Anda di halaman 1dari 22

Tinjauan Pustaka

PERANAN SEL STELATA HEPAR


PADA FIBROSIS HEPATIS

Erwin Azmar

PPDS I ILMU PENYAKIT DALAM


FK UNSRI / RS. Dr. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2004

1
DAFTAR ISI
HALAMAN

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1


BAB II. HISTOLOGI HEPAR............................................................................ 3
BAB III. FIBROSIS HEPATIS.............................................................................. 7
3.1. DEFINISI ................................................................................... 7
3.2. EPIDEMIOLOGI ....................................................................... 7
3.3. ETIOLOGI ................................................................................. 9
3.4. PATOGENESIS ......................................................................... 9
BAB IV. SEL STELATA HEPAR ........................................................................ 12
4.1. SEL STELATA HEPAR ............................................................ 12
4.2. AKTIFASI SEL STELATA HEPAR ......................................... 13
4.3. RESPON FENOTIF SEL STELATA YANG TERAKTIFASI . 15
4.3.1. PROLIFERASI ............................................................... 16
4.3.2. KONTRAKTILITAS ...................................................... 16
4.3.3. FIBROGENESIS ............................................................. 17
4.3.4. DEGRADASI MATRIK ................................................ 17
4.3.5. KEMOTAKSIS SEL STELATA .................................... 18
4.3.6. HILANGNYA RETINOID ............................................ 18
4.4. RESOLUSI FIBROSIS DAN SSH ............................................. 19
4.5. INTERVENSI TERAPI PADA FIBROSIS HEPATIS .............. 20
4.6. RINGKASAN ............................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 24

2
BAB I
PENDAHULUAN

Fibrosis hepatis merupakan akibat yang paling berat pada gangguan hepar yang
kronik dan dapat disebabkan oleh pelbagai keadaan seperti infeksi virus hepatitis,
penyalahgunaan alkohol, obat-obatan, penyakit metabolik, penyakit autoimun, dan kelainan
kongenital.(1.2.3.4) Gangguan hepar yang kronik dapat berlangsung selama beberapa bulan
sampai dengan bertahun-tahun sebelum terjadinya akumulasi jaringan ikat yang bermakna.
Apapun etiologinya, komposisi jaringan ikut pada fibrosis hepatis adalah sama.(1.2.3.4.5)
Fibrosis hepatis adalah respon proses penyembuhan luka yang melibatkan beberapa
komponen seperti sel, matrik ekstraseluler, dan sitokin. Selama proses penyembuhan tadi
berlangsung sel stelata hepar yang merupakan sel fibrogenik utama memegang peranan
kunci walaupun komponen lain yang berhubungan dengan pembentukan fibrosis juga
terlibat. Aktivasi sel stelata hepar merupakan awal terjadinya fibrosis hepatis melalui
komplek jaringan inter dan intraseluler.(1.2.3.4.5)
Pendapat para ahli terdahulu menyatakan bahwa fibrosis dan sirosis hepatis
merupakan kondisi irreversibel.(1.2.3) fibrosis yang berlanjut akan menjadi keadaan sirosis.
Pada tahun 1993 Friedman menyatakan bahwa dengan pengendalian aktivasi dan degradasi
dari sel stelata hepar maka proses fibrosis dapat menjadi reversibel(2). Iredale pada tahun
2001 menyatakan bahwa fibrosis hepatis berpotensi untuk sembuh tanpa menjadi jaringan
ikat.(6) Penanganan terkini dari sirosis terbatas pada penanganan penyakit dasarnya,
eradikasi virus penyebab dan transplantasi hepar dengan pelbagai kendalanya. Dengan
semakin berkembangnya paradigma tentang aktivasi sel stelata hepar dalam proses fibrosis
pada studi-studi in vivo dan in vitro maka terbukalah harapan untuk terapi anti fibrosis
hepatis dimasa mendatang.(1.3.5.6.7)
Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk membahas peranan sel stelata hepar dalam
proses fibrosis hepatis.

