Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang masalah


Sudan adalah sebuah Negara terbesar di benua Afrika yang merdeka pada 1
Januari 1956, Sudan masih di anggap sebagai bagian dari timut tengah karena
sebahagian besar penduduknya memeluk agama islam dan berasal dari keturunan
Arab, dan sejarah juga mencatat bahwa etnis Arab di Sudan memegang peranan
penting dalam pemerintahan Sudan dan Mendominasi militer. Negara Sudan
senantiasa dihadapkan kepada masalah-masalah internal, baik yang bersumber dari
kemajemukan etnik maupun perbedaan agama. Secara garis besar Sudan terbagi
dalam dua bagian. Utara dihuni oleh ras Arab, berdarah dan berbahasa Arab, dan
yang non-Arab (suku Nubia) tetapi memeluk agama Islam dan dekat dengan ras Arab
karena kesamaan akidah, serta bahasa sehari-hari. Pengaruh Arab dan Islam sangat
kuat dan mengakar di bagian Barat dan Timur Sudan. Sedangkan di Selatan, terdapat
berbagai suku dari berbagai ras. Mereka mengaku sebagai penduduk asli Sudan dan
Afrika, yang terdiri dari suku-suku Dinka, Nuer, Shiluk, dan Azande. Mereka juga
dianggap kelompok suku besar Nilote, karena wilayah geografis mereka berada di
lembah hulu sungai Nil. Mayoritas dari mereka memeluk agama Kristen dan
sebahagian kecil tetap mempertahankan agama tradisi Afrika.1 Dominasi Utara yang
Muslim Arab (kecuali Muslim Nubia) dan selatan yang non-muslim, nyaris tak
pernah henti menyulut perlawanan dan pemberontakan bersenjata, sekaligus
menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan. Maka sejak merdeka tahun 1956, Sudan
telah mengalami berkali-kali pergolakan, sebagai dampak dari kemelut antar
kelompok yang berpengaruh terhadap stabilitas sosial, ekonomi, politik dan
keamanan.
Perang sipil pertama di Sudan terjadi pada tahun 1983 antara pemerintahan
1 “Krisis Darfur”Tiket” Bagi AS” dalam
Http:/www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/07/0803.htm. diakses tanggal 17 April 2007

1
pusat di Khartoum dengan fraksi terbesar pemberontak Sudan People Liberation
Movement (SPLM) di wilayah Selatan Sudan, pimpinan John Garang. Jutaan warga
Sudan telah mengungsi dan pemerintahan dituduh telah menghalangi pergerekan
pertolongan untuk kamp-kamp pengungsi di selatan. Konflik besar Sudan Selatan
bersumber dari keputusan Khartoum memberlakukan tatanan yang tidak bisa
diterima oleh warga Selatan. Hukum Shariah Islam diundangkan dan pemerintah
Sudan mengusahakan terbentuknya sebuah Negara Islam. Konflik tersebut bisa
diselesaikan dengan kesepakatan damai antara kedua belah pihak yang ditanda-
tangani di Nairobi bulan Januari 2005. Perjanjian damai tersebut mengakhiri konflik
berdarah yang telah berlangsung 21 tahun di Sudan Selatan, serta menewaskan dua
juta orang, terutama akibat kelaparan dan serangan penyakit. Kesepakatan tersebut
tidak terlepas dari upaya tidak kenal lelah UA sebagai penengah pihak yang
bersengketa. Protokol kesepakatan tersebut miliputi gencatan senjata permanen.
Berdasarkan persetujuan tersebut, Partai Kongres Nasional yang berkuasa di
Khartoum, dan SPLM akan membentuk pemerintahan koalisi sementara, juga akan
dilakukan desentralisasi kekuasaan, pembagian hasil minyak, dan mengintegrasikan
kekuatan militer kedua belah pihak. Pada akhir periode pemerintahan transisi
tersebut, wilayah Selatan dapat memutuskan untuk memisahkan diri atau tetap
menjadi bagian dari Sudan.2
Ketika proses perdamaian Utara-Selatan sedang berlangsung, di propinsi
Darfur, Sudan bagian Barat pecah pemberontakan. Pada Pebruari 2003, dua
kelompok bersenjata Sudan Liberatian Movement/Army (SLM/A) dan Justice and
Equality Movement (JEM) memulai perang di Darfur. Kelompok-kelompok ini
menyerang kota-kota, fasilitas-fasilitas pemerintah, dan warga sipil di daerah
tersebut. Kebanyakan pemberontak tersebut berasal dari dua atau tiga komunitas
seperti suku Fur dan Zaghawa. Para pemberontak menyatakan perlawanan mereka
disebabkan karena keterbelakangan dan marginalisasi yang dialami Darfur selama

