Anda di halaman 1dari 7

BAB II KAJIAN PU STAKA

Sejarah Gua Pawon dan Kegiatan Warga Padalarang


Bangsa Indonesia kurang menghargai peninggalan masa lalu. Pernyataan tersebut kurang tepat. Yang lebih presisi adalah, jangankan menghargai masa lalu, bahkan masa depan pun dihancurkan. Gambaran tersebut cukup pas melukiskan keadaan Gua Pawon, gua peningggalan zaman prasejarah di Pegunungan Masigit, kurang lebih 25 km dari kota Bandung atau 8 km dari Tol Padalarang ke arah Cianjur. Meskipun berbagai pihak yang berselisih pendapat tentang keberadaan Gua Pawon telah berakhir, kenyataannya gua ini tetap telantar. Mengutip pendapat Ir. H. Sujatmiko, Dipl.Ing., anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), Gua Pawon merupakan situs gua prasejarah pertama yang pernah ditemukan di Jawa Barat. Nilainya sangat penting dalam upaya penelusuran jejak manusia prasejarah di provinsi ini. Menurut Dr. Harry Truman dan Dr. Thor Andy, peneliti Prancis, Gua Pawon kemungkinan besar telah dihuni dan dijadikan bengkel sejak zaman pra-neolitikum kurang lebih 10.000 tahun yang lalu hingga zaman neolitikum. Menurut para arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Bandung, sebagai bukti bahwa Gua Pawon pernah dihuni oleh manusia purba secara terus-menerus, gua ini terdiri dari beberapa ruangan yang kemudian diberi nama-nama khusus seperti ruang utama, ruang makan, ruang dapur, ruang anak, dan lain-lain. Apalagi, di tempat ini kemudian ditemukan peralatan batu berbentuk sederhana sampai pecahan-pecahan gerabah dengan pola hias dalam jumlah yang sangat berlimpah dan bervariasi. Jika kita mengunjungi gua itu sekarang, barang-barang tersebut tidak lagi berada di tempatnya semula, melainkan berada di Balar Bandung. Meski demikian, ruang-ruang yang dimaksudkan masih dapat kita lihat. Menaiki Gua Pawon tidak terlalu berat. Meski sedikit menanjak dan licin, tidak sulit menjangkaunya. Bahkan, anak-anak usia tiga hingga lima tahun pun mampu menaikinya, tentu mereka memerlukan bimbingan orang tua, supaya tidak jatuh ke jurang. Dapat dikatakan, Gua Pawon sangat cocok pagi para petualang tingkat pemula. Tidak terlalu sulit, tapi juga tidak terlalu mudah menjangkaunya.Kesan pertama memasuki Gua Pawon adalah bau kotoran kelelawar yang menyengat kuat. Karena, gua ini sekarang menjadi sarang kelelawar. Bunyi binatang yang gemar keluar malam hari ini terus bersahutan, sehingga semakin menyempurnakan nuansa seram sebuah gua. Sesekali terdengar bunyi mirip ketawa Nenek Lampir seperti dapat disaksikan di televisi swasta. Mungkin itu bunyi kelelawar yang begitu banyak. Namun terkadang, bunyi-bunyi itu mengesankan seperti banyak anak-anak di dalam gua sedang bermain-main.Selain bunyi kelelawar yang bersahutan di dalam gua, kita juga dapat mendengarkan berbagai macam suara dari puluhan rumah di kampung Gunung Masigit yang jaraknya 500-an meter. Bayi yang sedang menangis, kokok ayam jago dan ibuibu yang sedang mencuci pakaian dapat terdengar begitu jelas dari gua yang posisinya di atas perkampungan itu. Gua Pawon mirip gua di Wadi Rum (Rum Desert) di Yordania, kurang lebih 25 km dari Aqaba. Di tengah gurun padang pasir itu terdapat gunung-gunung batu, yang dicelah-

