Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh:
G99112135
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2013
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Agama Alamat Tanggal Masuk Tanggal Pemeriksaan No. CM : Tn. H : 65 tahun : Laki-laki : Petani : Islam : Gemolong, Sragen, Jawa Tengah : 9 Oktober 2013 : 9 Oktober 2013 : 01222741
B. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan mata kiri seperti ada yang
mengganjal. Pasien juga mengeluhkan seperti ada selaput berwarna putih yang tumbuh di mata kiri dan semakin meluas ke arah bola matanya. Keluhan sudah dirasakan pasien sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu. Pasien juga merasakan pandangan semakin berkurang sejak saat itu. Pandangan kabur (+), pusing (-), mata cekot-cekot (-), nrocos (-), keluar blobok (-), mata merah (-), mata gatal (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu 1. 2. 3. 4. Riwayat hipertensi Riwayat penyakit jantung Riwayat diabetes mellitus Riwayat asma : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal
5.
Riwayat alergi
: disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga 1. Riwayat hipertensi 2. Riwayat diabetes mellitus : disangkal : disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK A. Keadaan Umum dan Tanda Vital Keadaan umum Derajat kesadaran Status gizi Tensi Nadi Pernafasan Suhu : Tampak sakit sedang : Compos mentis : Gizi kesan cukup : 120/80 mmHg : 80 x/menit, reguler, isi tegangan cukup, simetris : 20 x/menit : 36,6oC (per axiler)
B. Pemeriksaan subyektif OD Visus Sentralis Jauh Pinhole Koreksi Refraksi : : : 6/20 tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan OS 5/60 tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan
Visus Sentralis Dekat Koreksi Visus Perifer a. b. c. Konfrontasi test : Proyeksi sinar : tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan : tidak dilakukan tidak dilakukan
Persepsi warna : Merah Hijau tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan
C. Pemeriksaan Obyektif 1. Sekitar mata Tanda radang Luka Parut Kelainan warna : : : : tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
hitam normal sawo matang dalam batas normal dalam batas normal
hitam normal sawo matang dalam batas normal dalam batas normal
3. Pasangan Bola Mata dalam Orbita Heteroforia Strabismus : : tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
4. Ukuran bola mata Mikrophthalmus : Makrophthalmus : Ptosis bulbi Atrofi bulbi Bufthalmus Megalokornea Mikrokornea : : : : : tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
5. Gerakan Bola Mata Temporal Superior: Temporal Inferior : dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal
Temporal Nasal Superior Nasal Inferior 6. Kelopak Mata Gerakan Oedem Hiperemis Lebar Rima
: : :
: : :
Tepi Kelopak Mata Oedem Hiperemi Entropion Ekstropion : : : : tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
7. Sekitar saccus lakrimalis Oedem Hiperemi : : tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
8. Sekitar Glandula lakrimalis Oedem Hiperemis : : tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
9. Tekanan Intra Okuler Palpasi : tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan
Konjungtiva palpebra superior Oedem Hiperemis Sekret : : : tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
Konjungtiva palpebra inferior Oedem Hiperemis Sikatrik : : : tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
Konjungtiva Fornix Oedem Hiperemis Sekret : : : tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
Konjungtiva Bulbi Oedem Hiperemis Sekret : : : tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada ada
Injeksi Konjungtiva: Injeksi Siliar Pterigium 11. Sklera Warna Penonjolan 12. Kornea Ukuran Limbus Permukaan Sensibilitas Keratoskop Flourescin Test Arcus Senilis : : : : : : : : : : :
12 mm normal terdapat selaput tidak dilakukan tidak dlakukan tidak dlakukan ada
13. Kamera Okuli Anterior Isi Kedalaman 14. Iris Warna Bentuk Sinekia anterior : : : hitam bulat tidak ada tidak ada hitam bulat tidak ada tidak ada : : jernih dalam jernih dalam
Sinekia posterior :
15. Pupil Ukuran Letak Bentuk Reaksi terhadap Cahaya Langsung : Cahaya tak langsung: Konvergensi 16. Lensa Ada/tidak Kejernihan Letak Shadow test 17. Corpus vitreum Kejernihan : tidak dilakukan tidak dilakukan : : : : ada jernih sentral (-) ada jernih sentral (+) : (+) (+) tidak dilakukan (+) (+) tidak dilakuakan : : : 3mm sentral bulat 3 mm sentral bulat
IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN OD Visus sentralis jauh Sekitar mata Ukuran bola mata Gerakan bola mata Kelopak mata Kornea Camera oculi anterior Iris Pupil Lensa 6/20 dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal lebar rima 10 mm arcus senilis dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal jernih OS 5/60 dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal lebar rima 10 mm tampak pterigium dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal jernih
V. GAMBAR
OS
IX.
