Anda di halaman 1dari 40

BAB I PENDAHULUAN

Eklampsia merupakan suatu kondisi obstetrik penting yang menyebabkan mortalitas dan morbiditas ibu di seluruh dunia. Dilaporkan ada sekitar 50.000 kematian ibu setiap tahun di seluruh dunia oleh karena eklampsia.1 Angka kejadian pre-eklampsia dan eklampsia di dunia menurut WHO sekitar 0,513,84%, sedangkan di Indonesia angka kejadian preeklampsia dan eklampsia di beberapa rumah sakit pendidikan sangat bervariasi berkisar antara 3,48,5 %.2 Sampai saat ini belum diketahui dengan jelas penyebab pre-eklampsia, namun beberapa teori tentang patogenesis pre-eklampsia telah diajukan oleh banyak ahli diantaranya teori iskemik plasenta, radikal bebas, kerusakan endotel, dan teori diet yang dapat digunakan untuk mencegah semakin beratnya penyakit. Demikian pula halnya dengan teori terjadinya kejang pada pre-eklampsia yang sampai saat ini belum jelas diketahui.3 Hal ini menyebabkan kejadian kejang pada pre-eklampsia sulit diprediksi, seperti yang dilaporkan oleh Mushambi (1996) dimana 38% eklampsia terjadi tanpa prodroma yang dikenal sebagai tanda imminent eklampsia. Demikian pula hubungan kejang dengan tingginya tekanan darah yang tidak relevan.4 Manifestasi nerologis eklampsia sama dengan manifestasi klinis ensefalopati hipertensif, yaitu sakit kepala, perubahan visus, gangguan kesadaran, dan akhirnya kejang. Pada pencitraan otak dari penderita eklampsia ditemukan adanya edema di daerah korteks serebri, terutama di lobus oksipitalis. Patologi tersebut terjadi karena meningkatnya secara tiba-tiba tekanan darah sehingga mengganggu sistem otoregulasi otak, meskipun masih terdapat kontroversi apakah kejang pada eklampsia hanya disebabkan karena peningkatan tekanan darah yang berakibat vasopasme pembuluh darah otak, ataukah ada mekanisme lainnya. Hal ini karena tidak semua eklampsia berasal dari pre-eklampsia berat dan tidak semua penderita mengalami tanda klinis imminent eklampsia.3,5 MgSO4 sebagai terapi untuk mencegah dan menghilangkan kejang yang sedang berlangsung, telah diakui sebagai obat yang efektif, meskipun dosis dan cara pemberiannya masih tidak seragam.6 Berikut ini akan diuraikan

sebuah kasus eklampsia, dari segi faktor predisposisi, cara mendiagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis eklampsia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi Eklampsia adalah kelainan akut pada ibu hamil, saat hamil tua, persalinan atau masa nifas ditandai dengan timbulnya kejang atau koma, dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala pre-eklampsia (hipertensi, edema, proteinuria).7

2.2

Faktor Risiko Risiko adalah ciri yang dimiliki oleh seseorang yang dapat atau berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Pada preeklamsia telah dikenal beberapa faktor risiko.2,3,4,8 Risiko yang berhubungan dengan kehamilan : Primigravida Umur yang ekstrim (terlalu muda atau terlalu tua) untuk kehamilan Kehamilan multipel Mola hidatidosa Infeksi saluran kencing pada kehamilan Hydrops fetalis

Risiko yang berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu dan riwayat penyakit keluarga : Riwayat pernah pre-eklampsia Hipertensi kronis Penyakit ginjal

2.3

Obesitas Diabetes gestasional, diabetes mellitus tipe I Antiphospholipid antibodies dan hiperhomocysteinemia.

Epidemiologi Eklampsia merupakan penyebab utama kematian maternal dan perinatal di dunia. Maternal mortality rate kira-kira 4,2%. Perinatal mortality rate lebih tinggi, dengan rentang 13%-30%.6 Angka kejadian pre-eklampsia berat dan eklampsia di dunia menurut WHO sekitar 0,513,84%, sedangkan di Indonesia angka kejadian preeklampsia-eklampsia di beberapa rumah sakit pendidikan sangat bervariasi berkisar antara 3,4-8,5 %. Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar, Ardhana K & Suwardewa TGA (1997) mendapatkan angka kejadian pre-eklampsia berat sebesar 1,82%, dan angka kejadian eklampsia sebesar 0,25%. Wirawan & Jaya Kusuma (2000) mendapatkan angka kejadian pre-eklampsia sebesar 3,86%. Penelitian Darmaja & Suwardewa TGA (2001) mendapatkan angka kejadian eklampsia sebesar 0,42%.2 Di negara yang telah berkembang, kejadian eklampsia lebih jarang terjadi, hal ini disebabkan karena adanya perbaikan kualitas pelayanan antenatal dan makin baiknya fasilitas pelayanan kesehatan di tempat itu.8 Eklampsia dapat terjadi antepartum (50%), intrapartum (25%), atau post partum (25%).3 Penderita dengan eklampsia memiliki tanda dan gejala yang luas, dari hipertensi ringan sampai kegagalan multiorgan. Sebagian besar (64,5%) eklampsia mengalami gejala dan tanda imminent eklampsia sebelum kejang, dengan gejala yang paling banyak adalah sakit kepala.9

2.4

Patogenesis Sampai saat ini mekanisme kejang pada eklampsia belum jelas, apakah disebabkan oleh karena tekanan darah yang tinggi atau adanya mekanisme lainnya yaitu kebocoran pembuluh darah kapiler serebri yang mengakibatkan ekstravasasi plasma ke jaringan otak sehingga menyebabkan kejang. Terjadinya hipertensi pada penderita pre-eklampsia-eklampsia diawali dengan gagalnya proses remodeling arteria spiralis. Seperti diketahui bahwa pembentukan plasenta melalui proses proliferasi, migrasi dan 4

invasi tropoblas ke dalam desidua (interstitial) dan ke dalam lumen arteria spiralis (invasi endovaskular). Permulaan dari proses ini sudah terjadi pada umur kehamilan 4-6 minggu, yang akan berakhir pada umur kehamilan 16-20 minggu. Hasil akhir dari proses ini adalah lapisan muskularis, endotel dan lamina elastik internal diganti oleh sel sel tropoblas sehingga lumen arteria spiralis menjadi lebar dan elastis, yang menimbulkan aliran darah yang besar ke plasenta. Pada kehamilan normal vasodilatasi lumen arteria spiralis ini dapat meningkatkan aliran darah uteroplasenta sampai 10 kali lipat. 3,4 Pada pre-eklampsia terjadi maladaptasi invasi tropoblast oleh berbagai faktor sehingga sirkulasi ruang intervilus menjadi tidak adekuat. Keadaan ini menimbulkan stres oksidatif kronis pada plasenta, yang kemudian menghasilkan banyak ROS (Reactive Oxygen Species). Interaksi radikal bebas dengan asam lemak tak jenuh pada membran sel endotel menghasilkan peroksida lipid yang menyebabkan disfungsi endotel. Endotel merupakan organ terluas dalam tubuh yang memiliki berbagai fungsi. Selain barier mekanik intra dan ekstra vaskuler, endotel berperan dalam mengendalikan aliran darah dan tahanan perifer melalui mediator kimiawi yang dihasilkannya yaitu Nitric Oxide (NO), Prostasiklin (PGI2) dan Endothelial Deriving Hyperpolarizing Factor (EDHF) yang kesemuanya merupakan vasodilator yang kuat. Pada kehamilan normal terjadi peningkatan aktifitas Nitric Oxyde Syntase (NOS) dan Cyclooxygenase (COX) sehingga terjadi peningkatan produksi NO dan PGI2. NO mengaktivasi cGMP, demikian juga PGI2 mengaktivasi cAMP di dalam otot polos vaskuler. Secara bersamaan juga terjadi penurunan kalsium intraseluler dan sensitivitas sel terhadap Ca2+. EDHF yang dihasilkan oleh sel endotel juga membuka K+ channels yang menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi membran sel. Semua proses tersebut menyebabkan terjadinya relaksasi sel otot polos vaskuler, penurunan tahanan perifer dan penurunan tekanan darah.3,4 Pada disfungsi endotel yang disebabkan oleh pre-eklampsia terjadi penghambatan aktifitas NOS, sehingga produksi NO menurun. Demikian juga faktor dari plasenta mengakibatkan terlepasnya Endotelin-1 (ET1) dan tromboksan A2

(TXA2) yang merupakan suatu endothelium deriving contracting factor yang menyebabkan kontraksi otot polos vaskuler. Secara bersamaan juga terjadi aktivasi Renin Angiotensin System (RAS) di ginjal sehingga terjadi pelepasan Angiotensin II . Semua substansi diatas bersama-sama mengaktivasi reseptor spesifik di sel otot polos vaskuler yang menyebabkan peningkatan Ca2+ intrasel, aktivasi Protein Kinase C (PKC) yang akhirnya menyebabkan peningkatan konstriksi pembuluh darah, dan menimbulkan manifestasi klinis hipertensi dan tahanan perifer yang meningkat.3,5

Gambar 1.