celahnya terdapat gua. Di gua inilah terdapat goresan-goresan peninggalan Kerajaan Rum dua ribu tahun silam. Hanya saja, bebatuan di Wadi Rum terlihat lebih tua dan memiliki banyak gunung batu yang sangat indah. Petualang pemula tentu tidak direkomendasikan mengunjungi tempat ini, karena anginnya yang begitu kencang di tengah gurun pasir yang jauh dari perkampungan penduduk.Sementara mengunjungi Gua Pawon tidak sesulit berpetualang di Wadi Rum Yordania yang memerlukan kendaraan beroda besar. Anginnya yang sejuk menambah asri pemandangan eksotis di sekitar Gunung Masigit dan wilayah di sekitar Kecamatan Cipatat. Sepeda motor dapat menjangkau Gua Pawon ini, namun kendaraan roda empat harus diparkir 500-an meter dari gua. Kalau ingin petualangannya lebih mantap, disarankan pengunjung berjalan kaki dari jalan raya Padalarang-Cipatat.Gua Pawon relatif mudah dijangkau. Jika perjalanan ditempuh dari Kota Bandung, setelah melewati Situ Ciburuy, kita akan mulai melewati jalan-jalan di sekitar Pegunungan Masigit yang berdebu dan penuh asap, karena banyak pabrik kapur. Tak lebih dari tiga kilometer dari Situ Ciburuy, kita dapat melihat papan petunjuk arah ke Gua Pawon. Sementara dari arah Cianjur, setelah melewati Kecamatan Cipatat dan tempat pelesiran di Cibogo, dalam dua kilometer berikutnya kita dapat melihat papan petunjuk di sebelah kiri. Melalui jalan aspal seadanya yang menurun dan kemudian naik, kita dapat menjangkau gua ini dari jalan raya. Tidak semua jalan menuju ke Gua Pawon beraspal. Sebagian jalan itu bahkan becek dan sangat licin saat hujan.Jika Pemerintah Kabupaten Bandung atau Kabupaten Bandung Barat tidak akan menghancurkan masa depan Gua Pawon, adalah wajar jika Dinas Pariwisata setempat membangun sebuah posko di sekitar gua. Di posko ini, diharapkan para pengunjung dapat memperoleh berbagai penjelasan mengenai keberadaan masyarakat Bandung purba. Jalan menuju Gua Pawon juga perlu diperbaiki agar bermanfaat bagi pariwisata di KBB. Sebab, dengan menghidupkan pariwisata, dengan sendirinya perekonomian di sekitar Desa Gunung Masigit akan hidup.Sangat sayang jika Gua Pawon dibiarkan telantar, apalagi jika suatu saat gua ini malah hancur akibat penambangan fosfat yang terus menerus dilakukan. Papan pengumuman yang terserak di dalam gua perlu ditegakkan kembali. Bahkan, fasilitas-fasilitas pariwisata sangat memungkinkan dibangun di sekitar Gua Pawon itu, untuk sekadar relaks di akhir pekan. Sangat disayangkan jika pemandanga asri di sekitar Gunung Masigit dibiarkan mubazir. Gua Pawon merupakan Situs Manusia Purba zaman prasejarah 300 ribu tahun Sebelum Masehi hasil penelitian Arkeolog. Gua Pawon merupakan aset nasional bahkan dunia. Sayang situs ini tidak menjadi perhatian utama oleh Pemerintah Pusat. Sekarang situs ini mulai menjadi pusat perhatian walaupun belum sepenuhnya menjadi perhatian Pemerintah Pusat dan menjadikannya tempat tujuan wisata. Setelah situs ini mulai dikembangkan menjadi tempat tujuan wisata banyak yang menyalahkan penggalian maupun penambangan batu kapur merusak lingkungan sekitarnya. Bahkan pernah ada yang menulis penggalian atau penambangan batu kapur tidak memberikan kontribusi penghasilan berarti bagi masyarakat sekitarnya. Kenyataannya masih digali sampai sekarang. Tanpa kita sadari banyak sekali manfaat dari kawasan ini. Sebagai contoh, Perusahaan Film atau Film untuk Iklan dari Jakarta yang mengambil lokasi pengambilan gambar didaerah Pegunungan Kapur tersebut. Kawasan ini pasti kita lewati dari Jakarta menuju Bandung atau sebaliknya [tidak lewat jalan tol]. Dari Jakarta setelah melewati Rajamandala kemudian Cipatat dan sebelum Gua Pawon atau setelah melewati, dipinggir jalan banyak ditemui Pengerajin Marmer dan Onix. Untuk perbandingan situs zaman prasejarah [purbakala] banyak ditemukan di Sulawesi