X.
PROGNOSIS Ad vitam Ad sanam Ad fungsionam Ad kosmetikum : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI DAN FISIOLOGI KONJUNGTIVA DAN KORNEA Anatomi Konjungtiva Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu : 1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. 2. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. 3. Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya, sehingga bola mata mudah bergerak. Pada konjungtiva palpebra, terdapat dua lapisan epithelium dan menebal secara bertahap dari forniks ke limbus dengan membentuk epithelium berlapis tanpa keratinisasi pada daerah marginal kornea. Konjungtiva palpebralis terdiri dari epitel berlapis tanpa keratinisasi yang lebih tipis. Dibawah epitel tersebut terdapat lapisan adenoid yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdiri dari leukosit. Konjungtiva palpebralis melekat kuat pada tarsus, sedangkan bagian bulbar bergerak secara bebas pada sklera kecuali yang dekat pada daerah kornea. Berikut adalah gambaran anatomi dari konjungtiva.
Gambar 3. Anatomi Konjungtiva Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaringjaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri. Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA. Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua grup besar yaitu: 1. Penghasil musin a. Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah inferonasal.
10
konjungtiva tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior. c. Kelenjar Manz; mengelilingi daerah limbus. 2. Kelenjar asesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Krause dan kelenjar Wolfring. Kedua kelenjar ini terletak dalam dibawah substansi propria. Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang baik.
Anatomi Kornea Kornea (Latin Cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas lapis: 1. Epitel : Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan. 2. Membran Bowman : Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi. 3. Stroma : Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
11
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. 4. Membran Descemet : Merupakan suatu lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat, tidak berstruktur dan bening, mempunyai tebal 40 m, terletak di bawah stroma, lapisan ini merupakan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh darah. 5. Endotel : Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m. Endotel melekat pada membrane descemet melalui
Gambar 4. Anatomi Kornea Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V (N.Trigeminus),saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus
membrane Bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa
12
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi. Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
Gambar 5. Mata dengan Pterygium Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu pteron yang artinya sayap Pterygium adalah keadaan patologik konjungtiva bulbi yang menunjukkan penebalan yang merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang bersifat degeneratif dan invasif, berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva dan menjalar ke dalam kornea pada daerah interpalpebra, dengan puncak segitiganya di kornea, dan kaya akan pembuluh darah yang menuju ke arah puncak pterygium. Kebanyakan pterygium ditemukan di bagian nasal dan biasanya bilateral. Pada stadium dini, bagian puncak pterygium terlihat bercak-bercak kelabu yang dikenal dengan sebutan pulaupulau Fuchs. Pterygium memiliki tiga bagian: 1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
13
line/Stockers line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area kornea yang kering. 2. Bagian whitish, langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala. 3. Bagian badan atau ekor. Merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan
B. Etiologi Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga merupakan suatu neoplasma radang dan degenerasi. Namun, pterigium banyak terjadi pada mereka yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan banyak terkena panas terik matahari. Faktor risiko terjadinya pterigium adalah tinggal di daerah yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar. Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, dan angin (udara panas) yang mengenai konjungtiva bulbi berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti zat alergen, kimia dan zat pengiritasi lainnya. Pterigium Sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang-orang yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-anak. Faktor risiko : 1. Radiasi ultraviolet Radiasi UV adalah penyebab tersering timbulnya pterygium. Faktor resiko radiasi sinar UV bisa dikaitkan dengan pekerjaan. 2. Faktor genetik Penelitian case control yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan kemungkinan diturunkan autosom dominan pada riwayat keluarga dengan pterygium. 3. Faktor lain
14
Iritasi kronik atau inflamasi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu (pasir, debu, angin, asap rokok, bahan iritan), dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium. Ultraviolet B adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan pengaturan berlebihan pada sistem kolagenase, migrasi seluler, dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan subepitelial fibrovaskular yang menembus kornea dan seringkali disertai dengan inflamasi. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman dan epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Akibat dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygium menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, dan mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.