3
BAB II
HISTOLOGI HEPAR

Sebagaimana jaringan parenkhim lainnya, hepar yang normal mengandung


komponen epitelial ( hepatosit ), lapisan endotel ( pada hepar ditandai dengan adanya
fenestra ), makrofag jaringan ( sel Kupffer ), dan sel mesenkhim perivaskular yang disebut
sel stelata ( dikenal juga sebagai sel Ito, liposit, sel perisinusoid, sel penyimpan lemak ).(1.8)

Gambar 1. Sel-sel pada hepar normal.(dikutip dari 1)

Hepatosit merupakan 60% dari jumlah seluruh sel hepar. Berbentuk poligonal
dengan diameter sekitar 30 µm. Sel ini berinti satu, kadang-kadang berinti banyak dan
mengalami mitosis. Umur hepatosit lebih kurang 150 hari. Hepatosit mempunyai 3
permukaan, yang pertama berhadapan dengan sinusoid dan ruang dari Disse, yang kedua
berhadapan dengan kanalikulus dan yang ketiga berhadapan dengan hepatosit
tetangganya.(1.8.9)

4
Sel endotel membentuk dinding yang berkesinambungan ke arah lumen sinusoid.
Fenestra yang berdiameter 0,1 µm berfungsi dalam pertukaran cairan dan partikel lain ke
dalam dan dari ruang Disse dan hepatosit.(1.8.9)
Komponen sel yang berfungsi fagositik pada dinding sinusoid hepar adalah sel
Kupffer. Sel ini akan teraktivasi dengan adanya infeksi atau trauma pada hepar. Sel Kupffer
mempunyai reseptor membran spesifik untuk insulin, glukagon, dan lipoprotein. (1.8.9)
Elemen-elemen selular hepar tersusun sepanjang sinusoid, dengan adanya ruang
subendotelial dari Disse yang memisahkan epitel ( hepatosit ) dengan endotel sinusoid.
Pada hepar normal ruang ini mengandung matrik yang mirip membran basal. Matrik
ekstraselular (MES) subendotelial yang normal penting untuk mempertahankan fungsi-
fungsi khusus dari seluruh sel hepar. Komponen MES mencakup kolagen, glikoprotein non
kolagen, faktor terikat pertumbuhan matrik, glikosaminoglikan, proteogikan, dan protein
matriseluler. Pada hepar normal kolagen ( tipel, III, V, dan XI ) terbatas pada kapsul hepar,
sekeliling pembuluh darah besar, triad portal, dengan sedikit sekali fibril kolagen tipe I dan
III di ruang subendotel.(8.9)
Sel stelata hepar merupakan 15% dari jumlah total seluruh sel yang ada di hepar.
Sel ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan retinoid. Sel-sel ini membentuk kelompok
sel yang heterogen yang mempunyai fungsi dan struktur anatomi yang sama tetapi berbeda
dalam hal filamen sitoskletal, kandungan retinoid, dan potensi produksi matrik
ekstraselulernya.(8.9)
Asal dari sel stelata secara embriologik masih merupakan tanda tanya. Bukti-bukti
terakhir menunjukkan bahwa sel ini berasal dari derivat tonjolan saraf karena sel ini
mengeluarkan protein asam serabut glia dan nestin. Pada penelitian pada tikus percobaan
menunjukkan bahwa tonjolan saraf stem cell tikus berdiferensiasi menjadi miofibroblas
yang menghasilkan alfa-actin dari otot polos, satu pertanda dari sel stelata yang
teraktifasi.(1.10.11)
Adanya tonjolan sitoplasma yang panjang dan berorientasi ke arah perivaskuler
pada sel stelata membantu dalam berinteraksi dengan sel-sel tetangganya.(1.10)

5
Gambar 2. Sel-sel hepar dalam keadaan normal (dikutip dari 3)

6
BAB III
FIBROSIS HEPATIS

3.1. Definisi
Fibrosis hepatis adalah respon penyembuhan luka yang reversibel yang ditandai
dengan akumulasi matrik ekstraselular atau jaringan ikat yang menyebabkan kerusakan
arsitektur dan gangguan fungsi hepar. Fibrosis mengikuti penyakit hepar yang kronik dan
bukan mengikuti penyakit hepar yang dapat sembuh sendiri.(1.2.5)