Selatan antara Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep. 2 [dua] Kabupaten tersebut masing-masing punya 1 [satu] pabrik semen besar [Bosowa dan Tonasa]. Pabrik Marmer dan Tambang Marmer terbanyak di Indonesia sekarang ada di Kabupaten Pangkep. Penambangan Marmer dan Semen ada didekat-dekat situs purbakala. Karena pengaturan yang baik dari Pemda setempat, tidak ada yang saling menyalahkan. Semua bersinergi dengan baik. Setahu aku Pemda disana dulu sempat studi banding ke Kabupaten Bandung [dulu] khususnya dengan Industri Marmer, karena teman atau saudara kita dari Kabupaten Bandung Barat yang membawa pengetahuan Industri Marmer kesana. Sudah harus diberhentikan budaya kita saling menyalahkan. Tantangannya bagaimana keduanya bisa bersinergi supaya objek wisata Gua Pawon menjadi tujuan wisata utama dan Industri Marmer juga menjadi tujuan wisata industri. Kalau semuanya bisa dikemas dengan baik tentu PAD Kabupaten Bandung Barat bisa meningkat. Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bandung Barat yang pertama, langsung telah dipilih oleh kita semua, kita tunggu kebijaksanaan mereka. Agar kita semua bisa fokus bekerja dalam bidangnya masing-masing untuk kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bandung Barat.

Menyingkap Kehidupan Masa Lalu di Gua Pawon


Selama ini keberadaan Gua Pawon bagi warga Kampung Gua Pawon dan Panyusuan Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung barangkali tidaklah terlalu istimewa. Letak gua yang berada di lokasi penambangan berbagai jenis batu itu hanya dianggap sebagai satu lokasi tempat bernaung disela penambangan batu atau tempat bermain anak-anak. Namun, siapa sangka jika di dalam gua ini ternyata menyimpan misteri kehidupan masa lalu. Ya, di dalam gua itu ditemukan 20.250 tulang belulang dan 4.050 serpihan batu yang diperkirakan berusia sekira 10 ribu tahun. Temuan besar yang cukup menggemparkan masyarakat Jawa Barat ini diharapkan akan menguak sejarah peradaban manusia Sunda. Apalagi selama ini, daerah Bandung dan sekitarnya amat miskin dari temuan-temuan arkeologi khususnya yang menyangkut peradaban manusia sehingga kemudian dijuluki ahistoris. Temuan tulang belulang dan serpihan batu itu diyakini mengindikasikan adanya kehidupan manusia purba dikawasan Gua Pawon. Bahkan dikawasan tersebut dipastikan pernah tumbuh kebudayaan manusia pada jaman dulu. Dugaan sementara para pakar, tulang belulang tersebut milik manusia purba yang hidup pada jaman batu dan tinggal di dalam gua. Sedangkan serpihan batu diduga merupakan perkakas milik manusia yang hidup dijaman dulu. Tulang belulang maupun serpihan batu, yang ditemukan didalam salah satu rongga Goa Pawon yang berlokasi antara Kampung Gua Pawon dan Panyusuan, Desa Gunung Masigit Kabupaten Bandung tersebut diduga berasal dari masa perlapisan budaya. Benda-benda tersebut ditemukan tim arkeologi dari Balai Arkeologi Bandung setelah melakukan penggalian selama sepuluh hari, (10-19 Juli 2003) pada lubang berukuran 2 x 2 meter persegi dengan kedalaman 140 sentimeter. Menurut Ketua Tim Peneliti Gua Pawon dari Balai Arkeologi Bandung, Lutfi Yondri, penggalian dilakukan menggunakan metode speed, yaitu menggali selapis demi selapis tanah dengan ketebalan lima sentimeter untuk setiap lapisnya. Saat penggalian itu, pada lapisanlapisan tersebut ditemukan tulang belulang, batu obsidian, serpihan batuan, gigi, rahang, serta mollusca air tawar. Tak hanya tulang belulang manusia purba, tim ini juga menemukan tulang belulang berbagai jenis unggas, vertebrata, serta reptil. Tulang yang diperkirakan milik mollusca air tawar, ditemukan dalam keadaan utuh. Kemungkinan besar, hewan tersebut

