Anda di halaman 1dari 69

Hiperkalsemia

191
ISSN: 0125-913 X 184 / vol. 38 no. 3 April 2011 http://www.kalbe.co.id/cdk

Jadilah Dokter yang Berilmu dan Beretika

167

210

234

Tinjauan Pustaka
Translating Molecular Discoveries into New Therapies for Pulmonary Arterial Hypertension

Berita Terkini
Pilihan Obat Diabetes pada Pasien Gangguan Fungsi Ginjal Kronis

Profil
Prof. Dr. Lukman Hakim, SpPD-KKV, KGer, FINASIM

Petunjuk untuk Penulis


CDK menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, bisa berupa tinjauan kepustakaan ataupun hasil penelitian dibidang-bidang tersebut, termasuk laporan kasus. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh CDK; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah berisi 2000-3000 kata ditulis dengan program pengolah kata seperti MS Word, spasi ganda, font Euro-stile atau Times New Roman 10 pt. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/ fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dan telah dimasukkan dalam program MS Word. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974 ; 457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10. Jika pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy/CD atau melalui e-mail ke alamat :

DAFTAR ISI
Editorial 164 English Summary 166

Artikel
Translating Molecular Discoveries into 167 New Therapies for Pulmonary Arterial Hypertension
Sunu Budhi Raharjo, Indriwanto Sakidjan

The Role of Stem Cells in Degenerative Heart Diseases 173


Halim Semihardjo

Peran Integrin pada Angiogenesis Penyembuhan Luka 177


Sonny John Ruddy Kalangi

Derivasi Kardiomiosit Fungsional Berbasis Teknologi 182 induced Pluripotent Stem (iPS) Cell sebagai Terapi Ajuvan Mutakhir Penyakit Jantung Iskemik
Andreas Soejitno, Pande Kadek Aditya Prayudi Mir,atul Ginayah, Harsinen Sanusi

CME - Hiperkalsemia 191

Obstructive Sleep Apnea dan Penyakit Kardiovaskuler 199


Sidhi Laksono Purwowiyoto

Pengaruh Perlakuan terhadap Tingkat Kelelahan Jemaah Haji 202 dengan Pes Planus di Fase Armina, Arab Saudi
Syarief Hasan Lutfie

Tamponade Jantung et causa Perikarditis Tuberkulosis 206


Eva Munthe, Reviono, Yusup S, Trisulo W, Subandrio

Berita Terkini
Bardoxolone Memperbaiki Fungsi Ginjal Pasien PGK 211 Pilihan Obat Diabetes pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis 210 Aspirin Meningkatkan Risiko Perdarahan Intraserebri pada Pasien Alzheimer 212 Asam Folat dan Gangguan Pendengaran 213 Evaluasi Nilai Ekonomis Ondansetron untuk Gastroenteritis pada Anak 215 Losartan Menurunkan Risiko Terjadinya Diabetes pada Pasien Hepatitis C 216 Manfaat Probiotik 217 Cetuximab untuk Kanker Saluran Empedu 219 Rekomendasi Multidisciplinary Panel on Acute and Chronic Pain 220 tentang penggunaan Paracetamol untuk kasus OA Testosteron dan Risiko Demensia 222 Asam Traneksamat Mengurangi Risiko Kematian Pasien Trauma 223 Terapi Infeksi Fungal Invasif 224 Amantadine Mengurangi Depresi dan Memperbaiki Kualitas Hidup 225 Risperidone sebagai Terapi Tambahan Depresi Mayor 226 Kombinasi Docetaxel dan Vandetanib pada kasus 227 Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) Kombinasi Clopidogrel/Atorvastatin Menghambat Agregasi Trombosit 228 Lebih Baik Dibandingkan Aspirin/Atorvastatin Vitamin D Mempercepat Konversi Sputum Pasien TBC ? 229 Gabapentin Sekali Sehari untuk Neuralgia Pasca Herpes Zoster 230 Praktis 231 Profil 234 Antar Sejawat 236 Agenda 237

Redaksi CDK
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4 Cempaka Putih, Jakarta 10510 E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id Telp: (021) 4208171 Fax: (021) 42873685
Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online) maka (para) penulis hendaknya menyadari bahwa makalah yang diterbitkan juga akan dapat lebih mudah dimanfaatkan oleh lingkungan yang lebih luas. Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e-mail; oleh karena itu untuk keperluan tersebut tentukan contact person lengkap dengan alamat e-mailnya.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masingmasing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis.

C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r i l 2011

163

EDITORIAL
Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satu penyakit yang paling
sering dijumpai, sekaligus paling ditakuti di kalangan masyarakat. Penyakit ini memang makin meningkat prevalensinya dan (sudah) menjadi salah satu penyebab kematian terpenting di Indonesia. Artikel di edisi CDK ini membahas berbagai aspek kardiovaskuler yang lebih mendasar, antara lain peranan stem cell dalam penanganan payah jantung, juga bahasan mendasar mengenai hipertensi pulmonal. Artikel lain yang juga menarik ialah kaitan gangguan tidur dengan risiko penyakit kardiovaskuler, barangkali ini merupakan faktor risiko yang perlu diperhatikan di kemudian hari. Ditambah dengan beberapa berita terkini mengenai hasil penelitian terbaru, semoga dapat menambah wawasan sejawat mengenai perkembangan dunia kesehatan. Selamat membaca

Redaksi

164

C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

Redaksi Kehormatan
Prof. Dr. Abdul Muthalib, SpPD KHOM
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

ISSN: 0125-913 X http://www.kalbe.co.id/cdk

Prof. DR. Dra. Arini Setiawati, SpFK


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. Dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH


Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Alamat Redaksi
Gedung KALBE Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4 Cempaka Putih, Jakarta 10510 Tlp: 021-4208171 Fax: 021-4287 3685 E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id http://twitter.com/CDKMagazine Nomor Ijin 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 Penerbit Kalbe Farma Pencetak PT. Temprint

Prof. DR. Dr. Charles Surjadi, MPH


Puslitkes Unika Atma Jaya

Prof. DR. Dr. Darwin Karyadi, SpGK


Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat

Prof. Dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTI


Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. Dr. Faisal Yunus, PhD, SpP(K)


Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ SMF Paru RS Persahabatan, Jakarta

Prof. DR. Dr. Ignatius Riwanto, SpB (K)


Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr. Kariadi, Semarang

Prof. DR. Dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKN


Departemen Kedokteran Nuklir, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Prof. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. DR. Dr. Rully M.A. Roesli, SpPD-KGH


Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Prof. DR. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI


Sub Dept. Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. Dr. Sarah S. Waraouw, SpA(K)


Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE


Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD.


Bagian Periodontologi, Fakultas Kedoteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Susunan

Redaksi

Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali

DR. Dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUP Kanker Dharmais, Jakarta

Ketua Pengarah Dr. Boenjamin Setiawan, PhD Pemimpin Umum Dr. Kupiya Timbul Wahyudi Ketua Penyunting Dr. Budi Riyanto W. Dewan Redaksi Dr. Karta Sadana Dr. Artati Dr. Irwan Widjaja Dr. Esther Kristiningrum Dr. Dedyanto Henky Dr. Harvian Satya Dharma Dr. Yoska Yasahardja Dr. Albertus Agung Mahode Tata Usaha Dodi Sumarna

DR. Dr. med. Abraham Simatupang, MKes


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd


Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr. Soetomo Surabaya

Dr. Hendro Susilo, SpS(K)


Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr. Soetomo Surabaya

Dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, M.Kes


Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Dr. Prijo Sidipratomo, Sp-Rad (K)


Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Dr. R.M. Nugroho Abikusno, M.Sc., DrPH


Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

Dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhD


Universitas Trisakti / Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia, Jakarta

DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP


Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP (K) FIHA


Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PP PERKI), Jakarta

C DK 1 8 4 / Vo l. 38 no. 3/A p r i l 2011

165

ENGLISH SUMMARY Translating Molecular Discoveries into New Therapies for Pulmonary Arterial Hypertension
Sunu Budhi Raharjo, Indriwanto Sakidjan
Department of Cardiology and Vascular Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia / National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta, Indonesia

Derivation of Functional Cardiomyocyte based on induced Pluripotent Stem (iPS) Cell Technology as Adjuvant Therapy of Ischemic Heart Disease
Andreas Soejitno, Pande Kadek Aditya Prayudi
Faculty of Medicine, Udayana University, Denpasar, Bali, Indonesia

Acute myocardial infarction (AMI) is a specMany of the drugs currently in use for pulmonary arterial hypertension (PAH) were based on the vasodilator hypothesis in PAH therapeutics. These include parenteral prostacyclin analogues, oral endothelin-receptor antagonists, and oral phosphodiesterase type 5 inhibitors. Our understanding of the factors involved in the pathogenesis of PAH has evolved dramatically over the past decade and has led to the development of newer therapeutic strategies that target these processes. This review will address the cellular and molecular processes implicated in clinical, genetic, and experimental studies as underlying pulmonary vascular abnormalities associated with PAH. CDK 2011; 38 (3): 167-71 trum of ischemic heart disease with high morbidity and mortality rate. Progressive deterioration of heart function after AMI also predisposes a patient to suffer congestive heart failure (CHF). Despite significant advancement in treatment modalities, mortality related to these diseases soar high with prolonged life expectancy. Stem cell therapy which focuses on regenerating the infarcted heart, offers new hopes in the AMI treatment. However, the existing stem cell types possess various intrinsic limitations. The use of embryonic stem cell (ESC) is hampered by ethical issues due to involvement of embryonal destruction, besides the need of long term immunosuppressive regimen as a consequence of histocompatibility mismatch (allogenic). On the other hand, adult stem cell (ASC) is limited by a low cardiomyogenesis capacity, lack of source, and decrease in volume, function, and differentiation capacity linearly with increasing age and disease factor.

Therefore, alternative solutions of stem cell therapy which possesses ESC and ASC advantages with minimal intrinsic limitations are obviously needed. Induced pluripotent stem cell (iPSC) technology could be one of the answer. It is pluripotent, highly proliferative, and able to differentiate into principally 3 germ layers, while exhibiting high similarity profiles with ESC, yet devoid of ethical issues because of autologus in nature. IPSC technology has successfully generated cardiomyocytes with similar phenotype, genotype, and functional characteristics with mature cardiomyocytes and those derived from ESC. Furthermore, these cardiomyocytes able to regenerate the infarcted area and prevent cardiac remodeling as an initiating CHF phase in vivo. Hence, to analyze the characteristics and application of iPSC as a sophisticated adjuvant therapy for ischemic heart disease in a systematic and comprehensive manner would be very interesting. Key word: iPSC, cardiomyocyte, myocardial infarction, congestive heart failure. CDK 2011; 38 (3): 182-90

The Role of Stem Cells in Degenerative Heart Diseases


Halim Semihardjo
Department of Histology, Faculty of Medicine,Wijaya Kusuma University, Surabaya, Indonesia

Degenerative heart diseases remain a bur- den both in modern or developing countries despite the advances in medical treatment. One key factor is that heart muscle (cardiomyocyte) has low capability to regenerate. Various source and type of stem cells might be potential to overcome the problem, but the results of several studies are mixed, some showed benefit, but also showed adverse effects. Further investigations are needed. Keywords: Stem Cells, Heart, Cardiomyocyte, Heart Failure. CDK 2011; 38 (3): 173-6

166

C DK 184/V o l .38 n o . 3/Ap r il 2011

TINJAUAN PUSTAKA

Translating Molecular Discoveries into New Therapies for Pulmonary Arterial Hypertension
Sunu Budhi Raharjo, Indriwanto Sakidjan
Department of Cardiology and Vascular Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia/ Harapan Kita National Cardiovascular Center, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK Many of the drugs currently in use for pulmonary arterial hypertension (PAH) were based on the vasodilator hypothesis in PAH therapeutics. These include parenteral prostacyclin analogues, oral endothelin-receptor antagonists, and oral phosphodiesterase type 5 inhibitors. Our understanding of the factors involved in the pathogenesis of PAH has evolved dramatically over the past decade and has led to the development of newer therapeutic strategies that target these processes. This review will address the cellular and molecular processes implicated in clinical, genetic, and experimental studies as underlying pulmonary vascular abnormalities associated with PAH.

Introduction The pulmonary circulation has fascinated researchers and clinicians for more than a century. Romberg first described the pathology of human pulmonary arterial hypertension (PAH) in 1891. In 1946, Euler and Liljestrand described the hypoxic pulmonary vasoconstriction: Whereas hypoxia dilates most systemic vascular beds, it constricts the pulmonary arteries. The physiological importance of hypoxic pulmonary vasoconstriction is now recognized as critical in the maintenance of adequate ventilation perfusion matching in all mammals, but the molecular identity of hypoxic pulmonary vasoconstriction remains unknown. The clinical syndrome of PAH was described by Dresdale in 1951, after the introduction of right heart catheterization allowed hemodynamic measurements in humans1. Pulmonary hypertension (PH) is diagnosed quite simply by observing an elevation in mean pulmonary arterial (PA) pressure above 25 mm Hg at rest or 30 mmHg with exercise, with a mean pulmonary-capillary wedge pressure and left ventricular end-diastolic pressure of less than 15 mmHg2. Patients usually present with much higher levels of PA pressure but only vague and insidious symptoms of increasing fatigue and dyspnea. Some patients are diagnosed only after syncopal episodes, which can reflect suprasystemic levels of PA pressure and low cardiac output. This disease is usually classified as primary (idiopathic) or secondary. It is now clear, however, that there are conditions within the
C DK 1 8 4 / Vo l.38 no. 3/A p r i l 2011

category of secondary pulmonary hypertension that resemble primary pulmonary hypertension in their histopathological features and their response to treatment. Therefore,

the World Health Organization (WHO) classified pulmonary hypertension into five groups on the basis of mechanisms, rather than associated conditions (Table 1).3

Table1. Diagnostic Classification of Pulmonary Hypertension. *


Pulmonary arterial hypertension Idiopathic Familial Associated with Collagen vascular disease Congenital left-to-right shunt Portal hypertension Infection with human immunodeficiency virus Drugs and toxins Other conditions Associated with substantial venous or capillary involvement Pulmonary veno-occlusive disease Pulmonary capillary hemangiomatosis Persistent pulmonary hypertension of the newborn Pulmonary hypertension with left heart disease Left-side atrial or ventricular heart disease Left-side valvular heart disease Pulmonary hypertension associated with lung disease or hypoxemia or both Chronic obstructive pulmonary disease Interstitial lung disease Sleep-disordered breathing Alveolar hypoventilation disorders Chronic exposure to high altitude Developmental abnormalities Pulmonary hypertension due to chronic thrombotic or embolic disease or both Thromboembolic obstruction of proximal pulmonary arteries Thromboembolic obstruction of distal pulmonary arteries Nonthrombotic pulmonary embolism (tumor, parasites, foreign material) Miscellaneous Sarcoidosis, pulmonary Langerhans-cells histiocytosis, lymphangiomatosis, fibrosing mediastinitis)

167

TINJAUAN PUSTAKA
This review will focus on category I pulmonary arterial hypertension (PAH), in particular discuss the current concepts in the molecular biology of PAH that have a strong translational potential and near clinical applicability. Pathobiology of PAH The pathologic abnormality in PH, in general, is an obliterative remodeling of the pulmonary circulation, characterized by occlusion of the lumen in medium-sized and small pulmonary arteries (PAs) due to excessive cellular proliferation in the vascular wall and in situ thrombosis, as well as loss of microvessels and capillaries (Figure 1)4. The afterload of the right ventricle increases, resulting in right heart failure and premature death. Hypothesis 1: an imbalance between vasodilator and vasoconstrictor In pulmonary arterial hypertension, there is an imbalance of the vascular effectors that favors vasoconstriction, vascular-cell proliferation, and thrombosis. The treatments developed on the basis of these observations (i.e., epoprostenol, nitric oxide, and endothelinreceptor antagonists) have been effective in improving the pulmonary vascular hemodynamics, clinical status, and, in some cases, survival in idiopathic and other forms of pulmonary arterial hypertension5. Prostacyclin and thromboxane Patients with PAH have reduced circulating levels of the vasodilator and anti-SMC proliferative agent prostacyclin relative to levels of the vasoconstrictor and pro-SMC proliferative compound thromboxane6 This observation led to the institution of continuous i.v. prostacyclin as a therapy for PAH patients. This treatment has often reduced pulmonary vascular resistance and has appreciably improved the quality of life and the survival of PAH patients. However, a recent meta-analysis has questioned the survival benefit of this and other therapies7. Nitric oxide Decreased levels of the endothelial isoform of nitric oxide synthase have been observed in the pulmonary vascular tissue of patients with pulmonary hypertension, particularly those with idiopathic pulmonary arterial hypertension. The reduced expression of NO synthase8, the enzyme that generates NO, suggests that treatment with phosphodiesterase V inhibitors such as sildenafil to prolong the NO-mediated increase in cGMP would be effective in dilating PAs as well as in therapies for IPAH and APAH9 associated with collagen vascular disease, congenital cardiac left-to-right shunts, persistent PH of the newborn, PAH associated with hemoglobinopathies such as sickle cell disease, and PH related to thrombotic and embolic disorders. Endothelin-1 Endothelin-1, a potent vasoconstrictor, stimulates the proliferation of pulmonary-artery smooth-muscle cells. The plasma levels of endothelin-1 are increased in pulmonary arterial hypertension, and the level of endothelin-1 is inversely proportional to the magnitude of the pulmonary blood flow and cardiac output, suggesting that these hemodynamic changes are influenced directly by this vascular effector3. There are two endothelin receptor subtypes, ETA and ETB. ETA and ETB receptors are found in SMCs of blood vessels, and both can mediate vasoconstriction, but ETB receptors on ECs may mediate vasodilatation and endothelin clearance particularly in microvessels. Clinical trials are currently still underway comparing the effects of dual ET receptor blockers and more selective ETA receptor blockers4. Serotonin Serotonin (5-hydroxytryptamine) is a vasoconstrictor that promotes smooth-muscle cell hypertrophy and hyperplasia. Among patients who took the appetite suppressant dexfenfluramine, which increases the release of serotonin from platelets and inhibits its reuptake, for more than three months, the incidence of pulmonary arterial hypertension increased10. Experimental studies have also tried other vasodilators such as adrenomedullin in an attempt to reverse PH, with good results, at least in rodents11. Recent attention has also focused on vasoactive intestinal peptide as an important vasodilator and inhibitor of SMC proliferation in PH, since transgenic mice that are null for vasoactive intestinal peptide develop PH with remodeled distal arteries and both the hemodynamic abnormality and the pathology can be reversed with administration of vasoactive intestinal peptide12. Studies showing vasodilatation and reversal of PH by Rho kinase inhibitors such as fasudil in rodents13 suggest that these agents should be developed for clinical use. Fasudil has indeed shown some benefit in acute testing of PAH patients14. The systemic hypotensive side effects of these agents may be reduced when Rho kinase inhibitors are administered via inhalation and will need to be addressed-these agents are to be useful in treating PAH patients for a prolonged period of time. Hypothesis 2: increased proliferation and suppressed apoptosis in the vascular wall The balance between apoptosis and cell proliferation is vital for cellular homeostasis, yet little is known about the mechanisms that coordinate these two cell fates, particularly in the vessel wall. Precise control of the balance of cell apoptosis and proliferation in PASMC plays a critical role in maintaining: (1) the normal structural and functional integrity of
C DK 184/V o l .38 n o . 3/Ap r il 2011

Figure 1 Pathobiology of PH. Schema illustrating the different vascular abnormalities compared with normal pulmonary circulation, associated with PH. This schema depicts the abnormalities throughout the pulmonary circulation, including (i) abnormal muscularization of distal precapillary arteries, (ii) medial hypertrophy (thickening) of large pulmonary muscular arteries, (iii) loss of precapillary arteries, (iv) neointimal formation that is particularly occlusive in vessels 100-500 M, and (v) formation of plexiform lesions in these vessels 4.

168

TINJAUAN PUSTAKA
the pulmonary vasculature and (2) the low pulmonary arterial pressure in normal subjects15. Advanced pulmonary arterial hypertension is characterized by extensive vascular remodeling that is usually resistant to vasodilator therapy. There is now a shift in the interest of the scientific community, focusing on therapies aiming to reverse the proliferative remodeling in PAH. The evolution of therapy from vasodilators to antiproliferative agents reflects the advancement in our understanding of the mechanisms mediating pulmonary arterial hypertension16. Observations made by scientists suggest a novel strategy to treat pulmonary vascular disease by inducing regression of pulmonary vascular medial thickening, which is a pathological feature in patients with PH. However, increased proliferation alone cannot explain vascular remodeling. Cells have the ability to block excessive proliferation in order to avoid mismatch of fuel supply and demand, resulting in oxidative stress and genetic damage. One of the ways this can be achieved is by activation of apoptosis, when cells inappropriately enter phases in the cell cycle associated with division or growth17. The same is true in cancer, in which most modern anticancer therapies aim to activate apoptosis, in addition to or instead of inhibiting proliferation18. Over the past few years, a number of experimental therapies have been shown to reverse established PAH in animal models by inducing apoptosis in the vascular wall of remodeled PAs (Figure 2). These include diverse therapies such as elastase inhibitors, epidermal growth factor (EGF) receptor inhibitors, simvastatin, dichloroacetate, sildenafil, cyclosporine, and imatinib. Despite the very different mechanisms of these therapies, the fact that all increase PASMC apoptosis suggests that the apoptosis regulation that occurs distally in diverse signaling pathways plays an important role in the pathogenesis of PAH. Evidence exists that both receptor-mediated and mitochondria-induced apoptosis are suppressed in PAH. Direct and strong evidence now exists, with immediate clinical implications, of similar mechanisms in neoplasia and PAH19.

Figure 2. Proapoptotic experimental therapies in PAH. A common denominator of these therapies is the induction of apoptosis as well as suppression of proliferation in the PA wall. An example of the effects of treatment with elastase inhibitors in monocrotalineinduced PAH in the rat is shown on the left (untreated, a, c, e; treated, b, d, f), where apoptosis is imaged by staining for terminal deoxynucleotidyl transferase biotindUTP nick end labeling (TUNEL), a standard technique for detection of apoptosis in tissues, and proliferation is imaged by staining for proliferation cell nuclear antigen (PCNA).23 The same pattern (increased apoptosis, decreased proliferation) has been shown in the media of treated rats by all the therapies shown in the box. 20 The following anticancer therapeutic strategies have been shown to reverse established PAH: Epidermal Growth Factor Receptor Inhibitors The prosurvival signaling in PAH PASMCs can be driven by many growth factors. The activated serine elastases within the PA wall can directly activate EGF receptors. Therefore, inhibition of EGF signaling might mimic inhibition of serine elastases; this is important because, although elastase inhibitors are not clinically available, EGF inhibitors and antiEGF receptor antibodies are clinically used in oncology. Much of the proapoptotic effects of EGF receptor inhibition are mediated by negative downstream effects on AKT, an oncoprotein that induces a glycolytic phenotype and directly inhibits mitochondrialdependent apoptosis21. Survivin Inhibitors Survivin is an inhibitor of apoptosis protein, previously thought to be expressed only in cancer cells in adult animals.

Survivin was also recently found to be expressed in the PAs of patients with PAH and rats with monocrotaline-induced PAH but not in normal PAs from rats or humans. Both in vitro and in vivo, inhibition of survivin induced PASMC apoptosis, decreased proliferation, depolarized mitochondria, caused efflux of cytochrome c and apoptosis-inducing factor in the cytoplasm, and increased Kv current22. Early phase clinical trials of survivin inhibitors in oncology are currently taking place, and application of these therapeutic strategies to PAH is indicated23. PDGF Inhibitors PASMCs are exposed to circulating plateletderived growth factor (PDGF) when the protective layer of endothelial cells is damaged. As in cancer, increased expression of PDGF receptors has been shown in human and rat PAH. The PDGF inhibitor imatinib (Gleevec), in clinically relevant doses, reverses established monocrotaline - and hypoxia - induced rat PAH. As with all the aforementioned therapies, imatinib induced apoptosis and decreased proliferation in the PA media, reversed vascular remodeling, and improved hemodynamics and survival. Remarkably, imatinib was also shown to dramatically improve a case of severe PAH, in which the patient was failing with maximal medical therapy24. Clinical trials with imatinib in PAH are now under way. Dichloroacetate (DCA) Dichloroacetate (DCA), a metabolic modulator that increases mitochondrial oxidative phosphorylation, prevents and reverses established monocrotaline-induced PAH (MCTPAH), significantly improving mortality. DCA depolarizes MCT-PAH PASMC mitochondria and causes release of H2O2 and cytochrome c, inducing a 10-fold increase in apoptosis within
C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

170

TINJAUAN PUSTAKA
the PA media and decreasing proliferation15. Intriguingly, DCA inhibits cancer growth in vitro and in vivo in several human cancer cell lines and xenotransplant models. Dichloroacetate has been used for > 30 years in the treatment of the lactic acidosis that complicates congenital mitochondrial diseases, and phase I to II clinical trials in cancer are in progress25. Dichloroacetate, a generic drug, should also be tried in human PAH. Hypothesis 3: inflammation of the vascular wall of pulmonary artery Increasing attention is being focused on the proinflammatory state of the vessel wall in the progression of PAH, but the mechanisms involved remain poorly defined. Several types of inflammatory cells including activated T cells, B cells, and macrophages have been documented to infiltrate the PA wall in iPAH. Whether the infiltrating inflammatory cells play a primary role in PAH, represent a reaction to viral factors, or represent a nonspecific reaction to vascular injury remains unknown26. One of the most fascinating developments in the field is the proof of direct involvement of viruses in the pathology of PAH. Viral proteins can affect vascular remodeling through direct effects on vascular wall cells and extracellular matrix or indirectly through the dysregulation of inflammation and immunity. The HIV Nef (negative factor) was recently found in endothelial cells from patients with HIV PAH. Nef can affect several signaling pathways: prosurvival, proapoptotic, and proangiogenic27. Similar findings have been reported in circulating inflammatory cells, which show activation of NFAT, a key transcription factor that regulates the activation of T cells and the expression of many inflammatory mediator and cytokine genes. In addition, the levels of NFAT mRNA in the buffy coat of a small cohort of patients with PAH were higher than those in patients with secondary pulmonary hypertension or normal controls; in fact, they were the highest in a subgroup of PAH patients with scleroderma. This suggests that, if confirmed in larger cohorts, this master regulator of T cells might even be a potential PAH biomarker. It is intriguing, however, that NFAT is also activated in PASMCs in PAH in vivo and in vitro but not in normal PAs and PASMCs19.
C DK 1 8 4 / Vo l.38 no. 3/A p r i l 2011

In addition to diagnosis, the inflammatory disease platform can also be useful in the consideration of anti-inflammatory strategies for the treatment of PAH. More specific inhibitors of NFAT, for example, are being developed for myocardial diseases that might lack the nonspecific toxic effects of cyclosporine28. Such therapies will need to be considered for the treatment of PAH. Additional hypothesis Genetic abnormalities associated with PAH Approximately 100 families worldwide have been identified as having idiopathic pulmonary arterial hypertension. The familial form accounts for at least 6 percent of all cases of pulmonary arterial hypertension, and its distribution between female and male patients, the age at onset, and its natural history are similar to those in the sporadic form. Inheritance of the appropriate genetic mutation shows genetic anticipation: in each successive generation in which the disease develops, it occurs at a younger age and with greater severity than in the preceding generation29. Genetic studies showed that 60% or more of patients with FPAH and 10%-20% of patients with sporadic IPAH were heterozygous for a mutation in bone morphogenetic protein (BMP) receptor type II (BMPRII). BMPRII is a member of the TGF- superfamily of growth factor receptors. BMPRII modulates the growth of vascular cells by activating the intracellular pathways of Smad and LIM (Lin-11, Isl-1, and Mec-3 protein) kinase. Under normal conditions, bone morphogenetic proteins 2, 4, and 7 signal through heterodimeric complexes of BMPRII and type 1 receptor to suppress the growth of vascular smooth-muscle cells. More than 45 different mutations in BMPRII have been identified in patients with familial pulmonary arterial hypertension29. Functional studies have shown that point mutations and truncations in the kinase domain exert dominant negative effects on receptor function. Because of incomplete penetrance and genetic anticipation (i.e., an increased familial prevalence of the phenotype in successive generations), it is probable that the BMPRII mutations are necessary, but insufficient alone, to account for the clinical expression of the disease3.

In FPAH, the penetrance of BMPRII mutations is only about 20%. That is, 80% of family members that carry the mutation will never develop PAH. The presence of a mutation in BMPRII is much lower (6%-8%) in patients with APAH related to congenital left-to-right shunts, and BMPRII mutations have also been observed in patients with APAH associated with toxins (appetite suppressants), but the frequency has not been established. Although the penetrance is low, the functional link between mutations in BMPRII and PAH is reinforced by the fact that, independent of a mutation in BMPRII, all IPAH patients have reduced BMPRII protein expression, as do, to some extent, patients with acquired PAH4. The functional consequences of reduced or absent BMPRII/IA signaling in ECs and SMCs have been addressed by a number of laboratories. When loss of BMPRII is induced by RNA interference in PA ECs, they become susceptible to apoptosis30. Thus it is possible that apoptosis of ECs is responsible for reduced peripheral alveolar duct and wall arteries, causing rarefaction of the precapillary vasculature. Loss of BMPRII causes proliferation of PA SMCs in response to TGF-1 and BMP2 (56), in contrast to inhibition of SMC proliferation and susceptibility to apoptosis normally observed with expression of these cytokines. This observation is in keeping with the aberrant proliferative response of SMCs causing occlusive changes in intra-acinar PAs at the level of the respiratory and terminal bronchioli in PAH patients. BMP, in addition to being a negative regulator of PDGF signaling (58), is likely a negative regulator of other growth-promoting factors implicated in the pathobiology of PAH, such as EGF31. Stem cells in the pathobiology and treatment of PAH A major effort is being directed at understanding the mechanisms underlying pulmonary vascular regeneration following injury. In the mouse model of PAH induced by monocrotaline but not hypoxia, the recruitment of circulating stem cells appears to be protective32. Endothelial progenitor cells (EPCs) transfected with eNOS not only prevent but also reverse PAH in rats by reestablishing connections between proximal and distal pulmonary arteries33. This strategy of genetically engineering endogenous EPCs to express eNOS has been recently embarked upon in a clinical

171

TINJAUAN PUSTAKA
trial in patients with advanced PAH. Nonengineered EPCs have been used to treat clinical PAH in a pilot study showing some short-term efficacy34. Conclusion Pulmonary arterial hypertension comprises a group of clinical and pathophysiological entities with similar features but a variety of underlying causes. Because the range of medical conditions and environmental exposures associated with pulmonary arterial hypertension is wide, it is difficult to envision a unifying pathogenic mechanism. Indeed, the complexity of the biology of PAH exposes many signaling pathways as targets for therapy. However, inhibition of one pathway or improvement of one aspect of the disease is far from forming the basis of a promising therapy in humans.
REFERENCES
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. Dresdale DT, Schultz M, Michtom RJ. Primary pulmonary hypertension. I. Clinical and hemodynamic study. Am J Med. 1951;11:686-705. Gaine SP, Rubin LJ. Primary pulmonary hypertension. Lancet. 1998;352:719-25. Farber HW, Loscalzo J. Pulmonary arterial hypertension. N Engl J Med. 2004;351:1655-65. Rabinovitch M. Molecular pathogenesis of pulmonary arterial hypertension. J Clin Invest. 2008;118:2372-9. Humbert M, Sitbon O, Simonneau G. Treatment of pulmonary arterial hypertension. N Engl J Med. 2004;351:1425-36. Christman BW, McPherson CD, Newman JH, King GA, Bernard GR, Groves BM, Loyd JE. An imbalance between the excretion of thromboxane and prostacyclin metabolites in pulmonary hypertension. N Engl J Med. 1992;327:70-5. Macchia A, Marchioli R, Marfisi R, Scarano M, Levantesi G, Tavazzi L, Tognoni G. A meta-analysis of trials of pulmonary hypertension: a clinical condition looking for drugs and research methodology. Am Heart J. 2007;153:1037-47. Giaid A, Saleh D. Reduced expression of endothelial nitric oxide synthase in the lungs of patients with pulmonary hypertension. N Engl J Med. 1995;333:214-21. Humpl T, Reyes JT, Holtby H, Stephens D, Adatia I. Beneficial effect of oral sildenafil therapy on childhood pulmonary arterial hypertension: twelve-month clinical trial of a single-drug, open-label, pilot study. Circulation. 2005;111:3274-80. Abenhaim L, Moride Y, Brenot F, Rich S, Benichou J, Kurz X, Higenbottam T, Oakley C, Wouters E, Aubier M, Simonneau G, Begaud B. Appetite-suppressant drugs and the risk of primary pulmonary hypertension. International Primary Pulmonary Hypertension Study Group. N Engl J Med. 1996;335:609-16. Nagaya N, Mori H, Murakami S, Kangawa K, Kitamura S. Adrenomedullin: angiogenesis and gene therapy. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol. 2005;288:R1432-7. Said SI, Hamidi SA, Dickman KG, Szema AM, Lyubsky S, Lin RZ, Jiang YP, Chen JJ, Waschek JA, Kort S. Moderate pulmonary arterial hypertension in male mice lacking the vasoactive intestinal peptide gene. Circulation. 2007;115:1260-8. Oka M, Homma N, Taraseviciene-Stewart L, Morris KG, Kraskauskas D, Burns N, Voelkel NF, McMurtry IF. Rho kinase-mediated vasoconstriction is important in severe occlusive pulmonary arterial hypertension in rats. Circ Res. 2007;100:923-9. Ishikura K, Yamada N, Ito M, Ota S, Nakamura M, Isaka N, Nakano T. Beneficial acute effects of rho-kinase inhibitor in patients with pulmonary arterial hypertension. Circ J. 2006;70:174-8. Gurbanov E, Shiliang X. The key role of apoptosis in the pathogenesis and treatment of pulmonary hypertension. Eur J Cardiothorac Surg. 2006;30:499-507. Rubin LJ. Therapy of pulmonary hypertension: the evolution from vasodilators to antiproliferative agents. Am J Respir Crit Care Med. 2002;166:1308-9. Pietenpol JA, Stewart ZA. Cell cycle checkpoint signaling: cell cycle arrest versus apoptosis. Toxicology. 2002;181-182:475-81. Dai Y, Grant S. Targeting multiple arms of the apoptotic regulatory machinery. Cancer Res. 2007;67:2908-11. Michelakis ED, Wilkins MR, Rabinovitch M. Emerging concepts and translational priorities in pulmonary arterial hypertension. Circulation. 2008;118:1486-95. Cowan KN, Heilbut A, Humpl T, Lam C, Ito S, Rabinovitch M. Complete reversal of fatal pulmonary hypertension in rats by a serine elastase inhibitor. Nat Med. 2000;6:698-702. Busse D, Yakes FM, Lenferink AE, Arteaga CL. Tyrosine kinase inhibitors: rationale, mechanisms of action, and implications for drug resistance. Semin Oncol. 2001;28:47-55. McMurtry MS, Archer SL, Altieri DC, Bonnet S, Haromy A, Harry G, Puttagunta L, Michelakis ED. Gene therapy targeting survivin selectively induces pulmonary vascular apoptosis and reverses pulmonary arterial hypertension. J Clin Invest. 2005;115:1479-91. Plescia J, Salz W, Xia F, Pennati M, Zaffaroni N, Daidone MG, Meli M, Dohi T, Fortugno P, Nefedova Y, Gabrilovich DI, Colombo G, Altieri DC. Rational design of shepherdin, a novel anticancer agent. Cancer Cell. 2005;7:457-68. Ghofrani HA, Seeger W, Grimminger F. Imatinib for the treatment of pulmonary arterial hypertension. N Engl J Med. 2005;353:1412-3. Bonnet S, Archer SL, Allalunis-Turner J, Haromy A, Beaulieu C, Thompson R, Lee CT, Lopaschuk GD, Puttagunta L, Harry G, Hashimoto K, Porter CJ, Andrade MA, Thebaud B, Michelakis ED. A mitochondria-K+ channel axis is suppressed in cancer and its normalization promotes apoptosis and inhibits cancer growth. Cancer Cell. 2007;11:37-51. Dorfmuller P, Perros F, Balabanian K, Humbert M. Inflammation in pulmonary arterial hypertension. Eur Respir J. 2003;22:358-63. Marecki JC, Cool CD, Parr JE, Beckey VE, Luciw PA, Tarantal AF, Carville A, Shannon RP, Cota-Gomez A, Tuder RM, Voelkel NF, Flores SC. HIV-1 Nef is associated with complex pulmonary vascular lesions in SHIV-nef-infected macaques. Am J Respir Crit Care Med. 2006;174:437-45. McKinsey TA, Olson EN. Toward transcriptional therapies for the failing heart: chemical screens to modulate genes. J Clin Invest. 2005;115:538-46. Loscalzo J. Genetic clues to the cause of primary pulmonary hypertension. N Engl J Med. 2001;345:367-71. Teichert-Kuliszewska K, Kutryk MJ, Kuliszewski MA, Karoubi G, Courtman DW, Zucco L, Granton J, Stewart DJ. Bone morphogenetic protein receptor-2 signaling promotes pulmonary arterial endothelial cell survival: implications for loss-of-function mutations in the pathogenesis of pulmonary hypertension. Circ Res. 2006;98:209-17. Merklinger SL, Jones PL, Martinez EC, Rabinovitch M. Epidermal growth factor receptor blockade mediates smooth muscle cell apoptosis and improves survival in rats with pulmonary hypertension. Circulation. 2005;112:423-31. Baber SR, Deng W, Master RG, Bunnell BA, Taylor BK, Murthy SN, Hyman AL, Kadowitz PJ. Intratracheal mesenchymal stem cell administration attenuates monocrotaline-induced pulmonary hypertension and endothelial dysfunction. Am J Physiol Heart Circ Physiol. 2007;292:H1120-8. Zhao YD, Courtman DW, Deng Y, Kugathasan L, Zhang Q, Stewart DJ. Rescue of monocrotaline-induced pulmonary arterial hypertension using bone marrow-derived endothelial-like progenitor cells: efficacy of combined cell and eNOS gene therapy in established disease. Circ Res. 2005;96:442-50. Wang XX, Zhang FR, Shang YP, Zhu JH, Xie XD, Tao QM, Chen JZ. Transplantation of autologous endothelial progenitor cells may be beneficial in patients with idiopathic pulmonary arterial hypertension: a pilot randomized controlled trial. J Am Coll Cardiol. 2007;49:1566-71.

The treatment of pulmonary arterial hypertension has historically been restricted by a limited number of therapeutic options. Recent advances in our understanding of the pathophysiological and molecular mechanisms that may underlie pulmonary arterial hypertension, which have led to the development of new pharmacologic therapies, provide renewed hope for both patients and their physicians. The mainstays of current medical therapy fall into several classes, including vasodilators, anticoagulants, antiplatelet agents, antiinflammatory therapies, and vascularremodeling therapies. Many of the most effective agents have pleiotropic effects. For example, epoprostenol is a vasodilator, a platelet inhibitor, and an antiinflammatory agent, whereas the endothelin-receptor antagonist bosentan is a vasodilator, an antiinflammatory agent, and a remodeling mediator.

Many of these therapies can be viewed as pharmacologic surrogates for endothelial effectors and as strategies for restoring pulmonary vascular homeostasis. Nevertheless, it is important for the medical community to realize that the disease remains essentially untreatable and that although the recently approved therapies are relatively easy to take, their effect on functional capacity is modest, they have minimal effects on hemodynamics, and, although they might slow down the progression of the disease, no evidence has been found that they prolong survival. Therefore, researches in this field is mandatory to develop new therapies and, ultimately, to achieve our goal of improving the outcome of PAH patients.

172

C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

TINJAUAN PUSTAKA

The Role of Stem Cells in Degenerative Heart Diseases


Halim Semihardjo
Department of Histology, Faculty of Medicine Wijaya Kusuma University, Surabaya, Indonesia

ABSTRACT Degenerative heart diseases remains a burden both in modern or developing countries despite the advances in medical treatment. One key factor is that heart muscle (cardiomyocyte) has low capability to regenerate. Various source and type of stem cells might be potential to overcome the problem, but the results of several studies are mixed, some showed benefits, but also showed adverse effects. Further investigations are still needed. Keywords : Stem Cells, Heart, Cardiomyocyte, Heart Failure BACKGROUND Despite the advances in the management of degenerative heart diseases, including the availability of several new lines of medicine and invasive cardiology, the rate of hospitalization and mortality still remains high. In 2002, McMurray reported that people suffering from CHF is around 5 million in the US and 6,5 million in Europe with a very high mortality rate.1 It was once believed that cardiac myocyte has poor or very limited capability to regenerate and create new cells, thus unable to overcome the damage caused by degenerative diseases with high mortality and morbidity rate. Heart transplant might be the last option, but among several problems, the biggest is the avaibility of suitable donor. Other problems are the cost of the procedure, the prolonged use of immunosuppresive drugs and risk of organ rejection. In the past few years, scientist has found that heart muscles (cardiac myocyte) are actually capable of regeneration, and there are several hypotheses on the mechanism. First, it was suggested that the adult cardiac myocyte itself, triggered by injury, might reenter the cells cycle and divide.2 Second, stem cells originated from bone marrows, guided by certain cellular signal, might enter the heart via vascular route, and then differentiate into cardiomyocyte in the injured area. Third, the repair is performed by cardiac stem cells within the heart itself.2-6 Based on the hypothesis, scientist began to experiment on a different approach to treat degenerative heart diseases such as myocardial
C DK 1 8 4 / Vo l. 38 no. 3/A p r i l 2011

infarction and heart failure, using stem cells which in nature has the capability to regenerate and differentiate; early studies showed some very promising results. The still unanswered questions, among others, are : is this procedure really useful ?, what is the risk?, which is the most suitable stem cells?, and what is the best route of administration ?. INTRODUCTION Stem cells has been recognized for decades, the most widely used source of stem cell is bone marrow, used as treatment for various blood diseases, mainly leukemia. Other source of stem cell were searched; scientists isolated stem cells from animal embryo, and in 1988, stem cells were isolated from human embryo.6 The other breakthrough is perhaps the discovery of the cord blood as the potential source of stem cells. In 1988 the first cord blood transplant to Fanconi anemia patient was performed. This success has expanded the source of stem cells that can be used to treat diseases. STEM CELLS TYPE Stem cells can be classified according to sources: embryonic stem cells from human embryo, and adult stem cells from bone marrow or peripheral blood. Recently stem cells is also collected from the umbilical cord blood and placenta; expanding stem cells source, as well as its potential use in treatment. Embryonic stem cells (ES or ESC) This is the most primitive form of stem cells found in early form of embryo, called blastocyst. These cells can differentiate into any cells from the human three embryonic layer (exoderm, mesoderm, endoderm). Blastocyt has two layer

of cells; after attachment to the uterus wall, the outer layer will form the placenta, while the inner layer will form the body of fetus. The embryonic stem cells is collected from the inner layer of the blastocyst and then cultured. Since it is an undifferentiated stem cells there is a probability to develop teratoma. But the main issue is perhaps the legal and ethical aspects. Collections of the inner layer will prevent further development of blastocyt, and is considered to be unethical. Other ethical issue is regarding the source of blastocyst, which is usually obtained from the excess of IVF (invitro fertilization) process. Many countries prohibit the use of embryonic stem cells as experiment material. Adult stem cells Because of issues surrounding the use of embryonic stem cells, scientists look for other sources of stem cells in various tissue such as, bone marrow, peripheral blood, muscle, adipose, umbilical cord and even local heart tissue. a. Haemopoietic stem cells Sometimes abbreviated as HSC, these cells can be found in adult bone marrow, peripheral blood circulation and cord blood. These cells are known for their capability to reproduce and differentiate into all kind of blood cells. One cell is capable of producing up to 1015 cells.7 But although HSC has been used widely for treating blood disorder, their benefit in the treatment of heart diseases remains unclear. Markers related to this cell are CD34, CD45low, Thy-1 (CDw90), c-kit receptor (CD117), CD133,and negativity towards CD38 and lineage markers (Lin).