Implantasi normal plasenta pada trimester ketiga dibandingkan dengan defek implantasi yang menyebabkan terjadinya preeklampsia kehamilan dan restriksi pertumbuhan janin intrauterin.

Mekanisme terjadinya kejang pada eklampsia belum jelas. Secara patologis pada jaringan otak ditemukan tanda-tanda yang sama dengan jaringan otak yang mengalami suatu ensefalopati hipertensif. Kelainan itu adalah nekrosis fibrinoid, trombosis arteriola, mikroinfark dan perdarahan petekia. Ensefalopati hipertensif adalah suatu sindroma klinik subakut yang ditandai oleh sakit kepala, gangguan visus dan kejang serta tanda tanda neurologis lainnya sperti perubahan mental, dan fokal neurologik yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah. Sindroma ini

biasanya bersifat reversibel ketika tekanan darah segera diturunkan, namun bisa fatal bila tanda tanda klinis ini tidak diketahui. Pembuluh darah serebral mempunyai kemampuan untuk mengatur aliran darahnya sendiri, dimana sistem regulasi itu dikenal sebagai cerebral autoregulation. Perfusi cerebral akan dipertahankan oleh sistem tersebut, sehingga kecepatan aliran darah serebral tetap sebesar 50-55 ml/menit/100gr jaringan otak. Untuk mempertahankan kondisi tersebut maka pembuluh darah serebral yang mempunyai komponen miogenik dan neurogenik itu akan dilatasi bila tekanan darah turun, demikian juga sebaliknya bila tekanan darah meningkat. Keadaan itu tercapai pada range tekanan darah yang lebar, dan dapat diukur dengan mean arterial blood pressure (MABP) sebesar 60-120 mmHg.3,4 Pada pre-eklampsia tanda-tanda ensefalopati hipertensif tersebut merupakan gejala dari imminent eklampsia atau impending eklampsia. Ada 2 teori terjadinya ensefalopati hipertensif, yang pertama adanya spasme pembuluh darah serebral sebagai respon terhadap adanya hipertensi akut atau peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba. Vasospasme ini menyebabkan ischemic injury, nekrosis arteriolar dan disrupsi dari blood brain barier sehingga menyebabkan terjadinya edema sitotoksik. Teori kedua menyatakan bahwa sindrom itu berasal dari adanya breakthrough dari sistem otoregulasi otak sehingga menyebabkan dilatasi berlebihan. Awalnya terjadi vasospame pada pembuluh darah, kemudian terjadi overdistensi pasif dari pembuluh darah serebral yang akhirnya menyebabkan nekrosis muskularis pembuluh darah dan rusaknya dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan bocornya cairan ke jaringan sekitarnya. Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik. Kombinasi dua mekanisme ini lebih beralasan dalam mekanisme terjadi eklampsia. Jadi, sindrom eklamsia menyebabkan aktivasi endotelial yang berhubungan dengan kebocoran sel interendotelial yang terjadi pada tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan yang menyebabkan edema vasogenik dan telah kehilangan batas autoregulasinya. Hal ini dikenal sebagai posterior reversible encelopathy syndrome-PRES. Hasil akhir dari mekanisme tersebut adalah terjadinya edema serebri fokal. Inervasi saraf simpatis pada arterola serebral melindungi otak terhadap peningkatan

tekanan darah dan kerusakan komponen miogenik akibat disfungsi endotel, namun proteksi itu lebih banyak terjadi di bagian anterior, sedangkan di bagian posterior arteria serebralis posterior tidak, sehingga pada keadaan breakthrough sistem autoregulasi itu maka daerah serebral yang sering mengalami kerusakan adalah di daerah lobus oksipital dan bagian otak di posterior lainnya. Hal ini yang menyebabkan timbulnya gangguan visus sampai kebutaan atau disebut cortical blindness.3,4 Batas atas dari MABP bervariasi antara individu. Pada seorang yang sebelumnya tidak menderita hipertensi, peningkatan MABP diatas 125 mmHg sudah menimbulkan tanda-tanda ensefalopati hipertensif, sedangkan pada seseorang yang mengalami hipertensi kronik, terjadi hipertropi medialis pada pembuluh darah serebral, sehingga MABP menjadi lebih tinggi, dan dibutuhkan tekanan darah yang lebih tinggi lagi untuk menimbulkan ensefalopati hipertensif. Misalnya seorang primigravida yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal, bisa mengalami kejang pada saat tekanan darahnya naik menjadi 180/120 mmHg, namun pada penderita lain dengan hipertensi kronik pada tekanan darah tersebut bisa asimptomatik atau hanya mengalami sedikit keluhan sakit kepala yang tidak berarti.3,4 Walaupun patologi otak pada penderita eklampsia menunjukkan bukti adanya ensefalopati hipertensif seperti nekrosis fibrinoid pada arteriola serebral, trombosis, mikroinfark dan perdarahan petekia, namun hal ini saja tidak dapat menerangkan secara keseluruhan patologi susunan saraf pusat, seperti misalnya adanya perdarahan retina, eksudat dan papil edema yang merupakan tanda khas dari ensefalopati hipertensif, pada eklampsia kelainan tersebut jarang dijumpai. Juga hubungannya dengan tingginya tekanan darah yang tidak relevan, dimana sebanyak 20% dari eklampsia ternyata berasal dari hipertensi ringan dengan tekanan darah 140/90 mmHg. Karena itu patogenesis eklampsia sampai saat ini tidak sepenuhnya dapat dimengerti, tetapi walaupun demikian plasenta, ginjal dan otak merupakan organ yang sering mengalami perubahan patologik akibat disfungsi endotel.3,4