tidak dikonsumsi oleh manusia pada jaman itu, karena bila dijadikan mangsa makhluk lain, biasanya badan hewan tersebut hancur dan sulit dapat diangkat. Temuan tulang belulang serta serpihan batu di Gua Pawon, masih berdasarkan perkiraan berasal dari masa perlapisan budaya. Pada masa itu terjadi pelapisan tiga budaya, yaitu masa Mesolithikum, Preneolithikum, serta Neolithikum, yang masing-masing memiliki ciri tersendiri. Masa Mesolithikum, misalnya, sudah memiliki alat serpih. Masa Preneolithikum memiliki alat serpih dan gerabah. Pada masa Neolithikum, alat serpih tidak lagi digunakan, namun gerabah masih dimanfaatkan. Namun demikian untuk menentukan secara pasti tahunnya, tim menemui kesulitan. Hanya saja berdasarkan perkiraan, tulang belulang dan batuan itu berasal dari masa Mesolithikum yang berlangsung 35.000 tahun hingga 3.000 tahun yang lalu. Beberapa pakar Arkeologi, seperti Dr. Harry Truman Simanjutak, dalam beberapa tulisannya tentang manusia dan hewan masa purba yang datang ke wilayah Nusantara, menduga terjadi sejak masa plestosen (empat juta-20.000 tahun lalu) dan bermigrasi ke berbagai belahan dunia. Saat itu terjadi perubahan bentuk daratan, karena proses alami dari daratan jadi lautan, atau sebaliknya. Perubahan itu berlanjut pada zaman glasial (zaman es) di bumi bagian utara dan selatan, sedang di khatulistiwa berlangsung hujan dan iklim lembab (pluvium). Akibatnya, laut dangkal berubah jadi daratan. Kita pun lalu mengenal adanya paparan Sunda menghubungkan Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan sampai daratan Asia Tenggara. Di timur muncul paparan Sahul yang menghubungkan Irian dan Benua Australia. Kuat dugaan, pada zaman itulah manusia bermigrasi, menetap dan membangun kehidupan di suatu tempat, termasuk di Nusantara. Hal ini diperkuat dengan temuan artefak, fosil fauna, peralatan dari batu, tulang dan rangka manusia purba di Afrika, Eropa, Cina dan lainnya yang mirip dengan tinggalan yang dijumpai di Indonesia. Seorang pakar genetika, Wuryantari, pernah berujar, dari sebuah tulang manusia banyak riwayat yang bisa diungkap, dengan menggunakan teknik forensik. Bahkan wujud seutuhnya pun bisa dimunculkan lagi. Untuk itu menurutnya membangkitkan kembali nenek moyang kita yang hidup ribuan tahun lalu, bukannya tidak mungkin secara teoretis. Karena dalam fosil yang telah ditemukan, bisa saja ditemukan DNA (Deoxyribonucleic acid) yang masih dalam kondisi baik. Dalam hal ini ia melakukan analisis haplotipe (atau karakteristik genetik yang menandai suatu populasi) antara manusia purba dan manusia modern, agar dapat diketahui adanya kaitan kekerabatan dan pola migrasinya. Apakah, keberadaan tulang belulang yang ditemukan di Gua Pawon Gunung Masigit, ada kaitannya dengan nenek moyang Jawa dan Bali atau Nusantara? Untuk menyimpulkan hal tersebut diperlukan penelitian lebih mendalam dan waktu yang lumayan panjang. Goa Pawon termasuk wilayah Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat. Terletak 5 km di sebelah timur Kecamatan Cipatat atau 25 km dari pusat Kota Bandung. Jarak dari Jalan Raya Padalarang Cianjur 2 km melalui jalan desa menuju ke lokasi. Goa Pawon terletak pada koordinat 107 26'245" dan 0649'369", dengan tinggi dari permukaan laut 601 m. Gua Pawon berada di puncak bukit Pawon yang merupakan daerah penambangan batu kapur, dan pada zaman dahulu merupakan tepian Danau Bandung Purba. Goa Pawon pernah dicatat pada tahun 1959 dalam hasil survey geologi dan tahun 1999 Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) melakukan survey dan pemetaan geologi di kawasan Gua Pawon dan sekitarnya, selanjutnya KRCB tahun 2000 melakukan pengujian geomagnetic. Pada tahun 2003 Balai Arkeologi Bandung mengadakan penelitian arkeologi yang menemukan tulang manusia dalam kondisi yang masih utuh. Penelitian arkeologis terus

