Anda di halaman 1dari 40

LEMBAR PENGESAHAN 1. 2. 3.

Judul RPTP Nama Unit Kerja Alamat Unit Kerja : Perakitan Varietas Unggul Berbasis Marka Molekuler Jagung, Gandum, dan Sorgum. : Balai Penelitian Tanaman Serealia (BALITSEREAL) : Jl. Dr. Ratulangi 274 Maros, 90514 Sulawesi Selatan PO. Box. 1173 Makassar Telp. (0411) 371529, 371016; Fax (0411) 371961; e-mail: balitsereal@plasa.com : Balai Penelitian Tanaman Serealia : Tahun ke tiga (2010-2014) : : : : : : : : Dr. Ir. Marcia Bunga Pabendon, MP. Pembina/IVb Peneliti Madya Laboratorium Biologi Molekuler dan Rumah Kaca Balitsereal, serta di lahan petani. 5 (lima) tahun (2010-2014) 2010 2014 Informasi keragaman genetik plasma nutfah jagung lokal berbasis SNP. Informasi individu populasi S4 jagung toleransi kekeringan hasil genotyping berbasis MARS. Informasi polimorfisme calon rekombinasi jagung toleran bulai (donor) potensi hasil tinggi berumur genjah (resepien). Individu double haploid toleransi kekeringan berbasis invitro. Plantlet serealia toleran kekeringan. Plantlet serealia toleran salinitas

4. 5. 6.

7. 8. 9. 10. 11.

Diusulkan Melalui DIPA Status penelitian Penanggung Jawab a. Nama b. Pangkatr/Golongan c. Jabatan Lokasi Penelitian Jangka Waktu Tahun Dimulai Tahun Akhir Output Tahunan

12. Output Akhir

: Terbentuk koleksi inti plasma nutfah jagung, informasi variabilitas genetik gandum, dan sorgum, teridentifikasi minimal 3 gen fungsional jagung, gandum, dan sorgum.. Terseleksi minimal 3 gen fungsional jagung, gandum, dan sorgum. Terseleksi minimal 2 individu serealia (jagung, gandum, dan sorgum) toleran kekeringan dan

salinitas minimal 2 individu serealia (jagung, gandum, dan sorgum) toleran salinitas. 13. Biaya Penelitian TA 2013 : Rp 911.470.000

Koordinator Program,

Penanggung Jawab RPTP

Ir. Zubachtirrodin, MS. NIP. 19520505 198203 1 003 Mengetahui Kepala Puslitbang Tanbaman Pangan

Dr. Ir. Marcia Bunga Pabendon, MS NIP. 19621020 198903 2 001 Kepala Balai Penelitian Tanaman Serealia

Dr. Ir. Hasil Sembiring NIP. 19600210 198803 1 001

Dr. Herman Subagio NIP. 19600605 198403 1 001

RINGKASAN 1. 2. 3. Judul Unit Kerja Lokasi : Perakitan Varietas Unggul Berbasis Marka Molekuler Jagung, Gandum, dan Sorgum. : Balai Penelitian Tanaman Serealia (BALITSEREAL) : Laboratorium Biologi Molekuler dan Rumah Kaca Balitsereal, Kebun Percobaan Balitsereal di Bontobili (Sulawesi Selatan), Kebun Percobaan Balitkabi di Muneng (Jawa Timur), Kebun Percobaan BPTP Sulawesi Utara, serta kebun Percobaan BPTP NTB. : 1) Mengetahui variabilitas genetik dan potensi genetik koleksi plasma nutfah jagung, gandum, dan sorgum berbasis marka molekuler. 2) Mengetahui individu dari populasi segregasi jagung normal yang mengandung gen ketahanan kekeringan dan penyakit bulai berbasis MARS (Marker Assisted Recurrent Selection). 3) Mendapatkan tanaman serealia (jagung, gandum, dan sorgum) masing-masing toleran kekeringan dan salinitas berbasis invitro. : 1) Informasi variabilitas genetik koleksi plasma nutfah jagung, gandum, dan sorgum, terbentuk koleksi inti plasma nutfah jagung, teridentifikasi minimal 3 gen fungsional masing-masing jagung, gandum, dan sorgum. 2) Terseleksi minimal 3 individu galur jagung toleransi kekeringan dan penyakit bulai melalui genotyping berbasis MARS. 3) Terseleksi masing-masing minimal 2 aksesi serealia (jagung, gandum, dan sorgum) toleran kekeringan dan salinitas berbasis invitro. : Terdapat tiga kegiatan utama: 1) Karakterisasi molekuler plasma nutfah serealia (jagung, gandum, sorgum) berbasis marka SSR/dan atau SNP. 2) Genotyping galur jagung toleransi kekeringan dan penyakit bulai berbasis MARS (Marker Assisted Recurrent Selection). 3) Variasi Somaklonal Tanaman Serealia (Jagung, Gandum, dan Sorgum) Toleran kekeringan dan Salinitas melalui Mutagenesis Secara Invitro. : 5 (lima) tahun (2010-2013) : Rp 911.470.000,- (Tahun ketiga)

4.

Tujuan

5.

Luaran

6.

Metodologi

7. 8.

Durasi Budget (2013)

SUMMARY 1. 2. 3. Title Unit Location : Development of Superior Varieties of Maize, Wheat and Sorghum Based-on Molecular Marker Assisted Breeding. : Indonesian Cereals Research Institute (ICERI) : Laboratory of Molecular Biology, Greenhouse, and the Experimental Farm of ICERI in Bontobili (South Sulawesi), the Experimental Farm of ILETRI in Muneng (East Java), the Experimental Farm of North Sulawesi Assessment Institute for Agricultural Technology, and the Experimental Farm of West Nusa Tenggara Assessment Institute for Agricultural Technology. : 1) To study genetic variability and genetic potential of maize, wheat, and sorghum germplasm basedon SSR and/or SNP markers. 2) To identify individual line of segregated maize population that tolerance to drought stress and downy mildew disease based on MARS. 3) To develop maize, wheat, and sorghum lines/varieties tolerance to drought and salinity through in vitro technique approach. : 1) The genetic variability information of maize, wheat, and sorghum germplasms; Establishing maize core collections; Identification of functional gene at least one from each maize, wheat and sorghum. 2) At least 3 selected individual lines of maize tolerance to drought and downy mildew will be obtained. 3) At least 2 selected lines from each maize, wheat, and sorghum tolerance to drought and salinity will be obtained. of : There are three main activities: 1) Molecular characterization of cereals (maize, wheat, and sorghum). 2) Genotyping analysis of maize progeny tolerance to drought and downy mildew disease based-on marker-assisted recurrent selection (MARS). 3) Development of maize, wheat, and sorghum lines tolerance to drought and salinity based on in vitro technique. : 5 (five) years (2010-2014) Year : Rp 911.470.000,- (Third year)

4.

Objective

5.

Expected Output

6.

Description methodology

7. 8.

Duration Budget/Fiscal 2013

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Teknik molekuler, khususnya penggunaan penanda atau marka molekuler, telah digunakan untuk memonitor variasi urutan DNA dalam dan di antara spesies, serta membantu dalam merakit sumber-sumber baru variasi genetik yang menghasilkan sifat baru yang menguntungkan dari asal-usul spesies liar dan spesies sereal terkait. Peningkatan sistem deteksi penanda dan teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi penanda yang terkait dengan ciri-ciri karakter target atau yang bermanfaat telah mengalami kemajuan besar dalam beberapa tahun terakhhir (Korzun, 2002). Marka SSR (Single Sequence Repeat) atau biasa disebut mikrosatelit merupakan salah satu penanda atau marker yang terdiri atas 2-6 susunan basa berulang, sifatnya ko-dominan, telah dikembangkan untuk komoditas-komoditas telah mengalami kemajuan pesat utama seperti jagung. Sistem penanda tersebut

baik penanda yang terkait dengan karakter-karakter target yang didasarkan pada peta keterpautan (linkage map) maupun berdasarkan analisis segregan massal. Oleh karena itu, metode alternatif seperti konstruksi peta parsial dan kombinasi metode pedigree dengan penanda molekuler dalam program pemuliaan sangat penting saat ini (Korzun, 2002). Tingginya tingkat polimorfisme berbagai jenis komositas, seperti plasma nutfah jagung lokal yang masih dalam bentuk populasi, yang tidak mampu dilakukan secara manual dengan metode SSR, dapat diidentifikasi dengan menggunakan fasilitas penanda SNP (Single Nukleotide Polymorphism). genotyping array, telah dimanfaatkan pada SNP sejumlah aplikasi yang memerlukan

sejumlah besar penanda molekuler seperti pemetaan genetik yang padat, studi asosiasi genom, dan seleksi genom (Lu et al., 2009). Penanda SNP jumlahnya sangat banyak dalam genom (tanaman) dan jarak dari karakter target sangat dekat sekitar 1 cM, sehinggga dapat dipastikan bahwa tidak ada gen lain, utamanya gen yang tidak dikehendaki, yang terpaut dengan penanda SNP pada saat melakukan seleksi. Jika dibandingkan dengan penanda SSR dimana jarak dari karakter target sekitar 1-5 cM, sehingga ada peluang masih ada karakter lain atau yang tidak diinginkan yang ikut terbawa pada saat melakukan seleksi.