2 “Sudan Tandatangani Perjanjian Damai”


dalam http:/kompas.com/ diakses pada tanggal 17 April 2008
ini.3
Menghadapi aksi pemberontakan di Darfur, pemerintah Sudan dikabarkan
memobilisasi milisi untuk membela diri. Salah-satunya dengan milisi Janjaweed,
meski pemerintahan Sudan menolak keterkaitannya dengan milisi Arab tersebut.
Militer Arab janjawed dalam beberapa tahun terakhir menerima support baik dana
maupun persenjataan dari pemerintah Sudan dalam usahanya untuk menyingkirkan
dan menumpas penduduk yang disinyalir tidak loyal terhadap pemerintah..4
Janjaweed pada mulanya dibentuk oleh pemerintahan Sadiq Al Mahdi (1986)
dari suku Messiriyi dan Rezeigat (dua suku besar keturunan Arab) yang bertugas
untuk mengamankan Darfur. Milisi ini terus berkembang dengan nama Janjaweed.
Pada massa pemerintahan Presiden Omar Al Bashir Janjaweed tidak dilikuidasi
walaupun sudah diketahui tindakan-tindakannya sering di luar kendali angkatan
bersenjata resmi pemerintah. Kondisi inilah yang ikut mendorong lahirnya
pemberontakan penduduk darfur. Muncul milisi-milisi tandingan untuk melawan
Janjaweed. Milisi-milisi bersenjata yang mengunakan ciri etnis non-Arab, walaupun
sama-sama muslim.5
Konflik di Darfur yang terjadi pada tahun 2003 baru mendapat perhatian
dunia internasional pada awal 2004. Lambatnya respon internasional karena pada
waktu itu perhatian masyarakat internasional tertuju pada serangan Amerika Serikat
ke Irak. Sedangkan krisis yang terjadi di Darfur menjadi terabaikan. WHO
memprediksi sedikitnya 500 ribu orang meninggal dalam konflik Darfur. Meski
pemerintah Sudan sendiri hanya mengakui 9000 orang diantaranya.6 Dan 2,5 juta
penduduk Darfur menjadi pengungsi. Banyaknya korban dalam konflik di Darfur

3 “Darfur Crisis-Questions and Answers”


http://usa.mediamonitors.net/headlines/darfur_crisis_questions_and_darfur. diakses pada 17 April
2008
4 “The Janjaweed Militia In Darfur” dalam
http://usa.mediamonitors.net/headlines/the_janjaweed_militia_in_darfur diakses tanggal 17 April 2008
5 Tragedi Darfur Tiket Bagi AS”dalam
http:/www.kompas.com/kompas-cetak/0408/01/in/1181276.htm diakses tanggal 17 April 2008
6 dari Artikel “Darfur yang Terabaikan” dalam
http://vebymega.blogspot.com/2008/01/darfur-yang-terbengkalai.html

3
tidak terlepas dari aktifitas milisi-milisi bersenjata, baik kelompok SLA dan JEM,
maupun milisi-milisi lain yang menyerang penduduk sipil.
Kekerasan yang terjadi di Darfur berdasarkan data Human Rights Watch
(HRW) akibat ulah Janjaweed dan berdasarkan sejumlah keterangan yang yang
dikumpulkan dari sejumlah NGO seperti Amnesti internasional, tindakan milisi
Janjaweed didukung oleh pemerintahan Sudan. Para pengungsi mengatakan pasukan
pemerintah menyerang dari udara, dan milisi Janjaweed menyerbu kampung mereka
membunuh para lelaki, memperkosa perempuan dan membakar rumah-rumah dan
kampung, serta mengambil apa saja yang bisa mereka ambil.7 Akibat dari peristiwa
itu ribuan orang dari kampung disekitar Darfun pun memutuskan mengungsi untuk
mencari perlindungan. Pengungsi dari wilayah Darfur ini melarikan diri ke Chad,
negara tetangga Sudan yang wilayahnya berbatasan dengan Darfur, kamp-kamp
pengungsi di Darfur antara lain di Farchana dan Bredjing. Tuduhan telah melakukan
aksi Genosida pun dilontarkan kepada milisi Janjaweed, yang berimbas kepada
pemerintahan Sudan.8. Menurut Internasional Crisis group, serangan militer oleh
pemerintahan tersebut tidak hanya semata-mata bertujuan untuk menghancurkan
pemberontakan dan melakukan kebijakan pembersihan etnis Afrika, tetapi ada tujuan
lain di balik itu, yaitu mengusir populasi yang berada di sekitar area minyak bumi,
yang merupakan tujuan jangka panjang pemerintah, dengan alasan untuk riset lebih
lanjut terhadap sumber minyak bumi dan pembangunan infrastruktur.9
Salah satu penyebab terus berkobarnya perang di Darfur adalah dengan
membiarkan milisi Janjaweed bergerak bebas. Masyarakat internasional telah
menekan telah menekan pemerintahan Sudan agar milisi Janjaweed segera dilucuti,
tetapi pemerintahan Sudan tidak merespon tuntutan tersebut. Atas sikap dingin