dilanjutkan oleh Balar Bandung dan UPTD Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, sejarah dan Nilai Tradisional pada tahun 2004-2005. A.C. De Yong dan G.H.R. Von Koenigswald tahun 1930-1935 telah melakukan survei kepurbakalaan di kawasan Jawa Barat di antaranya di Dataran Tinggi Bandung serta Cianjur. Berdasarkan hasil survey tersebut berhasil ditemukan alat-alat budaya masa lalu dari bahan obsidian, kalsidon, kwarsit, rijang dan andesit berupa anak panah, pisau, penyerut, gelang batu, batu asah. Beberapa ahli menyimpulkan temuan tersebut dikategorikan sebagai alat-alat budaya yang dimiliki oleh manusia Preneolitik, yang hidupnya mulai menetap di gua-gua atau ceruk atau sering kali dijumpai di kawasan perbukitan gamping. Pemetaan yang dilakukan G.H.R. Von Koenigswald terhadap penyebaran situs-situs tersebut menemukan konsistensi yaitu alat-alat tersebut selalu berada di puncak-puncak bukit dengan ketinggaian lebih dari 725 m di atas permukaan laut. Dengan menggunakan ketinggian minimum dari keberadaan situs-situs tersebut dapat diperkirakan keberadaan danau purba berada pada ketinggian sekitar 725 m dpl. Gua Pawon memiliki panjang 38 m dan lebar 16 m, sedang tinggi atap gua tidak dapat diketahui secara pasti karena saat ditemukan bagian atap gua sudah runtuh. Lantai gua hanya tersisa sebagian kecil di sisi barat karena sudah digali oleh masyarakat setempat untuk pengambilan fospat dengan kedalaman 4-5 m. Sedangkan lantai bagian tengah tertimbun oleh bongkahan runtuhan atap, sebagian besar sudah tererosi, sehingga membentuk lereng yang cukup terjal. Hasil ekskavasi pada tahun 2003 dan 2004 berhasil ditemukan berbagai bentuk artefak, fitur maupun ekofak yang dapat mencirikan akan keberadaan situs tersebut dimasa lalu. Artefak yang terdiri dari pecahan keramik, gerabah, alat serpih, alat tulang berbentuk lancipan dan spatula, alat batu pukul (perkutor), sisa perhiasan yang terbuat dari gigi binatang dan gigi ikan, moluska dan temuan yang sangat signifikan dari keberadaan kehidupan masa lalu berupa kerangka manusia. Kerangka manusia di Gua Pawon ini, ditemukan (2003) pada salah satu ceruk, dalam kotak ekskavasi (gali), ditemukan : Rangka I, berupa rangka manusia dewasa di kedalaman 80 cm dari permukaan tanah, ditemukan pada lapisan tanah yang terdiri atas lempung pasiran berwarna kecoklatan dengan bagian atas lapisan bercampur dengan butiran-butiran arang yang tersebar tidak merata di lapisan tersebut. Pada lapisan ini juga terdapat sebaran blok-blok fosfat, alat tulang, alat serpih, fragmen moluska dan fragmen tulang. Kondisi temuan saat ditemukan sudah rapuh, dan hanya bagian kepala atau tengkoraknya, dengan arah hadap muka ke arah selatan. Keadaan tulang tengkorak sudah tidak membulat, remuk secara vertikal. Hal yang menarik adalah tengkorak diberi pewarnaan pada seluruh permukaan tulang tengkorak, baik bagian dalam maupun luar, bagian rahang atas dan bawah yang ditemukan. Berdasarkan pengamatan terhadap perkembangan