Sejumlah besar koleksi plasma nutfah baik jagung, sorgum, maupun gandum yang merupakan sumber karakter-karakter yang baik hanya tersimpan di bank gen regional yang hanya dikeluarkan pada saat akan diperbanyak atau direjuvenasi. Materi plasma nutfah tersebut belum banyak dimanfaatkan bahkan ada yang belum pernah dikarakterisasi untuk karakter-karakter penting baik abiotik seperti toleran kekeringan maupun biotik misalnya toleran penyakit bulai karena keterbatasan sarana dan prasarana seperti laboratorium yang belum memadai. Jagung merupakan salah satu komoditas ekonomi penting di Indonesia, dan bukan lagi merupakan komoditas yang menduduki posisi kedua setelah padi. Pemerintah Indonesia telah memberi perhatian besar terhadap peningkatan produksi jagung nasional. Oleh sebab itu peningkatan perbaikan mutu atau pembentukan varietas unggul baru dalam jumlah maupun kualitas serta yang mengarah pada spesifik lokasi harus segera diupayakan. Pemanfaatan plasma nutfah lokal yang mengandung sejumlah gen-gen potensial khususnya gen ketahanan biotik dan abiotik belum banyak dimanfaatkan. Hal tersebut berkaitan dengan kemapuan marka fenotipik yang sangat terbatas dalam mengekspresikan gen-gen potensial. Dengan adanya fasilitas berbasis marka molekuler maka koleksi-koleksi plasma nutfah khususnya populasi untuk jagung dapat dikelompokkan dan dibentuk koleksi inti. Koleksi inti tersebut akan mengumpulkan aksesi-aksesi yang mengandung gengen target seperti gen penyandi ketahanan biotik dan abiotik yang tidak terdapat pada koleksi plasma nutfah galur-galur elit introduksi yang pada umumnya mengandung karakter-karakter kuantitatif potensi hasil tinggi. Jika koleksi inti direkombinasi dengan galur-galur elit introduksi maka besar peluang untuk menghasilkan varietas-varietas potensi hasil tinggi dan toleran terhadap cekaman biotik dan abiotik. Kekeringan merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan air dalam tanah dan tanaman dalam periode pertumbuhan tanaman sehingga berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman jagung tergantung pada keadaan iklim, metode pengairan yang digunakan, dan varietas jagung yang ditanam. Menurut Dahlan (2001), agar dapat tumbuh baik, tanaman jagung memerlukan curah hujan rata-rata 25 mm/minggu. Istilah cekaman kekeringan yang digunakan sebagaimana yang biasa
6

disebut sebagai drought stress adalah pengaruh faktor lingkungan yang menyebabkan tidak/kurang tersedianya air secara cukup bagi tanaman. Menurut Levit (1980) stress kekeringan pada tanaman disebabkan oleh dua hal: (1) kekurangan suplai air di daerah perakaran dan (2) permintaan air yang berlebihan oleh daun dimana laju evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air oleh akar tanaman. Faktor yang pertama banyak dialami oleh tanaman yang ditanam pada lahan-lahan kering di daerah tropis. Lahan kering merupakan salah satu sumberdaya lahan potensial untuk pembangunan pertanian, khususnya tanaman jagung. Wilayah dataran rendah beriklim kering yang berpotensi untuk tanaman jagung berupa lahan kering yang menyebar terutama di Indonesia bagian timur, serta sebagian di Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Di wilayah tersebut umumnya berupa lahan tadah hujan yang juga menghadapi kendala musim hujan yang terlalu pendek dan tanah berbatu-batu di beberapa tempat sehingga sering terancam oleh resiko kekurangan air. Tanaman jagung sangat sensitif terhadap cekaman kekeringan terutama pada periode 1 minggu sebelum sampai dengan 2 minggu setelah berbunga. Kekeringan pada periode ini, tanaman akan mengalami peningkatan ASI (Anthesis silking interval) sehingga penyerbukan tidak sinkron (Edmeades et al., 1992) dan pembentukan biji yang tidak optimal bahkan sama sekali tidak ada biji yang terbentuk karena adanya reduksi hasil fotosintesis (Zinselmeier et al., 1995; Schussler and Westgate, 1995). Karakterisasi fenotipik dan genotipik toleransi cekaman kekeringan pada galur dan populasi plasma nutfah jagung bertujuan untuk menyaring genotipe yang toleran cekaman kekeringan. Data hasil karakterisasi dan evaluasi digunakan sebagai informasi pemulia dalam pembentukan varietas jagaung toleran cekaman kekeringan. Hal ini disebabkan karena keberlangsungan pertumbuhan akar pada kondisi cekaman kekeringan dikendalikan secara genetik (OToole and Bland, 1987; Hochhldinger et al., 2004), sehingga Grzesiak et al. (1999) menyarankan bahwa karakter morfologi akar dapat digunakan secara praktis untuk seleksi toleransi genotipe jagung terhadap cekaman kekeringan secara langsung maupun tidak langsung. Penyakit bulai merupakan penyakit utama pada jagung di Indonesia secara khusus, dan di Asia pada umumnya karena kondisi tropis yang lembab. Akhir-akhir
7

ini serangan penyakit bulai pada pertanaman jagung meningkat cukup tajam dimana serangan ini dapat merusak tanaman sampai 100%. Terdapat beberapa daerah yang dikenal endemik bulai, pencegahan dengan penggunaan bahan kimia pestisida sudah tidak mempan. Oleh sebab itu salah satu jalan keluar yang dapat dilakukan adalah penggunaan varietas tahan, dan lebih khusus lagi varietas tahan yang sifatnya spesifik lokasi karena diperkirakan bahwa di Indonesia sudah ada lebih dari satu jenis strain patogen bulai yang menyerang pertanaman jagung di lapangan. Pada sejumlah koleksi plasma nutfah ada peluang terdapat karakter ketahanan bulai namun karakter tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Yang sering menjadi kendala khususnya pada negara sedang berkembang seperti Indonesia adalah masih terbatasnya kemampuan SDM untuk menentukan strategi pendekatan yang tepat secara inter disiplin dan masih terbatasnya kemampuan untuk memanfaatkan alat bantu modern yang mampu untuk mengeksploitasi karakter-karakter potensial khususnya gen penyandi ketahanan penyakit bulai dari sumber genetik plasma nutfah lokal. Studi tentang mekanisme genetik karakter-karakter unggul dapat difasilitasi dengan perkembangan terbaru dalam teknologi DNA. Dengan menggunakan peralatan mutakhir yang bersifat high throughput, analisis genom dan ekspresi gen dapat dilakukan dalam waktu yang jauh lebih cepat dan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan analisis yang sama pada dekade sebelumnya. Singkatnya waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan kandidat-kanditat varietas dalam jumlah yang cukup memadai maupun karakter unggul yang spesifik yang siap diuji multi lokasi tentu akan merupakan suatu kemajuan besar. Teknik kultur jaringan dapat dimanfaatkan dalam perakitan varietas atau perbanyakan galur/tetua berbasis double haploid dalam waktu yang relatif singkat, jumlah banyak, dan seragam. Selain itu teknik kultur jaringan juga dapat digunakan untuk perakitan varietas toleran cekaman abiotik seperti toleran kekeringan dan salinitas. Untuk meningkatkan keragaman genetik pada tanaman yang bernilai ekonomis tinggi dapat memanfaatkan teknik variasi somaklonal dan induksi mutasi. Perubahan sifat genetik yang dihasilkan dengan metode ini sangat beragam. Untuk mengarahkan perubahan sifat ke arah yang diinginkan dapat digunakan metode seleksi in vitro. Dalam proposal ini akan dibahas perakitan varietas tanaman toleran
8

terhadap cekaman kekeringan dan salinitas dengan memanfaatkan teknik kultur jaringan tersebut. Selanjutnya dapat dilakukan seleksi dan identifikasi gen target dalam kromosom dengan alat bantu molekuler. 1.2. Dasar Pertimbangan Komoditas serealia jagung, gandum, dan sorgum telah menduduki posisi penting dalam perekonomian dunia, khususnya Indonesia karena manfaatnya yang sangat strategis khususnya untuk ketahanan pangan dan energi. Dengan demikian, secara otomatis produk-produk varietas baru yang mampu bersaing baik dalam potensi hasil tinggi maupun kualitas seperti kandungan gen penyandi ketahanan biotik dan abiotik, kandungan nutrisi tinggi seperti protein atau vitamin akan mendapat tempat di masyarakat. Koleksi plasma nutfah baik lokal maupun introduksi merupakan sumber-sumber karakter potensial khususnya untuk ketahanan cekaman biotik dan abiotik. Varietas spesifik lokasi ke depan akan semakin dibutuhkan, sehingga kita harus berpacu dengan waktu dan teknologi yang cepat dan efisien. Cekaman abiotis utama adalah kekeringan terutama pada pada lahan kering, dimana jagung sebagian besar ditanam pada lahan kering yang kebutuhan air untuk pertumbuhan tergantung pada curah hujan. Daerah-daerah yang curah hujannya rendah tersebar luas dari kepulauan Sumatera sampai Papua, areal jagung di daerah ini sering mengalami kekeringan sehingga menurunkan hasil, selain kekeringan juga masalah kemasaman tanah tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Salah satu cara untuk mengatasi kendala cekaman kekeringan dan lahan masam ialah menggunakan varietas jagung yang toleran kekeringan. Varietas yang toleran mudah digunakan dan diterapkan petani, dikombinasikan dengan teknologi produksi jagung secara tepat guna akan menjamin stabilitas dan peningkatan hasil jagung. Tersedianya galur-galur dan populasi toleran kekeringan sangat menunjang program perakitan varietas unggul baru yang memberikan hasil stabil dan lebih toleran kekeringan. Pemanfaatan marka DNA sebagai alat bantu seleksi dan mendukung seleksi secara fenotipik. Seleksi dengan bantuan marka molekuler didasarkan pada sifat genetik tanaman tanpa pengaruh faktor lingkungan. Dengan demikian, kegiatan pemuliaan tanaman menjadi lebih tepat, cepat dan biaya lebih hemat. Berbeda
9