173

TINJAUAN PUSTAKA
b. Endothelial progenitor cells Sometimes abbreviated as EPC; EPCs have the capability to enter circulation, proliferate,and differentiate into mature endothelial cells.7 Thus might be a reasonable treatment for endothelial disorder.This cell is also proven to be involved in the neovascularization process when injected into animal models with ischemia 8,9. EPCs can be found in bone marrow, scarcely in the peripheral blood, and is abundant in cord blood, EPCs from umbilical cord blood also seems to have greater proliferation capability and lower apoptosis. 4, and therefore might be a better option in vasculogenesis and heart tissue therapies. 4,7 A strong correlation is found between the number of circulating endothelial progenitor cells and the subjects combined Framingham risk factor score - lower EPCs are related to higher risk of cardiovascular event, or higher score8. Another report also showed similar result.10 These findings suggested that endothelial damage is actually a balance between injury and repair capacity, and EPCs are thought to be an important part of the process. It might be difficult to distinguish the EPCs from the HSCs, since they share several similarity due to their same origin, which is the hemangioblast , common markers associated with these cells are CD34+ CD133+, and KDR. 7,10 c. Mesenchymal stem cells These cells have the capability to proliferate and differentiate into various mesenchymal tissue, depending on the location, such as osteogenic adipogenic, chondrogenic, myogenic, cardiomyogenic and others.7 Bone marrow is still the most common source of these cells, but their capability to proliferate and differentiate decrease at increasing age. There is also concern on the invasive procedure needed to collect the cells from the bone marrow. Recently, it has been shown that umbilical cord blood (UCB) also contain this type of stem cells, it is also suggested that umbilical cord/ placental stroma contain the MSCs as well. 4,7 Markers for MSCs are still controversial; some research showed expression of certain markers, while others showed the absence of the same marker. The widely accepted phenotyping is perhaps the absence of the haematopoietic marker, CD34 and CD45. 7,11,
C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r i l 2011

Recently, it has been shown that umbilical cord blood (UCB) also contain this type of stem cells, it is also suggested that umbilical cord/ placental stroma contain the MSCs as well. 4,7 Markers for MSCs are still controversial; some research showed expression of certain markers, while others showed the absence of the same marker. The widely accepted phenotyping is perhaps the absence of the haematopoietic marker, CD34 and CD45. 7,11 d. Cardiac stem cells It was once believed that heart muscles as well as neurons, are a static object in term of regeneration, which mean they cannot proliferate. But recent data shows that there are stem cells in human heart, cardiac myocytes can undergo both hyperthorphy and hyperplasia.This cell, also known as hCSCs,5 have the capability to reproduce itself and differentiate into several type of cells mainly cardiac myocyte, also capable of forming smooth muscle and endothelial cells. 5,12,13 The activity of hCSCs are increased in acute pathologic state, but in prolonged ventricular decompensation and end-stage cardiac failure their ability is decreased.12,14 Markers related to these stem cells are c-kit, MDR1, or Sca-1-reactive protein and negativity towards the antigens of hemopoietic markers. 4, 5, 12-14 hCSCs are naturally involved in the regeneration of the heart, and will mostly differentiate into cardiac myocyte. This fact made hCSC the ideal stem cells for repairing damaged heart.4,13,14. hSCSs studies and trial on human have been performed; but the main obstacles are that adult cardiac stem cells are scarce in nature, and hard to be identified.3 e. Muscle-derived stem cells Also known as myoblast or satellite cells, these cells are more suitable to be classified as precursor cell rather than stem cell, and can be found in the basal membrane of skeletal muscle fibre. 4,15 After injection into the damaged myocardium, these cells can proliferate and differentiate into striated muscle within the heart, which will improve cardiac function; but problems of arrythmias may occur as there is action potential property difference between heart muscle and striated muscle.4,15

Unlike cardiomyocytes,skeletal myocytes are more resistant to apoptosis, more easily cultured and require shorter period, enabling to collect sufficient number of cells for transplantation.3 But some experiments showed that myoblasts might induce ventricular arrythmias in model rat.15 f. Other stem cells Other stem cells include adipose-derived stem cells, neural stem cells, hepatic stem cells, pancreatic stem cells, stem cells of the skin, lung epithelial stem cells, intestinal stem cells.4,16 Other stem cells are also being searched within bone marrow or cord blood, but their presence and usage still require further studies. 7 DELIVERY METHOD Currently, there are three known methods of delivering stem cells into the heart : the peripheral intravenous, stem cell mobilization and direct injection into cardiac muscle. No study shows the superiority of certain technique over the other. The peripheral intravenous administration and cell mobilization are the easiest and minimally invasive way, it is based on the thought that injured area in the heart can attract and activate stem cells by certain homing signal via the cytokines and other cellular mediator, and after reaching the injured muscle, the stem cells will then proliferate and differentiate into cardiac muscle. However, scientist must find the correct signal so the regeneration process is accurately perform in the heart and not in other organ. 19 To accurately deliver the stem cells into the injured area, several techniques have been used, including direct epicardial myocard injection, usually performed during a surgical intervention (e.g. coronary artery bypass grafting, arrythmia surgery, mechanical assist device implantation, and valve repair).19 Other delivery method using catheter to deliver the stem cells had also been used. THE REPAIR MECHANISM There is still ongoing debate on the mechanism of repair, but there is evidence that stem cells injection has resulted in formation of new cardiac myocyte, vascularization and and improvement in ventricular remodelling2-5,19. Both angiogenesis and vasculogenesis plays a crucial role, not only by improving perfusion to the

175

TINJAUAN PUSTAKA
infarcted region and preventing further lost of myocyte and cardiac degeneration, but also by preventing cell apoptosis in surrounding area (peri-infarct area).4,19 Remodelling of the extracellular matrix (ECM) play an important role in the development of ventricular dilatation and ultimately lead to heart failure. Stabile matrix is essential to prevent cell lost and improving heart function. Stem cells have the capability to increase the matrix stability by preventing ECM degradation or restoring damaged ECM. 16,19 Clinical Trial Different trials, using various source of stem cells, delivery method, patients diagnosis, follow up period, and result have been done in the past few years. The reported trials show promising results, such as improvement in cardiac function,
REFERENCES
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. Mc Murray JJV, Stewart S. The burden of heart failure. Eur Heart J 2002; 4 (Suppl D): D50-D58. Parmacek MS, Epstein JA. Cardiomyocyte renewal. NEJM 2009; 361:86-88. Garca JM, Goldenthal MJ. Application of Stem Cells in Cardiology: Where we are and where we are Going. Curr Stem Cell Res Ther. 2006 Jan;1(1):1-11. Wu KH, Liu YL, Zhou B, Han ZC. Therapeutic Potential of Human Umbilical Cord Derived Stem Cells in a Rat Myocardial Infarction Model. Ann. Thorac. Surg. 2007; 83(4): 1491 - 1498. Bearzi C, Rota M, Hosoda T,Tillmanns J, Nascimbene A, De Angelis A, et al. Human cardiac stem cells. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 2007 104:14068-14073 The National Academies. Understanding stem cells. USA 2009:2. Mehta A, Cetrulo C, Stubblefield P, Cetrulo K. Placental and Pregnancy Stem Cells. In : Bhattacharya N, Stubblefield P eds. Frontiers of Cord Blood Sciences. London : Springer-Verlag. 2009 : 3-18. Hill JM, Zalos G, Halcox JPJ, Schenke WH, Waclawiw MA, Quyyumi AA, et al. Circulating Endothelial Progenitor Cells,Vascular Function, and Cardiovascular Risk. NEJM 2003;348 : 593-600. Urbich C, Dimmeler S. Endothelial Progenitor Cells: Characterization and Role in Vascular Biology. Circ. Res. 2004;95:343-353 Werner N, Kosiol S, Schiegl T, Ahlers P, Walenta K, Link A, Circulating Endothelial Progenitor Cells and Cardiovascular Outcomes. NEJM 2005;353:999-1007. Bhatia R, Hare JM, Mesenchymal Stem Cells: Future Source for Reparative Medicine. Division of Cardiology and Institute for Cell Engineering (ICE), Johns Hopkins University School of Medicine. http://www.medscape.com/viewarticle/ 504431_print. 2005 Urbanek K, Quaini F, Tasca G, Torella D, Castaldo C, Nadal-Ginard B, et al. Intense myocyte formation from cardiac stem cells in human cardiac hypertrophy. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 2003 100: 1044010445 Urbanek K, Torella D, Sheikh F, De Angelis A, Nurzynska D, Silvestri F, et al. Myocardial regeneration by activation of multipotent cardiac stem cells in ischemic heart failure. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 2005 102: 86928697 Kubo H, Jaleel N, Kumarapeli A, Berretta RM, Bratinov G, Shan X, et al. Increased Cardiac Myocyte Progenitors in Failing Human Hearts. Circulation 2008;118:649-657 Fernandes S, Amirault JC, Lande G, Nguyen JM, Forest V, Bignolais O, et al. Autologous myoblast transplantation after myocardial infarction increases the inducibility of ventricular arrhythmias. Cardiol Res. 2006;69: 348 358 Krbling M, Estrov Z. Adult Stem Cells for Tissue Repair - A New Therapeutic Concept?. NEJM 2003;349:570-82 Edmunds MW. Advances in Stem Cell Technology. Johns Hopkins University School of Nursing, Baltimore. http://cme. medscape. com/viewarticle/551442_print. 2007 Asahara T, Takahashi T, Masuda H, Kalka C, Chen D, Iwaguro H, at al. VEGF contributes to postnatal neovascularization by mobilizing bone marrow-derived endothelial progenitor cells. EMBO J. 1999; 18 : 39643972. Gallegos R P, Bolman R M III . Stem CellInduced Regeneration of Myocardium. In : Cohn LH, ed. Cardiac Surgery in the Adult. New York: McGraw-Hill. 2008:1657-1668. Herreros J, Prosper F, Perez A, Gavira JJ, Garcia-Velloso MJ, Barba J, et al. Autologous intramyocardial injection of cultured skeletal muscle-derived stem cells in patients with non-acute myocardial infarction. Eur. Heart J. 2003;24: 20122020 Menasch P, Hagge AA, Vilquin JT, Desnos M, Abergel E, Pouzet B, et al. Autologous Skeletal Myoblast Transplantation forSevere Postinfarction Left Ventricular Dysfunction. J. Am. Coll. Cardiol. 2003;41;1078-1083 Fox M, Embryonic stem cells made without embryos. Thomson Reuters USA. http://www.reuters.com/articlePrint? articleId=USN2058175020071121. 2007

improvement in perfusion, differentiation of myoblasts, increase in vessel numbers, improvement in LVEF and viability in infarct area, restoration of wall viability, increase in life quality and NYHA class, improvement in haemodynamic parameter, survival and engraftment of myoblasts and reduced anginal symptoms. 4,20,21 Several studies have shown adverse reaction: tachycardia was the most commonly seen, ventricular arrythmias was reported in model rats injected with myoblast. 4,15,19 Conclusion Degenerative heart diseases present serious problem both in modern or developing country despite the advances in medical, interventional and surgical therapy.

This condition poses a challenge to find a new method of treatment. Since the heart is considered having very low capability to regenerate, the use of stem cells is attractive; various trials have shown promising results. But some adverse effects might need to be investigated. Each stem cell type has their own advantage and disadvantages, MSCs and hCSCs are perhaps the most suitable for the heart, but larger trials are needed to confirm, as well as to find the best delivery method, dose and other issues.

176

C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

TINJAUAN PUSTAKA

Peran Integrin pada Angiogenesis Penyembuhan Luka


Sonny John Ruddy Kalangi
Bagian Anatomi-Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado

ABSTRAK Angiogenesis merupakan proses yang terjadi pada embriogenesis dan pada berbagai keadaan fisiologik maupun patologik orang dewasa. Pada angiogenesis pembentukan pembuluh darah baru berasal dari kapiler-kapiler yang muncul dari pembuluh darah kecil di sekitarnya. Pada proses angiogenesis terdapat faktor-faktor pendorong dan penghambat angiogenesis yang berinteraksi. Faktor-faktor angiogenik yang berinteraksi dalam proses angiogenesis juga membutuhkan molekul-molekul adhesi sel endotel. Akumulasi berbagai bukti menunjukkan bahwa integrin reseptor adhesi sel endotel yang berhubungan dengan peradangan dan penyembuhan luka terlibat dalam proses angiogenesis. Kata kunci: integrin, adhesi sel, angiogenesis, penyembuhan luka. PENDAHULUAN Pembentukan pembuluh darah baru dapat melalui dua mekanisme berbeda tetapi berhubungan, yaitu vaskulogenesis atau angiogenesis. Pada vaskulogenesis, pembuluh darah berkembang dari sel-sel prekursor angioblas, sedangkan angiogenesis meliputi pertumbuhan pembuluh darah baru dari pembuluh darah yang sudah ada.1 Angiogenesis merupakan suatu proses biologik kompleks yang terjadi pada embriogenesis dan pada berbagai keadaan fisiologik maupun patologik orang dewasa.2 Pada angiogenesis pembentukan pembuluh darah baru berasal dari kapiler-kapiler yang muncul dari pembuluh darah kecil di sekitarnya.3 Pembuluh darah kapiler terdiri atas sel-sel endotel dan perisit. Kedua jenis sel ini memuat seluruh informasi genetik untuk membentuk pembuluh darah dan cabang-cabangnya serta seluruh jaring-jaring kapiler. Molekul-molekul angiogenik khas akan mendorong terjadinya proses ini, tetapi ada pula molekul-molekul penghambat bersifat khusus untuk menghentikan proses angiogenesis. Molekul-molekul dengan fungsi yang berlawanan tersebut nampaknya seimbang dan serasi dalam bekerja terus-menerus mempertahankan suatu sistem pembuluh darah kecil yang konstan. Pada orang dewasa normal, dalam keadaan nonpatologik sel endotel mengalami pergantian (turn over) dalam waktu bertahun-tahun, namun sel-sel endotel tersebut berproliferasi dengan cepat (5 hari) pada saat terjadi rangsangan angiogenesis, misalnya selama regenerasi jaringan pada penyembuhan luka.4,5
C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r i l 2011

Faktor-faktor pendorong dan penghambat angiogenesis telah ditemukan pada dasawarsa yang lalu, tetapi saat itu masih belum jelas apakah perkembangan pembuluh darah baru ini dipicu oleh suatu sinyal atau sebagai hasil interaksi berbagai faktor.2,6 Baru akhir-akhir ini diketahui bahwa mekanisme angiogenesis dipicu oleh sinyal dan adanya interaksi berbagai faktor yang terlibat dalam proses ini.1,5,7-11 Pada kehidupan post-natal, angiogenesis merupakan suatu peristiwa penting dalam reproduksi (siklus menstruasi), penyembuhan luka, pertumbuhan tumor, dan kelainan patologis lainnya.2,4 Pada penyembuhan luka, kapilerkapiler baru membawa metabolit-metabolit vital seperti asam amino dan oksigen menuju sel-sel luka yang terlibat dalam suatu rangkaian kompleks dari proses perbaikan luka tersebut. Unsur pokok sel yang penting dari kapilerkapiler baru ini adalah sel endotel. Sel endotel ini berinteraksi dengan zat biokimia cair dan protein matriks ekstrasel.12 Faktor-faktor angiogenik juga membutuhkan molekul-molekul adhesi sel endotel dalam proses terjadinya angiogenesis.13 Akumulasi berbagai bukti menunjukkan bahwa integrin reseptor adhesi sel endotel yang berhubungan dengan peradangan dan penyembuhan luka terlibat dalam proses angiogenesis. Makalah ini memaparkan mekanisme penyembuhan luka, pembentukan pembuluh darah baru, faktor-faktor angiogenesis, serta secara khusus membahas tentang peran integrin pada angiogenesis penyembuhan luka.

PENYEMBUHAN LUKA Penyembuhan luka merupakan proses kompleks tetapi sistematik. Faktor-faktor pertumbuhan mengatur migrasi, proliferasi, dan diferensiasi sel, juga sintesis dan degradasi protein matriks ekstrasel. Matriks ekstrasel secara langsung mempengaruhi peristiwa seluler dan memodulasi sel yang berespons terhadap faktor-faktor pertumbuhan. Faktor-faktor fisik juga berperan dalam proses tersebut. Penyembuhan luka meliputi proses-proses sebagai berikut, yaitu: (1) induksi dari suatu respons radang akut oleh adanya cedera awal, (2) regenerasi sel parenkim, (3) migrasi dan proliferasi sel-sel parenkim dan sel sel jaringan ikat, (4) sintesa protein-protein matriks ekstrasel, (5) pembentukan kembali elemen-elemen parenkim untuk mengembalikan fungsi jaringan, dan (6) pembentukan kembali jaringan ikat untuk mencapai kekuatan luka.14 a. Primary union atau healing by first intention Salah satu contoh sederhana proses perbaikan luka adalah penyembuhan luka insisi bedah yang bersih dan tidak terinfeksi. Hal ini diacu sebagai primary union atau healing by first intention. Insisi tersebut hanya menyebabkan gangguan fokal dari kontinuitas membran basal epitel dan kematian sedikit sel epitel dan jaringan ikat. Hari 1. Neutrofil terlihat pada tepi insisi, bermigrasi ke arah bekuan fibrin. Sel-sel basal epidermis pada pinggiran irisan mulai memperlihatkan peningkatan aktivitas mitosis. Dalam 24-48 jam, sel-sel epitel kedua pinggiran luka mulai bermigrasi dan berproliferasi sekitar dermis.

177

TINJAUAN PUSTAKA
Hari 2 - 3. Neutrofil digantikan oleh makrofag, dan jaringan granulasi secara progresif menyerbu ruang insisi. Serabut kolagen sekarang jelas pada pinggiran insisi, tetapi ini cenderung secara vertikal dan tidak menjembatani insisi. Proliferasi sel epitel yang terus-menerus menghasilkan suatu penebalan lapisan epidermis. Hari 4 - 5. Pembentukan pembuluh darah baru mencapai puncaknya sambil jaringan granulasi mengisi ruang insisi. Serabut-serabut kolagen menjadi sangat berlebihan dan mulai menjembatani insisi. Epidermis memperoleh ketebalan normalnya sambil diferensiasi sel permukaan menghasilkan arsitektur epidermis matur dengan keratinisasi permukaan. Minggu ke dua. Terdapat akumulasi kolagen dan proliferasi fibroblas yang terus-menerus. Infiltrat leukosit, edema, dan peningkatan vaskularitas pada dasarnya berkurang. Bulan pertama. Jaringan bekas luka (scar) terdiri dari jaringan ikat yang sebagian besar tanpa sel-sel radang dan ditutupi epidermis normal. b. Secondary union atau healing by second intention Jika kehilangan sel atau jaringan lebih luas maka proses perbaikannya lebih kompleks. Pada keadaan ini, regenerasi sel-sel parenkim saja tidak dapat mengembalikan arsitektur aslinya. Akibatnya terdapat pertumbuhan luas jaringan granulasi dari pinggiran luka, diikuti oleh akumulasi matriks ekstrasel dan parut luka. Bentuk penyembuhan ini diacu sebagai secondary union atau healing by second intention. PEMBENTUKAN PEMBULUH DARAH BARU Pembentukan pembuluh darah baru dapat melalui vaskulogenesis atau angiogenesis. Vaskulogenesis dan angiogenesis merupakan dua aspek yang berbeda dari pembentukan pembuluh darah baru. Pada embrio, vaskulogenesis berarti diferensiasi angioblas (prekursor sel endotel) ke dalam pulau-pulau darah, yang kemudian bergabung untuk membentuk sistem kardiovaskular primitif atau vaskularisasi organ-organ endoderm. Angiogenesis juga dibutuhkan untuk vaskularisasi organ ektoderm atau organ mesenkim, dan pada post-natal dibutuhkan pada proliferasi endometrium dan penyembuhan luka.10 a. Vaskulogenesis Sirkulasi muncul pada kehidupan awal embrio untuk memasok peningkatan kebutuhan metabolik organisme berkembang. Sel-sel mesenkim primitif pada struktur-struktur ekstraembrionik mulanya berproliferasi dan beragreC DK 1 8 4 / Vo l. 38 no. 3/A p r i l 2011

gasi ke dalam kelompok-kelompok yang disebut kelompok angiogenetik atau pulau-pulau darah. Sel-sel pluripoten ini kemudian berdiferensiasi ke dalam dua jalur: (1) sel yang terletak lebih ke tengah membentuk primordium sel darah dan (2) sel-sel terletak lebih perifer yang berkelompok (angioblas) akhirnya membentuk sel-sel endotel. Ekspansi berikutnya dari sistem vaskular terjadi melalui bertunas, migrasi, dan anastomosis untuk membentuk pleksus primer. Maturasi anyaman tersebut diikuti dengan diferensiasi elemen-elemen arteri dan vena.2 b. Angiogenesis Umumnya rangkaian peristiwa proses angiogenesis, meliputi: (1) vasodilatasi dan kongesti vascular bed; (2) elongasi pembuluh berhubungan dengan perkembangan varikosa, sinus, atau perubahan struktur pilinan; (3) disolusi membran basal pembuluh darah; (4) pertunasan endotel ke dalam jaringan sekitarnya; (5) migrasi distal dari endotel menghadap sumber angiogenik, dengan mitosis proksimal; (6) proliferasi sel endotel, (7) pembentukan lumen (kanalisasi), melalui mekanisme intersel dan intrasel; (8) anastomosis dengan tunas endotel lainnya dan pembentukan simpul; (9) perkembangan sirkulasi; (10) maturasi dan evolusi saluran-saluran dengan segmen-segmen arteri dan vena.2,15 Faktor-faktor angiogenesis. Angiogenesis dikontrol oleh berbagai faktor yang memulai, mengontrol, dan mengakhiri proses yang mempunyai banyak tahap dan rumit. Faktor-faktor tersebut meliputi: (1) faktor pertumbuhan, (2) matriks ekstrasel, (3) molekul adhesi sel, dan (4) berbagai faktor angiogenesis lainnya.5,10,16-18 Stimulator angiogenesis. Mekanisme angiogenesis secara umum dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu: inisiasi, proliferasi/invasi, dan maturasi. Mulanya, stimulator angiogenik seperti faktor pertumbuhan atau sitokin dilepaskan dari sel-sel radang dan/atau tumor. Terdapat banyak stimulator potensial angiogenesis yang sudah diidentifikasi, seperti basic fibroblast growth factor (bFGF), transforming growth factor- (TGF-), dan vascular endothelial growth factor (VEGF), yang dilepaskan dari berbagai tumor. Faktor-faktor ini merangsang proliferasi dan sifat invasif sel vaskular, dengan demikian merangsang pertumbuhan pembuluh darah. Faktor-faktor pertumbuhan dan stimulator angiogenik lainnya yang berikatan

dengan matriks ekstrasel dapat juga dilepaskan pada proteolisis matriks, yang merupakan bagian fase invasi. Reseptor-reseptor sel vaskular untuk bFGF, TGF-, dan VEGF merupakan reseptor transmembran spesifik yang difosforilasi dalam residu-residu tirosin pada ligasi. Peristiwa ini memulai aliran transduksi sinyal yang memberikan perubahan dalam ekspresi gen.17 Penginduksi angiogenesis dapat bekerja secara langsung pada sel-sel endotel, atau secara tidak langsung melalui sel-sel aksesori (monosit, mastosit, dan sel-sel T).10 Friedlander et al.19 menunjukkan dua jalur berbeda yang menginduksi angiogenesis: jalur pertama dipicu oleh bFGF dan TNF- (tumor necrosis factor-) dan memerlukan interaksi dengan integrin v3; jalur kedua adalah melalui VEGF-A dan merupakan v5-dependent. Inhibitor angiogenesis. Inhibitor-inhibitor angiogenesis dapat mempengaruhi berbagai tahap angiogenesis, seperti destruksi membran basal pembuluh darah, proliferasi dan migrasi sel-sel endotel, atau pembentukan lumen.18 Hal ini membuktikan bahwa terdapat perbedaan golongan inhibitor endogen dari pertumbuhan dan motilitas endotel yang bekerja sesuai dengan molekul-molekul penginduksi untuk mengontrol angiogenesis. Mengurangi konsentrasi inhibitor atau meningkatkan konsentrasi penginduksi menghasilkan suatu angiogenic switch.10 Selain itu juga terdapat inhibitor-inhibitor angiogenesis yang berasal dari bahan alam, seperti flavonoid, karbohidrat-bersulfat, atau triterpenoid yang berperan penting dalam proses ini.18 INTEGRIN a. Struktur integrin Integrin adalah suatu famili reseptor adhesi permukaan sel. Seluruh integrin merupakan heterodimer yang terdiri atas rantai dan rantai . Integrin subunit mempunyai ukuran yang bervariasi antara 120 dan 180 kd dan tiap integrin subunit berhubungan secara nonkovalen dengan integrin subunit (90-110 kd).20 Kebanyakan integrin diekspresikan pada berbagai jenis sel, dan sebagian besar sel mengekspresikan beberapa jenis integrin. Terdapat 16 subunit dan 8 subunit yang diketahui.21 Sebagian besar subunit hanya berhubungan dengan satu subunit , sebagai contoh sel darah putih mengekspresikan integrin 1 dan 2 tetapi tiap subunit hanya berhubungan

179

TINJAUAN PUSTAKA
dengan satu dari dua subunit tersebut. Namun beberapa subunit dapat berhubungan dengan lebih dari satu subunit , khususnya dalam hal ini adalah v.20 Satu subunit dapat berinteraksi dengan beberapa subunit , membentuk integrin yang mengikat ligan yang berbeda. Kedua subunit integrin merupakan glikoprotein transmembran, masing-masing dengan segmen transmembran hidrofobik tunggal. Pada sebagian besar integrin, domain sitoplasmanya pendek (50 asam amino atau kurang), kecuali integrin 4 mempunyai domain sitoplasma yang terdiri atas 1000 asam amino. Domain ekstraselnya (>75 kd untuk subunit , dan >100 kd untuk subunit ) berhubungan untuk membentuk heterodimer . Integrin subunit dan mengambil bagian pada tempat ikatan-ligan yang terletak pada/dekat tempat pertemuan antara kedua subunit. Pada umumnya, integrin yang mengandung subunit 1 mengikat komponen dari subunit ekstrasel, misalnya integrin 11 dan 21 keduanya mengikat suatu segmen dalam domain C-terminal kolagen tipe IV; integrin ini juga mengikat setidaknya dua bagian berbeda dari laminin; dan 51 mengikat fibronektin.22 Integrin 1 dapat membentuk suatu kompleks dengan setidaknya 10 subunit , yaitu 1 9 dan v.21 Integrin 1 diekspresikan secara luas pada limfosit dan leukosit. Umumnya, kadar integrin 1 meningkat setelah adanya rangsangan antigen. Seperti pada jenis sel lain, integrin 1 memperantarai perlekatan limfosit ke protein matriks ekstrasel dan kemungkinan besar memainkan peranan penting pada ekstravasasi dan migrasi limfosit pada jaringan saat terjadinya respons imun. b. Fungsi integrin Integrin memperantarai transfer informasi ke dalam sel-sel. Sinyal melalui integrin terjadi dalam dua bentuk: regulasi afinitas dan konformasi reseptor dari dalam sel ke luar (sinyal dari dalam ke luar), dan rangsangan intrasel melalui okupasi ligan dari reseptor-reseptor (sinyal dari luar ke dalam). Aktivasi dan inaktivasi integrin dapat diperantarai dari dalam sel. Pada platelet, limfosit, dan fibroblas integrin memicu sinyal intrasel, sering dalam sinergi dengan reseptor-reseptor lain. Integrin berfungsi sebagai pengirim sinyal ke dalam secondmessenger pathway sel. Sinyal ini bertemu dengan sinyal-sinyal reseptor-reseptor agonis pasanganprotein G atau reseptor-reseptor pasanganprotein tirosin kinase. Konsekuensi dari aktivasi sel adalah termasuk aktivasi integrin spesifik yang meningkatkan adhesi sel dan respons lainnya seperti proliferasi sel, sekresi, dan perubahan morfologi. Integrin merupakan reseptor yang mentransmisikan sinyal ke dalam dan ke luar sel.20 Peran integrin pada angiogenesis luka Selama proses penyembuhan luka, daerah membran basal pembuluh-pembuluh darah mengekspresikan beberapa protein adhesif, termasuk faktor von Willebrand, fibronektin, dan fibrin. Juga beberapa anggota famili integrin reseptor adhesi sel diekspresikan pada permukaan kultur otot polos dan sel endotel. Integrin v3 diekspresikan secara berlimpah pada pembuluh-pembuluh darah jaringan granulasi tetapi tidak dapat dideteksi atau menunjukkan ekspresi dalam kadar yang sangat rendah pada dermis dan epitel kulit normal dari donor yang sama,13,23,24 sebaliknya integrin 1 diekspresikan secara berlimpah pada pembuluh darah dan sel stroma pada kulit normal dan jaringan granulasi.23 Peningkatan ekspresi integrin v3 tidak terlihat pada luka selama stadium lanjut proses penyembuhan luka (setelah hari ke-7),13 hal ini ditunjang dengan temuan lainnya bahwa ekspresi integrin v3 meningkat sampai hari ke-7 proses perbaikan. Secara spesifik ekspresi integrin v3 terlokalisasi pada ujung kapiler baru.24 Penghambatan integrin subunit v3 dengan menggunakan anti-v3 akan menghambat pembentukan pembuluh darah baru selama proses penyembuhan luka manusia,13,23 sedangkan anti-1 dan anti-v5 tidak memberikan efek.23 Pada sistem pembuluh darah kulit terdapat ekspresi kadar rendah integrin v5, ekspresi integrin ini akan meningkat setelah terjadi perlukaan kulit. Ini menunjukkan bahwa v5 tidak hanya memperantarai interaksi matriks dan endotel yang terlibat dalam angiogenesis tetapi juga dibutuhkan untuk mempertahankan integritas endotel melalui interaksi dengan ligan-ligan lain yang tidak diketahui. Integrin v6 diekspresikan pada migrasi keratinosit di tepi luka beberapa hari setelah terjadi perlukaan dan integrin subunit ini masih tetap diekspresikan hingga keratinosit menutupi luka. Fungsi integrin v6 pada endotel penyembuhan luka masih belum jelas, tetapi integrin ini memainkan peran penting dalam perbaikan sistem pembuluh darah selama stadium lanjut angiogenesis.13 Secara keseluruhan menunjukkan bahwa beberapa integrin v endotel terlibat dalam angiogenisis yang diinduksi oleh luka pada manusia dengan fungsi yang saling melengkapi secara potensial dan bahwa v3 mempunyai peran fungsional penting. Rangsangan angiogenik oleh basic fibroblast growth factor (bFGF) menginduksi ekspresi integrin v3 dan menyebabkan sel-sel melakukan invasi ke matriks ekstrasel sekitarnya dan memasuki siklus sel. Jika ligasi integrin ini ke ligan ekstraselnya dihambat, maka sel-sel vaskular yang berproliferasi mengalami apoptosis, disertai dengan induksi aktivitas p53, peningkatan ekspresi p21WAF1/CIP1 dan penurunan pada rasio Bcl-2 :Bax. Ini menunjukkan bahwa interaksi antara integrin dan matriks ekstrasel mengatur proliferasi dan kelangsungan hidup. Untuk memudahkan proliferasi dan kelangsungan hidup, maka interaksi antara integrin v3 dan matriks ekstrasel menekan sinyal yang menghentikan pertumbuhan melalui hambatan aktivitas p53 dan ekspresi p21WAF1/CIP1. Hal ini memungkinkan maturasi sel yang berhubungan dengan pembentukan membran basal intak menuju pada diferensiasi akhir dan pembentukan lumen. PENUTUP Angiogenesis merupakan proses yang sangat kompleks, meliputi koordinasi pengaturan kelangsungan hidup sel vaskular, proliferasi, migrasi, dan diferensiasi. Kebanyakan dari peristiwa tersebut bergantung pada adhesi sel vaskular yang ditingkatkan oleh adanya interaksi sel dengan sel dan sel dengan matriks ekstrasel yang diperantarai oleh integrin reseptor adhesi sel. Di antara subunit integrin yang terlibat dalam proses angiogenesis pada penyembuhan luka yang bekerja saling melengkapi, integrin subunit v3 yang paling berperan penting.
C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

180

TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA 1. Risau W. Mechanisms of angiogenesis. Nature 1997;386:671-4. 2. Barnhill RL, Wolf Jr JE. Angiogenesis and the skin. J Am Acad Dermatol 1987;16:1226-42. 3. Alberts B, Bray D, Lewis J, Raff M, Roberts K, Watson JD. Molecular Biology of the Cell, 3rd edition . New York: Garland Publishing Inc, 1994.p.1150-4. 4. Folkman J, Shing Y. Angiogenesis. J Biol Chem 1992;267:10931-4. 5. Colville-Nash PR, Willoughby DA. Growth factors in angiogenesis: Current interest and therapeutic potential. Mol Med Today 1997:14-23. 6. Folkman J, Klagsbrun M. Angiogenic factors. Science 1987;235:442-7. 7. Kohn EC, Alessandro R, Spoonster J, Wersto RP, Liotta LA. Angiogenesis: Role of calcium-mediated signal transduction. Proc Natl Acad Sci USA 1995;92:1307-11. 8. Ferrara N. Missing link in angiogenesis. Nature 1995;376:467. 9. Polverini PJ. Cellular adhesion molecules: Newly identified mediators of angiogenesis. Am J Pathol 1996;148:1023-9. 10. Bussolino F, Mantovani A, Persico G. Molecular mechanisms of blood vessel formation. Trends Biochem Sci 1997;22:251-6. 11. Juhasz I, Murphy GF, Yan HC, Herlyn M, Albelda SM. Regulation of extracellular matrix proteins and integrin cell substratum adhesion reseptor on epithelium during cutaneous human wound healing in vivo. Am J Pathol 1993;143:1458-69. 12. Olsen L, Sherratt JA, Maini PK, Arnold F. A mathematical model for the capillary endothelial cell-extracellular matrix interaction in wound-healing angiogenesis (abstract). IMA J Math Appl Med Biol 1997;14:261-81. 13. Christofidou-Solomidou M, Bridges M, Murphy GF, Albelda SM, DeLisser HM. Expression and function of endothelial cell av integrin receptors in wound-induced human angiogenesis in human skin/SCID mice chimeras. Am J Pathol 1997;151:975-83. 14. Mitchell RN, Cotran RS. Repair: Cell regeneration, fibrosis, and wound healing. In: Kumar V, Cotran RS, Robbins SL (eds). Basic Pathology, 6th edition. Tokyo: WB Saunders Company, 1997.p.47-59. 15. Jain RK, Schlenger K, Hockel M, Yuan F. Quantitative angiogenesis assays: Progress and problems. Nat Med 1997;3:1203-8. 16. Breier G, Risau W. The role of vascular endothelial growth factor in blood vessel formation. Trends Cell Biol 1996;6:454-6. 17. Stromblad S, Cheresh DA. Cell adhesion and angiogenesis. Trends Cell Biol 1996;6:462-7. 18. Paper DH. Natural products as angiogenesis inhibitors. Planta Med 1998;64:686-95. 19. Friedlander M, Brooks PC, Shaffer RW, Kincaid CM, Varner JA, Cheresh DA. Definition of two angiogenic pathways by distinct v integrins. Science 1995;270:1500-2. 20. Hynes RO. Integrins: Versatility, modulation, and signaling in cell adhesion. Cell 1992;69:11-25. 21. Newham P, Humphries MJ. Integrin adhesion reseptors: structure, function and implications for biomedicine. Mol Med Today 1996:304-13. 22. Lodish H, Baltimore D, Berk A, Zipursky SL, Matsudaira P, Darnell J. Multicellularity: Cell-cell and cell-matrix interactions. In: Molecular cell biology. 3rd ed. New York: Scientific American Books, 1995.p.1123-200. 23. Brooks PC, Clark RAF, Cheresh DA. Requirement of vascular integrin v3 for angiogenesis. Science 1994;264:569-71. 24. Clark RAF, Tonnesen MG, Gailit J, Cheresh DA. Transient functional expression of v3 on vascular cells during wound repair. Am J Pathol 1996;148:1407-21.

C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r i l 2011

181

TINJAUAN PUSTAKA

Derivasi Kardiomiosit Fungsional Berbasis Teknologi induced Pluripotent Stem (iPS) Cell Sebagai Terapi Adjuvan Mutakhir Penyakit Jantung Iskemik
Andreas Soejitno, Pande Kadek Aditya Prayudi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia

ABSTRAK Infark Miokard Akut (IMA) merupakan spektrum Penyakit Jantung Iskemik (PJI) dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Perburukan fungsi jantung yang berlangsung secara progresif pasca IMA di sisi lain mempredisposisikan pasien pada komplikasi gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure/CHF). Walaupun modalitas terapi IMA dan CHF telah mengalami kemajuan signifikan, mortalitas tetap tinggi dengan pemanjangan harapan hidup hanya bersifat temporer. Terapi sel punca memberikan harapan baru pada terapi IMA terutama bertujuan untuk meregenerasi kardiomiosit yang hilang pada proses infark. Namun pilihan sel punca yang tersedia memiliki banyak kelemahan. Penggunaan sel punca embrionik (ESC) terhambat isu etika karena melibatkan destruksi embrio, disamping kebutuhan imunosupresi jangka panjang akibat ketidakcocokan histokompatibilitas (alogenik). Sementara itu, sel punca dewasa (ASC) memiliki kapasitas kardiomiogenesis yang rendah, sumber yang terbatas, serta penurunan jumlah, fungsi, dan kapasitas diferensiasi seiring usia dan faktor penyakit. Oleh karena itu, diperlukan solusi alternatif terapi seluler yang memiliki keunggulan ESC dan ASC namun dengan keterbatasan intrinsik yang minimal. Teknologi induced pluripotent stem cell (iPSC) bersifat pluripoten, berdaya proliferasi tinggi, serta dapat berdiferensiasi menjadi 3 lapisan germinal dan memiliki kesamaan tinggi dengan ESC, namun terbebas dari isu etika karena bersifat autologus. Teknologi iPSC telah berhasil menderivasi kardiomiosit dengan karakteristik fenotipe, genotipe, dan fungsional yang serupa dengan kardiomiosit dewasa dan hasil derivasi ESC. Lebih lanjut, kardiomiosit tersebut mampu meregenerasi area infark dan mencegah cardiac remodeling sebagai fase awal CHF secara in vivo. Oleh karena itu, akan sangat menarik untuk menganalisis karateristik dan aplikasi iPSC sebagai terapi adjuvan mutakhir penyakit jantung iskemik secara sistematis dan komprehensif. Kata kunci : iPSC, kardiomiosit, infark miokardium, gagal jantung kongestif.

PENDAHULUAN Penyakit jantung iskemik (PJI) merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke area jantung (iskemia miokardium) dan menyebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen.1 PJI yang tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan nekrosis kardiomiosit secara masif yang dimanifestasikan sebagai perburukan kondisi klinis secara cepat dan mendadak hingga menimbulkan kematian atau yang dikenal dengan istilah infark miokard akut (IMA).2 Prevalensi IMA mencapai 1,2 juta jiwa per tahun di AS dengan mortalitas sebesar 525.600 jiwa/tahun.2 Salah satu komplikasi utama infark miokardium adalah gagal jantung kongestif (congestive heart failure / CHF).2 Saat ini, terdapat 5 juta pasien CHF dengan tambahan 550.000 kasus baru per tahun di AS.2,3 Walaupun regimen terapi dan penatalaksanaan IMA dan CHF telah mengalami kemajuan signifikan dalam satu dekade terakhir, namun mortalitas penyakit ini masih tinggi.4

Terapi berbasis sel merupakan salah satu solusi menjanjikan untuk memperbaiki kondisi klinis dan menurunkan angka mortalitas pasien.5 Transplantasi organ jantung telah lama dilakukan dalam penatalaksanaan CHF fase lanjut. Namun kelangkaan donor, protokol imunosupresi jangka panjang, dan ketidaksiapan fasilitas kesehatan untuk terapi ini menyulitkan prosedur tersebut dilaksanakan secara rutin.6 Pendekatan terapi sel berbasis mikroskopik lantas mulai dikembangkan hingga telah diaplikasikan secara klinis berupa sel punca (stem cell therapy), termasuk pada penyakit IMA dan CHF. Sel punca adalah sel primitif (baik totipoten, multipoten, maupun progenitor) yang dapat berdiferensiasi menjadi tipe sel spesifik (termasuk kardiomiosit) sehingga dapat mengganti area organ yang mengalami degenerasi dan mampu memperbaiki atau mengembalikan fungsi organ yang terganggu tersebut.

