektomi radikal pada stadium IA1 dinilai berlebihan, karena hasil yang dicapai pembedahan histerektomi total dan histerektomi radikal tidak berbeda. Stadium IA2, IB dan IIA

Stadium IA2 merupakan stadium yang relatif sangat dini dengan risiko metastasis ke KGB antara 4 10 %. Pengobatan yang terpilih adalah histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik bilateral. Pilihan lain dapat berupa biopsi kelenjar getah bening, dan jika terbukti tidak ada sel ganas, maka dapat dilakukan histerektomi nonradikal atau konisasi jika fertilitas masih diinginkan. Salpingovorektomi dapat dilakukan bila pada ovarium ditemukan adanya kelainan, sedangkan pada penderita yang masih muda sebaiknya ovarium ditinggalkan dan dilakukan ovareksis setinggi kutub atas ginjal. Histerektomi radikal pada kanker serviks secara teknik dan jauhnya jangkauan pembedahan terbagi menjadi histerektomi radikal tipe I, II dan III. Tipe I umumnya dilakukan pada kanker serviks stadium IA2-IB1. Sedangkan untuk stadium IB2 IIA seringkali dilakukan tipe II atau tipe III. Angka harapan hidup 5 tahun secara keseluruhan yang diterapi dengan pembedahan pada stadium IB dapat mencapai 92 %, sedangkan pada stadium IIA dapat mencapai 87 %. Bila terdapat metastasis pada satu KGB maka survival 5 tahun menurun menjadi 85%, sedangkan bila metastasis mengenai dua kelenjar atau lebih maka survivalnya menurun menjadi hanya 50 %. Metastasis pada KGB arteri iliaka atau para aorta mempunyai prognosis yang lebih jelek, survivalnya hanya mencapai 20 %. Faktor resiko pasca pembedahan histerektomi radikal antara lain metastasis ke parametrium dan metastasis ke kelenjar getah bening. Bila dijumpai ada faktor resiko tersebut maka terapi adjuvant radioterapi ataupun kemoterapi merupakan indikasi. Karena metastasis karsinoma serviks ke kelenjar getah bening merupakan faktor resiko yang sangat berpengaruh terhadap prognosis maka deteksi metastasis ke KGB merupakan suatu yang bermakna penting. Deteksinya dapat dilakukan dengan sentinel lymph node yang mempunyai angka sensitivitas 83,3 %, nilai prediksi positif 97,1 % dan negatif palsu 16,6 %. Stadium IIB, III dan IVA Pengobatan terpilih adalah radioterapi lengkap yaitu radiasi eksterna dilanjutkan intrakaviter radioterapi ( High Dose Rate atau Low Dose Rate ) dan kemoradiasi. Radioterapi dapat digunakan untuk pengobatan primer, pre-operatif, adjuvant dan paliatif

Stadium IV B Pengobatan kanker serviks stadium IV B hanya bersifat paliatif, radioterapi yang diberikan bersifat radioterapi paliatif. Kanker serviks dapat menyebar secara invasi lokal, limfatik, hematogen, dan intraperitoneal. Untuk jenis kanker serviks small cell, penyebaran secara hematogen sangat mungkin terjadi. Sehingga sebagai tambahan dalam menentukan staging pada pasien dengan small cell jenis neuroendokrin pada pasien-pasien ini sangat dianjurkan untuk dilakukan CT-scan tulang, hati dan otak. Untuk sel kanker jenis non small-cell, sangat jarang terjadi metastasis ke otak, hati dan tulang.11,12 Pada suatu penelitian terhadap 11 pasien yang menderita tumor neuroendokrin dan lesi masih terbatas pada serviks, didapatkan angka yang sangat tinggi terhadap terjadinya metastasis ke kelenjar limfe.10 Penatalaksanaan pada pasien ini ditentukan berdasarkan stadium, mencari kemungkinan penyebaran ke organ lain. Pada pasien ini didapatkan kanker leher rahim stadium IIA, dengan kemungkinan penyebaran ke organ lain dapat disingkirkan. Meskipun seharusnya dilakukan CT-scan pada tulang, hati dan otak. Penatalaksanaan kemudian pasien dengan tumor neuroendokrin adalah dengan dilakukan operasi, radioterapi dan kemoterapi dan dianjurkan pada pasien seperti ini harus dilakukan terapi multimodal, dan kemoterapi yang utama adalah etoposide.11 Umumnya pasien dengan kanker serviks stadium IB/IIA tidak diperlukan diberikan ajuvan terapi (kemoterapi, radiasi atau gabungan), kecuali bila:13