halnya jika seleksi dilakukan berdasarkan fenotipik tanaman di lapangan, selain memerlukan waktu yang cukup lama sebagai kesulitan memilih dengan tepat gengen yang menjadi target seleksi untuk diekspresikan pada sifat-sifat morfologi atau agronominya, juga karena rendahnya frekuensi individu berkenan yang berada dalam populasi seleksi yang besar (Lamadji et al. 1999). Keuntungan lain dari pemanfaatan marka molekuler adalah masalah fenomena pautan gen antara sifat yang diinginkan dengan sifat tidak diinginkan yang sulit untuk dipisahkan saat melakukan persilangan dapat dibedakan sehingga hanya sifat yang diinginkan saja diintrogresikan ke individu target. Serangan penyakit bulai pada jagung akhir-akhir ini persentasenya meningkat, dan beberapa laporan menunjukkan bahwa pada beberapa daerah yang endemik bulai penggunaan pestisida sudah tidak mempan. Serangan penyakit bulai dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai 100%. Oleh sebab itu masalah ini tidak dapat ditunda-tunda lagi, harus dicari alternatif lain selain penggunaan pestisida. Salah satu jalan yang perlu ditempuh adalah perakitan varietas toleransi terhadap cekaman penyakit bulai. Dalam perakitan galur/varietas jagung toleran bulai bukan hanya pemulia yang terlibat tetapi membutuhkan jaringan kerjasama antar disiplin dan antar institusi untuk mendapatkan output yang diharapkan. Teknik in-vitro merupakan metode yang sangat bermanfaat untuk mengelola dan memaksimalkan nilai biologis tanaman (Wagih, 1996), terutama untuk percepatan tumbuh dan produksi bibit. Metode in-vitro seperti pengelolaan kalus dapat membantu peningkatan jumlah karakter dengan diperolehnya tanaman baru yang mempunyai perbedaan sifat dari induknya yang disebut sebagai variasi somaklonal (Larkin and Scowcroft, 1981). Pembentukan galur/varietas unggul toleran biotik atau abiotik juga dapat dilakukan melalui teknik invitro atau yang biasa disebut kultur jaringan. Karakter target yang telah terekspresi secara individu, selanjutnya dapat diidentifikasi posisinya dalam kromosom dengan bantuan marka molekuler. Salah satu kelebihan menggunakan teknik invitro adalah jika materi genetik yang mengandung gen target sangat terbatas dan sangat kecil peluangnya untuk tumbuh dan bertahan di lapangan. Dengan teknologi invitro maka materi genetik tersebut dapat dikembangkan dalam jumlah besar dan seragam. Namun demikian keberhasilan ini harus didukung oleh tingkat ketelitian yang tinggi, sterilitas
10

yang selalu terjaga, dan jenis media artifisial yang digunakan harus tepat. Pembuatan media artifisial yang tepat untuk setiap fase pertumbuhan membutuhkan modifikasi sehingga perlu meluangkan waktu dan kesabaran yang cukup tinggi. Untuk penelitian tahun 2010-2014 yang akan difokuskan untuk kegiatan invitro adalah pembentukan galur/varietas serealia jagung, gandum, dan sorgum yang toleran terhadap kekeringan dan pembentukan galur/varietas serealia jagung, gandum, dan sorgum yang toleran terhadap salinitas. 1.3. Tujuan

Tujuan jangka pendek:


1) Mengetahui informasi keragaman genetik plasma nutfah lokal jagung Sulawesi berbasis marka SNP. 2) Menyeleksi populasi segregasi jagung F2:3 yang mengandung gen toleransi kekeringan berbasis MARS. 3) Mengetahui polimorfisme calon rekombinasi donor dan resepien jagung toleran bulai (donor) potensi hasil tinggi umur genjah (resepien) berbasis marka molekuler. 4) Mengetahui planlet double haploid yang siap untuk diaklimatisasi. 5) Mendapatkan kallus serealia (jagung, gandum, sorgum) yang toleran terhadap kekeringan dengan perlakuan PEG, dan mendapatkan kallus serealia (jagung, gandum, sorgum) yang toleran terhadap salinitas dengan perlakuan NaCl melalui teknologi invitro.

Tujuan akhir :
1) Memperoleh koleksi inti yaitu koleksi yang mengandung karakter-karakter biotic dan abiotik yang tidak terdapat pada inbrida-inbrida elit koleksi plasma nutfah jagung, gandum, dan sorgum. 2) Mendapatkan minimum 3 individu dari populasi segregasi mengandung gen ketahanan terhadap cekaman kekeringan dan penyakit bulai. 3) Mendapatkan minimal 2 individu serealia masing-masing jagung, gandum dan sorgum yang toleran terhadap kekeringan dan minimal 2 individu serealia

11

masing-masing jagung, gandum dan sorgum yang toleran terhadap salinitas berbasis invitro. 1.4. Keluaran Keluaran 2013: 1) Informasi keragaman genetik plasma nutfah jagung lokal berbasis SNP. 2) Informasi individu populasi F2:3 jagung toleransi kekeringan hasil genotyping berbasis MARS. 3) Informasi polimorfisme calon rekombinasi jagung toleran bulai (donor) potensi hasil tinggi umur genjah (resepien). 4) Individu double haploid toleransi kekeringan berbasis invitro. 5) Plantlet serealia toleran kekeringan. 6) Plantlet serealia toleran salinitas Keluaran 2014: 1) Terbentuk koleksi inti plasma nutfah jagung, informasi variabilitas genetik gandum dan sorgum, teridentifikasi minimal 3 gen fungsional jagung, gandum, dan sorgum. 2) Terseleksi minimal 3 individu galur jagung toleran kekeringan dan penyakit bulai. 3) Terseleksi minimal 2 individu serealia (jagung, gandum, dan sorgum) toleran kekeringan dan salinitas minimal 2 individu serealia (jagung, gandum, sorgum) toleran salinitas. 1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak Manfaat: 1) Akan lebih mudah menghasilkan varietas-varietas yang mengandung gen potensial toleran biotik dan abiotik dengan memanfaatkan koleksi inti dari plasma nutfah lokal berbasis marka molekuler. 2) Tersedianya galur/varietas toleransi kekeringan dan/atau toleransi penyakit bulai maka ada pilihan galur/varietas yang sesuai dalam menghadapi kekeringan atau pilihan galur/varietas pada daerah endemik bulai.
12

3) Akan dapat berdampak seragam. Dampak:

pada pembentukan galur/varietas

toleran abiotik

atau biotik dengan perlakuan artifisial dan dalam jumlah yang banyak dan

1) Tersedianya informasi koleksi plasma nutfah yang mengandung gen-gen ketahanan biotik dan abiotik yang bersumber dari plasma nutfah lokal serta informasi variabilitas genetik yang akan berdampak pada kemudahan para pemulia membentuk varietas baru potensi hasil tinggi dan toleran cekaman biotik dan abiotik serta sifatnya spesifik lokasi. 2) Tersedianya galur/varietas toleran cekaman kekeringan dan penyakit bulai akan berdampak pada turunnya persentase kehilangan hasil akibat kekeringan atau serangan penyakit bulai. 3) Penguasaan teknologi invitro akan berdampak pada kemampuan untuk memperbanyak galur/varietas dalam kapasitas besar dan seragam sehingga akan berdampak pada peluang untuk pengembangan industri perbenihan jagung yang lebih besar.

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritis Sumberdaya genetik adalah material genetik potensial yang mengandung unit-unit fungsional pewarisan sifat. Variasi genetik dalam spesies sangat penting meliputi persentase lokus polimorfisme, jumlah alil, heterosigositas, jumlah rata-rata perbedaan nukleotida, dan susunan suatu alil. Keanekaragaman suatu spesies atau jenis (tanaman) tergantung pada keragaman susunan gen dalam kromosom, pada umumnya terdiri dari suatu kumpulan populasi yang tersusun dari individu-individu yang jumlahnya sangat banyak. Oleh sebab itu, jagung bersari bebas (populasi),

landraces, dan kerabat liarnya menggambarkan sumber daya genetik dari spesies
secara luar biasa. Sejarah pola migrasi jagung sangat kompleks, informasi tersebut dapat dibaca pada http:nal.usda.gov/research/maize/introduction.shtml. Jagung bersari bebas tumbuh pada berbagai kondisi baik pada daerah subtropis seperti di Amerika Latin (Mexico), di sebagian besar dataran Cina, maupun pada daerah tropis seperti di Asia, termasuk Indonesia dan telah beradaptasi menjadi suatu varietas lokal bagi para petani pengguna setempat. Banyak karakter-karakter penting seperti toleran kekeringan, umur genjah, tahan terhadap penyakit tertentu seperti penyakit bulai dapat dikembangkan dari materi genetik tersebut karena telah mengalami seleksi baik secara alami maupun seleksi yang oleh petani secara sengaja maupun tidak disengaja. SSRs (Simple Sequence Repeats) biasa juga disebut marka mikrosatelit, STRs (Short Tandem Repeats) atau SSLP (Simple Sequence Length Polymorphism). Tandem berulang ini biasanya terdiri atas unit-unit nukleotida di-, tri-, tetra-, penta-. Nukleotida-nukleotida berulang ini telah dikarakterisasi pada sejumlah spesies tanaman termasuk jagung, padi, sorgum, brassica, gandum, dan tomat. Marka ini berbasis PCR dimana primer forward dan reverse merupakan komplemen terhadap

conserved flanking regions yang berulang. Nukleotida berulang di- dan tetra- yang
paling banyak di dalam daerah genome non-coding, sementara 57% dari trinukleotida berulang muncul untuk berpindah tempat di dalam atau di sekitar gen. Hubungan erat antara jumlah alil yang terdeteksi dan jumlah total basa sederhana berulang di antara target DNA mikrosatelit telah diteliti. Semakin besar jumlah
14

perulangan di dalam DNA mikrosatelit, semakin besar pula jumlah alil yang terdedeksi di dalam populasi yang besar. Beberapa potensi yang dimiliki marka SSR sehingga selama ini banyak digunakan yaitu: (1) tersebar secara merata dan banyak di dalam genome, (2) hiper variable (jumlah alil banyak per lokus), (3) marka kodominan dengan lokasi genomic yang teridentifikasi, (4) hasilnya jelas dan dapat diulang, dan (5) sebagai alat bantu yang ampuh dalam membedakan genotype, evaluasi kemurnian benih, dan analisis keragaman genetik. Tantangan dalam pemanfaatan marka SSR adalah: (a) relative mahal dan membutuhkan waktu lebih banyak dalam mendeteksi lokus-lokus SSR dan design primer (pada sejumlah tanaman seperti jagung, padi dan gandum, sejumlah besar primer SSR telah tersedia pada domain public, dan (b) tidak tersedia untuk semua spesies tanaman, primer-primer yang tersedia biasanya spesies yang spesifik. Marka molekuler SSR biasanya banyak digunakan untuk mengetahui variasi genetik di dalam dan di antara populasi (Vigouroux et al., 2005) dan terdapat berbagai studi untuk menjelaskan keragaman genetik dari spesies pada skala yang luas. Marka SSR seakan-akan menjadi lebih informatif daripada SNPs pada saat membahas analisis hubungan keragaman genetik (Hamblin et al., 2007). Pada tanaman jagung, variabilitas genetik dalam populasi sukup besar, karena menyerbuk silang, sehingga banyak dibuat varietas-varietas sintetik atau komposit. Alil-alil baru (secara potensial lebi baik) dari lokus-lokus toleran kekeringan kemungkinan ditemukan juga dalam plasma nutfah yang berbeda, yang akan membentuk sumber ketahanan yang baru dan lebih baik dan lebih sesuai dalam mekanisme toleransi kekeringan. Karakterisasi struktural populasi jagung akan memberikan peluang kepada kita untuk memilih populasi yang memiliki persentase alil-alil unik yang paling tinggi dan akan menjadi sumber yang paling baik dari setiap lokus. Karakterisasi fungsional hanya akan memilih populasi yang sangat berbeda, sehingga akan lebih mudah dan terarah misalnya hanya memilih spesies untuk lokus-lokus yang berasosiasi dengan toleran kekeringan. Dengan demikian hanya populasi yang ditemukan mengandung keragaman yang maksimun pada alil struktural yang akan digunakan untuk karakterisasi fungsional. Selama dekade terakhir genotyping high-throughput platform berbasis marka single nucleotide polymorphism (SNP) telah digunakan pada sejumlah besar program
15