Terdapat berbagai klasifikasi sel punca, yakni berdasarkan sumber sel (autologus vs. alogenik), proses derivasi (embryonic stem cell/ESC vs. adult stem cell/ASC), dan derajat diferensiasi (totipoten, multipoten, dan progenitor). Terapi infark miokardium menggunakan ESC sangat menjanjikan karena sifat sel embrionik yang proliferatif dan totipoten (dapat menghasilkan seluruh tipe sel dari 3 lapisan germinal: endoderm, mesoderm, ektoderm)7 sehingga secara teori, ESC dapat berdiferensiasi menjadi seluruh tipe kardiomiosit (sel pacemaker, atrium, dan ventrikel) dan vaskuler (sel endotel) yang umumnya mengalami gangguan pasca infark. Selain itu, kardiomiosit derivat ESC dapat terintegrasi dengan kardiomiosit resipien via gap junction dan telah terbukti mampu memperbaiki fungsi miokardium in-vivo.8,9 Namun penggunaan ESC secara rutin tidak memungkinkan karena alasan etika (akibat protokol yang destruktif terhadap embrio) dan proC DK 184/V o l .38 no . 3/Ap r il 2011

182

TINJAUAN PUSTAKA
sedur imunosupresi jangka panjang akibat ketidakcocokan histokompatibilitas (karena ESC bersifat alogenik).10 Alternatif ESC adalah ASC. Hingga kini beberapa tipe ASC telah dikembangkan secara spesifik untuk meregenerasi kardiomiosit. ASC unggul terhadap ESC dari segi keamanan (tidak menimbulkan teratoma karena ASC bersifat multipoten dan/atau progenitor), etika (diperoleh secara autologus atau dari diri pasien sendiri sehingga tidak melibatkan embrio dalam derivasinya), dan bebas dari regimen imunsupresan. Namun ASC memiliki beberapa kelemahan, seperti penurunan jumlah, kapasitas diferensiasi, dan fungsi seiring usia dan penyakit (diabetes melitus dan penyakit vaskuler, termasuk iskemia vaskuler).11 Hal ini sangat krusial mengingat kardiomiosit derivat ASC dipergunakan dalam terapi IMA dan CHF yang merupakan penyakit degeneratif dan sering dijumpai pada usia tua. Oleh karena itu, diperlukan terapi sel punca yang memiliki seluruh keunggulan ESC dan ASC dengan keterbatasan yang minimal. Teknologi induced pluripotent stem cell (iPSC) dapat menjadi alternatif potensial. iPSC merupakan sel punca yang diperoleh menggunakan teknologi cell reprogramming atau memprogram ulang sel somatik dewasa (misal fibroblas) menjadi sel pluripoten yang memiliki kapasitas proliferasi dan diferensiasi yang tidak terbatas dan mampu berdiferensiasi ulang menjadi seluruh tipe sel dari 3 lapisan germinal (seperti ESC) menggunakan empat faktor transkripsi (dikenal sebagai reaktivasi gen-gen pluripoten). iPSC bersifat autologus sehingga bebas dari isu etis dan regimen imunosupresan (seperti ASC). Sehingga, secara praktis iPSC memiliki seluruh keunggulan ESC dan ASC dengan kelemahan yang minimal. Diferensiasi kardiomiosit dari iPSC telah dikarakterisasi dalam berbagai studi, baik secara in vitro mengenai sifat genetik, ekspresi protein, morfologi, dan fisiologi hingga aplikasi klinis dalam penatalaksanaan infark miokardium secara in vivo. Berbagai studi menunjukkan kesamaan derajat tinggi antara iPSC dengan ESC dalam hal profil genom, kapasitas proliferasi dan diferensiasi. Selain itu, kardiomiosit derivat iPSC identik dengan kardiomiosit dewasa dalam segala aspek serta menunjukkan kapasitas optimal dalam regenerasi area miokardium yang infark dan mencegah komplikasi lanjut (CHF).
C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r il 20 11

Merujuk pada keterbatasan upaya meregenerasi kardiomiosit pasca IMA dan prevensi CHF, maka akan sangat menarik untuk dilakukan kajian komprehensif dan sistematis mengenai profil biologis iPSC dengan ESC, mekanisme molekuler derivasi kardiomiosit via teknologi iPSC, karakterisasi kardiomiosit derivat iPSC, serta aplikasinya secara klinis dalam penatalaksanaan IMA dan pencegahan komplikasi CHF. Persamaan iPSC dengan Sel Punca Embrionik (Embryonic Stem Cells/ESC). iPSC (Induced Pluripotent Stem Cells) memiliki berbagai kesamaan karakteristik dengan sel punca embrionik manusia (hESC). Pada pengamatan di bawah mikroskop, iPSC menunjukkan karakteristik morfologi dengan nukleus besar dan sedikit sitoplasma yang sangat menyerupai penampakan morfologi hESC.12,13 iPSC memiliki kariotipe normal.12-14 dan tetap mempertahankan panjang telomer yang dimiliki sel-sel pluripoten di mana iPSC juga menunjukkan ekspresi hTERT.12 Hal ini menunjukkan bahwa teknologi reprogramming iPSC juga melibatkan program penataan ulang (reset) umur biologis sel yang telah berdiferensiasi kembali ke keadaan pluripoten. Takahashi dkk berhasil membuktikan bahwa iPSC juga menunjukkan kapasitas proliferasi yang ekuivalen dengan hESC, di mana population doubling time iPSC berkisar antara 43,2-47,8 jam.12 iPSC dan hESC juga menunjukkan kesamaan profil ekspresi gen-gen secara global (genome). Analisis dengan RT-PCR dan DNA microarray menunjukkan bahwa iPSC mengekspresikan secara aktif gen-gen yang berfungsi mengatur sifat-sifat pembaharuan diri (self renewal) dan pluripotensi, seperti Oct4, Sox2, Nanog, Rex1, Gdf3, Fgf4, Esg1, DPPA2, DPPA4, dan hTERT yang merupakan gen-gen penanda spesifik atau marker hESC.7,12,14 iPSC juga menunjukkan penekanan ekspresi (silencing) gen-gen regulator proses diferensiasi ke dalam jalur mesodermal (Brachyury, Mesp1), endodermal (Sox17, Foxa2), dan ektodermal (NeuroD1, Pax6). Ketika mulai berdiferensiasi, iPSC menunjukkan peningkatan ekspresi gen-gen regulator proses diferensiasi dan sebaliknya menunjukkan penurunan ekspresi gen-gen yang mempertahankan sifat pluripotensi dan self renewal.15 Analisis penanda antigen permukaan melalui pengecatan imunohistokimia juga menunjukkan bahwa iPSC mengekspresikan antigen permukaaan hESC seperti SSEA-3, SSEA-4, TRA-1-60, TRA-1-81, TRA-2-49/6E

iPSC dan hESC juga menunjukkan kesamaan mekanisme regulasi ekspresi gen (status epigenetik) seperti pola metilasi DNA.13,16,17 dan modifikasi protein histon pada struktur kromatinnya.17-19 Hal ini secara kuat dibuktikan melalui genomic sequencing analysis pada iPSC yang menunjukkan banyak daerah basa dinukleotida CpG (CpG island) pada promoter gen-gen yang mengatur sifat pluripotensi dan self-renewal seperti Oct3/4, Nanog, Fbx15, dan Rex1 tidak termetilasi (demethylation) sehingga ditranskripsikan secara aktif.12,20 iPSC dan hESC juga menunjukkan kesamaan pola modifikasi histon kromatin.17,20-22 Histon bivalen H3K27/H3K4me3 (H3 lysine 27/H3 lysine 4 trimethylation) merupakan penanda kromatin yang sangat spesifik dan terekspresikan pada sel-sel pluripoten seperti hESC.18,19,23 H3K27/ H3K4me3 berfungsi menekan ekspresi gengen regulator proses diferensiasi, seperti Gata6, Msx2, Pax6, dan Hand1.12 Berbeda dengan selsel pluripoten, sel-sel somatik yang telah berdiferensiasi hanya menunjukkan protein histon univalen dan kehilangan kedua penanda histon bivalen. Melalui analisis Chromatin Immunoprecipitation (ChIP) dan hibridisasi pada pelat DNA microarray, Mikelsen dkk berhasil membuktikan bahwa iPSC juga mengekspresikan histon H3K27/ H3K4me3 pada struktur kromatinnya.17 Bukti tersebut diperkuat oleh Maherali dkk yang menganalisis ekspresi histon H3K27/ H3K4me3 pada regio promoter 16.500 gen-gen iPSC dan berhasil membuktikan kesamaan profil epigenetik antara iPSC dan hESC yang mencapai angka 94,4%.22 iPSC dan hESC juga menunjukkan kesamaan kapasitas diferensiasi yang dibuktikan melalui berbagai penelitian in vitro dan in vivo pada model hewan uji coba. Pada kondisi in vitro, iPSC dapat berdiferensiasi spontan membentuk sel-sel komponen ketiga lapisan germinal (endoderm, mesoderm, dan ektoderm) melalui pembentukan badan embrioid (Embryoid Body/ EB) ketika disuspensikan pada medium diferensiasi hESC. Hal ini dibuktikan melalui analisis DNA microarray pada EB yang menunjukan terdapatnya sel-sel yang mengekspresikan gen-gen penanda fenotipik endoderm (Foxa2, Sox17, GATA 4/6, fetoprotein, albumin), mesoderm (Brachyury-T, Msp1/2,Isl-1,-actin,-globin,Runx2),dan ektoderm (Sox1, Nestin, Pax6, GFAP, Olig2, neurofilament, -III Tubulin).65 iPSC juga dapat berdiferensiasi membentuk neuron, kardiomiosit, dan sel pankreas pada kondisi in vitro, baik melalui pembentukan EB maupun melalui protokol diferensiasi spesifik (guided differentiation).12,14,24,25

183

TINJAUAN PUSTAKA
Metode Diferensiasi iPSC Membentuk Kardiomiosit Fungsional. iPSC terbukti dapat berdiferensiasi membentuk kardiomiosit fungsional pada kondisi in vitro.26-29 iPSC dapat berdiferensiasi membentuk kardiomiosit dengan mengadopsi metode diferensiasi hESC, yaitu metode pembentukan badan embrioid (embryoid body/EB). EB merupakan struktur agregat 3 dimensi dari sel-sel pluripoten yang dapat berdiferensiasi secara spontan membentuk sel-sel endoderm, mesoderm, dan ektoderm. Secara struktural, EB tersusun atas selsel epiblas bagian dalam (inner epiblast) dan lapisan endoderm primitif pada bagian luarnya.30,31 Sel-sel mesodermal yang merupakan prekursor kardiomiosit terbentuk di antara 2 lapisan tersebut. Diferensiasi iPSC membentuk kardiomiosit via pembentukan EB melibatkan regulasi ekspresi gen-gen yang berperan dalam proses kardiomiogenesis menurut pola temporal yang sesuai dengan yang teramati selama perkembangan pada fase embrionik.32,33 Tahap pertama diferensiasi ditandai oleh penurunan ekspresi gengen pluripoten, seperti Nanog, Oct4, Sox2, Rex1, dan TDGF1/Cripto.33 Kardiomiogenesis ditandai oleh peningkatan ekspresi gen primitive streak, mesoderm, dan kardiomesoderm seperti Brachyury dan Mesp1.26 Moretti dkk33 juga melaporkan bahwa diferensiasi iPSC membentuk kardiomiosit didahului oleh peningkatan ekspresi gen-gen penanda sel progenitor kardia (Cardiac Progenitor Cell/CPC), seperti Isl1, Nkx2.5, Flk1, Gata4, dan cTNT. Diferensiasi terminal membentuk kardiomiosit ditandai oleh penurunan ekspresi gen-gen mesodermal serta peningkatan ekspresi gen-gen struktural dan fungsional spesifik pada kardiomiosit (-MHC, -MHC, MLC-2a, MLC-2v, cTNT, ion channel protein, tropomyosin 1/2, actin, -actinin, dan phospholamban).26,27,34 Terdapat berbagai metode diferensiasi EB yang telah berhasil dikembangkan, seperti metode suspensi, hanging drop, methylcellulose culture, spinner flask, bioreactor, dan microwell technology. Metode yang sering dipergunakan adalah metode suspensi statis dan hanging drop.26,27 Pada metode suspensi statis, tahap pertama diferensiasi iPSC adalah disosiasi iPSC dari medium kultur (MEF feeder layer) melalui penambahan enzim collagenase IV atau dispase. Koloni iPSC yang terdisosiasi akan membentuk kluster iPSC (clumps) yang tersusun atas kira-kira 500-1000 iPSC. Selanjutnya, clumps iPSC akan dikultur pada pelat low-attachment yang disertai penambahan medium suspensi yang mengandung 80% DMEM/F12, 1 mmol/L L-glutamine, 0,1 mmol/L -mercaptoethanol, 1% asam amino non-esensial, dan 20% FBS (Fetal Bovine Serum).27,35 Dalam medium suspensi tersebut, iPSC akan teragregasi spontan membentuk EB melalui interaksi adhesi antar sel. Pada hari ke-4 diferensiasi, EB yang telah terbentuk dapat dipindahkan dari medium suspensi ke dalam gelatin/poly-L-lysine coated plates untuk menginduksi terbentuknya fokus berdenyut atau beating foci. Beating foci merupakan tanda diferensiasi iPSC membentuk kardiomiosit. Secara mikroskopis, beating foci tersusun atas kluster kardiomiosit yang berdenyut secara spontan dan ritmis. Cao dkk34 yang mengamati pola ekspresi gen selama perkembangan beating foci pada EB menemukan bahwa beating foci mengekspresikan gen-gen penanda mesoderm (Twist1, Tbx5, Meox) dan gen-gen penanda awal kardiomiogenesis (Isl1, Hand, Gata-4, Mef2c, Nkx2.5). Kardiomiosit yang terbentuk pada beating foci dapat dipanen dengan menggunakan teknik microdissection atau Percolls gradient centrifugation.27,35 Efisiensi metode konvensional diferensiasi iPSC membentuk kardiomiosit via pembentukan EB tergolong relatif rendah. Zhang dkk melaporkan bahwa pada hari ke-30 diferensiasi, hanya 10% populasi EB yang menunjukkan beating foci.27 Efisiensi diferensiasi via pembentukan EB dapat ditingkatkan dengan memodifikasi medium diferensiasi EB melalui penambahan senyawa kimia atau faktor pertumbuhan spesifik. Moretti dkk berhasil mendemonstrasikan bahwa penambahan 20% FBS dan asam askorbat pada medium diferensiasi EB berhasil meningkatkan persentase terbentuknya beating foci pada EB, yaitu lebih dari 40% pada hari ke-18 diferensiasi.33 Analisis beating foci yang terbentuk juga menunjukkan kluster kardiomiosit yang mengekpresikan protein sarkomerik spesifik, seperti -actinin dan cardiac troponin T (cTNT). Metode diferensiasi pada model hESC yang cukup efisien dan siap diadopsi pada model iPSC telah berhasil dikembangkan. Mengingat kesamaan karakteristik yang teramati antara iPSC dan hESC terutama kapasitas diferensiasinya, protokol diferensiasi pada model hESC dapat diadopsi dengan tingkat efisiensi yang hampir ekuivalen.36 Yang dkk37 berhasil mengembangkan model protokol diferensiasi dengan efisiensi produksi kardiomiosit yang mencapai 50%. Protokol diferensiasi tersebut melibatkan administrasi faktor pertumbuhan spesifik pada medium kultur EB (hESC/iPSC) serta isolasi populasi CPC. Untuk mengarahkan proses diferensiasi membentuk kardiomiosit, protokol diferensiasi terbagi atas 3 stadium, yaitu Stadium 1, 2, dan 3 (Gambar 1). Pada Stadium 1 (hari ke-1 s/d hari ke-4), Activin A, BMP-4, dan bFGF diadministrasikan ke dalam medium kultur EB. Kombinasi Activin A dan BMP4 pada Stadium 1 dapat menginduksi pembentukan populasi sel-sel primitive streak dan sel-sel mesoderm primer dari populasi iPSC yang belum terdiferensiasi. Hal ini ditandai oleh adanya peningkatan ekspresi gen Brachyury dan WNT3A. Selanjutnya, pada Stadium 2 (hari ke-4 s/d hari ke-8), WNT inhibitor (DKK1) dan VEGF diadministrasikan pada medium kultur untuk menginduksi diferensiasi sel mesoderm primer membentuk kardiomesoderm, serta menginduksi ekspansi dan pematangan populasi sel CPC.37 Pada Stadium 3 (hari ke-8 s/d hari ke-14), populasi sel KDRlow/C-KITneg yang telah diisolasi dari EB akan dikultur pada medium kultur spesifik (suspensi dan monolayer) dan disertai penambahan faktor pertumbuhan DKK1 dan VEGF untuk menginduksi diferensiasi terminal sel CPC membentuk kardiomiosit. Diferensiasi membentuk kardiomiosit ditandai oleh peningkatan ekspresi gen-gen Nkx2.5, Isl1, Tbx5, Tbx20, MLC-2a, dan cTNT. Yang dkk menemukan bahwa setelah 7-10 hari dikultur, kira-kira 40% sel CPC pada medium suspensi dan 50% pada pelat monolayer berdiferensiasi membentuk kardiomiosit (cTNT+cells) berdasarkan hasil analysis dengan metode flow cytometry. Kardiomiosit yang terbentuk pada medium pelat monolayer tampak sebagai masa sel yang berdenyut secara sinkron. Laflamme dkk38 juga berhasil mendemonstrasikan model protokol diferensiasi in vitro yang cukup efisien dalam memproduksi kardiomiosit. Berdasarkan model diferensiasi tersebut, hESC yang telah terdisosiasi dari medium kultur MEF feeder layer dapat dipelatkan pada matriks yang mengandung medium penyokong MatrigelTM, MEF-CM (Mouse Embryonic Fibroblast-Conditioned Medium), dan bFGF. Untuk menginduksi diferensiasi membentuk kardiomiosit, MEF-CM dieliminasi dari medium kultur dan digantikan dengan penambahan faktor pertumbuhan Activin A dan BMP4. Pada model hESC, Laflamme dkk menemukan bahwa 12 hari setelah penambahan Activin A/BMP4, lebih dari
C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

184

TINJAUAN PUSTAKA
pluripoten (Oct3/4, Nanog) bila dibandingkan dengan ESC pada hari ke-10 dan 21. Sementara itu, ekspresi onkogen c-Myc tidak berbeda signifikan antara iPS dan ESC. Dalam studi Zhang dkk27 terdapat 2 tipe iPS yang digunakan, yaitu iPS yang berasal dari klon fetus dan neonatus. hiPS tersebut diperoleh dari fibroblas sumber yang ditransduksi menggunakan 4 faktor transkripsi (Oct4, Sox2, Nanog, Lin28). Ekspresi gen-gen iPSkardiomiosit dilakukan pada hari ke-0 dan ke-60 untuk memastikan bahwa kardiomiosit telah berdiferensiasi sempurna. Hasil analisis kemudian dibandingkan dengan ESC. Analisis menggunakan RT PCR menunjukkan downregulasi gen-gen pluripoten (Oct4, Nanog) secara signifikan pada semua derivat iPS, kecuali neonatus tipe C1 yang tetap mempertahankan ekspresi Oct4 dan Nanog pada level tertentu. Konsep generasi kardiomiosit yang sistematis dilakukan oleh Narazaki dkk.41 iPS yang dihasilkan dikultur dalam medium kolagen IV dan sel stroma dan pada hari ke-4, koloni sel tersebut diseleksi berdasarkan ekspresi Flk1 (penanda sel progenitor jantung dan sel hematopoietik). Sel Flk1+ ini kemudian dikultur dalam medium diferensiasi kardiomiosit dan dinilai ekspresi gennya. Intensitas gen kardiomiosit spesifik (Nkx2.5, MHY6, Mlc2v, Mlc2a, HCN4, connexin 40) baru muncul pada hari diferensiasi ke-4, sedangkan gen mesoderm jantung (Brachyury) telah dapat diamati pada hari diferensiasi ke- 2,5. Sedangkan gen penanda progenitor jantung (Flk1 dan Isl1) muncul pada hari ke-3,5. Prinsip diferensiasi iPS secara sistematis juga dilakukan oleh Schenke-Layland dkk.42 iPS diarahkan diferensiasinya menjadi badan embryoid (EB) atau dikultur pada kolagen IV. Sel koloni yang muncul kemudian diseleksi berdasarkan ekspresi Flk1. Sel Flk1+ yang belum diarahkan diferensiasinya menjadi kardiomiosit mengekspresikan gen progenitor jantung seperti c-kit, Sca-1, Isl1, dan Nkx2.5. Setelah dikultur dalam medium diferensiasi kardiomiosit, sel Flk1+ mulai mengalami upregulasi gen-gen kardiomiosit dewasa, meliputi GATA4, Mef2c, MHY6, MHY7. Sel koloni yang berasal dari EB maupun kolagen IV tidak menunjukkan perbedaan signifikan dalam ekspresi berbagai gen tersebut. Proses diferensiasi iPS secara sistematis yang hanya menggunakan sel progenitor jantung bermanfaat menurunkan risiko formasi tumor karena sel progenitor tersebut hanya
C DK 184/V o l .38 no .3/Ap r il 2011

Gambar 1. Diagram skematis protokol diferensiasi human iPSC membentuk kardiomiosit.37 A) Protokol diferensiasi terbagi atas 3 stadium berdasarkan tahap-tahap perkembangan kardiomiosit pada fase embrionik; B) Kombinasi faktor pertumbuhan spesifik yang digunakan pada masing-masing stadium diferensiasi; C) Perkembangan berturut-turut: human iPSC yang belum terdiferensiasi, sel mesoderm, sel progenitor kardiovaskular (CPC), dan kardiomiosit.

30% hESC berdiferensiasi membentuk kardiomiosit. Takahashi dkk berhasil membuktikan bahwa iPSC juga dapat berdiferensiasi membentuk kardiomiosit dengan mengadopsi model diferensiasi ini. Analisis RT-PCR menunjukkan kardiomiosit yang terbentuk mengekspresikan gen-gen penanda kardiomiosit seperti cTNT, Mef2c, Myl2a, Myhcb, dan Nkx2.5.12 Selain 2 metode diferensiasi di atas, metode diferensiasi yang melibatkan penggunaan medium END2-CM (Endoderm/END2 cells-Conditioned Medium) dan modulasi jalur pensinyalan p38 MAPK juga terbukti efisien dalam menginduksi diferensiasi membentuk kardiomiosit fungsional.39 Graichen dkk39 berhasil mendemonstrasikan bahwa penggunaan medium END2-CM sebagai medium suspensi EB pada model hESC dapat meningkatkan efisiensi pembentukan beating foci dan kardiomiosit, di mana beating foci teramati pada kira-kira 50% EB yang terbentuk dan lebih dari 12% sel-sel EB berdiferensiasi membentuk kardiomiosit (-MHC + cells). Selanjutnya, penambahan inhibitor p38 MAPK pada medium END2-CM (konsentrasi < 10 M) bahkan meningkatkan efisiensi metode diferensiasi ini. Hampir 80% EB menunjukkan fokus berdenyut dan lebih dari 20% sel-selnya berdiferensiasi membentuk kardiomiosit. Bukti in vitro dan in vivo Kardiomiosit Hasil Derivasi Teknologi iPSC. Karakterisasi Genotipe. Salah satu kriteria utama yang menentukan kapasitas iPS dalam berdiferensiasi menjadi kardio-

miosit adalah melalui ekspresi gen-gen spesifik sesuai dengan ciri khas tipe sel tersebut. Mauritz dkk29 berhasil memetakan ekspresi gen sesuai tahap perkembangan iPS hingga menjadi kardiomiosit fungsional. Studi tersebut membagi tahapan perkembangan iPS-kardiomiosit menjadi 4 fase, yakni: iPS yang belum berdiferensiasi, mesodermal-endodermal, mesoderm jantung, dan kardiomiosit (Gambar 2), konsep yang mirip diterapkan oleh Martinez-Fernandez dkk.40 iPS yang belum berdiferensiasi mengekspresikan gen-gen pluripoten (Oct3/4, Nanog) dengan sangat kuat dan menurun secara gradual hingga mencapai minimal pada hari diferensiasi ke-21. Seiring dengan penurunan ekspresi gen-gen pluripoten, terjadi upregulasi gen mesodermal (Brachyury, Mesp1) yang sebelumnya telah diekspresikan secara minimal pada iPS yang belum berdiferensiasi. Sementara itu, gen-gen endoderm (Sox17, FoxA2, AFP) juga terekspresi pada iPS yang telah berdiferensiasi sempurna. Gen penanda jaringan endodermal juga diteliti karena terdapat bukti peranan jaringan tersebut dalam jalur pensinyalan molekuler yang penting bagi diferensiasi iPS. Pada hari diferensiasi ke-10 telah dapat diamati upregulasi gen-gen mesoderm jantung (FOG-2, GATA4, Nkx2.5, Tbx5, Tbx20). Sedangkan pada hari yang sama pula telah terjadi upregulasi gen-gen spesifik kardiomiosit (MLC2v, MLC2a, ANF), sementara ekspresi -MHC baru diekspresikan pada hari ke-21. Secara global, fase ekspresi gen iPS-kardiomiosit menyerupai ESC-kardiomiosit, kecuali derivat iPS menunjukkan keterlambatan downregulasi gen-gen

186

TINJAUAN PUSTAKA
berkomitmen menjadi kardiomiosit, sementara itu penggunaan iPS bersiko menimbulkan teratoma akibat protokol diferensiasi yang kurang sempurna maupun retensi gen-gen pluripoten embrionik. Akhirnya, karakterisasi genotipe iPS-kardiomiosit dipetakan secara jelas oleh van Laake dkk43 yang menggunakan penanda molekuler (green fluorescent protein / GFP) yang ekspresinya diregulasi oleh promoter Nkx2.5 (faktor transkripsi kardiomiosit) pada mencit transgenik. iPS dengan manipulasi genetik tersebut berhasil berkembang menjadi EB dan mengalami penurunan ekspresi gen-gen pluripoten. Setelah diferensiasi hari ke-8, genom iPS diisolasi dan dibandingkan dengan genom ESC. Dari total 28.853 transkrip mRNA, hanya 195 yang berbeda secara signifikan. Diantara transkrip tersebut, hanya 38 gen yang berbeda lebih dari dua kali intensitas. Analisis kemudian dilanjutkan dengan membandingkan perbedaan ekspresi gen antara berbagai tipe iPS yang dicurigai berbeda antara sel yang sehat dan berpenyakit. Berdasarkan analisis microarray, ternyata perbedaan antar klon iPS juga sangat minimal. Temuan ini menunjukkan kemiripan iPS dengan ESC hingga level ekspresi gen. Selain itu, intensitas ekspresi genetik antar klon iPS juga terbukti minimal. Hasil studi tersebut semakin mendukung aplikasi iPS sebagai alternatif ESC dalam aspek luas, termasuk diferensiasi menjadi kardiomiosit untuk kepentingan terapi sel dan farmakogenomik. Karakterisasi Fenotipe. Interpretasi eskpresi gen sebagai penanda fase perkembangan dan diferensiasi iPS menjadi kardiomiosit perlu ditelaah secara kritis karena tidak seluruh transkrip mRNA yang mengalami upregulasi ditranslasikan menjadi protein. Oleh karena itu, berbagai karakterisasi fenotipe dilakukan untuk mengevaluasi morfologi iPSkardiomiosit. Salah satu tanda bahwa fibroblas telah terprogram ulang menjadi iPS ialah diekspresikan antigen SSEA-1 dan AP sebagai ciri khas sel embrionik (Gambar 2). Dengan menggunakan teknologi immunostaining, iPS yang dihasilkan dari fibroblas positif terwarnai dengan antibodi spesifik SSEA-1 dan AP, menandakan ekspresi protein embrionik dan sel telah terprogram ulang menjadi pluripoten.43 Sedangkan sel parental (fibroblas) tidak mengekspresikan protein embrionik saat diwarnai menggunakan teknologi yang sama.28,43
C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r i l 2011

Studi lain menunjukkan ekspresi protein penanda pluripotensi seperti Nanog, Oct4, TRA-I60, dan SSEA-4 pada sel iPS dan ESC. Namun antigen SSEA-1 tidak terdeteksi pada kedua klon. Ekspresi protein embrionik tersebut berkurang secara gradual seiring diferensiasi iPSC menjadi badan embryoid (EB).26 Pada fase diferensiasi berikutnya, iPSC mulai mengekspresikan protein penanda kardiomiosit spesifik, seperti formasi striae sarkomerik, protein kontraktil -actinin, troponin I, troponin T, troponin C, dan gambaran protein gap junction connexin43.29,40,42,44 Ekspresi protein serupa juga ditemukan pada studi Narazaki dkk.41 Sel progenitor jantung Flk1+ yang diseleksi dari koloni iPSC pada hari diferensiasi ke-8 menunjukkan formasi striae sarkomerik, selain positif terhadap pewarnaan -actinin, connexin 43, HCN4, Cav3.2 (kanal kalsium tipe T), dan Kir2.1. Studi lain menunjukkan ekspresi protein kontraktil -actinin dan Mlc-2v pada iPSC yang berdiferensiasi di hari ke-16. Lebih lanjut, immunostaining terhadap protein ANF dilakukan untuk mengetahui fungsi endokrin kardiomiosit derivat iPSC. Namun ternyata hasil pewarnaan negatif ditemukan pada kardiomiosit derivat iPSC, sedangkan pewarnaan ANF positif pada sel atrium derivat ESC, namun negatif pada sel ventrikel. Hal ini dapat mengindikasikan keterlambatan maturasi kardiomiosit derivat iPSC dibandingkan dengan ESC atau kecenderungan iPSC untuk berdiferensiasi menjadi sel ventrikel.45 Tahapan diferensiasi iPSC menjadi kardiomiosit diawali dengan perubahan morofologi fibroblas (berbentuk panjang dan pipih) menjadi padat dan bulat sebagai ciri khas sel embrionik dengan penyusutan rasio sitosol-nukleus. Perubahan morfologi tersebut dapat diamati 3 minggu pasca transduksi fibroblas menggunakan faktor transkripsi pluripotensi (Sox2, Klf4, Oct3/4, c-Myc/Lin28).44 Koloni sel tersebut telah mengalami regresi menjadi iPSC dan positif terhadap pewarnaan gen-gen pluripotensi.26,43 Sel-sel iPS ini kemudian dikultur dalam medium spesifik dengan protokol hanging drop sehingga berubah menjadi badan embryoid (EB) mulai hari ke-5 hingga hari ke-14 pasca kultur.44 Persentase sel iPS yang berdiferensiasi menjadi EB pada berbagai derivat iPSC berkisar antara 1-10%, sedangkan efisiensi generasi EB dari ESC relatif lebih tinggi (maksimum 22%).74 Pada hari ke-6 pasca kultur, EB mulai menunjukkan aktivitas berdenyut spontan (spontaneous beating activity) sebagai tanda bahwa EB mulai berkomitmen menjadi kardiomiosit dewasa.

Pada hari ke-6 pasca kultur, hampir separuh EB-derivat ESC berdenyut spontan (49,7 8,5%) sedangkan EB-derivat iPSC baru dijumpai berdenyut pada hari-8 dengan persentase amat rendah. Namun demikian, persentase EB yang berdenyut spontan terus mengalami peningkatan, baik pada ESC maupun iPSC. Pada hari ke-19 hingga 24, sebanyak 84 hingga 100% EB-derivat ESC berdenyut spontan, sedangkan EB-derivat iPSC yang berdenyut mencapai 554,2% pada hari ke-24 pasca kultur. Jumlah area kontraksi atau denyutan per EB bervariasi, antara 1-9% pada EB-derivat ESC dan 1-15% pada EB-derivat iPSC. Namun secara keseluruhan, EB-derivat iPSC memiliki jumlah denyutan per EB yang lebih rendah dengan ukuran dan morfologi yang lebih kecil rerata diameter 300-400 m) dibandingkan dengan EB-derivat ES. Temuan ini konsisten dengan ekspresi mRNA troponin T sel iPSC yang lebih rendah 3-5 kali daripada ESC sehingga menghasilkan kardiomiosit dengan ukuran yang lebih kecil dengan fungsionalitas inferior terhadap EBderivat ESC.29,40 Selain metode immunostaining dan kemampuan formasi EB, evaluasi morfologi dan fenotipe iPSC meliputi formasi teratoma dan kemampuan membentuk chimaera saat diinjeksikan pada ESC fase morula-blastula. Metode yang terakhir merupakan salah satu kriteria tertinggi untuk menguji validitas sel embrionik, termasuk iPSC karena injeksi ESC pada embryo fase blastula (8 sel) dapat menghasilkan 95100% chimaera (organisme dengan struktur genom yang heterogen dan berbeda dengan induknya) yang didominasi oleh ekspresi ESC yang diinjeksikan.46 Sehingga, konsep ini seharusnya berlaku pula pada iPSC yang memiliki sifat-sifat embrionik dan pluripotensi. Injeksi iPSC pada mencit NOD-SCID secara subkutan dan intramuskuler sebanyak 500.000 sel menyebabkan formasi teratoma beberapa minggu kemudian. Pada pemeriksaan histologi ditemukan 3 turunan sel (cell lineage) yakni endoderm (epitel glandular), ektoderm (epitel keratin), dan mesoderm (jaringan ikat mesenkimal).28,44 Studi lain juga menemukan formasi teratoma dengan komposisi sel yang beragam, meliputi nestin [progenitor neuron], rosette neuron, jaringan adiposa, kartilago, otot, dan epitel setelah dilakukan protokol percobaan yang sama.43 Kriteria formasi chimaera diawali dengan koinkubasi iPSC bersama dengan morula yang telah

187

TINJAUAN PUSTAKA
terdenudasi (metode ini disebut agregasi diploid non-koersi). Dalam 24 jam, telah terbentuk blastosis campuran antara sel induk dengan iPSC.40 Blastosis chimaera ini kemudian ditransplantasikan pada uterus mencit surrogate (mencit yang dimanfaatkan sebagai sarana pertumbuhan embryo namun bukan merupakan induk biologisnya) dan mampu berkembang dengan baik dalam organogenesis.40 Nelson dkk28 menggunakan iPSC berlabel lacZ untuk menandai kontribusi sel tersebut dalam embryogenesis chimaera. Hasilnya, setelah 9,5 hari pos coitum (day post coitum / dpc), iPSC berperan dalam formasi organ jantung, meliputi cardiac inflow (vena cava superior-inferior, vena pulmonalis) dan outflow tracts (aorta, arteri pulmonalis) yang menunjukkan kemampuan iPSC dalam organogenesis secara de novo. Sedangkan agregasi diploid in utero menggunakan iPSC menunjukkan kontribusi sel tersebut terhadap kardiogenesis sejak 8 dpc hingga teramati dalam formasi cardiac inflow dan outflow tracts pada 9,5 dpc. Saat mencit dilahirkan, tidak terdapat perbedaan fisik antara mencit kontrol dan chimaera produk integrasi iPSC, kecuali warna bulu yang mosaik. Evaluasi ekspresi luciferase transgenik menunjukkan intensitas chimaerism yang tinggi pada mencit chimaera. Akhirnya, ekokardiografi transtoraks pada jantung mencit chimaera menunjukkan struktur atrium, ventrikel, katup, dan pembuluh darah besar serta fungsi sistole-diastole yang normal bila dibandingkan dengan mencit kontrol.44 Karakterisasi Fungsional. Peningkatan ekspresi gen spesifik dan perubahan morfologi iPSC menjadi kardiomiosit perlu dibuktikan secara fungsional. Kardiomiosit derivat iPSC harus mampu menunjukkan aktivitas kontraksi ritmis, fluktuasi berbagai ion yang berperan dalam aksi potensial (natrium, kalium, dan kalsium), dan kemampuan meregenerasi kardiomiosit yang mengalami infark (Gambar 2). Analisis aksi potensial (AP) terhadap EB derivat iPSC (hari ke-56 sampai 70 pasca formasi) menggunakan multielectrode array menunjukkan tiga tipe AP, yakni ventrikel, atrium, dan nodal. Persentase EB dengan AP ventrikel, atrium, dan nodal tidak jauh berbeda antara iPSC dengan ESC (70%; 10%; 20% vs. 60%; 20%; 20%).27 Studi lain menunjukkan bahwa EB yang mengalami kontraksi spontan menghasilkan ritme kontraksi yang seragam, mengindikasikan aktivitas AP yang koordinatif.44 Lebih lanjut, aktivitas AP direkam menggunakan voltage-clamp dan saat depolarisasi membran terdapat perubahan elektrisitas sel dari -100 mV menjadi 60 mV. Hal ini menunjukkan aliran arus internal dan eksternal dari kardiomiosit derivat iPSC yang tidak dijumpai pada fibroblas. Untuk membuktikan bahwa arus internal diregulasi oleh ion kalsium, ion tersebut dieliminasi dari kardiomiosit yang bersangkutan. Hasilnya, AP dan arus internal tidak terdeteksi.44 Sementara itu, ion kalsium dijumpai meningkat secara homogen pada kardiomiosit derivat iPSC dan ESC pada hari ke-3 hingga 7 pasca kontraksi spontan menggunakan mikroskop laser konfokal, yang mengindikasikan regulasi pelepasan ion kalsium secara optimal dari deposit kalsium intraseluler.29 Saat dimuat dengan kalsium yang selektif terhadap probe Fluoro-4AM, sel menghasilkan aktivitas listrik (transients) ritimis yang konsisten terhadap influks-efluks kalsium saat diastolik dan sistolik. Amplitudo aktivitas listrik ion kalsium antara kardiomiosit derivat iPSC dan ESC tidak berbeda signifikan (281 23 nmol/L vs. 298 24 nmol/L)29, termasuk dalam batasan normal seperti yang dijumpai pada kardiomiosit orang dewasa.47 Selain itu, dapat dijumpai koloni sel yang berkontraksi secara sinkron yang mengindikasikan adanya komunikasi antara sel di antara sinsitium.44 Dalam studi lain dijelaskan analisis fisiologi EB yang berdenyut spontan menggunakan teknologi multielectrode array (MEA). EB hasil derivasi iPSC diisolasi dan ditempatkan pada plat MEA yang terdiri dari elektroda dan dapat merekam aktivitas elektris ekstraseluler. Hasil elektrogram menunjukkan perkembangan sinsitium fungsional dengan aktivitas pacemaker yang stabil, disertai propagasi AP yang tersinkronisasi.26 Kardiomiosit dewasa memiliki sistem neuroendokrin yang baik dan dapat merespon agen -adrenergik dan muskarinik secara fisiologis. Oleh karena itu, kriteria ini perlu diujikan pada kardiomiosit derivat iPSC untuk mengetahui kemiripan fungsi dengan kardiomiosit dewasa. Kuzmenkin dkk45 menggunakan carbachol (CCh / analog sintetik asetilkolin) untuk menilai fungsi reseptor muskarinik di awal formasi EB (EDS) dan fase akhir diferensiasi kardiomiosit (LDS). Hasilnya, CCh menurunkan aktivitas AP sebesar 26,7 9,2% di awal formasi EB dan persentasenya meningkat hingga 39,7 11,7% pada fase akhir diferensiasi kardiomiosit. Kronotropi negatif yang dihasilkan oleh pemberian CCh menghilang saat periode washout. Hasil percobaan ini diamati pula pada kardiomiosit-derivat ESC dan kardiomiosit fetus.

Gambar 2. Sistem identifikasi iPS berdasarkan genotipe, fenotipe, dan kapasitas fungsional (diadaptasi dari: Nelson dkk28; Schenke-Layland dkk42).

188

C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

TINJAUAN PUSTAKA
Pengujian dilanjutkan dengan pemberian isoproterenol (Iso/agonis -adrenergik) 1M pada EDS dan LDS. Frekuensi AP meningkat hingga 118,7 27,6% saat EDS dan 89,3 28,6% saat LDS. Efek Iso hilang setelah periode washout, mengindikasikan kemampuan autoregulasi neuroendokrin kardiomiosit-derivat iPSC yang optimal. Efek kronotropi positif ini juga diamati pada kardiomiosit-derivat ESC dan kardiomiosit fetus dengan perbedaan yang tidak signifikan. Berikutnya, diberikan lidokain dan nifedipine yang masing-masing merupakan blocker kanal ion natrium dan kalsium tipe L. Hasilnya, seluruh blocker memberikan efek kronotropi negatif pada kardiomiosit-derivat iPSC. Lidokain menurunkan frekuensi AP secara signifikan sebesar 80,2 13,7% dan Vmaks sebesar 55,9 13,1 %. Efek blocker hilang setelah periode washout. Evaluasi AP dan arus listrik ion kalsium saat distimulasi CCh dan Iso juga dilakukan menggunakan teknologi MEA. Kardiomiosit-derivat iPSC ditempatkan pada plat MEA berisi elektrode yang dapat merekam aktivitas elektrik sel. Kemudian diberikan 1 mol/L Iso dan 10 mol/L CCh pada kesempatan yang terpisah. Frekuensi AP sel meningkat signifikan dibandingkan kondisi awal (saat pemberian Iso) dan menurun saat pemberian CCh. Pemberian kedua agen ini secara bersamaan mampu memblok efek Iso sehingga terjadi penurunan AP. Hal ini terjadi karena konsentrasi CCh 10 kali lebih tinggi dibandingkan Iso. Hasil percobaan ini komparabel dengan kardiomiosit derivasi ESC.29 Akhirnya, kemampuan fungsional kardiomiosit yang dihasilkan dari sel iPSC perlu diuji secara in vivo sebagai kriteria tertinggi dan terpenting. Kemampuan sel tersebut untuk meregenerasi area infark pada jantung adalah outcome terakhir yang harus dipenuhi apabila hendak mempertimbangkan teknologi sel iPS untuk kepentingan terapi (Gambar 2). Pertanyaan ini dijawab oleh studi Nelson dkk28 dengan menginduksi iskemia dan infark pada jantung mencit imunokompeten. Ligasi arteri koroner kiri menyebabkan oklusi ireversibel pada aliran darah epikardium. Hal ini menyebabkan terganggunya pergerakan dinding anterior (impaired anterior wall motion), penurunan fungsi jantung secara global (depressed global cardiac function), dan penurunan fraksi ejeksi (ejection fraction / EF) dari 82 3% sebelum infark menjadi 38 3%, sehari setelah infark. Iskemi myokardium dikonfirmasi menggunakan EKG, ekokardiografi, dan perubahan warna dinding ventrikel.
C DK 1 8 4 / Vo l. 38 no. 3/A p r i l 2011

Sebanyak 200.000 sel fibroblas maupun iPSC ditransplantasikan pada area iskemia, 30 menit setelah ligasi. Hasilnya, kelompok terapi fibroblas tetap menunjukkan penurunan EF secara persisten menjadi 37 4% setelah 4 minggu. Sementara itu, terapi iPSC memperbaiki kontraktilitas jantung dan meningkatkan EF hingga 56 22% (minggu ke-2) dan 50 5% (minggu ke-4). Perbaikan klinis lainnya meliputi pemendekan fraksional yang meningkat (20 1% 1 hari pos-infark vs. 31 3% 4 minggu pos-infark). Lebih lanjut, ketebalan dinding septum regional (regional septal wall thickness) mengalami perbaikan dengan terapi iPSC, namun tidak dengan pemberian fibroblas (1,31 0,11 mm; median 1,20 mm vs. 0,88 0,06 mm;median 0,90 mm; P=0,006). Penurunan kontraktilitas jantung di area dinding anterior yang iskemik menyebabkan daerah akinetik dan pergerakan (motion) dinding jantung sistolik yang mengindikasikan aneurisma pada kelompok terapi fibroblas. Sebaliknya, terapi iPSC menimbulkan kontraksi jantung konsentrik dan koordinatif seperti yang divisualisasikan pada pencitraan aksis panjang dan pendek. Berdasarkan temuan ini, terapi kardiomiosit-derivat iPSC mampu memperbaiki kinerja fungsional setelah infark miokard akut (IMA). Lebih lanjut, peneliti juga mengevaluasi efek terapi iPSC terhadap pathological remodelling jantung pasca infark. Hal ini sering dijumpai secara klinis pada pasien IMA (remodelling maladaptif akibat adanya area akinetik) sehingga menimbulkan komplikasi sekunder berupa gagal jantung yang memiliki prognosis buruk. Hasilnya, diameter ventrikel kiri saat diastolik (left ventricular diastolic diameter/LVDd) meningkat pada kelompok fibroblas dan iPSC, namun lebih terhambat pada grup iPSC (3,2 0,1 mm; median 3,1 mm [pre-infark] menjadi 4,9 0,1 mm; median 4,9 mm [fibroblas] vs. 4,2 0,2 mm; median 4,2 mm [iPSC]). Pencitraan ekokardiografi meunjukkan defisit struktur regional (regional structural deficits) dengan penipisan dinding dan dilatasi ruang jantung pada kelompok fibroblas. Sedangkan hal tersebut dijumpai secara minimal pada kelompok terapi iPSC. Remodelling struktural patologis ini mengganggu kestabilan elektrofisiologi sehingga mengakibatkan pemanjangan interval QT yang meningkatkan risiko aritmia. Kelompok fibroblas mengalami peningkatan interval QT dari 28,9 1,4 ms (median 28,1 ms) menjadi 55,9 1m3 ms (median 55,8 ms). Sedangkan interval QT meningkat minimal pada iPSC (40,8 1,3 ms; median 40,3 ms). Seluruh hasil klinis ini dikonfirmasi oleh hasil otopsi dengan pemeriksaan

makroskopik yang menunjukkan ukuran jantung lebih kecil serta tidak terdapat formasi aneurisma maupun penipisan dinding jantung pada kelompok terapi iPSC dibandingkan fibroblas. Keamanan Prosedur dan Kualitas iPSC. Keamanan prosedur reprogramming dan kualitas iPSC harus dipastikan sebelum teknologi iPSC dapat diterapkan secara klinis, terutama sebagai sumber regenerasi kardiomiosit pada terapi IMA. Mekanisme konvensional reprogramming iPSC melibatkan penggunaan vektor retrovirus dan integrasi transgen ke dalam genom sel somatik sehingga berisiko memicu terjadinya mutagenesis insersional dan pembentukan teratoma. Penggunaan faktor transkripsi onkogenik juga dapat meningkatkan risiko tumorigenesis pasca transplantasi sel-sel derivat iPSC. Namun, mekanisme reprogramming iPSC yang lebih aman tanpa penggunaan vektor retrovirus dan faktor transkripsi onkogenik telah berhasil dikembangkan.48-50 Stadtfeld dkk50 berhasil mendemonstrasikan mekanisme reprogramming iPSC pada fibroblast dan sel hati dengan menggunakan vektor adenovirus.50 iPSC yang dihasilkan dengan metode ini juga menunjukkan kesamaan karakteristik dengan hESC. Di samping itu, analisis PCR dan Southern Blot tidak menunjukkan bukti adanya integrasi transgen ke dalam genom iPSC. Sementara itu, Woltjen dkk telah berhasil mengembangkan metode penghantaran transgen dengan menggunakan sistem PiggyBac (PB) transposon/transposase.51 Dalam metode tersebut, transgen faktor reprogramming Oct4, Sox2, Klf4, dan c-Myc ditransfer ke dalam plasmid PB-TET transposon (PB-TET-mFX) di bawah kendali transkripsional TetO2 tetracycline/doxycycline inducible promoter. Menariknya, insersi PB dapat dieliminasi dari genom iPSC dengan memanfaatkan aktivitas eksisi PB transposase ketika klon iPSC telah berhasil dibentuk. Yu dkk melaporkan bahwa iPSC juga dapat dihasilkan melalui transfeksi oriP/EBNA1 (EpsteinBarr Nuclear Antigen-1) episomal-based vectors pada fibroblast.49 oriP/EBNA1 sangat ideal untuk penghantaran transgen faktor reprogramming karena plasmid ini dapat ditansfeksikan secara langsung tanpa memerlukan penghantar virus dan dapat dieliminasi dari iPSC yang telah dihasilkan sehingga integrasi transgen ke dalam genom iPSC dapat dihindari. Transfeksi plamid yang membawa unit DNA komplementer (cDNA)