3.2. Epidemiologi
Fibrosis hepatis dan sirosis sebagai stadium akhirnya merupakan masalah kesehatan
yang menonjol di seluruh dunia. Di Inggris pada tahun 1999 lebih dari 2/3 dari 4000
penderita yang meninggal dunia karena sirosis berusia di bawah 65 tahun. Insiden sirosis
yang mengakibatkan kematian juga meningkat. Di Amerika Serikat prevalensi sirosis
adalah 360 per 100.000 penduduk atau totalnya 900.000 kasus, dengan tingkat angka
kematian sekitar 30.000 per tahun.(3)

Gambar 3. Perubahan histologis pada fibrosis hepatic (dikutip dari 3)

7
Gambar 4. Perubahan sinusoid saat fibrosis hepatis (dikutip dari 1)

3.3. Etiologi
Etiologi dari fibrosis hepatis adalah penyakit hepar yang kronik yang dapat
disebabkan oleh infeksi virus hepatitis, khususnya hepatitis B dan C, karena
penyalahgunaan alkohol, obat-obatan, penyakit autoimun, penyakit metabolik, dan kelainan
kongenital. Gangguan hepar yang kronik dapat berlangsung selama beberapa bulan sampai
dengan bartahun-tahun sebelum terjadi akumulasi jaringan ikat yang bermakna. Gangguan
hepar kongenital dapat mempersingkat waktu terjadinya akumulasi jaringan ikat.(1.2.3.4.5)

3.4. Patogenesis
Respon hepar terhadap nekrosis sangat terbatas. Yang paling menonjol adalah
kolaps dari lobulus hepar, pembentukan septa jaringan ikat yang difusa, dan pertumbuhan
kembali nodul sel-sel hepar. Fibrosis terjadi mengikuti adanya nekrosis sel-sel hepar.

8
Nekrosis fokal akan diikuti fibrosis fokal. Kematian sel diikuti oleh pembentukan nodul-
nodul yang akan merusak arsitektur hepar dan akan berkembang ke arah sirosis.(1.3.9)
Hepar yang normal memiliki matrik jaringan penghubung yang terdiri dari kolagen
tipe IV, laminin, heparan sulfat, protoglikan dan fibronektin. Matrik ini terletak di
membran basal. Adanya perlukaan pada hepar mengakibatkan peningkatan matrik
ekstraselular yang mengandung kolagen pembentuk fibrin ( tipe I dan III ) yang dikenal
sebagai proteoglikan, fibronektin, asam hialuronat, dan matrik glikokonjugasi.
Pembentukan jaringan ikat merupakan resultan dari peningkatan pembentukan dan
penurunan penghancuran matrik ekstraselular. Kedua proses ini sangat komplek dan
melibatkan banyak komponen. Fibrosis yang dini bersifat reversible, sedangkan sirosis
dengan bentukan kolagen yang bersilangan serta nodul regeneratif bersifat irreversibel.
Pada fibrosis terjadi perubahan komposisi matriks ekstra seluler hepar secara kuantitatif
dan kualitatif. Jumlah total kolagen dan komponen non kolagen meningkat hingga 3-5 kali
dari normal, diikuti oleh pergeseran jenis matriks ekstra seluler di ruang subendotelial dari
jenis berdensitas rendah menjadi matrik yang mengandung kolagen pembentuk fibrin.(1.3.9)
Bukti-bukti riset terakhir mendukung hipotesis bahwa jalur akhir utama proses
fibrosis dimediasi oleh sel stelata hepar. Sel stelata hepar pada keadaan normal menyimpan
retinoid dan terletak di ruang Disse. Pada daerah yang terluka sel stelata hepar akan
mengalami trensformasi menyerupai miofibrolas dan mengeluarkan protein kontraktil.
Pada keadaan aktif sel ini akan berproliferasi dan akan menjadi sumber utama dari kolagen
fibriler yang menandai adanya fibrosis dan sirosis. Sitokin yang dilepaskan oleh sel-sel
radang yang masuk ke daerah yang terluka, dan adanya kerusakan dan regenerasi hepatosit
serta peran sel hepar lainnya akan mengaktivasi sel stelata sehingga sel stelata menjadi
mediator sentral dalam penyembuhan luka. Studi terakhir menyatakan bahwa interleukin-
10 telah diidentifikasi sebagai efektor anti inflamasi utama pada fibrosis hepar, terutama
pada infeksi virus hepatitis C, dan Tumour necrosis factor α berperan sebagai mediator pro
inflamasi. Sitokin transforming growth factor β-1 berperan dalam meningkatkan respon
fibrogenik sel stelata hepar sehingga terjadi peningkatan produksi kolagen dan penurunan
degradasi kolagen.(3.5.12.13)