pemuliaan (Eathington et al., 2007). SNPs di dalam gen spesifik atau daerah genomic juga telah dimanfaatkan untuk mengetahui hubungan phylogenetik antara spesies. Bahkan, awal dari teknologi next genration sequencing telah mampu melihat keragaman genetik pada skala besar dari genome. Studi seluruh genome dari keragaman genetik mempunyai kontribusi terhadap keragaman genetik dalam spesies. SNPs (Single Nucleotide Polymorphisms) dapat diperkirakan sebagai marker genrasi ketiga. Marker ini merupakan mutasi titik (point) dimana satu nukleotida disubstitusi untuk yang lain pada lokus-lokus tertentu. SNPs merupakan tipe yang paling umum dari perbedaan sekuens antara alil, kodominan di alam, dan ada pada

inexhaustible source dari marka polimorfik untuk digunakan pada pemetaan genetik
karakter-karakter resolusi tinggi. Deteksi dari SNPs yang kodominan berbasis amplifikasi DNA menggunakan primer berdasarkan informasi sekuens yang telah diketahui untuk gen-gen spesifik. Pengujian SNPs dapat diaplikasikan pada tanaman, seperti padi dan jagung, dimana informasi genome telah berkembang jauh atau cepat. Fingerprinting atau sidikjari secara rutin dari galur-galur berbasis markamarka baru, yang multi fungsi seperti untuk kontrol kemurnian genetik, pengelompokan plasma nutfah, pemetaan karakter target, dan seleksi marker assisted (MAS). Hal tersebut yang menjadikan marka molekuler menjadi bagian integral dalam program pemuliaan komersial. Platform SNP multiplex, yang menganalisis ratusan SNPs secara simultan dalam satu reaksi, telah tersedia untuk aplikasi secara rutin dalam program pemuliaan (Hyten et al. 2008). Sebagai contoh, pada pemuliaan hewan, telah tersedia lebih dari 54.000 probe SNP (Sellner et al. 2007). Untuk seluruh genom manusia, platform chipSNP seperti Affymetrix GenChip atau platform Illumina Infinium BeadChip platforms tersedia sekitar 1,000,000 SNPs pada satu chip tunggal (Ziegler et al. 2008). Untuk jagung, sekuensing genome dari B73 telah komplit (www.maizesequence.org) dan akan dijadikan sebagai kontrol untuk resequensing gen space dari beberapa galur inbrida jagung baik swasta maupun pemerintah. Penggunaan sekuens ESTs telah berkembang digunakan untuk pelacakan SNPs di dalam tanaman seperti jagung. Studi resequencing dengan set 502 lokus EST-derived dari delapan inbrida jagung elit, meliputi 400-500 bp per lokus terdapat satu SNP yang tidak tertutup yang berbeda pada setiap 48 pasang
16

basa (bp) pada daerah 3untranslate (UTRs) dan 1 SNP per 130 bp pada daerah

coding. Dua ratus lima belas insertion/deletion (indel) polimorfisme pada minimal
ukuran 1 bp juga terdeteksi. Pada kacang kedelai ditemukan frekuensi SNP sebesar 1,64 SNPs per kb di dalam coding region dan 4,85 SNPs per kb pada daerah non

coding. Tiga puluh tiga persen dari 3UTR ditemukan tidak mengandung SNP.
Bahkan, pada beberapa spesies seperti padi, tingkat polimorfisme relatif lebih rendah dibandingkan tingkat polimorfisme SNP pada jagung. Selanjutnya, pada beberapa spesies, pre-skrining amplicon berperan penting dalam menentukan apakah tingkat polimorfisme yang terbatas mampu untuk memproses kelanjutan skrining SNPs. Denaturing high-pressure liquid chromatography (dHPLC), single-

strand conformational polymorphism, atau variasi kimia atau metode enzimatik cleavage kemungkinan digunakan untuk pre-skrining. Telah dilakukan sejumlah
pengujian SNP genotyping; tetapi belum ada yang memunculkan leader yang dominan dalam aplikasi ini. Pengujian hibridisasi alil-spesifik high-throughput untuk scoring SNP telah dikembangkan pada setting komersial untuk digunakan pada pemuliaan marker assisted pada kedelai. Beberapa potensi yang dimiliki marka SNPs dalam penggunaanya yaitu: (a) lebih mudah mengaplikasikan SNPs dibandingkan SSRs atau AFLPs; (b) dapat berjalan sendiri sehingga lebih mampu dalam mendukukung high-throughput; (c) paling bermanfaat jika beberapa lokus SNP posisi tidak tertutup sehingga mengikuti sifat haplotype dan terbentuk haplotype tags, dan (d) siap untuk integrasi pemetaan fisik dan genetik. Tantangan dalam penggunaan marka SNPs adalah (a) membutuhkan informasi sekuensing untuk gen dan (b) biaya awal tinggi. Haplotype yang mengkombinasikan informasi dari beberapa SNPs pada gen atau lokus yang sama dapat memberikan solusi parsial terhadap kelemahan marka SNPs, namun dapat dimanfaatkan ketika digunakan dalam analisis keragaman. Untuk galur-galur homozygous, satu SNP (misalnya A/T) dapat menghasilkan dua alil (A dan T) sementara dua SNPs dari satu lokus (misalnya A/T dan G/C) dapat menghasilkan empat kombinasi alil atau haplotype (AG, AC, TG, dan TC). Berdasarkan teori, n SNPs dari satu lokus dapat memproduksi 2 n haplotypes. Untuk 1536 unik SNPs (dengan hanya satu SNP per lokus), total maksimum 3072 alil dapat dideteksi dengan frekuensi alelik berkisar dari 0 sampai 0.5. Oleh karena itu,
17

retaining jumlah total SNPs yang sama tetapi menurunkan lokus menjadi 512 (misalnya tiga SNPs per lokus atau menjadi 384 lokus (misalnya untuk 4 SNPs/lokus), dapat menghasilkan sampai 4096 atau 6144 atau 6144 haploid terdeteksi. Pada kasus ini frekuensi haplotype dapat berkisar dari 0-1 dengan akumulasi besar di pada klas frekuensi rendah. Tidak semua haploid yang memungkinkan secara teoritis dapat ditemukan karena adanya linkage disequilibrium pada semua lokus. Hanya sekitar minimal 3000 haplotype yang dapat diobservasi oleh empat marka SNP pada setiap 384 gen. Bahkan pada level hypothetical dimana 50% redundancy, marka SNP haplotype sudah menjadi skrining informatif yang setara dengan deteksi 140 SSRs pada denga nrata-rata 22 alil (Liu et al, 2003). Hamblin

et al. (2007) melaporkan bahwa haplotipe SNPs secara jelas lebih

informatif daripada standar data SNP pada saat menentukan struktur populasi. Sedangkan pada pengujian ini menggunakan kombinasi dua dan tiga SNP haplotype per lokus. Skrining lebih banyak SNPs yang berasal dari antara setiap lokus akan meningkatkan kekuatan analisis keragaman dan seterusnya. Walaupun hal ini membutuhkan perbaikan, penggunaan kombinasi keduanya yaitu genotype dan haplotype akan membuat marka SNPs lebih kuat dari pada hanya menggunakan genotype sendiri dan akan menjadi sangat fungsional dalam analisis keragaman genetik. Pada jagung, keragaman molekuler dan fungsional telah diteliti di NSF (National Science Foundation) mengembangkan lebih dari seratus ribu SNP menggunakan teknik re-sequencing dan sequencing genrasi baru (www.panzea.org) dan telah tersedia secara umum. Jagung dengan OPA SNP 1536 telah dikembangkan dari data www.panzea.org digunakan untuk melakukan genotyping dari populasi NAM (Nested Association Mapping) menggunakan 5000 populasi RIL (200 galur dari masing-masing 25 famili) dengan metode integrated linkage map dengan 1106 SNPs polimorfik McMullen et al., 2009). Yang paling banyak menghasilkan polimorfisme genetik adalah SNPs, yang mewakili perubahan satu basa tunggal antara dua individu pada lokasi tertentu. Terdapat tiga kategori yang berbeda dari SNPs yaitu: transisi (C/T atau G/A), transverse (C/G, A/T, C/A, atau T/G) dan insersi/delesi (indel) kecil. SNPs pada berbagai sisi dapat bertindak sebagai bi-, tri-, atau tetra-

18

alilic, namun SNPs tri- dan tetra-alilik sangat jarang, namun dalam prakteknya SNPs umumnya bialilik (Lee, et al., 2008). Salah satu penyakit utama pada jagung adalah bulai yang disebabkan oleh Peronosclerospora spp. Jika pathogen ini dapat menginfeksi secara optimal pada fase vegetatif, dapat menurunkan hasil sampai 100% (Sujono dan Soepandi, 1988; Wakman et al., 2006; Yasin et al., 2008). Penyakit bulai dapat menghambat pertumbuhan karena mengalami hambatan dalam proses fotosintesis, sehingga dapat menyebabkan kegagalan panen (Sujono dan Soepandi, 1988). Pengalaman menunjukkan bahwa umumnya materi genetik asal introduksi tidak tahan terhadap penyakit bulai. Hasil pengamatan tahun 2006 (Wakman et al., 2006) menunjukkan bahwa bulai di Indonesia yang telah diidentifikasi disebabkan oleh tiga spesies yaitu