189

TINJAUAN PUSTAKA
terbukti mampu menghasilkan iPSC yang memiliki kesamaan karakterisitik dengan ESC dan terbebas dari integrasi plasmid.48,52 Zhou dkk berhasil mendemonstrasikan bahwa transfeksi protein rekombinan juga dapat digunakan untuk menginduksi proses reprogramming iPSC.53 Dalam metode tersebut, fusi domain transduksi protein poly-arginin pada ujung C terminus faktor transkripsi Oct4, Sox2, Klf4, dan c-Myc dapat menghasilkan protein rekombinan yang mampu mempenetrasi sel, mengalami translokasi ke dalam nukleus, dan tetap stabil dalam sitoplasma. Protein rekombinan menawarkan metode reprogramming iPSC yang aman tanpa melibatkan sedikitpun modifikasi struktur genom sel. Selain itu, iPSC yang dihasilkan juga memiliki kesamaan karakteristik dengan hESC. Selain penggunaan vektor retrovirus, faktor transkripsi onkogenik seperti c-Myc dan Klf4 juga harus dihindari. Penelitian pada hewan uji coba menunjukkan bahwa reaktivasi c-Myc pada sel-sel derivat iPSC dapat meningkatkan risiko tumorigenesis pada mencit chimaera.20 Namun, iPSC dapat dihasilkan tanpa penggunaan c-Myc dan Klf4.49,54 Lin28 dan Nanog dapat digunakan sebagai faktor reprogramming pengganti c-Myc dan Klf4 dan tetap menghasilkan iPSC dengan karakteristik yang menyerupai hESC meskipun dengan efisiensi yang lebih rendah.13 Efisiensi reprogramming iPSC tanpa penggunann c-Myc selanjutnya dapat ditingkatkan dengan menggunakan inhibitor HDAC (Histone Deacetylase), seperti asam valproat (VPA).24 iPSC yang dihasilkan dengan menggunakan Oct4, Sox2, dan VPA juga menunjukkan kesamaan karakteristik dengan hESC.
DAFTAR PUSTAKA.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Shaw LJ, Bugiardini R, Merz NB. Women with ischemic heart disease: evolving knowledge. J Am Coll Cardiol; 2009: 54: 1561-75. Boyle AJ, Jaffe AS. Acute myocardial infarction. In: Crawford MH, editor. Current diagnosis and treatment. 3rd edition. International edition: Lange McGraw Hill; 2009. p. 51-71. Jessup M, Brozena S. Heart failure. N Eng J Med 2003; 348: 2007-18. Wu KH, Liu YL, Zhou B, Han ZC. Cellular therapy and myocardial tissue engineering: the role of adult stem and progenitor cells. European Journal of Cardio-thoracic Surgery 2006; 30: 770-81. Wollert KC, Drexler H. Cell therapy for the treatment of coronary heart disease: a critical appraisal. Nature Review Cardiology 2010; 7: 204-15. Wang F, Guan J. Cellular cardiomyoplasty and cardiac tissue engineering for myocardial therapy. Advanced Drug Delivery Reviews 2010; 62: 784-97. Laflamme MA, Murry CE. Regenerating the heart. Nature Biotechnology 2005; 23: 845-56. Reinecke H, Murry CE. Taking the death toll after cardiomyocyte grafting: a reminder of the importance of quantitative biology. J Mol Cell Cardiol 2002; 34: 251-3. Klug MG, Soonpaa MH, Koh GY, Field LJ. Genetically selected cardiomyocytes from differentiating embryonic stem cells form stable intracardiac grafts. J Clin Invest 1996; 98: 216-24. Das S, Bonaguidi M, Muro K, Kessler JA. Generation of embryonic stem cells: limiations of and alternatives to inner cell mass harvest. Neurosurg Focus 2008; 24: E4. Vasa M, Fichtscherer S, Aicher A, Adler K, Urbich C, Martin H, et al. Number and migratory activity of circulating endothelial progenitor cells inversely correlate with risk factors for coronary artery disease. Circulation Research 2001; 89: E1-E7. Takahashi K. Induction of pluripotent stem cells from adult human fibroblasts by defined factors. Cell 2007;131:861-72. Yu J. Induced pluripotent stem cell lines derived from human somatic cells. Science 2007;318:1917-20. Maehr R, et al. Generation of pluripotent stem cells from patients with type 1 diabetes. Proc. Natl Acad. Sci. USA 2009;106:15768-773. Itskovitz-Eldor J, Schuldiner M, Karsenti D, Eden A, Yanuka O, Amit M, et al. Differentiation of human embryonic stem cells into embryoid bodies compromising the three embryonic germ layers. Mol Med 2000;6(2):88-95. Park IH, Zhao R, West JA, Yabuuchi A, Huo H, Ince TA et al. Reprogramming of human somatic cells to pluripotency with defined factors. Nature 2008;451:141-46. Mikkelsen TS. Dissecting direct reprogramming through integrative genomic analysis. Nature 2008;454:49-55. Bernstein BE. A bivalent chromatin structure marks key developmental genes in embryonic stem cells. Cell 2006;125:315-26. ( Rincian Daftar Pustaka lainnya ada pada redaksi )

Pada kondisi in vivo, injeksi subkutan iPSC pada mencit imunodefisien (SCID mice) menyebabkan terbentuknya teratoma yang tersusun atas sel-sel komponen 3 lapisan germinal, seperti sel-sel epitel usus, otot lurik, tulang rawan, adiposa, sel saraf, dan epidermis.20,36 Okita dkk20 berhasil membuktikan kapasitas diferensiasi iPSC secara in utero pada model hewan uji coba. Injeksi murine iPSC ke dalam blastosist mencit berhasil membentuk mencit chimaera. Analisis pada mencit chimaera menunjukkan bahwa selsel derivat murine iPSC terdistribusikan dalam berbagai jaringan tubuh mencit chimaera, seperti otak, paru-paru, hati, ginjal, lambung, limpa, otot, kulit, dan gonad.20 iPSC juga berkontribusi dalam membentuk sel-sel germinal pada mencit uji coba, seperti pada pembentukan spermatozoa.20 Dengan demikan, dapat disimpulkan bahwa iPSC merupakan sel pluripoten dengan karateristik yang sangat menyerupai hESC. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis dan sintesis atas permasalahan yang dikaji, dapat disimpulkan beberapa hal, yakni (1) iPSC merupakan sel pluripoten yang dapat dihasilkan dari sel somatik yang telah berdiferensiasi melalui teknologi cellular reprogramming, (2) profil epigenetik iPSC menunjukkan aktivasi transkripsi gen-gen regulator sifat pluripotensi dan pembaruan diri (self renewal) serta penekanan ekspresi gen-gen yang aktif pada proses diferensiasi, (3) karakteristik pluripotensi iPSC sangat menyerupai hESC, baik karakteristik morfologi, karyotipe, kapasitas proliferasi, profil ekspresi gen, status epigenetik, penanda antigen permukaan, dan kapasitas di-

ferensiasinya, (4) kardiomiosit hasil derivasi iPSC berhasil dikarakterisasi secara genotipe, fenotipe, dan kapasitas fungsional dan terbukti identik dengan kardiomiosit dewasa. Selain itu, kardiomiosit tersebut mampu meregenerasi area infark dan mempertahankan struktur jantung dari remodeling penyebab gagal jantung saat diujicobakan secara in vivo pada model hewan dengan infark miokardium akut. Sedangkan beberapa rekomendasi yang dapat diberikan, meliputi (1) prosedur regenerasi kardiomiosit tanpa faktor transkripsi onkogenik c-Myc meningkatkan keamanan sel yang diproduksi, tetapi perlu diteliti mengenai kesamaan fungsionalitasnya dalam regenerasi area infark serta kapasitas prevensi gagal jantung secara in vivo dibandingkan dengan sel yang dihasilkan menggunakan c-Myc, (2) adanya kecenderungan keterlambatan penurunan ekspresi gen-gen pluripoten pada kardiomiosit-derivat iPSC dibandingkan ESC perlu dikaji lebih lanjut, apakah keterlambatan tersebut disebabkan oleh overekspresi gen c-Myc atau karena faktor lain, mengingat pemanjangan aktivasi transgen hanya berkontribusi kecil terhadap ekspresi c-Myc (< 0,02%), (3) diperlukan standardisasi dan guideline mengenai protokol evaluasi keamanan kardiomiosit hasil derivasi iPSC (menggunakan RT PCR, gene sequencing, analisis microarray, dan prosedur lainnya) untuk memastikan bahwa sel tersebut telah berdiferensiasi secara sempurna dan tidak terdapat risiko formasi teratoma dalam jangka panjang, (4) apabila format efisiensi, keamanan, dan efektivitas kardiomiosit-derivat iPSC telah terdefinisikan dan terklasifikasi dengan benar, maka diperlukan inisiatif untuk memulai penelitian klinis pada manusia (phase I human trial).

190

C DK 184/V o l .38 no . 3/Ap r il 2011

TINJAUAN PUSTAKA CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Akreditasi IDI - 2 SKP

Hiperkalsemia
Miratul Ginayah, Harsinen Sanusi
Subbagian Endokrinologi & Metabolik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/ Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia

PENDAHULUAN Tubuh orang dewasa mengandung 12 kg kalsium, lebih dari 99% terdapat di dalam tulang. Kalsium dalam tulang terikat dalam bentuk kristal hidroksiapatit. Selebihnya, terdapat di dalam sel dan cairan ekstraseluler. Kalsium ekstraseluler terdapat dalam tiga bentuk, yaitu kalsium terikat protein, terutama albumin (50%), bentuk bebas/terion (45%), dan bentuk kompleks terutama terikat fosfat, sitrat, bikarbonat dan laktat (5%).1-3 Ion kalsium berperan penting dalam fisiologi intraseluler maupun ekstraseluler. Ion kalsium intraseluler merupakan regulator penting fungsi sel, antara lain proses kontraksi otot, sekresi hormon, metabolisme glikogen dan pembelahan sel. Secara fisiologik, ion kalsium ekstraseluler berperan sebagai kofaktor pada proses pembekuan darah, misalnya untuk faktor VII, IX, X dan protrombin, memelihara mineralisasi tulang, berperan pada stabilisasi membran dengan berikatan pada lapisan fosfolipid, dan menjaga permeabilitas membran plasma terhadap ion natrium.2,4 Metabolisme kalsium diatur tiga hormon utama yaitu hormon paratiroid (PTH), kalsitonin dan hormon sterol (1,25 dihidroksikolekalsiferol/ vitamin D).5 Kadar kalsium normal 45,6 mg/dL (11,4 mmol/L). Dikatakan hiperkalsemia jika kadar kalsium serum >10,5 mg/dl atau kadar ion kalsium >1,33 mmol/L. Penyebab hiperkalsemia tersering adalah peningkatan resorpsi tulang osteoklastik dan absorpsi kalsium di saluran cerna.6, 7, 8 Dengan diperkenalkannya alat deteksi kadar kalsium serum sekitar tahun 70an, dan dengan pemeriksaan kadar kalsium rutin, diagnosis dini hiperparatiroidisme asimptomatik meningkat empat kali lipat, yang merupakan penyebab hiperkalsemia.9, 10,11 Diagnosis hiperkalsemia menjadi penting dan harus mendapat perhatian, karena kematian mencapai 50% pada penderita hiperkalsemia yang tidak diterapi dan harapan hidup penderita hiperkalsemia dengan keganasan < 3 bulan setelah diagnosis hiperkalsemia ditegakkan.8,12
C DK 1 8 4 / Vo l. 38 no. 3/A p r i l 2011

ETIOLOGI Terdapat tiga dasar mekanisme patofisiologi yang berkontribusi terhadap kejadian hiperkalsemia yaitu : peningkatan absorpsi kalsium dari traktus gastrointestinal, penurunan ekskresi kalsium ginjal, dan peningkatan resorpsi kalsium tulang.6,13 Hiperparatiroidisme primer Hiperparatiroidisme primer merupakan penyebab tersering hiperkalsemia. Didapatkan pada semua umur, lebih sering pada usia > 50 tahun. Kejadiannya mencapai 4/100.000 populasi per tahun dan wanita tiga kali lebih sering. Penyakit ini akibat peningkatan sekresi hormon paratiroid; tersering disebabkan oleh adenoma kelenjar paratiroid (85%) biasanya jinak dan soliter. Penyebab yang jarang yaitu hiperplasia keempat kelenjar paratiroid (15%) dan yang sangat jarang adalah karsinoma kelenjar paratiroid (<1%).14 Patofisiologi yang mendasari yaitu sekresi hormon paratiroid berlebihan yang berperan meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas, meningkatkan absorpsi kalsium intestinal, dan meningkatkan reabsorpsi kalsium tubular ginjal. Sering pula dijumpai penurunan kadar fosfat serum karena PTH menghambat reabsorpsi fosfat pada tubulus proksimal.15 Umumnya hiperparatiroidisme primer asimptomatik. Peningkatan produksi hormon paratiroid menimbulkan kelainan tulang yang disebut osteitis fibrosa cystica, ditandai oleh resorpsi subperiosteal falang distal, kista tulang, dan tumor coklat di tulang-tulang panjang. Batu ginjal didapatkan pada 15-20% penderita hiperparatiroidisme, dan sebaliknya sekitar 5% penderita dengan batu ginjal mengalami hiperparatiroidisme. Batu ginjal paling sering terbentuk dari kalsium oksalat, dan merupakan faktor utama patogenesis hiperkalsiuria.15,16 Krisis hiperkalsemia merupakan kasus jarang, ditandai dengan kadar kalsium >15mg/dl dengan gejala hiperkalsemia berat. Mekanisme krisis tersebut belum jelas, tetapi dehidrasi, penyakit penyerta, dan mungkin infark dari suatu adenoma paratiroid pada beberapa penderita berperan.15

Sindrom hiperparatiroidisme familial Beberapa penelitian mendapatkan bahwa sekitar 10% hiperparatiroidisme primer adalah herediter. Bentuk tersering adalah Neoplasia Endokrin Multipel (MEN) tipe I (Sindrom Wermer), 95%. Bentuk lain yaitu MEN tipe IIA (Sindrom Sipple) dan Sindrom Rahang-hiperparatiroidisme.15,17 MEN-I disebabkan oleh mutasi autosom dominan gen menin pada kromosom11. Ditandai oleh tumor paratiroid, hipofisis anterior dan pankreas. MEN-IIA bersifat autosom dominan dengan mutasi gen pada RET proto-oncogene. Ditandai dengan perkembangan karsinoma tiroid medulare dan feokromositoma.17,18 Hiperparatiroidisme tersier Terjadi akibat perlangsungan hiperparatiroidisme sekunder, seperti penderita penyakit ginjal tahap akhir, defisiensi vitamin D, dan resistensi vitamin D. Kelenjar paratiroid akan mengalami hiperplasia dan mengakibatkan sekresi berlebihan PTH secara otonom sehingga mengakibatkan hiperkalsemia.15,17 Intoksikasi vitamin D Konsumsi kronik vitamin D 50-100 kali kebutuhan normal vitamin D (>50.000100.000U/hari), mengakibatkan hiperkalsemia bermakna.Asupan vitamin D maksimal yang direkomendasikan yaitu 2000 IU/hari. Kelebihan Vitamin D meningkatkan absorpsi kalsium intestinal dan jika berat meningkatkan resorpsi tulang.19 Pada penyerapan vitamin D (yang diubah dari 25(OH)vitamin D di hati) atau 25-(OH)vitamin D itu sendiri, kalsitriol terlepas dari ikatan dengan protein, meningkatkan kadar kalsitriol bebas. Peningkatan ini menyebabkan hiperkalsemia karena peningkatan absorpsi kalsium intestinal dan peningkatan resorpsi tulang. Mekanisme ini terjadi pula pada pemakaian vitamin D analog topikal, kalsipotriol, serta pemakaian pada beberapa kelainan kulit.15,19 Penyakit granulomatous Semua penyakit granulomatous dapat menyebabkan hiperkalsemia, namun demikian sarkoidosis paling sering dihubungkan dengan hiperkalsemia.15

191

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Faktor risiko hiperkalsemia pada sarkoidosis meliputi insufisiensi ginjal, peningkatan asupan vitamin D, dan peningkatan paparan matahari. Peningkatan absorpsi di saluran cerna karena tingginya kadar kalsitriol. Dilaporkan juga produksi Parathyroid Hormonerelated Protein (PTHrP) oleh granuloma pada penderita sarkoidosis. 20 Bentuk granuloma dengan hiperkalsemia dihubungkan dengan peningkatan kadar 1,25dihidroksivitamin D. Aktivasi makrofag pada granuloma menunjukkan hidroksilasi alfa-1 yang meningkatkan perubahan 25(OH) vitamin D menjadi 1,25-(OH)2 vitamin D.15,21 Malignansi hiperkalsemia humoral Hiperkalsemia sering didapatkan pada keganasan. Malignansi hiperkalsemia humoral adalah suatu sindrom klinik dengan peningkatan kadar kalsium akibat sekresi faktor kalsemik oleh sel kanker. Istilah malignansi hiperkalsemia humoral saat ini dibatasi pada hiperkalsemia akibat peningkatan produksi PTHrP. Penderitanya diperkirakan sekitar 80% dari semua penderita hiperkalsemia pada keganasan.8,22 Parathyroid Hormone-related Protein merupakan penyebab hiperkalsemia pada keganasan. Protein ini memiliki 8 dari 13 asam amino pertama yang sama dengan PTH, sehingga dapat pula mengaktifkan reseptor PTH, mengakibatkan beberapa aksi biologiknya sama, seperti menyebabkan hiperkalsemia, hipofosfatemia, dan peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas. Perbedaannya yaitu PTH meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal, sedangkan PTHrP tidak, sehingga terjadi hiperkalsiuri. PTHrP tidak meningkatkan produksi 1,25(OH)2D dan absorpsi kalsium di ginjal. PTH meningkatkan aktifitas osteoblas dan osteoklas, sedangkan PTHrP hanya meningkatkan aktifitas osteoklas, sehingga resorpsi tulang tidak diimbangi oleh formasi yang adekuat.4 Malignansi hiperkalsemia humoral paling sering pada karsinoma sel skuamosa (paru-paru, esofagus, serviks, kepala dan leher), kanker ginjal, kandung kemih dan ovarium, yang secara spesifik menghasilkan PTHrP.15 Destruksi tulang Apabila hiperkalsemia disertai destruksi tulang, maka kemungkinan dapat terjadi produksi berbagai sitokin yang meningkatkan kerja osteoklas misalnya pada multipel mieloma, peningkatan produksi 1,25(OH)2D misalnya pada beberapa tipe limfoma, dan metastasis sel tumor ke tulang pada tumor-tumor padat. Keganasan yang sering bermetastasis ke tulang yaitu keganasan payudara, prostat dan paru.4 Metastasis tulang paling sering adalah destruksi jaringan tulang (tipe osteolitik), berakibat fraktur patologik, nyeri tulang (80%) dan hiperkalsemia(2040%).13,15 Diuretik tiazid dan Lithium Diuretik tiazid menurunkan ekskresi kalsium ginjal sekitar 50-150 mg/hr. Hiperkalsemia dapat terjadi pada penderita dengan peningkatan resorpsi tulang seperti HPT ringan, jarang jika metabolisme kalsium normal.15,21 Lithium meningkatkan supresi PTH oleh kalsium. Terapi lithium umumnya menyebabkan hiperkalsemia ringan yang umumnya membaik apabila terapi lithium dihentikan, akan tetapi tidak selamanya.15 Beberapa obat dan zat kimia lain dapat menyebabkan hiperkalsemia, namun jarang, misalnya teofilin, biasanya pada penderita asma dengan kadar teofilin di atas kadar terapi normal. Umumnya membaik jika dosis diturunkan.15 Intoksikasi vitamin A Vitamin A dosis besar (50000 - 100000 IU/hr) kadang-kadang menyebabkan hiperkalsemia. Kadar kalsium meningkat 3 - 3,5 mmol/L (12 14 mg/dL) akibat peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas. Didapatkan pada pemberian derivat retinoic acid untuk terapi akne, neuroblastoma dan keganasan lainnya. Sindrom susu-alkali Sindrom ini meliputi hiperkalsemia, gagal ginjal dan asidosis metabolik. Disebabkan oleh ingesti kalsium bersama natrium secara berlebihan, kalsium karbonat berlebihan dalam preparat antasid dan pemakaiannya untuk pencegahan osteoporosis. 15,19 Tirotoksikosis Hiperkalsemia ringan terjadi pada sebagian penderita tirotoksikosis. Kadar PTH dan 1,25-(OH)2 vitamin D rendah. Peningkatan resorpsi tulang disebabkan oleh tiroksin dan triiodotironin, yang responsibel untuk hiperkalsemia.15 Abnormalitas kelenjar adrenal Pada insufisiensi adrenal terjadi penurunan kalsium ginjal dan peningkatan masukan kalsium ke dalam sirkulasi. Hipovolemia akibat insufisiensi adrenal, mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus, sehingga terjadi penurunan filtrasi kalsium oleh glomerulus dan peningkatan reabsorpsi kalsium dan natrium di tubulus proksimal.15,23 Meskipun demikian hiperkalsemia tidak sering didapatkan pada insufisiensi adrenal. Kalsium dapat pula dilepaskan dari tulang pada penderita insufisiensi adrenal. Nair dkk melaporkan seorang wanita 45 tahun postoperatif dengan komplikasi insufisiensi adrenal, disertai hiperkalsemia.23 Hiperkalsemia Hipokalsiurik Familial Merupakan kelainan autosomal dominan, disebabkan oleh mutasi heterozigot calsiumsensing receptor, mengakibatkan penghambatan feedback dari sekresi hormon paratiroid; sehingga dibutuhkan kadar kalsium lebih tinggi untuk menekan sekresi PTH. Penderita heterozigot ditandai dengan hiperkalsemia, hipokalsiuria, dan hipermagnesemia sedang. Hormon paratiroid meningkat sedikit atau normal.13,17 Tes genetik tidak rutin dan biasanya tidak perlu. Ekskresi kalsium urin yang rendah (<100 mg/dL) pada hiperkalsemia mengindikasikan peningkatan absorpsi kalsium tubulus ginjal dan rendahnya klirens kalsium. Rasio klirens kalsium : klirens kreatinin dapat digunakan untuk diagnosis hiperkalsemia hipokalsiurik familial, menggunakan formula : ClCa/ClCr = (Cau x Crs)/(Cru x Cas) Cau = konsentrasi kalsium urin Cas = konsentrasi kalsium serum CrU = konsentrasi kreatinin urin Crs = konsentrasi kreatinin serum Rasio 0,01 khas pada pasien hiperkalsemia hiperkalsiurik familial.15,17 Imobilisasi Imobilisasi menyebabkan hiperkalsemia pada penderita yang mengalami peningkatan resorpsi tulang; termasuk anak dan remaja, penderita Pagets disease tulang, HPT ringan dan sekunder, dan keganasan dengan hiperkalsemia ringan. Pasien-pasien tersebut juga berisiko osteopenia.15 Gagal ginjal Hiperkalsemia akibat gagal ginjal akut terjadi terutama pada penderita dengan rhabdomiolisis. Awalnya, hiperfosfatemia menyebabkan deposisi kalsium pada jaringan lunak, mengakibatkan hipokalsemia dan HPT sekunder. Selanjutnya ginjal mulai melindungi dengan reentri/ masuknya kembali garam kalsium ke dalam sirkulasi yang dihubungkan dengan kadar PTH tinggi sehingga menyebabkan transien hiperkalsemia.
C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

192

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Pada penderita gagal ginjal kronik khususnya yang menjalani hemodialisis, sering dijumpai hiperkalsemia disebabkan oleh kelebihan vitamin D, imobilisasi, penggunaan antasid kalsium, sekresi PTH otonom, atau kombinasi di antaranya.13,15 MANIFESTASI KLINIS Gejala hiperkalsemia tidak spesifik, manifestasi klinis bervariasi tergantung beratnya serta saat perubahan kalsium serum. Gejala-gejala lebih berat didapatkan pada perubahan akut dibandingkan peningkatan kadar kalsium yang kronik. Penderita dengan kadar kalsium antar 10,5 dan 12 mg/dL dapat asimptomatik; apabila melebihi kadar tersebut, manifestasi multiorgan dapat terjadi dan mengancam jiwa. Hiperkalsemia berperan dalam hiperpolarisasi membran sel. Manifestasi klinis dapat bersifat neurologik, kardiovaskuler, gastro-intestinal, ginjal dan tulang.6,15 Manifestasi neurologik Ion kalsium mempunyai peran utama pada neurotransmiter. Peningkatan kadar kalsium menurunkan eksitabilitas neuromuskular, yang berperan pada hipotonisitas otot lurik.5 Gejala neuromuskuler termasuk lemas dan menurunnya refleks tendon. Regangan otot terganggu dan kemampuan otot pernapasan menurun. Gangguan sistem saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai delirium, disfungsi kognitif, disorientasi, inkoherensia, dan gejala psikotik seperti halusinasi dan delusi. Obtundasi karena progresivitas peningkatan konsentrasi kalsium serum memicu stupor atau koma.5,6 Manifestasi kardiovaskuler Hiperkalsemia dihubungkan dengan peningkatan iritabilitas kontraktilitas miokard. Perubahan elektrokardiografi ditandai dengan konduksi yang lambat: P-R memanjang, kompleks QRS melebar, interval Q-T memendek, dan segmen S-T memendek atau tidak ada.6 Apabila kadar kalsium mencapai 16 mg/dL (>8,0 mEq/L atau 3,99 mmol/L), T wave melebar, peningkatan sekunder interval Q-T. Peningkatan konsentrasi kalsium, meningkatkan bradiaritmia dan bundle branch block. AV block komplit atau inkomplit dapat terjadi jika konsentrasi kalsium serum sekitar 18 mg/dL (9,0 mEq/L atau 4,49 mmol/L) dan memicu complete heart block, asistole, dan cardiac arrest.5 Hiperkalsemia mengakibatkan peningkatan sensitivitas efek farmakologik dari digitalis, seperti digoksin. Manifestasi gastrointestinal Gejala-gejala gastrointestinal dihubungkan dengan aksi depresi sistem saraf otonom dan akibat hipotoni otot. Peningkatan sekresi asam lambung sering terjadi pada hiperkalsemia dan meningkatkan manifestasi gastrointestinal. Anoreksia, nausea, dan muntah meningkat dengan peningkatan volume residual lambung. Konstipasi dipicu oleh dehidrasi yang sering bersama-sama hiperkalsemia. Nyeri perut mungkin memicu obstipasi.5 Manifestasi ginjal Hiperkalsemia menyebabkan defek tubular ginjal reversibel yang mengakibatkan hilangnya kemampuan pemekatan urin dan poliuria. Penurunan asupan cairan dan poliuria berperan pada gejala yang dihubungkan dengan dehidrasi. Penurunan reabsorpsi pada tubulus proksimal terhadap natrium, magnesium, dan kalium terjadi akibat deplesi garam dan air yang disebabkan oleh dehidrasi seluler dan hipotensi. Insufisiensi renal mungkin terjadi akibat penurunan filtrasi glomeruler, suatu komplikasi yang paling sering pada mieloma.5,13 Meskipun nefrolitiasis dan nefrokalsinosis biasanya tidak dihubungkan dengan hiperkalsemia pada keganasan, kristal kalsium fosfat dapat memicu menipisnya tubulus ginjal menjadi bentuk batu ginjal akibat hiperkalsiuria berkepanjangan.5 Manifestasi tulang Hiperkalsemia pada keganasan merupakan akibat metastasis osteolitik atau humerallymediated bone resorption dengan fraktur sekunder, deformitas tulang dan nyeri.5 Osteoporosis tulang kortikal, seperti pergelangan tangan, terutama dihubungkan dengan hiperparatiroidisme primer. Peningkatan PTH dapat pula mengakibatkan resorpsi subperiosteal, osteitis fibrosa cystica dengan kista tulang, dan brown tumors pada tulang-tulang panjang.6 DIAGNOSIS Diagnosis hiperkalsemia paling sering didapatkan secara kebetulan pada pemeriksaan darah penderita asimptomatik. Kadar kalsium serum normal adalah 8 - 10 mg/dL (2 - 2,5 mmol/L) dan kadar ion kalsium normal yaitu 4 - 5,6 mg/ dL (1 - 1,4mmol/L). Meskipun pemeriksaan kadar ion kalsium tidak dilakukan rutin, kadarnya dapat diperkirakan berdasarkan kadar kalsium serum; biasanya akurat kecuali apabila terdapat hipoalbuminemia.5,6 Hiperkalsemia ringan adalah jika kadar kalsium serum total 10,5 - 12 mg/dL (2,63 - 3 mmol/L) atau kadar ion kalsium 5,78 mg/dL(1,432 mmol/L), umumnya asimptomatik. Pada hiperkalsemia sedang, manifestasi multiorgan dapat terjadi. Kadar kalsium >14 mg/dL (3,5 mmol/L) dapat mengancam jiwa.6 Beberapa faktor dapat mempengaruhi jumlah kalsium terikat protein. Hipoalbuminemia dapat menurunkan dan sebaliknya hiperalbuminemia dapat meningkatkan jumlah kalsium serum terikat albumin (termasuk kadar kalsium serum total) tanpa mempengaruhi kadar kalsium serum terion. Konsentrasi kalsium biasanya berubah 0,8 mg/dL pada setiap perubahan 1,0 g/dL konsentrasi plasma albumin. Koreksi kadar kalsium serum total terhadap perubahan albumin serum : Total kalsium + 0,8 x (4,5 kadar albumin).7,15 Keasaman tubuh juga mempengaruhi ikatan protein. Asidosis mengurangi dan alkalosis meningkatkan ikatan protein, dengan demikian mengubah kadar kalsium serum terion. Setiap peningkatan pH 0,1 unit, kadar kalsium serum terion menurun 0,1 mEq/L (= 0,2 mg/dL), dan sebaliknya. 7,15 PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan tergantung kadar kalsium darah dan ada tidaknya gejala. Jika kadar kalsium <12 mg/dL, tanpa gejala, biasanya tidak perlu tindakan terapeutik. Jika kadar kalsium 12-14 mg/dL disertai gejala hiperkalsemia, diperlukan terapi agresif, tetapi jika tidak disertai gejala, cukup diterapi dengan hidrasi adekuat 3000 6000 mL cairan NaCl 0,9% pada 24 jam pertama. Perbaikan volume cairan ekstraseluler ke normal akan meningkatkan ekskresi kalsium urin sebesar 100-300mg/hari. Perbaikan gejala klinis, seperti status mental dan mual muntah tampak < 24 jam pertama. Namun rehidrasi merupakan terapi intervensi sementara dan jarang mencapai kadar normal jika digunakan sendiri. Jika terapi sitoreduktif definitif (operasi, radiasi, atau kemoterapi) terhadap penyakit dasar tidak dilakukan, terapi hipokalsemik seharusnya digunakan dalam jangka lama untuk mencapai kontrol.5,13,15
C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

194

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Tabel 1. Spektrum hiperkalsemia.6

Total serum calcium level, mg/dL (mmol/L) 8 (2) 10 (2.5) 12 (3) 14 (3.5) 16 (4)

Hypercalcemic crisis Moderate Hypercalcemia Mild Hypercalcemia Normocalcemia

Setelah hidrasi tercapai, dengan kadar kalsium masih tinggi, dapat diberi loop diuretic (furosemide 20-40 mg/IV/2 jam). Loop diuretic akan bekerja menghambat reabsorpsi kalsium dan natrium di ansa Henle, meningkatkan ekskresi kalsium urin, juga natrium, kalium, klorida, magnesium, dan air. Penting memantau status hemodinamik secara intensif untuk mencegah kelebihan cairan dan dekompensasi jantung, dengan mengukur volume urin secara serial dan pemeriksaan elektrolit untuk mencegah kondisi yang dapat mengancam jiwa, seperti hipofosfatemia, hipokalemia, dan hipomagnesemia.5,15 Regimen yang menghambat resorpsi tulang Bisfosfonat Bisfosfonat merupakan terapi farmakologi paling efektif mengontrol hiperkalsemia; merupakan analog pirofosfat anorganik yang menghambat resorpsi tulang. Onsetnya lambat (2-3 hari) dengan durasi lama (beberapa minggu).11 Etidronat adalah bisfosfonat pertama yang dianjurkan pada terapi hiperkalsemia. Konsentrasi kalsium mulai turun setelah dua hari dan mencapai nadir pada hari ke tujuh. Efek hipokalsemik mungkin berlangsung lama sampai beberapa minggu. Jika kalsium serum cepat turun dalam 48 jam pertama, sebaiknya obat dihentikan untuk mencegah hipokalsemia. Dapat diberikan secara intravena dengan dosis 7,5mg/kgBB lebih dari 4 jam selama 3 hari berturut-turut. Pemberian intravena dengan dosis 30mg/kgBB dalam NaCl 0,9% selama 24 jam mungkin lebih efektif.13 Pamidronat lebih poten daripada etidronat. Diberikan dengan dosis 60-90 mg intravena selama 4 jam. Jika kadar kalsium 13,5 mg/dL, diberikan 60 mg dan jika >13,5 diberikan 90 mg. Konsentrasi kalsium serum umumnya turun dalam 2-4 hari. Dosis tunggal biasanya efektif selama 1-2 minggu. Umumnya kadar kalsium normal setelah tujuh hari terapi.15 Asam zolendronat acid merupakan bisfosfonat paling umum saat ini, karena dapat diberikan intravena sehingga mencegah kerusakan esofagus pada dosis oral dan mungkin efeknya lebih lama dibandingkan pamidronat. Dosis harus disesuaikan pada penderita disfungsi ginjal berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG)nya. Jika LFG > 60 mL/mnt diberikan 4 mg, 50 - 60 mL/ mnt : 3,5 mg, 40 - 45 mL/mnt : 3,3 mg, 30 - 39 mL/ mnt : 3 mg, dan jika <30 mL/mnt belum ada data.

4 (1)

5.6 (1.4)

8 (2)

10 (2.5)

12 (3)

Ionized serum calcium level, mg/dL (mmol/L)

Hypercalcemia detected Total Ca++ >10.5mg/dL (2.63mmol/L) or ionized Ca++ >5.6mg/dL (1.4mmol/L)

Careful history and physical examination focusing on : Clinical features of hypercalcemia Possible causative diseases Possible causative medication, including OTC

Stop causative medication if possible, and recheck calcium level

Measure intact PTH level

Suppressed

Normal or high

Symptom-guided malignancy work-up Solid tumors PTHrP:adeno and squamous cancer(e.g.,lung tumor) Alkaline phosphatase:bone lysis (e.g.,breast tumor) Hematologic malignancies Positive myeloma screen:multiple myeloma Calcitriol:lymphoma, granulomatous diseases

Check 24-hour urinary Ca level

Low

Normal or high Primary or tertiary hyperparathyroidism

Famillial hypocalciuric hypercalcemia

If malignancy work up is negative If surgery indicated Test for other endocrinophaties (consider referral to endocrinologist) Hyperthyroidism:TSH, free T4 Adrenal insufficiency:cortisol Acromegaly:insulin-like growth factor 1, pituitary MRI

Consider parathyroid scan Parathyroidectomy

Gambar 1. Bagan investigasi hiperkalsemia6

C DK 1 8 4 / Vo l. 38 no. 3/A p r i l 2011

195

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Dianjurkan menghentikan obat apabila terjadi peningkatan konsentrasi kreatinin serum 0,5 mg/ dL di atas nilai normal atau > 1 mg/dL pada penderita dengan kreatinin serum 1,4 mg/dL.13 Bisfosfonat dihubungkan dengan toksisitas yang bermakna, meliputi sklerosis glomerulus fokal dengan pamidronat dan acute kidney injury dengan asam zolendronat. Toksisitas paling banyak pada penderita chronic kidney diseases sebelumnya atau melebihi dosis yang dianjurkan. Pemberian bisfosfonat jangka lama pada penderita keganasan khususnya multipel mieloma dan kanker payudara,dihubungkan dengan osteosklerosis rahang.13 Kalsitonin Merupakan hormon peptida yang disekresikan oleh sel-sel parafolikuler C tiroid dan paratiroid. Kalsitonin menghambat reabsorpsi tulang osteoklastik dan meningkatkan ekskresi kalsium renal.1,13 Derivat kalsitonin dari salmon jauh lebih poten dan mempunyai durasi aktivitas lebih lama daripada hormon manusia. Dosis awal 4 IU/kgBB/ 12 jam subkutan atau intramuskuler; dapat ditingkatkan setelah satu atau dua hari sampai 8 IU/kgBB/12 jam; dapat diberikan 8 IU/kgBB/6 jam jika respon dengan dosis rendah tidak memuaskan. Biasanya ditoleransi baik, namun dapat memberikan efek samping berupa nausea, nyeri perut dan cutaneous flushing. Kombinasi dengan bisfosfonat pada penderita yang berespon dengan kalsitonin dapat menghasilkan onset serta durasi yang cepat. 5 Plicamycin (Mitramycin) Merupakan inhibitor sintesis RNA osteoklas, sehingga dapat menghambat resorpsi tulang. Efek hipokalsemia mulai terlihat setelah 12 jam pemberian dan menetap selama 3 7 hari atau lebih, dengan dosis tunggal 25 30 g/kgBB/ infus, selama 30 menit. Dapat diulangi untuk mempertahankan efek hipokalsemik.Dosis multipel dapat mengontrol hiperkalsemia sampai beberapa minggu, tetapi hiperkalsemia dapat berulang jika tidak ada terapi definitif terhadap penyakit dasar. Pemberian dosis tunggal dapat ditoleransi baik, dengan efek samping minimal. 4,5 Galium nitrat Galium nitrat dikembangkan sebagai obat antineoplastik, secara kebetulan didapatkan mempunyai efek hipokalsemik. Galium nitrat menghambat resorpsi tulang oleh penurunan sekresi asam osteoklas dan juga mengubah kristal hidroksiapatit tulang. Diberikan per infus dengan dosis 100-200 mg/m2 permukaan tubuh, selama 5 hari. Lebih superior dari etidronat dalam mencapai keadaan normokalsemia serta lamanya normokalsemia.Tidak diberikan pada penderita dengan kreatinin serum > 2,5 mg/dL.4 kalsium serum. Penderita dengan kadar kalsium 10,5 - 12 mg/dL dapat asimptomatik; melebihi kadar tersebut, manifestasi multiorgan dapat terjadi dan dapat mengancam jiwa. Angka kematian mencapai 50% pada penderita hiperkalsemia yang tidak diterapi dan harapan hidup penderita hiperkalsemia dengan keganasan kurang dari tiga bulan setelah diagnosis ditegakkan. Penatalaksanaan hiperkalsemia tergantung pada kadar kalsium darah dan gejala. Beberapa regimen yang dapat digunakan seperti bisfosfonat, plicamycin, galium nitrat, glukokortikoid, dan fosfat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mihai R, Farndon JR. Parathyroid Disease and Calcium Metabolism. Br J Anaesth. 2000;85:29-43. 2. Bringhurst FR, Demay MB, Krane SM, et al. Bone and Mineral Metabolism In Health and Disease In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, et al., eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. Vol II. 16 ed. New York: McGraw-Hill; 2005:2238-49. 3. Levine MA. Primary Hyperparathyroidism :7,000 years of Progress. Clev Clin J Med. 2005;72:1084-98. 4. Setiyohadi B. Kalsium, Vitamin D dan PTH. In: Setiati S, Syam AF, Laksmi PW, et al., eds. Naskah Lengkap PIT Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009:313-30. 5. Cancer Mail. Hypercalcemia. Cancer web, National cancer Institute. 2008:1-17. 6. Carroll ME, Schade DS, . A Practical Approach to Hypercalcemia. Am Fam Physician. 2003;67:1959 -66. 7. Mere CC, Llach F. Calcium, Phosphorus, and Magnesium Disorders.In: Wilcox CS, Tisher CC, eds. Handbook of Nephrology & Hypertension. 5 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005:132-42. 8. Sriussadaporn S, Ployburt S, Peerapatdit T, et al. Hypercalcemia of Malignancy : A Study of Clinical Features and Relationships among Circulating Levels of Calcium, Parathyroid Hormone and Parathyroid Hormone-Related Peptide. J Med Assoc Thai. 2007;90:663-71. 9. Khan A, Bilezikian J. Primary Hyperparathyroidism : Patophysiology and Impact on Bone. CMAJ. 2000;163:184-187. 10. Takami H, Ikeda Y, Okinaga H, et al. Recent Advances in The Management of Primary Hyperparathyroids. Endocrinol J. 2003;50:369-77. 11. Farford B, Presutti J, Moraghan TJ. Nonsurgical Management of Primary Hyperparathyroidsm. Mayo Clin Proc. 2007;82:351-55. 12. Shuey KM, Brant JM. Hypercalcemia of Malignancy;Part II. Clin J Oncol Nurs. 2004;8:321-23. 13. Penfield JG, Reilly RF. The Patient with Disorders of serum Calcium and phosphate. In: RW S, ed. Manual of Nephrology. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005:62-80. 14. Viera AJ. Hyperparathyroidism. Endocrinology. 2002;4:627-638. 15. Skugor M, Milas M. Hypercalcemia. Clev Clin J Med. 2004:1-38. 16. Bikle DD. Metabolic Bone Disease. In: Gardner DG, Shoback D, eds. Greenspan's Basic & Clinical Endocrinology. Vol 8. New York: McGraw-Hill; 2007:247-315. 17. Taniegra ED. Hyperparathyroidism. Am Fam Physician. 2004; 69: 333-39. 18. Raue F, Frank K. Primary Hyperparathyroidism-what the Nephrologist Should Know-an Update. Nephrol Dial Transplant. 2006; 22:696-99. 19. Potts JT. Diseases of The Parathyroid Gland and Other Hyper- and Hypocalcemic Disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, et al., eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. Vol 2nd. 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005:2249-68. 20. Aladesanmi O, Jin XW, C N. A 56-year-0ld Man with Hypercalcemia. Clev Clin J Med. 2005;72:707-12. 21. Jacobs TP, JP B. Rare Causes of Hypercalcemia. Clin Endocrinol Metabol. 2005:1-32. 22. Grone A,Weckmann MT,Blomme EAG,et al.Dependence of humoral Hypercalcemia of malignancy on Parathyroid Hormone-Related Protein Expression in The Canine Anal Sac Apocrine Gland Adenocarsinoma nude mouse Model.Vet Pathol. 1998;35:344-51. 23. Nair GKV, Simmons DL. Adrenal Insufficiency Presenting as Hypercalcemia. Hospital Phys. 2002:33-6.