7 “Tragedi Darfur, Ujian bagi Afrika” dalam http:/www.kompas.com kompas-


cetak/0408/01/in/1181276.htm diakses tanggal 17 April 2008
http:/www.kompas.com kompas-cetak/0408/01/in/1181276.htm diakses tanggal 17 April 2008
8 “kesepakatan Damai Ditandatangani di Sudan” dalam
http://Indonesian.irib.ir/arsip.berita/mei06/060506.html diakses tanggal 17 april 2008
9 Internasional Crisis Group, Sudan’s Oildields Burn Again: Brinkmanship Endangers The Peace
Process,
http://crisisgroup.org/home/indeks.cfm?id=1807&1=5
pemerintahan Sudan, tuduhan bahwa Janjaweed didukung oleh pemerintahan Sudan
semakin kuat. Tuduhan ini diperkuat oleh Human Rights Watch yang
mempublikasikan wawancara dengan Musa Hilal, yang diidentifikasikan AS sebagai
pimpinan milisi Janjaweed mendapat instruksi dari komando Al-Fashir maupun dari
pemerintahan Khartoum untuk melancarkan serangan kepada warga sipil.10
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa apa yang terjadi di Darfur itu adalah
krisis kemanusiaan paling buruk di dunia pada saat ini, bahkan Amerika
menyebutkan telah terjadi pembantaian etnis di sana,11 karena dalam kurun waktu 3
tahun konflik tersebut telah menyebabkan jatuhnya korban yang sangat banyak.
Kondisi tersebut membuat Sudan semakin tersudut, terutama saat ini pemerintah
harus bekerja keras menjaga stabilitas keamanan Selatan pasca perdamaian setelah
konflik 21 tahun antara Sudan People Leberation Movement (SPLM) dengan
pemerintahan pusat Sudan. Apalagi dengan penolakan pemerintahan Al Bashir
terhadap masuknya pasukan penjaga keamanan PBB ke Darfur. Menurut Khartoum,
konflik Darfur akan sulit diselesaikan bila tidak memahami latar belakang kehidupan
suku-suku yang tinggal di daerah tersebut. Di Darfur tinggal 80 suku dan kelompok
etnis yang terbagi antara komunitas pengembara dan petani yang sudah menetap.
Atas dasar pertimbangan tersebut pemerintahan Sudan merasa bahwa konflik Darfur
hanya dapat diselesaikan oleh Uni Afrika. Sebagai sesama negara Afrika dengan latar
belakang sosial budaya yang sama, Uni Afrika dianggap telah memahami betul latar
belakang permasalahan dan kondisi lapangan yang sangat penting dalam menentukan
mekanisme yang paling tepat untuk menciptakan perdamaian di Darfur.
Di tengah ketidakpastian penyelesaian konflik dan krisis kemanusiaan di
Darfur dan lambatnya respon dari dunia internasional, muncullah titik terang pada
tahun 2004 dari pihak Uni Afrika sebagai organisasi regional di wilayah Afrika. Uni
Afrika memebentuk sebuah badan yang bertugas untuk menangani konflik di Sudan
10 “Pemerintahan Sudan Dukung Milisi Janjaweed” dalam
http://www.liputan6.com/view0,96766,1,0,1134965984.html diakses tanggal 17 April 2008
11 “Konflik Berdarah di Darfur” dalam
http://www.rsi.sg/indonesian/imaji/view/20060511163900/1/.html diakses tanggal 17 April 2008