gigi, dapat diperkirakan bahwa manusia tersebut pada akhir hidupnya telah mencapai tahap perkembangan umur antara 25 30 tahun. Rangka II ditemukan pada lapisan tanah yang sama dengan rangka I, pada kedalaman 90 cm dari permukaan kotak ekskavasi. Temuan rangka II lebih sedikit, ditemukan berupa bagian belakang tulang tengkorak, dengan arah hadap fragmen tengkorak ke arah selatan, dan ukuran lebar 13,5 cm dan tebal 6,6 mm. Tidak ada perlakuan pewarnaan seperti pada rangka I. Rangka III merupakan rangka manusia dewasa ditemukan mulai kedalaman 143 cm dari permukaan kotak ekskavasi, yaitu pada lapisan tanah lempung halus berwarna kehitaman yang bercampur dengan blok-blok batugamping dan blok fosfat. Di bagian bawah peletakan rangka terdapat lapisan tanah berwarna putih yang merupakan hasil dari pelapukan fosfat. Lapisan ini tersebar hampir di seluruh bagian bawah rangka. Pada lapisan ini juga ditemukan beberapa artefak berupa alat serpih, alat tulang, moluska dan fragmen tulang. Temuan ini umumnya ditemukan pada bagian kotak yang mengarah ke mulut gua. Rangka III ditemukan dalam posisi menyamping ke arah kanan, bagian badan sebelah kiri berada di sebelah kiri

berada di sebelah atas dan bagian badan sebelah kanan di sebelah bawah. Rangka diletakkan masih insitu dengan sikap anggota badan terlipat (flexed) yaitu kedua kaki dilipat kearah dagu, kedua tangan ditempatkan di antara kedua paha/kaki, dan orientasi utara-selatan dengan kepala disisi selatan, kaki di utara dan muka mengarah ke sisi timur. Tengkorak telah hancur pada sisi kanan, sedang sisi kiri masih terlihat utuh. Berdasarkan pengukuran masing-masing bagian rangka memiliki ukaran tinggi 163 cm. Satu-satunya temuan serta rangka III adalah sebuah bongkahan batu tufa (tuff) yang terletak di atas bagian badan sebelah kiri atas. Batu berukuran panjang: 16 cm, lebar: 11 cm dan tebal: 5,3 cm. Sementara itu, dibagian bawah keletakkan rangka III terdapat satu lapisan tanah berwarna putih, yang merupakan lapisan tanah yang bercampur dengan pelapukan fospat. Lapisan ini seolah menjadi pembatas dengan lapisan tanah yang berada di bagian bawahnya. Rangka IV adalah rangka individu dewasa dengan keletakkan kedalaman 163 cm dari permukaan kotak ekskavasi. Rangka terletak pada lapisan lempung halus berwarna kemerahan yang mengandung blok-blok batugamping dan blok fosfat. Pada bagian bawah keletakkan rangka III, terdapat satu lapisan tanah berwarna putih yang merupakan campuran tanah dengan pelapukan fosfat. Lapisan ini seolah-olah menjadi pembatas dengan lapisan tanah yang berada di bagian bawahnya. Kondisi rangka sudah sangat rapuh, beberapa bagian susunan tulang sudah hilang atau hancur, namun secara anatomis beberapa bagian di antaranya masih dapat diamati. Rangka IV merupakan sisa dari rangka yang dikuburkan sengan posisi terlipat, dengan oreintasi baratlaut-tenggara dengan kepala berada di sebelah barat. Kedua kaki menunjukkan gejala pelipatan ke arah dada. Penempatan kedua tangan sangat sulit diamati karena sebagin besar sudah hancur. Kemungkinan kedua tangan ditempatkan ke arah penempatan kedua kaki yang ditekuk ke arah dada. Posisi peletakkan rangka pada bagian kepala disangga oleh batu (batu pasir), orientasi rangka baratlauttenggara dengan posisi kepala berada di bagian baratlaut, muka menghadap ke arah timur. Selain disangga batu, di sisi-sisi rangka terdapat bongkahan-bongkahan batu gamping yang terletak seolah-olah menjadi pembatas peletakkan rangka. Ukuran tengkorak lebar 16 cm