Terapi lain Hiperkalsemia


Glukokortikoid Glukokortikoid mempunyai efek hipokalsemik terutama pada tumor-tumor yang respon terhadap steroid (limfoma dan mieloma) dan hiperkalsemia yang dihubungkan dengan peningkatan sintesis vitamin D atau peningkatan asupan (sarkoidosis dan hipervitaminosis D). Glukokortikoid meningkatkan ekskresi kalsium urin dan menghambat absorpsi kalsium gastrointestinal yang dimediasi vitamin D. Responsnya biasanya lambat 1 - 2 minggu. Hidrokortison oral (100300mg) atau glukokortikoid ekuivalen dapat diberikan per hari.5,13 Fosfat Terapi fosfat oral jangka panjang pada hiperkalsemia ringan sampai sedang efektivitasnya minimal. Dosis 250-375 mg empat kali sehari dapat menimbulkan efek samping minimal berupa diare.5 Terapi fosfat intravena merupakan salah satu modalitas terapi pada hiperkalsemia berat. Penurunan kalsium dapat terjadi secara cepat dalam beberapa menit. Dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal, normofosfatemia dan hiperfosfatemia.5 Dialisis Dialisis diindikasikan pada hiperkalsemia dengan gangguan fungsi ginjal atau yang mengancam jiwa, yang tidak respon dengan rehidrasi, kalsitonin dan diuresis. Dialisis dapat menurunkan konsentrasi kalsium serum 3-12 mg/dL. Hemodialisis dengan dialisat rendah kalsium lebih efektif dibandingkan peritoneal dialisis.5,6 RINGKASAN Ion kalsium berperan penting, baik intraseluler maupun ekstraseluler. Metabolismenya diatur oleh tiga hormon utama yaitu hormon paratiroid (PTH), kalsitonin, dan 1,25(OH)2vitamin D. Dikatakan hiperkalsemia jika kadar kalsium serum >10,5 mg/dL atau ion kalsium >1,33 mmol/L. Penyebab hiperkalsemia tersering yaitu hiperparatiroid primer dan keganasan. Gejala hiperkalsemia tidak spesifik dan dihubungkan dengan berat serta waktu berlangsungnya perubahan

196

C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

TINJAUAN PUSTAKA

Obstructive Sleep Apnea dan Penyakit Kardiovaskuler


Sidhi Laksono Purwowiyoto
Department of Emergency Medicine and Critical Care, Matak Field Hospital, Matak, Kepulauan Riau, Indonesia

PENDAHULUAN Tidur merupakan proses fisiologis yang kompleks dan dinamis, hampir sepertiga masa hidup kita dihabiskan dengan kondisi ini.1 Akan tetapi, kondisi fisiologis ini dapat terganggu dengan adanya obstructive sleep apnea (OSA), yang bermanifestasi pada penyakit kardiovaskuler (Cardiovascular disease, CVD).2 OSA merupakan salah satu kondisi medis terpenting yang ditemukan sejak 50 tahun yang lalu, menjadi penyebab terbesar morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia, serta lebih sering ditemukannya keadaan tertidur di sepanjang waktu ketika orang normal seharusnya tidak tertidur pada waktu tersebut.3 OSA memicu efek fisiologis, baik akut maupun kronik, pada sistem kardiovaskuler.Terdapat bukti nyata yang menunjukkan bahwa OSA secara independen berhubungan klinis dengan CVD.4 Artikel ini akan membahas secara singkat akibat OSA terhadap sistem kardiovaskuler, cara mendiagnosisnya dan cara mengatasinya. FISIOLOGI TIDUR NORMAL REM (Rapid Eye Movement) merupakan suatu keadaan jeda dengan periode aktivitas autonomik dan fungsi jantung yang ireguler, terjadi pada sekitar 25 persen dari periode tidur. Pada REM, tidak terdapat termoregulasi, aktivitas simpatis dan frekuensi denyut jantung meningkat, variabilitas menurun, serta tekanan darah meningkat. NREM (Non Rapid Eye Movement) terjadi pada sekitar 75 persen dari periode tidur, dibagi dalam empat fase; kontras dengan REM, terdapat aktivitas autonomik dan regulasi jantung yang stabil. Simpatis menurun, predominasi parasimpatis, penurunan nilai ambang batas baroreseptor, begitu juga dengan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, curah jantung dan tahanan vaskuler sistemik.4,5 DEFINISI OSA adalah keadaan hilangnya tonus muskulus dilator faring pada saat tidur, yang menyebabkan kolaps faring rekuren dan henti napas sementara (apnea).
C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r i l 2011

Obstructive apnea merupakan suatu ketidakadaan aliran udara selama paling tidak 10 detik dengan usaha ventilasi yang aktif (ditandai dengan pergerakan torakoabdominal). Obstructive hypopnea adalah penurunan lebih dari 50% pergerakan torakoabdominal selama paling sedikit 10 detik, dihubungkan dengan penurunan 4% saturasi oksigen. AHI (Apnea-Hypopnea Index) ialah rerata kejadian apnea dan hypopnea selama satu jam tidur, hal ini menjadi salah satu acuan tingkat keparahan OSA. Seseorang dikatakan terkena OSA, jika skor AHI 5 atau lebih, dan tingkat yang parah jika skor AHI 30 atau lebih.5,6,7,8 EPIDEMIOLOGI Di Amerika Serikat, prevalensi OSA (AHI 5) pada orang dewasa kulit putih dengan usia 30 - 60 tahun sekitar 24% laki-laki dan 9% perempuan, sedangkan AHI 15 sekitar 9% laki-laki dan 4% perempuan.9 Di Eropa, usia 30 - 70 tahun dengan AHI 5 didapatkan 26% laki-laki dan 28% perempuan, sedangkan AHI 15 sekitar 14% laki-laki dan 7% perempuan.10 Di Hong Kong, prevalensi usia 30 - 60 tahun dengan AHI 5 sebesar 9% dan 4%, serta AHI 15 sebesar 5% dan 3%.11 FAKTOR RISIKO OSA dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada laki-laki usia 30 - 64 tahun atau lebih.12 Risiko juga meningkat pada orang-orang yang memiliki indeks massa tubuh yang besar; peningkatan 10% berat badan akan meningkatkan 6 kali lipat risiko OSA.13 Akumulasi lemak di leher akibat obesitas menyebabkan penekanan lumen faring, yang akhirnya kolaps selama tidur.14 OSA juga dapat terjadi pada individu berat badan normal dengan faktor risiko lain berupa makroglossia, hipertrofi adenotonsiler14, anomali struktur kraniofasial (retognatia)15, obstruksi nasal dan merokok12; juga mungkin ada faktor herediter yang tidak diketahui16.

POLYSOMNOGRAPHY Polysomnography merupakan tes baku emas untuk mendiagnosis sleep-disordered breathing, termasuk OSA. Secara umum, tes ini dilakukan selama tidur malam hari dan dapat diulang pada malam berikutnya sesuai indikasi.40 Polysomnography terdiri dari pemeriksaan kontinu selama tidur dengan rekaman EEG, okulogram, elektromiogram submental dan tibial, EKG, nasooral air flow, saturasi oksigen perifer serta pergerakan dinding torakoabdominal dan abdomen.41 Alat ini dapat menyediakan informasi komprehensif mengenai efisiensi tidur, arsitektur tidur, arousal dan penyebabnya, kejadian gangguan nafas, perubahan saturasi oksigen, serta aritmia jantung selama periode tidur40,41 (gambar 1).

Gambar 1. Rekaman polysomnography terdiri elektrookulogram (EOG), elektroensefalogram (EEG), elektromiogram (EMG), elektrokardiogram (EKG), sympathetic nervous system activity (SNA), respirasi (RESP) dan tekanan darah (BP) selama tidur periode REM pada pasien OSA. BP meningkat pada akhir periode apnea, mencapai puncak selama arousal (sebagai indikasi adanya peningkatan tonus muskulus; lihat tanda panah). (Intern Med J 2004; 34: 420-426)

OSA dan Penyakit Kardiovaskuler Selama tidur fase NREM, laju metabolisme, aktivitas saraf simpatis, tekanan darah dan heart rate semuanya menurun, sedangkan tonus vagal kardiak meningkat.17 OSA mengganggu aktivitas jantung selama tidur, dengan cara memacu suatu jalur hemodinamik, fungsi autonom, efek kimiawi, inflamasi dan metabolik yang (jika berlangsung kronik) dapat berisiko kardiovaskuler5 (gambar 2).

199

TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2. Patofisiologi OSA terhadap CVD. PNA = Parasympathetic Nervous System Activity. PO2 = Partial Pressure of Oxygen. PCO2 = Partial Pressure of Carbon Dioxide. SNA = Sympathetic Nervous System Activity. HR = Heart Rate. BP = Blood Pressure. LV = Left Ventricular. (Lancet 2009; 373: 8293

yang menggangu fungsi endotel vaskuler26-28 dan peningkatan tekanan darah secara tidak langsung akibat aktivitas simpatis tersebut.29 Pasien dengan OSA memiliki konsentrasi plasma nitrit yang rendah, menunjukkan bioavaibilitas nitric oxide yang rendah juga. Didapatkan peningkatan ekspresi molekul adhesi monosit CD15 dan CD11c, serta monosit pasien OSA memiliki adhesi yang lebih tinggi dibandingkan orang normal.30 OSA juga mengakibatkan oksidasi lipoprotein, peningkatan ekspresi molekul adhesi, perlekatan monosit pada endotel vaskuler dan proliferasi otot polos vaskuler.31-33 Efek-efek ini, ditambah dengan aktivitas vasokonstriksi simpatis dan inflamasi, dapat mengakibatkan hipertensi dan aterosklerosis.34 Mekanisme fisiologi akut maupun kronis yang terjadi selama OSA berupa : aktivasi simpatis, peningkatan stres dinding ventrikel kiri, peningkatan afterload, disfungsi diastolik akut, left atrial stretch, pembesaran atrium kiri, resistensi insulin, hiperleptinemia, hiperkoagulabilitas, inflamasi sistemik, stres oksidatif maupun disfungsi endotel dapat berkaitan dengan risiko beberapa penyakit kardiovaskuler; di antaranya, hipertensi, disfungsi diastolik dan sistolik, sinus pause atau arrest, AV block, atrial fibrillation, ventricular ectopic, nocturnal angina, CAD (coronary artery disease), penyakit serebrovaskuler, maupun sudden cardiac death.35-39 Terapi OSA Terapi positive airway pressure (PAP) efektif mengatasi obstruksi jalan nafas, mencegah kolaps dan apnea. Dapat diaplikasikan melalui masker naso-oral, nasal, maupun nasal pillow. Dasar terapi ini adalah penggunaan kontinu. Mesin PAP autotitrasi dan bilevel digunakan pasien OSA yang tidak toleran dengan terapi standar PAP kontinu. Keuntungan terapi kardiovaskuler ini yaitu hilangnya keadaan hipoksemia nokturnal, penurunan aktivitas simpatis, penurunan signifikan tekanan darah selama tidur42, mengurangi kejadian iskemik miokard nokturnal atau angina, perbaikan fungsi sistolik ventrikel kiri, peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan hasil akhir perbaikan status fungsional43, serta mengurangi risiko stroke dan kematian44.
C DK 184/V o l .38 no .3/Ap r il 2011

Obstructive sleep apnoea

PNA

Arousal

PO2 PCO2

Intrathoracic pressure

SNA Catechols

Myocardial O2 delivery

Oxidative stress Inflammation Endothelial dysfunction

HR

BP

Hypertension Atherosderosis Myocardial Ischaemia LV hypertrophy and failure Cardiac arrhythmias Cerebrovascular disease

LV wall tension Cardiac O2 demand

Siklus hipoksia dan retensi karbondioksida akibat OSA akan menimbulkan efek terhadap parasimpatis dan simpatis kardiak sehingga berpengaruh terhadap heart rate. Ketika parasimpatis dominan, heart rate menjadi lambat. Sebaliknya jika simpatis dominan, heart rate akan meningkat.18 Gejala hipoksia akibat apnea dan retensi karbondioksida yang berulang selama tidur, mengakibatkan usaha bernafas menjadi tidak efektif dan terbentuk tekanan intrathorakal negatif. Hal tersebut menyebabkan peningkatan perbedaan tekanan intrakardiak dengan ekstrakardiak, meningkatkan tekanan transmural ventrikel kiri.19 Tekanan intrathorakal yang negatif mengakibatkan aliran balik ke thorak meningkat, preload ventrikel kanan juga meningkat, sedang hipoksia akibat apnea menyebabkan vasokonstriksi pulmoner dan peningkatan afterload ventrikel kanan.20 Keadaan ini menghasilkan distensi ventrikel kanan, dengan hasil akhir gangguan pengisian ventrikel kiri dan penurunan stroke volume.17,19 Hipoksia yang terjadi selama OSA secara langsung mengakibatkan gangguan kontraktilitas kardiak dan relaksasi diastolik.19 Siklus hipoksia dan retensi karbondioksida tersebut berpengaruh terhadap saraf simpatis, terjadilah vasokonstriksi perifer, meningkatkan afterload dan peningkatan tekanan darah.19,20

Ketika terminasi apnea, asfiksia memicu terjadinya usaha bangun dari tidur (arousal) yang meningkatkan aktivitas simpatis dan menekan tonus vagal (meningkatkan tekanan darah dan heart rate).20,21 Efek akut ini dipertahankan selama keadaan bangun penuh, dengan peningkatan tekanan darah dan gangguan vagal (variabilitas heart rate).22 Lekosit yang teraktivasi memiliki peran penting pada respon inflamasi endotel vaskuler terhadap kerusakan seluler akibat hipoksia atau reoksigenasi. Hal ini, mungkin akan mengubah reaktivitas endotel dan menyebabkan proses aterogenesis. Namun, belum terdapat bukti yang nyata OSA menyebabkan aterosklerosis secara langsung.23 Pasien OSA juga menunjukkan peningkatan stres oksidatif (reactive oxygen spesies pada monosit23 dan neutrofil24). Peningkatan stres oksidatif dihubungkan dengan peningkatan molekul adhesi, seperti ICAM-1 (Intracellular Adhesion Molecule-1), VCAM-1 (Vascular Cell Adhesion Molecule-1) dan E-selectin.23,24,32 Mediator inflamasi seperti CRP (C- Reactive Protein), begitu juga dengan stres oksidatif mempunyai peran penting dalam proses aterogenesis dan pembentukan trombus arteri.25 Hipoksia intermiten dapat memicu produksi radikal bebas oksigen23-24, aktivasi jalur inflamasi

200

TINJAUAN PUSTAKA
Penutup OSA merupakan penyakit gangguan tidur akibat obstruksi oleh sebab yang multipel. Gangguan ini merupakan faktor risiko CVD (hipertensi, infark miokard, gagal jantung, gangguan irama jantung, maupun kematian jantung mendadak) akibat proses fisiologi akut maupun kronis pada sistem kardiovaskuler. Alat polysomnography dapat menegakkan diagnosis pasti OSA, serta untuk terapi PAP akibat OSA.
11. Ip MS, Lam B, Lauder IJ, et al. A Community Study of Sleep-Disordered Breathing in Middle-Aged Chinese Men in Hong Kong. Chest 2001; 119:62-9. 12. Young T, Skatrud J, Peppard PE. Risk Factors for Obstructive Sleep Apnea in Adults. JAMA 2004; 291: 2013-16. 13. Peppard PE, Young T, Palta M, Dempsey J, Skatrud J. Longitudinal Study of Moderate Weight Change and Sleep-Disordered Breathing. JAMA 2000; 284:3015-21. 14. Ryan CM, Bradley TD. Pathogenesis of Obstructive Sleep Apnea. J Appl Physiol 2005; 99: 2440-50. 15. Li KK, Kushida C, Powell NB, Riley RW, Guilleminault C. Obstructive Sleep Apnea Syndrome: A Comparison Between Far-East Asian and White Men. Laryngoscope 2000; 110: 1689-93. 16. Buxbaum SG, Elston RC, Tishler PV, Redline S. Genetics of the Apnea Hypopnea Index in Caucasians and African Americans: I. Segregation Analysis. Genet Epidemiol 2002; 22:243-53. 17. Bradley TD, Floras JS. Pathophysiologic Interactions between Sleep Apnea And Congestive Heart Failure. In: Bradley TD, Floras JS, eds. Sleep Apnea: Implication in Cardiovascular and Cerebrovascular Disease. Lung Biology in Health and Disease. Vol 146. New York, NY: Marcel Dekker; 2000: 385-414. 18. Bradley TD, Tkacova R, Hall MJ, et al. Augmented Sympathetic Neural Response to Stimulated Obstructive Apnea in Human Heart Failure. Clin Sci 2003; 104: 231-8. 19. Xie A, Skatrud JB, Puleo DS, Morgan BJ. Exposure to Hypoxia Produces Long-Lasting Sympathetic Activation in Humans. J Appl Physiol 2001: 91 (4): 1555-62. 20. Xie A, Skatrud JB, Crabtree DC, Puleo DS, Goodman BM, Morgan BJ. Neurocirculatory Concequences of Intermittent Asphyxia in Humans. J Appl Physiol 2000; 89 (4): 1333-9. 21. ODriscoll DM, Kostikas K, Simonds AK, Morrell MJ. Occlusion of the Upper Airway Does not Augment the Cardiovascular Response to Arousal from Sleep in Humans. J Appl Physiol 2005:98 (4): 1349-55. 22. Bradley TD, Hall MJ, Ando S, et al. Hemodynamic Effects of Stimulated Obstructive Apnea in Humans with and without Heart Failure. Chest 2001; 119: 1827-35. 23. Lavie P, Lavie L, Dyugovskaya L. Increased Adhesion Molecules Expression and Production of Reactive Oxygen Species in Leukocytes of Sleep Apnea Patients. Am J Respir Crit Care Med 2002; 165: 934-39. 24. Schulz R, Mahmoudi S, Hattar K, et al. Enhanced Release of Superoxide from Polymorphonuclear Neutrophils in Obstructive Sleep Apnea. Impact of Continuous Positive Airway Pressure Therapy. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162: 566-70. 25. Ridker PM, Rifai N. Inflammatory Markers and Coronary Heart Disease. Curr Opin Lipidol. 2002; 13: 3383-9. 26. Yokoe T, Minoguchi K, Matsuo H, et al. Elevated Level of C-Reactive Protein and Interleukin-6 in Patients with Obstructive Sleep Apnea Syndrome are Decreased by Nasal Continuous Positive Airway Pressure. Circulation 2003; 107: 1129-34. 27. Ryan S, Taylor CT, Mc Nicholas WT. Selective Activation of Inflammatory Pathways by Intermittent Hypoxia in Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Circulation 2005; 112: 2660-67. 28. Ryan S, Taylor CT, Mc Nicholas WT. Predictors of Elevated Nuclear Factor-Kappa B-Dependent Genes in Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Am J Respir Crit Care 2006; 174: 824-30. 29. Vongpatanasin W, Thomas GD, Schwartz R, et al. C-Reactive Protein Causes Downregulation of Vascular Angiotensin Subtype 2 Receptors and Systolic Hypertension in Mice. Circulation 2007; 115: 1020-28. 30. Kato M, Roberts-Thomson P, Phillips BG, et al. Impairment of Endothelium-Dependent Vasodilation of Resistance Vessels in Patients with Obstructive Sleep Apnea. Circulation 2000; 102: 2607-10. 31. Imadojemu VA, Gleeson K, Quraishi SA, Kunselman AR, Sinoway LI, Leunberger UA. Impaired Vasodilator Responses in Obstructive Sleep Apnea are Improved with Continuous Positive Airway Pressure Therapy. Am J Respir Crit Care Med 2002; 165: 950-53. 32. Ip MS, Lam B, Chan LY, et al. Circulating Nitric Oxide is Suppressed in Obstructive Sleep Apnea and is Reversed by Nasal Continuous Positive Airway Pressure. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162: 2166-71. 33. El-Sohl AA, Mador MJ, Sikka P, Dhillon RS, Amsterdam D, Grant BJ. Adhesion Molecules in Patients with Coronary Artery Disease and Moderate-to-Severe Obstructive Sleep Apnea. Chest 2002; 121: 1541-47. 34. Steiner S, Jax T, Evers S, Hennersdorf M, Schwalen A, Straner BE. Altered Blood Rheology in Obstructive Sleep Apnea as A Mediator of Cardivascular Risk. Cardiology 2005; 104: 92-96. 35. Gami AS, Caples SM, Somers VK. Obesity and Obstructive Sleep Apnea. Endocrinol Metab Clin North Am 2003; 32: 869. 36. Narkiewicz K, Wolf J, Lopez-Jimenez F, Somers VK. Obstructive Sleep Apnea and Hypertension. Curr Cardiol Rep 2005; 7: 435. 37. Brown DL. Sleep Disorders and Stroke. Semin Neurol 2006; 26: 117. 38. Gami AS, Pressman G, Caples SM, et al. Association of Atrial Fibrillation and Obstructive Sleep Apnea. Circulation 2004; 110: 364. 39. Yaggi HK, Concato J, Kernan WM, et al. Obstructive Sleep Apnea as a Risk Factor for Stroke and Death. N Engl J Med 2005; 353: 2034. 40. Young T, Shahar E, Nieto FJ, et al. Predictors of SleepDisordered Breathing in Community-Dwelling Adults: The Sleep Heart Health Study. Arch Intern Med 2002; 162: 893. 41. Littner MR. Portable Monitoring in the Diagnosis of Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Semin Respir Crit Care Med 2005; 26: 56. 42. Giles TL, Lasserson TJ, Smith BJ, et al. Continuous Positive Airways Pressure for Obstructive Sleep Apnoea in Adults. Cochrane Database Syst Rev 2006; (1): CD001106. 43. Kaneko Y, Floras JS, Usui K, et al. Cardiovascular Effects of Continuous Positive Airway Pressure in Patients with Heart Failure and Obstructive Sleep Apnea. N Engl J Med 2003; 348: 1233. 44. Marin JM, Carrizo SJ, Vicente E and Agusti AG. Long-term Cardiovascular Outcomes in Men with Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea with or without Treatment with Continuous Positive Airway Pressure: An Observational Study. Lancet 2005; 365: 1046

DAFTAR PUSTAKA
1. Kryger MH, Roth T, Dement WC (eds). Principles and Practice of Sleep Medicine. 4th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2005. 2. Gami AS, Somers VK. Sleep Apnea and Cardiovascular Disease. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP (eds). Braunwalds Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008. pp: 1915-21. 3. Douglas NJ. Sleep Apnea. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et al (eds). Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill. 2008.pp:1665-8. 4. Hamilton GS, Solin P, Naughton MT. Obstructive Sleep Apnoea and Cardiovascular Disease. Intern. Med. J. 2004; 34: 4206. 5. Bradley TD, Floras JS. Obstructive Sleep Apnoea and its Cardiovascular Consequences. Lancet 2009; 373: 8293. 6. Shamsuzzaman AS, Gersh BJ, Somers VK. Obstructive Sleep Apnea: Implication for Cardiac and Vascular Disease. JAMA 2003; 290: 1906. 7. Bradley TD, Floras JS. Sleep Apnea and Heart Failure Part I: Obstructive Sleep Apnea.Circulation 2003; 107:1671-78. 8. Floras JS. Hypertension, Sleep Apnea, and Atherosclerosis. Hypertension 2009; 53: 1-3. 9. Young T, Shahar E, Nieto FJ, et al. Predictors of Sleep-Disordered Breathing in Community-Dwelling Adults: The Sleep Heart Health Study. Arch Intern Med 2002; 162: 893-900. 10. Duran J, Esnaola S, Rubio R, Iztueta A. Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea and Related Clinical Features in a Population-Based Sample of Subject Aged 30 to 70 yr. Am J Respir Crit Care Med 2001; 163: 685-89. 1. Ip MS, Lam B, Lauder IJ, et al. A Community Study of Sleep-Disordered Breathing in Middle-Aged Chinese Men in Hong Kong. Chest 2001; 119:62-9. 12. Young T, Skatrud J, Peppard PE. Risk Factors for Obstructive Sleep Apnea in Adults. JAMA 2004; 291: 2013-16. 13. Peppard PE, Young T, Palta M, Dempsey J, Skatrud J. Longitudinal Study of Moderate Weight Change and Sleep-Disordered Breathing. JAMA 2000; 284:3015-21. 14. Ryan CM, Bradley TD. Pathogenesis of Obstructive Sleep Apnea. J Appl Physiol 2005; 99: 2440-50. 15. Li KK, Kushida C, Powell NB, Riley RW, Guilleminault C. Obstructive Sleep Apnea Syndrome: A Comparison Between Far-East Asian and White Men. Laryngoscope 2000; 110: 1689-93.

C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r i l 2011

201

HASIL PENELITIAN

Pengaruh Perlakuan terhadap Tingkat Kelelahan Jemaah Haji dengan Pes Planus di Fase Armina, Arab Saudi
Syarief Hasan Lutfie
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Jakarta

ABSTRAK Aktifitas yang tinggi selama ibadah haji dapat memicu kelelahan; apalagi bagi mereka yang mempunyai bentuk lengkung kaki leper (pes planus). Pes planus menyebabkan seseorang cepat mengalami kelelahan otot tungkai bawah. Hal ini dapat menganggu pelaksanaan ibadah haji terutama pada fase Armina (Arafah-Mina) yang merupakan fase yang paling berat dengan banyaknya kegiatan fisik berjalan terutama pada saat melempar jumrah. Penelitian ini bertujuan mengetahui perlakuan yang tepat bagi jamaah haji dengan pes planus sehingga terhindar dari kelelahan di fase Armina. Penelitian ini dilakukan sebelum keberangkatan dan saat berada di Arab Saudi. Studi potong lintang dilakukan sebelum keberangkatan pada 1920 orang calon jamaah haji Jakarta Timur untuk mengetahui pes planus. Tahap kedua: secara randomisasi blok dengan match pairing berdasarkan umur dan jenis kelamin, dari 172 orang pes planus dibuat 4 kelompok perlakuan. Kelompok A, mendapat latihan kontinu & insol, kelompok B mendapat latihan kontinyu, kelompok C mendapatkan insol saja sedangkan kelompok D mendapatkan perlakuan edukasi. Tahap ketiga: selama 7 hari fase Armina dilakukan pengamatan/pemeriksaan terhadap terjadinya kelelahan. Penilaian kelelahan dilakukan menggunakan kuesioner dan selanjutnya dihitung skor kelelahan subyek studi. Hasilnya Kelompok A mempunyai skor kelelahan paling rendah yaitu sebesar 15,26 + (2,56). Program latihan kontinyu dan penggunaan insol (perlakuan kelompok A) dapat mencegah kelelahan pada fase Armina. Kata kunci: Perlakuan, skor kelelahan, latihan kontinyu, pes planus, insol.

PENDAHULUAN Kelelahan, yaitu menurunnya respons jaringan terhadap stimulus yang tetap atau dibutuhkannya stimulus yang lebih besar untuk memproduksi suatu respons.1 Selama berlangsungnya pelaksanaan ibadah haji tidak ada satu pun kegiatan ritual haji yang tidak menggunakan fisik. Faktor kelelahan akibat aktivitas fisik yang tinggi dapat menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya angka kesakitan dan kematian pada jemaah haji, di samping faktor penyebab lainnya.2-4 Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kelelahan pada jamaah haji Indonesia antara lain faktor umur, jenis kelamin, status gizi, jenis pekerjaan dan bentuk sidik tapak kaki. Faktor lain yang mempengaruhi adalah lingkungan yang tidak sama dengan lingkungan tanah air, seperti suhu dan kelembaban.5 Belum lagi jarak pemondokan yang relatif jauh dari Masjidil Haram. Setiap jemaah haji dituntut untuk mampu berjalan sejauh +12 km. Tawaf dilakukan 7 kali putaran mengelilingi Kabah, di lingkaran terdekat diperlukan kemampuan berjalan 7 x 200 meter = 1400 meter. Sai membutuhkan kemampuan berjalan dan berlari kecil antara

Safa dan Marwah sebanyak 7 kali pulang balik dengan jarak 1 kali perjalanan adalah 400 meter seluruh jarak yang ditempuh pada saat Sai sejauh 2800 meter. Total kegiatan tawaf dan sai saja belum termasuk perjalanan dari tempat tinggal pemondokan ke mesjid, diperlukan kemampuan minimal berjalan kaki berkisar 2800 meter ditambah 1400 meter = 4200 meter. Padahal kegiatan yang dilakukan jemaah haji minimal 3 kali untuk rukun haji, ditambah kegiatan di luar rukun haji. Fase terberat selama pelaksanaan ibadah haji adalah ketika mereka berada di Arafah-Mina (Armina). Ibadah yang dilaksanakannya pun merupakan syarat sahnya haji yang tidak boleh digantikan oleh orang lain dalam menunaikannya (wukuf). Melempar jumrah juga membutuhkan aktivitas fisik yang tinggi karena para jamaah harus berjalan minimal 12 km. Sebenarnya, faktor kelelahan pada jamaah haji dapat dideteksi. Tentunya bila ada nilai skor kelelahan. Sehingga bagi para jamaah yang mempunyai risiko tinggi (nilai tinggi) dapat dipisahkan dari jamaah lain atau diberi arahan agar dapat beribadah optimal, namun terhindar dari sakit dan kematian.

MATERI & METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan sebelum keberangkatan haji dan di tanah suci (fase Armina). Subyek adalah calon jamaah haji Jakarta Timur sebanyak 1920 orang. Tahap pertama dilakukan pemeriksaan sidik tapak kaki untuk menentukan pes planus; cara yang mudah adalah dengan menggunakan sidik tapak kaki. Hal ini dapat diperoleh dengan cara melapisi telapak kaki dengan tinta stempel. Subyek lalu diminta meletakkan kakinya pada secarik kertas putih dan berdiri dengan beban tubuh sepenuhnya di atas kertas tadi. Subyek kemudian diminta untuk memindahkan telapak kaki dari kertas putih dengan sekali gerakan dan tidak boleh diulang sampai cap kaki menjadi kering. Dari 1920 subyek penelitian, 196 terindentifikasi pes planus. Sebanyak 24 orang tidak melanjutkan penelitian. Tahap kedua, pada 172 orang dilakukan randomisasi blok dengan match pairing berdasarkan umur, jenis kelamin, status gizi, dan derajat pes planus. Diperoleh 44 orang untuk kelompok A yang mendapatkan perlakuan program latihan kontinyu dan penggunaan insol, 43 orang di kelompok B yang mendapatkan perlakuan program latihan kontinyu saja, 42 orang di kelompok C yang menC DK 184/V o l .38 no .3/Ap r il 2011

202

HASIL PENELITIAN
dapatkan perlakuan program penggunaan insol, dan 43 orang di kelompok D mendapatkan perlakuan program edukasi saja. Perlakuan program latihan kontinyu pada kelompok A dan B diberikan dengan frekuensi 4 kali seminggu, durasi 60 menit yang terdiri dari pemanasan, latihan inti dan pendinginan. Sebelum memulai latihan diharuskan pemanasan selama 10 menit yang berguna untuk adaptasi sirkulasi tubuh, latihan kontinyu dengan cara berjalan kaki selama 40 menit dan diakhiri pendinginan dengan peregangan selama 10 menit. Sebelum latihan dimulai, subjek juga diberi pelatihan cara menghitung nadi. Kelompok C menggunakan insol secara individual sama seperti kelompok A yang dimulai saat mulai perlakuan, insol digunakan terus sebagai alas sepatu/sandal untuk berjalan kaki selama pelaksanaan sampai kepulangan haji; sebelumnya kelompok diberi edukasi mengenai manfaat dan kegunaan insol. Kelompok D diberi edukasi mengenai kesehatan haji secara umum. Insol ialah suatu alat yang diletakkan pada sol bagian dalam sepatu, yang bisa direkatkan atau dilepas. Penggunaan insol sebagai koreksi pes planus dipakai pada alas kaki, sehingga tubuh dapat menghemat energi selama aktivitas berjalan. Hal ini akan memperbaiki fisiologi kaki sehingga daya ungkit saat berdiri dan berjalan akan meningkat dan menyebabkan distribusi berat badan lebih merata dan fisiologi yang dapat menghindari terjadinya kelelahan. 6 Tahap ketiga penelitian dilanjutkan di Arab Saudi bertujuan mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tingkat kelelahan jamaah haji di fase Armina dengan melakukan pengamatan/observasi hasil efektifitas perlakuan selama 7 hari di fase Armina. Pemantauan berupa laporan pemeriksaan/keluhan dalam lembar kuesioner pemeriksaan fisik/diagnosis yang disi oleh petugas kloter. Hasil pengisian kuesioner tersebut dikumpulkan di Jakarta setelah kepulangan haji . Skor kelelahan di fase Armina berdasarkan awal terjadinya kelelahan dan durasi/lama waktu kelelahan pada masing-masing kelompok perlakuan, sehingga diketahui efektivitas pengaruh perlakuan terhadap tingkat kelelahan.
C DK 1 8 4 /Vo l . 3 8 no. 3/A p r i l 2011

Hasil dan Pembahasan Hasil penilaian kelelahan menunjukkan bahwa kelompok D (edukasi) merupakan kelompok yang mempunyai skor kelelahan tertinggi yaitu dengan rerata skor + (SB) sebesar 18,24 + (2,67), diikuti oleh kelompok C yaitu sebesar 16,23 + (2,68), kelompok A sebesar 15,26 + (2,56), dan kelompok B sebesar 14,92 + (2,59). (tabel 1, gambar 1) Berdasarkan uji Anova, didapatkan perbedaan bermakna skor kelelahan antar kelompok perlakuan (p=0,00). Selanjutnya uji PostHoc Bonferonni menunjukkan perbedaan bermakna antara rerata skor kelelahan kelompok D (program edukasi) dengan rerata skor kelelahan kelompok A (program latihan kontinu dan penggunaan insol), kelompok B (program

latihan kontinyu) dan kelompok C (program penggunaan insol). Rerata skor kelelahan kelompok A, kelompok B, dan kelompok C tidak berbeda bermakna (tabel 2). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kelelahan, subyek diamati selama 7 hari di fase Armina, Arab Saudi, dan data dianalisis dengan analisis kesintasan metode aktuarial; menunjukkan kejadian kelelahan berdasarkan kelompok perlakuan (tabel 3). Kelompok A paling sedikit mengalami kelelahan pada hari pertama (11 orang), dengan laju kesintasan 75% dan pada hari keempat masih 4% (tersisa 2 orang yang tidak mengalami kelelahan), sedangkan pada hari ketujuh semua mengalami kelelahan.

Tabel 1. Rerata skor kelelahan pada masing-masing kelompok. 95% Interval Kepercayaan untuk Rerata

Rerata

SB
Batas Atas Batas Bawah
16,04 15,72 17,07 19,06 16,60

Minimal
12 12 6 6 6

Maksimal
23 21 21 22 23

Kelompok A Kelompok B Kelompok C Kelompok D Total

44 43 42 43 172

15,28 14,29 16,23 18,24 16,16

2,55 2,59 2,68 2,66 2,9 0,41 0,40 0,22

14,49 14,13 15,40 17,42 15,72

Gambar 1. Perbandingan rerata skor kelelahan masing-masing kelompok Perlakuan (Means plot).

18

Rerata total skor kelelahan

17

16

15

Kelompok A

Kelompok B

Kelompok C

Kelompok D

Kelompok Penelitian

203

HASIL PENELITIAN
Tabel 2. Hasil uji post hoc Bonferroni perbandingan rerata skor kelelahan antar kelompok perlakuan. kelelahan antar kelompok perlakuan.
Kelompok Penelitian (I) Kelompok Penelitian (J) Kelompok B Kelompok C Kelompok D Kelompok A Kelompok C Kelompok D Kelompok A Kelompok B Kelompok D Kelompok A Kelompok B Kelompok C Perbedaan Rerata (I-J) 0,34 -0,97 -2,97 * 0,34 -0,97 -2,97 * 0,34 -0,97 -2,97 * 0,34 -0,97 -2,97 * SE 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56 Sig. 1,00 0,53 0,00 1,00 0,53 0,00 1,00 0,53 0,00 1,00 0,53 0,00 95% IK -1,16 _____ 1,84 -2,48 _____ 0,54 -4,48 _____ -1,47 -1,16 _____ 1,84 -2,48 _____ 0,54 -4,48 _____ -1,47 -1,16 _____ 1,84 -2,48 _____ 0,54 -4,48 _____ -1,47 -1,16 _____ 1,84 -2,48 _____ 0,54 -4,48 _____ -1,47

Kelompok A

Kelompok B

Kelompok C

Kelompok D

P b d t bermakna b k pada d p<0.05. 0 05 IK = Interval I t l Kepercayaan K Perbedaan rerata

Median waktu kesintasan kelompok A adalah 4 hari, sama dengan kelompok B. Kelompok C mempunyai median waktu kesintasan 2 hari, dan kelompok D mempunyai median waktu kesintasan terpendek yaitu 1 hari. Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan program latihan kontinyu dan penggunaan insol, dan latihan kontinyu saja mempunyai pengaruh mencegah kelelahan sampai hari keempat. Demikian juga, insol saja mencegah kelelahan sampai hari kedua. Tidak satupun yang dirawat di rumah sakit atau meninggal dunia. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh efektifitas perlakuan terhadap skor kelelahan. Simpulan Kelompok perlakuan program latihan kontinyu dan penggunaan insol (A), latihan kontinyu (B), dan penggunaan insol (C), dapat bertahan sampai hari keempat fase Armina, dibanding kelompok kontrol (kelompok D) yang sudah banyak mengalami kelelahan sejak hari pertama fase Armina. Program latihan kontinyu dan penggunaan insol mempunyai dampak memperlambat waktu terjadinya kelelahan dibandingkan dengan kelompok kontrol, sebab aktivitas berjalan akan lebih efisien langkahnya akibat daya ungkit kaki yang tepat dengan bantuan stabilisasi insol; sedangkan latihan kontinyu mampu memelihara dan mempertahankan tingkat kemampuan endurans sampai di fase Armina setelah dipersiapkan sejak sebelum keberangkatan haji.
DAFTAR PUSTAKA
1. Downey, Darling. Physiological basis of rehabilitation. Philadelphia: WB Saunders Co. 2005. pp.156-171 2. Masum S . Kesehatan haji. Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia; 1991. p.5. 3. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2005. Tentang Penyelenggaraan Kesehatan Haji, Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1394/Menkes.SK/2002. p.15. 4. Dede Kusmana. Pengaruh tidak/stop merokok disertai olahraga teratur, dan/atau pengaruh kerja fisik terhadap daya survival penduduk di Jakarta : Penelitian kohort selama 13 tahun [Disertasi]. Jakarta: Program Studi Ilmu Kedokteran S3 FKUI; 2002. p. 23,43,52. 5. Ferial Hadipoetro Idris. Pertumbuhan lengkung kaki dan faktor yang mempengaruhinya [Disertasi]. Jakarta: Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran FKUI; 2004. p. 19-23, 69 6. Sarrafian SK. Foot and ankle decriptive, topographic, functional, Philadelphia/Sydney: J.B. Lippincott Co; 1983. p. 1-89, 184-5, 207-327.

Tabel 3. Analisis kesintasan kelompok perlakuan yang mengalami kelelahan

Kelompok penelitian

Hari keluhan
1 2 4 6 1 2 4 1 2 3 4 7 1 2 4 7

Total Orang
44 33 29 2 43 29 25 42 26 11 10 1 43 12 3 1

Lelah
11 4 27 2 14 4 25 16 15 1 9 0 31 9 2 0

Survival
0,75 0,65 0,04 0,00 0,67 0,58 0,00 0,61 0,26 0,23 0,02 0,02 0,27 0,06 0,02 0,02

95% IK
0,59 0,85 0,49 0,77 0,00 0,13 0,51 0,79 0,42 0,71 0,45 0,74 0,14 0,39 0,12 0,37 0,00 0,10 0,00 0,10 0,15 0,41 0,01 0,17 0,00 0,10 0,00 0,10

Kelompok A

Kelompok B

Kelompok C

Kelompok D

Pada kelompok B hari pertama hanya 14 orang dengan laju kesintasan 67% yang mengalami kelelahan, hari ketiga masih tersisa 25 orang yang tidak mengalami kelelahan, pada hari keempat sampai ketujuh semuanya mengalami kelelahan. Pada kelompok C, hari pertama sebanyak 16 orang mengalami kelelahan, dengan laju kesintasan 61%, hari keempat tersisa 10 orang yang tidak lelah, tetapi pada hari ketujuh hanya tersisa 1 orang yang tidak lelah. Pada kelompok D, hari pertama sudah 31 orang mengalami kelelahan, dengan laju kesintasan 27%, hari keempat hanya 1 orang yang tidak mengalami kelelahan sampai hari ketujuh. Kelompok A mempunyai nilai laju kesintasan paling tinggi; dapat disimpulkan, kelompok A sebagian besar mengalami kelelahan mulai hari keempat (96%). Kelompok B semua mengalami kelelahan pada hari keempat (100%), kelompok C sebagian besar mengalami kelelahan sejak hari ketiga (88%), dan tersisa 1 orang yang tidak mengalami kelelahan hingga hari

ketujuh. Pada kelompok D sejak hari pertama sudah banyak yang mengalami kelelahan (63%) dan tersisa 1 orang yang tidak mengalami kelelahan hingga hari ketujuh. Untuk mengetahui waktu kesintasan masingmasing kelompok berdasarkan kelelahan, dilakukan analisis kesintasan dengan metode Kaplan Meier (gambar 2).
Gambar 2. Grafik Kaplan-Meier terjadinya kelelahan terhadap kelompok perlakuan
Kaplan-Meier estimasi survival terhadap kelompok perlakuan
1.00

1.75 1.50

1.25 0.00 0 2 4 6 8

analisis waktu
kelompok A kelompok B kelompok C kelompok D

204

C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

LAPORAN KASUS

Tamponade Jantung et causa Perikarditis Tuberkulosis


Eva Munthe*,Reviono**, Yusup S**, Trisulo W***, Subandrio****
* PPDS I Bagian Paru, ** Bagian/SMF Paru, *** Bagian/SMF Jantung, **** Bagian/SMF Bedah Fakultas Kedokteran UN Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi, Surakarta

ABSTRAK Laporan kasus ini mengenai laki-laki 21 tahun dengan keluhan nyeri ulu hati disertai sesak napas. Penderita diduga mengalami infeksi lambung tetapi ternyata menderita efusi perikardial dengan tamponade jantung. Dilakukan perikardiektomi. Biopsi jaringan perikardium menemukan sel datia Langhans dan tuberkel; dengan demikian efusi perikardial disebabkan perikarditis tuberkulosis. Kata kunci: Efusi perikardial, tamponade jantung, perikarditis tuberkulosis

PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan basil Mikobakterium tuberkulosa tipe humanus. Menurut WHO, terdapat 9 juta penderita yang mampu menularkan penyakit TB dengan angka kematian 2 juta penderita per tahun; 75 % kasus TB terjadi di negara berkembang dengan sosial ekonomi rendah termasuk Indonesia; di Indonesia merupakan penyakit rakyat nomor satu dan penyebab kematian nomor tiga. 1 Perikarditis TB merupakan salah satu kasus TB ekstra-paru dengan angka kejadian 20 % dari seluruh penderita TB dan meningkat lebih dari 50 % pada penderita HIV2; di Afrika Selatan sekitar 1-2 % kasus TB mengalami perikarditis TB.3 Laki-laki dan bukan kulit putih relatif lebih sering menderita perikarditis TB.4 Sebelum era terapi antituberkulosis, perikarditis TB merupakan kasus yang cepat menjadi fatal dengan angka kematian awal lebih dari 80 %. Sejak diperkenalkannya obat antituberkulosis (OAT) tahun 1945, angka kematian akibat perikarditis TB menurun bermakna, menjadi 3-17 % di Afrika Selatan 3 Walaupun perikarditis TB jarang ditemukan,5 dapat mengancam jiwa. Tamponade jantung merupakan salah satu bentuk komplikasi perikarditis TB.6 KASUS Seorang laki-laki, 21 tahun datang ke RS Dr. Moewardi (RSDM) dengan keluhan utama nyeri ulu hati disertai sesak napas sejak 2 minggu
C DK 1 8 4 / Vo l. 38 no. 3/A p r i l 2011

sebelum masuk RSDM. Sesak napas makin bertambah dan tidak berkurang dengan istirahat, nyeri dada (-). Nyeri ulu hati dirasakan terus menerus tanpa mual dan muntah, demam hilang timbul, batuk (-). Akibat keluhan tersebut penderita pernah dirawat di RS lain selama 1 minggu, saat itu didiagnosis infeksi lambung. Sekitar 5 hari sebelum masuk RSDM penderita mengeluh perut bertambah besar. Penderita kembali berobat dan didiagnosis pembengkakan jantung, dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam. Selama dirawat kondisi pasien memburuk sehingga dikonsulkan ke dokter spesialis jantung; dan didiagnosis curiga tamponade jantung e.c perikarditis akut e.c proses spesifik. Buang air besar/kecil : lancar, tidak ada keluhan. Riwayat merokok (+) sejak usia 19 tahun, 1-2 batang rokok per minggu. Riwayat penyakit dahulu: disangkal Riwayat penyakit keluarga: disangkal Pemeriksaan fisis : keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis. Tekanan darah: 80/70 mmHg; nadi 112 x/menit, reguler, isi dan tegangan lemah; suhu non febril dan frekuensi napas 30 x/menit. Sklera ikterik (+/+), JVP meningkat. Paru : sonor di hemitoraks kanan dan redup di hemitoraks kiri mulai dari ICS III ke bawah dengan suara napas tambahan RBK +/+. Jantung: ictus cordis tidak tampak dan tidak teraba, batas jantung kesan melebar, BJ I II tunggal intensitas lemah,reguler, tidak ada bising, pericardial friction rub (-). Ascites (+), hepatomegali (+), oedem tungkai (+/+), akral dingin +/+.