2.5

Manifestasi Klinis dan Diagnosis Diagnosis eklampsia dibuat berdasarkan adanya kejang yang bersifat umum, sekali atau lebih diikuti atau tidak dengan koma, dan tidak ditemukan adanya kondisi neurologis lainnya yang berhubungan dengan kejang tersebut. Kejang pada eklampsia biasanya berlangsung 60-75 detik dan tidak lebih dari 3-4 menit. Tergantung dari waktu terjadinya, eklampsia bisa terjadi antepartum, intrapartum dan post partum. Eklampsia sebagian besar didahului oleh tanda tanda prodroma yang kita sebut dengan tanda tanda imiment eklampsia atau impending eklampsia. Tanda-tanda tersebut sesuai dengan tanda-tanda ensefalopati hipertensif.3 Kejang pada eklampsia dibagi menjadi 4 fase yaitu10 : Fase 1. Tingkat awal atau aura. Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar, demikian pula tangan dan kepala yang berputar ke kanan dan kiri. Fase 2. Kemudian timbul tingkat kekejangan tonik yang berlangsung kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku sehingga wajah terlihat kaku, tangan menggenggam dan kaki membengkok ke dalam. Pernafasan berhenti, muka mulai menjadi sianotik. Lidah dapat tergigit. Fase 3. Stadium ini kemudian disusul tingkat kekejangan klonik yang berlangsung antara 1-2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan berulangulang dalam tempo waktu yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tidak sadar. Kejang ini dapat sedemikian hebatnya, sehingga seringkali tubuh penderita terjatuh dari tempat tidur. Akhirnya, kejang berhenti dan penderita menarik nafas secara mendengkur. Fase 4. Penderita memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi

pula bahwa sebelum itu muncul serangan baru dan berulang, sehingga penderita tetap dalam koma. Penderita juga dapat mengalami kenaikan suhu tubuh sampai di atas 39C yang disebabkan karena perdarahan intraserebral, dimana kenaikan suhu tubuh ini merupakan salah satu tanda prognosis yang buruk. Pada eklampsia yang terjadi antepartum, bisa timbul tanda-tanda persalinan, demikian juga pada eklampsia yang terjadi intrapartum, kontraksi yang sudah ada bisa bertambah kuat, sehingga harus diwaspadai terjadinya solusio plasenta, terutama bila disertai dengan fetal bradikardia yang lebih dari 5 menit. Keadaan berbahaya lainnya yang bisa mengikuti kejang adalah adanya edema paru. Edema paru merupakan salah satu komplikasi akut eklampsia. Edema paru adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada interstitial paru dan ruang alveoli. Keadaan ini merupakan komplikasi akut eklampsia, yang bisa terjadi bersamaan atau segera setelah kejang berlangsung. Tanda penting dari edema paru adalah sesak nafas dan pada pemeriksaan fisik paru didapatkan ronkhi pada paru. Edema paru disebabkan karena aspirasi pneumonitis atau karena gagal jantung. Selain edema paru komplikasi lainnya adalah keluhan tentang hilangnya penglihatan pada penderita eklampsia (cortical blindness) yang terjadi sekitar 10% dari kasus preeklampsia dan eklampsia. Kebutaan ini disebabkan oleh ablasio retina atau iskemia lobus optikus. Keadaan ini biasanya reversibel dan penglihatan kembali normal beberapa saat sampai 1 minggu setelah melahirkan.4 2.6 Komplikasi

Munro (2000) melaporkan beberapa komplikasi eklampsia yang terjadi pada pengamatan sebanyak 383 penderita eklamsia di Southern General Hospital, Glasgow tahun 1999 sebagai berikut11:

Depresi pernafasan DIC Sindrom HELLP Gagal ginjal

(87) 23 % (33) 9 % (27) 7 % (24) 6 %

10

Edema paru ARDS CVA Gagal jantung Kematian

(18) 5 % (7 ) 1,8% (7) 1,8% (6) 1,6 % (6) 1,6 %

2.7

Diagnosis Banding

Beberapa kondisi klinis yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding eklampsia adalah sebagai berikut12 :
Penyakit serebrovaskular Penyakit hipertensi Space-occupying lesion Gangguan metabolik Infeksi : perdarahan intraserebral, thrombosis arteri serebral : ensefalopati hipertensif, pheochromcytoma : tumor atau abses otak : hipoglikemia, uremia : meningitis, encephalitis

2.8

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk menunjang diagnosis eklampsia adalah, sebagai berikut :
1. Pemeriksaan darah lengkap 2. Hitung trombosit 3. Elektrolit 4. Protein kuantitatif 5. Fungsi liver 6. Blood smear 7. Asam urat 8. Glukosa serum

11

Pemeriksaan elektromedik yang diperlukan adalah pemeriksaan CT scan kepala tanpa atau dengan kontras. CT scan merupakan teknik pemeriksaan radiologis yang aman untuk kehamilan bila dikerjakan setelah trimester pertama. Pertimbangan untuk melakukan CT scan pada penderita eklampsia terutama pada penderita yang mengalami kejang ulangan, atau mengalami kelainan hasil laboratorium yang bermakna. Gambaran lesi otak yang biasanya nampak adalah edema serebri, khususnya didaerah lobus oksipitalis, perdarahan serebral dan infark serebri. Pemeriksaan elektromedik yang lebih superior dibandingkan dengan CT scan adalah Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Magnetic Resonance Angiography (MRA). Namun penggunaan MRA sangat terbatas pada eklampsia karena dalam waktu 2 minggu lesi otak tersebut sudah menghilang diikuti dengan membaiknya gejala-gejala klinis. Hampir semua lesi otak pada eklampsia bersifat reversibel, karena disebabkan oleh kegagalan mekanisme otoregulasi atau vasospasme transien.4 Edema serebri pada penderita pre-eklampsia dan eklampsia berhubungan dengan kelainan laboratorium akibat adanya disfungsi endotel. Pada sebuah penelitian digunakan morfologi sel sel darah merah dan LDH sebagai indikator disfungsi endotel, karena iregularitas dinding endotel itu akan menyebabkan disrupsi dari sel darah merah menjadi schistocyte, anisocytes, microspherpcytes dan terjadi pelepasan LDH. Pemeriksaan marker endotel hendaknya dilakukan pada penderita pre-eklampsia dan eklampsia. Apabila terdapat abnormalitas sebaiknya segera diberikan terapi antihipertensi untuk mencegah ensefalopati hipertensif.3,4 2.9 Penatalaksanaan Kejang pada penderita eklampsia merupakan suatu life-threatening emergency yang harus mendapatkan penanganan yang adekuat untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu dan anak. Sebanyak 60% kematian maternal pada eklampsia disebabkan karena perdarahan serebral yang disebabkan oleh karena peningkatan tekanan darah. Pada prinsipnya penanganan eklampsia terdiri dari 5 hal penting yaitu3,4:

12

1. Menjaga jalan nafas ibu Pada penderita eklampsia yang sedang mengalami kejang, mencegah tergigitnya lidah dan aspirasi dari cairan sekresi yang berasal dari saluran makanan harus menjadi prioritas utama penanganan eklampsia. Penderita dengan eklampsia hendaknya ditempatkan pada tempat yang cukup terang, tidak gelap. Pada waktu kejang, penderita ditempatkan sedemikian rupa sehingga kepala dalam posisi miring ke kiri untuk memperbaiki aliran darah ke uterus, dan tempatkan bantalan lidah untuk melindungi lidah agar tidak tergigit. Sekresi yang banyak di rongga mulut segera dihisap, namun terlalu jauh masuk ke dalam rongga mulut untuk menghindari reflek vagal. Untuk menjamin oksigenasi, berikan oksigen sungkup 5-6 L/menit. 2. Menghentikan kejang dan mencegah kejang ulangan Sampai saat ini MgSO4 merupakan obat pilihan untuk menghentikan kejang dan mencegah serangan kejang ulangan pada penderita eklampsia. Kerja MgSO4 tidak saja sebagai anti kejang, namun juga bersifat sebagai vasodilator serebral dengan cara menghambat masuknya ion Ca 2+ ke dalam sel melalui NMDA (N-Methyl-D-aspartate) yang merupakan subtipe dari glutamate channel. Di samping itu MgSO4 juga dapat memperbaiki fungsi endotel. MgSO4 dapat diberikan secara intermiten maupun kontinyu dengan pompa infus.

13

Gambar 2. Efek antikonvulsan Magnesium sulfat

Sebagai fungsi neuroprotektif, MgSO4 menurunkan terjadinya pinositosis yang terjadi akibat kerusakan sawar darah otak akibat hipertensi akut. Terapi MgSO4 akan merestriksi perpindahan air dan elektrolit ke otak melalui transpor transeluler, sehingga membatasi terjadinya formasi edema dan meningkatkan hasil akhir dari segi klinis pada eklampsia.