9
Gambar 4. Mekanisme produksi jaringan pengikat dalam keadaan normal dan
abnormal (dikutip dari 9)

10
BAB IV
SEL STELATA HEPAR

4.1. Sel stelata hepar


Sel stelata hepar (SSH) adalah sel mesenkhim perivaskular yang berfungsi untuk
penyimpanan retinoid. Dahulu dikenal sebagai sel Ito, liposit, sel perisinusoid, atau sel
penyimpan lemak. SSH terletak di ruang Disse diantara sel endotel dan permukaan sinusoid
hepatosit dalam keadaan diam. Adanya perlukaan hepar oleh pelbagai etiologi akan
ditanggapi oleh SSH menjadi aktif. Pada aktifasi ini terjadi peralihan dari keadaan diam
menjadi berproliferasi, bersifat fibrogenik, dan kontraktil.(1-3.8-10)

Gambar 5. Sel stelata hepar.(dikutip dari 1)

4.2. Aktifasi sel stelata hepar


Aktifasi SSH adalah respon yang terprogram yang terjadi dalam urutan rangkaian
yang saling mempengaruhi. Fase pertama dikenal sebagai inisiasi atau fase pre inflamasi.
Inisiasi mencakup perubahan cepat dalam ekspresi gen dan fenotip yang menyebabkan
respon sel terhadap sitokin-sitokin dan stimulus lainnya. Inisiasi berhubungan dengan
proses transkripsi dan induksi gen-gen awal secara segera. Fase kedua dikenal sebagai

11
perpetuasi, dimana terjadi penguatan fenotip teraktifasi dengan memperkuat ekspresi dan
respon dari sitokin. Komponen aktifasi berasal dari stimulasi autokrin dan parakrin.(1.3.5.14.15)
Stimuli yang mengawali aktifasi SSH akan menyebabkan perubahan yang sangat
halus pada komposisi matriks seluler. Hepatosit dan sel Kuffper merupakan sumber yang
potensial dari reactive oxygen intermediates (ROI) dimana senyawa-senyawa ini
menyebabkan stimulasi perakrin dari SSH. Kerja senyawa ini diperkuat oleh deplesi
antioksidan pada sel hepar yang sakit. Hepatosit yang mengalami stress oksidatif
meningkatkan proliferasi dan sintesis kolagen. Ekspresi berlebihan enzim sitokrom
P4502E1 dalam SSh yang menyebabkan ROI akan merangsang ekspresi gen kolagen I,
dimana efek ini dapat dikurangi oleh antioksidan.(1-3.5.13)
Sel endotel mempunyai dua peranan pada wal aktifasi SSH. Perlukaan pada sel
endotel sinusoid akan merangsang produksi varian lanjutan dari fibroektin seluler ( EIIA
isoform ) yang akan berefek mengaktifasi SSH. Sel endotel mengubah transforming
growth factor-β1 dari bentuk laten menjadi bentuk aktif fibrogenik melalui aktifasi
plasmin.(1.2.5.14.16)
Pendekatan molekuler untuk mengungkap regulasi gen SSH pada fase aktifasi awal
berhasil mengidentifikasi gen-gen yang berbeda. Proses cloning gen Kruppel-like factor
(KLF) zinc finger, Zf9/COPEB/GBF yang dikenal juga sebagai KLF6 dapat
mengidentifikasi proses regulasi gen pada aktifasi awal SSH, KLF6mRNA dapat diinduksi
secara cepat pada perlukaan hepar secara invivo dan pada biakan jaringan dimana gen ini
dapat meregulasi akumulasi matriks ekstra seluler. Sp1, kelompok dari KLF berperan
dalam aktifasi SSH, dan Basic transcription elemnt binding protein 1 (BTEB1)
menyebabkan peningkatan ekspresi gen kolagen.(1.3.5)
Perpetuasi dari aktifasi SSH melibatkan respon-respon fenotip penting yang
diakibatkan oleh peningkatan efek sitokin dan remodeling matriks dimana ekstra seluler.
Percepatan respon sitokin terjadi melalui banyak mekanisme dimana yang paling menonjol
adalah peningkatan ekspresi reseptor membrane sel dan percepatan proses penyampaian
sinyal. Reseptor tirosin kinase (RTKs) yang juga menyebabkan respon SSh terhadap
sitokin diperbanyak dalam jumlah besar selama perlukaan hepar.(1.3.5.13)