Radikalitas operasi kurang KGB pelvik/ paraaorta positif Histologik: small cell carcinoma Differensiasi sel buruk Invasi dan atau limfotik vaskuler Invasi mikroskopik ke parametria

Referensi:

1. Campion MJ. Preinvasive disease. In: Berek JS. Hacker NF, eds. Practical Gynecologic Oncology. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005: 265-335. 2. Al-Nafussi A. Histopathological challenges in assessing invasion in squamous, glandular neoplasia of the cervix. Curr Diagn Path 2006; 12: 364-93 3. Zhou JH, Ye F, Chen HZ, Zhou CY, Lu WG, Xie X. Altered ekspression of cellular membrane molecules of HLA-DR, HLA-G and CD99 in cervical intraepithelial neoplasias and invasive squamous cell carcinoma. Life Sci 2006; 78: 2643-49. 4. Tiersma ESM, Peters AAW, Lee ML, Visser AP, Fleuren. Reason for early intervention by gynaecologist in a clinical follow up study on cervical intraepithelial neoplasia. EJOG 2006. available at htpp://www.elsevier.com. 5. Gracia AA. Cervical cancer. Available at http://emedicine.medscape.com /article/253513-treatment 6. Sawaya GF, Brown AD. Current approaches to cervical cancer screening. NEJM 2001; 344: 1603-07. 7. Andrijono. Kanker serviks. Dalam: Sinopsis kanker ginekologi. Jakarta: Div onkologi dep obsgin FKUI-RSUPNCM, 2004: 35-70. 8. Abdel-Hady ES, Emam M, Al-Gohary A, et al. Screening for cervical carcinoma using visual inspection with acetic acid. Int J Gynecol Obstet 2006; 93: 118-22. 9. Moore DH. Cervical cancer. Obstet Gynecol 2006;107(5):1152-61. 10. Hacker NF. Cervical Cancer . In: Berek JS, Hacker NF. Practical Gynecologic Oncology, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005; 337-395. 11. Krivak T.C. et al. Cervical and Vaginal Cancer. In Novaks Gynecology, 13th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002. p. 1223-5. 12. Levenback C. Cervical cancer. In: Handbook of Gynecologic Oncology,2nd ed. Barakat RR, Bevers MW, Gershenson DM, Hoskins WJ. London: Martin Dunitz Publishers Ltd;2002. p. 231-47

13. Aziz MF dkk. Kanker serviks invasif. Dalam: Penuntun PelayananPendidikan-Penelitian Sub-bagian ONKOLOGI GINEKOLOGI. Bagian Obstetri-Ginekologi FKUI. Jakarta.1998;80-7.

Kanker Serviks; Epidemiologi-Klasifikasi By Exomed Indonesia 20/11/2010Posted in: Obstetri & Ginekologi Theresia Yinski, MD Epidemiologi Kanker serviks merupakan kanker paling sering kedua di dunia, dengan insidens dan mortalitas yang tinggi di negara berkembang. Di negara maju terdapat penurunan angka mortalitas yang bermakna pada 40 tahun terakhir, angka mortalitas di Eropa Barat sebesar 3,4 dan di Amerika Utara 2,3 per 100.000 wanita. Penyebab utama terjadinya penurunan ini adalah deteksi dini dan program terapi yang lebih efektif. Dibandingkan kanker ginekologi lainnya, kanker serviks umumnya mengenai wanita dengan usia yang lebih muda.1 Sebagian kasus kanker serviks pada negara berkembang terdiagnosis pada stadium lanjut. Faktor-faktor yang berperan dalam hal ini adalah kurang efektifnya program skrining baik infrastruktur, teknik dan organisasinya. Penyebab lain adalah faktor geografis, finansial dan budaya. Wanita dengan kanker serviks tampaknya belum merasakan gejala pada stadium dini penyakit dan sebagian besar mencari pertolongan saat merasa gejala sudah muncul.2 Penyebab dan faktor risiko Kanker serviks adalah kanker primer dari serviks (kanalis servikalis dan atau porsio). Perjalanan penyakit karsinoma sel skuamosa serviks merupakan salah satu model karsinogenesis yang melalui beberapa tahapan dimulai dari proses karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga tumbuh menjadi kanker invasif. Virus HPV diimplikasikan sebagai penyebab primer displasia serviks dan kanker serviks. Faktor risiko terjadinya kanker serviks antara lain hubungan seksual pertama kali di usia muda, penyimpangan pola seksual (multipartner), multiparitas, riwayat penyakit menular seksual, merokok dan pemakaian kontrasepsi hormonal.1 Faktor lain yang diperkirakan adalah kurangnya asupan vitamin