14

Gambar 3. Efek vaskular dari magnesium sulfat

Gambar 4. Efek magnesium sulfat pada edema serebri dan sawar darah otak

15

Rekomendasi pemberian MgSO4 sebagai berikut7 : 1. Loading dose: a. Berikan 4 gram MgSO4 20% intravena; 1 gram per menit b. Berikan 10 gram MgSO4 50% intramuskular: Kuadran atas sisi luar kedua bokong: 5 gram pada bokong kanan 5 gram pada bokong kiri

2. Dosis pemeliharaan : Berikan MGSO4 5 gram 50% tiap 4 jam bergantian salah satu bokong dalam waktu 24 jam. 3. Syarat pemberian MgSO4 adalah : a. Refleks patela harus positif b. Tidak ada tanda-tanda depresi pernapasan (respirasi lebih dari16x/menit) c. Produksi urin tidak kurang dari 25 cc/jam atau 150 cc/ 6 jam 4. Apabila terdapat kejang-kejang lagi, diberikan sekali saja MgSO4 dan bila masih timbul kejang lagi dapat diberikan Pentotal 5 mg/kg berat badan IV pelan. 5. Bila terdapat tanda-tanda keracunan MgSO4, berikan Kalsium glukonas 10% sebagai antidotum, 10 cc IV pelan selama 3 menit atau lebih 6. Apabila sebelumnya sudah diberikan pengobatan diazepam, maka dilanjutkan dengan pengobatan MgSO4. Pemberian MgSO4 dengan cara diatas memberikan kadar plasma obat dalam batas batas dosis terapi yang aman yaitu 4-7 mEq/L. Namun penderita yang mendapatkan pengobatan dengan MgSO4 tetap harus diamati kemungkinan adanya gejala-gejala toksisitas, yaitu hilangnya reflek patela dan depresi sampai henti nafas. Kedua tanda klinis itu harus diperiksa setiap jam. Karena MgSO4 diekskresikan lewat ginjal, maka pada penderita dengan kelainan ginjal atau oliguria (produksi urin < 100 cc per 4 jam) harus dilakukan

16

pemeriksaan kadar MgSO4 serum. Dosis awal MgSO4 yang diberikan pertama kali aman untuk penderita yang mengalami gangguan fungsi ginjal, namun pada pemberian dosis ulangan, pemeriksaan fungsi ginjal harus dilakukan dimana bila kadar kreatinin serum melebihi 1,3 mg/dl , maka dosis MgSO 4 diberikan setengah dari dosis standar. Reflek patella akan menghilang pada kadar MgSO4 mencapai 10 mEq/L. Bila melebihi 10-12 mEq/L maka terjadi sedangkan depresi nafas dan bila kadar plasma MgSO 4 melebihi 12 mEq/L akan terjadi paralisis otot pernafasan. Bila terjadi tanda-tanda toksisitas tersebut maka MgSO4 harus segera dihentikan dan diberikan antidotumnya yaitu kalsium gluconas 1 gram intravenous. 3. Pengendalian tekanan darah dan mencegah komplikasi Tujuan dari penurunan tekanan darah pada eklampsia adalah untuk menurunkan risiko terjadinya perdarahan serebral, gagal jantung, infark miokard dan solusio plasenta. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu cepat karena dapat membahayakan ibu dan janin. Target terapi pada eklampsia adalah menurunkan tekanan darah segera sebesar 10 mmHg sistolik dan diastolik dari pra-pengobatan dan mempertahankan MABP < 125 mmHg , tetapi tidak boleh lebih kecil dari 105 mmHg, atau diastolik 90-110 mmHg. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan pada pemberian obat antihipertensi pada eklampsia adalah kapan memulai terapi, obat apa yang digunakan, berapa besar dosisnya, bagaimana memantaunya dan kapan menghentikan terapi antihipertensi. Hipertensi pada umumnya harus diterapi tanpa memandang penyebabnya untuk mengurangi risiko perdarahan serebral, namun pada eklampsia seringkali tingginya tekanan darah tidak sesuai dengan beratnya gejala klinis atau makin tingginya kemungkinan kejadian kejang. Sebagian ahli tidak memberikan antihipertensi pada hipertensi ringan, dimana tekanan darah sistolik 140- 160 mmHg dan diastolic 90-110 mmHg, namun pada saat ini telah disepakati untuk memberikan antihipertensi pada tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan diastolik > 109 mmHg. Target terapi yang harus dicapai adalah MABP 105-125 mmHg yang bertujuan untuk 17

mempertahankan

sistem

otoregulasi

serebral,

tetapi

tetap

dapat

mempertahankan sirkulasi uteroplasenta. Harus diingat bahwa tingginya tekanan darah bukanlah satu-satunya faktor predisposisi untuk menentukan prognosis penyakit. Beberapa tanda klinis dan laboratorium lainnya seperti nilai hematokrit, protenuria, peningkatan enzim hati, ada tidaknya tanda-tanda IUGR (Intra Uterine Growth Restriction) harus tetap diamati. Jadi tujuan utama dari pengobatan antihipertensi adalah untuk mencegah komplikasi yang berbahaya pada ibu akibat tingginya tekanan darah, tetapi tetap dapat melindungi kehamilan dan janin yang dikandungnya. Pemberian obat antihipertensi tidak dapat mengendalikan penyakit secara keseluruhan. Morbiditas dan mortalitas hanya dapat dicegah dengan cara melahirkan bayi.4 Obat antihipertensi yang yang direkomendasikan untuk hipertensi akut adalah3 : Nama Obat 1. Hydralazine 2. Labetalol Onset 10-20 menit 10-15 menit Dosis Pemberian 5-10 mg setiap 20 menit sampai maksimal 30mg 10-20 mg IV, kemudian 40-80 mg setiap 10 menit sampai maksimal 300 mg/hari, infus lanjut 1-2 mg/jam. 10 mg PO, diulang setiap 30 menit, kemudian 10-20 mg setiap 4-6 jam sampai maksimal 240 mg/ 24 jam. 0,25- 5 ug/kg/min IV infusion. Risiko keracunan sianida pada fetus jika pengobatan lama.

3. Nifedipine

5-10 menit

4. Sodium Nitroprusside

0,5-5 menit

Diantara obat-obat antihipertensi di atas yang sering diberikan saat ini adalah nifedipine oral. Meskipun belum direkomendasikan oleh POGI namun pemakaian obat ini didukung oleh banyak penelitian. Penelitian meta analisis yang membandingkan hidralasine, labetalol, nifedipine dan antihipertensi yang lainnya telah dilakukan oleh Magee (2003) dengan hasil bahwa

18

hidralasine

berhubungan

dengan

kecenderungan

terjadinya

hipertensi

persisten dibandingkan dengan nifedipine dan antihipertensi lainnya, juga lebih sering menimbulkan palpitasi dan flushing dibandingkan dengan nifedipine. Disimpulkan bahwa pemakaian hidralasin menimbulkan efek samping lebih banyak dibandingkan dengan nifedipine.4 Adapula panduan yang meggunakan batasan penggunaan obat antihipertensi bila tekanan darah sistol lebih atau sama dengan 180 mmHg atau diastol lebih dari atau sama dengan 110 mmHg dapat digunakan injeksi 1 ampul clonidine ynag dilarutkan dalam 10 cc larutan ( mula-mula disuntikkan 5 cc per;ahan-lahan selam 5 menit, 5 menit kemudian tekanan darah diukur, bila belum ada penurunan maka diberikan lagi 5 cc intravena dalam 5 menit sampai tekanan darah diatol normal dilanjutkan dengan nifedipne 3x 10 mg). Namun bila tekanan darah sistol kurang dari 180 mmHg dan diastol kurang dari 110 mmHg antihipertensi yang dapat digunakan adalah Nifedipin 3x 10 mg. Tujuan terapi adalah tercapainya penurunan tekanan darah diastolik sampai 100-110 mmHg. 4 Salah satu komplikasi dari eklampsia adalah edema paru dan dapat dipertimbangkan pemberian diuretik dan apabila terdapat kelainan fungsi ginjal (bila faktor renal sudah teratasi) diberikan furosemid injeksi 40 mg/im. Begitu juga pemberian terhadap kardiotonika, diberikan atas indikasi misalnya adanya tanda-tanda parah jantung.4 4. Manajemen cairan atau memperbaiki keadaan umum ibu Salah satu penyebab kematian ibu pada eklampsia adalah kegagalan kardiorespirasi. Pada seorang penderita eklampsia terjadi vasospame menyeluruh yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi organ. Studi tentang volume cairan ekstravaskuler pada penderita pre-eklampsia-eklampsia menunjukkan bahwa volume plasma menurun sampai 50% dibandingkan dengan kehamilan normal. Penurunan volume plasma ini adalah akibat maldistribusi volume cairan ekstraseluler. Selain itu pada pre-eklampsia juga 19