5
yang disebut AMIS (African Union Mission In Sudan), tetapi kemampuan AMIS
dalam melindungi penduduk dan melindungi operasi bantuan kemanusiaan masih
kurang optimal dikarenakan oleh kapasitasnya yang masih terbatas, kurangnya
sumber daya, dan adanya bantuan politis.
UA sadar mereka tidak mempunyai kemampuan yang besar untuk
menyelesaikan konflik di Darfur yasng sangat kompleks, untuk itulah mengapa UA
meminta Dewan Keamanan PBB untuk mengambil alih pemeliharaan perdamaian di
Darfur. Dan pada tanggal 31 Juli 2007 Dewan Keamanan PBB bersepakat untuk
menjalankan resolusi nomer 1769 yang berisikan pembentukan UNAMID (United
Nations African Mission In Darfur) yang bekerja berdasarkan Chapter VII (peace
making mission = menciptakan perdamaian = menggunakan kekuatan/ memaksa
perdamaian) dalam jangka waktu 12 bulan.12 Di bawah resolusi ini, pasukan penjaga
keamanan diberikan hak untuk menggunakan kekuatan mereka guna mencegah
serangan, melindungi warga sipil dan pekerja sukarelawan serta mendukung segala
bentuk perjanjian perdamaian di Darfur.
UNAMID merupakan badan yang dibentuk oleh PBB dan UA yang berfungsi
menstabilkan keamanan di Darfur dan memberikan bantuan kemanusian. Misi ini
merupakan misi terbesar dan juga merupakan misi hybrid pertama dalam sejarah misi
perdamaian PBB yang menelan dana sebesar US$ 2 miliar pada tahun pertama.
Selain mengupayakan pembentukan penjaga perdamaian, DK PBB juga tengah
meretas jalan untuk mencapai perdamaian di Darfur. Mereka akan melibatkan semua
pihak, baik pemerintah maupun pemberontak, untuk berdamai dan menjalin kerja
sama politik dan kemanusiaan.13 Kekuatan UNAMID berjumlah 26000 personil yang
terdiri dari 20000 tentara dan lebih dari 6000 polisi dan juga komponen sipil lain.
Berdasarkan pembahasan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka

12 polisi oh polisi.dalam
http://reinhardjambi.wordpress.com/category/unamid/
17 nasional dikirim di Darfur dalam

http://reinhardjambi.wordpress.com/category/unamid/
13
penulis memilih judul skripsi sebagai berikut:
PERAN DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN
KONFLIK DI DARFUR-SUDAN

1.2 Ruang Lingkup Pembahasan


Dalam penulisan karya ilmiah, diperlukan penentuan ruang lingkup
pembahasan. Tujuannya agar pembahasan masalah berkembang kearah sasaran yang
tepat dan tidak keluar dari kerangka permasalahan yang ditentukan. Dalam
membatasi obyek atau pokok persoalan, Sutrisno Hadi mengatakan bahwa;
“Sekali suatu pokok persoalan telah ditetapkan, maka langkah berikutnya
adalah membatasi luasnya dan memberikan formulasi-formulasi yang tegas
terhadap pokok persoalan itu. Bagi penyelidik sendiri, penegasan batas-batas
ini akan menjadi pedoman kerja, dan bagi orang lain kepada siapa laporan
research itu hendak disajikan atau diserahkan, penegasan selalu berfungsi
mencegah kemungkinan timbulnya kerancuan pengertian dan kekaburan
wilayah persoalannya.”14

Untuk mempermudah pembahasan, penulis membedakan pembatasan ruang


lingkup ke dalam dua batasan yang meliputi batasan materi dan batasan waktu.
1.21 Batasan Materi
Batasan materi berfungsi untuk menunjukkan ruang pembahasan sebuah
peristiwa atau obyek yang dianalisis, yaitu cakupan kawasan atau daerah studinya.
Batasan materi yang akan dibahas dalam penulisan ini terfokus pada usaha yang
dilakukan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik di Darfur dan Peranan
PBB sebagai lembaga yang bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan
internasional.
1.22 Batasan Waktu
Batasan waktu adalah rentang waktu (durasi) terjadinya sebuah peristiwa atau
obyek yang dianalisis. Untuk menghindari kerancuan bahasan, maka dalam penulisan
skripsi ini penulis membatasi permasalahannya yakni mulai adanya perhatian khusus
14 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada,Yogyakarta, 1984
hal. 56

