Anda di halaman 1dari 16

Praktikum Farmakologi Analgesik

Pendahuluan Untuk mata ajar farmako muskuloskeletal, mengajarkan obat-obat yang dipakai untuk menghilangkan nyeriatau disebut juga obat analgesik, obat-obat non-steroid anti inflamasi atau NSAID, analgesik opioid, obat urikosurik, dan Disease Modfying Rheumatoid Arthritis Durgs (DMARDs).

Sasaran Belajar 1. Mampu melakukan praktikum tersamar ganda atau double blind clinical trial. 2. Mampu melakukan observasi efek analgesik dari beberapa jenis analgesik. 3. Mampu melakakukan observasi pada efek samping yang mungkin timbul pada masingmasing analgesik. 4. Mampu mencatat hasil praktikum dan membuat laporan yang baik.

Alat yang diperlukan 1. Tensimeter, stetoskop, termometer kulit, termometer kimia, dan penggaris. 2. Baskom plastik berisi bongkahan es plus air dengan suhu 3C. 3. Obat-obat analgesik : a. b. Parasetamol Kodein 600 mg 30 mg

c. d. e.

Ibuprofen Tramadol Plasebo

600 mg 50 mg

Yang dikemas dalam kapsul yang sama bentuk, besar, dan warnanya.

Persiapan 1. Tiap kelompok harus mempersiapkan 2 orang untuk dijadikan sebagai orang percobaan yang diharuskan untuk berpuasa selama 4 jam sebelum percobaan. Untuk praktikum analgesik tidak ada kontradiksi khusus, dimana mahasiswa tidak boleh menjadi orang percobaan, hanya hati-hati pada mahasiswa yang termasuk atau pernah punya ulcus pepticum atau gastritis kronis. 2. Instruktur telah mempersiapkan obat-obat dengan kemasan yang sama bentuk, nesar, dan warnanya yang telah diberi kode tertentu. Karena percobaan ini adalah tersamar ganda, dimana para instruktur dan para orang percobaan tidak dapat memilih obat yang akjan diminum, dengan tujuan untuk menghindari faktor Subjektivitas mempengaruhi keabsahan hasil pengamatan. 3. Tiap kelompok menyiapkan alat-alat yang akan digunakan yang akan

Tatalaksana 1. Mintalah orang percobaan yang telah dipilih oleh masing-masing kelompok untuk berbaring di meja praktikum. 2. Lakukan pengukuran tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi napas, suhu kulit, dan diameter pupil mata serta gejala subyektif seperti: pusing, demam, mual, dan lainlain.) pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan termometer kulit yang diletakan pada leher depan dibawah dagu (daerah flushing)

Pengukuran pupil mata dilakukan dengan penggaris dalam keadaan mata orang percobaan menatap lurus keatas, pada saat berbaring. Lakukanv pengukuran di atas 2 kali dan diambil rataratanya sebagai parameter dasar. 3. Untuk membangkitkan rasa sakit maka dilakukan: a. Untuk orang percobaan pertama, dalam keadaan duduk celupkan tangan kanan sampai pergelangan tangan dan dalam keadaan jari-jari terkepal ke dalam baskom plastik berisis air es dengan suhu 2-3 derajat celcius. Catatlah waktu tangan dimasukkan sampai terasa sakit yang tidak dapat ditahan lagi. b. Untuk orang percobaan lain, dalam keadaan berbaring pasanglah manset tensimeter pada lengan kanan atas, pompalah sampai 180 mmHg, lalu tutuplah kunci air raksanya. Mintalah orang percobaan melakukan gerakan membuka dan menutup jari (mengepal) tiap detik sampai rasa nyeri yang tak tertahankan lagi. Catat waktu saat mulai gerakan sampai rasa sakit yang tak tertahankan lagi. Lakukan pada lengan yang satu dan ambil rata-rata waktu kedua lengan sebagai parameter dasar. 4. Mintalah obat pada instruktur dan tiap orang percobaan minum obatnya setelah kawannya mencatat kode obat yang diminumnya. 5. Orang percobaan berbaring tenang selama 60 menit, sedang kawan-kawannya barada disisinya dan mendiskusikan tentang obat analgetik. 6. Setelah 60 menit, lakukan kembali pengukuran parameter: tanda vital, suhu kulit, diameter pupil mata, dan waktu timbulnya rasa nyeri. 7. Berdasarkan hasil observasi anda, diskusikan dan tentukan obat apa yang diminum teman anda tadi, cocokanlah dengan instruktur. 8. Tanyakan dan catatlah gejala-gejala lain yang dirasakan orang percobaan misalnya: ngantuk, demam, gatal-gatal, sakit kepala, perih uluh hati, berkeringat, mual, muntah, dll. 9. Diskusikanlah di dalam kelompok apakah hasil observasi yang dilakukan sesuai dengan sifat-sifat analgetik yang diminum orang percobaan.

