Anda di halaman 1dari 9

Definisi

Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh karena meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit. Untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit tersebut, penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasia sumsum tulang sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat dari normal. Hal ini terjadi bila umur eritrosit berkurang dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemia, namun bila sumsum tulang tidak mampu mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi anemia.1,2,5

Memendeknya umur eritrosit tidak saja terjadi pada anemia hemolitik tetapi juga terjadi pada keadaan eritropoesis inefektiv seperti pada anemia megaloblastik dan thalasemia. Hormon eritropoetin akan merangsang terjadinya hiperplasia eritroid (eritropoetin-induced eritroid hyperplasia) dan ini akan diikuti dengan pembentukan sel eritrosit sampai 10 x lipat dari normal. Anemia terjadi bila serangan hemolisis yang akut tidak diikuti dengan kemampuan yang cukup dari sumsum tulang untuk memproduksi sel eritrosit sebagai kompensasi, bila sumsum tulang mampu mengatasi keadaan tersebut di atas sehingga tidak terjadi anemia, keadaan ini disebut dengan istilah anemia hemolitik kompensata.1,2,5

Epidemiologi Kebanyakan jenis anemia hemolitik sama-sama sering terjadi pada pria maupun wanita dan dapat terjadi pada usia berapapun. Orang-orang dari semua ras dapat mengembangkan anemia hemolitik.1

Etiologi Ada dua faktor utama dan mendasar yang memegang peranan penting untuk terjadinya anemia hemolitik yaitu: 1. Faktor Intrinsik (Intra Korpuskuler). Biasanya merupakan kelainan bawaan, diantaranya yaitu: a) Kelainan membran, b) Kelainan molekul hemoglobin, c) Kelainan salah satu enzim yang berperan dalam metabolisme sel eritrosit.

2. Kelainan Faktor Ekstrinsik (Ekstra Korpuskuler) Biasanya merupakan kelainan yang didapat (acquired) dan selalu disebabkan oleh faktor imun dan non imun. Bila eritrosit normal ditransfusikan pada pasien ini, maka penghancuran sel eritrosit tersebut menjadi lebih cepat, sebaliknya bila eritrosit pasien dengan kelainan ekstra korpuskuler ditransfusikan pada orang normal maka sel eritrosit akan normal.

Umur sel eritrosit yang memendek tidak selalu dikaitkan dengan anemia hemolitik, ada beberapa penyakit yang menyebabkan anemia dengan umur eritrosit yang pendek namun tidak digolongkan kedalam anemia hemolitik, diantaranya yaitu : a) leukemia, b) limfoma malignum, c) gagal ginjal kronik, d) penyakit liver kronik, e) rheumatoid arthritis, f) anemia megaloblastik. 3,4,5

Klasifikasi 1. Anemia Hemolitik Bawaan 1.1. Kelainan pada Membran Sel Eritrosit 1.1.1. Hereditary Spherositosis 1.1.2. Hereditary Ellipstositosis 1.1.3. Abetalipoproteinemia ( Acanthositosis ) 1.1.4. Hereditary Stomacytosis 1.1.5. Defisiensi Lecithin-cholesterol acyl Transferase (LCAT) 1.1.6. Hereditary Pyropoikilositosis 1.1.7. High Phosphatydil-choline Hemolitik Anemia 1.1.8. Rh-nul Diseases 1.1.9. McLeod Phenotype 1.2. Defisiensi Enzim Glikolitik Eritrosit 1.2.1. Pyruvate Kinase C 1.2.2. Hexokinase 1.2.3. Glucose-phosphat Isomerase 1.2.4. Phosphofruktokinase 1.2.5. Triosephosphate Isomerase 1.2.6. Phosphoglyserate Kinase 1.3. Kelainan Metabolisme Nukleotida Eritrosit 1.3.1. Defisiensi Pyrimidine 5 nukleotidase 1.3.2. Adenosine Deaminase Excess 1.3.3. Defisiensi Adenosine Triphosphatase 1.3.4. Defisiensi Adenylate Kinase 1.4. Defisiensi dari Enzim yang terlibat dalam Metabolisme Pentose Phosphate Pathway dan Glutatione 1.4.1. Glucose 6 Phosphate Dehyrogenase (G6PD) 1.4.2. Glutamyl-Cystein Synthetase 1.4.3. Glutathione Synthetase 1.4.4. Glutathione Reduktase 1.5. Kelaianan Sintesis dan Struktur Hemoglobin