dan panjang 19 cm. Temuan kubur di Goa Pawon dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk penguburan, yaitu penguburan langsung dan penguburan tertunda. Mayat yang dikuburkan tertunda akan memperlihatkan gejala susunan tulang tidak berhubungan secara anatomis, tidak berartikulasi atau tidak lengkap atau hanya diwakili oleh bagian-bagian tertentu rangka seperti rangka I, yang diberi pewarna dari bahan alam. Sedang rangka II oleh karena temuan sangat terbatas, sangat sulit untuk menafsirkan bentuk penguburan. Bentuk penguburan langsung diperlihatkan temuan rangka III dan IV. Secara anatomis susunan tulang masih berada dalam susunannya, akan tetapi dari segi peletakkan sudah berubah dari posisi awal membujur ke posisi terlipat. Penguburan terlipat ini juga menunjukkan dua orientasi peletakkan. Di Goa Pawon selain ditemukan sisa artefaktual, juga ditemukan non artefaktual seperti fragmen tulang dan moluska. Sisa fauna yang ditemukan anatara lain berupa jenis moluska yang umumnya berupa cangkang yang berasal dari kelompok moluska air tawar (freshwater molusca) serta sisa fauna berukuran besar (macro fauna) dan fauna berukuran kecil (micro fauna) yang berupa fragmen tulang bagian tengkorak, rahang, gigi dan tanduk yang cukup banyak ditemukan. Keberadaanya di Goa Pawon besar kemungkinan terjadi karena adanya kaitan rantai makanan yang pernah terjadi di masa lalu, dalam hal ini sebagai bagian dalam pemenuhan kebutuhan bahan makanan (konsumsi) dan mungkin juga untuk dipergunakan dalam pembuatan peralatan hidup sehari-hari. Dapat diduga mengenai identifikasi situs Gua Pawon sebagai situs hunian secara berkelanjutan (multi component site) di masa lalu. Kuat dugaan situs Goa Pawon telah berkembang sebagai sebuah situs pemukiman yang telah dihuni sejak era mesolitik dan terus berlanjut sampai sekitar neolitik. Sebagai sebuah situs pemukiman, tentunya di masa lalu di kawasan tersebut telah ada pembagian wilayah secara

fungsional, baik yang diperuntukkan sebagai lahan hunian dan lahan sakral yang diperuntukkan sebagai tempat penguburan. Temuan kerangka manusia kuno yang relatif langka ini segera diamankan agar tidak rusak dengan cara pengangkatan, pembersihan dan dibuat duplikatnya oleh Balai Arkeologi Bandung. Di Gua Pawon ditempatkan duplikatnya dan kerangka asli disimpan di Balai Arkeologi Bandung sebagai bahan penelitian dan untuk pengamanan. Selanjutnya Pemda Jabar melalui Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional memasang pagar besi di mulut Gua Pawon tempat temuan kerangka kuno untuk mencegah pengunjung mengambil/merusak tinggalan di lokasi tersebut. Di Goa Pawon hingga sekarang belum dibangun fasilitas untuk tujuan wisata seperti jalan yang belum diaspal, belum tertata Situs dan lingkungannya, yang dapat menunjang kelancaran maupun kenyamanan bagi pengunjung. Agaknya minat masyarakat untuk datang ke Goa Pawon cukup banyak, hal ini karena masyarakat memiliki keingintahuan yang sangat besar terhadap temuan kerangka manusia pertama di Jawa Barat ini. Selain itu Gua Pawon memiliki daya tarik yang belum terpublikasi berupa pemandangan alam yang dapat dilihat dari dalam Gua Pawon berupa hamparan lembah dengan sawah, perkebunan dan aliran Sungai Cibukur yang indah. Bagi wisatawan yang menyukai oleh raga menantang seperti mendaki gunung (hiking) dapat mendaki puncak bukit Pawon dimana terhampar batu-batu alam sebagai hasil bentukan alam yang menyerupai sebuah taman batuan yang menakjubkan.

Anda mungkin juga menyukai