terjadi penurunan aliran darah ke ginjal . Keadaan ini memudahkan penderita mengalami edema dan pemberian cairan harus mempertimbangkan keadaan ini. Untuk mencegah terjadinya komplikasi iatrogenik seperti edema paru, gagal jantung kiri, dan adult respiratory distress syndrome maka kesimbangan antara cairan masuk dan keluar harus dimonitor. Untuk menambah tekanan onkotik plasma, seringkali digunakan cairan koloid, namun belum ada bukti pemberian ini lebih bermanfaat dibandingkan dengan cairan kristaloid. Kecepatan pemberian cairan intravenous yaitu 80 cc/jam (1 ml/kg/jam). Terdapat kontroversi apakah monitoring dengan CVP dapat membantu mengetahui adanya overload cairan, sebab pada pre-eklampsia terdapat korelasi yang buruk dengan volume plasma. Bila CVP dipakai untuk monitoring maka nilainya harus dipertahankan pada nilai dibawah 5 cm H2O. Secara rutin kristaloid sering dipakai untuk hidrasi sebelum tindakan anestesia regional. Pada penderita ini ekspansi volume bisa menurunkan COP lebih lanjut dan karena itu secara teoritis akan lebih menguntungkan bila menggunakan kristaloid dibandingkan dengan koloid. Karena belum terdapat bukti jenis cairan mana yang lebih baik dipakai, maka bila kristaloid yang dipakai untuk hidrasi monitor PCWP dianjurkan. Jenis cairan yang digunakan adalah ringer laktat atau ringer asetat. Ringer asetat dianggap memiliki kelebihan karena proses pembentukan bikarbonat dari asetat terjadi di otot, sedangkan laktat menjadi bikarbonat memerlukan fungsi hepar yang baik, dimana pada pre-eklampsia sering terjadi gangguan hepar. 4 5. Manajemen persalinan Melahirkan bayi merupakan terapi definitif dari eklampsia. Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Bila penderita ada dalam persalinan atau persalinan per vaginam memenuhi syarat, maka persalinan pervaginam merupakan cara yang terbaik untuk penderita pre-eklampsia-eklampsia. Sikap dasar adalah bila 20

kehamilan diakhiri bila sudah terjadi stabilisasi (pemulihan). Stabilisasi hemodinamik dan metabolisme ibu dapat dicapai dalam 4-8 jam setelah sa;ah satu atau lebih dari keadaan berupa 1.) setelah pemberian obat anti kejang terakhir; 2.)setelah kejang terakhir; 3.) setelah pemberian obat anti hipertensi terakhir; 4.) penderita mulai sadar (responsif dan orientasi). Untuk memulai persalinan hendaknya diperhatikan hal-hal seperti kejang sudah dihentikan dan diberikan antikejang untuk mencegah kejang ulangan, tekanan darah sudah terkendali, dan hipoksia telah dikoreksi. Induksi persalinan dapat dilakukan bila hasil KTG normal. Pemberian drip oksitosin dilakukan bila nilai skor pelvik 5. Pada skor pelvik yang rendah dan kehamilan masih sangat preterm, seksio sesaria lebih baik dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Seksio sesaria dilakukan bila : 1.) syarat drip oksitosin tidak dipenuhi atau adanya kontraindikasi drip oksitosin; 2.) persalinan belum terjadi dalam waktu 12 jam; 3.) bila hasil KTG patologis. Pada seksio sesaria, analgesia epidural menjadi pilihan untuk anestesia, karena tidak mempengaruhi COP, aliran darah ke plasenta tidak dipengaruhi dan pengendalian tekanan darah lebih baik. Hipovolemia bisa terjadi pada pemakaian obat obat regional anestesia, karena itu diperlukan loading cairan sebanyak 400-500 ml kristaloid sebelum anestesia regional dilakukan untuk mencegah hipotensi dan fetal distress. Kontraindikasi anesthesia regional adalah bila terdapat DIC, atau bila kadar trombosit dibawah 100.000. Pada keadaan dimana harus dilakukan anestesia umum, maka perhatian terhadap kemungkinan adanya edema laring, yang dapat mempersulit intubasi serta dapat menyebabkan obstruksi respirasi postoperatif atau henti jantung harus diperhatikan. Laringoskop telah diketahui dapat menyebabkan reflek hipertensi yang dapat memperburuk keadaan penderita. Ergometrin tidak boleh diberikan, sehingga untuk mencegah perdarahan post partum dapat diberikan infus oksitosin (40 IU/dalam dekstrose).4

21

6.

Manajemen post-partum Setelah melahirkan penderita masih harus diawasi selama 24 jam. Obat antihipertensi harus tetap diberikan sampai MABP <125 mmHg. Post partum eklampsia biasanya terjadi dalam 24-48 jam setelah melahirkan, karena itu terapi MgSO4 tetap harus diberikan sampai 24 jam post-partum atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemeriksaan laboratorium dilakukan setelah 24 jam persalinan.4

2.10 Prognosis Prognosis eklampsia ditentukan oleh Kriteria Eden (1922)7 : 1. Koma yang sudah lama 2. Nadi diatas 120 per menit 3. Suhu diatas 103 F 4. Tekanan darah sistolik diatas 200 mmHg 5. Kejang lebih dari 10 kali 6. Proteinuria lebih dari 10 gram/liter 7. Tidak ada edema Prognosis ibu adalah buruk bila ditemukan dua atau lebih dari gejala tersebut.

22

BAB III LAPORAN KASUS

3.1

Identitas Nama Umur Suku/Bangsa Agama Pendidikan Pekerjaan Status Perkawinan Alamat MRS : NKS : 30 tahun : Indonesia : Hindu : Tamat SD : Ibu rumah tangga : Menikah : Klusu Pejeng Gianyar : 14 September 2013 pk. 17.00 WITA

3.2

Anamnesis Keluhan Utama : Nyeri kepala Pasien datang diantar oleh keluarganya ke VK RSUD Sanjiwani dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami kejang 15 menit saat masuk di IRD RSUD Sanjiwani. Pasien dikeluhkan kejang-kejang dengan gerakan menghentak-hentak dengan posisi kepala miring ke kiri Kejang-kejang diawali dengan pandangan yang mendadak gelap dan nyeri kepala dan kejang dikatakan berlangsung 45 detik dan pasien kebingungan serta tidak ingat kejadian sesaat setelah kejang selesai. Sebelumnya, keluarga pasien membawa pasien ke RSUD Sanjiwani karena riwayat kejang 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Kejang dikatakan berlangsung 1 menit dengan gerakan yang menghentak-hentak. Pasien kemudian segera dibawa ke RSUD Sanjiwani.