1.5.1. Unstable Hemoglobin Disease 1.5.2. Sickle Cell Anemia 1.5.3. Hemoglobinopathies Homozygote (CC,DD,EE) 1.5.4. Thalassemia Mayor 1.5.5. Hemoglobin-H Diseases 1.5.6. Doubly Heterozygous Disorders ( SC-Dis.,Sickle-Thalass.)

2. Anemia Hemolitik Didapat 2.1. Immuno-hemolytic Anemia 2.1.1. Incompatible Blood Transfusion 2.1.2. Hemolytic Disease of the Newborn 2.1.3. Anemia Hemolitik Autoimmune yang disebabkan Antibodi Reaksi Hangat (WarmAntibody) 2.1.3.1. Idiopatik 2.1.3.2. Sekunder 2.1.3.2.1. Infeksi Virus dan Mikoplasma . 2.1.3.2.2. Lyn1phosarcome 2.1.3.2.3. Immune Deficiency State 2.1.3.2.4. SLE dan Penyakit Autoimun yang lain 2.1.3.2.5. Penyakit Keganasan yang lain 2.1.3.3. Drug-induced. 2.1.4. Anemai Hemolitik Autoimmune yang disebabkan Antibodi Reaksi Dingin (ColdAntibody ) 2.1.4.1. Cold Hemaglutinin Disease 2.1.4.1.1. Idiopatik 2.1.4.1.2. Sekunder 2.1.4.2. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria 2.2. Anemia Hemolitik Mikroangiopatik dan Traumatik 2.2.1. Prosthetic Valve dan Kelainan jantung yang lain 2.2.2. Hemolitik -Uremia Syndrome 2.2.3. Trombotic Trombositopenia Purpura 2.2.4. DIC ( Disseminated Intravascular Coagulation ) 2.2.5. Hubungannya dengan Phenomena Immunologic (Graft-rejection, Immune-complex Disease) 2.3. Infektious . 2.3.1. Protozoa: Malaria, Toxoplasma, Lheismaniasis, Trypanosomiasis

2.3.2. Bakteri: Bartonellosis, Infeksi Clostridial, Kolera, Typhoid Fever dan lain-lain. 2.4. Zat Kimia, Obat dan Racun Bisa 2.4.1. Zat Kimia dan Obat-obat Oksidan 2.4.1.1. Napththalene 2.4.1.2. Nitrofurantoin 2.4.1.3. Sulfonamide 2.4.1.4. Sulfones 2.4.1.5. Para-aminosalicylate 2.4.1.6. Phenacetin 2.4.1.7. Phenylsemicarbazide 2.4.1.8. Resorcin 2.4.1.9. Phenylhydrazine 2.4.1.10. Aniline 2.4.1.11. Hydroxilamine 2.4.1.12. Nitrobenzene 2.4.1.13. Phenolderivate 2.4.1.14. Chlorates 2.4.1.15. Molekuler Oxygen 2.4.2. Zat Kimia Non-Oksidan 2.4.2.1. Arsine 2.4.2.2. Copper 2.4.2.3. Water 2.4.2.4. Hubungannya dengan Dialisis dan Uremia. 2.4.2.5. Venoms 2.5. Physical Agent 2.5.1. Thermal Injury 2.5.2. Ionizing Irradiation 2.6. Hypophosphatemia 2.7. Spur-cell Anemia pada Penyakit Hati . 2.8. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria ( PNH ) 2.9. Defisiensi Vit.E pada Newborn.6,7