12
Tempat matrik sub endotel berdensitas rendah secara progresif diduduki oleh kolagen yang
kaya akan pembentuk fibril. Pergeseran yang fundamental dalam komposisi matrik ini
berpengaruh terhadap sifat dan kebiasaan hepatosit, endotel sinusoid, dan SSH.
MES pembentuk fibril mempercepat aktifasi SSh melalui interaksi integrin, dan perlekatan
dengan respetor tirosin kinase.(1.3.5.13)

4.3. Respon fenotip sel stelata yang teraktifasi


Respon fenotip SSH mempunyai cirri tersendiri. Respon ini mencakup poliferasi,
kontraktilitas, fibrogenesis, degradasi matrik, kemotaksis, hilangnya retinoid, dan
pelepasan sitokin serta kemoatraksi lekosit.(1.5.6.7)

Gambar 6. Respon fenotip SSH (dikutip dari 1)

13
4.3.1. Proliferasi (1.5.6.7)
peningkatan SSH selama perlukaan hepar berasala dari proliferasi lokal sebagai
respon terhadap polypeptide growth factor, yang mana sinyalnya melalui reseptor tirosin
kinase. Plateled-derived growth factor (PDGF) merupkana factor proliteratif yang paling
potensial dalam fibrosis hepar. Perlukaan menyebabkan peningkatan PDGF dan kenaikan
jumlah reseptor PDGF.

4.3.2. Kontraktilitas (1.5.6.7)


Merupakan mekanisme penting yang mendasari peningkatan resistensi portal
selama perlukaan hepar. Kunci utama stimulus kontraksi ini adalah endothelin-1 (ET-1)
yang merupakan bagian derivate autokrin. Peningkatan regulasi produksi ET-1 disertai
dengan peningkatan enzim konversi endotelin-1 yang kaan mengaktifkan ET-1 laten. ET-1
juga mengatur proliferasi SSH. Sedikitnya ada 2 reseptor pasangan protein G yang
mempengaruhi efek ET-1. Reseptor ET tipe A dan B diekspresikan pada SSH dalam
kondisi diam dan kondisi aktif. Efek proliperatif ET-1 pada SSH yang diam berhubungan
dengan peningkatan aktifitas Ras/ERK yang mana dapat dihambat oleh agonis ETA.
Sebaliknya, efek penghambatan pertumbuhan dari ET-1 pada SSH yang aktif dipengaruhi
oleh reseptor ETB melalui jalur prostaglandin/cAMP yang menyebabkan pengurangan
ERK dan c-Jun kinase (JNK).

4.3.3 Fibrogenesis (1.5-7.13.14.16-22)


TGF-β1 merupakan stimulus dominant terhadap produksi MES. TGF-β1 meningkat
pada fibrosis hepar. Kerja sitokin ini dipercepat oleh urokinase-type plasminogen activator.
Pelepasan dan kerja sitokin ini dikontrol oleh protein intrasel. Percepatan sinyal sitokin ini
mendasari respon terhadap perlukaan pada SSH. Terjadi peningkatan ikatan TGF-β1
terhadap reseptornya (tipe I dan II), sementara reseptor mRNA tipe II menurun selama
aktifasi SSH. Pada SSH teraktifasi waktu paruh kolagen α(I)1 mRNA meningkat 20 kali
lipat dibandingkan SSH yang diam.