7
PBB pada konflik di Darfur tahun 2004 sampai tahun 2008.

1.3 Rumusan Masalah


Perumusan masalah merupakan proses menuju kristalisasi dari berbagai hal
yang terdapat dalam latar belakang. Masalah timbul karena tidak ada kesesuaian
antara harapan, teori atau kaidah dengan kenyataan.15 Perumusan masalah adalah
langkah awal memulai pembahasan dalam memperoleh kesimpulan yang tepat dari
suatu permasalahan. Pada hakekatnya masalah adalah jiwa penelitian. Setiap
penelitian atau analisis terhadap suatu peristiwa, pada titik tertentu akan terbentur
pada permasalahan yang menuntut jawaban. Masalah akan mendorong peneliti untuk
berpikir dan melakukan penyelidikan untuk mendapatkan pemecahannya. Sebelum
penulis merumuskan permasalahan dalam tulisan ini, The Liang Gie,
mengemukakan:
“Masalah ialah kejadian atau keadaan yang menimbulkan pertanyaan dalam
hati kita tentang kedudukannya, kita tidak puas dengan melihatnya saja,
melainkan kita ingin mengetahuinya lebih mendalam. Masalah yang
berhubungan dengan ilmu-ilmu senantiasa mengajukan pertanyaan
bagaimana dan apa sebabnya.”16

Dengan penjelasan singkat di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam


skripsi ini adalah:
Faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi PBB untuk ikut berperan dalam
penyelesaian konflik di Darfur dan apa usaha-usaha yang dilakukan Dewan
Keamanan PBB untuk mengakhiri konflik di Darfur-Sudan?

1.4 Kerangka Pemikiran


Dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam suatu penelitian,
diperlukan suatu kerangka konsep ataupun teori yang membantu penulis dalam
penyusunan hipotesa yang tepat. Selain itu kerangka konsep ataupun teori sebagai

15 Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Edisi Revisi. UPT Penerbitan Universitas Jember. Jember,
2005. Hal 16
16 The Liang Gie, Ilmu Politi: Suatu pembahasan tentang pengertian, kedudukan,lingkup dan
metodologi. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1882), hal. 47
sarana kerangka berpikir juga dibutuhkan agar penelitian memiliki fokus yang jelas
dalam menganalisa suatu fenomena.
Penulis berusaha untuk menggunakan teori dan menerapkan metode ilmiah
untuk menganalisa latar belakang Dewan Keamanan PBB terlibat dalam
penyelesaian konflik di Darfur. Penemuan data disertai dengan pemakaian teori dan
konsep yang tepat diharapkan dapat menghasilkan pengkajian permasalahan yang
lebih mendalam. Penerapan teori dan konsep yang dipilih dimaksudkan untuk
mendapatkan eksplanasi yang jelas mengenai permasalahan yang diangkat dalam
suatu kesimpulan sebagai hasil penelitian yang logis dan obyektif.
Mochtar Mas’oed memberikan batasan tentang definisi konsep sebagai
berikut:
“Konsep sebenarnya adalah sebuah kata yang melambangkan sesuatu
gagasan. Ia bukan sesuatu yang asing, kita menggunakannya sehari-hari
untuk menyederhanakan kenyataan yang kompleks dengan mengkategorikan
hal-hal yang kita temui berdasar ciri-cirinya yang relevan bagi kita.”17

Agar lebih jelas penulis merasa perlu untuk memberikan pendapat Mc Cain
dan Segal mengenai definisi teori sebagai berikut:
“Serangkaian statemen yang saling berkaitan… (yang terdiri dari) 1. Kalimat-
kalimat yang memperkenalkan istilah-istilah yang merujuk pada konsepsi
dasar teori itu, 2. Kalimat-kalimat yang menghubungkan beberapa konsep
dasar itu sama lain, dan 3. Kalimat-kalimat yang menghubungkan beberapa
satatemen teoritis itu dengan sekumpulan kemungkinan obyek pengamatan
empiris (yaitu hipotesa).”18

Konsep yang digunakan penulis untuk menjelaskan fenomena-fenomena dari


permasalahan yang diangkat adalah konsep Organisasi Internasional :
Menurut Jack C. Plano dan Roy Olton dalam kamus Hubungan internasional
Organisasi Internasional adalah:
“Suatu ikatan formal melampaui batas wilayah nasional yang menetapkan

17 Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1994),
hal. 94
18 Mas’oed. ibid. hal 93

9
untuk membentuk mesin kelembagaan agar memudahkan kerjasama di antara
mereka dalam bidang keamanan, ekonomi dan sosial serta bidang lainnya.19
Sedangkan Menurut Sumaryo Suryokusumo organisasi Internasional adalah:
“Suatu proses; organisasi internasional juga menyangkut aspek-aspek
perwakilan dari tingkat proses tersebut yang telah dicapai pada waktu
tertentu. Organisasi internasional diperlukan dalam rangka kerjasama,
menyesuaikan dan mencari kompromi untuk meningkatkan kesejateraan serta
memecahkan persoalan bersama, serta mengurangi pertikaian yang timbul”.20