Pemeriksaan penunjang (hari I perawatan di ICCU): Hb 14,0 g/dl, Ht 39,4 %, leukosit 7200/ul, trombosit 154000 ul, golongan darah O, GDS 221 mg/dl, ureum 59mg/dl, kreatinin 1,2mg/dl, HbsAg (-), SGOT 260 U/L, SGPT 176 U/L, bilirubin total 6,52 mg/dl, total protein 6,0 g/dl, albumin 3,43 g/dl, globulin 2,57 g/dl, kolesterol total, trigliserida dan gamma GT dalam batas normal. USG Abdomen : Tampak efusi perikardial, congestive liver, edema anasarka, asites. Ren dekster sinister edematous ringan. Simpulan: edema anasarka dengan edema ginjal bilateral, sindrom nefrotik Elektrokardiografi (EKG): Low voltage. Foto Rontgen toraks AP: tampak perselubungan inhomogen di kedua parakardial dengan batas jantung sulit dinilai, pinggang jantung menghilang. Terapi: diet lunak TKTP rendah garam, oksigen 2-3 liter/menit, infus RL 16 tetes/menit, Digoxin 1-0-0. Hari ke-2: sesak napas dan kadang nyeri dada. Pemeriksaan fisis tidak ada perubahan. Hasil ekokardiografi: Efusi perikardial masif di dinding anterior dan lateral. Sudah banyak fibrin terutama di dinding lateral. Saran: Perikardiektomi. Hasil aspirasi pungsi perikardium: serohemoragik. Hari ke-3: Hasil analisis cairan perikardium: Warna merah, keruh; Rivalta +, Protein = 4,3; Glukosa = 4; Jumlah sel = 3350, MN 80%, PMN 20%; LDH 2726 (kesan eksudat). BTA cairan perikardium negatif.

205

LAPORAN KASUS
Hari ke-4: Sitologi cairan perikardium: hanya ditemukan sel radang MN dan PMN. Tidak ditemukan sel ganas. Sputum BTA 3x: BTA tidak terlihat. LED jam I / II: 3 / 5 mm. Hari ke-5: Rawat bersama bedah toraks untuk rencana perikardiektomi dan perbaikan keadaan umum, diberi albumin 100 ml (kadar albumin 2,8 g/dl) dan injeksi metilprednisolon 1mg/kgbb/8 jam. Hari ke-14: Ekokardiografi ulang tampak efusi perikardium sedang di dinding lateral. Fibrin makin banyak. Analisis gas darah (AGD): pH 7,521, PCO2 33,9 mmHg, PO2 64,5mmHg, BE 5,9mmol/L, HCO3 28,0mmol/L, TCO2 29,0 mmol/L, SO2% 94,3, Na+ 133,8 mmol/L, K+ 3,87mmol/L, Ca2+ 0,73 mmol/L. Kesan: Alkalosis respiratorik dengan hipoksemia sedang, hipo Na+ dan Ca2+. Terapi tetap dengan koreksi AGD yaitu masker rebreathing O2 5-6 l/mnt dan Ca glukonas 1 ampul/hari. Hari ke-17: Dilakukan perikardiektomi. CVP pre-op 23-24 cm H2O dan CVP post-op 14 -15 cm H2O. Hasil laboratorium darah post-op Hb: 10,1 gr/dl, Lekosit: 9,5 103 UL, Trombosit: 131 103 UL, Ht: 28,6%. Hari ke-18: Protein total: 5,2g/dl, Albumin: 2,7 g/dl, Globulin: 2,5g/dl, SGOT: 42 U/L, SGPT: 46 U/L, Bil.total: 17,83 mg/dl, Bil.direk: 8,42 mg/dl, Bil.indirek: 9,41 mg/dl, Ureum/Kreatinin: 65/0,5 mg/dl. Hari ke-20: Sitologi cairan perikardial dan cairan pleura: hanya ditemukan sel radang, sel ganas (-). Biopsi jaringan perikardial: jaringan diameter 0,75-2 cm putih, kenyal. Mikroskopik: jaringan ikat dengan struktur tuberkel dan sel datia langhans. Tak tampak tanda ganas. Selama perawatan post-operasi, terapi antituberkulosis : Etambutol 1 x 1000 mg, Streptomisin 1 x 750 mg intra muskuler. Selain itu penderita memperoleh Prednison tablet 80 mg/hari diturunkan tiap 10 mg tiap 5 hari selama 8 minggu, Digoxin tab. 1x1, Sefotaksim 1 g/12 jam, koreksi elektrolit dan albumin. Pemberian OAT tidak dapat sesuai dengan kategori 1 akibat gangguan fungsi hati. Lama pemberian OAT pada kasus ini adalah 9 bulan dengan regimen : Etambutol 1x 1000 mg dan injeksi Streptomisin 1 x 750 mg selama 2 bulan. Selanjutnya Rifampisin 1x 450 mg, INH 1x 300 mg serta Etambutol 1x 1000 mg selama 7 bulan. Selama pemberian OAT, fungsi hati diperiksa 1 - 2 x per bulan. Pemberian OAT dihentikan setelah penderita dinyatakan sembuh.

Gb 4. Foto toraks 2 bulan setelah akhir pengobatan OAT

Gb 1. Foto toraks hari I perawatan.

PEMBAHASAN Perikardium terdiri dari 2 lapisan yaitu lapisan dalam atau lapisan serosa dan lapisan luar atau fibrosa. Bentuk lapisan fibrosa perikardium seperti botol dan berdekatan dengan diafragma, sternum dan kartlago kosta. Lapisan serosa lebih tipis dan berdekatan dengan permukaan jantung. Perikardium berfungsi sebagai barier proteksi dari infeksi atau inflamasi organ-organ sekitarnya.4 Jumlah normal cairan perikardium 15-50 ml, disekresi oleh sel mesotelial. Akumulasi abnormal cairan dalam ruangan perikardium dapat menimbulkan efusi perikardium.5 Selanjutnya akumulasi tersebut dapat menyebabkan peningkatan tekanan perikardium, penurunan cardiac output dan hipotensi (tamponade jantung). Akumulasi cairan yang sangat cepat akan mempengaruhi hemodinamik.4 Perikardium dapat terinfeksi mikobakterium TB secara hematogen, limfogen ataupun penyebaran langsung Perikarditis TB sering terjadi tanpa TB paru maupun TB di luar paru lain. Dikutip dari 1 Penyebaran tersering karena infeksi di nodus mediastinum, secara langsung masuk ke perikardium, terutama di sekitar percabangan trakeobronkial.2 Perikarditis TB pada kasus ini tanpa disertai infeksi TB paru. Protein antigen mikobakterium TB menginduksi delayed hypersensitive response dan merangsang limfosit untuk mengeluarkan limfokin
C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

Gb 2. Foto toraks hari ke-20 (3 hari post-op).

Gb 3. Foto toraks dalam terapi OAT bulan ke-6

206

LAPORAN KASUS
yang mengaktifasi makrofag dan mempengaruhi pembentukan granuloma. Terdapat 4 stadium evolusi perikarditis TB:3 1. Stadium fibrinosa: terjadi deposit fibrin luas bersamaan dengan reaksi granuloma. Stadium ini sering tidak menimbulkan gejala klinis sehingga tidak terdiagnosis. 2. Stadium efusi : terbentuk efusi dalam kantong perikardium. Reaksi hipersensitif terhadap tuberkuloprotein, gangguan resorbsi dan cedera vaskuler dipercaya dapat membentuk efusi perikardium. Permukaan perikardium menjadi tebal dan berwarna abu-abu tampak seperti bulu-bulu kusut yang menunjukkan eksudasi fibrin. Efusi dapat berkembang melalui beberapa fase yaitu: serosa, serosanguinous, keruh atau darah. Reaksi seluler awal cairan tersebut mengandung sel polimorfonuklear (PMN). Jumlah total sel berkisar 500-10000/ mm3. Terjadi perubahan kimiawi yang ditandai dengan penurunan glukosa dan peningkatan protein. Pada stadium ini dapat terjadi efusi masif sebanyak 4 L. 3. Absorpsi efusi dengan terbentuknya granuloma perkijuan dan penebalan perikardium. Pada stadium ini terbentuk fibrin dan kolagen yang menimbulkan fibrosis perikardium. 4. Penebalan perikardium parietal, konstriksi miokardium akan membatasi ruang gerak jantung dan ada deposit kalsium di perikardium. Pada kasus ini sudah terjadi penebalan perkardium parietal dan konstriksi miokardium. Gejala klinis perikarditis TB sering samar dengan keluhan tidak spesifik. Keluhan utama kasus ini adalah sesak napas dengan nyeri ulu hati terusmenerus tanpa mual muntah; saat itu penderita didiagnosis infeksi lambung. Biasanya perikarditis TB terdiagnosis setelah stadium efusi atau stadium konstriksi miokardium. Keluhan dan tanda klinis perikarditis TB adalah3: demam intermiten, nyeri precordial atau retrosternal, seperti ditikam atau ditusuk, dyspnea, batuk dan disfagia, keringat malam, penurunan berat badan, nyeri akut abdomen. Pemeriksaan fisis perikarditis TB dapat menemukan4: pericardial friction rub, demam subfebril, aritmia jantung, tachypnea dan dyspnea, hepatomegali dan asites .
C DK 1 8 4 / Vo l. 38 no. 3/A p r i l 2011

Kasus ini datang terlambat ke RSDM karena efusi perikardium sudah melanjut ke tamponade jantung. Tamponade jantung adalah kompresi jantung yang cepat atau lambat, akibat akumulasi cairan, pus, darah, bekuan atau gas di perikardium; menyebabkan peningkatan tekanan intraperikardial yang sangat mengancam jiwa dan fatal jika tidak terdeteksi.6 Insidens tamponade jantung di Amerika Serikat adalah 2 kasus per 10.000 populasi. Lebih sering pada anak laki-laki (7:3) sedangkan pada dewasa tidak ada perbedaan bermakna (laki-laki : perempuan - 1,25:1).7 Morbiditas dan mortalitas sangat tergantung dari kecepatan diagnosis, penatalaksanaan yang tepat dan penyebab.7 Pembagian tamponade jantung berdasarkan etiologi dan progresifitas8 : 1. Acute surgical tamponade: antegrade aortic dissection, iatrogenic dan trauma tembus kardiak. 2. Medical tamponade: efusi perikardial akibat perikarditis akut, perikarditis karena keganasan atau gagal ginjal. 3. Low-pressure tamponade: terdapat pada dehidrasi berat. Pada tamponade jantung terjadi penurunan pengisian darah saat diastolik karena otot jantung tidak mampu melawan peningkatan tekanan intraperikardial. Terdapat 3 fase perubahan hemodinamik:7 1. Fase 1: Peningkatan cairan perikardial meningkatkan tekanan pengisian ventrikel. Pada fase ini tekanan ventrikel kanan dan kiri tetap lebih tinggi daripada tekanan intraperikardial. 2. Fase 2: Peningkatan tekanan intraperikardial melebihi tekanan pengisian ventrikel kanan, sehingga curah jantung turun. 3. Fase 3: Tercapai keseimbangan antara peningkatan tekanan intraperikardial dengan tekanan ventrikel kiri sehingga terjadi gangguan curah jantung yang berat. Pada kasus ini sudah terdapat gejala klinis tamponade jantung berupa nyeri dada, sesak napas dan akral dingin karena hipoperfusi jaringan perifer. Gejala klinik tamponade jantung sangat dipengaruhi oleh kecepatan akumulasi cairan perikardium. Akumulasi lambat memberi kesempatan kompensasi jantung yang lebih baik yaitu: takikardi, peningkatan resistensi

vaskuler perifer dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Tetapi akumulasi yang cepat akan menimbulkan peregangan perikardium yang tidak adekuat dan berakibat fatal dalam beberapa menit.4 Pemeriksaan fisis tamponade jantung:4 - Trias Beck meliputi hipotensi, peningkatan JVP dan suara jantung melemah. - Pulsus paradoksus: penurunan tekanan sistolik lebih dari 12 mm Hg pada saat inspirasi. - Kussmaul sign: penurunan tekanan dan distensi JVP yang sebelumnya meningkat saat inspirasi. - Tanda Ewart:gambaran redup di daerah di bawah skapula kiri ; terjadi pada efusi perikardial luas. Diagnosis tamponade jantung karena perikarditis TB pasien ini selain berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisis juga ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang. Beberapa pemeriksaan penunjang adalah:9 1. Analisis cairan perikardium Merupakan diagnostik rutin untuk membedakan cairan transudat atau eksudat berdasarkan kriteria Light. Dilakukan kultur terhadap bakteri, sitologi, jumlah sel dan protein. Sering sel limfosit predominan.9 2. Uji kulit tuberkulin Uji tuberkulin menggunakan protein derivat A murni. Reaksi kulit (+) jika indurasi 10 mm dan respons (+) kuat jika indurasi 15 mm. Hasil uji tuberkulin sering negatif pada penderita perikarditis TB, terutama pada penderita anergi, penderita HIV (+) dan usia lanjut. Karena itu hasil (-) tidak dapat menyingkirkan kemungkinan perikarditis TB.2 3. Pemeriksaan bakteriologi Prosedur penting untuk diagnosis perikarditis TB dengan mendeteksi kuman TB dalam cairan perikardium, jaringan perikardium, sputum, bilas lambung dan urin. Tetapi penemuan kuman TB di cairan perikardium sangatlah sulit karena rendahnya jumlah kuman di cairan perikardium dan kegagalan kuman untuk tumbuh pada medium yang sesuai. Dari 12 penderita perikarditis TB hanya 5 penderita positif kuman TB pada cairan perikardium.10 4. Histopatologi Biopsi dilakukan jika tidak ditemukan etiologi

207

LAPORAN KASUS
jelas; pada perikarditis TB sangat penting karena kuman TB jarang ditemukan pada kultur cairan pericardium, sebaliknya justru ditemukan granuloma di jaringan perikardium.11 5. Polymerase Chan Reaction (PCR) Teknologi PCR cara amplifikasi asam nukleat digunakan untuk menegakkan diagnosis TB. Akurasi PCR hampir sama dengan metode konvensional dan lebih cepat. Kepekaan untuk cairan perikardium kurang dan risiko positif palsu harus tetap diperhatikan.2 6. Adenosine deaminase (ADA) dan interferon gamma (IFN- ) Kadar ADA dan IFN- cairan perikardial meningkat. Kepekaan cara ini 100% dan spesifikasi 100%.12 7. Foto toraks Didapatkan kardiomegali, bentuk jantung globuler, seperti botol air atau terdapat kalsifikasi perikardium. Efusi pleura dapat terlihat pada 1/3 pasien.7 8. CT-scan toraks Akan menunjukkan perubahan pleura, penebalan dan iregularitas perikardium.2 9. Elektrokardiografi EKG 12 lead, dapat menunjukkan: sinus takikardi, low voltage pada gelombang QRS, electrical alternans (perubahan voltase QRS kompleks dengan rasio 2:1, akibat gerakan jantung pada rongga perikardium) dan depresi segmen PR.7 10. Echocardiography Pemeriksaan akurat untuk diagnosis tamponade jantung maupun efusi pericardial; dapat menentukan ada tidaknya efusi perikardial ataupun fibrin dan memperkirakan jumlah cairan efusi perikardial. Gambaran yang dapat ditemukan:7 - Late diastolic collapse pada atrium kanan - Jantung yang melambai (swinging heart) di rongga perikardium. - Pseudohipertrofi ventrikel kiri. - Penurunan lebih dari 25 % aliran katup mitral. 11. Nuclear imaging Gallium 67 dan indium-111 telah digunakan untuk mendiagnosis efusi perikardial TB walaupun hasilnya tidak spesifik.2 Diagnosis perikarditis TB pasien ini ditegakkan dengan ditemukannya struktur tuberkel dan sel datia Langhans pada pemeriksaan histopatologi jaringan perikardium. Hasil pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan banyak fibrin dan perlekatan antara perikardium parietal dan viseral. Penatalaksanaan tamponade jantung akibat perikarditis TB yaitu pemberian terapi kausal utama obat antituberkulosis, terapi kortikosteroid: prednison tablet dosis awal 80 mg per hari kemudian diturunkan bertahap. Perikardiosentesis dilakukan bila terjadi efusi perikardium, merupakan tindakan penyelamatan dini. Perikardiektomi dilakukan pada tamponade jantung berulang yang tidak dapat diatasi dengan perikardiosentesis serta pada kasus perikarditis konstriksi sehingga tidak mungkin dilakukan perikardiosentesis.11 Perikardiektomi dilakukan pada kasus ini karena tamponade jantung akibat perikarditis konstriktif. SIMPULAN: - Tamponade jantung merupakan salah satu komplikasi yang harus segera diatasi karena dapat fatal. - Ekokardiografi merupakan alat diagnostik pilihan dan sensitif untuk mendiagnosis efusi perikardium dan tamponade jantung. - Penatalaksanaan tamponade jantung karena perikarditis TB meliputi pemberian obat antituberkulosis, kortikosteroid, perikardiosentesis dan perikardiektomi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Jovie B, Jasa BB. Komplikasi Kardiovaskuler pada Tuberkulosis. TB Update-III 2004 Surabaya, 22-23 Mei 2004. Hal 93-101. 2. Cherian G. Diagnosis of tuberculous aetiology in pericardial effusions. Postgrad. Med. J. 2004; 80:262-6. 3. Abadilla JE, Heurich AE. Cardiovascular Tuberculosis. In: Rom NW, Garay SM, Bloom BR eds. Tuberculosis 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.509-21. 4. Pericarditis and Cardiac Tamponade. http://www.emedicine.com/EMERG/topic412.htm. Accessed April 25, 2005. 5. Mayosi BM, Burgess LJ, Doubell FA. Tuberculous Pericarditis. Circulation 2005; 112:3608-16. 6. Spodick D. Acute Cardiac Tamponade. N Engl J Med 2003; 349:684-90. 7. Cardiac Tamponade. http://www.emedicine.com/MED/topic283.htm. Accessed April 25, 2005. 8. Hals GD, Carleton SC. Pericardial disease. http://www.thrombosis-consult.com/articles/Textbook/59 pericardial.htm. Accessed April 25, 2005. 9. Cherian G, Habashy AG, Uthaman B, Hanna RM. Tuberculous Pericardial Effusion-Mediastinal Lymph Glands: The cause and clue to the etiology. Indian Heart J 2003; 55:228-33. 10. Fowler N. Tuberculosis Pericarditis. JAMA 1991; 266:99-103. 11. Hopewell PC, Bloom BR. Tuberculosis and Other Mycobacterial Diseases. In: Murray JF, Nadel JA eds. Textbook of Respiratory Medicine 3 th ed. Philadelphia: WB. Saunders Co; 2000.p. 1043-1105. 12. Maisch B, Seferovic PM, Ristic DA et al. Guidelines on the diagnosis and management of pericardial diseases. Eur. Soc. Cardiol. 2004:588-605.

208

C DK 184/V o l .38 no .3/Ap r il 2011

BERITA TERKINI

Bardoxolone Memperbaiki Fungsi Ginjal Pasien PGK


Bardoxolone terbukti efektif memperbaiki
fungsi ginjal dan bahkan dapat membalikkan progresivitas penyakit ginjal pada pasienpasien PGK (Penyakit Ginjal Kronik). Demikian hasil penelitian dr. Pablo E. Pergola dkk. dari the University of Texas Health Science Center di San Antonio, Texas, Amerika Serikat dan telah dipresentasikan pada pertemuan tahunan American Society of Nephrology yang ke-43. Bardoxolone merupakan obat anti inflamasi terbaru (antioxidant inflammation modulator) dirancang untuk memperbaiki fungsi ginjal, bekerja pada Nrf2, yang merupakan jalur antiinflamasi. Dalam penelitian-penelitian jangka pendek, pemberian bardoxolone meningkatkan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus), menurunkan urea nitrogen darah, menurunkan asam urat, serta meningkatkan bersihan kreatinin. Namun, efek pemberian jangka panjang bardoxolone terhadap fungsi ginjal belum diketahui pasti. Penelitian dr. Pablo dan rekan merupakan penelitian multisenter, kontrol plasebo, melibatkan 227 penderita diabetes tipe 2 dengan PGK sedang-berat. Pasien-pasien ini memiliki karakteristik yang khas untuk PGK, seperti usia rerata 67 tahun, mengalami hiperglikemia jangka panjang, dan 75% menderita obesitas. Dari semua pasien yang dilibatkan dalam penelitian ini, 98% pasien diterapi juga dengan ACE (angiotensin-converting enzyme) inhibitor dan/atau ARB (angiotensin II receptor blocker). Tekanan darah rerata pasien-pasien dalam penelitian ini adalah 130/69 mm Hg. Penelitian dilakukan selama 52 minggu.
REFERENSI:
1. Bloomgarden ZT. Neuropathy, Retinopathy, and Glucose-Lowering Treatments. Diabetes Care 2010; 33(6): e73-8. 2. Medscape Cardiology. NKF 2009: Bardoxolone May Improve Renal Function Through Inflammatory Pathways. [cited2010 December 08]. Available from: http: //www.medscape.com/ viewarticle/590644 3. Medscape Cardiology. Novel Anti-Inflammatory Bardoxolone Improves GFR in CKD. [cited 2010 December 08]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/733138? sssdmh=dm1.652136&src=confwrap&uac=117092CG 4. Wikipedia. Bardoxolone methyl. [cited 2010 December 08]. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Bardoxolone_methyl

Kelompok bardoxolone Perburukan status PGK Penurunan jumlah pasien PGK stadium 4 Efek samping spasme otot 4% 50% 49%

Kelompok plasebo 14% - (tidak ada perbaikan) 12%

Tabel 1. Perbandingan b d efek f k terapi b bardoxolone d l d dengan plasebo l b terhadap h d fungsi f ginjal l pada d pasien-pasien PGK. PGK = Penyakit Ginjal Kronik.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada minggu ke-4 terjadi peningkatan LFG pada kelompok bardoxolone, Perbaikan terus berlanjut hingga minggu ke-24 dan terjadi peningkatan GFR dengan rerata 10,1 mL/menit/ 1,73 m2; sedangkan pada kelompok plasebo tidak terjadi perbaikan LFG hingga minggu ke-24. Stadium PGK memburuk pada 14% di kelompok plasebo, namun hanya 4% di kelompok bardoxolone. Terapi bardoxolone mengurangi jumlah pasien stadium 4 PGK hingga 50%, dan pada kelompok plasebo tidak ada perbaikan stadium PGK. Efek samping yang paling sering teramati dalam penelitian ini adalah spasme otot yang bersifat sementara, yang lebih banyak terjadi pada kelompok terapi bardoxolone. Para ahli sedang menunggu hasil penelitian pada minggu ke-52, pada bulan Januari 2011. Penelitian akan dilanjutkan dengan penelitian fase III. Prof. Rajiv Agarwal dari Indiana University and VA Medical Center di Indianapolis, Amerika Serikat mengatakan bahwa hasil penelitian ini sangat menarik, walaupun data tambahan seperti efek bardoxolone pada pasien ESRD (end-stage renal disease) diperlukan untuk mengetahui peranan bardoxolone yang sesungguhnya pada pasien-pasien dengan PGK.

Simpulan: Bardoxolone terbukti efektif memperbaiki fungsi ginjal dan bahkan dapat membalikkan progresifitas penyakit ginjal pasien PGK; terlihat dari perbaikan GFR serta perbaikan stadium PGK. Hasil penelitian pada minggu ke-52 (pada bulan Januari 2011) sedang ditunggu untuk evaluasi lebih lanjut. Penelitian fase III sedang dipersiapkan untuk mengetahui efek terapi bardoxolone lebih lanjut. Dapat dilakukan penelitian efek terapi bardoxolone pada pasien ESRD, untuk mengetahui peranan bardoxolone yang sesungguhnya pada pasien PGK. (YYA)

C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r il 20 11

209

BERITA TERKINI

Pilihan Obat Diabetes pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis


Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan penyakit yang umum terjadi dengan definisi kerusakan atau penurunan fungsi ginjal lebih dari 3 bulan, data penelitian memperlihatkan 23 % pasien PGK disertai penyakit diabetes. Rekomendasi kontrol glikemia yaitu HbA1c < 7 % tetap sama untuk pasien PGK, berikut informasi pilihan terapi diabetes yang beberapa memerlukan penyesuaian dosis bahkan beberapa merupakan kontraindikasi pada pasien PGK. Insulin Insulin eksogen normal akan dimetabolisme di ginjal, sehingga pada gangguan fungsi ginjal waktu paruh insulin akan memanjang karena turunnya kecepatan degradasi, oleh karenanya pada pasien diabetes tipe 1 dengan gangguan fungsi ginjal episode hipoglikemia meningkat 5 kali dibandingkan pasien dengan fungsi ginjal normal. Belum ada rekomendasi jenis insulin yang harus dihindari atau dapat digunakan; beberapa peneliti menyarankan agar menghindari penggunaan insulin dengan lama kerja panjang, satu penelitian kecil membandingkan pasien diabetes dengan atau tanpa DKD (Diabetic Kidney Disease) menunjukkan baik insulin regular dan insulin lispro mengalami penurunan eliminasi, meskipun efektivitas insulin regular juga terganggu sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi. Insulin lispro tidak menyebabkan perbedaan metabolisme glukosa pada pasien dengan atau tanpa DKD, sehingga meskipun belum ada rekomendasi yang jelas, pasien diabetes dengan penurunan fungsi ginjal yang mendapatkan insulin harus lebih diperhatikan baik dalam penyusuaian dosis untuk mengkontrol glukosa darah maupun menghindari kejadian hipoglikemia. Terapi Oral Diabetes Seperti halnya insulin, eliminasi beberapa obat juga menurun pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang juga akan memperpanjang paparan obat maupun metabolitnya yang berpotensi meningkatkan efek samping. Eliminasi sulfonylurea dan metabolitnya sangat dipengaruhi oleh fungsi ginjal, sehingga pada pasien PGK stadium 3-5 generasi pertama sulfonylurea harus dihindari, tetapi generasi kedua yaitu glipizide dapat direkomendasikan oleh karena metabolitnya tidak aktif dan risiko hipoglikemia jauh lebih rendah. Meskipun mekanisme belum cukup jelas, obat diabetes alpha glukosidase inhibitor dan metabolitnya dapat menyebabkan kerusakan akibat akumulasi dosis, sehingga tidak diperbolehkan pada pasien dengan serum kreatinine > 2 mg/dL. Metformin, tidak memperlihatkan efek samping hipoglikemia tetapi perhatian khusus harus dilakukan pada pasien diabetes PGK karena risiko asidosis laktat, bahkan pada pasien gangguan
Tabel 1. Pedoman pemilihan OAD pada GGK

fungsi ginjal ringan, hal itu juga disebabkan akumulasi obat dan metabolitnya sehingga kontraindikasi pada pria dengan klirens kreatinin > 1,5 mg/dL dan pada wanita dengan klirens kreatinin > 1,4 mg/dL. Thiazolidinediones (TZD) diduga memperlihatkan efek proteksi bahkan mencegah atau memperlambat progresivitas DKD yang dipengaruhi oleh kontrol gula darah, beberapa penelitian kecil memperlihatkan penurunan albuminuria pada pasien yang mendapatkan TZD, obat ini di metabolisme di hati sehingga dapat diberikan bahkan pada pasien diabetes yang menjalani dialisis tanpa perlu penyesuaian dosis. Ringkasan pilihan obat diabetes lain dapat dilihat pada tabel 1. (ARI)

REFERENSI
1. K L Cavanaugh. Diabetes management issues for patients with chronic kidney disease. Clinical Diabetes 2007;25(3):90-98 2. A H Barnett, et al. Angiotensin receptor blockade versus converting enzyme inhibition in type 2 diabetes and nephro pathy. N Engl J Med 2004;351:1952-61

210

C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

BERITA TERKINI

Aspirin Meningkatkan Risiko Perdarahan Intraserebral pada Pasien Alzheimer


Analisis Cochrane Database of Systematic
Reviews pada tahun 2000 menunjukkan bahwa aspirin merupakan salah satu terapi yang sudah luas digunakan pada pasien demensia vaskular. Kurang lebih 80% pasien gangguan kognitif dan risiko kardiovaskular telah diberi aspirin; namun hingga kini belum pernah dilakukan penelitian acak apakah aspirin memang bermanfaat pada pasien demensia vaskular. Penggunaan aspirin pada pasien demensia vaskular tidak dapat direkomendasikan tanpa bukti manfaat yang jelas; bahkan para peneliti memperkirakan bahwa manfaatnya lebih sedikit dibandingkan dengan risiko. Ketidakjelasan manfaat pemberian aspirin pada pasien-pasien dengan demensia vaskular ini mendorong dr. Edo dkk. melakukan penelitian untuk mengetahui apakah pemberian aspirin dapat meningkatkan risiko perdarahan intraserebral pada pasien Alzheimer. Dr Edo dkk. dari the Department of Neurology at Academic Medical Center, University of Amsterdam, Belanda melakukan tinjauan terhadap penelitian-penelitian acak efek aspirin terhadap pasien Alzheimer dari PubMed dan the Cochrane Library, dan meneliti komplikasi yang terjadi sehubungan dengan terapi aspirin, di antaranya perdarahan intra serebral. Penelitian pertama adalah EVA (The Evaluation of Vascular Care in Alzheimer's Disease) yang meneliti apakah pemberian aspirin dan perawatan vaskular dapat memperlambat progresifitas demensia pada pasien Alzheimer. Hasilnya memperlihatkan bahwa 4,6% (3 dari 65 pasien, 95% CI 1,0% - 12,9%) kelompok terapi aspirin mengalami perdarahan intraserebral, dibandingkan dengan kelompok tanpa aspirin yang tanpa perdarahan intraserebral (95% CI, 0% 6,2%). Penelitian lain yang memperlihatkan hasil yang serupa adalah penelitian AD 2000 (The Aspirin in Alzheimer's Disease). Penelitian ini merupakan penelitian terbuka yang menemukan bahwa kejadian perdarahan intraserebral di kelompok aspirin adalah 2,6% (4 dari 156 pasien, 95% CI; 0,7% - 6,4%) dan 0% di pasien yang tidak diterapi aspirin (154 pasien, tidak ada perdarahan intraserebral, 95% CI; 0% - 2.4%) Pasien yang mengalami perdarahan intra serebral Kelompok Aspirin (n=65) 3 pasien (4,6%) 95% CI; 1,0% 12,9% Kelompok tanpa Aspirin (n=58) 0 pasien (0%) 95% CI; 0% 6,2%

T b l 1. Tabel 1 Perbandingan P b di k kejadian j di perdarahan d h antara k kelompok l k aspirin ii d dengan k kelompok l k tanpa aspirin ii d dalam l penelitian EVA. (EVA= The Evaluation of Vascular Care in Alzheimer's Disease ; CI= confidence interval.

Kelompok Aspirin (n=165) Pasien yang mengalami perdarahan intra serebral 4 pasien (2,6%)) 95% CI; 0,7% 6,4%

Kelompok tanpa Aspirin (n=154) - (0%) 95% CI; 0% 2,4%

Tabel kejadian kelompok kelompok T b l 2. 2 Perbandingan P b di k j di perdarahan d h antara k l k terapi i aspirin i i dengan d k l k terapi i tanpa aspirin ddalam penelitian AD 2000. AD 2000 = The Aspirin in Alzheimer's Disease; CI = confidence interval.

Gabungan penelitian EVA dan AD 2000 memperlihatkan bahwa proporsi kejadian perdarahan intraserebral di kelompok aspirin adalah 3,2% vs 0% untuk kelompok tanpa aspirin. Hazard ratio gabungan untuk kejadian perdarahan intraserebral pada pasien Alzheimer yang diterapi aspirin adalah 7,63 (95% CI, 0,72 81,00; P = 0,09). Pemberian aspirin pada penderita Alzheimer tidak mengurangi progresifitas penyakit Alzheimer, bahkan dapat meningkatkan risiko perdarahan intraserebral. Hasil penelitian ini perlu ditinjau dengan hatihati karena sedikitnya kejadian perdarahan intraserebral. Namun proporsi pasien yang mengalami perdarahan intraserebral relatif cukup tinggi (3,2%) dan perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut; jika ada indikasi kejadian kardiovaskular yang jelas seperti pasca stroke atau infark miokard, terapi aspirin tentu direkomendasikan. Namun pemberian aspirin pada pasien demensia vaskular tanpa indikasi jelas tidak direkomendasikan; pemberian aspirin pada pasien Alzheimer sebaiknya dihindari. Hasil tinjauan ini telah dipublikasikan dalam Stroke November 2010.
REFERENSI

Kini sedang dirancang sebuah penelitian multisenter, observasional melibatkan 800 pasien untuk meneliti efek aspirin terhadap gangguan vaskular seperti perdarahan berskala mikro yang tidak dapat dipantau melalui pemeriksaan pencitraan. Simpulan Aspirin pada penderita Alzheimer tidak mengurangi progresifitas penyakit Alzhimer, bahkan dapat meningkatkan risiko perdarahan intra serebral. Jika ada indikasi kardiovaskular yang jelas seperti pasca stroke atau infark miokard, terapi aspirin direkomendasikan. Namun pada demensia vaskular yang belum memiliki indikasi jelas, pemberian aspirin perlu dipertimbangkan lebih lanjut mengigat risiko perdarahan yang dapat terjadi. Sedang dirancang sebuah penelitian multisenter, observasional melibatkan 800 pasien untuk meneliti efek aspirin terhadap gangguan vaskular seperti perdarahan mikro. (YYA)

1. Docguide. Aspirin Use in Patients With Alzheimer's Disease Increases Risk of Intracerebral Haemorrhage: Presented at ESC. [cited 2010 December 07]. Available from:http://www.docguide.com/news/content.nsf/news/852576140048867C8525 77 33005A5C2B 2. Medscape Cardiology. Aspirin May Increase ICH Risk in Alzheimer's Patients. [cited 2010 December 07]. Available from: http://cme.medscape.com/viewarticle/733023?src=cmemp&uac=117092CG 3. Stroke. Aspirin in Alzheimers Disease. Increased Risk of Intracerebral Hemorrhage: Cause for Concern? Stroke 2010; 41: 2690-2.

212

C DK 184/V o l .38 no .3/Ap r il 2011

BERITA TERKINI

Asam Folat dan Gangguan Pendengaran


Suatu studi di Nigeria yang hasilnya dipublikasi
dalam Otolaryngology - Head and Neck Surgery volume 143 (6) 2010, melihat adanya hubungan asam folat dengan gangguan hilangnya pendengaran, khususnya pada orang lanjut usia. Penelitian secara Cross-sectional berdasarkan komunitas oleh Dr. Lasisi dan rekan-rekan dari Nigeria ini melibatkan 126 pria dan wanita Nigeria berusia lebih dari 60 tahun; ditemukan kadar serum asam folat dan vitamin B12 yang rendah berhubungan cukup bermakna dengan frekuensi hilangnya pendengaran. Asam folat berperan penting dalam metabolisme seluler, sistem saraf, dan fungsi vaskuler. Penelitian dilakukan untuk menentukan hubungan antara ambang pendengaran (hearing threshold) dan kadar serum asam folat & vitamin B12 (cobalamin) diantara subyek lanjut usia (> 60 tahun) yang mengalami gangguan hilang pendengaran karena usia atau age-related hearing loss (ARHL).
C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r il 20 11

Subyek dan metode penelitian meliputi orang lanjut usia sehat dengan pemeriksaan berkelanjutan rerata nada asli (pure tone average /PTA) untuk berbicara serta frekuensi tinggi dan pengukuran kadar asam folat dan cobalamin serum. Hasil studi menunjukkan nilai mean SD asam folat serum subyek dengan nilai PTA normal dalam frekuensi berbicara (0-30 dB) adalah 412,3 nmol/L 17,6 nmol/L, sedangkan di antara yang hilang pendengaran/hearing loss (HL) adalah 279,1 nmol/L 17,2 nmol/L (P = 0,01). Pada frekuensi tinggi, nilai mean SD subyek dengan PTA normal adalah 426,3 nmol/L 17,6 nmol/L, sedangkan yang mengalami hilang pendengaran adalah 279,14 nmol/L 171,2 nmol/L. Kadar cobalamin serum subyek dengan PTA normal dalam frekuensi berbicara adalah 49,7 pmol/L 9,4 pmol/L, sedangkan di antara yg berbicara dengan frekuensi hilang pendengaran adalah 42,6 pmol/L 10,2 pmol/L. Namun, untuk frekuensi tinggi nilai mean SD di antara subyek dengan PTA normal adalah

47,4 pmol/L 7,3 pmol/L, sedangkan di antara yang hilang pendengaran adalah 41,3 pmol/L 9,2 pmol/L. Dengan analisis Spearman's, asam folat rendah (correlation coefficient = 0,27, nilai P = 0,01) dan cyanocobalamin (correlation coefficient = 0,35, nilai P = 0,02) secara bermakna berkaitan dengan peningkatan ambang pendengaran pada frekuensi tinggi, Setelah disesuaikan dengan faktor usia, pengaruh kadar asam folat serum (correlation coefficient = 0,01, nilai P = 0,01) cukup bermakna, sedangkan vitamin B12 (correlation coefficient = 0,01, dengan P = 0,74) tidak bermakna. Kadar asam folat serum secara bermakna lebih rendah di antara orang lanjut usia dengan gangguan pendengaran. (IWA)

REFERENSI:
Lasisi AO, Fehintola FA, Yusuf OB. Age-related hearing loss, vitamin B12, and folate in the elderly. Otolaryngol. Head and Neck Surg. 2010; 143 (6): 826-30

213

BERITA TERKINI

Cetuximab untuk Kanker Saluran Empedu


Kanker saluran empedu atau kolangiokarsinoma saat ini cukup banyak ditemukan pada keganasan sistem pencernaan, terjadi pada sekitar 10-15% penderita keganasan. Perjalanan dan sebab penyakit/patogenesis masih belum diketahui secara jelas, mungkin berkaitan dengan batu empedu, radang kronis, adenoma, polip dan sebagainya. Pembedahan merupakan salah satu pilihan terapi, namun karena penyakit ini mempunyai gejala klinis dan temuan pencitraan/ imaging yang tidak spesifik, kadang sulit didiagnosa dini dan pembedahan menjadi sulit dilakukan. Oleh karena itu kemoterapi menjadi salah satu alternatif pilihan. Studi fase II regimen kombinasi Cetuximab, dengan Gemcitabine dan Oxaliplatin (GEMOX) oleh Dr. Gruenberger dkk. dari pusat kanker Vienna, Austria menunjukkan efektivitas dan keamanan yang cukup menjanjikan pada pasien kanker saluran empedu. Temuan ini dipublikasi pada jurnal The Lancet Oncology edisi Desember 2010. Peserta studi adalah pasien kanker saluran empedu yang memiliki prognosis buruk, dan sampai saat ini tidak ada kemoterapi standar. Karena itu, para peneliti menyelidiki efektivitas dan keamanan dari regimen ini sebagai obat pilihan pertama. Penelitian dimulai dari Oktober 2006 sampai Juli 2008 di satu pusat kanker di Austria, terhadap pasien kanker saluran empedu metastasis maupun kanker lanjut yang lokal serta tidak dapat direseksi. Semua pasien menerima infus Cetuximab 500 mg/m2 intravena pada hari 1, Gemcitabine 1000 mg/m2 pada hari 1, dan Oxaliplatin100 mg/m2 pada hari ke- 2, setiap 2 minggu sekali selama 12 siklus pengobatan. Tujuan primer adalah Overall Response Rate (ORR). Analisis secara ITT (intention to treat). Adapun reaksi efek samping merujuk kepada kriteria toksisitas National Cancer Institute. Temuan dari 30 pasien dengan usia median 68 tahun (antara 62 - 73 tahun) dianalisis. Respons objektif terjadi pada 19 pasien (63%) dengan 95% CI 56,2 69,8, serta 3 di antaranya (10%) ; 95% CI : 3,2 - 16,8 dapat mencapai respon lengkap (complete response), dan 16 pasien (53%) dengan 95% CI 46,2 59, 8 mencapai respons sebagian. Sebanyak 9 pasien menjalani kuratif potensial dari reseksi sekunder setelah respon pengobatan utama. Efek samping derajat 3 tercatat pada 13 pasien dengan ruam kulit (n = 4), neuropati perifer (n = 4), trombositopenia (n = 3), nausea (n = 1), diare (n = 1), dan neutropenia (n = 1), tidak tercatat efek samping derajat 4. Studi menunjukkan bahwa Cetuximab ditambah kombinasi GEMOX dapat ditoleransi dan mempunyai kemampuan sebagai aktivitas anti tumor; untuk mengetahui efektivitas kombinasi Cetuximab dan GEMOX masih diperlukan studi yang lebih luas. (IWA)

REFERENSI : Gruenberger B et al. Cetuximab, gemcitabine, and oxaliplatin in patients with unresectable advanced or metastatic biliary tract cancer: a phase 2 study Lancet Oncology 2010; 11 (12): 1142 1148

214

C DK 184/V o l .38 no .3/Ap r il 2011

BERITA TERKINI

Evaluasi Nilai Ekonomis Ondansetron untuk Gastroenteritis pada Anak


Jikalau biasanya efektivitas pemberian ondansetron ditinjau secara klinis yang melibatkan para peneliti di bidang medis, laporan barubaru ini mencoba menilai nilai ekonomis penggunaan ondansetron pada kasus anak dengan gastroenteritis, dan evaluasi dilakukan oleh seorang analis ekonomi yang bekerjasama dengan klinisi di Kanada. Gastroenteritis pada anak seringkali disebabkan oleh infeksi virus terutama pada musim hujan, dengan simptom dominan ada- lah diare dan muntah, kedua gejala ini dapat menimbulkan komplikasi dehidrasi yang akan semakin memperburuk kondisi klinis bahkan menyebabkan kematian. Pada beberapa kasus gastroenteritis dapat ditangani secara efektif hanya dengan memberikan cairan rehidrasi oral, tetapi pada kasus yang lebih berat, pemberian cairan intravena amatlah dibutuhkan. Pemberian terapi antiemetik bertujuan untuk mengatasi gejala muntah sehingga komplikasi dehidrasi dapat ditekan. Latar belakang penelitian ini adalah adanya pemikiran selama ini bahwa terapi ondansetron mahal, sehingga sering dipertanyakan apakah hasilnya sesuai dengan biaya yang telah dikeluarkan.
C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r il 20 11

Hasil studi dr. Stephen B. Freedman dari Universitas Toronto yang telah dipublikasikan dalam Jurnal PLos Medicine menunjukkan hasil cukup mencengangkan karena ternyata pemberian ondansetron pada kasus anak dengan gastroenteritis dengan muntah persisten tidak hanya menurunkan kebutuhan cairan infus pasien tetapi secara ekonomis juga menghemat anggaran hingga jutaan dollar setiap tahun. Hasil analisis menggunakan metode decision tree analysis menunjukkan bahwa untuk Amerika terapi ondansetron pada kasus gastroenteritis anak mengurangi hingga: 29.246 tindakan pemberian cairan infus 7.220 kasus rawat inap setiap tahunnya, Penghematan hingga 65,6 juta USD/tahun yang semestinya ditanggung pasien Penghematan 61,1 juta USD/tahun yang semestinya ditanggung pihak asuransi. Sedangkan di Kanada terapi ondansetron mengurangi : 4.065 tindakan pemberian cairan infus dan 1003 kasus rawat inap setiap tahunnya, Penghematan 1,72 dolar Kanada/tahun yang harus ditanggung pasien Penghematan 1,18 juta dollar Kanada/tahun yang harus dibayarkan dari pihak asuransi.