Manifestasi Klinis dan Laboratorium Untuk membantu menegakkan diagnosis anemia hemolitik pemeriksaan laboratorium memegang peranan yang sangat penting sekali, selain pemeriksaan klinis dan fisik diagnostik, diagnosis hanya dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik dan pemeriksaan laboratorium. Kelainan

fisik diagnostik yang umumnya didapat adalah berupa adanya: a) anemia, b) ikterus dan c) pembesaran limpa (splenomegali) akan memberikan kesan kemungkinan adanya anemia hemolitik. Secara garis besar kemungkinan anemia hemolitik dapat kita pertimbangkan bila pada pemeriksaan laboratorium dijumpai adanya beberapa kelainan seperti tersebut dibawah ini yaitu: 1. Adanya tanda-tanda peningkatan proses penghancuran dan pembentukan sel eritrosit yang berlebihan. 2. Kelainan laboratorium yang hubungannya dengan meningkatnya kompensasi dalam proses eritropoesis. 3. Adanya beberapa variasi yang penting terutama dalam membuat diagnosis banding dari anemia hemolitik. Kelainan laboratorium yang menunjukkan adanya tanda-tanda meningkatnya proses penghancuran dan pembentukan sel eritrosit yang berlebihan dapat kita lihat berupa: Berkurangnya umur sel eritrosit. Umur eritrosit dapat diukur dengan menggunakan Cr-Labeled eritrosit, pada anemia hemolitik umur eritrosit dapat berkurang sampai 20 hari. Meningkatnya penghancuran eritrosit dapat kita lihat dari tingkat anemia, ikterus dan retikulositosis yang terjadi, oleh sebab itu pemeriksaan umur eritrosit ini bukan merupakan prosedur pemeriksaan rutin untuk menegakkan diagnosis anemia hemolitik. Meningkatnya proses pemecahan heme, ditandai dengan adanya: Meningkatnya kadar billirubin indirek darah. Meningkatnya pembentukan CO yang endogen. Meningkatnya kadar billirubin darah (hiperbillirubinemia). Meningkatnya ekskresi urobillinogen dalam urin. 4. Meningkatnya kadar enzim Lactat Dehydrogenase (LDH) serum. Enzim LDH banyak dijumpai pada sel hati, otot jantung, otak dan sel eritrosit, kadar LDH dapat mencapai 1200 U/ml. Isoenzim LDH-2 lebih dominan pada anemia hemolitik sedang isoenzim LDH-1 akan meninggi pada anemia megaloblastik. 5. Adanya tanda-tanda hemolisis intravaskular diantaranya yaitu: Hemoglobinemia (meningkatnya kadar Hb.plasma). Tidak adanya/rendahnya kadar haptoglobulin darah. Hemoglobinuria (meningkatnya Hb.urin). Hemosiderinuria (meningkatnya hemosiderin urin). Methemoglobinemia. Berkurangnya kadar hemopexin serum.9,10,11,12

Kelainan laboratorium yang selalu dijumpai sebagai akibat meningkatnya proses eritropoesis dalam sumsum tulang diantaranya yaitu: 1. Pada darah tepi bisa dijumpai adanya: Retikulositosis ( polikromatopilik, stipling ) Sel retikulosit merupakan sel eritrosit yang masih mengandung ribosom, pemeriksaannya dilakukan dengan menggunakan pengecatan Brelian Cresiel Blue (BCB), nilai normal berkisar antara 0,82,5 % pada pria dan 0,84,1 % pada wanita, jumlah retikulosit ini harus dikoreksi dengan rasio hemoglobin/hematokrit (Hb/0.45) sedang jumlah retikulosit absolut dapat dihitung dengan mengkalikan jumlah retikulosit dengan jumlah eritrosit. Perlu juga dihitung Retikulosit Production Index ( RPI ) yaitu:

Makrositosis Sel eritrosit dengan ukuran lebih besar dari normal, yaitu dengan nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) > 96 fl. Eritroblastosis Leukositosis dan trombositosis

2. Pada sumsum tulang dijumpai adanya eritroid hiperplasia 3. Ferrokinetik : Meningkatnya Plasma Iron Turnover ( PIT ) Meningkatnya Eritrosit Iron Turnover ( EIT ) 4. Biokimiawi darah : Meningkatnya kreatin eritrosit Meningkatnya aktivitas dari enzim eritrosit tertentu diantaranya yaitu: urophorphyrin syntese,hexokinase, SGOT. 12,13

Tanda-tanda laboratorium lain yang digunakan untuk membuat diagnosis banding diantaranya yaitu: 1. Kelainan bentuk sel eritrosit pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi yang sering kita lihat adalah bentuk: Sel Spherosit: biasanya pada hereditary spherositosis immunohemolitik anemia didapat, thermalinjury, hypophosphatemia, keracunan zat kimia tertentu. Sel Akantosit, kelainan pada komposisi zat lemak sel eritrosit yaitu pada abetalipoproteinemia. Sel Spur biasanya ditemukan pada keadaan sirosis hati.