23

Pasien memiliki riwayat kejang yang sama sebelumnya yaitu saat kehamilan anak pertama. Kejang dikatakan berlangsung selama dua kali saat kehamilan anak pertamanya. Riwayat kejang sebelumnya di luar masa kehamilan tidak ada. Pasien memiliki riwayat penyakit darah tinggi yang dialaminya saat kehamilan anak pertamanya yang mulai terjadi saat umur kehamilan 32 minggu. Riwayat penyakit darah tinggi pada kehamilan saat ini mulai diketahui saat usia kehamilan 32 minggu dengan tekanan darah 150/100 mmHg. Sebelumnya pasien kontrol teratur di bidan dan hasil pengukuran tekanan darah selalu dalam batas normal. Keluhan sakit perut disangkal. Keluar air dari kemaluan disangkal, keluar darah campur lendir tidak ada, gerak anak baik dirasakan mulai 16 minggu usia kehamilan dan sampai saat ini dirasakan masih aktif. Berat badan meningkat sesuai dengan umur kehamilan. Tidak ada riwayat panas badan. HPHT : 14 Januari 2013 TP : 20 November 2013

ANC : teratur di SpOG (+), USG (+) Riwayat Obstetrik : I= , 2000 gram, FE e.c eklampsia, RSUP Sanglah, umur kehamilan 6 bulan, usia saat ini= 6 tahun II= Ini Riwayat Menstruasi Menarche Siklus haid : : 14 tahun : 28 hari, Lama : 3-4 hari

Riwayat Perkawinan : 1x selama 7 tahun Riwayat Kontrasepsi : IUD, dilepas 1 tahun yang lalu Riwayat Imunisasi : TT 2 x (TT1 : 7 Juli 2013, TT2 : 27 Juli 2013)

24

Riwayat penyakit dahulu : Hipertensi (+) saat kehamilan anak pertama. Diabetes mellitus (-) Riwayat penyakit jantung (-) Asma (-) Epilepsi (-) Riwayat hipertensi di keluarga (+) ibu kandung pasien Saat mengalami kejang di IRD RSUD Sanjiwani, pasien diberikan injeksi diazepam 10 mg IM. 3.3 Pemeriksaan Fisik Status Present Kesadaran Tanda Vital : Somnolen : Tekanan darah 170/100 mmHg Nadi 88 x/menit Napas 20 x/menit Suhu 36,5 oC Berat badan Tinggi badan Status Generalis Mata Jantung Paru Abdomen Ekstremitas : Anemis ( -/- ), Ikterus ( -/- ), Reflek cahaya (+/+) : S1S2 tunggal, regular, murmur (-) : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-) : ~ Status Obstetrikus : Odem -/+/+ Refleks patella (+/+) : 60 kg : 157 cm

Riwayat penyakit dalam keluarga :

Riwayat pengobatan :

25

Status Obstetrik Pemeriksaan Luar : Tinggi fundus uteri bpx- pusat (24 cm) His (-) DJJ (+) 146 x/menit VT (14 Septemeber 2013, 17.05 WITA): P 4 cm, eff. 75%, sedang posterior, ketuban (+), teraba kepala, belum jelas, H I, kecil / tali pusat. 3.4 Pemeriksaan Penunjang Laboratorium (14/09/13)
Pemeriksaan Protein PH Leukosit Eritrosit BUN SC AST ALT Glu WBC HGB PLT Nilai URINE LENGKAP +2 7,0 Penuh Penuh KIMIA 48 1,3 30 15 83 DARAH RUTIN 14,63 9 160 103/L gr/dl 103/L mg/dl mg/dl IU/L IU/L mg/dl mg/dl cell/lpb cell/lpb Satuan

denominator

tidak teraba bagian

26

HCT BT CT

27,4 1 4 7 12

% -

3.5 Diagnosis G2P0101, 34-35 minggu, T/H, letak kepala, eklampsia (PBB 1860 gram) 3.6 Resume Penderita NKS, perempuan, 32 tahun, datang diantar oleh keluarganya ke VK RSUD Sanjiwani dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami kejang 15 menit saat masuk di IRD RSUD Sanjiwani. Pasien dikeluhkan kejang-kejang dengan gerakan menghentak-hentak dengan posisi kepala miring ke kiri . Sebelumnya, keluarga pasien membawa pasien ke RSUD Sanjiwani karena riwayat kejang 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Penderita melakukan ANC teratur di dokter kandungan dan rutin dilakukan USG. Pasien memiliki riwayat kejang yang sama saat mengandung anak pertamanya. Tidak ada riwayat kejang di luar kehamilan. Riwayat hipertensi dalam keluarga ada pada ibu kandung penderita. Dari pemeriksaan fisik didapatkan: Tekanan darah 170/100 mmHg, Nadi 88 x/menit, RR 20 x/menit, Suhu 36,5 oC. Dari status general ditemukan edema pada kedua ekstremitas bawah. Dari status obstetrikus didapatkan TFU 24 cm, His (-), DJJ (+) 146x/ menit. Dari VT didapatkan P 4 cm, eff. 75%, sedang posterior, ketuban (+), teraba kepala, denominator belum jelas, H I, tidak teraba bagian kecil / tali pusat. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan proteinuria +2.

3.7

Penatalaksanaan Rencana diagnosis : (-) Rencana terapi

27

MRS O2 10 lpm IVFD RL 20 tetes per menit Injeksi MgSO4 20% 4 gr IV Dilanjutkan dengan MgSO4 40% 10 gr IM bokong kanan-kiri Dower catheter Usul SC cito Konsul anestesi

Rencana monitoring Observasi keluhan, denyut jantung janin, tanda vital, tanda intoksikasi MgSO4, produksi urin, tanda inpartu. Rencana edukasi KIE penderita dan keluarga tentang rencana perawatan 3.8 Catatan Kemajuan dan Laporan Partus 14 Oktober 2008 17.10 Refleks Patela (+) Vital Score: 20x/ menit GCS= E4V5M6 TD = 170/100 mmHg Tax=36,50c N= 78 x/menit RR=

His (+) DJJ= 145x/menit

Tx/ - Infus RL 20 tts/menit - MgSO4 20% 4 gr IV pelan

28

- MgSO4 40 % 10 gr IM ( bokong kanan/bokong kiri) - Observasi tanda vital, keluhan, produksi urin 18.10 TD = 170/100 mmHg N= 78 x/menit RR= 18x/ menit His (+) DJJ= 143x/menit 19.10 Vital Score: GCS= E4V5M6 RR= 20x/ menit TD = 170/100 mmHg N= 78 x/menit

Tax=36,50c

His (+) DJJ= 148x/menit 20.30. 22.00 Dilakukan sectio caesarea cito Lahir bayi, SC, laki-laki, tidak segera menangis, AS : 3.3.4, BBL 2.500 gram, PBL 50 cm, kelainan (-) Follow up :

29

Tgl 13 (23.00)

Subjektif luka Status Present : operasi (+)

Objektif
TD= 150/100 mmHg RR= 18x/menit Status General : Mata : Anemis (-) murmur(-) Pulmo: Ves (+/+) Rhonki (-/-) Wheezing (-/-) Abdomen: ~ status obstetrik Ekstremitas: hangat +/+ Edema -/+/+ Status Obstetri : Abdomen : tinggi fundus uteri 3 jari di bawah pusat Kontraksi (+) baik Luka operasi terawat Protein dalam urin= +3 +/+ Thoraks : Cor : S1S2 tunggal reguler Nadi= 88x/menit

Assesment
P0202 post SC hari 0 +follow-up eklampsia Dx :

Planning
DL@6 jam post op, LFT, BUN/SC Tx: Rawat inap ICU IVFD RL 20 tpm DC 1x 24 jam Cefotaxime 3x1gr Sulfas ferous 3x 200 mg

14/9/20 Nyeri

Tax= 36,50c

Analgetik Injeksi MgSO4 5 gram IM (boka)

15/9/13 Nyeri (05.00) operasi BAK

luka Status Present : (+), TD= 150/100 mmHg Nadi= 88x/menit (+) RR= 18x/menit Tax= 36,5 c
: Anemis (-) murmur(-) Pulmo: Ves (+/+) Rhonki (-/-) Wheezing (-/-) Abdomen: ~ status obstetrik Ekstremitas: hangat +/+ Edema -/+/+ Status Obstetri : Abdomen : tinggi fundus uteri 3 jari di bawah pusat Kontraksi (+) baik Luka operasi terawat Protein dalam urin= +3 +/+
0

