Penyusunan: Disusun Dalam Rangka Penyelesaian Salah Satu Bagian Perkuliahan Blok 2 Infeksi dan Parasitologi di Semester III.
ABSTRAK
Demam rematik adalah peradangan sistem organ tubuh terutama sendi dan jantung, akibat infeksi dan komplikasi streptokokus beta hemolitikus grup A. Penyakit ini lebih banyak menyerang anak-anak pada umur 5-15 tahun. Diperkirakan 3% dari individu yang belum pernah menderita demam rematik akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptokokus yang tidak diobati. Demam rematik merupakan respon auto imun terhadap infeksi streptokokus pada tenggorokan yang tidak ditangani dengan baik. Infeksi streptokokus dimulai dari ikatan permukaan bakteri dengan reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses spesifik seperti pelekatan, kolonisasi, dan invasi. Demam rematik ditandai oleh radang eksudatif dan proliferatif pada jaringan ikat, terutama pada jantung, sendi, dan jaringan subkutan. Perjalanan klinis penyakit ini dapat dibagi menjadi 4 stadium dengan berbagai kriteria. Diagnosis demam rematik dapat ditegakkan dengan menganalisis kondisi pasien sesuai dengan kriteria Jones T, tapi perlu diingat kriteria Jones bukanlah hal yang mutlak. Untuk itu kita dapat melakukan uji laboratorium dan studi imaging untuk mendapatkan hasil yang akurat contohnya adalah, kultur pada tenggorokan, tes deteksi antigen, antistreptococcal antibodi, chest radiography, dan echocardiography. Pengobatan utama demam rematik bertujuan untuk memunsahkan streptokokus pada tonsil dan faring dengan pemberian penisilin benzatin intramuskular. Pencegahan dapat dilakukan secara primer dan sekunder untuk pasien yang mempunyai riwayat demam rematik terdahulu agar tidak terjadi serangan ulangan dan komplikasi pada organ lain.
PENDAHULUAN
Demam rematik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi setelah infeksi streptokokus grup A beta hemolitikus pada individu yang mempunyai faktor predisposisi. Penyakit ini masih merupakan penyebab terpenting penyakit jantung didapat (acquired heart disease) pada anak dan dewasa muda di banyak negara terutama negara sedang berkembang. Keterlibatan kardiovaskular pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium melalui suatu proses autoimun yang menyebabkan kerusakan jaringan5. Serangan pertama demam rematik akut terjadi paling sering antara umur 5-15 tahun. Demam rematik jarang ditemukan pada anak di bawah umur 5 tahun5. Demam rematik akut menyertai faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A yang tidak diobati. Pengobatan yang tuntas terhadap faringitis akut hampir meniadakan resiko terjadinya demam rematik. Diperkirakan hanya sekitar 3 % dari individu yang belum pernah menderita demam rematik akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis streptokokus yang tidak diobati5,7. Pada negara-negara maju, insiden penyakit ini masih rendah, tapi sebaliknya di Negara berkembang, insiden dan mortalitas penyakit ini bisa mencapai 10 kali lipat, faktor penting yang mempengaruhi insiden demam rematik adalah ketepatan diagnosis dan pelaporan penyakit. Sampai sekarang belum tersedia uji spesifik yang tepat untuk menegakkan diagnosis demam rematik akut. Terdapat kesan terdapatnya overdiagnosis demam rematik, sehingga diharapkan dengan kriteria diagnosis yang tepat, pengertian dan kemampuan untuk mengenal penyakit ini serta kesadaran para dokter untuk menanggulanginya merupakan hal yang sangat penting dalam menurunkan insidens penyakit ini7,8.
DEFINISI
Demam rematik adalah peradangan sistem organ tubuh, terutama sendi dan jantung, akibat komplikasi dari infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A pada tenggorokan. Gejala-gejalanya muncul berkisar 2-3 minggu setelah infeksi streptokokus. Demam rematik akut biasanya muncul pada anak-anak yang berumur 515 tahun1.
ETIOLOGI
Hubungan etiologis antara kuman Streptokokus dengan demam rematik diketahui dari data sebagai berikut: 1. Pada sebagian besar kasus demam rematik akut terdapat peninggian kadar antibodi terhadap Streptokokus atau dapat diisolasi kuman beta-Streptokokus hemolitikus grup A, atau keduanya3,7. 2. Insidens demam rematik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insidens oleh beta-Streptokokus hemolitikus grup A yang tinggi pula. Diperkirakan hanya sekitar 3% dari individu yang belum pernah menderita demam rematik akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptokokus yang tidak diobati3,7. 3. Serangan ulang demam rematik akan sangat menurun bila penderita mendapat pencegahan yang teratur dengan antibiotika3,7.