10. Buatlah laporan mengenai praktikum ini.

Pembahasan 1. Obat yang digunakan dalam praktikum tersamar ganda adalah obat plasebo, tramadol, kodein, parasetamol dan ibuprofen a. Plasebo. Adalah obat yang tidak mempunyai efek pada manusia. Sediaan pengobatan medis rekaan, pada awalnya preparat obat yang tidak mempunyai aktivitas farmakologik spesifik terhadap penyakit atau keluhan pasien, yang diberikan hanya untuk pasien psikofisiologis pengobatan tersebut, pengobatan eksperimental harus menghasilkan hasil yang lebih baik dari pada plasebo agar memberikan efek. b. Obat kedua adalah tramadol. Tramadol (ULTRAM) adalah suatu analog kodein sintetik yang merupakan suatu agonis reseptor opioid yang lemah. Sebagian efek analgetiknya dihasilkan oleh penghambatan ambilan norepinerfin dan serotonin. Tramadol tampaknya sama efektifnya dengan opioid lemah lainnya. Dalam penanganan nyeri ringan sampai sedang, tramadol sama efektifnya dengan morfin atau meperidin. Akan tetapi untuk penanganan nyeri parah atau kronis, tramadol kurang efektif. Tramadol itu sama efektifnya dengan meperidin dalam penanganan nyeri persalinan dan dapat menyebabkan depresi pernafasan neonatal yang lebih kecil. Ketersediaan hayati tramadol 68% setelah dosis oral tunggal dan 100% bila im. Afinitas terhadap reseptor opioid hanya 1/6000 afinitas morfin. Akan tetapi, metabolit utama dari tramadol yang mengalami o-demetilasi 2-4x lebih kuat dibanding obat induknya dan dapat menjadi penyebab sebagian efek analgetik. Tramadol diberikan sebagai campuran rasemat, yang lebih efektif daripad masing masing enantiomernya. Enantiomer positif berikatan dengan reseptor dan menghambat ambilan serotonin. Enantiomer negatif menghambat ambilan norepinerfin dan merangsang reseptor 2-adrenergik. Senyawa ini mengalami metabolisme hepatik dan ekskresi ginjal, dengan waktu paruh eliminasi selama 6 jam untuk tramadol, dan 7,5 jam untuk metabolik aktifnya.

Analgesia bermula dalam 1 jam setelah pemberian dosis oral dan efeknya memuncak 2-3 jam. Durasi analgesia sekitar 6 jam. Dosis harian yang dianjurkan adalah 400mg.

Efek samping tramadol yang umum meliputi nausea, vomitus, pusing, mulut kering, sedasi dan sakit kepala. Depresi pernafasan tampak lebih kecil dibanding morfin dalam dosis analgesik yang sama dan tingkat konstipasi lebih kecil daripada yang teramati setelah pemberian kodein dalam dosis yang setara. Tramadol dapat menyebabkan seizure dan mungkin memperparah seizure pada penderita yang memiliki faktor rentan. Analgesia yang sering diinduksi tramadol tidak sepenuhnya dapat dipulihkan dengan nalokson, sedangkan depresi pernafasan yang diinduksi oleh tramadol dapat dipulihkan dengan nalokson. Namun, nalokson dapat meningkatkan seizure. Ketergantungan fisik dan penyalahgunaan tramadol pernah dilaporkan walaupun potensi penyalahgunaannya tidak jelas. Tramadol harus dihindari pada pasien yang memiliki riwayat adiksi. Karena efek hambatannya pada ambilan serotonin, tramadol tidak boleh digunakan pada pasien yang menggunakan inhibitor monoamin oksidase atau MAO. c. Derivat para aminofenol yaitu fenasetin dan asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fenansetin dengan efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejal 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus amonibenzin. Fenazetin tidak digunakan lagi dalam pengobatan karena penggunaanya dikaitkan dengan terjadinya analgesik nefropati, anamia hemolitik dan mungkin kanker kandung kemih. Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan nama parasetamol, dan tersedia sebagai obat bebas. Walau demikian, laporan kerusakan fatal hepar akibat takar lajak akut perlu diperhatikan. Tetapi perlu diperhatikan pemakaian maupun dokter bahwa efek anti-iflamasi parasetamol hampir tidak ada.