Ondansetron tidak hanya efektif mengurangi kebutuhan cairan intravena dan angka kejadian rawat inap, tetapi juga secara ekonomis juga dapat mengurangi beban pengobatan pada pasien anak dengan kasus gastroenteritis dengan muntah persisten. (DHS)

REFERENSI:
1. Anti-Vomiting Drug Could Prevent Thousands Of Hospitalizations, Save Millions Of Dollars. http://www.medical newstoday.com : October 15th 2010 2. Pediatric Ondansetron Administration In Emergency Departments Has Economic Advantage. http://www.medicalnews today.com : October 13th 2010

215

BERITA TERKINI

Losartan Menurunkan Risiko Diabetes pada Pasien Hepatitis C


ata memperlihatkan bahwa pasien HCV (Hepatitis C Virus) positif mengalami peningkatan risiko diabetes tipe 2, dibandingkan dengan yang tidak menderita HCV positif. Data lain juga menunjukkan hubungan antara infeksi HCV dengan diabetes melitus tipe 2, hubungan terbesar pada pasien-pasien dengan usia 35-49 tahun dan meningkat bila disertai dengan gangguan ginjal berat. Obat-obat golongan ARB (Angiotensin Receptor Blockers) dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan metabolisme glukosa dan lemak. Namun apakah obat golongan ARB seperti losartan dapat menurunkan kejadian diabetes melitus pada pasien HCV belum diketahui. Dr. Yasuji dan rekan dari Toranomon Hospital di Tokyo, Jepang meneliti kejadian dan prediksi kumulatif terjadinya diabetes tipe 2 pada penderita HCV positif, yang juga menderita hipertensi dan diterapi losartan. Hasilnya telah dipublikasikan dalam Journal of Medical Virology. Penelitian melibatkan 240 pasien yang dibagi menjadi 2 kelompok: 1) kelompok losartan (n=80), yang mendapatkan terapi losartan dengan dosis 50 mg sehari; dan 2) kelompok spironolakton, yang bertindak sebagai kelompok kontrol (n=160). Masa follow up rata-rata adalah 5 tahun. Selama penelitian berlangsung, dilakukan pemeriksaan kadar gula darah puasa maupun sewaktu. Hasil-akhir (end-point) primernya adalah onset terjadinya diabetes. Evaluasi dilakukan menggunakan metode Kaplan Meier dan Cox proportional hazards analysis. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa lebih banyak penderita diabetes baru pada kelompok spironolakton dibandingkan dengan kelompok losartan. (tabel 1) Selain itu dalam analisa multivariat, hazard ratios terjadinya diabetes tipe 2 meningkat dengan terapi spironolakton, bila pasien menderita perlemakan hati, atau pada pasien dengan pre-diabetes (tabel 2).

Losartan (n=80) Jumlah penderita diabetes tipe 2 baru. Angka kumulatif onset terjadinya diabetes dalam 5 tahun Angka kejadian vaskular 3 pasien 5,4% 2 pasien

Spironolakton (n=160) 22 pasien 14,4% 6 pasien

Tabel 1. Perbandingan jumlah penderita diabetes tipe 2 baru, angka kumulatif onset terjadinya diabetes dalam 5 tahun dan angka kejadian vaskular antara kelompok terapi losartan dengan kelompok terapi spironolakton.

HR; 95% CI; dan nilai p Terapi spironolakton Perlemakan hati Pra-diabetes HR= 6,10; 95% CI = 1,7820,84; P=0,004 HR= 3,28; 95% CI = 1,477,27; P=0,004 HR= 2,47; 95% CI = 1.085.63; P=0,032

b l 2. Analisis li i multivarian l i i memperlihatkan lih k peningkatan i k i ik terjadinya j di di b i 2 meningkat i k d Tabel risiko diabetes tipe dengan terapi spironolakton, bila pasien menderita perlemakan hati, atau pada pasien dengan pra-diabetes. HR= Hazard ratio;95% CI= 95% confidence interval.

Pada kelompok terapi losartan terjadi penurunan risiko terjadinya diabetes melitus sebesar 60% dibandingkan dengan kelompok terapi spironolakton. Pemberian losartan pada pasien-pasien penderita HCV positif dan hipertensi menurunkan onset terjadinya diabetes tipe 2. Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan jumlah pasien yang lebih banyak serta meneliti hubungan antara efek pemberian spironolakton terhadap peningkatan risiko terjadinya diabetes mellitus tipe 2. Simpulan: Losartan menurunkan risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2 pada pasien penderita hepatitis C dengan hipertensi. Penelitian lanjutan peru dilakukan dengan jumlah pasien yang lebih banyak dan juga meneliti peningkatan risiko diabetes melitus pada pasien yang diterapi dengan spironolakton. (YYA)

REFERENSI:
1. Arase Y, Suzuki F, Suzuki Y, Akuta N, Kobayashi M, Kawamura Y, et al. Losartan reduces the onset of type 2 diabetes in hypertensive Japanese patients with chronic hepatitis C. Medical Virology 2009; 81(9): 158490. 2. Wang SC, Wang ST, Yao WJ, Chang TT, Chou P. Community-based Study of Hepatitis C Virus Infection and Type 2 Diabetes: An Association Affected by Age and Hepatitis Severity Status. Am. J. Epidemiol. 2003; 158: 1154 60. 3. Medscape. Losartan Lowers Diabetes Risk in Patients With Hypertension and HCV. [cited 2010 October 26]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/ 707793 4. Wilson C. Hepatitis C Infection and Type 2 Diabetes in American-Indian Women. Diabetes Care 2004; 27:21169.

216

C DK 184/V o l .38 no .3/Ap r il 2011

BERITA TERKINI

Manfaat Probiotik
Untuk mengevaluasi pembuktian probiotik
pada diare akut, peneliti mengumpulkan data berbagai penelitian yang terdaftar hingga Juli 2010 dari Cochrane Controlled Trials Register (The Cochrane Library Issue 2, 2010), MEDLINE (1966 - Juli 2010), EMBASE (1988 - Juli 2010) dan bibliografi dari berbagai studi dan ulasan yang telah ada sebelumnya. Selain itu berbagai pakar probiotik dari perusahaan farmasi juga dilibatkan. Kriteria penelitian yang masuk kriteria inklusi adalah studi acak, dengan pembanding plasebo untuk kasus diare akut karena infeksi. Dua peneliti secara independen mengevaluasi kualitas metodologi penelitian dan sumber data yang diekstrasi dari studi yang masuk kriteria inklusi. Tujuan utama evaluasi ini adalah untuk menganaliasa durasi diare, frekuensi BAB pada hari ke 2 dan ke 4. Sejumlah 63 penelitian masuk ke dalam kriteria inklusi dengan total cakupan pasien sejumlah 8014 pasien, 53 penelitian merupakan penelitian pada bayi dan anak. Meskipun efek yang dihasilkan memiliki variasi dari berbagai studi, akan tetapi secara keseluruhan probiotik secara bermakna mengurangi rata-rata durasi diare (tabel)
Jumlah studi yang dievaluasi Jumlah Sampel Rerata perbedaan durasi diare vs kontrol (jam) Kemaknaan

35

4555

24,76

95% confidence interval [CI], 15.9 - 33.6 jam

Probiotik juga menurunkan diare yang berlangsung sedikitnya selama 4 hari (risk ratio, 0.41; 95% CI, 0.32 - 0.53; n = 2853; jumlah penelitian yang dievaluasi = 29) dan mengurangi frekuensi buang air besar pada hari ke 2 (rerata perbedaan=0.80; 95% CI, 0.45 - 1.14; n = 2751; jumlah penelitian yang dievaluasi = 20). Tidak ditemukan perbedaan efek samping yang bermakna dengan kelompok plasebo. Keterbatasan evaluasi ini adalah adanya variasi yang besar dalam metodologi dan jenis penelitian, heterogenisitas statistik yang persisten dalam analisis subgrup dan kurangnya analisis terhadap dampak biaya. Selain itu tidak ada pembedaan terhadap jenis strain yang digunakan, jumlah konsumsi probiotik, penyebab dan keparahan diare.

Dari evaluasi ini disimpulkan bahwa pemberian probiotik aman dan bermanfaat dalam mempersingkat durasi diare dan menurunkan frekuensi buang air besar pada kasus diare akut karena infeksi. Penelitian lanjutan sebaiknya membedakan strain yang digunakan. Hasil evaluasi skala besar ini semakin memperkuat EBM probiotik pada kasus diare sehingga tidak mustahil dalam masa mendatang probiotik dapat masuk guideline WHO dalam penanganan kasus diare. (DHS)
REFERENSI:
1. Barclay, L. Probiotics May Shorten Acute Diarrheal Episodes. http://www.medscape.com. Article submitted on November 12th 2010 2. Probiotics for treating acute infectious diarrhoea. Cochrane Database Syst Rev. Published online November 10, 2010. http://www2.cochrane.org/reviews/en/ab003048.html

218

C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

BERITA TERKINI

Rekomendasi Multidisciplinary Panel on Acute and Chronic Pain tentang Penggunaan Paracetamol untuk Kasus OA
ultidisciplinary Panel on Acute and Chronic Pain, yang terdiri dari para ahli dari Asia Pasifik, pada tahun 2010 mendiskusikan penggunaan paracetamol untuk mengatasi nyeri akut dan kronik pada osteoartritis (OA), termasuk dosis dan penggunaannya pada populasi pasien tertentu. Osteoartritis (OA) lebih dari sekedar penyakit degeneratif pada persendian, faktor biomekanik juga sangat berperan pada onset dan progresivitas penyakit. Rasa nyeri yang dialami oleh pasien OA lutut kebanyakan disebabkan oleh pergerakan atau pembebanan pada sendi. Karena itu penanganan OA harus memperhatikan faktor biomekanik, dan intervensi nonfarmakologis juga harus dilakukan. Penanganan OA dengan obat, khususnya pada pasien lanjut usia merupakan tantangan untuk menentukan jenis yang paling baik dalam meredakan gejala OA dengan efek samping yang minimal. Dua review Cochrane terbaru menunjukkan bahwa parasetamol efektif mengatasi rasa nyeri akut. Review pertama mengambil data dari 51 studi dan menemukan bahwa parasetamol efektif mengatasi rasa nyeri pada periode +/- 4 jam untuk 50% pasien yang mengalami nyeri sedangberat setelah operasi (termasuk operasi gigi). Review kedua mengambil data dari 21 studi dengan total peserta penelitian lebih dari 2000 orang, menilai efikasi parasetamol dalam mengatasi rasa nyeri setelah operasi pengangkatan gigi molar 3 bawah (geraham bungsu). Peneliti menyimpulkan bahwa parasetamol meredakan nyeri secara signifikan pada waktu 4 dan 6 jam setelah operasi (berbeda bermakna dibandingkan dengan plasebo).

Uji klinis yang berbeda mencoba mengetahui apakah kombinasi parasetamol dengan ketoprofen lebih efektif dan dapat ditoleransi lebih baik dibandingkan dengan pemberian paracetamol atas ketoprofen tunggal dalam penanganan nyeri pasca-operasi gigi. Pasien diacak untuk menerima ketoprofen 100 mg + parasetamol 1.000 mg, ketoprofen 100 mg, parasetamol 1.000 mg, atau plasebo oral dosis tunggal. Hasilnya: Ketoprofen 100 mg + parasetamol 1.000 mg memberikan efek analgesia yang paling cepat onsetnya pada pasien pasca operasi gigi. Dosis maksimal parasetamol dalam 1x pemberian oral dengan formula immediate release adalah 1 g, sedangkan untuk formula sustained release adalah 1,33 g. Parasetamol dapat digunakan sebagai alternatif pertama untuk penanganan nyeri OA, seperti direkomendasikan pada beberapa guideline internasional. Bukti klinis menunjukkan bahwa pada pasien OA, pemberian parasetamol me-

miliki efikasi yang setara dengan NSAID dalam penanganan nyeri sendi, dan tidak terkait dengan perdarahan saluran cerna bagian atas. Guideline internasional menganjurkan dosis harian maksimum parasetamol (formula standar 500 mg/tablet) adalah sebesar 4 g/hari, sedangkan untuk formula slow release, dosis harian maksimum sebesar 3,9 g/hari. Beberapa data menganjurkan formula yang bekerja dalam jangka waktu lebih panjang (slow release) untuk kepatuhan pasien yang lebih baik dan pencapaian level terapi. Panel menganjurkan penggunaan parasetamol selama 3-4 minggu untuk menilai efektivitasnya sebelum mengubah atau menambahkan obat lain. Studi menunjukkan pada pasien penyakit hati kronik/chronic liver disease (CLD), waktu paruh asetaminofen/parasetamol menjadi lebih panjang, aktivitas sitokrom P450 tidak meningkat, dan cadangan glutation tidak berkurang sampai ke level kritis.

Gambar 1. Perbandingan parasetamol dengan NSAID dalam penanganan nyeri ringan-sedang pada OA.

220

C DK 184/V o l .38 no .3/Ap r il 2011

BERITA TERKINI

Penggunaan parasetamol pada pasien CLD yang stabil tidak menunjukkan akumulasi obat atau hepatotoksitas, juga tidak menunjukkan efek samping. Tidak diperlukan pengurangan dosis parasetamol pada pasien CLD yang stabil, sedangkan pada pasien CLD lanjut, karena potensi efek hepatotoksik, dosis harian parasetamol dianjurkan tidak melebihi 2-3 g/hari, dan untuk pasien alkoholik, dosis harus di bawah 2g/hari.

Pada kelompok lanjut usia, menurut American Geriatric Society (AGS), parasetamol merupakan pilihan analgesik pertama, dengan dosis maksimal 4 g/hari, dan sebaiknya dikurangi menjadi 2-3 g/hari pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau dengan riwayat konsumsi alkohol berlebih. Parasetamol juga merupakan pilihan analgesik yang dapat dipakai berulang untuk pasien gangguan fungsi ginjal, menurut National Kidney Foundation (USA).

Parasetamol memiliki waktu paruh 2-4 jam. Dosis tunggal parasetamol dapat dibersihkan oleh tubuh dalam waktu 24-36 jam, dosis berulang dapat dibersihkan dalam waktu 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan jangka panjang tidak menimbulkan akumulasi obat dalam tubuh. Bukti klinis menunjukkan bahwa penggunaan paracetamol dalam jangka panjang juga tidak menimbulkan efek toleransi obat maupun ketergantungan.

Simpulan : Bukti klinis menunjukkan bahwa parasetamol merupakan analgesik yang aman dan efektif dalam mengatasi nyeri osteoartritis akut dan kronik. Parasetamol aman pada pasien dengan gangguan fungsi hati, ginjal, dan juga pada kelompok pasien lanjut usia. Efek samping parasetamol minimal, penggunaan jangka panjang tidak menyebabkan akumulasi obat dalam tubuh, dan tidak menimbulkan efek toleransi atau ketergantungan. (AGN)
REFERENSI :
1. Chin CY, Keith CKW, Liu CJ, Isbagyo H, Othman M, Luan TV. Recommendations for the Use of Paracetamol in Acute and Chronic Pain. Medical Progress. Available from : http://www.mims.com/ Page.aspx?menuid=PublicationTopic&PubGroup=Medical%20Progress&Publication=Medical%20Progress&Issue=2010-12&Topic=Recommendations+for+the+Use+of+Paracetamol+in+ Acute+and+Chronic+Pain&PubGroupCountry=HK,%20ID,%20IN,%20MY,%20PH,%20SG,%20TH,%20TW,%20VN&HT=73fa4128ac0f65658680b53cb1afee1a. 2. Zhang W, Moskowitz RW, Nuki G, et al. OARSI recommendations for the management of hip and knee osteoarthritis, Part II: OARSI evidence-based, expert consensus guidelines. Osteoarthritis Cartilage 2008;16:137162. 3. Temple AR, Benson GD, Zinsenheim JR, etla. Multicenter, randomized, double-blind, active-controlled, parallel-group trial of the long-term (6-12 months) safety of acetaminophen in adult patients with osteoarthritis. Clin Ther 2006;28:222235. 4. Weil K, Hooper L, Afzal Z, et al. Paracetamol for pain relief after surgical removal of lower wisdom teeth. Cochrane Database Syst Rev 2007;(3):CD004487. 5. Akural EL, Jrvimki V, Lnsineva A, et al. Effects of combination treatment with ketoprofen 100 mg + acetaminophen 1000 mg on postoperative dental pain: a single-dose, 10-hour, randomized, double-blind, active- and placebo-controlled clinical trial. Clin Ther 2009;31:560568. 6. Chia YC, Ng CJ, Rabia K, et al. Efficacy and tolerability of paracetamol extend in mild to moderate osteoarthritis of the knees. J Rheumatol 2006;9(suppl 1):A116.

C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r i l 2011

221

BERITA TERKINI

Testosteron dan Probiotik Risiko Demensia Manfaat


enyakit Alzheimer merupakan salah satu penyebab demensia; penderitanya akan menjadi pelupa dan bingung serta dapat mengalami perubahan suasana hati seperti perasaan sedih, dll. Kadar Testosteron atau bioavailable testosterone (BT) serum, dapat dipakai untuk memperkirakan risiko terjadinya penyakit Alzheimer pada pria paruh baya, demikian yang diungkap dalam hasil penelitian Dr. Morley dan rekan-rekan dari Hongkong yang dipublikasi dalam J Alzheimers Dis. edisi 2010. Mereka meneliti 153 pria China berusia 55 tahun atau lebih (rerata usia 72,7 tahun) yang hidup dalam komunitas serta tidak menderita demensia yang direkrut antara Januari 2004 sampai November 2006. Pemeriksaan fisik dan neurologi awal seluruh partisipan studi dilakukan di klinik Memori RS Queen Mary , Hongkong - China, menggunakan Mini-Mental State Examination versi Cina, subskala AD Assessment Scale-cognitive dan tes Delayed 10-Word Recall. Juga diukur kadar Testosteron bioavailabel, testosteron total (TT), sex hormone binding globulin (SHBG) dan apolipoprotein E (ApoE).

Adjusted relative risk (RR) untuk penyakit Alzheimer sebesar 1,04 untuk tekanan darah sistolik, dan sekitar 5,04 untuk genotipe ApoE e4. SHBG tidak ditemukan sebagai faktor risiko independen. Kadar testosteron (BT) menjadi faktor perlindungan independen untuk penyakit Alzheimer (adjusted RR = 0,22; 95% CI 0,07 0,69). Terdapat perbedaan bermakna pada kadar bioavailable tetosterone antara kelompok kognitif normal dan subkelompok MCI yaitu 1,84 0,11 berbanding 1,14 0,11 nmol/L, (P <0,05); peningkatan kadar testosteron serum 1 nmol/L dapat mengurangi risiko terjadinya penyakit Alzheimer dalam 1 tahun sebesar 78% (95% CI 31% 93%). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada kadar serum testosteron total dan kadar SHBG kedua kelompok. (IWA)

Selama follow-up 1 tahun, demensia dan penyakit Alzheimer (AD) didiagnosis menggunakan kriteria National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke and Alzheimer's Disease and Related Disorders Association. Selain itu juga dilakukan scan otak. Meskipun tidak satupun menderita demensia pada baseline, 47 ( sekitar 31%) memiliki gangguan kognitif ringan. Setelah 1 tahun, ditemukan 10 pria menderita demensia dan penyakit Alzheimer, sedangkan 7 menunjukkan atrofi serebral.

REFERENSI: Chu L-W, Tam S, Wong RLC, Yik P-Y, Song Y, Cheung B MY, Morley JE, Lam KSL. Bioavailable Testosterone Predicts a Lower Risk of Alzheimers Disease in Older Men. J. Alzheimer's Dis. 2010; 21 (4)

222

C DK 184/V o l .38 no .3/Ap r il 2011

BERITA TERKINI

CRASH 2: Asam Traneksamat Mengurangi Risiko Kematian Pasien Trauma


emberian asam traneksamat pada pasien trauma dengan atau berrisiko perdarahan bermakna, dapat mengurangi risiko kematian karena semua sebab (all cause mortality). Demikian hasil penelitian CRASH-2 (Clinical Randomisation of an Antifibrinolytic in Significant Haemorrhage 2) CRASH-2 trial collaborators Haleema Shakur dkk. Penelitian ini telah dipublikasikan online dalam Lancet Juni 2010. Penelitian CRASH-2 adalah penelitian acak terkontrol di 274 rumah sakit di 40 negara, melibatkan 20.211 pasien trauma dewasa dengan, atau memiliki risiko, perdarahan yang bermakna. Semua pasien secara acak diterapi dengan asam tranexamat (loading dose 1 gram dalam 10 menit, dilanjutkan dengan infus asam tranexamat 1 gram dalam 8 jam, n=10.060), atau dengan plasebo (n=10.067). Terapi diberikan dalam rentang 8 jam setelah kecelakaan terjadi. Hasil akhir primer (primary outcome) penelitian ini adalah kematian di rumah sakit dalam 4 minggu setelah kecelakaan, yang ditandai dengan perdarahan, oklusi vaskular (infark miokard, stroke dan emboli pulmonal), kegagalan multiorgan, trauma kepala dan lain-lain. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kematian karena semua sebab dan risiko perdarahan berkurang secara bermakna dalam kelompok terapi, dibandingkan dengan kelompok plasebo. Manfaat asam tranexamat ini tidak disertai dengan peningkatan kejadian oklusi vaskular, kegagalan multiorgan, yang tidak berbeda bermakna dengan kelompok plasebo. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pemberian asam tranexamat pada awal kejadian
C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r il 20 11

Asam traneksamat (n=10.060) Kematian karena semua sebab Perdarahan Oklusi Vaskular (infark miokard, stroke dan emboli pulmonal) Cedera kepala Kegagalan multi-organ 1463 (14,5%) 489 (4,9%)

Plasebo (n=10.067) 1613 (16,0%) 574 (5,7%)

RR (95% CI)

Nilai p

0,91 (0,850,97) 0,85 (0,760,96)

0,0035 0,0077

33 (0,3%)

48 (0,5%)

0,69 (0,441,07)

0,096

603 (6,0%) 209 (2,1%)

621 (6,2%) 233 (2,3%)

0,97 (0,871,08) 0,90 (0,751,08)

0,60 0,25

Tabel 1. Perbandingan kematian karena sebab (death by cause) antara kelompok asam tranexamat dengan kelompok plasebo; RR= relative risk; CI=.confidence interval.

trauma pada pasien dengan, atau memiliki risiko, perdarahan dapat mengurangi risiko kematian karena semua sebab tanpa disertai peningkatan kejadian oklusi vaskular. Selain merekomendasikan pemberian asam tranexamat untuk mengatasi perdarahan pada pasienpasien trauma, Para peneliti CRASH-2 menyarankan agar pilihan untuk menggunakan asam tranexamat hendaknya tersedia bagi semua dokter yang menangani trauma. Para ahli dalam penelitian ini juga menyarankan agar asam tranexamat dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam daftar obat-obat esensial WHO (World Health Organization). Hasil penelitian CRASH 2 ini mendapat banyak tanggapan, di antaranya dari dr. Jerrold Levy dari Emory University, USA, Anesthesiology & Pain Management, yang mengatakan bahwa penelitian ini sangat penting karena merupakan penelitian pertama yang menunjukkan perbaikan outcome terapi antifibrinolitik. pada pasien trauma.

Simpulan: Asam traneksamat pada pasien-pasien trauma dengan, atau memiliki risiko, perdarahan bermakna, mengurangi risiko kematian karena semua sebab. Manfaat asam traneksamat ini tidak disertai dengan peningkatan kejadian oklusi vaskular. Para peneliti menyarankan agar pilihan untuk menggunakan asam traneksamat hendaknya tersedia bagi semua dokter yang menangani masalah trauma. (YYA)
REFERENSI:
1. CRASH-2 trial collaborators. Effects of tranexamic acid on death, vascular occlusive events, and blood transfusion in trauma patients with significant haemorrhage (CRASH-2): a randomised, placebo-controlled trial. www. thelancet.com Published online June 15, 2010 2. HemnOnc Today.CRASH-2:Tranexamic acid decreased mortality in t r a u m a patients at risk for bleeding. [cited 2010 August 22]. Available from: http://www.hemonctoday.com/article.aspx?rid=65550 3. Medscape Cardiology. Effects of Tranexamic Acid On Death, Vascular Occlusive Events, And Blood Transfusion In Trauma Patients With Significant Haemorrhage (CRASH-2). F1000: Ranked "Exceptional" and "Changes Clinical Practice". [cited 2010 August 22]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/724800 4. NGpharma. Tranexamic acid could save 100,000 lives a year. [cited 2010 August 22]. Available from: http://www.ngpharma.eu.com/news/ tranexamic-acid-could-save-100000-lives-a-year/

223

BERITA TERKINI

Terapi Infeksi Fungal Invasif


Angka kejadian penyakit infeksi jamur invasif terus meningkat saat ini. Berbagai faktor yang berperan terhadap hal ini, antara lain peningkatan penyakit AIDS, pemakaian antibiotik irasional, terapi keganasan serta peningkatan kasus immunocompromised yang dihubungkan dengan proses transplantasi organ tubuh. Data menunjukkan bahwa angka kematian akibat infeksi jamur dapat mencapai 75 sampai 100 %, sehingga hal ini menjadi sebuah tantangan besar bagi dunia kedokteran dan farmasi tentunya 1. Infeksi Fungal Invasif (IFI) seperti aspergillosis invasif, kandidiasis invasif, dan meningitis kriptokokus merupakan suatu ancaman serius setelah program transplantasi, seperti pada transplantasi sel hematopoietik alogenik. Sehingga diperlukan obat-obatan, baik oral maupun suntikan untuk pengobatan infeksi fungal/jamur tersebut. Namun resistensi antimikotik, merupakan suatu masalah, sama halnya masalah resistensi infeksi bakteri. Diagnosis mikologik yang lebih cepat serta lebih lengkap, dan perbaikan terhadap estimasi risiko yang mendasari akan meningkatkan keberhasilan pengobatan. Keterbatasan agen anti jamur saat ini merupakan peluang bagi perkembangan baru pengobatan infeksi jamur yang bersifat invasif. Para peneliti yang dipimpin oleh Dr. Wingard dari Universitas Florida, Amerika Serikat melakukan studi multisenter untuk menilai penggunaan antifungal Fluconazole dan Voriconazole terhadap pencegahan infeksi jamur invasif, terutama setelah transplantasi sel darah hematopoetik alogenik. Hasil studi penelitian ini dipublikasikan dalam Blood vol 116 edisi December 2010; ringkasannya sebagai berikut. Penelitian Wingard dkk. merupakan penelitian multisenter, acak dan buta ganda yang membandingkan fluconazole (n = 295) dengan voriconazole (n = 305) terhadap pencegahan infeksi fungal invasif dalam konteks program skrining jamur yang terstruktur. Pasien yang melakukan transplantasi sel hematopoetik myeloablatif alogenik secara acak sebelum mendapatkan transplantasi mendapatkan obat studi ini selama 100 hari atau selama 180 hari untuk pasien yang mempunyai risiko lebih tinggi. Serum galactomannan (GM) diassay 2 kali seminggu untuk 60 hari , dan kemudian setiap minggu sampai hari ke -100. Serum GM yang positif atau gejala-gejala klinis menjadi pertimbangan dalam evaluasi infeksi fungal invasif ini. Hasil akhir primer adalah bebas infeksi fungal invasif atau kematian, yakni fungal-free survival, FFS selama 180 hari. 2 Hasil menunjukkan, meskipun kecenderungan lebih sedikit infeksi fungal invasif (7,3% vs 11,2%, p = 0,12), infeksi Aspergillus (9% vs 17%, p = 0,09), dan frekuensi pengobatan antifungal empirik (24,1% vs. 30,2%, p = 0,11) dengan voriconazole, namun rate FFS (75% vs 78%, p = 0,49) pada 180 hari adalah serupa pada penggunaan fluconazole maupun voriconazole. Relapse- free dan overall survival (OS) serta insidens dari efek samping adalah serupa. Studi ini menunjukkan bahwa penggunaan profilaksis Fluconazole dan Voriconazole pada pasien yang menjalani transplantasi sel hematopoitik alogenik, dalam konteks monitoring intensif serta pengobatan empirik antifungal terstruktur menghasilkan FFS dan OS 6 bulan yang tidak berbeda. (IWA)
REFERENSI : 1. Garber G. An overview of fungal infections. Drugs 2001;61(Suppl 1): 1 12. 2. Wingard JR et al. Randomized double-blind trial of fluconazole versus voriconazole for prevention of invasive fungal infection (IFI) after allo hematopoietic cell transplantation (HCT). Blood, 9 December 2010; 116( 24): 5111-5118.

224

C DK 184/V o l .38 no .3/Ap r il 2011

BERITA TERKINI

Amantadine Mengurangi Depresi dan Memperbaiki Kualitas Hidup


Amantadine memiliki efek yang sama dengan
fluoxetine sebagai terapi depresi mayor (major depressive disorder, MDD). Pernyataan ini disampaikan pada pertemuan the Congress of the European College of Neuropsychopharmacology (ECNP) ke-23; merupakan hal yang sangat menarik, karena amantadine dalam praktik tidak diindikasikan sebagai terapi untuk depresi. Dr. Angel Alberto Ruiz-Chow dkk. dari Department of Neuropsychiatry, National Institute of Neurology and Neurosurgery, Mexico City, Meksiko, melakukan sebuah penelitian acak, tersamar ganda, untuk meneliti efek antidepresi monoterapi amantadine dibandingkan dengan fluoxetine.Penelitian ini melibatkan 49 pasien gangguan depresi mayor yang secara acak diterapi dengan amantadine 100-200 mg/hari (n=24) atau flu- oxetine 20-40 mg/hari (n=21). Penilaian dilakukan dengan menggunakan the Hamilton Depression Rating Scale dan the Spitzer Quality of Life Index. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kedua kelompok terapi mengalami penurunan nilai dibandingkan baseline. Penilaian the Spitzer Quality of Life Index juga menunjukkan perbaikan pada kedua kelompok terapi bila dibandingkan dengan baseline.
C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r i l 2011

Kelompok Amantadine (n=24) Penurunan nilai the Hamilton Depression Rating Scale Peningkatan nilai the Spitzer Quality of Life Index Angka kejadian dropout pasien dari penelitian 55,5%

Kelompok Fluoxetine (n=21) 58,3%

Nilai p

P = 0,0001* P = 0,0001*

45,6%

44,6%

16,6%

20,8%

NS**

Tabel 1. Perbandingan perbaikan gejala depresi dan efek samping antara kelompok terapi amantadine dengan fluoxetine. (*) = masing-masing terapi vs baseline; (**) = amantadine vs fluoxetine; NS= not significant.

Terapi efek antidepresi dan perubahan Arizona Sexual Experience Scale tidak berbeda bermakna (p=0,51 untuk efek antidepresi dan p=0,33 untuk perubahan Arizona Sexual Experience Scale).Walau jumlah pasien yang dilibatkan tidak banyak, para ahli menemukan bahwa pria memberikan respons terapi lebih baik. Tidak ada efek samping berat dalam penelitian ini. Angka kejadian dropout tidak berbeda antara kelompok yang diterapi dengan amantadine dengan kelompok yang diterapi dengan fluoxetine. Hasil penelitian ini sangat menarik, namun penelitian yang lebih besar dengan durasi yang lebih lama perlu dilakukan untuk mengetahui lebih banyak mengenai efek amantadine terhadap pasien-pasien depresi.

Simpulan: Walau tidak diindikasikan sebagai terapi depresi, amantadine memiliki efek yang sama dengan fluoxetine pada pasien depresi mayor. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui lebih banyak efek amantadine pada pasien depresi. (YYA)
REFERENSI :
1. Docguide. Amantadine May Have Antidepressant Effects: Presented at ECNP. [cited 2010 October 29]. Available from: http://www.docguide.com/news/content.nsf/news/ 852576140048867C8525779300777E58?OpenDocument &id=48DDE4A73E09A969852568880078C249&c=Clinical %20Pharmacology&count=10 2. Medscape. FDA Safety Changes: Comtan, Stalevo, Tasmar, Symmetrel, Xenical, Casodex News. [cited 2010 October 29]. Available from: FDA Safety Changes Comtan, Stalevo, Tasmar, Symmetrel, Xenical, Casodex.htm

225

BERITA TERKINI

Risperidon sebagai Terapi Tambahan Depresi Mayor


MDD merupakan salah satu penyebab utama
disabilitas, yang hingga kini mempengaruhi kurang lebih 121 juta orang.. Walaupun obatobat golongan SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) merupakan terapi lini utama untuk pasien-pasien dengan depresi, namun terapi tersebut tidak efektif pada 30 40% pasien. Untuk meningkatkan remisi dan memperbaiki respon terapi, direkomendasikan penggantian obat lama dengan obat lain yang masih termasuk satu golongan, pemberian terapi kombinasi, dan pemberian terapi tambahan seperti dengan hormon tiroid atau obat-obat golongan antipsikotik atipikal seperti risperidon. Risperidon bekerja menghambat reseptor serotonin dan dopamin. Di Amerika Serikat risperidon telah disetujui pemberiannya sebagai terapi untuk mengatasi mania bipolar dan skizoferenia. Penelitian tersamar ganda, acak, multisenter oleh dr. Ramy Mahmoud dkk meneliti efek risperidone sebagai terapi tambahan pada pasien MDD. Pasien-pasien dalam penelitian ini telah mendapatkan terapi sebelumnya (n=274; secara acak diterapi dengan plasebo atau risperidon. Terapi risperidon dimulai dengan dosis 0,25 mg sehari dan ditingkatkan menjadi 0,5 mg hingga 1,0 mg. Penelitian berlangsung selama 6 minggu. Pada kasus-kasus tertentu dosis ditingkatkan hingga 2 mg sehari setelah 4 minggu penelitian. Para peneliti menggunakan penilaian HRSD (Hamilton Rating Scale for Depression), CGI-S (the Clinical Global Impression Severity of Illness) dan pemeriksaan lainnya yang berhubungan dengan penilaian kualitas hidup untuk menilai gejala depresi. Hasil penelitian setelah 6 minggu memperlihatkan bahwa gejala depresi lebih ringan pada kelompok terapi risperidon dibandingkan dengan kelompok plasebo Pada minggu ke-4, perbedaan rata-rata derajat beratnya depresi antara kelompok terapi risperidon dengan plasebo adalah -1,9 (p=0,006) dan pada minggu ke-6 adalah -2,8 (p<0,01). Selain itu gejala depresi berkurang lebih banyak pada pasien yang diberi terapi tambahan risperidon dibandingkan dengan yang mendapatkan plasebo. Selain itu proporsi pasien yang responsif terhadap terapi lebih besar pada kelompok terapi risperidon.
Penurunan gejala depresi minggu ke-4 Penurunan gejala depresi minggu ke-6 Proporsi pasien yang berespon terhadap terapi minggu ke-4 Proporsi pasien yang berespon terhadap terapi minggu ke-6
Kelompok Risperidon Kelompok Plasebo Nilai p

13,6% 24,5% 35,6% 46,2%

6,0% 10,7% 18,8% 29,5%

= 0,006 <0,01 = 0,002 = 0,004

Tabel 1. Perbandingan perbaikan gejala depresi serta proporsi pasien yang berespon terhadap terapi antara kelompok risperidon dengan kelompok plasebo.
Kelompok Risperidon

Kelompok Plasebo 14,5% 2% 1%

Sakit kepala Somnolen Mulut kering

8,8% 5% 5%

Dalam penelitian-penelitian ini, risperidon digunakan dalam rentang dosis 0,25 hingga 2 mg/hari. Efek samping yang paling sering ditemukan sehubungan dengan terapi risperidon adalah nyeri kepala, mulut kering dan penurunan nafsu makan. Bukti-bukti klinis memperlihatkan bahwa pemberian risperidon sebagai terapi tambahan pada pasien depresi yang tidak berespon baik terhadap terapi standar dapat memperbaiki respon terapi dan meningkatkan kejadian remisi, memperbaiki respon terhadap terapi, serta memperbaiki kualitas hidup pasien. Hingga kini efektifitas dan keamanan jangka panjang penggunaan risperidon belum dapat dipastikan dan penelitian lanjutan perlu dilakukan. Selain itu penelitian lanjutan diharapkan dapat menentukan dosis dan lamanya risperidon dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada pasienpasien MDD dalam praktik sehari-hari. Simpulan: Pemberian risperidon dosis rendah sebagai terapi tambahan pada pasien dengan MDD yang kurang responsif baik terhadap pengobatan standar secara bermakna memperbaiki gejala dan derajat depresi serta meningkatkan respon terhadap terapi dibandingkan dengan plasebo Pemberian risperidon sebagai terapi tambahan meningkatkan kualitas hidup pasien dan tidak disertai dengan peningkatan efek samping. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan dosis efektif dan lama terapi risperidone sebagai terapi tambahan pada pasien dengan MDD. (YYA)
REFERENSI :
1. Mahmoud RA, Pandina GJ, Turkoz I, Kosik-Gonzales C, Canuso CM, Kujawa MJ, et al. Risperidone for Treatment-Refractory Major Depressive Disorder. Ann Intern Med 2007; 147(9): 593-602. 2. Medscape Cardiology.Risperidone Improves Depression Symptoms in Treatment-Resistant Patients. [cited 2011 January 05]. Available from: http://www.medscape.org/viewarticle/565692

Tabel 2. Perbandingan efek samping antara kelompok risperidon dengan kelompok plasebo.

Selain itu, para peneliti juga mengetakan bahwa kualitas hidup lebih baik pada kelompok terapi risperidon, yang terlihat dari beberapa parameter, di antaranya adalah produktivitas dalam pekerjaan, serta hubungan dengan anggota keluarga dan masyarakat. Efek samping yang teramati relatif ringan pada kedua kelompok penelitian; yang paling menonjol pada kedua kelompok adalah nyeri kepala, sedangkan efek samping lainnya adalah somnolen dan mulut kering. Penelitian lainnya yang mendukung penelitian ini adalah penelitian Ryan K Owenby dkk. atas efektifitas dan keamanan risperidon sebagai terapi tambahan bagi pasien depresi mayor yang tidak berespon adekuat terhadap obat antidepresi tunggal. Penelitian ini melalui pencarian dari MEDLINE antara tahun 1966 hingga Agustus 2010, dan EMBASE dari tahun 1980 - hingga Agustus 2010. Kata yang digunakan dalam pencarian adalah risperidone dan MDD. Sebagai tambahan juga dilakukan pencarian manual terhadap tiap penerbitan yang ditemukan selama pencarian data yang berhubungan. Dalam analisis tersebut juga disertakan 4 penelitian klinik dan satu subanalisis penelitian. Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian risperidon sebagai terapi tambahan efektif dan aman bila digunakan dalam dosis rendah. Walaupun beberapa melibatkan jumlah pasien yang sedikit, semuanya memperlihatkan perbaikan berbagai skala penilaian gejala depresi.

226

C DK 184/V o l .38 no .3/Ap r il 2011

BERITA TERKINI

Kombinasi Docetaxel dan Vandetanib pada kasus Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC)
Studi klinis fase III oleh Prof Herbst dkk. dari
The Anderson Cancer Center, Universitas Texas, Amerika menunjukkan kombinasi Docetaxel dan Vandetanib - penghambat tirosin kinase oral terbukti aman dan efektif pada kasus Non small cell lung cancer (NSCLC) serta memberikan kelebihan cukup bermakna dalam perbaikan;l hasil ini dipublikasi dalam Lancet Oncology edisi bulan Juli 2010. Vandetanib merupakan penghambat faktor reseptor pertumbuhan endotel vaskular (vascular endothelial growth factor receptor - VEGFR), reseptor faktor pertumbuhan epidermis (epidermal growth factor receptor - EGFR), dan tirosin kinase yang merupakan penyusun selama transfeksi (rearranged during transfection - RET). Pada studi acak fase II atas pasien NSCLC yang mendapatkan kemoterapi Docetaxel sebelumnya, penambahan Vandetanib 100 mg secara bermakna meningkatkan progression-free survival (PFS) dibandingkan dengan hanya Docetaxel saja, termasuk PFS pada wanita. Studi ini disusul penyelidikan lebih besar sebagai uji fase 3 yang disebut studi ZODIAC. Selama kurang lebih 2 tahun, antara bulan Mei 2006 dan bulan April 2008, pasien NSCLC lokal yang sudah lanjut dan metastatik (derajat IIIB C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r il 20 11

IV), NSCLC setelah progresi diacak dengan rasio 1:1 untuk menerima Vandetanib (100 mg/hari) ditambah Docetaxel (75 mg/m2 intravena setiap 21 hari dan maksimum 6 siklus ) atau Docetaxel ditambah plasebo. Analisis objektif primer membandingkan PFS antara 2 kelompok, sebagai populasi intention-to -treat (ITT). Pada wanita juga dianalisis sebagai analisis populasi sekunder. Studi sudah selesai dan lengkap serta diregistrasi melalui website clinicaltrial gov nomer NCT 00312377. Temuan studi dari sekitar 1391 pasien yang menerima Vandetanib + Docetaxel (n = 694, 197 wanita) atau Plasebo + Docetaxel (n = 697, 224 wanita). Vandetanib + docetaxel secara bermakna meningkatkan PFS dibanding plasebo + Docetaxel (hazard ratio [HR] 0,79 ; 97,58% CI 0,700,90 ; p<0,0001)sedangkan median PFS adalah 4 bulan pada kelompok vandetanib dibandingkan 3,2 bulan pada kelompok plasebo. Perbaikan yang hampir sama pada PFS antara Docetaxel + Vandetanib dibandingkan antara Docetaxel + plasebo tampak pada wanita (HR 0,79, 0,621,00, p = 0,024) sedang median PFS adalah 4,6 bulan pada kelompok Vandetanib dibanding 4,2 bulan pada kelompok plasebo.