P0202 post SC hari I Tx: +follow-up eklampsia Rawat inap ICU IVFD RL 20 tpm DC 1x 24 jam Cefotaxime 3x1gr

lewat selang, Status General : mobilisasi (+) Mata


Thoraks : Cor : S1S2 tunggal reguler

Analgetik
Nifedipine 3x 10 mg(bila MAP125)

Injeksi MgSO4 5 gram IM (boki)


Mx: Keluhan , vital sign, tanda CM-CK eklampsia,

30

BAB IV PEMBAHASAN

Penderita , 32 tahun, beralamat di Klusu Pejeng Gianyar, Bali, Hindu, datang diantar oleh keluarganya ke VK RSUD Sanjiwani dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami kejang 15 menit saat masuk di IRD RSUD Sanjiwani. Pasien dikeluhkan kejang-kejang dengan gerakan menghentak-hentak dengan posisi kepala miring ke kiri . Sebelumnya, keluarga pasien membawa pasien ke RSUD Sanjiwani karena riwayat kejang 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Hal yang akan dibahas pada kasus ini adalah : 1. Faktor risiko 2. Diagnosis 3. Penatalaksanaan 4. Prognosis 4.1 Faktor risiko

31

Risiko adalah ciri yang dimiliki oleh seseorang yang dapat atau berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Risiko preeklampsia dan eklampsia yang berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu dan riwayat penyakit keluarga dapat berupa riwayat pernah pre-eklampsia, hipertensi kronis, penyakit ginjal, dan obesitas. Berdasarkan anamnesis yang didapatkan dari pasien dan keluarga pasien, disimpulkan bahwa faktor resiko yang berhubungan dengan terjdinya eklampsia pada pasien ini adalah riwayat pernah mengalami preeklamsia dan eklamsia pada kehamilan pertamanya. Selain itu pula, didapatkan adanya riwayat hipertensi dalam keluarga pada ibu kandung penderita.

4.2

Diagnosis Eklampsia adalah kejang dan atau koma yang terjadi pada ibu hamil yang sebelumnya menderita preeklampsia, tanpa diketahui adanya penyebab lain. Diagnosis eklampsia dibuat berdasarkan adanya kejang yang bersifat umum, sekali atau lebih diikuti atau tidak dengan koma, dan tidak ditemukan adanya kondisi neurologis lainnya yang berhubungan dengan kejang tersebut. Eklampsia dapat terjadi antepartum (50%), intrapartum (25%), atau post partum (25%). 3 Penderita dengan eklampsia memiliki tanda dan gejala yang luas, dari hipertensi ringan sampai kegagalan multiorgan. Sebagian besar (64,5%) eklampsia mengalami gejala dan tanda imminent eklampsia sebelum kejang, dengan gejala yang paling banyak adalah sakit kepala.9 Pada kasus ini dari anamnesis didapatkan pasien datang diantar oleh keluarganya ke VK RSUD Sanjiwani dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami kejang 15 menit saat masuk di IRD RSUD Sanjiwani. Pasien dikeluhkan kejangkejang dengan gerakan menghentak-hentak dengan posisi kepala miring ke kiri Kejang-kejang diawali dengan pandangan yang mendadak gelap dan nyeri kepala

32

dan kejang dikatakan berlangsung 45 detik dan pasien kebingungan serta tidak ingat kejadian sesaat setelah kejang selesai. Sebelumnya, keluarga pasien membawa pasien ke RSUD Sanjiwani karena riwayat kejang 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Kejang dikatakan berlangsung 1 menit dengan gerakan yang menghentak-hentak. Pada pasien ini terlihat adanya tanda-tanda imminent eklampsia yaitu nyeri kepala dan pandangan yang mendadak gelap sebelum terjadinya kejang. Dari pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan darah yaitu 170/100 mmHg. Selain itu dari pemeriksaan urin lengkap didapati adanya proteinuria sebesar +2. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didukung oleh pemeriksaan penunjang berupa hasil laboratorium urine pasien, pasien kemudian didiagnosis menderita eklampsia. Dari kejadian tersebut dapat disimpulkan bahwa eklampsia yang terjadi adalah eklampsia antepartum yang didahului oleh preeklampsia berat. Sedangkan kejang yang terjadi pada penderita ini berlangsung sampai fase 3 tingkatan kejang eklampsia. 4.3 Penatalaksanaan Hal yang paling mendasar pada penatalaksanaan penderita dengan eklampsia adalah menjaga jalan nafas, menghentikan kejang dan mencegah kejang ulangan, mengendalikan tekanan darah dan mencegah komplikasi, memperbaiki keadaan umum ibu, manajemen terhadap persalinan, dan post partum. Untuk mempertahankan jalan napas, pada bagian belakang leher diletakkan bantalan dari kain agar kepala dalam posisi ekstensi. Setelah itu diberikan oksigen melalui kanul untuk mempertahankan pernapasan yang adekuat. Kejang dihentikan dengan pemberian MgSO4 berdasarkan prosedur tetap yang digunakan di RSUD Sanjiwani. Rekomendasi pemberian yaitu pemberian 4 gram MgSO4 20% intravena, 1 gram per menit yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian 10 gram MgSO4 50% intramuskular (5 gram pada bokong kanan, 5 gram pada bokong kiri).

33

Untuk dosis pemeliharaan, pasien diberikan MgSO 4 5 gram 50% tiap 4 jam bergantian salah satu bokong dalam waktu 24 jam. Namun penderita yang mendapatkan pengobatan dengan MgSO4 tetap harus diamati kemungkinan adanya gejala-gejala toksisitas, yaitu hilangnya reflek patela dan depresi sampai henti nafas. Kedua tanda klinis itu diperiksa setiap jam. Karena MgSO 4 diekskresikan lewat ginjal, maka sangat penting untuk mengukur keseimbangan cairan dan fungsi ginjal. Pengendalian tekanan darah dilakukan dengan pemberian nifedipin 3x10 mg. Nifedipin merupakan Calsium-channel blocker samping terhadap janin yang hampir tidak ada. Pada pasien ini, selama pengawasan di ruang VK, perawatan di ICU dan ruang Drupadi, pasien dilakukan pengawasan tekanan darah secara berkala. Selama perawatan, pasien tidak diberikan terapi nifedipine dengan alasan MABP < 125 mmHg. Pada seorang penderita eklampsia terjadi vasospame menyeluruh yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi organ. Penurunan volume plasma ini adalah akibat maldistribusi volume cairan ekstraseluler. Selain itu pada preeklampsia juga terjadi penurunan aliran darah ke ginjal . Keadaan ini memudahkan penderita mengalami edema dan pemberian cairan harus mempertimbangkan keadaan ini. Untuk mencegah terjadinya komplikasi iatrogenik seperti edema paru, gagal jantung kiri, dan adult respiratory distress syndrome maka kesimbangan antara cairan masuk dan keluar harus dimonitor. Untuk mengisi deplesi cairan dan menjaga keseimbangan cairan baik di intrasel maupun ekstrasel, jenis cairan yang digunakan pada pasien ini adalah ringer laktat. Pada penderita pre-eklampsia-eklampsia menunjukkan bahwa volume plasma menurun sampai 50% dibandingkan dengan kehamilan normal. Penurunan volume plasma ini adalah akibat maldistribusi volume cairan ekstraseluler. Selain itu pada pre-eklampsia juga terjadi penurunan aliran darah ke ginjal . Keadaan ini memudahkan penderita mengalami edema. Pada penderita eklampsia dapat terjadi 34 yang dipilih karena berdasarkan penelitian terbukti efektif pada hipertensi dalam kehamilan dengan efek