Farmako dinamik Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti inflamasi sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak digunakan sebagai antidiureumatik. Parasetamol merupakan penghabat biosintesis PG lemah. Efek iritasi, erosi dan pendarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.

Farmako kinetik Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar keseluruh cairan tubuh. Dalam plasma 25% terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen 80% Dikonjungasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini dieksresikan melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjungasi.

Indikasi Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik, telah menggatikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik lainnya, parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik. Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong. Karena hapir tidak mengiritasi lambung, parasetamol sering dikombinasikan dengan AINS untuk efek analgesik.

Efek samping Reaksi alergi terhadap derivat para amino fenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa. Fenansetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimun, defisiensi enzim G6PD dan adanya metabolit abnormal. Methemoglobin dan sulfhemoglobinemia jarang menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi methemoglobinemia baru merupakan masalah pada takar lajak. Eksperimen pada hewan coba menunjukan bahwa gangguan gijal lebih mudah terjadi akibat asetosal daripada fenansetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi berpotensi menyebabka nefropati analgesik.

Toksisitas akut Akibat dosis toksik yang paling serius adalah nekrosis hati. Nekrosis tubuli renalis serta koma hipoglikemik dapat juga terjadi. Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberian dosis tunggal 10-15 gram (200-250 mg/kgBB) parasetamol. Gejala pada hari pertama keracunan akut parasetamol belum mencerminkan bahaya yang mengancam. Anoreksia, mual dan muntah serta sakit perut terjadi dalam 24 jam pertama dan dapat berlangsung selama seminggu atau lebih. Gangguan hepar dapat terjadi pada hari kedua, dengan gejala peningkatan aktivitas serum transaminase, laktat dehidrogenasi, kadar bilirubin serum serta pemanjangan masa protombin. Aktivitas alkali fosfatase dan kadar albumin serum tetap normal. Kerusakan hati dapat mengakibatkan enselopati, koma dan kematian. Kerusakan hati yang tidak berat pulih dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. Masa paruh parasetamol pada hari pertama keracunan merupakan petunjuk beratnya keracunan. Masa paruh leih dari 4 jam merupakan petunjuk akan terjadinya nekrosis hatidan masa paruhnya lebih dari 12 jam meramalkan akan terjadinya

koma hepatik. Penentuan kadar parasetamol sesaat kurang peka untuk meramalkan terjadinya kerusakan hati. Kerusakan ini tidak hanya disebabkan oleh parasetamol, tetapi juga oleh radikal bebas, metabolit yang sangat reaktif yang berkaitan secara kovalen dengan makromolekul vital sel hati. Karena itu hepatotoksisitas parasetamol meningkat pada pasien yang juga mendapat barbiturat, antikonvulsi lain atau pada alkoholic yang kronis. Kerusakan yang timbul berupa nekrosis sentrilobularis. Keracunan akut ini biasanya diobati secara simtomatik dan suportif, tetapi pemberian senyawa sulfhidril tampaknya dapat bermanfaat, yaitu dengan memperbaiki cadangan glutation hati. N-asetilsistein cukup efektif bila diberikan per oral 24 jam setalah minum dosis toksisk parasetamol. d. Ibuprofen Ibuprofen merupakan derivate asam propionate yang diperkenalkan pertama kali di banyak Negara. Obat ini bersifat analgesic dengan daya anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya seperti aspirin. Efek anti-inflamasinya terlihat dengan dosis 1200-2400 mg sehari. Absorbsi ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dapat dicapai setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Sembilan puluh persen ibuprofen terikat dalam protein plasma. Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan dieksresi melalui urin sebagai metabolit atau konjugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi. Obat AINS derivate asam propionate hampir seluruhnya terikat pada protein plasma, efek interaksi misalnya pergeseran obat warfarin dan oral hipoglikemik hampir tidak ada. Tetapi pada pemberian bersama dengan warfarin, tetap harus waspada karena adanya gangguan fungsi trombosit yang memperpanjang masa pendarahan. Derivate asam propionate dapat mengurangi efek diuresis dan natriuresis furosemid dan tiazid, juga mengurangi efek antihipertensi obat blocker prazosin dan kaptopril. Efek ini mungkin akibat hambatan biosintesis PG ginjal. Efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan denan