14
4.3.4. Degradasi matrik (1.6.7.13.22)
Perubahan aktifitas matrik protease mengarah kepada proses remodeling MES
hepar selama masa perlukaan hepar. Perubahan ini secara langsung dan tak langsung
mempercepat aktifasi SSH. Seluruh komponen penting dalam proses degradasi matrik ini
diekspresikan oleh SSH. Matrik metalloproteinase-2 (MMP-2) dan stromelisin (MMP-3)
akan mendegradasi MES subendotel normal. Degradasi ini segera diikuti penggantian oleh
kolagen pembentuk fibril yang kemudian mengaktifkan pertumbuhan SSH dan produksi
MMP-2 dalam jalur umpan balik positif. Bukti-bukti menunjukkan bahwa efek fibril
kolagen pada SSH dapat dipengaruhi oleh reseptor tirosin kinase DDR2.
Melalui peningkatan regulasi inhibitor jaringan metalloproteinase 1 dan 2 (TIMP-1 dan 2).
SSH yang aktif dapat menghambat aktifitas kolagenase interstitial.

4.3.5. Kemotaksis sel stelata (1.6.7)


Perpindahan langsung SSH aktif mempercepat akumulasi SSS di daerah yang luka.
PDGF dan monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1) adalah kemoatraktan terhadap SSH
aktif, bukan terhadap SSH yang diam. Kemotaksis memerlukan aktifator plasminogen
untuk memperkuat degradasi matrik.

4.3.6. Hilangnya retinoid (1.5-7)


Hilangnya vitamin A intraseluler merupakan tanda aktifasi SSH. Belum sepenuhnya
dimengerti mengapa hilangnya retinoid diperlukan untuk aktifasi SSH dan retinoid jenis
apa yang berpengaruh terhadap percepatan dan pencegahan aktifasi SSH. Metabolit kecil
dari asam retinoid (RA) yaitu 9-cis RA dan 9,13-di-cis RA mungkin berhubungan langsung
dengan fibrogenesis karena dapat menstimulasi aktifasi dari TGF-β1 yang laten, sehingga
meningkatkan aktifitas fibrogenetik.

4.3.7. Pelepasan sitokin dan kemoatraksi lekosit (1.5-7)


Peningkatan produksi dan atau aktifitas sitokin penting dalam aktifasi SSH yang
terus menerus. Hampir seluruh aktifasi SSH berhubungan dengan sitokin autokrin. MES
pada hepar dibutuhkan untuk tempat penyimpanan growth factor yang terikat, SSH juga

15
dapat menguatkan proses inflamasi melalui pelepasan kemoatraktan netrofil dan monosit.
Kemokin inflamasi yang terpenting adalah colony-stimulating factor (CSF) dan MCP-1.
Sekresi MCP-1 diatur melalui stimulasi β1 integrin. Peningkatan regulasi molekul-molekul
adesi yang menyertai aktifasi SSH lebih lanjut memperkuat proses inflamasi selama
perlukaan hepar.

4.4. Resolusi fibrosis dan SSH (1.5-7.22)


Selama proses penyembuhan jumlah SSH menuru sesuai dengan perbaikan
jaringan. Ekspresi TIMPs-1 dan 2 menurun secara cepat sementara metalloproteinase untuk
degadrasi matrik tetap dihasilkan, sehingga aktifitas kolagenase meningkat dan matrik
mengalamui degadrasi.
Menjadi pertanyaan para ahli apa yang terjadi pada SSH pada masa resolusi fibrosis? Ada
dua kemungkinan jawaban yaitu SSH mengalami proses reverse atau apoptosis.1.6.23
Pertanyaan yang belum terjawab, apakah SSh aktif mengalami reversi menjadi bentuk
diam? Stimulus yang mungkin dapayt mengontrol respon ini adalah interleukin-10 (IL-10).
IL-10 menurunkan regulasi proses inflamasi dan meningkatkan aktifitas kolagenase. IL-10
diinduksi saat aktifasi SSH dan memberikan umpan balik sinyal sutokrin negative untuk
membatasi akuimulasi jaringan ikat. Regresi aktifasi SSH dimunkinkan oleh adanya
penyusunan ulang MES subendotel normal. Bila SSH berkembang di substrat membrane
basal SSH akan menjadi bentuk diam/nonaktif.1.3.5.6
Kemungkinan lainnya SSH mengalami apoptosis yang berhubungan dengan penurunan
ekspresi TIMP-1 selama fase penyembuhan.3.5.6

16
Gambar 7. Hubungan antara TIMP dan MMP pada fibrosis(dikutip dari 3)

4.5. Intervensi terapi pada fibrosis hepatis1.3.5.6.23-26


Pengendalian proses fibrosis hepatic dapat dilakukan dengan pelbagai modalitas.
A. Pada fibrosis yang progresif atau yang sudah berlangsung dapat dilakukan dengan
cara :
a. mengurangi proses inflamasi
1. mengobati penyakit dasar.
2. pemberian anti inflamasi seperti Interleukin-10 dan inhibitor TNFα.
3. antioksidan untuk menekan respon finbrosis karena kerusakan akibat
proses oksidasi.
b. menghambat atau mengurangi aktivasi SSH dengan memakai :
1. interferon gamma atau interferon alfa.
2. hepatocyte growth factor.
3. peroxisome proliferators=activated receptor ligand.