Sel Stomatosit, ada hubungannya dengan kation eritrosit jarang pada keadaan penyakit hemolitik yang diturunkan biasa terjadi pada keracunan alcohol. Sel Target, spesifik untuk: penyakit thalassemia, LCAT defisiensi dan post-splenektomi. Elliptocyte bentuk eritrositnya oval. Sickle Cell. Schistocyte, Helmet Bel dan fragmentosit sel, biasanya ada hubungannya dengan trauma pada sel eritrosit.

2. Eritrophagositosis, merupakan kelainan yang jarang yaitu adanya fagositik sel yang mengandung eritrosit hal ini memberi kesan adanya kerusakan pada permukaan sel eritrosit terutama oleh adanya induced komplement fixing antibody, protozoa, infeksi bakteri dan keracunan zat kimia tertentu. 3. Autoaglutinasi, hal ini merupakan karakteristik utama dari adanya penyakit cold aglutinin immunohemolitik, autoaglunatinasi harus dibedakan dengan rouleaux formation yang sering kita jumpai pada multiple mieloma dan hal ini sering diikuti dengan peningkatan laju endap darah ( LED ) 4. Osmotic Fragility Test yaitu mengukur ketahanan sel eritrosit untuk menjadi lisis oleh proses osmotik dengan menggunakan larutan saline hipotonik dengan konsentrasi berbeda-beda. Pada keadaan normal lisis mulai terjadi pada konsentrasi saline 0745-0,50 gr/l dan lisis sempurna terjadi pada konsentrasi 0730-0,33 gr/l. Median Corpuscular Fragility (MCF) yang meninggi akan menyebabkan terjadinya pergeseran kurva ke kiri hal ini ada hubungannya dengan spherositosis, sebaliknya nilai MCF yang menurun (fragilitas menurun atau osmotik resisten yang meningkat) maka kurva akan bergeser ke kanan, hal ini sering kita temui pada thalassemia, sickle cell anemia, leptositosis, sel target, dengan kata lain osmotik fragiliti sitosis penting dalam menentukan adanya kelainan morfologi eritrosit.8,12 10

Diagnosis Untuk menegakkan diagnostik anemia hemolitik dan penyebabnya maka kita harus berpatokan pada dua keadaan yang berbeda yaitu: 1. Menentukan ada tidaknya anemia hemolitik, yaitu: 1.1.Adanya tanda-tanda penghancuran serta pembentukan sel eritrosit yang berlebihan pada waktu yang sama. 1.2.Terjadi anemia yang persisten yang diikuti dengan hipereaktivitas dari sistem eritropoesis . 1.3.Terjadi penurunan kadar hemoglobin dengan sangat cepat tanpa bisa diimbangi dengan eritropoesis normal. 1.4.Adanya tanda-tanda hemoglobinuria atau penghancuran eritrosit intravaskular.