PATOGENESIS
Hubungan antara infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A dengan terjadinya demam rematik telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respon auto immune terhadap infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A pada tenggorokan. Respon manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaan genetic host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini belum diketahui, tetapi peran antigen
histokompabiliti mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibody yang berkembang segera setelah adanya infeksi Streptokokus telah diteliti sebagai faktor resiko yang potensial. Terbukti sel limfosit T memegang peranan dalam patogenesis penyakit ini dan ternyata tipe M dari Streptokokus grup A mempunyai potensi rheumatogenik. Beberapa serotype biasanya mempunyai kapsul, berbentuk besar, koloni mukoid yang kaya dengan protein. M-protein adalah salah satu determinan virulensi bakteri, strukturnya homoloh dengan myosin kardiak dan molekul alphahelical coiled coil, seperti tropomyosin, keratin dan lamini. Laminin adalah matriks protein ekstraseluler yang disekresikan oleh sel endothelial katup jantung dan bagian integral dari struktur katup jantung. Lebih dari 130 M-protein seudh teridentifikasi dan tipe 1, 3, 5, 6, 14, 18, 19, 24 berhubungan dengan terjadinya demam rematik5,10. Superantigen Streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesa oleh bakteri dan virus yang dapat berikatan dengan mayor histokompabiliti kompleks molekul dengan nonpolimorphik V b-chains dari T-cell receptor. Pada kasus Streptokokus banyak penelitian yang difokuskan pada peranan superantigen-like activity dari fragmen M-protein dan juga Streptokokal pyrogenik eksotoksin dalam patogenesis demam rematik5,10. Terdapat bukti kuat bahwa respon autoimun terhadap antigen Streptokokus memegang peranan dalam terjadinya demam rematik dan penyakit jantung rematik pada orang yang rentan. Sekitar 0,3-3 % individu yang rentan terhadap infeksi faringitis Streptokokus akan berlanjut menjadi demam rematik. Data terakhir menunjukkan bahwa gen yang mengontrol low level respon antigen Streptokokus berhubungan dengan Class II human leukocyte antigen5,10. Infeksi Streptokokus dimulai dengan ikatan permukaan bakteri dengan reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses spesifik seperti pelekatan, kolonisasi, dan invasi. Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan reseptor host adalah kejadian yang penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan oleh Streptokokal fibronektin-binding proteins5,10.
Faktor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang jelek, kondisi tinggal yang berdesakan dan akses keshatan yang kurang merupakan determinan yang signifikan dalam distribusi penyakit ini5,10.
PATOLOGI
Demam rematik ditandai oleh radang eksudatif dan proliferatif pada jaringan ikat, terutama pada jantung, sendi, dan jaringan subkutan. Bila terjadi karditis, maka seluruh lapisan jantung akan terkena. Perikarditis adalah kasus yang paling sering terjadi dan kadang-kadang ditemui juga perikarditis fibrinosa. Peradangan perikard biasanya sembuh setelah beberapa saat tanpa sekuele klinis yang bermakna, dan jarang terjadi tamponade. Pada keadaan fatal, keterlibatan miokard menyebabkan pembesaran semua ruang pada jantung1,9. Pada miokardium mula-mula ditemui fragmentasi serabut kolagen, infiltrasi limfosit, dan degenerasi fibrinoid diikuti didapatinya nodul aschoff di miokard yang merupakan patognomonik demam rematik. Nodul aschoff terdiri dari area nekrosis sentral yang dikelilingi limfosit, sel plasma, sel mononukleus yang besar. Beberapa sel mempunyai inti yang memanjang dengan area yang jernih dalam membran inti yang disebut Anitschkow myocytes. Nodul aschoff bisa ditemui pada spesimen biopsi endomiokard penderita demam rematik1,9.
MANIFESTASI KLINIS
Perjalanan klinis penyakit demam rematik dibagi menjadi 4 stadium yaitu: 1. Stadium 1 Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-Streptococcus hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tandatanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular seringkali
membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan3,7,8. 2. Stadium 2 Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus dengan permulaan gejala demam rematik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian3,7,8. 3. Stadium 3 Merupakan fase akut demam rematik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik demam rematik/penyakit jantung rematik. Manifestasi klinik tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi spesifik (gejala mayor) demam rematik/penyakit jantung rematik3,7,8. 4. Stadium 4 Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam rematik tanpa kelainan jantung atau penderita penyakit jantung rematik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa. Pada penderita penyakit jantung rematik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita demam rematik maupun penyakit jantung rematik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya3,7,8.