P. maydis, P. philippinensis, dan P. sorghi, yang ditemukan menyerang tanaman


jagung di pulau Jawa dan Kalimantan, P. sorghi ditemukan di pulau Sumatera, dan P. philippinensis awalnya menyerang di Minahasa, Sulawesi Utara, namun saat ini dilaporkan menyerang tanaman jagung di pulau Sulawesi. Identifikasi ini dilakukan berdasarkan cirri morfologi seperti bentuk atau ukuran spora yang dimiliki. Pengendalian penyakit bulai secara terpadu, dapat dilakukan melalui empat komponen pengendalian yakni periode bebas tanam jagung, penanaman jagung secara serempak pada satu hamparan, eradikasi tanaman terinfensi bulai, dan menanam varietas jagung tahan penyakit bulai (Wakman, 2008). Salah satu cara yang paling efektif dan efisien untuk mengatasi penyakit bulai pada periode relatif jangka panjang adalah penggunaan varietas tahan (Nurwanti, 2001). Seleksi in vitro untuk mendapatkan varian yang toleran terhadap kekeringan dapat menggunakan agen seleksi berupa senyawa osmotik. Senyawa ini dapat menyimulasi kondisi kekeringan di lapangan. Senyawa osmotik yang paling banyak digunakan dalam simulasi cekaman kekeringan adalah polyethylene glycol (PEG) (Santos and Ochoa, 1994). Senyawa PEG bersifat larut dalam air dan dapat menyebabkan penurunan potensi air secara homogen. Besarnya penurunan air sangat bergantung pada konsentrasi dan berat molekul PEG. Penurunan potensial air yang mencerminkan cekaman kekeringan bagi tanaman (Michel and Kaufmann 1973

dalam Yunita, 2009).

19

Pengaruh merusak dari garam pada tanaman merupakan akibat dari kekurangan air, karena konsentrasi garam yang terlarut dalam tanah. Kondisi ini mempengaruhi rasio K+/ Na+ karena pemasukan Na+ dan konsentrasi ion Na yang merugikan tanaman. Respons umum tanaman terhadap cekaman garam, kekeringan, dan suhu rendah berupa akumulasi gula dan senyawa kompatibel lainnya. Senyawa ini berfungsi sebagai osmoprotektan (penjaga osmolaritas). Pada beberapa kasus, senyawa osmoprotektan berfungsi menjaga stabilitas biomolekul pada kondisi tercekam. Tanaman melakukan beberapa cara untuk mempertahankan konsentrasi Na yang rendah dalam sel, yaitu dengan menghambat pemasukan garam, kompartementasi Na+ pada vakuola, dan mengaktifkan efluks Na+ (Yunita, 2009). 2.2. Hasil-Hasil Penelitian/Pengkajian Sebelumnya Hasil karakterisasi beberapa set inbrida yang telah berada pada generasi lanjut (generasi 6 ke atas) menunjukkan tingkat homosigositas yang bervariasi (Tabel 1). Jika sejumlah galur tersebut dimasukkan dalam program hibrida hanya berdasarkan jumlah generasi selfing maka banyak persilangan yang tidak berhasil karena kondisi heterosigositas masih tinggi. Data pada Tabel 1 menunjukkan hanya 1 set inbrida dimana semua genotipe yang dikarakterisasi mempunyai tingkat homosigositas >85% yaitu set inbrida jagung toleran low N. Sedangkan set inbrida lainnya masih mempunyai sejumlah genotip dengan tingkat heterosigositas yang cukup tinggi berkisar antara 9,8-36,4% Untuk meningkatkan efisiensi dalam program pembentukan hibrida maka seharusnya diupayakan untuk menyeleksi inbrida dengan tingkat homosigositas >85% tetua heterotik potensial yaitu pasangan tetua dengan nilai jarak genetik >0,7. (Penetapan nilai 85% berdasarkan rekomendasi CIMMYT). Dengan bantuan marka mikrosatelit yang dapat mendeteksi lokus heterosigot maka galur-galur tersebut dapat dikeluarkan untuk sementara dari program perakitan varietas.

20

Tabel 1. Hasil deteksi tingkat heterosigositas beberapa set inbrida berbasis marka mikrosatelit. Set Inbrida Inbrida jagung toleran low N Inbrida jagung toleran kekeringan Inbrida jagung toleran kemasaman Inbrida ultra genjah Inbrida jagung pulut Inbrida jagung provit A Inbrida toleran bulai Jumlah genotipe uji 10 61 17 32 45 11 50 Jumlah inbrida dengan tingkat homosigositas < 85% 0 (0%) 6 (9,8%) 2(11,8%) 7 (21,9%) 14 (31,1%) 4 (36,4%) 14 (28,0%) Waktu Pelaksanaan (tahun) 2010 2010 2010 2011 2011 2011 2011

Pada Tabel 2, data hasil karakterisasi sejumlah set inbrida, teridentifikasi 4 set inbrida yang set inbrida mempunyai tingkat polimorfisme yang rendah yaitu set inbrida ultra genjah, inbrida jagung pulut (b), inbrida provit A, dan inbrida jagung toleran bulai. Hal tersebut menggambarkan bahwa variabilitas genetik keempat set inbrida tersebut agak sempit atau berkerabat dekat. Kemungkinan bahwa set inbrida tersebut dibentuk dari populasi yang sama. Dengan demikian harus hati-hati dalam menentukan tetua persilangan di antara set inbrida itu sendiri untuk mendapatkan heterosis tinggi. Tabel 2. Informasi variabilitas genetik beberapa set inbrida hasil karakterisasi molekuler berbasis marka mikrosatelit Set Inbrida Inbrida toleran kekeringan Inbrida genjah toleran kemasaman Inbrida ultra genjah Inbrida jagung pulut (b) 15 25 31 0,59 0,48 0,44 4,0 3,2 3,0 2010 2011 2011 Jumlah Polimorfisme Genotipe rata-rata 57 0,63 Jumlah alil ratarata 4,0 Waktu Pelaksanaan (tahun) 2010

21

Inbrida provit A Inbrida toleran bulai

6 36

0,47 0,48

3,0 3,0

2011 2011

Identifikasi gen fungsional toleransi terhadap cekaman penyakit bercak daun menggunakan primer SSR spesifik, diperoleh delapan galur/varietas yang sangat tahan yaitu Oasis/Skauz//4*BCN, KEA/TAN/4/TSH/3/KAL/BB/TQFN/5/PVON/6, KANCHAN, HP 1731, PICUS/4CS5A/RL1// BUC/BJY/3/ALD/PVN/5/CBD-24,

KAUZ/RAYON, Nias, dan Dewata. Galur-galur ini dapat dikembangkan sebagai materi rekombinasi untuk perbaikan varietas gandum. Hasil analisis keragaman genetik isolat cendawan penyebab bulai pada jagung dari tiga lokasi pengambilan sampel yaitu Kediri (Jawa Timur), Bajeng (Sulawesi Selatan), dan Medan (Sumatera Utara), berdasarkan bentuk koloni, sampel yang berasal dari Sumatera Utara dan Jawa Timur, adalah merupakan Peronosclerospora

maydis. Hasil analisis keragaman genetik pathogen bulai membentuk 3 klaster yaitu
klaster I isolat asal Kediri (Jawa Timur) dimana konidianya berbentuk bulat oval identik dengan P. maydis, klaster II isolat asal Medan (Sumatera Utara) konidianya berbentuk bulat identik P. sorghi, dan klaster III adalah isolat asal Maros (Sulawesi Selatan) konidianya berbentuk lonjong identik dengan P. philippinensis. Pada tahun 2012 penelitian ini dilanjutkan lagi dengan menambah jumlah lokasi dan sampel yang dikoleksi untuk lebih meyakinkan mengenai perkembangan spesies pathogen bulai di Indonesia. Hasil koleksi tanaman yang terserang penyakit bulai pada tiga propinsi yaitu Sulawesi Selatan (Maros), Jawa Timur (Kediri), dan Sumatera Utara (Medan) dimana masing-masing lokasi dikoleksi minimal 10 sampel, menunjukkan morfologi konidia yang berbeda pada pebesaran yang sama yaitu 10x. Morfologi konidia di Maros (Sulawesi Selatan) mirip Peronosclerospora philippinensis, morfologi konidia di Kediri (Jawa Tengah) mirip P. maydis, sedangkan morfologi konidia di Medan (Sumatera Utara) mirip P.sorghi. Dengan demikian, dalam perakitan varietas toleran cekaman penyakit bulai harus bersifat spesifik lokasi, atau jika memungkinkan gen ketahanan terhadap ke-3 jenis pathogen dirakit dalam satu varietas dengan bantuan teknik molekuler. Hasil skrining toleransi kekeringan pada tanaman jagung diperoleh beberapa galur yang mengandung gen toleransi kekeringan pada akar. Galur-galur ini akan
22

digunakan sebagai galur-galur elit sebagai donor dalam perakitan varietas tolernsi kekeringan. Hasil penelitian pengembangan teknologi invitro untuk tanaman serealia jagung, gandum, dan sorgum menunjukkan bahwa eksplan jagung yang ditanam pada media MS yang ditambahkan masing-masing IAA dan 2,4-D, terlihat bobot kalus sangat baik terbentuk pada penggunaan ZPT 2,4-D dimana dari 5 Media yang diujikan terdapat 3 eksplan yang berhasil terbentuk kalus dan 2 eksplan pada varietas Lokal Ungu pertumbuhan kalusnya sangat baik pada 16 HST yang diberi tanda K** (Pertumbuhan kalus sangat baik) pada media MS + 2,4-D 2 ppm + 3 % Mannitol, sedangkan pada media MS + IAA dari 5 media yang diujikan hanya ada 2 yang berhasil membentuk kalus, dan setelah mencapai 16 HST terjadi pertumbuhan kalus yang ditandai dengan hanya K* (Pertumbuhan kalus baik) pada varietas lokal ungu. Penumbuhan kalus dari eksplan Sorgum memperlihatkan bahwa varietas numbu pertumbuhan kalusnya sangat baik pada media MS yang ditambahkan 2,4-D 2 ppm + 3% Mannitol, dimana pertumbuhan kalus baik (K*) pada 8 HST dan sangat baik (K**) pada 14 HST jika dibandingkan dengan konsentrasi 4 ppm 2,4-D + 3% Mannitol dimana kalus baru baik (K*) terbentuk pada 14 HST. Dalam konsentrasi rendah 2,4-D dapat berfungsi sebagai zat pengatur tumbuh yang mampu merangsang dan menggiatkan pertumbuhan tanaman, untuk varietas kawali kalus baru terbentuk pada 16 HST pada media MS + 2,4-D 2 ppm + 3 Mannitol. Eksplan gandum yang ditanam pada media MS + IAA memeperlihatkan tunas baru yang sangat baik tanpa perlu menunggu adanya pembentukan kalus terlebih dahulu.