17
c. prepetuasi aktifasi SSH :
1. memakai transforming growth factor β-1 antagonist untuk menekan
sintesis dan mempercepat degadrasi matrik.
2. antagosis PDGP untuk mengurangi po;iferasi SSH.
3. memakai Nitric oxide dan ACE inhibitor untuk menghambat poliferasi
SSH.
d. mempengaruhi sekresi matrik yang kaya kolagen oleh SSH:
1. mengurangi fibrosis, memakai ACE inhibitor, inhibitor polihidroksilase,
interferon gamma dan antagonis reseptor endotelin.
B. Mempercepat atau memulai penyembuhan fibrosis dengan cara:
a. apoptosis SSH menggunakan Glikotoksin atau nerve growth factor.
b. degradasi matrik kaya kolagen dengan memakai metalloproteinase.
Pemakaian antagonis TGF β-1 dan relaksin untuk mengurangi regulasi
TIMPs dan untuk meningkatkan aktifitas metalloproteinase.
Pada terapi antifibrotik yang menjadikan SSH sebagai target spesifik maka obat-
obat yang dipakai idealnya harus memenuhi persyaratan berikut yaitu :
1. harus secara spesifik menjadikan SSH yang teraktifasi sebagai target, dan tidak
berikatan dengan miofibroblas pada jaringan tubuh lainnya atau pada SSH yang
non aktif.
2. harus dapat mencapai daerah yang mengalami fibrogenesis aktif.
3. harus dapat ditoleransi oleh system imun dan tidak diikat oleh system
retikuloendotelial.
Hingga saat ini belum ada obat-obatan yang memenuhi seluruh syarat diatas.
Bukti-bukti terakhir menyatakan bahwa protein-protein seperti Mannose-6-
phosphate yang bergabung dengan human serum albumin (M6P-HAS) yang terikat
kereseptor M6p/insulin like growth factor II dan suatu peptide siklik yang bergabung
dengan HAS.
(pCVI-HAS) yang dapat mengenali reseptor kolagen tipe VI, dapat mempengaruhi
pengabunggan zat kimia tertentu yang dapat menyebabkan agen anti fibrotik secara selektif
menjadikan SSH sebagai targetnya.

18
BAB V
RINGKASAN

1. Fibrosis hepatic merupakan akibat yang paling berat yang disebabkan gangguan
hepar yang kronik.
2. Fibrosis hepar dapat merupakan hal yang reversible.
3. Dalam proses fibrosis dan resolusi fibrosis sel stelata hepar merupakan factor
yang memegang peranan utama disamping sel-sel hepar lainnya.
4. Pemahaman tentang aktifitas sel stelata hepar dalam proses fibrosis menjadi
dasar untuk terapi antifibrotik di masa mendatang.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Friedman SL. Molecular regulation of hepatic fibrosis, an integrated celluler