DIAGNOSIS
Diagnosis demam rematik lazim didasarkan pada suatu kriteria yang untuk pertama kali diajukan oleh T. Duchett Jones dan oleh karena itu kemudian dikenal sebagai kriteria Jones. Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya demam rematik. Tanpa didukung bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus selalu diragukan, kecuali pada kasus demam rematik dengan manifestasi mayor tunggal berupa korea Syndenham
atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika demam rernatik baru muncul setelah masa laten yang lama dan infeksi streptokokus2. Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik agar dapat memperkecil adanya kasus overdiagnosis maupun underdiagnosis. Berikut rincian dari kriteria Jones tersebut: 1. Kriteria Mayor yang terdiri dari karditis, poliartritis, korea, eritema, marginatum, nodulus subkutan2. 2. Kriteria Minor yang terdiri dari klinik (riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik sebelumnya, artralgia, demam) dan laboratorium (peningkatan kadar reaktan fase akut, interval P-R yang memanjang)2. Pemeriksaan laboratorium sekarang semakin sering dipergunakan agar
mendapatkan diagnosa yang lebih akurat, berikut contoh-contoh uji laboratorium untuk pemeriksaan demam rematik: 1. Kultur pada tenggorokan Teknik mengambil sampel dari kedua tonsil dan faring posterior, lalu sampelnya ditanam pada darah domba untuk menunjukkan adanya infeksi streptokokus betahemolitik2. 2. Tes deteksi antigen Tes ini memungkinkan deteksi cepat dari grup A streptokokus (GAS) antigen, yang memungkinkan ditegakkannya diagnosis faringitis streptokokus dan terapi antibiotik harus dimulai segera setelah tes. Tes ini memiliki spesifitas yang tinggi yaitu sekitar 95% tetapi sensivitasnya hanya 60-90%2. 3. Antistreptococcal antibody Gambaran klinis dari demam rematik dimulai saat antistreptococcal antibody mencapai level puncaknya. Dengan demikian tes ini sangat berguna untuk
memastikan infeksi GAS sebelumnya. Tes ini juga sangat berguna pada pasien yang mengalami gejala chorea2. Untuk diagnosis penunjang lainnya, dokter akan melakukan studi imaging yang terdiri dari: 1. Chest radiography Cardiomegaly, kongesti pulmonary, dan temuan lainnya yang konsisten dengan gagal jantung sangat mungkin diobservasi dengan radiography. Tes ini juga dapat membedakan antara CHF (Congestive Heart Failure) dengan pneumoni rematik2. 2. Echocardiography Pada individu dengan penyakit jantung rematik akut, echocardiography mampu mengidentifikasi dan mengkuantitasi insufisiensi katup dan disfungsi ventrikel. Pada individu dengan penyakit jantung rematik kronis, echocardiography melacak perkembangan stenosis katup dan dapat membantu menentukan waktu untuk intervensi bedah2.
PENGOBATAN
1. Eradiksi kuman Streptokokus Pengobatan yang adekuat terhadap infeksi Streptokokus harus segera dilaksanakan setelah diagnosis ditegakkan. Cara pemusnahan streptokokkus dari tonsil dan faring sama dengan cara untuk pengobatan faringitis streptokokus yakni pemberian penisilin benzatin intramuskular dengan dosis 1,2 juta unit untuk pasien dengan berat badan > 30 kg atau 600 000-900 000 unit untuk pasien dengan berat badan < 30 kg. Penisilin oral, 400 000 unit (250 mg) diberikan empat kali sehari selama 10 hari dapat digunakan sebagai alternatif. Eritromisin, 50 mg/kg BB sehari dibagi dalam 4 dosis yang sama dengan maximum 250 mg 4 kali sehari selama 10 hari dianjurkan untuk pasien yang alergi penisilin. Obat lain seperti sefalosporin yang diberikan dua kali sehari selama 10 hari juga efektif untuk pengobatan faringitis streptokokus. Penisilin benzatin yang berdaya lama lebih disukai dokter karena reliabilitasnya serta efektifitasnya untuk profilaksis infeksi streptokokus4.