Sumaryo juga berpendapat bahwa organisasi internasional diperlukan untuk


menjajaki sikap bersama dan mengadakan hubungan dengan Negara lain. Cirri
organisasi internasional yang mencolok adalah merupakan suatu organisasi yang
permanen untuk melanjutkan fungsinya yang telah ditetapkan. Organisasi ini
mempunyai instrumen dasar yang akan memuat prinsip-prinsip dan tujuan, struktur
maupun cara organisasi ini bekerja. Organisasi internasional dibentuk berdasarkan
perjanjian internasional , dan biasanya agar dapat melindungi kedaulatan Negara,
organisasi ini mengadakan kegiatannya sesuai dengan persetujuan atau rekomendasi
serta kerjasama, dan bukan semata-mata bahwa kegiatran itu haruslah dipaksakan
atau dilaksanakan.
Dari aspek hukumnya, organisasi internasional lebih menitik beratkan pada
masalah-masalah kontitusional, dan prosedural, antara lain seperti wewenang dan
pembatasan-pembatasan baik terhadap organisasi internasional itu sendiri maupun
anggotanya sebagaimana termuat dalam ketentuan-ketentuan istrumen dasarnya,
termasuk perkembangan organisasi secara praktis. Dapat diambil contoh bahwa
sebenarnya organisasi internasional itu menghadapi masalah-masalah potensial yang
berhubungan dengan sifat-safat hukumnya yang mendasar baik dalam kaitannya
dengan hukum internasional maupun hukum nasional yang menyangkut Negara-
negara anggotanya. Demikian juga diberbagai hal, organisasi internasional telah
19 Jack C. Plano. Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional, Penerbit Putra A Bardin.Jakarta, 1999.
Hal. 271
20 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Universitas Indonesia-Press, Jakarta,
1990. Hal 10
mengembangkan wewenang dan mekanisme untuk menyelesaikan suatu pertikaian
yang menimbulkan masalah-masalah bersama yang bertalian dengan hak prerogatif
dari negara anggota yang berdaulat, dan bagaimana suatu keputusan yang dibuat itu
cukup adil dan efektif. Dalam beberapa hal organisasi internasional juga dapat
bertindak sebagai badan pembuat hokum yang menciptakan prinsip-prinsip hokum
internasional.
Organisasi intenasional dibagi dalam 2 klasifikasi yaitu: 1. Organisasi Publik
antara dua Negara atau lebih; serta 2. Organisasi Swasta yang lebih dikenal dengan
Organisasi Non Pemerintahan (NGO). Organisasi internasional, publik mencakup
ikatan politik global (LBB dan PBB), kelompok regional (NATO,OAS, dan Liga
Arab) dab persatuan internasional (UPU dan WHO). Contoh organisasi internasional
Swasta anatar lain Rotari Internasional, Internasional Confederation of Free Trade
Union, dan Palang Merah Internasional.21
Persekutuan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi internasional memiliki
kewenangan yang bersifat memaksa terhadap negara-negara anggotanya ataupun
yang bukan anggota. memberikan ketentuan-ketentuan mengenai langka-langka apa
yang harus diikuti oleh negara apabila terlibat di dalam suatu perselisihan. Negara-
negara itu mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul
diantara mereka secara damai.
Dalam mengatasi masalah di Darfur, PBB dengan tegas telah menjalankan
tugas dan fungsinya sebagai organisasi internasional penegak dan pemeliharaan
perdamaian sesuai dengan isi piagam PBB. Peran ini ditunjukan dengan
dikeluarkannya resolusi untuk membentuk badan di bawah naungan DK PBB dan
mengirimkan pasukan penjaga keamanan. Dalam menangani permasalahan ada tiga
peran PBB yang menonjol yaitu :1. Conflict resolutian; 2. Collective Security dan 3.
the development of new international arragement to promote peace, stability, and
general welfare.22
21 Jack. C. Plano. Roy Olton, Op. Cit. Hal 271
22 D.G. Kousoulas, Power and influence: An Introduction to International relation (Brooks/Cole
publishing Company: Monterey, California, 1985). Hal. 193