23

III. METODOLOGI/PROSEDUR

3.1. Pendekatan (Kerangka Pemikiran) Plasma nutfah merupakan sumber gen pembawa karakter yang baik seperti gen ketahanan terhadap cekaman abiotik dan biotik. Oleh sebab itu informasi variabilitas genetik plasma kolesi nutfah sangat diperlukan sebagai langkah awal untuk pengambilan keputusan dalam eksploitasi plasma nutfah, kemudian diikuti oleh pembentukan koleksi inti untuk mengelompokkan plasma nutfah yang mengandung gen-gen potensial seperti ketahanan biotik dan abiotik yang tidak ditemukan pada koleksi plasma nutfah galur elit introduksi. Metode pendekatan berbasis DNA yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan dengan teknik marka molekuler merupakan alternatif yang memungkinkan untuk eksploitasi plasma nutfah. Penyakit bulai merupakan salah satu faktor utama kegagalan dalam proses produksi jagung. Penggunaan varietas tahan sangat diperlukan khususnya varietas tahan yang sifatnya spesifik lokasi karena hasil pengamatan menunjukkan gejalah adanya lebih dari satu jenis patogen bulai yang berkembang di Indonesia. Untuk materi genetik potensial namun jumlahnya sangat terbatas maka teknologi invitro akan sangat membantu untuk mempertahankan materi genetik tersebut melalui modifikasi media artifisial sehingga materi tersebut dapat diperbanyak dan seragam. Selain itu teknologi invitro juga dapat digunakan untuk membentuk galur/varietas toleran biotik dan abiotik dengan pemberian perlakuan pada media artifisial. 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan Kegiatan penelitian mencakup penelitian laboratorium dan lapangan. Kegiatan laboratorium difokuskan untuk kegiatan pre-breeding yaitu karakterisasi dan identifikasi gen target dan kegiatan pemuliaan yaitu seleksi berbasis marka molekuler dan invitro untuk mendukung kegiatan pemuliaan. Kaegiatan-kegiatan tersebut sebagai berikut:

24

3.2.1. Karakterisasi molekuler koleksi plasma nutfah jagung lokal berbasis SNP dan identifikasi gen fungsional pada plasma nutfah jagung, gandum, dan sorgum berbasis marka SSR. Kegiatan ini terdiri atas satu kegiatan yaitu:

Identifikasi gen fungsional tolerann kekeringan pada inbrida jagung, gandum, dan sorgum berbasis marka SSR.
3.2.2. Pembentukan inbrida jagung toleran cekaman kekeringan (abiotik) dan pembentukan populasi segregasi jagung toleran penyakit bulai (biotik) berbasis MARS. Terdiri atas dua kegiatan yaitu: 1. Phenotyping galur jagung F2 top cross toleransi terhadap cekaman kekeringan. 2. Genotyping jagung populasi segregasi F2:3 toleransi terhadap cekaman kekeringan. 3.2.3. Pembentukan galur double haploid toleransi kekeringan berbasis inVitro dan variasi somaklonal tanaman serealia jagung, gandum, dan sorgum toleransi kekeringan melalui mutagensis secara in-Vitro. Terdiri atas dua kegiatan yaitu: 1. Pembentukan tanaman doubled-haploid secara in vitro dengan colchicine sebagai inducer penggandaan kromosom. 2. Seleksi kekeringan dengan menggunakan PEG toleransi cekaman kekeringan. 3.3. Bahan dan Metode Pelaksanaan Kegiatan 3.3.1. Karakterisasi Koleksi Inbrida Plasma Nutfah Jagung, Gandum, Dan Sorgum Berbasis SSR Dan Dan Identifikasi Gen Fungsional Pada Jagung Berbasis Marka SSR. Hipotesis: Terdeteksi gen fungsional ketahanan abiotik kekeringan pada jagung. Lokasi : Laboratorium Biologi Molekuler Balitsereal. Bahan: Materi genetik berupa benih koleksi plasma nutfah inbrida jagung masing-masing sebanyak 50 biji per aksesi, media tumbuh berupa
25

tanah, pupuk kandang dan pupuk sesuai kebutuhan pertumbuhan di pot sampai tanaman berumur 10-15 hari, satu paket bahan kimia untuk karakterisasi menggunakan marka SSR, 5 unit primer SSR spesifik (forward dan reverse) toleransi cekaman abiotik, dan enzim Go Tag Green Master Mix. Metode: Persiapan materi genetik untuk ekstraksi DNA dengan mengecambahkan biji sebanyak 10-15 biji untuk masing-masing aksesi. Tanaman siap untuk diekstraksi pada saat tanaman berumur 7- 10 hari setelah tumbuh. Prosedur ekstraksi DNA mengikuti George et al. (2004) dan (Khan et al., 2004) yang dimodifikasi. Tahapan PCR juga mengikuti protokol George et al. (2004), yang diulang sebanyak 30 kali. Taq polymerase yang digunakan adalah GoTaq dari Biorad. Proses pewarnaan dan visualisasi pola pita DNA juga mengikuti prosedur George

et al. 2004. Skoring pola pita DNA berdasarkan data biner yaitu; jika ada pita
ditulis 1, jika tidak ada pita ditulis 0, dan jika penampilan pita sangat meragukan ditulis 9 (missing data). Data lain yang dikumpulkan adalah mendeteksi keberadaan alil unik dari masing-masing primer yang digunakan. Analisis data genotipik menggunakan NTSYS-pc, 2.1 (Rohlf, 2000). 3.2. Phenotyping Dan Genotyping Galur Jagung F2:3 Toleran Cekaman Kekeringan Berbasis MARS. 3.2.1. Phenotyping Galur Jagung F2:3 Top Cross Toleran Cekaman Kekeringan Lokasi: Bontobili (Sulawesi Selatan), Muneng (Jawa Timur), Pandu (Sulawesi Utara), dan Bima (NTB). Materi : Galur jagung F2 hasil top cross sebanyak 300 individu tanpa seleksi. Metode: Evaluasi toleransi galur F2:3 hasil top cross lingkungan tercekam kekeringan (severe) dilakukan pada MK 2013. Kegiatan penelitian menggunakan 2 perlakuan kekeringan yaitu pada pengairan normal dan perlakuan cekaman kekeringan.
26

Pada setiap petak, masing-masing hibrida F2:3 ditanam menggunakan jarak tanam 70 cm x 20 cm, sebanyak 2 baris dengan panjang 5 meter, 1-2 biji per lubang. Percobaan ditata menggunakan rancangan alpha lattice, 2 ulangan. Pemupukan dan pemeliharaan dilakukan secara optimal. Memasuki umur 10 hari setelah tanam, jumlah tanaman per baris diperjarang dengan menyisakan 25 tanaman saja. Metode pengujian merujuk pada standar yang digunakan oleh CIMMYT (1992) dan Banzinger et al. (2000). Pada pengujian pengairan normal, tanaman diairi tiap 2 minggu atau sesuai kebutuhan hingga panen, sedangkan untuk perlakuan cekaman kekeringan, pengairan dihentikan 2 minggu sebelum fase pembungaan, sehingga pada saat pembungaan tanaman sudah tercekam kekeringan. Pengairan diberikan kembali setelah pembungaan jantan selesai dengan pengaturan: bila ASI kurang dari 3 hari maka tidak diberikan pengairan, bila ASI 3-5 hari diberikan 1 kali pengairan pada saat 2 minggu setelah seluruh pembungaan jantan selesai, bila ASI 5-8 hari diberikan 1 kali pengairan pada saat 1 minggu setelah seluruh pembungaan jantan selesai, bila ASI lebih dari 8 hari, pengairan diberikan pada saat 80-100% dari tanaman dalam satu plot selesai berbunga jantan. Pada fase vegetatif dan generatif dilakukan pengamatan: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. Jumlah tanaman tumbuh (tanaman). Umur berbunga jantan (anthesis)(hari). Umur berbunga betina (silking)(hari). Tinggi tanaman dan letak tongkol (cm). Skor tingkat penggulungan daun Kandungan klorofil (cm2) Skor tingkat senesense daun Karakter daun : berbulu atau licin Aspek tanaman Jumlah tanaman panen (batang). Jumlah tongkol panen (tongkol). Aspek kelobot Aspek tongkol Bobot tongkol kupasan (kg). Kadar air biji saat panen (%). Rendemen

27

3.2.2. Genotyping populasi segregasi jagung F2:3 toleran cekaman kekeringan dan penyakit bulai berbasis MARS. Hipotesis: Terseleksi sejumlah galur jagung generasi F2:3 toleran cekaman kekeringan. Lokasi : Laboratorium Biologi Molekuler Balitsereal. Bahan: Materi genetik: 300 individu populasi segregasi jagung umur genjah tahan penyakit bulai, bahan kimia dan buffer yang akan digunakan dalam proses ekstraksi DNA, serta reagen untuk persiapan pre dan post PCR. Metode: Karakterisasi koleksi plasma nutfah jagung lokal (populasi) menggunakan metode Infinium HD Assay Ultra, Manual dengan urutan kegiatan sebagai berikut: Hari 1: 1. Ektraksi DNA genome dengan konsentrasi 200 ng/l. 2. Amplifikasi DNA 3. Inkubasi Hari 2: 4. Fragmentasi amplicon DNA 5. Presipitasi dan resuspensi 6. Preparasi BeadChip 7. Hibridisasi sampel pada BeadChip Hari 3: 8. Ekstensi dan Staining sampel pada BeadChip 9. Scanning BeadChip 10. Visualisasi dan analisis data primer.