2. Obat analgesik dan obat anti-inflamasi Salisilat memiliki efek dramatis dalam meredakan artritis dan demam. Obat ini dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis karena artritis demam rematik memberikan respon yang cepat terhadap pemberian salisilat. Natrium salisilat diberikan dengan dosis 100-120 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama 2-4 minggu, kemudian diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari selama 4-6 minggu. Aspirin dapat dipakai untuk mengganti salisilat dengan dosis untuk anak-anak sebesar 15-25 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama seminggu, untuk kemudian diturunkan menjadi separuhnya; dosis untuk orang dewasa dapat mencapai 0,6-0,9g setiap 4 jam. Kortikosteroid dianjurkan pada demam rematik dengan gagal jantung. Obat ini bermanfaat meredakan proses peradangan akut, meskipun tidak mempengaruhi insiden dan berat ringannya kerusakan pada jantung akibat demam rematik. Prednison diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis terbagi selama 2 minggu, kemudian diturunkan menjadi 1 mg/kg/hari selama minggu ke 3 dan selanjutnya dikurangi lagi sampai habis selama 1-2 minggu berikutnya. Untuk menurunkan resiko terjadinya rebound phenomenon, pada awal minggu ke 3 ditambahkan aspirin 50-75 mg/kg/hari selama 6 minggu berikutnya4. 3. Diet Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian besar kasus cukup diberikan makanan biasa, cukup kalori dan protein. Tambahan vitamin dapat dibenarkan. Bila terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan diet untuk gagal jantung yaitu cairan dan garam sebaiknya dibatasi4. 4. Tirah baring dan mobilisasi Semua pasien demam rematik akut harus tirah baring, jika mungkin di rumah sakit. Pasien harus diperiksa tiap hari untuk menemukan valvulitis dan untuk mulai pengobatan dini bila terdapat gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak dari awal serangan, hingga pengamatan yang ketat harus dilakukan
selama masa tersebut. Sesudah itu lama dan tingkat tirah baring bervariasi. Tabel 4 merupakan pedoman umum; tidak ada penelitian acak terkendali untuk mendukung rekomendasi ini. Hal penting adalah bahwa tata laksana harus disesuaikan dengan manifestasi penyakit, sedang pembatasan aktivitas fisis yang lama harus dihindari4. Selama terdapat tanda-tanda radang akut, penderita harus istirahat di tempat tidur. Untuk artritis cukup dalam waktu lebih kurang 2 minggu, sedangkan untuk karditis berat dengan gagal jantung dapat sampai 6 bulan. Mobilisasi dilakukan secara bertahap4. Istirahat mutlak yang berkepanjangan tidak diperlukan mengingat efek psikologis serta keperluan sekolah. Penderita demam rematik tanpa karditis atau penderita karditis tanpa gejala sisa atau penderita karditis dengan gejala sisa kelainan katup tanpa kardiomegali, setelah sembuh tidak perlu pembatasan aktivitas. Penderita dengan demam kardiomegali menetap perlu dibatasi aktivitasnya dan tidak diperkenankan melakukan olahraga yang bersifat kompetisi fisis4.
PENCEGAHAN
Pencegahan demam rematik dapat berupa pencegahan primer maupun sekunder. Untuk pencegahan primer perlu ditegakkan diagnosa infeksi saluran nafas oleh streptokokus beta hemolitikus grup A. Hal ini penting untuk mencegah timbulnya demam rematik Sering pada pemeriksaan sulit dibedakan dengan infeksi oleh sebab lain misalnya infeksi virus atau bakteri pada tenggorok4,6,10. The American Heart Association dan WHO menganjurkan pencegahan sekunder dengan pemberian suntikan penisilin setiap 3-4 minggu. Meskipun nyeri bekas suntikan, pasien lebih memilih cara ini karena dapat dengan mudah dan teratur melakukannya, dibandingkan dengan tablet penisilin oral setiap hari. Pencegahan sekunder ditujukan terhadap penderita yang telah pernah menderita demam rematik dengan tujuan agar demam rematiknya tak kambuh lagi. Penelitian menunjukkan bahwa penderita yang secara teratur mendapat pencegahan, jarang mendapat serangan demam rematik untuk kedua kalinya4,6,10.
KESIMPULAN
Demam rematik merupakan suatu reaksi autoimun terhadap faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A yang mekanismenya belum sepenuhnya dimengerti. Demam rematik tidak pernah menyertai infeksi kuman lain maupun infeksi Streptococcus di tempat lain. Penyakit ini juga cenderung berulang. Insidens tertinggi penyakit ini ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun dan pengobatan yang tuntas terhadap faringitis akut hampir meniadakan risiko terjadinya demam rematik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kisworo, Bambang. Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta, 1997. Available at: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09DemamRematik116.pdf/09D emamRematik116.html 2. Thomas K Chin, MD, et al. Rheumatic Fever: Differential Diagnoses &
Workup.
25
February
2010.
Available
at:
http://emedicine.medscape.com/article/1007946-diagnosis 3. Robert J Meador, MD, et al. Acute Rheumatic Fever. 31 July 2009. Available
at: http://emedicine.medscape.com/article/333103-overview
4. Robert J Meador, MD, et al. Acute Rheumatic Fever: Treatment &
Medication.
31
July
2009.
Available
at:
http://emedicine.medscape.com/article/333103-treatment
Permasalahan Indonesia. 2007. 6. Catherine Olivier. Rheumatic Fever-is it still a problem?. 2000 : The British Society for Antimicrobial Chemotherapy
7. Linda Vorvick, MD. Rheumatic Fever. 7 Desember 2008. Available at: http://www.pennstatehershey.org/healthinfo/hie/1/003940.htm 8. Geoffrey A. Weinberg, MD. Rheumatic Fever. June 2006. Available at: http://www.merck.com/mmhe/sec23/ch272/ch272h.html 9. Harold Horowitz MD. Class Act: Pathogenesis of Rheumatic Heart Disease.
November 2001.