aspirin, indonetasin atau naproksen. Efek samping lainnya yang jarang ialah eritema kulit, sakit kepala trombosipenia, ambliopia toksik yang reversible. Dosis sebagai analgesic 4 kali 400 mg seharo tetapi sebaiknya dosis optimal tiap orang ditentukan secara individual. Ibuprofen tidak danjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui. Dengan alasan bahwa ibuprofen relatif lebih lama dikenal dan tidak menimbulkan efek samping serius pada dosis analgesic, maka ibuprofen dijual sebagai obat generic bebas di beberapa negara antara lain Amerika Serikat dan Inggris. e. Kodein

Codein atau methylmorphine merupakan suatu obat digunakan sebagai analgesik, antitusif, dan antidiare. Obat ini dipasarkan sebagai garam codein sulfate dan codein phosphate. Codein adalah alkaloid yang ditemukan dalam opium, sekitar 0,3 3,0 %. Meskipun codein bisa diekstrak dari opium, sebagian besar codein yang ada saat ini disintesa dari morfin melalui proses O-methylation. Di pasaran, codein juga tersedia dalam preparat kombinasi dengan parasetamol sebagai cocodamol, dengan aspirin sebagai co-codaprin, atau dengan ibuprofen. Kombinasi ini mengurangi nyeri yang lebih besar ketimbang penggunaan masing-masingnya. Kolaborasi codein ini juga memungkinkan penggunaanya untuk nyeri yang hebat, semisal nyeri akibat penyakit kanker.

Codein dipertimbangkan sebagai prodrug, karena dimetabolisme menjadi morfin. Meskipun demikian, obat ini kurang potensial dibandingkan morfin itu sendiri. Hal ini disebabkan karena hanya 10% codein yang dirubah menjadi morfin. Oleh karena itu, obat ini juga menyebabkan ketergantungan yang lebih rendah dari morfin. Efek samping yang umum dijumpai pada penggunaan codein di antaranya, mual, muntah, mulut kering, gatal-gatal, drowsiness, miosis, orthostatic hypotension, retensi urin, dan konstipasi. Toleransi terhadap berbagai efek codein bisa terjadi pada penggunaan jangka panjang, termasuk efek terapeutik

Farmakokinetik Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorpsi morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgesic setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesic yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan, absorpsi berbagai alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian jenis morfin mengalami konyugasi dengan asam glukuronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. morfin yang terkonjugasi ditemukan di empedu. Sebagian yang kecil dikeluarkan bersama cairan lambung. Pada proses resorpsinya dari usus jauh lebih baik dari pada morfin, begitu pula FPE-nya lebih ringan hingga lebih kurang 70 % , mencapai sirkulasi besar PP-nya hanya 7%, plasma t -nya 3-4 jam. Dalam hati zat diuraikan menjadi norkodein dan 10% menjadi morfin yang mungkin memegang peranan atas efek analgesiknya. Metabolitnya dieksresikan sebagai glukuronida melalui kemih, bersama 5-15% dalam keadaan utuh.