2. Menentukan penyebab spesifik dari anemia hemolitik, yaitu dengan mendapatkan informasi dari anamnesa yang tepat dan cermat terhadap pasien serta dari basil pemeriksaan sediaan apus darah tepi Clan Antiglobulin Test (Coombs Test) , dari data ini dapat kita bedakan lima grup pasien yaitu : 2.1 Anemia hemolitik yang disebabkan oleh adanya exposure terhadap infeksi , zat kimia dan kontak fisik . 2.2 Hasil pemeriksaan Coombs Test positif menunjukan Anemia Hemolitik Autoimune (AlHA). 2.3 Hasil pemeriksaan Coombs Test negatif kemungkinan adanya anemia hemolitik spherositik yaitu pada hereditary spherositosis. 2.4 Kelainan morfologi sel eritrosit yang spesifik : elliptositosis dan sickle sel anemi . 2.5 Golongan pasien dengan Coombs test negatip dan tidak adanya kelainan morfologi eritrosit yang spesifik, hal ini perlu pemeriksaan tambahan yaitu Hemoglobin elektroforese dan heat denaturation test untuk unstable hemoglobin diseases. Bila hasil pemeriksaan laboratorium tersebut diatas menunjukan hasil normal maka diagnosis anemi hemolitik menjadi sulit, kelainan enzym-enzym eritrosit merupakan penyakit yang sangat jarang kali dijumpai, namun perlu dilakukan pemeriksaan enzym eritrosit tersebut diantaranya yaitu enzim Glukose 6phosphat dehydrogenase dengan pemeriksaan secara enzimatik.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Bila karena reaksi toksikimunologik yang didapat diberikan adalah kortikosteroid (prednison, prednisolon), kalau perlu dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak berhasil, dapat diberikan obat-obat sitostatik, seperti klorambusil dan siklofosfamid.2

Prognosis Prognosis jangka panjang pada pasien penyakit ini adalah baik. Splenektomi sering kali dapat mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Surjono, Achmad. 1997. Vade-Mecum Pediatri. Jakarta: EGC. hal 47-57. 2. Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC. hal 98125. 3. Sulistyo A. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika. hal 48-88. 4. Charles H. Packman, John P. Leddy; Aquired Hemolytic Anemi dueto Warm-Reacting Autoantibodies; in Williams Hematology, Editors Ernest Beutler, Marshall A.Lichtman, Barry S. Coller, Thomas J. Kipps, Mcgraw-Hill. Inc. Health Professions Devision, Fifth Edition, 1995, hal. 677-684. 5. Charles H. Packman, John P. Leddy; Cryopathic Hemolytic Syndrome in Williams Hematology, Editors; Ernest Beutler, Marshall A. Lichtman, Barry S. Coller, Thomas J. Kipps, Mcgraww-Hill. Inc. Health Profesions Devision, Fifth Edition, 1995, hal. 685 -690. 6. D. S. Gillent, A. J. Bellingham; Haemolytlc Anemias, in. Clinical Haematology, Edited by; Christopher A. Ludlam, ELBS, with Churchill Livingstone, Low-Priced Edition, 1994, hal 78-98. 7. Ernest Beutler; Hemolytic Anemi Due to Chemical and Physical Agents; in Williams Hematology, Editors; Ernest Beutler, Marshall A. Lichtman, Barry S. Coller, Thomas J. Kipps 7 McGraw-Hill. Inc. Health Professions Division, Fifth Edition, 1995, hal. 670 -673. 8. Ernest Beutler; Hemolytic Anemi due to Infection with Microorganisms; in Williams Hematology, Editors: Ernest Beutler, Marshall A. Lichtman, Barry S. Coller, Thomas J. Kipps, McGraw-Hill. Inc. Health Professions Devision, Fifth Edition, 1995, hal.674-676. 9. G. C. de Gruchy; Clinical Haematology in Medical Practice, The English Language Book Society and Blackwell Scientific Publication, Fourth Edition, 1978, hal 125-144. 10. Henry J. B.; Clinical Diagnosis and Management By Laboratory Methodes, W. B. Saunders

Company, 18th Edition, 1991, hal 57-89. 11. Richard Ravel M. D.; Clinical Laboratory Medicine, Clinical Application of Laboratory

Data, Mosby st. Louis Baltomore, Berlin, Boston, London, Tokyo, Toronto, Sixth Edition, 1994, hal. 40 -55. 12. Sir John V. Dacie, S. M. Lewis; Practical Haematology, ELBS with, Churchil Livingstone,

Seventh Edition, 1991, hal. 179-225. 13. Wintrobe M. M.; Clinical Haematology, Lea & Febiger Philadelphia, Eighth Edition, 1985,

hal.734-957. 14. Weiss G. and Goodnough, 2005, Anemia of Chronic Disease, download from www.nejm.org

on November 2011.

Anda mungkin juga menyukai