A.4 Sirkumsisi pada pria dihubungkan dengan penurunan infeksi HPV pada pria dan menurunkan risiko terjadinya kanker serviks pada pasangannya. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara merokok dengan peningkatan risiko kanker serviks. Karsinogenesis terdapat pada rokok dan terkonsentrasi pada mucus seviks dan dapat berinteraksi dengan imunitas lokal.1 HPV merupakan grup virus yang heterogen yang mengandung closed circular double-stranded DNA. HPV yang menginfeksi serviks manusia dikategorikan menjadi 2 golongan besar: (1) tipe resiko rendah, yaitu HPV 6b dan 11, yang berhubungan dengan low-grade SILs (squamous intraepitelial lesion) tapi tidak pernah ditemukan pada kanker invasif; (2) tipe resiko tinggi, paling sering HPV 16 dan 18, yang ditemukan pada 50-80% SILs dan 90% kanker invasif. Walaupun jarang, HPV tipe 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 73, dan 82 juga dipikirkan bersifat karsinogenik.5 Peran infeksi HIV dalam patogenensis kanker serviks belum sepenuhnya dimengerti. Penelitian menunjukkan prevalensi HPV lebih tinggi pada wanita dengan seropositif HIV dibandingkan pada wanita dengan seronegatif HIV, dan prevalensi HPV berbanding lurus dengan keparahan imunosupresi yang dapat diketahui dari jumlah CD4.5 Terminologi dan klasifikasi neoplasia intraepitelial serviks Terminologi displasia diperkenalkan oleh Reagen dan Hammoc pada tahun 1956 yang menggambarkan perbedaan antara carsinoma in situ dengan lesi yang lebih anaplastik. Pada tahun 1975 WHO mendefinisikan displasia sebagai lesi dimana sebagian epitel digantikan oleh sel yang menunjukkan atipia dengan derajat yang bervariasi. Perubahan displasia mempunyai tingkatan ringan, sedang, dan berat. Richart memperkenalkan terminologi neoplasia intraepitelial serviks (NIS) untuk menggambarkan spektrum biologis dari kelainan preinvasif skuamosa serviks. NIS terbagi atas tiga tingkat yaitu NIS 1 (displasia ringan), NIS 2 (displasia sedang) dan NIS 3 (displasia berat atau karsinoma in situ). Sistem Bethesda dalam melaporkan diagnosis hasil pemeriksaan sitologi serviks atau vagina dikembangkan pertama kali pada tahun 1988 di Amerika Serikat, pada tahun 2001 dilakukan pembaharuan pada sistem ini. Lesi pra kanker serviks berdasarkan sistem Bethesda yang diperbaharui tahun 2001 terbagi atas:

1. Low grade squamous intraepithelial lesions (LGSIL) atau NIS 1 adalah lesi berada pada 1/3 epithelium yang di tempati oleh sel yang bermetaplasia. Lesi tersebut dapat terlihat selama inspeksi visual dengan asam asetat. 2. High grade squamous intraepithelial lesions (HGSIL) atau NIS 2 dan NIS 3 adalah lesi yang berada lebih dari 1/3 kedalaman dari epithelial servikal yang dilapisi oleh sel-sel displasia. Apabila asam asetat dioleskan pada serviks akan lebih terserap daripada pada lesi low grade, sehingga acetowhite lesion akan lebih jelas terlihat. Secara histologi CIN 3 dihubungkan dengan stratifikasi dari nukleus abnormal tanpa sitoplasma matur sepanjang ketebalan epitel, nukleus pleomorfik dan gambaran dari virus wart dapat terjadi perubahan berupa cytoplasmic clearing, iregularitas nukleus, multinukleasi, gambaran mitosis, termasuk bentuk atipik terlihat pada semua lapisan epitel dan seringkali ektensi ke crypta superfisial endoservik. 2,6 Perbedaan dari klasifikasi NIS dengan Bethesda dapat dilihat pada tabel dibawah ini.6 Tabel 1. Klasifikasi NIS dan hasil pemeriksaan sitologi Bethesda 2000