11
Dalam penyelesaian suatu konflik, terdapat banyak cara yang dapat ditempuh.
Tentunya dengan terlebih dahulu menentukan indikator analisis konflik dan dari
indikator-indikator tersebut maka akan bisa ditemukan bagaimana model
kebijaksanaan penyelesaian konflik yang diharapkan. Penyelesaian konflik
internasional dapat melalui penyelesaian secara politik (nonyuridiksional) dan secara
hukum (yuridiksional). Penyelesaian secara politik dapat dibagi menjadi tiga23, yaitu:
1. Penyelesaian dalam kerangka antar negara, antara lain : perundingan
diplomatik dengan atau tanpa mediator, dengan menggunakan angket dan
konsiliasi internasional.
2. Penyelesaian dalam kerangka Organisasi-organisasi dan Badan-badan
Regional.
3. Penyelesaian dalam kerangka organisasi PBB.

Menurut Oran Young, Peran dan fungsi yang mungkin dimainkan dalam
menyelesaikan krisis dan konflik24, adalah :
1. “Jasa Baik” Mengacu pada prosedur yang merupakan sarana bagi pihak
ketiga untuk bertindak sebagai saluran komunikasi diantara para pihak yang
bertikai dengan menyampaikan pesan diantara mereka.
2. Sumber data, meliputi pemberian informasi yang releven kepada para pihak
yang bersangkutan mengenai karakter yang tidak menyimpang.
3. Interposisi, mengirim cepat pasukan PBB untuk menjaga keamanan dan bila
perlu memungkinkan untuk meredakan ketegangan.
4. Pengawasan, Setelah para pihak yang berkonflik merundingkan gencatab
senjata
5. Persuasi, yang melibatkan upaya untuk mengusahakan terus negosiasi dan
membujuk pihak yang bersengketa untuk maju
6. Enunsiasi, meliputi penjelasan isu di sekitar konflik
23 Hught Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Resolusi Damai konflik Kontemporer
(Rajawali Press, Jakarta, 2000) Hal.127
24 K.J.Holsty, Op.cit. Hal. 176
7. Elabortasi dan Inisiasi, disini para mediator terlibat aktif dalam perundingan
dengan membantu merumuskan kepentingan bersama dan saling melengkapi.
8. Partisipasi, dimana pada titik ini terjadi perundingan tiga arah dan pada
beberapa kasus, mediator sebenarnya menguasai perundingan.

Dari beberapa pendapat di atas penyelesaian konflik di Darfur menggunakan


penyelesaian konflik dalam kerangka organisasi internasional PBB. Tentunya dalam
penyelesaian ini PBB mengacu pada piagam PBB yang menjadi dasar setiap langka
ataupun tindakan yang diambil PBB. Resolusi yang dikeluarkan PBB untuk
menyelesaikan konflik di Darfur adalah dengan mengirimkan pasukan penjaga
keamanan dan membentuk United Nations African Mission In Darfur (UNAMID).

1.5. Hipotesa
Hipotesis disusun guna memberi jawaban sementara yang dalam analisis
lebih lanjut akan membuktikan kebenarannya. Dalam prosesnya kemudian hipotesisi
akan diverifikasi untuk mendapatkan kesimpulan yang sebenarnya. Hipotesis
diperlukan untuk menemukan alternative dalam berbagai macam dugaan yang
mendekati. Sebagaimana dikemukakan oleh Sutrisno Hadi, sebagai berikut:
“Hipotesis adalah dugaan yang mungkin benar atau mungkin juga salah. Dia
akan ditolak jika salah atau palsu, dan akan diterima jika fakta
membenarkannya. Penolakan dan penerimaan hipotesa dengan begitu sangat
tergantung terhadap fakta-fakta yang dikumpulkan.”25

Berdasarkan kerangka pemikiran dan rumusan masalah yang telah penulis


kemukakan di atas, maka diperoleh hipotesa awal dari permasalahan yang penulis
temui, yaitu:
Keikutsertaan DK PBB dalam penyelesaian konflik di Darfur tidak lepas dari
masalah keamanan (agar konflik tersebut tidak merembet ke Negara lain) dan
menjaga stabilitas keamanan internasional serta masalah penegakan hak asasi

25 Sutrisno Hadi, Bimbingan Skripsi,Thesis Jilid 2(penerbit Andi:Yogyakarta,2000) Hal. 30

13
manusia, mengingat semakin parahnya keadaan di Darfur.