Farmakodinamik Efek analgesik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain seperti rasa raba, rasa getar, (vibrasi), penglihatan, dan pendengaran. Pengaruh morfin dan opioid terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam (dull pain) dan berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh morfin terhadap nyeri tajam dan intermiten. Antara nyeri dan efek analgesic morfin dan opioid lain terdapat antagonism artinya nyeri merupakan antagonis faalan bagi efek analgesic dan efek depresi napas morfin. Bila nyeri

sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin,maka efek analgesiknya tidak begitu besar. Tetapi bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek analgesic morfin mencapai maksimum Indikasi Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik nonnarkotik. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai : 1) trombosis koroner; 2) neoplasma; 3) kolik renai atau kolik empedu; 4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner; 5) perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan; dan 6) nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pascabedah. Sebagai medikasi preanestetik, morfin sebaiknya hanya diberikan pada penderita yang sedang menderita nyeri. Intoksikasi akut Intoksikasi akut morfin dan opioid lain biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau pada takar lajak (overdosis). Penderita tidur, soporous atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi napas lambat, sampai 2-4 kali/menit, dan pernapasan mungkin bersifat Cheyne Stokes.

2. Hasil Hasil Percobaan pada OP 1 dan 2. Dimana Percobaan I yaitu menggunakan manset dan percobaan II menggunakan air es. Percobaan I : Menggunakan manset. OP : Bonny Parameter dasar Nadi : 76

Frekuensi Nafas : 14 Tekanan Darah : 100/60 Suhu : 36o C Pupil : 0,4 cm Kulit : Sawo matang. Percobaan tangan kanan 40,67 s, tangan kiri 60,89s . Rata-rata = 50,78s. Setelah diberikan obat kode 67 : Nadi : 70 Frekuensi Nafas : 21 Tekanan Darah : 94/60 Suhu : 35o C Pupil : 0,4 cm. Kulit : pucat Percobaan tangan kanan 39,24s, tangan kiri 38,30s. Rata-rata = 48,77s. Seharusnya setelah diberikan obat analgesic opioid, waktu pada percobaan seharusnya lebih lama, tapi pada percobaan kali ini memang terbukti menghasilkan waktu yang lebih lama dibandingkan parameter dasar. OP juga tidak mengalami efek apapun pada hari-hari berikutnya.

Percobaan II : Menggunakan air es bersuhu 2-3o C OP : Eiffel Parameter dasar

Kode Obat : 144 I Tekanan Darah Frekuensi Nafas Denyut Nadi Suhu Kulit Diameter Pupil Mata Membangkitkan Rasa Sakit (rata-rata) Gejala Subyektif 120/70 mmHg 19 x/menit 80 x/menit 35,5C 4mm 2 menit 23 detik II 120/60 mmHg 17 x/menit 76 x/menit 35,4C 4mm 1 menit 8 detik

Hasil menunjukkan waktu yang lebih buruk, tapi tanpa gejala efek samping yang kelihatan jelas bahkan sampai 24 jam setelah meminum obat.

3. Analisis kelompok Pada Percobaan I dengan kode obat 67 kami menebak dengan benear dimana gejala efek samping mirip seperti efek obat dari golongan analgesic opioid .Kami menebak kodein karena OP merasakan perih pada lambungnya dan merasa ngantuk. Pada percobaan II dengan kode obat 144 kami menebak placebo karena tidak adanya efek samping yang terlihat dibandingkan dengan OP percobaan I, ternyata obat yang kami dapat adalah tramadol,karena tidak ada efek samping apa-apa setelah meminum obat tersebut. Kode Obat : 144