Pada klasifikasi sistem Bethesda terdapat ASCUS (atypical squamous cells of undetermined significance) dan ASC-H (atypical squamous cells, cannot rule out a high grade lesion) tidak dapat mengekslusi HGSIL. ASCUS merupakan

suatu kategori dimana hasil pemeriksaan tidak dapat digolongkan pada sel normal atau kelainan epitel yang jelas, namun perubahan sel tersebut mengarah pada NIS. Kejadian ASCUS pada hasil pap smear sekitar 3,5%. 7 Pada sistem Bethesda tidak dijumpai kategori untuk kelainan kelenjar seperti pada sel skuamosa. Antara sel kelenjar normal dan adenokarsinoma invasif hanya terdapat satu kategori yaitu AGUS/AGCUS (Atypical Glandular Cells of Undetermined Significance) tidak ada ketegori glandular intraepitelial neoplasia maupun adenokarsinoma in situ, sedangkan perubahan reaktif dimasukkan ke dalam perubahan sel jinak. AGUS ditemukan pada 0,5% dari Pap Smear. Dari hasil pemeriksaan Thin Prep ditemukan HGSIL 5,2-21,9%, Adenokarsinoma insitu 0-3,9%, kanker serviks invasif 1,4-4,3% dan hiperplasia endometrium serta karsinoma endometrium sebesar 1,3-11%.7 Lesi prakanker serviks dapat mengalami regresi spontan sekitar 57% NIS 1, 43% NIS 2 dan 32% NIS 3 akan mengalami regresi.7 Namun NIS juga dapat berkembang ke tingkat yang lebih berat, NIS 1 berisiko untuk berkembang menjadi menjadi NIS 3 sebesar 25% selama kurun waktu 2 tahun. Risiko perkembangan NIS menjadi kanker invasif sulit ditentukan. Walaupun demikian, wanita dengan NIS 3 yang tidak mendapatkan terapi yang berhasil, 30-40% akan berkembang menjadi kanker dalam kurun waktu 20 tahun.1 Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai suatu spektrum penyakit yang dimulai dari displasia ringan (NIS 1), displasia sedang (NIS 2), displasia berat dan karsinoma in-situ (NIS 3) untuk kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Beberapa peneliti menemukan bahwa 30-35% NIS mengalami regresi, yang terbanyak berasal dari NIS 1/ NIS 2. Karena tidak dapat ditentukan lesi mana yang akan berkembang menjadi progesif dan mana yang tidak, maka semua tingkat NIS dianggap potensial menjadi ganas sehingga harus ditatalaksana sebagaimana mestinya. Referensi: 1. Campion MJ. Preinvasive disease. In: Berek JS. Hacker NF, eds. Practical Gynecologic Oncology. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005: 265-335. 2. Al-Nafussi A. Histopathological challenges in assessing invasion in squamous, glandular neoplasia of the cervix. Curr Diagn Path 2006; 12: 364-93

3. Zhou JH, Ye F, Chen HZ, Zhou CY, Lu WG, Xie X. Altered ekspression of cellular membrane molecules of HLA-DR, HLA-G and CD99 in cervical intraepithelial neoplasias and invasive squamous cell carcinoma. Life Sci 2006; 78: 2643-49. 4. Tiersma ESM, Peters AAW, Lee ML, Visser AP, Fleuren. Reason for early intervention by gynaecologist in a clinical follow up study on cervical intraepithelial neoplasia. EJOG 2006. available at htpp://www.elsevier.com. 5. Gracia AA. Cervical cancer. Available at http://emedicine.medscape.com /article/253513-treatment 6. Sawaya GF, Brown AD. Current approaches to cervical cancer screening. NEJM 2001; 344: 1603-07. 7. Andrijono. Kanker serviks. Dalam: Sinopsis kanker ginekologi. Jakarta: Div onkologi dep obsgin FKUI-RSUPNCM, 2004: 35-70.

Anda mungkin juga menyukai