1.6. Metode Penelitian


Metode penelitian merupakan langkah yang berulang kembali sehingga
menjadi pola-pola untuk mengali pengetahuan tentang suatu fenomena. Pada bagian
awalnya merupakan cara atau langkah untuk mengumpulkan data, dan pada bagian
terakhir merupakan cara untuk memeriksa kebenaran dari pernyataan yang dibuat
oleh fenomena tersebut.26
1.6.1 Metode Penelitian
Teknik yang digunakan dalam proses pengumpulan data ini adalah dengan
studi literature. Dalam hal ini langkah yang diambil penulis adalah melengkapi
literature yang relevan dengan tujuan penulisan. Penulis melakukan penelitian secara
tidak langsung yang berarti bahwa data-data pengamatan terhadap obyek yang
diteliti dapat diperoleh melalui jurnal-jurnal, buku-buku ilmiah, literatur, artikel atau
bulletin, situs-situs internet dan lain-lain. Beberapa pusat informasi yang dikunjungi
antara lain:
a. Perpustakaan Universitas Jember
b. Perpustakaan FISIP Universitas Jember
c. Media internet
1.6.2 Metode Analisa Data
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik maka penulis menggunakan
cara berfikir refleksi, yaitu memandang persoalan kearah deduksi kemudian menuju
induksi, setelah itu menjamin kebenarannya kembali ke deduksi. Adapun tahapan-
tahapan berfikir refleksi27, antara lain
1. Penulis mempunyai
persoalan dan mengalami
kesulitan. Dalam hal ini

26 The liang Gie.Op.Cit. Hal 5


27 Sutrisno Hadi, Op.Cit. 63
penulis ingin mengetahui
hal-hal yang melatar
belakangi peranan yang
dilakukan DK PBB dalam
membantu menyelesaikan
konflik di Darfur; mengingat
konflik tersebut merupakan
konflik dalam negeri, dan
upaya-upaya apa saja yang
dilakukan DK PBB
2. Mendudukan dan memberi batasan terhadap kesulitan atau masalah. Dalam
hal ini memastikan masalah yang dihadapi, yakni seputar konflik di Darfur
dan peranan DK PBB dalam membantu penyelesaian konflik.
3. Mengajukan hipotesis berdasarkan pada penyelidikan awal yang merupakan
konklusi yang bersifat deduksi, sementara dan masih sangat awal. Peranan
DK PBB dilatarbelakangi oleh masalah keamanan dan penegakan hak asasi
manusia, upaya yang dilakukan adalah interposisi militer, bantuan
kemanusiaan dan membentuk suatu badan untuk mengawasi penyelesaian
proses perdamaian di Darfur dan mencegah meluasnya konflik.
4. Secara deduksi membeberkan dan menerangkan hipotesis dan mencari alas
an-alasan yang mendukung hipotesis tersebut.

5. Menguji hipotesis dengan fakta-fakta. Dari data yang dikumpulkan dapat


dilihat bahwa mengenai masalah keamanan konflik di Darfur di kwatirkan
dapat mempengaruhi Negara-negara lain di Afrika, mengingat kawasan
tersebut rawan konflik.
6. Menarik kesimpulan dari pemaparan dengan menyimpulkan hasil analisis.

1.7 Pendekatan

15
Pendekatan diperlukan dalam sebuah karya tulis ilmiah untuk lebih
menjelaskan dan mencapai maksud serta tujuan penelitian tersebut. Pendekatan
tersebut dimaksudkan agar pembahasan dapat terfokus pada permasalahan yang
dituju, sesuai dengan ruang lingkup pembahasan yang telah ditetapkan. Menurut The
Liang Gie, pendekatan adalah:
keseluruhan unsure yang dipahami untuk mendekati suatu bidang ilmu dan
memahami pengetahuan yang teratur, bulat, mencari sasaran yang ditelaah
oleh ilmu tersebut28

Dalam karya tulis ilmiah ini penulis menggunakan pendekatan intitusional


(Instititutional approach). Pendekatan institusional (kelembagaan), yakni pendekatan
yang mempelajari kelembagaan-kelembagaan yang ada, baik suprastruktur maupun
infrastruktur. Selain itu menurut David E. Apter, pendekatan istitusional merupakan
suatu pendekatan yang berminat pada bagaimananya agar lembaga-lembaga
demokrasi dapat memasuki masyarakat yang belum dapat mengembangkannya
sendiri.
Penulis menggunakan pendekatan ini untuk menggambarkan bahwa peranan
Dewan Keamanan PBB sebagai organisasi internasional dalam proses penyelesaian
konflik di Darfur.

28 The Liang Gie, Op.Cit, hal. 49


17

Anda mungkin juga menyukai