kebocoran plasma yang menyebabkan edema, sehingga produksi urin harus terus dipantau. Melahirkan bayi merupakan terapi definitif dari eklampsia. Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Sikap dasar adalah bila kehamilan diakhiri bila sudah terjadi stabilisasi (pemulihan). Stabilisasi hemodinamik dan metabolisme ibu dapat dicapai dalam 4-8 jam. Bila penderita ada dalam persalinan atau persalinan per vaginam memenuhi syarat, maka persalinan pervaginam merupakan cara yang terbaik untuk penderita pre-eklampsia-eklampsia. Untuk memulai persalinan hendaknya diperhatikan hal-hal seperti kejang sudah dihentikan dan diberikan antikejang untuk mencegah kejang ulangan, tekanan darah sudah terkendali, dan hipoksia telah dikoreksi. Pada skor pelvik yang rendah dan kehamilan masih sangat preterm, seksio sesaria lebih baik dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Seksio sesaria dilakukan bila : 1.) syarat drip oksitosin tidak dipenuhi atau adanya kontraindikasi drip oksitosin; 2.) persalinan belum terjadi dalam waktu 12 jam; 3.) bila hasil KTG patologis. Pada pasien ini, keputusan untuk menterminasi kehamilan merupakan cara yang dipilih pada manajemen pasien eklampsia ini. Terminasi yang digunakan adalah melalui tindakan sectio sesarea. Berdasarkan pertimbangan klinis yaitu nilai skor pelvik <5, maka tindakan yang dilakukan melakukan terminasi dengan seksio sesarea. Tindakan seksio sesarea dilakukan dengan memenuhi kriteria terminasi yaitu dilakukan setelah kejang terakhir dan saat pasien sudah mulai sadar dan orientasi. Setelah melahirkan penderita masih harus diawasi selama 24 jam. Obat antihipertensi harus tetap diberikan sampai MABP <125 mmHg. Post partum eklampsia biasanya terjadi dalam 24-48 jam setelah melahirkan, karena itu terapi MgSO4 tetap harus diberikan sampai 24 jam post-partum atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemeriksaan laboratorium dilakukan setelah 24 jam persalinan.4

35

Pada pasien ini, pemantauan tetap diawasi ketat selama 24 jam, pasca operasi, dan perawatan di ruangan. Obat antihipertensi dipertimbangkan diberikan bila MABP pasien 125 mmHg. Terapi MgSO4 tetap diberikan dalam 24 jam post partum. Pemeriksaan lab juga tetap dilakukan setelah 24 jam pasca persalinan. 4.4 Prognosis Prognosis eklampsia ditentukan oleh kriteria Eden (tahun 1922) : 1. Koma yang sudah lama 2. Nadi diatas 120 per menit 3. Suhu diatas 103 F 4. Desakan darah sistolik diatas 200 mmHg 5. Kejang lebih dari 10 kali 6. Proteinuria lebih dari 10 gram/liter 7. Tidak ada edema Bila ditemukan dua atau lebih dari gejala tersebut, maka prognosis ibu adalah buruk. Pada penderita hanya terdapat satu kriteria yang memenuhi yaitu edema pada ekstremitas, sehingga dapat disimpulkan kalau prognosisnya baik.

36

BAB V RINGKASAN

Telah dilaporkan kasus seorang wanita, 32 tahun, Hindu dengan diagnosis G2P0101, 34-35 minggu, T/H, letak kepala, eklampsia (PBB 1860 gram). Penegakan diagnosis preeklampsia berat pada kasus ini didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pasien datang dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami kejang 15 menit sebelumnya. Paien juga mengelhkan nyeri kepala dan pandangan yang menjadi gelap sesaat sebelum kejang. Tekanan darah pada saat pemeriksaan didapatkan 170/100 mmHg, dan pemeriksaan penunjang tanggal 14 September 2013 didapatkan hasil proteinuria +2. Hal yang paling mendasar pada penatalaksanaan penderita dengan eklampsia adalah menjaga jalan nafas, menghentikan kejang dan mencegah kejang ulangan, mengendalikan tekanan darah dan mencegah komplikasi, memperbaiki keadaan umum ibu, manajemen terhadap persalinan, dan post partum. Pasien kemudian dilakukan 37

tindakan seksio sesarea cito. Bayi kemudian lahir dengan AS 3.3.4,BBL 2.050 gram. Untuk mempertahankan jalan napas, pada bagian belakang leher diletakkan bantalan dari kain agar kepala dalam posisi ekstensi. Setelah itu diberikan oksigen melalui kanul untuk mempertahankan pernapasan yang adekuat. Kejang dihentikan dengan pemberian MgSO4 berdasarkan prosedur tetap yang digunakan di RSUD Sanjiwani. Rekomendasi pemberian yaitu pemberian 4 gram MgSO4 20% intravena, 1 gram per menit yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian 10 gram MgSO4 50% intramuskular (5 gram pada bokong kanan, 5 gram pada bokong kiri). Untuk dosis pemeliharaan, pasien diberikan MgSO 4 5 gram 50% tiap 4 jam bergantian salah satu bokong dalam waktu 24 jam. Pada pasien ini, selama pengawasan di ruang VK, perawatan di ICU dan ruang Drupadi, pasien dilakukan pengawasan tekanan darah secara berkala. Selama perawatan, pasien tidak diberikan terapi nifedipine dengan alasan MABP < 125 mmHg. Untuk mengisi deplesi cairan dan menjaga keseimbangan cairan baik di intrasel maupun ekstrasel, jenis cairan yang digunakan pada pasien ini adalah ringer laktat. Keadaan ibu membaik setelah 2 hari dirawat di nifas dengan tekanan darah 130/90 mmHg tanpa keluhan subjektif namun hasil laboratorium tetap menunjukkan protein+2 di dalam urin. Setelah melahirkan penderita masih harus diawasi selama 24 jam. Obat antihipertensi harus tetap diberikan sampai MABP <125 mmHg. Post partum eklampsia biasanya terjadi dalam 24-48 jam setelah melahirkan, karena itu terapi MgSO4 tetap harus diberikan sampai 24 jam post-partum atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemeriksaan laboratorium dilakukan setelah 24 jam persalinan. Pada pasien ini, pemantauan tetap diawasi ketat selama 24 jam, pasca operasi, dan perawatan di ruangan. Obat antihipertensi dipertimbangkan diberikan bila MABP pasien 125 mmHg. Terapi MgSO4 tetap diberikan dalam 24 jam post partum. Pemeriksaan lab juga tetap dilakukan setelah 24 jam pasca persalinan.

38

DAFTAR PUSTAKA

1. Ramin K. D. The Prevention and Management of Eclampsia. Obstet Gynecol Clin N. Am. 1999, 26; 489 503. 2. Surya, IGP. Profil Penderita Pre-eklampsia dan Eklampsia. Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud. Denpasar. 2004 3. Cuningham FG, Grant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JH, Wensrom KD. Hypertensive Disorder in Pregnancy, In : Williams Obstetrics 21 Graw-Hill Co, 2001,p. 568-585. 4. Jayakusuma, AAN. Diagnosis dan Penatalaksanaan Eklampsia Denpasar: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan, Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS. Sanglah. 2004 5. Angsar, MD. Hipertensi Dalam Kehamilan. Edisi II. Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unair. Surabaya. 2003. pp.28-32 6. Haryono, RR. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka Kematian Ibu pada Penderita Pre-eklampsia dan Eklampsia. Sumatra Utara : Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap, Bagian Obsetri dan Ginekologi FK Sumatra Utara. Kampus USU. 2006 7. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi K Unud/RS Sanglah. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS Sanglah. Denpasar. 2004. pp.13-15 8. Jayakusuma, AAN. Manajemen Resiko pada Pre-eklampsia (Upaya Menurunkan Kejadian Pre-eklampsia dengan Pendekatan Berbasis Resiko). Denpasar: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan, Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS. Sanglah. 2004 9. Julie S, Moldenhauer, Baha M, Sibai. Hypertensive Disorder In Danforths Obstetrics and Gynecology, 9th Ed; 2003. Chapter 16
th

ed., New York, Mc

39

10. Wiknjosastro, H. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2005. pp.281-301 11. Munro PT. Management of eclampsia in the accident and emergency dept. J Accid Emerg Med, 2000. 12. Norwitz ER. Acute Complication of Pregnancy. Clin Obs and Gynecol, 2002.

40

Anda mungkin juga menyukai