response to tissue injury, minireview, the journal of biological chemistry, vol
275(4); 2000:2247-2250.
2. Friedman SL. The celluer basic of hepatic fibrosis, mechanism and treatment
strategies, N Eng J Med, 328(25);1993: 1828-1835.
3. Iredale JP. Cirrhosis : new research provides a bqasis for rational and targeted
treatment, BMJ 2003; 327:143-
4. Chung RT, Podolsky DK. Cirrhosis and it’s complication. In Isselbacher,
Braunwald et all editors, Harrison’s principles of internal medicine, 15th ed, text-
book on CD-ROOM.
5. Safadi R, Friedman SL. Hepatic fibrosis-role of hepatic stellate cell as a target of
the treatment of liver fibrosis, Semin Liv Dis, available from:
http://www.medscape.com 2004.
6. Iredale JP. Hepatic stellate cell behavior during resolution of liver injury, Semin
Liver Dis 21(3); 427-436. Thieme Medical Publisher, 2001.
7. Battaller R, Brenner DA. Hepatic stellate cell as a target for treatment of liver
fibrosis, Semin Liv Dis, available from: http:///www.mescape.com 2004.
8. Sherlock S, Dooley J. Anatomy and function. In Sherlock S, Dooley J, editors.
Diseases of the liver and biliary system, Blackwell science itd, Oxford; 10th ed.
1997, 5-14.
9. Sherlock S, Dooley J. Hepatic cirrhosis. In Sherlock S, Dooley J, editors. Diseases
of the liver and biliary system. Blackwell science itd, Oxford; 10th ed. 1997, 371-
384.
10. Bioulac-Sage P. Hepatic stellate cells and fibrosis. 1st int. meeting on liver diseases,
2001 : 86-89.
11. Geerts A. On the origin of the stellate cells: mesodermal, endodermal or neuro
ectodermal?, Journal of hepatology 40 (2004), 331-334.

20
12. Wang SC, Ohata M, Schrum L, et al. Expression of interleukin-10 by in vitro and in
vivo activated stelate cells, the journal of boil. Chem., vol 273(1); 1998 : 302-13.
13. Eng FJ, Friedman SL. Fibrogenesis I. New insight into hepatic stellate cell
activation: the simple becomes complex. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol
279: G7-G11, 2000.
14. Friedman SL. Liver fibrosis-from bench to bedside, Journal of hepatology 38(2003)
S38-S53.
15. Mann DA, Smart DE. Transcriptional regulation of hepatic stellate cell activation,
Gut 2002; 50:891-896.
16. George J, Rolout D, Koteliansky VE, Bissell DM. In vivo inhibition of rat stellate
cell activation by soluble transforming growth factor β type II receptor: a potential
new therapy for hepatic fibrosis. PNAS vol. 96(22); 1999: 12719-12724.
17. Iredale JP, Benyon C, Pickering J et al. Mechanism of spontaneous resolution of rat
liver fibrosis, J Clin Invest. Vol. 102(3); 1998: 538-549.
18. Stefanovic B, Hellerbraan C, Holcik M et all. Posttranscriptional regulation of
collagen alpha I(1) mRNA in hepatic stellate cells. Molecular and cellular biology,
vol. 17(9); 1997 : 5201-5209.
19. Saxena NK, Ikeda K, Rockey DC, Friedman SL, Anania FA. Leptin in hepatic
fibrosis, evidence for increased collagen production in stellate cell and lean
littermates of ob/ob mice, Hepatology, vol. 35(4); 2002: 762-771.
20. Arthur MJP, Fibrogenesisll. Metalloproteinases and their inhibitors in liver fibrosis.
Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol 279: G245-249. 2000.
21. Lidquist JN, Marzluff WF, Stefanovic B. Fibrinogenesis III. Posttranscriptional
regulation of type I collagen. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol 279: G471-
476.2000.
22. Kawser CA, Iredale JP, Winwood PJ et al. Rat hepatic stellate cell expression of
α2-macroglobulin is a feature of cellular activation: inpllication for matrix
remodeling in hepatic fibrosis. Clinical science (1998) 95,179-186.

21
23. Issa R, Williams E, Trim N, et al. apoptosis of hepatic stellate cells: involvement in
resolution of biliary fibrosis and regulation by soluble growth factors. Gut 2001;
48:548-557.
24. wright MC, Issa R, Smart DE, et al. Gliotoxin stimulatesthe apoptosis of human
and rat hepatic stellate cells and enchances the resolution in liver fibrosis in rat,
Gastroenterology 2001;121(3):685-98.
25. Gabriel A, Kuddus R, Rao AS et al. Down regulation of endhothelin receptor by
transforming growth factor β-1 in hepatic stellate cells. Journal of hepatology
1998;30(3):440-450.
26. Mabuchi A, Mullaney I, Sheard PW et al. Role of hepatic stellate cells/hepatocyte
interaction and activation of hepatic stellate cells in the early phase of liver
regeneration in rat. Journal of hepatology 2004;40(6):910-916.

22

Anda mungkin juga menyukai