28

3.3. Pembentukan Galur Double Haploid Toleransi Kekeringan Berbasis In-Vitro Dan Variasi Somaklonal Tanaman Serealia Jagung, Gandum, Dan Sorgum Vitro. 3.3.1. Pembentukan Tanaman Doubled-Haploid Secara In Vitro Dengan Colchicine Sebagai Inducer Penggandaan Kromosom. Hipotesis: Terdapat kallus jagung double-haploid hasil perlakuan colchicine. Lokasi : Laboratorium Kultur Jaringan Balitsereal Maros. Alat dan Bahan: Alat: konduktometer tipe methron E 38, pH meter, flame photometer, spektrophotometer, oven, desikator, botol gelas, gelas ukur, pipet ukur, mikrometer skrup. Untuk uji daya berkecambah di rumah kaca menggunakan bahan-bahan seperti: kotak plastik persegi empat, pasir halus yang telah disaring, ember plastik, selang plastik, sekop kecil, counter, penggaris, seperangkat peralatan laboratorium Biologi Molekuler, polybag ukuran paling kecil, baki plastic (tray), gunting, kantong kertas, spidol, selotif kertas dan plastic rol dengan ukuran yang bervariasi, label, pensil, ballpoint, hekter. Bahan: Kultur anther muda dari sebelumnya. Metode: Metode yang digunakan adalah kultur ather muda diinduksi menjadi kalus haploid, ditumbuhkan dalam media regenerasi tunas dan akar. Kemudian di aklimatisasi dan dilakukan silang diri (selfing) untuk perbanyakan benih. Entry yang digunakan adalah 10 aksesi plasma nutfah toleran kekeringan hasil evaluasi tahun 2012 dan 10 galur elit toleran kekeringan hasil introduksi CIMMYT. Hasil doubled-haploid adalah tanaman dengan tingkat homosigositas tinggi yang dapat digunakan sebagai tetua pembuatan varietas hibrida unggul. jagung yang diperoleh dari penelitian Toleransi Kekeringan Melalui Mutagensis Secara In-

29

3.3.2. Seleksi

kekeringan

dengan

menggunakan

PEG

toleransi

cekaman kekeringan. Hipotesis: Terdapat kallus jagung yang toleran kekeringan dengan perlakuan PEG. Lokasi : Laboratorium Kultur Jaringan Balitsereal Maros. flame photometer, Alat dan Bahan: Alat: Konduktometer tipe methron E 38, pH meter, spektrophotometer, oven, desikator, botol gelas, gelas ukur, pipet ukur, mikrometer skrup, seperangkat peralatan laboratorium Biologi Molekuler, polybag ukuran paling kecil, baki plastic (tray), gunting, kantong kertas, spidol, selotif kertas dan plastic rol dengan ukuran yang bervariasi, label, pensil, ballpoint, hektar. Bahan: Kultur embrio muda dari sebelumnya. Metode: Metode yang digunakan adalah kultur embrio muda jagung yang akan diinduksi menjadi kalus, kemudian diseleksi dalam media PEG (0 % - 15 %) untuk mensimulasi kekeringan pada tanaman. Kalus tumbuh dengan vigar baik akan diregenerasi tunas dan akarnya hingga menjai planlet sempurna. Aklimatisasi dan perbanyakan secara selfing dilakukan dalam rumah kawat. jagung yang diperoleh dari penelitian

30

Terbentuk koleksi inti plasma nutfah jagung, informasi variabilitas genetik gandum dan sorgum, teridentifikasi minimal 3 gen fungsional jagung, gandum, dan sorgum. Terseleksi minimal 3 individu galur toleran kekeringan dan penyakit bulai. Terseleksi minimal 2 individu serealia masingmasing jagung, gandum, dan sorgum toleran kekeringan dan salinitas.

Product

Technology Paths (T)

Karakterisasi molekuler koleksi plasma nutfah serealia (jagung, gandum, dan sorgum berbasis marka SSR dan/atau SNP. Genotyping populasi segregasi F2:3 jagung toleran kekeringan dan penyakit bulai berbasis MARS, dan keragaman genetik pathogen bulai di Indonesia. Seleksi media, pembentukan kallus, tunas, dan akar dan perlakuan toleransi kekeringan dan salinitas tanaman jagung, gandum, dan sorgum.

Pembentukan koleksi inti plasma nutfah jagung lokal Genotyping populasi segregasi jagung toleran kekeringan berbasis MARS. Seleksi kallus dan individu plantlet materi double haploid dan toleran kekeringan jagung, gandum, dan sorgum, serta aklimatisasi plantlet terseleksi.

Koleksi materi genetik (jagung, gandum, sorgum), karakterisasi, identifikasi, genotyping berbasis marka molekuler, dan seleksi berbasis teknologi invitro

Karakterisasi molekuler plasma nutfah serealia berbasis SSR dan/atau SNP Genotyping populasi segregasi jagung normal toleran kekeringan (abiotik) dan penyakit bulai (biotik) berbasis MARS (Marker Assisted Recurrent Selection). Pembentukan galur double haploid toleransi kekeringan berbasis in -Vitro dan variasi somaklonal tanaman serealia jagung, gandum, dan sorgum toleransi kekeringan melalui mutagensis secara in-Vitro.

Research and Development

2010

2011

2012

2013

2014

Gambar 1. Roadmap Rintisan Penelitian Berbasis Marka Molekuler Tanaman Serealia (jagung, gandum dan sorgum) Untuk Perakitan Varietas Unggul.

31

IV. ANALISIS RISIKO 4.1. DAFTAR RISIKO No. 1. RISIKO Aktivitas laboratorium terhenti karena mesin/alat produksi aquades dan aquabides rusak. 2. Phenotyping Galur F2:3 torleransi kekeringan tertunda PENYEBAB Kualitas air di Maros rendah karena sumber air dari air tanah mengandung kalsium (Ca) dan besi (Fe) sangat tinggi Periode musim hujan yang panjang sehingga menghambat kegiatan phenotyping untuk toleransi kekeringan 3. Penggunakan alat HiScanSQ belum dapat dilaksanakan secara maksimal Kemampuan sumberdaya manusia (SDM) masih rendah dalam hal pendekatan pemuliaan berbasis marka molekuler dan penguasaan bioinformatik 4. Jumlah populasi yang digenotyping sangat terbatas Dana yang tersedia untuk kegiatan genotyping tidak memadai untuk melakukan genotyping populasi F2:3 toleransi kekeringan. 5. Skedul kegiatan Pengadaan bahan kimia Laporan hasil Kemajuan penanganan genotyping sangat lambat Genotyping dan analisis data serta interpretasi data kurang valid. Genotyping berbasis marka molekuler terlambat pelaksanaannya DAMPAK Penelitian di laboratorium biologi molekuler terhambat atau tidak dapat dilaksanakan

32

penelitian di laboratorium mundur 6. Kontaminasi kultur

khusus untuk preparasi DNA berbasis SNP agak terlambat. Ruang tanam dan ruang kultur yang belum representatif dan kurang steril .

penelitian terlambat

Penanaman kallus dan eksplan terlambat Data pengamatan kurang valid

7.

Pertumbuhan kallus dan eksplan tidak optimal.

Listrik tidak stabil sehingga pencahayaan tidak teratur serta media tumbuh yang belum sesuai

4.2. DAFTAR PENANGANAN RISIKO No. 1. RISIKO Aktivitas laboratorium terhenti karena aquades dan aquabides rusak. 2. Genotyping galur F2:3 torleransi kekeringan tertunda 3. Penggunakan alat HiScanSQ belum dapat dilaksanakan secara maksimal Periode musim hujan yang panjang sehingga menghambat kegiatan phenotyping untuk toleransi kekeringan Kemampuan sumberdaya manusia (SDM) masih rendah dalam hal pendekatan pemuliaan berbasis marka Meningkatkan SDM khususnya dalam bidang pemuliaan molekuler dan Pembuatan benih F2 harus disiapkan lebih awal atau secara terencana PENYEBAB Kualitas air di Maros rendah karena sumber air dari air tanah mengandung kalsium tinggi PENANGANAN RISIKO Perlu dibuat instalasi pemurnian air untuk Ca dan Fe

mesin/alat produksi (Ca) dan besi (Fe) sangat

33

molekuler dan penguasaan bioinformatik

bioinformatik dan penguasaan penggunaan alat teknologi tinggi seperti HiScanSQ

4.

Jumlah populasi yang digenotyping sangat terbatas

Dana yang tersedia untuk kegiatan genotyping tidak memadai untuk melakukan genotyping populasi F2:3 toleransi kekeringan.

Tingkatkan dana penelitian marka molekuler

5.

Skedul kegiatan penelitian di laboratorium mundur

Pengadaan bahan kimia khusus untuk preparasi DNA berbasis SNP agak terlambat. Ruang tanam dan ruang kultur yang belum representatif dan kurang steril .

Pengadaan bahan kimia sesuai skedul.

6.

Kontaminasi kultur

Fumigasi secara rutin ruang kultur dan ruang tanam. Pemanfaatan genset secara optimal atau penyediaan UPS skala medium.

7.

Pertumbuhan kallus dan eksplan tidak optimal.

Listrik tidak stabil sehingga pencahayaan tidak teratur serta media tumbuh yang belum sesuai

34

V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN

5.1. Tenaga yang terlibat dalam kegiatan


Penanggun g jawab, Anggota peneliti Bidang Keahlian Jabatan Fungsio nal Alok asi wakt u (%)

No 1

RPTP/Kegiatan Judul RPTP: Teknologi Perakitan Varietas Unggul Berbasis Marka Molekuler Jagung, Gandum, dan Sorgum
Kegiatan: Karakterisasi molekuler koleksi plasma nutfah jagung, gandum, dan sorgum berbasis SSR dan/atau SNP Phenotyping galur F2 jagung toleransi cekaman kekeringan

NIP

Marcia B. P.