15
C. Epidemiologi Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak antara 37o Lintang Utara dan Selatan. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator. Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1 %. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49 tahun. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan. Pterygium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur.
D. Klasifikasi Pterygium a. Berdasarkan lokasi: 1. Pterygium Simpleks, jika terjadi hanya di nasal atau temporal saja 2. Pterygium Dupleks, jika terjadi di nasal dan temporal b. Pembagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu : 1. Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala pterygium (disebut cap pterygium). 2. Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi 4 membentuk membran tetapi tidak pernah hilang. c. Klasifikasi yang lain : 1. Vaskuler : pterygium tebal, merah, progresif, ditemukan pada anak muda (tumbuh cepat karena banyak pembuluh darah).
16
2. Membrannaceus : pterygium tipis seperti plastik, tidak terlalu merah terdapat pada orang tua
E. Derajat Pterygium Pterygium dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu : 1. Derajat 1 2. Derajat 2 : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea. : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari
2 mm melewati kornea. 3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm) 4. Derajat 4 : pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
F. Predileksi Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pertumbuhan pterigium ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungitva yang meluas ke daerah kornea.
G. Gejala Klinis Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tidak ada keluhan sama sekali (asimptomatik). Pada fase awal pterygium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi ketika pterygium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain : 1. Mata sering berair dan tampak merah (apabila terjadi iritasi) 2. Merasa seperti ada benda asing atau fotofobia
17
3. Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga mengganggu penglihatan 4. Pada pterygium yang lanjut (derajat 3 dan 4), bisa menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan juga menurun. 5. Diplopia karena membesarnya ukuran lesi. Efek diplopia akan lebih sering pada lesi-lesi rekuren dengan pembentukan jaringan parut.
H. Diagnosis Pemeriksaan Dalam Penegakan Diagnosis : 1. Anamnesis Gejala hingga keluhan seperti mata kemerahan, membengkak, gatal, iritasi, pandangan kabur yang berhubungan dengan lesi yang meninggi pada satu atau kedua mata 2. Pemeriksaan Fisik Pterigium muncul dengan perubahan fibrovaskular yang beragam pada permukaan konjungtiva dan kornea. Lebih sering muncul dari daerah konjungtiva nasal dan meluas hingga ke kornea nasal, walaupun bisa juga bisa dari lokasi lain misal temporal. Tampilan klinis bisa dibedakan menjadi dua kategori umum, yaitu: a. Pasien dengan proliferasi minimal dan tampilan atrofik. Pterigia pada grup ini tampak lebih datar dan tumbuh lambat dan memiliki insidensi kekambuhan yang lebih rendah setelah dieksisi. b. Grup kedua datang dengan riwayat pertumbuhan cepat dan komponen fibrovaskular yang meninggi secara signifikan. Pterigium pada grup ini memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi setelah dieksisi.
I.
18
cacat. Sering pseudopterygium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterygium juga sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterygium dapat ditemukan di bagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk obliq. Sedangkan pterygium ditemukan secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9. Diagnosis banding lainnya adalah pinguekula dan pannus.
J.