Di antara derajat 3 atau lebih, reaksi AE (adverse events) yaitu timbulnya ruam kulit pada 63/689 subyek ( sekitar 9%) berbanding 7/690 ( sekitar 1%), neutropenia pada 199/689 subyek (29%) dibanding 164/690 subyek (24%), leukopenia terjadi pada 99/689 subyek (14%) berbanding 77/690 subyek (11%), dan febrile neutropenia pada 61/689 subyek (9%) berbanding 48/690 atau sekitar 7% lebih umum ditemukan pada kelompok Docetaxel + vandetanib dibandingkan dengan Docetaxel + plasebo. AE yang tersering dan cukup serius adalah febrile neutropenia 46/689 subjek (7%) pada kelompok Vandetanib dibandingkan 38/690 subjek (6%) pada kelompok plasebo. Para peneliti menyimpulkan bahwa kemoterapi Docetaxel yang ditambah Vandetanib secara bermakna memberikan perbaikan PFS pada pasien NSCLC lanjut yang progresi setelah pengobatan lini pertama. (IWA)

REFERENSI :
Herbst RS et al. Vandetanib plus docetaxel versus docetaxel as second-line treatment for patients with advanced nonsmall-cell lung cancer (ZODIAC): a double-blind, randomised, phase 3 trial. Lancet Oncology 2010; 11(7): 619 - 626 (abstract)

227

BERITA TERKINI

Kombinasi Clopidogrel/Atorvastatin Menghambat Agregasi Trombosit Lebih Baik Dibandingkan Aspirin/Atorvastatin.


erapi kombinasi clopidogrel/atorvastratin menghambat aktivitas trombosit lebih besar dibandingkan dengan terapi kombinasi aspirin/ atorvastatin pada pasien yang menjalani CABG (Coronary Artery Bypass Grafting). Demikian hasil penelitian Sermin Tetik dkk. dari Department of Biochemistry, Faculty of Pharmacy, Marmara University, Istanbul, Turki dan telah dipublikasikan dalam Clinical and Applied Thrombosis/ Hemostasis edisi April 2010. Penelitian ini bertujuan membandingkan efek anti-agregasi trombosit clopidogrel dengan aspirin pada pasien-pasien yang diterapi atorvastatin setelah tindakan CABG. Sejumlah 50 pasien yang menjalani CABG secara acak dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok I diterapi dengan clopidogrel plus atorvastatin (75mg/ 10mg; n=25) sehari, dan kelompok II diterapi dengan aspirin plus atorvastatin (300mg/10 mg; n=25) sehari. Terapi diberikan setelah CABG hingga 6 bulan setelah penelitian. Para ahli mengukur agregasi trombosit yang dipicu ADP (Adenosine diphosphate), ekspresi glikoprotein IIb/ IIa, selektin-P, dan fibrinogen. Pemeriksaan dilakukan sebelum dan se- sudah CABG pada hari ke 7, 90 dan 180. Rerata umur pasien dalam penelitian ini 59,6 7,6 tahun dan 82% laki-laki. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terapi kombinasi clopidogrel/ atorvastatin secara bermakna menghambat agregasi trombosit yang dipicu ADP lebih baik dibandingkan terapi kombinasi aspirin/atorvastatin.

Selain itu para ahli juga menemukan bahwa terapi kombinasi clopidogrel/atorvastatin menekan ekspresi GpIIIa pascaoperasi pada hari ke-7, 90 dan 180 (berturut-turut p=0,0001; p=0,0001 dan p=0,0001) dan menekan ekspresi selektin-P pada hari ke 90 dan 180 (dengan p berturutturut p = 0,035 dan and p = 0,002) lebih baik dibandingkan dengan kelompok terapi aspirin/ atorvastatin. Para ahli dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa terapi kombinasi clopidogrel/atorvastatin lebih efektif dibandingkan dengan terapi kombinasi aspirin/atorvastatin dalam menghambat agregasi trombosit yang dipicu ADP dan ekspresi reseptor trombosit setelah CABG. Penelitian ini sekaligus meragukan rekomendasi Lau dkk. dari the Department of Anesthesiology, University of Michigan dalam jurnal Circulation tahun 2003 yang tidak merekomendasikan pemberian clopidogrel/ atorvastatin bersamaan, karena ditemukan bahwa atorvastatin me-non-aktifkan CYP3A4, yang seharusnya akan mengaktifkan clopidogrel; dengan kata lain atorvastatin akan menurunkan efektivitas clopidogrel. Ternyata di penelitian ini pemberian clopidogrel bersamaan dengan atorvastatin cukup baik menghambat agregrasi trombosit. Hasil penelitian ini mendukung rekomendasi Bhindi dkk. dari Institute of Cardiology, John Radcliffe Hospital, Oxford, Inggris di Quarterly Journal of Medicine

2008, yang menyatakan bahwa walaupun dalam penelitian-penelitian preklinik diperkirakan ada interaksi antara statin dengan clopidogrel karena keterkaitan dengan CYP3A4, namun tidak ada bukti penyerta klinik yang melarang pemberian terapi kombinasi clopidogrel/atorvastatin. Terapi kombinasi ini tentu perlu diteliti lebih lanjut dalam penelitian yang besar dengan melibatkan pasien yang lebih banyak. Simpulan:

Kombinasi clopidogrel/atorvastatin lebih baik dibandingkan aspirin/atorvastatin dalam menghambat agregasi trombosit.

Hasil ini perlu diteliti lebih lanjut dalam penelitian besar dengan melibatkan lebih banyak pasien. (YYA)
REFERENSI :
1. Bhindi R, Ormerod O, Newton J, Banning AP, Testa L. Interaction between statins and clopidogrel: is there anything clinically relevant? Q J Med 2008; 101:91525 2. Lau WC, Waskell LA, Watkins PB, Neer CJ, Horowitz K, Hopp AS. Atorvastatin Reduces the Ability of Clopidogrel to Inhibit Platelet Aggregation: A New Drug Drug Interaction. Circulation, 2003; 107: 32 - 7. 3. Tetik S, Ak K, Isbir S, Eksioglu-Demiralp E, Arsan S, Iqbal Q, Yardimci t. Clopidogrel Provides Significantly Greater Inhibition of Platelet Activity Than Aspirin When Combined With Atorvastatin After Coronary Artery Bypass Grafting: A Prospective Randomized Study. Clinical and Applied Thrombosis/Hemostasis, 2010; 16: 189 98.

Tabel 1. Perbandingan agregasi platelet antara kelompok clopidogrel/atorvastatin dengan kelompok aspirin/atorvastatin.

Clopidogrel/ Atorvastatin
Agregasi trombosit yang dipicu ADP hari ke-90 Agregasi trombosit yang dipicu ADP hari ke-180
ADP = Adenosine diphosphate 228

Aspirin/ Atorvastatin 56% 7.25% 37% 4.1%

Nilai p =0,039 =0,0001

52% 6.0% 19.6% 3.2%

C DK 184/V o l .38 no . 3/Ap r il 2011

BERITA TERKINI

Vitamin D Mempercepat Konversi Sputum Pasien TBC ?


Dirawat di sanatorium dan berjemur di matahari pernah dianjurkan sebagai terapi TBC di masa sebelum ditemukannya antibiotik dan kemoterapi anti-tuberkulosis. Vitamin D mempunyai metabolit aktif Calcitriol yang diketahui mempunyai aktivitas antibakteri in vitro; metabolit ini memodulasi respon pejamu tehadap infeksi mikobakteria dengan cara menginduksi reactive nitrogen and oxygen intermediates, menekan aktivitas enzim matrix metalloproteinase yang berperan dalam proses pembentukan kavitas, dan menginduksi aktivitas antimikroba cathelicidin yang menginduksi autofagi. Calcitriol memodulasi respon imun dengan mengikat reseptor vitamin D yang diekspresikan oleh antigen-presenting cells dan limfosit untuk meregulasi proses transkripsi gen yang responsif terhadap vitamin D; tetapi reseptor vitamin D pada manusia bersifat polimorfik pembawa alel t dari polimorfisme reseptor Taq1 dikaitkan dengan peningkatan fagositosis diinduksi-kalsitriol terhadap M.tuberculosis in vitro dan konversi sputum yang lebih cepat.
C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r i l 2011

Beberapa laporan kasus menunjukkan bahwa dosis 625 ug sd. 2.5 mg vitamin D/hari memperbaiki respon pasien terhadap pengobatan antituberkulosis, tetapi uji klinis acak tekontrol penggunaan vitamin D sampai dosis 125 ug/ hari pada pasien tbc aktif tidak menghasilkan manfaat klinis. Sedangkan uji klinis lain menggunakan dosis 250 ug vitamin D/hari menghasilkan konversi sputum yang lebih cepat. Sebaliknya pembawa alel f dari polimorfisme gen reseptor vitamin D FokI dikaitkan dengan penurunan aktivitas transkripsional, penurunan fagositosis yang diinduksi kalsitriol, dan konversi sptutum yang lebih lambat di kalangan pasien tbc. Berdasarkan aktivitas invitro dan laporan terdahulu tersebut, dilakukan uji klinik acak butaganda multisenter penambahan vitamin D3 (colecalciferol) pada pengobatan pasien TBC sputum positif di London, UK. Sejumlah 146 pasien dewasa diacak untuk mendapat 2.5 mg vitamin D3 atau plasebo di awal terapi, dan 14, 28 dan 42 hari sesudah terapi dimulai.

Hasilnya : rata-rata median konversi sputum adalah 36.0 hari di kelompok vitamin D3 dan 43.5 hari di kelompok kontrol adjHR 1.39; 95%CI 0.90 2.16; p=0.14. Genotipe Taq1 mempengaruhi efek vitamin D terhadap kecepatan konversi sputum tersebut (pinteraksi = 0.03) ; respon baik hanya diamati pada pasien dengan genotipe tt (8.09, 95%CI 1.36 48.01; p=0.02) . Genotipe Fok1 tidak memodifikasi pengaruh suplementasi vitamin D tersebut (pinteraksi = 0.85). Kadar 25-OH vitamin D rata-rata setelah 56 hari sebesar 101.4 nmol/L di kelompok intervensi dan 22.8 nmol/L di kelompok plasebo (95%CI for difference 68.6 88.2, p<0.0001). Pemberian 4 dosis vitamin D 2.5 mg meningkatkan kadar 25-OH vitamin D serum pada pasien TBC sputum positif dalam fase pengobatan intensif; mempercepat konversi sputum hanya di kelompok genotipe tt dari polimorfisme Taq1 reseptor vitamin D. (BRW)
REFERENSI :
Lancet 2011;377:242-50

229

BERITA TERKINI

Gabapentin Sekali Sehari untuk Neuralgia Pasca Herpes Zoster


erpes zoster timbul dari reaktivasi virus varicella-zoster yang dorman pada ganglia sensoris spinalis dan kranialis setelah infeksi primer varicella (cacar air). Di negara berkembang lebih dari 95% populasi dewasa seropositif untuk virus varicella-zoster dan karena itu berisiko tinggi mengidap herpes zoster. Reaktivasi dapat terjadi pada segala usia; namun berkaitan dengan penurunan imunitas terkait usia, lebih sering terjadi pada orang dewasa. Herpes zoster mengenai hingga 25% individu selama masa hidup mereka, kira-kira 50% berusia 80 tahun atau lebih. Meski penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun berkaitan dengan sejumlah gejala akut seperti vesicular rash dan nyeri. Komplikasi jangka panjang meliputi gangguan penglihatan dan neuralgia pasca herpes (post-herpetic neuralgia/PHN), berpotensi menjadi masalah paling mengganggu di antara seluruh masalah komplikasi yang ada; berkaitan dengan rasa gatal hebat dan allodynia. PHN dapat berdampak negatif terhadap fungsi dan kualitas hidup pasien. Penderita lanjut usia seringkali membutuhkan rawat inap.

Penanganan herpes zoster saat ini yaitu dengan obat anti-viral dan analgesik memberikan hasil yang baik pada pasien-pasien muda, biasanya dalam bentuk ringan; selain itu juga efektif mengatasi nyeri akut dan bercak kulit. Namun, pengobatan ini masih sangat kurang efektif untuk mengatasi PHN, yang umumnya terjadi lebih sering dan lebih berat pada pasien usia lanjut. Saat ini US FDA telah menyetujui penggunaan gabapentin tablet satu kali sehari untuk pengobatan PHN. Persetujuan ini didasari pada data dua uji klinis fase 3 yang melibatkan 359 pasien yang diobati dengan gabapentin dan 364 pasien yang diberi plasebo. Keamanan dievaluasi pada seluruh 723 pasien dan penilaian efikasi didasarkan pada uji klinis fase 3 yang kedua, yaitu suatu uji klinis acak, tersamar ganda, dengan kontrol plasebo pada 452 pasien dengan PHN. Pada uji klinis ini, gabapentin 1800 mg menghasilkan penurunan yang statistik bermakna pada rerata skor nyeri harian dibandingkan plasebo. Tujuan kedua meliputi penilaian mutu tidur, penilaian nyeri serta kualitas hidup.

Pada uji klinis ini, 9,7% pasien yang diterapi gabapentin dan 6,9% pasien yang diberi plasebo menghentikan penelitian karena adanya efek samping. Pada kelompok gabapentin, alasan penghentian keikutsertaan dalam penelitian yang paling sering adalah karena pusing. Efek samping terkait penggunaan gabapentin sebagian besar masih berskala ringan hingga sedang; paling sering adalah pusing (10,9% vs 2,2% untuk plasebo), somnolen (4,5% vs 2,7% untuk plasebo) dan nyeri kepala (4,2% vs 4,1% untuk plasebo). (SFN)

REFERENSI :
1. Johnson RW. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia. Expert Review of Vaccine. Available from: http://www. medscape.com/viewarticle/718534 2. Brooks M. FDA approves once-daily gabapentin for postherpetic neuralgia. Medscape Medical News. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/736872 3. FDA approves once-daily gabapentin for post-herpetic neuralgia. Docguide.com. Available from: http://www. docguide.com/fda-approves-once-daily-gabapentinpost-herpetic-neuralgia?tsid=5

230

C DK 184/V o l .38 no .3/Ap r il 2011

PRAKTIS

Peranan Ultrasonografi dalam Menilai Kompleks Intima-media Arteri Karotis untuk Diagnosis Dini Aterosklerosis
Mirna Muis, Bachtiar Murtala
Bagian Radiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/ RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia

PENDAHULUAN Aterosklerosis adalah kondisi sistemik berupa penebalan dinding dan penyempitan lumen arteri yang terutama terjadi pada arteri elastika, seperti aorta dan arteri karotis, serta arteri muskularis besar maupun sedang.1 Saat ini aterosklerosis merupakan penyebab kematian utama di negara maju dan diperkirakan kurang dari 25 tahun mendatang akan pula menjadi penyebab utama kematian di negara berkembang, seiring dengan perubahan pola diet, gaya hidup dan meningkatnya prevalensi perokok usia muda.2 Prevalensi aterosklerosis sangat sulit bahkan tidak mungkin diketahui pasti karena sebagian besar bersifat asimptomatik.2 Proses aterosklerosis sendiri dimulai pada masa kanak-kanak yang ditandai dengan timbulnya fatty streaks yang akan terus berkembang sampai usia remaja. Lesi tahap lanjut mulai timbul pada dekade kedua dan bermanifestasi klinis pada dekade keempat dan kelima.9 Manifestasi klinis utama aterosklerosis adalah penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner (PJK), stroke dan penyakit vaskular perifer.10 Metode intervensi dan non intervensi secara luas digunakan untuk mendeteksi aterosklerosis.5 Arteri karotis adalah target pencitraan penilaian non invasif terhadap morfologi dinding pembuluh darah pada penyakit aterosklerosis. Hal ini disebabkan ukuran arteri karotis yang relatif besar, posisinya yang superfisial dekat permukaan kulit, serta letaknya yang terisolasi dari struktur yang bergerak seperti jantung, sehingga prosedur pemeriksaan pada arteri karotis lebih mudah dilakukan.13
C DK 1 8 4 / Vo l. 38 no. 3/A p r i l 2011

Pengukuran Kompleks Intima media (KIM) arteri karotis interna makin banyak diteliti sejak pertengahan tahun 1990an.5 American Heart Assosiation (AHA) merekomendasikan pengukuran KIM sebagai metode paling baik untuk identifikasi aterosklerosis. Hal in disebabkan kualitas penebalan tunika intima media merupakan pertanda awal terjadinya aterosklerosis. KIM juga digunakan sebagai petanda untuk mengevaluasi regresi dan progresi aterosklerosis pada penyakit kardiovaskular. 3 Banyak penelitian melaporkan hubungan antara KIM dengan adanya dan beratnya aterosklerosis. Telah pula dibuktikan bahwa keadaan dinding arteri karotis mencerminkan keadaan dinding arteri koroner, sehingga penebalan kompleks intima media arteri karotis atau terdapatnya plak pada arteri karotis dapat dipakai sebagai jendela terdapatnya aterosklerosis pada pembuluh darah jantung 3,5

Ultrasonografi (USG) Arteri Karotis Konsensus Mannheim dan Konsensus American Society of Echocardiography (ASE) tentang penebalan intima media arteri karotis, merekomendasikan pengukuran intima media arteri karotis pada penderita yang berisiko penyakit kardiovaskular 17. Teknik pencitraan USG telah berkembang ke tahap pencitraan arteri-arteri superfisial secara non invasif, seketika dan dengan resolusi tinggi.3 Pencitraan USG dapat menampilkan visualisasi dinding arteri pada tiap tahapan aterosklerosis, dari normal sampai terjadinya oklusi arteri total18. Arteri karotis menjadi pilihan pengukuran KIM dibanding arteri lainnya karena letak arteri karotis sangat superfisial, tanpa ada struktur tulang yang menutupi ataupun bayangan udara yang menghalangi, serta jauh dari struktur yang bergerak, seperti jantung.13

Gambar 1 : Proses aterosklerosis dan pembentukan plak Dikutip dari : Crowther MA. Pathogenesis of Atherosclerosis. American Society of Hematology. 2005. 436-441.

231

PRAKTIS
USG karotis dapat meng- evaluasi diameter lumen pembuluh darah, ketebalan kompleks intima media (KIM), dan menilai karakteristik plak serta perluasaanya.6,7 Evaluasi arteri karotis menggunakan pesawat USG B-mode resolusi tinggi dengan transduser linear 7-10 MHz. Transduser frekuensi tinggi ini dapat memperlihatkan detail anatomi vaskuler termasuk KIM.7,11 Pengukuran Kompleks Intima Media Pengukuran kompleks intima media arteri karotis dengan USG dimulai pada proyeksi transversal dan dilakukan pemeriksaan sepanjang alur arteri karotis servikal dimulai dari daerah supraklavikular ke arah cranial sampai angulus mandibula. Bulbus karotis tampak sebagai pelebaran arteri karotis interna dekat bifurkasio.11 Proyeksi longitudinal arteri karotis normal memperlihatkan lapisan dinding karotis sebagai dua garis ekhogenik yang sejajar, dipisahkan oleh daerah hipoekhoik atau anekhoik. Ekho pertama membatasi lumen pembuluh darah dengan tunika intima, ekho kedua menggambarkan pertemuan tunika media-adventisia. Tunika media adalah zona anekhoik atau hipoekhoik antara garis-garis ekhoik. Jarak antara dua garis ekhoik dan dipisahkan oleh daerah hipoekhoik disebut kompleks intima media (KIM).7,11 Wendelhag dkk (1992) menyatakan, pengukuran ketebalan KIM arteri karotis bisa dilakukan pada ukuran near wall maupun far wall, tetapi near wall KIM kadang lebih sulit dicitrakan karena struktur ekhogenik tunika adventisia mengaburkannya.21 Wong dkk (1993) dan Wikstrand dkk (1992) membuat kesimpulan bahwa hanya far wall KIM yang dapat diukur secara akurat dengan USG karotis.14,21 Terdapatnya lesi pada lapisan dalam pembuluh darah arteri ditetapkan berdasarkan adanya kelainan ketebalan dinding arteri, bentuk lesi (penonjolan ke dalam lumen, hilangnya keselarasan dengan tepi arteri sekitar, tepi arteri yang kasar) serta tekstur (ekho) lebih tinggi dari sekitarnya.8,13 Penelitian mendapatkan variasi ketebalan KIM pada individu normal; Salonen JT (2004) mendapatkan tebal KIM pada subyek normal adalah < 0,7 mm.16 Demircan dkk (2007) menyatakan tebal KIM normal < 0,95 mm sedangkan Coskun dkk (2009) menyatakan penebalan KIM > 1,0 mm merupakan keadaan abnormal menandakan perubahan paling awal aterosklerosis.3 Adapun Maarifat NN (2005) mendapatkan rerata ketebalan KIM pada kelompok usia 20-30 tahun adalah 0,4 cm.14 Gambaran lesi aterosklerotik dengan USG yaitu : 1. Fatty Streak Pada USG terlihat sebagai penebalan KIM dengan era hipoekhoik berbentuk pita abuabu. Pita ini tidak menimbulkan obstruksi maupun acoustic shadow. 2. Fibrous Plaque/fibrofatty plaque Karakteristik pada USG bervariasi tergantung densitas plak. Area hipoekhoik menandakan lesi adalah soft plaque dan mudah terpecah pecah. 3. Lesi Komplikasi Karakteristiknya adalah terdapat kalsium di dalam plak. Densitasnya lebih tinggi/hiperekhoik dan terdapat acoustic shadow. Penilaian plak arteri karotis harus dievaluasi lebih hati-hati dan ditentukan perluasannya, lokasi, kontur permukaan serta tekstur plak tersebut. Tekstur plak diklasifikasikan menjadi plak homogen dan plak heterogen. Plak homogen struktur ekhonya seragam dan permukaanya halus. Plak heterogen, struktur ekhonya kompleks dan terdapat satu atau lebih area hipoekhoik fokal. Plak ulse- rasi pada USG terlihat sebagai area anekhoik dalam plak yang keluar ke permukaan tanpa ada ekho antara lumen dan area anekhoik tersebut.6,15 Dari beberapa penelitian yang membandingkan ekhogenitas dan struktur histologi plak diketahui bahwa plak ekholusen berisi intraplaque hemorrhage dan material halus lainnya yang rapuh sedangkan plak hiperekhoik mengandung jaringan fibrous yang lebih padat.19 Gray Weale dkk (1998) membuat klasifikasi 4 tipe plak, yaitu: 6 1. Dominan hipoekhoik plak dengan ekhogenik cap yang tipis. 2. Sebagian hipoekhoik dengan area ekhogenik minimal. 3. Dominan ekhogenik dengan area hipoekhoik minimal. 4. Ekhogenik /hiperekhoik homogen. Berdasarkan klasifikasi ini, telah dilakukan penelitian dan didapatkan bahwa frekuensi gejala neurovaskular lebih banyak terdapat pada plak tipe 1 dan 2 (vulnerable plaque) sedangkan tipe 3 dan 4 (stable plaque) lebih bersifat asimtomatik.20
C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

Gb. 2 : Pengukuran KIM pada far wall A.Karotis. Dikutip dari : Baroncini LA, Oliveira A. Appropriateness of Carotid Plaque and Intima-Media Thickness Assessment in Routine Clinical Practice. Cardiovascular Ultrasound. 2008. 6;52.

Gb. 4 : Penebalan KIM disertai terbentuknya plak pada Arteri Karotis Komunis. Dikutip dari: Tegos TJ, Sabetai MM, Nocolaides AN, Pare G. Comparatibility of the Ultrasounic Tissue Characteristics of Carotid Plaques. Journal of Ultrasound Med 2000; 19; 339-407

Karakteristik Plak Plak adalah dilatasi fokal dengan penonjolan ke dalam lumen, terdiri dari deposit kalsium atau kombinasi kalsium dan non kalsium dengan ketebalan >50% dari sisi sekitar atau penebalan 1,5 mm.15 Plak aterosklerosis mengandung infiltrat inflamasi, yaitu : monosit, makrofag, limfosit T dan foam cell . Instabilitas plak aterosklerosis tidak hanya berhubungan dengan derajat stenosis tapi juga dengan ekhogenitas plak. Ultrasonografi dapat memberikan informasi penting tentang komponen materi anekhoik maupun ekhogenik. Material ekhogenik merefleksikan signal ultrasound dengan kuat, contohnya jaringan fibrous dan deposit kalsium sedangkan material anekhoik kurang merefleksikan signal ultrasound, contohnya darah dan lemak. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa plak anekhoik lebih banyak menyebabkan gejala neurovaskuler dibanding plak ekhogenik.6

232

PRAKTIS
DAFTAR PUSTAKA
1. Baroncini LA, Oliveira A. Appropriateness of Carotid Plaque and Intima-Media Thickness Assessment in Routine Clinical Practice. Cardiovascular Ultrasound 2008..6;52. 2. Boudi FB, Ahsan CH. Atherosclerosis : eMedicine Cardiology 2009; 1-7. 3. Coskun U, Yildiz A. Esen OB, Baskurt M, Relation Between Carotid intima Media Thickness and Coronary Angiographic Finding. Cardiovascular Ultrasound 2009; 7;59. 4. Crowther MA. Pathogenesis of Atherosclerosis. American Soc. of Hematology 2005. 436-41. 5. Finn AV, Kolodgie FD, Virmani R. Correlation between Intimal/Media Thickness and Atherosclerosis: A point of view from Pathology Journal of AHA 2009; 177-81. 6. Gray Weale AC, Graham JC, Burnett JR: Carotid Artery Atheroma: Comparison of Preoperative B-Mode Ultrasound Appearance with Carotid Endarterectomy Specimen Pathology. J Cardiovasc Surg.1998 ;29:676. 7. Golemati Spyretta, Tegos TJ. Echogenicity of B-Mode Sonographic Image of the Carotid Artery. J Ultrasound Med.2003;23:659-69. 8. Halenka M. Noninvasive Measurement of Early Atherosclerosis by High Resolution B-Mode Ultrasonography. Acta Univ. Palacki, Olomuc Fac.Med. 1999; 142:1-12. 9. Hansson GK. Mechanism of Disease. Inflammation, Atherosclerosis and Coronary Artery Disease, N Eng J Med. 2005; 352;16 10. Hukkanen J, Jacob P, Benowitz N.L. Metabolism and Disposition Kinetics of Nicotine. Pharmacol Rev 2005; 57:79-115 11. Jegelevicius D, Lukosevicius. An Ultrasonic Measurment of Human Carotid Artery Wall Intima Media Thickness. ISSN 2002. 1392-21. 12. Jian Yang, Cheng Yunhui. Novel Model of Inflammatory Neointima Formation Reveal a Potential Role of Myeloperoxidase in Neointimal Hyperplasia. Am J Physiol Heart Circ Physiol. 2006; 291:H3087-H3093 13. Kerwin WS, Correlation of Carotid Artery Pathology and Morphology in Imaging. Imaging of Carotid Artery Stenosis. Springer-Verlag Wien, NY. Karolinska Institude, Stockholm, Sweden, 2007; Ch1.2; 19-30. 14. Maarifat NN. Ketebalan Kompleks Intima Media Arteri Karotis pada Kelompok Khusus Usia 20-30 tahun di RSUPN-CM.2005; 34-5. 15. Potter K, Reed CJ, Green DJ. Ultrasound Setting Significantly Alter Lumen and Wall Thickness Measurement. Cardiovascular Ultrasound 2008; 6;6. 16. Salonen JT, Liu ML, Ylitalo K, Circulating OxLDL and Its Association with Carotid Intima Media Thickness in Asymptomatic Members of Familial Combined Hyperlipidemia Families. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2004;24:1492-97. 17. Spagnoli LG, Bonanno E. Role of Inflammation in Atherosclerosis. J. Nuclear Med. 2007; 48(11). 18. Stein JH, Korcarz CE, Hurst T, Lonn E. Use of Carotid Ultrasound to Identify Subclinical Vascular Disease and Evaluated Cardiovascular Disease Risk: A Consensus Statement from the American Society of Echocardiography Carotid Intima Media thickness Task Force Endorsed by the Society for Vascular Medicine. JASE 2008. 93-108. 19. Szmitko PE, Wang CH, Weisel RD, Jeffries GA, Anderson TJ, Verma S. Biomarkers of vascular disease linking in inflammation to endothelial activation. Part II. Circulation 2003; 108:2041-48 20. Tegos TJ, Sabetai MM, Nocolaides AN, Pare G. Comparatibility of the Ultrasounic Tissue Characteristics of Carotid Plaques. J. Ultrasound Med 2000; 19;339-407. 21. Wendelhag I,Wiklund O. Arterial Wall Thickness in Familial Hypercholesterolemia. J. Amer. Heart Assoc. 1992;12:70-7.

C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r i l 2011

233

PROFIL

Prof. Dr. Lukman Hakim, SpPD-KKV, KGer, FINASIM

Jadilah Dokter yang Berilmu dan Beretika


Prof. Dr. Lukman Hakim Makmun, SpPD-KKVKGer-FINASIM adalah seorang dokter yang sangat sederhana dan ramah. Beliau dengan sangat senang hati membuat perjanjian untuk wawancara; kami dipermudah untuk bertemu di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC) Jakarta, walaupun saat itu beliau tidak ada jadwal tugas di RS tersebut. Lukman adalah panggilan akrabnya dengan sejawat lain, terutama yang seumur dengannya, tetapi karena beliau sudah menyandang gelar Profesor, sebagian sejawat memanggil dengan sebutan Prof saja. Lukman kecil lahir di Lahat Palembang Sumatera Selatan 64 tahun yang lalu. Sekolah Dasar dan sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) beliau tamatkan di Lahat.Setelah lulus SMP, beliau pindah ke Jakarta karena bapaknya bertugas di sana. Bapaknya adalah salah seorang pakar hukum lulusan Universitas Indonesia. Dengan bimbingan bapaknya beliau tamat SMA tahun 1964.

Cita-cita menjadi Ahli Fisika


Beliau mengakui, tidak ada cita-cita untuk masuk ke kedokteran, karena dulu sejak SMP saya senang dengan Ilmu Fisika dan Matematika, dan saya bercita-cita menjadi ahli fisika dan matematika, ujar Lukman. Setelah mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi, Lukman diterima di dua tempat, di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Lukman akhirnya memutuskan masuk ke Kedokteran, melihat kondisi negara waktu itu, saya harus memilih Fakultas Kedokteran karena saya berpikir kedokteran lebih baik kesempatan kerjanya, bisa mandiri dan ada sifat sosialnya untuk membantu orang lain, ujar Mantan Ketua Divisi Geriatri Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam ini. Masuk FKUI tahun 1964 dan lulus tahun 1971, kemudian dengan semangat belajar Lukman melanjutkan ke pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.

Prof. Dr. Lukman Hakim, SpPD-KKV, KGer, FINASIM Spesialisasi Ilmu Penyakit Dalam dipilih karena menurutnya merupakan cabang ilmu yang sangat luas, dan selain itu Beliau ingin memilih Spesialis Jantung. Karena spesialis jantung banyak berhubungan dengan ilmu fisika, ujar dokter yang mempunyai dua anak ini. Setelah lulus spesialis Ilmu Penyakit Dalam tahun 1979, kemudian diteruskan ke subspesialis Kardiologi dan lulus tahun 1982. Karena saya juga senang mendalami ilmu geriatri, saya mengikuti program konsultan geriatri, lulus tahun 2000, ujar Lukman.
C DK 184/V o l .38 no . 3/Ap r il 2011

234

PROFIL
Setelah mengabdi menjadi pendidik dan bertugas di FKUI/RSCM selama 37 tahun, Lukman akhirnya mendapatkan penghargaan terhormat dan dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI tahun 2007. Untuk pengalaman di organisasi, Prof. Lukman sampai sekarang menjabat sebagai Pengurus Lembaga Kesejahteraan Lanjut Usia. Pernah menjabat Sekretaris Ikatan Keseminatan Kardioserebrovaskuler Indonesia. Pernah menjadi Ketua PERGEMI Jaya (2001-2004) dan sampai saat ini masih menjabat Ketua Umum PB Ikatan Keseminatan Kardioserebrovaskuler Indonesia. Berbicara mengenai pendidikan kedokteran, menurut Prof Lukman, sekarang ini pendidikan kedokteran di Indonesia harus disertai pendidikan komunikasi, masalah empati kepada pasien, kritis dalam berpikir, mencari ilmu secara mandiri, dan etika sosial budaya. Dahulu saat awal pendidikan kedokteran, belum ada kurikulum etika; sekarang harus ada dari tingkat pertama sampai akhir, ujar Mantan Ketua Departemen Pendidikan Kedokteran FKUI. Diharapkan dengan adanya kurikulum baru ini dokter Indonesia menjadi dokter yang berilmu, profesional dan beretika, sosial budaya dan dapat berkomunikasi baik dengan pasiennya; selain itu dokter juga wajib bisa menulis dan melakukan penelitian. Prof. Lukman juga mengharapkan bagi staf pengajar di semua Fakultas Kedokteran di Indonesia, agar dapat mengetahui cara mengajar yang baik, cara mengatur kurikulum yang baik dan cara menilai yang objektif. (REDAKSI)

Pengalaman
Menjadi dokter banyak sekali sukanya daripada dukanya, dukanya pasti ada seperti risiko sering dipanggil malam hari walaupun saat tidur, saya harus menerimanya, ujar Lukman. Selain itu, beliau pernah menangani pasien di ICCU dengan keadaan sudah kritis,saya tangani dengan sabar, awalnya juga pesimis, akhirnya saya senang dan bangga karena pasien dapat sembuh, itulah kepuasan saya yang tidak bisa dibeli dengan uang, ujar Mantan Ketua Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Banyak pengalaman lain yang pernah dialami saat memegang jabatan di pekerjaannya dan di organisasi profesi. Beliau pernah menjabat antara lain: Ketua Konsep Pedoman Pembukaan dan Penyelenggaraan Program Studi Kedokteran (2002), Ketua Skill Lab FKUI (2004), Wakil Diknas untuk Konsil Kedokteran Indonesia (20032007), Ketua Tim Review teknik Dikti untuk projek Universitas Hospital & MERC Tower.

Mengatur waktu
Selain sebagai dokter, Lukman juga mengurus masalah pendidikan kedokteran di FKUI. Saya harus membagi waktu antara pekerjaan dengan pendidikan, mengatur jam tugas ke Rumah Sakit dan keluarga juga harus diperhatikan, ujar Dokter yang juga Pengurus Lembaga Kesejahteraan Lanjut Usia.Saya berangkat dari rumah pk 07.00 dan pulang pk. 22.00. Saya bertugas selain di RSCM juga di RS MMC dan RS Omni Internasional, ujar Prof. Lukman. Prof. Lukman juga menyampaikan motto hidupnya yaitu Profesi dokter adalah sangat mulia karena kesempatan berbuat baik lebih banyak, tetapi segala sesuatunya yang kita kerjakan harus berserah kepada Tuhan, Dialah yang menentukan; apabila kita diberi tugas, harus dikerjakan dengan baik sesuai dengan standar medik.

C DK 1 8 4 / Vo l. 3 8 no. 3/A p r i l 2011

235

ANTAR SEJAWAT

Sebagai sarana komunikasi antar pembaca Majalah CDK, Redaksi membuka halaman "Antar Sejawat". Kirimkan saran, tanggapan, kritik dan keluhan atas suatu masalah kepada redaksi majalah CDK. Redaksi CDK akan memilah kiriman sejawat untuk dimuat di halaman ini. Sejawat dapat mengirimkan materi melalui : 1. SMS nomor 085-580-KALBE (52523) dengan awalan "[CDK]" tanpa tanda kutip 2. Melalui email address: cdk.redaksi@yahoo.co.id 3. Bergabung di Facebook CDK : http://www.facebook.com/Majalah.CDK 4. Kirim surat via pos ke alamat redaksi: Majalah CDK : Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4 , Cempaka Putih - Jakarta 10510 Redaksi menyediakan beberapa gimmick CDK bagi tulisan pembaca yang menarik di halaman Antar Sejawat ini.

Bagaimana kriteria hasil penelitian supaya dapat dimuat dalam CDK? Dan bagaimana cara mengirim artikel hasil penelitian tersebut? Dr. Roro Rukmi Windi Perdani, M.Kes Serang - Banten Jawab : Terimakasih atas minat untuk menerbitkan naskah sejawat di majalah kami; kami akan publikasikan hasil penelitian yang sahih dan bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan dan ketrampilan praktek kedokteran. Kriteria teknis dapat dilihat di petunjuk untuk penulis. Artikel dikirim ke alamat redaksi majalah CDK : Jl. Letjend. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta Pusat 10510 atau melalui email : cdk.redaksi@yahoo.co.id Kami tunggu tulisan sejawat.

Segala macam berita dan artikel dunia kesehatan yang menunjang untuk penambahan str kedokteran. Dr. Sorta Taufiq Ade Maulana L. Tobing Tebet - Jakarta Selatan Jawab : Sejawat dapat menjawab artikel CME yang ada di setiap edisi CDK; tiap jawaban yang masuk akan dinilai untuk mendapatkan SKP. Nilai SKP dapat digunakan sebagai angka kredit untuk pengurusan STR. Mohon diberikan update informasi atau akses CDK setiap rilis baru Bawon - Jember Jawa Timur Jawab : Ada beberapa cara untuk bisa ikuti update informasi CDK : 1. Follow akun Twitter CDK@CDKMagazine 2. Jadi teman Facebook Majalah CDK di : http://www.facebook.com/CDKMagazine atau jadi Fans di Page CDK di : http://www.facebook.com/Majalah.CDK 3. Ikuti milis yahoogroup CDK di : http://groups.yahoo.com/group/milisCDK/ Bagaimana cara mengerjakan soal untuk memperoleh SKP ? Ratna Ika Susanti Tulungagung, Jawa Timur Jawab : Isi jawaban sejawat di formulir yang sudah tersedia, kirim ke alamat redaksi. Sertifikat nilai angka kredit akan dikirim ke alamat sejawat setelah tiga jawaban kuis diterima. Nilai tersebut dapat digunakan sebagai angka kredit untuk pengurusan STR.

236

C DK 184/V o l .38 no .3/Ap r il 2011

AGENDA

Kalender Acara April - Mei 2011


APRIL
KONAS Asosiasi Psikogeriatri Indonesia ke-4, 2011 Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Phone Fax. Email : 09-11 April 2011 : Clarion Hotel and Convention Makassar, Sulawesi Selatan : Dokter spesialis, dokter umum, residen : Sekretariat API Jl. Kimia no. 35, Jakarta 10430 Indonesia : 021- 392 3302 : 021- 392 3302 : olyvi_api@yahoo.com 13th European Congress of Endocrinology Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Email URL : 30 April - 24 Mei 2011 : Rotterdam, Netherlands : Dokter : European Society of Endocrinology : info@euro-endo.org : www.euro-endo.org

Contact Person : Olyvia (0817 653 0120)

12th Jakarta Antimicrobial Update (JADE) 2011 Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Phone Fax Email : 15-17 April 2011 : Hotel Shangri La Jakarta : Dokter spesialis dan dokter umum : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jl. Diponegoro 71, Jakarta : 021-392 0185, 390 8157 : 021-391 1873, 392 9106 : tropik@indosat.net.id Kalangan Sekretariat Email URL

MEI
33rd Asia Pacific Dental Congress : Advancing Pinnacle of Dental Health Tanggal Tempat : 01-07 Mei 2011 : PICC (Philippine Int Convention Center) Manila, Philippines : Dokter : Asia Pacific Dental Association : congress@apdc2011.org : www.apdc2011.org

Contact Person : Leni, Anto, Rita (0813 860 76076)

6th World Congress for the World Institute of Pain (WIP) 2011 Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Email URL : 29 April - 01 Mei 2011 : Seoul, Korea Selatan : Dokter : WIP (World Institute of Pain) : wip@kenes.org : www.kenes.org/wip

18th Asian Pacific Congress of Cardiology Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Email : 05-08 Mei 2011 : Kualalumpur Convention Center, Malaysia : Dokter : National Heart Association of Malaysia : secretariat@apcc2011.org

Pediatric Academic Societies Annual Meeting 2011 Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Email URL : 30 April - 03 Mei 2011 : Denver, Colorado, USA : Dokter : Pediatric Academic Societies : info@pas-meeting.org : www.pas-meeting.org

Joint 27th International Congress of Chemotherapy & 21 th European Congress of Clinical Microbiology & Infectious Disease Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Email URL : 07-10 Mei 2011 : Milan Convention Center, Italy : Dokter : ICC & MCCMID : basel@congrex.com : www.eccmid-icc2011

C DK 1 8 4 / Vo l.38 no. 3/A p r i l 2011

237

AGENDA
American Geriatrics Society Annual Meeting 2011 Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Email URL : 11-14 Mei 2011 : Gaylord National Hotel & Convention Center Washington, Columbia, USA : Dokter : American Geriatrics Society : info@americangeriatrics.org : www.americangeriatrics 22nd World Congress of Dermatology Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Phone Email URL : 24 Mei 2011 : COEX, Seoul, Korea Selatan : Dokter : KDA (Korean Dermatological Association) : +82234767700 : wcd2011@koconex.com : www.wcd2011.org

The 14th ASEAN ORL Head & Neck Congress Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Phone Email : 12-14 Mei 2011 : Borneo Convention Center, Kuching Serawak, Malaysia : Dokter : Acutance Sdn Bhd Level 41 Vista Tower 182 Jalan Tun Razak 50400 Kuala Lumpur Malaysia : +603 2690 1450 : 14aseanorl@gmail.com

BRAIN 11 & BRAINPET 11 Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat : 24-28 Mei 2011 : Centre de Convencions Internacional de Barcelona, Spain : Dokter : Kenes International 1-3, Rue de Chantepoulet P.O. Box 1726 CH-1211 Geneva 1, Switzerland Phone Fax. Email : +41 22 908 0488 : +41 22 906 9140 : brain@kenes.com : www.kenes.com

11th Jakarta Nephrology & Hypertension Course (JNHC) Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Phoe Fax Email : 20-22 Mei 2011 : Borobudur Hotel Jakarta : Dokter : PERNEFRI Gd. Yanati Lt 1 Ruang 103 Jl. Proklamasi No. 44 Jakarta Pusat 10320 : +62-21-314 9208 : +62-21-315 5551 : pernefri@cbn.net.id

URL

18th European Congress on Obesity 2011 Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Phone Email URL : 25-28 Mei 2011 : Lutfi Kirdar Convention & Exhibition Center Istanbul, Turkey : Dokter : European Congress On Obesity : +39 02.6693007 : enquiries@easo.org : www.eco2011.org

11th Asian & Oceanic Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine Congress Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Phone Fax. Email URL : 23-26 Mei 2011 : The Westin Hotel and Resort Nusa Dua, Bali : Intensivist, GP : PT. GPD Indonesia Kebalen V No.24A Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12180 : 021-70602664, 7396261 : 021-70602664, 7396261 : dewi@gpdindonesia.com : http://aosra2011.org

Joint 13th International Neurotoxicology Association Meeting & 12th International Congress Occupational Health 2011 Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Phone Email : 28 Mei - 03 Juni 2011 : Juanhuo Hotel, Xian, China : Dokter : International Neurotoxicology Association : +86-29-84774866 : bushnell.philip@epa.gov

Contact Person : Dewi

1. Informasi ini sesuai pada saat dicetak. Apabila ingin mengetahui lebih lanjut, silakan akses http://www.kalbe.co.id/calendar 2. Jika kegiatan ilmiah Anda ingin dipublikasikan, kirim pemberitahuannya ke cdk.redaksi@yahoo.co.id 238
C DK 184/V o l .38 no .3/Apr il 2011

Anda mungkin juga menyukai