19621020 198903 2 001

Pem. Tanaman

Peneliti Madya

15

Marcia B. P. Reflinur Basyirin Syafaruddin Haryati Marcia B.P. M. Azrai Aviv Adriani Sigit Budisantoso Stepanus Misi Marcia B.P. Reflinur Basyirin Tri Joko Santoso Fristy Damanik Sigit Budisantoso Suskandari K. Tri Joko Santoso Dita

19621020 198903 2 001 19720413 200312 1 001 19640827 199303 1 001 19621020 19720120 19801014 19800927 198903 199903 200901 200501 2 1 2 1 001 002 005 001

Pem. tanaman Mol.Breeding Mol. Breeding Teknisi Pem tanaman Pem tanaman Pem Tanaman Pem Tanaman Teknisi Pem Tanaman Mol. Breeding Mol. Breeding Pem Tanaman Pem Tanaman Pem. Tanaman Teknisi

Pen. Madya Non Kelas Pen. Madya Pen. Madya Pen. Madya Non kelas Pen. Muda Pen Muda Non kelas Pen. Muda Laboran Pen Muda Pen Muda Pen. Muda -

35 15 15 35 20 15 25 15 25 25 15 15 45 35 15 10 40

Genotyping individu populasi segregasi F2:3 jagung toleran cekaman kekeringan dan penyakit bulai berbasis MARS Variasi somaklonal tanaman serealia jagung, gandum, dan sorgum toleransi kekeringan dan salinitas melalui mutagensis secara invitro

19621020 198903 2 001 19720413 200312 1 001 19720519 199903 1 001 19800927 200501 1 001 19660131 199403 2 001 19720519 199903 1 001 -

5.2. Jangka Waktu Kegiatan Rincian kegiatan 1) Karakterisasi koleksi plasma nutfah jagung, gandum, dan sorgum berbasis marka SSR (Single Sequence Repeats) dan/atau SNPs (Single Nucleotide Polymorphisms). 2) Pembentukan inbrida jagung toleran cekaman kekeringan 1 Pelaksanaan kegiatan (bulan) 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

x
35

(abiotik) dan pembentukan populasi segregasi jagung toleran penyakit bulai (biotik) berbasis MARS 3) Pembentukan galur double haploid toleransi kekeringan berbasis in-Vitro dan variasi somaklonal tanaman serealia x jagung, gandum, dan sorgum toleransi kekeringan melalui mutagensis secara in-Vitro 5.3. Pembiayaan 1. Rekapitulasi biaya penelitian Uraian Gaji Upah Bahan Perjalanan Sewa Total Biaya 2. Rincian biaya penelitian 2.1. Gaji Upah No. 1 2 3 Kegiatan Jumlah OH ROPP 1 ROPP 2 ROPP 3 Total 1000 2000 808 3808 No. 1 2 3 4

Biaya (Rp.) 152,320,000 519,750,000 183,600,000 24,800,000 911,470,000

Harga Satu OH (Rp) 40,000 40,000 40,000

Jumlah 40,000,000 80,000,000 32,320,000 152,320,000

36

2.2. Bahan No. 1 2 3 Kegiatan Pengadaan bahan kegiatan lab/lap, prosesing dan akses benih Penggandaan dan percetakan laporan Pengadaan ATK dan bahan komputer Total Perjalanan Kegiatan Penelitian, 3 ROPP Seminar (3 ROPP) Kegiatan lain yang terkait Total 2.4. No. 1 2 3 Sewa Nama/Spesifikasi Sewa Kendaraan ROPP 1 Sewa Kendaraan ROPP 2 Sewa Kendaraan ROPP 3 Total Jumlah (satuan) 8 24 8 Harga satuan (Rp.) 620.000 620.000 620.000 Jumlah (Rp.) 4.960.000 14.880.000 4.960.000 24.800.000 Volume 70 15 15 100 Satuan (Rp) 1,836,000 1,836,000 1,836,000 Jumlah (Rp) 128,520,000 27,540,000 27,540,000 183,600,000 Kebutuhan 1 paket 1 paket 1 paket Jumlah (Rp) 519.750.000 6.000.000 25.000.000 550.750.000

2.3. No. 1 2 3

37

DAFTAR PUSTAKA

Eathington, S.R., T.M. Crosbie, M.D. Edwards, R.S. Reiter, and J.K. Bull. 2007. Molecular markers in a commercial breeding program. Crop Sci 47:S154-S163. Edmeades, G. O, J. Bolanos, and H.R. Lafitte. 1992. Program in breeding for drought tolerance in maize. Proceeding of the 47th annual corn and sorghum industry. Research conference ASTA. Washington. D.C. George, M.L.C., E. Regalado, W. Li, M. Cao, M. Dahlan, M. Pabendon, M.L. Warburton, X. Xianchun, and D. Hoisington. 2004. Molecular characterization of Asian maize inbred lines by multiple laboratories. Theor. Appl. Gent. 109: 80-91. Grzesiak, S., T. Hura, M.T. Grzesiak, and S. Pienkowski. 1999. The impact of limited soil moisture and waterlogging stress conditions on morphological and anatomical root traits in maize (Zea mays L.) hybrids of different drought tolerance. Acta Physiologiae Plantarum 21 (3): 305-315. Guzshov,Y.1989. Gentics and plant breeding for agriculture. Mir Publisher. Moskow. Hamblin, M.T., M.L. Warburton, E.S. Buckler. 2007. Empirical comparison of simple sequence repeats and single nucleotide polymorphisms in assessment of maize diversity and relatedness. PLoS ONE 2:e1367. Hochhldinger, F., K. Woll, M. Sauer, and D. Dembinsky. 2004. Genetik dissection of root formation in maize (zea mays) reveals root type specific. 93:359-368. Hyten, D.L, Q. Song, I.Y. Choi, M.S. Yoon, J.E. Specht, L.K. Matukumalli, R.L. Nelson, R.C. Shoemaker, N.D. Young, P.B. Cregan. 2008. High-throughput genotyping with the GoldenGate assay in the complex genome of soybean. Theor Appl Gent 116:945-952. Khan, I.A., F.S. Awan, A. Ahmad, and A.A. Khan. 2004. A modified mini-prep method for economical and rapid extraction of genomic DNA in plants. Plant Molecular Biology Reporter 22: 89a-89e. Korzun, V. 2002. Use of molecular marker in cereal breeding. Cellular and Molecular Biology Letters, 7: 811-820. Lamadji, S., L. Hakim dan Rustidja. 1999. Akselarasi pertanian tangguh melalui pemuliaan non-konvensional. Dalam Prosisding simposium V pemuliaan tanaman PERIPI Komda Jawa Timur (Ashari et al., eds): 28-32.

38

Larkin, P.J. and W.R. Scowcroft. 1981. Somaclonal variation-a novel source of variability from cell culture for plant improvement. Theor.Appl.gen. 60 : 197 214. Lee, J.-Y., J. C. Kwon and J.-J. Kim. 2008. Multifactor dimensionality reduction (MDR) analysis to detect single nucleotide polymorphism associated with a carcass trait in a Hanwoo population. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 21(6):784-788. Levit, J. 1980. Responses of plants to environmental stresses, 2 nd Edn. Academic Press, New York, 497 p. Liu, K., M. Goodman, S. Muse, J. S. Smith, E. Buckler, and J. Doebley. 2003. Genetik structure and diversity among maize inbred lines as inferred from DNA microsatellites, Genetiks, vol. 165, no. 4, pp. 21172128. Lu, Y., J. Yan, C.T. Guimaraes, S. Taba, Z. Hao, S. Gao, C. Magorokhoso, S. Mugo, D. Makumbi, S.N. Parentoni, T. Shah, T. Rong, J.H. Crouch, and Y. Xu. 2009. Molecular characterization of global maize breeding germplasm besed on genome-wide single nucleotide polymorphisms. Theor. Appl. Genet, 120: 93115. Nurwanti, I. 2001. Seleksi ketahanan galur-galur jagung terhadap penyakit bulai. Skripsi. Tidak dipublikasi. OToole J.C. and W.L. Bland. 1987. Genotypic variation in crop plant root systems. Advances in Agronomy (41): 91145. Rohlf, F.J. 2000. NTSYSpc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System Version 2.1. Applied Biostatistics Inc. Santos, D.M.S and A.N. Ochoa. 1994. PEG-tolerant cell clones of chili pepper growth, osmotic potential and solute accumulation. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 37: 18. Schussler J.R., Westgate M.E. 1995. Assimilate flux determines kernel set at low water potential in maize. Crop Sci. ;35:1074-1080. Sellner, E.M., J.W. Kim, M.C. McClure, K.H. Taylor, R.D. Schnabel, J.F. Taylor. 2007. Board-invited review: Applications of genomic information in livestock. Journal of Animal Science 85:3148-3158. Sudjono, M.S. dan Y. Sopandi. 1998. Pendugaan penurunan hasil jagung oleh penyakit bulai (P. Maydis Rac. Shaw). Seminar Balittan Bogor. Vigouroux, Y, Mitchell S, Matsuoka Y, et al. 2005. An analysis of genetik diversity across the maize genome using microsatellites. Genetiks, 169: 1617-1630.

39

Wagih, M.E. 1996. Ag-biotecthnology, phyto-technology approach to plant breeding, course guide. Departement of Agriculture, University of Technology, Lae, Papua New Guienea. Wakman, W., S. Asikin, A. Bustan, dan M. Thamrin. 2006. Identifikasi spesies cendawan penyebabpenyakit bulai pada tanaman jagung di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan. Seminar Mingguan, Balitsereal. Jumat, 30 Juni 2006. Wakman, W. 2008. Pengendalian penyakit bulai pada jagung di Bengkayang, Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemian Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 5 Nopember 2008. On line http://www.peipfi-komdasulsel.org/wp-content/uploads/2011/06/8-WASMOPengendalian-Penyakit-Bulai-Pada-79-85.pdf. diakses 15 Juli 2011. Yasin, M.S., Soenartiningsih, A. Tenrirawe, A.M. Adnan, A.M. Adnan, W. Wakman, A.H. Talanca, dan Syafruddin. 2008. Petunjuk Lapangan Hama, Penyakit dan Hara pada Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bada Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Yunita, R. 2009. Pemanfaatan variasi somaklonal dan Seleksi in vitro dalam perakitan Tanaman toleran cekaman abiotik. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Ziegler, A., I.R. Knig, J.R. Thompson. 2008. Biostatistical aspects of genome-wide association studies. Biometrical Journal 50:8-28. Zinselmeier, C., Westgate M.E., Jones R.J. 1995. Kernel set at low water potential does not vary with source/sink ratio in maize. Crop Sci.;35:158-163.

40

Anda mungkin juga menyukai