Penatalaksanaan Terapi Konservatif Terdapat beberapa terapi untuk pterygium. Secara umum pterygium primer diterapi secara konservatif dan hal ini merupakan rekomendasi pertama pada kebanyakan orang. Air mata buatan dapat membuat perasaan nyaman pada penderita dan menyingkirkan adanya sensasi adanya benda asing pada mata. Biasanya proses inflamasi pada lesi menjadi berkurang, pada kasus ini pemberian dekongestan optik ringan atau yang lebih jarang, obat anti inflamasi juga dapat diresepkan oleh dokter.
Pterygium atrofik yang berukuran kecil dapat diobservasi secara teratur. Cairan pelumas dapat digunakan untuk mengatasi iritasi. Pterygium aktif dapat diterapi awal dengan vasokonstriktor, obat-obat anti inflamasi non steroid atau tetes mata steroid. Semua hal ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau sebelum dilakukan eksisi bedah. Terapi Bedah Pembedahan merupakan tindakan terbaik untuk mengatasi pterygium ataupun pinguekula, namun hasilnya seringkali mengecewakan. Bahkan dengan tehnik modern ini, angka kekambuhan cukup tinggi, yaitu antara 50-60%. Pembedahan tidak direkomendasikan selama pterygium ataupun pinguekula tidak terlalu menimbulkan masalah berat bagi penderita. Tiga tipe masalah yang merupakan indikasi dilakukannya pembedahan segera :
19
1. Tajam penglihatan terganggu. Hal ini dikarenakan pterygium berukuran cukup besar sehingga mengenai zona penglihatan di bagian tengah kornea. Pembedahan dapat digunakan untuk menjernihkan media penglihatan dan membatasi astigmatisma yang cepat dan irregular. 2. Pterygium (kadang pinguekula) sangat mengganggu secara kosmetik. Pembedahan biasanya dapat mengurangi ukuran pterygium, namun eliminasi secara menyeluruh kadang sulit dilakukan. 3. Baik pterygium maupun pinguekula menyebabkan perasaan yang sangat tidak nyaman karena adanya kekeringan atau sensasi adanya benda asing yang kronik. Pembedahan biasanya dapat meningkatkan rasa nyaman, namun gejala iritasi juga dapat muncul. Cara operasi terbagi tiga : 1. Bar sklera : sklera dibiarkan terbuka. 2. Eksterpasi pterigium : Pterigium digunting, kemudian dijahit kebawah konjungtiva. 3. Operasi plastik : ditutup oleh mukosa mulut. Indikasi Operasi McReynold 1. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm. 2. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vascular. 3. Mata terasa mengganjal. 4. Visus menurun, terus berair. 5. Mata merah sekali. 6. Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus. 7. Alasan kosmetik. Teknik pembedahan dengan menggunakan tandur atau graft sklera : Pembedahan ini dilakukan di bawah anastesi lokal sehingga pasien tidak akan merasakan sakit. Dalam pembedahan, pterygium dipindahkan dan bagian kecil konjungtiva yang berupa kulit tipis transparan yang menutupi bagian putih pada mata diletakkan ke tempat tersebut dari kelopak mata bagian bawah. Operasi hanya berlangsung selama setengah jam. Setelah
20
minggu sehingga diperlukan pemberian tetes mata topikal selama beberapa hari. Pada awal fase nyeri ini, biasanya mata juga mengalami sedikit pembengkakan dan memerah
K. Prognosis Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa tidak nyaman, namun kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Bagaimanapun juga, pada beberapa kasus terdapat rekurensi dan risiko ini biasanya karena pasien yang terus terpapar radiasi sinar matahari, juga beratnya atau derajat pterigium. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Sidarta. 2009. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI. Ilyas, S., Mailangkay, HHB., Taim, H., Saman, R., Simarwata, M., Widodo, PS. (eds). 2010. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Sagung Seto. Putra AK. Penatalaksanaan pterygium Atmajaya. 2003 : 2 : 137 147 Vaughan D.G, Asbury T, Riordan P, 2002. OftalmologiUmum, Edisi ke-14. WidyaMedika: Jakarta.
22