Pada Kelompok I, mereka mendapatkan obat no 53 dan 89 dimana obat kode 53 merupakan ibuprofen ,sedangkan 89 adalah plasebo tetapi mereka menebak kedua obat itu adalah plasebo. Karena kedua obat itu sama dan gejala yang ditimbulkan sebenarnya tidak berefek apaapa dan ibuprofen yang seharusnya berefek pada lambungnya ato bahkan pusing, seharusnya mereka tidak menebak placebo pada kode 53 karena tramadol tidak akan membuat nyeri lambung ataupun pusing. Pada kelompok II, mereka mendapat obat no 11 dan 122 dimana obat itu adalah plasebo dan parasetamol, tetapi mereka menebaknya dengan parasetamol dan tramadol. Mungkin mereka salah melihat hasil dari efek obat tersebut dan padahal OP yang diberikan placebo tidak menimbulkan efek apa-apa namun mereka menebak parasetamol.Sedangkan yang kodein,mereka salah mengira akibat dari kesamaan efek tramadol dengan kodein dari golongan analgesic opioid yang sama-sama bisa membuat ngantuk dan mual. Pada kelompok IV, mereka diberikan obat no 34 dan 134, dimana obat yang diberikan adalah ibuprofen dan plasebo. Tetapi mereka menebaknya dengan kodein dan plasebo . Tidak adanya pengecilan diameter pupil menunjukkan kalau obat yang diberikan bukan obat analgesik opioid selain itu dari hasil percobaan, mereka mencantumkan perut panas,mual dan pusing sebagai efek samping, tetapi keduanya bukan merupakan efek samping dari kodein ataupun plasebo, mungkin hanya subjektivitas dari OP. Pada kelompok V, mereka diberikan obat no 154 dan 55, obatnya adalah placebo dan kodein. Mereka menebaknya dengan parasetamol dan plasebo.Mereka menebak obat tersebut mungkin karena hasil dari pengukuran yang kurang lebih sama,dan tidak adannya efek samping yang jelas dapat dilihat dari hasil data kelas. Pada kelompok VI, diberikan obat no 31 dan 79, obatnya adalah kodein dan parasetamol. Mereka menebak dengan kodein dan plasebo. Tetapi hasil menungjukkan hasil waktu yang lebih baik pada obat no 31 dan efek mengantuk,akan tetapi pada obat 79 OP merasa mual dimana mereka tidak menebak dengan benar. Pada kelompok VII, mereka diberikan obat no 123 dan 33 dimana obatnya adalah ibuprofen dan parasetamol, keduanya adalah golongan NSAID dan analgesic antipiretik. Mereka menebaknya dengan kodein pada obat no 123, karena efek sampingnya pengecilan pupil mata pada OP dan

menebak tramadol pada obat 33 karena adanya rasa pusing pada OP yang mungkin dipengaruhi oleh subjektivitas OP. Pada kelompok VIII, diberikan obat no 49 dan 124, dimana kedua obatnya adalah plasebo, tetapi mereka menebaknya dengan parasetamol dan plasebo ,mereka menebak dengan benar obat no 124.Efek salah menebak mungkin karena adanya placebo reactor pada OP. Pada kelompok IX,diberikan obat no 124 dan 42,dimana kedua obatnya adalah placebo,tetapi mereka menebak dengan tramadol dan paresetamol,seharusnya mereka tidak menebak obat tersebut karena sebenarnya placebo tidak dapat menyebabkan efek sebesar tramadol,mungkin bisa dipengaruhi oleh subjektivitas OP yang mengalami pusing. Pada kelompok X, diberikan obat no 6 dan 127,dimana obatnya merupakan placebo dan parasetamol,mereka berhasil menebak obat no 6 yaitu plasebo,namun mereka salah menebak obat no 127 dimana mereka menebak ibuprofen dimana OP merasa mual serta nyeri ulu hati. Pada kelompok XI diberikan obat no 127 dan 45 , dimana obatnya adalah ,mereka menebak obatnya adalah parasetamol dan plasebo Pada kelompok XII, diberikan obat no 13 dan 131, dimana obatnya adalah,mereka menebaknya dengan placebo dan parasetamol Kesimpulan Obat analgesik memang dapat mengurangi rasa nyeri. Banyak faktor yang dapat membuat percobaan ini kurang berhasil, mungkin karena tidak mengerti kerja obat dan efek obat, selain itu human error. Tetapi obat-obat analgesik sudah diuji dan memang dapat meredakan nyeri dari rasa nyeri yang ringan-sedang (Analgesik-antipiretik dan NSAID) dan nyeri hebat (analgesik opioid).

Daftar Pustaka 1. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

2. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Alih bahasa: Aryandhito Widhi Nugroho, Leo Rendy. Edisi 10. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. 2012.

Anda mungkin juga menyukai