Anda di halaman 1dari 27

Refrat dan Laporan Kasus Obstetri

Laporan Kasus Obstetri Eklampsia

Penyusun

: Arif Heru Tripana (08101003)

Pembimbing 1 : dr. Erry Syahbani, Sp.OG Pembimbing 2 : dr. Arvan, Sp.OG

KKS OBSTETRI DAN GINOKOLOGI RSUD BANGKINANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABDURRAB PEKANBARU 2013

Kampar, 10 September 2013

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hipertensi diartikan sebagai kenaikan tekanan darah 140/90 mmHg. Pada pasien yang tidak hamil, hipertensi esensial terjadi lebih dari 90% kasus. Hipertensi yang khas dan hanya terjadi pada saat kehamilan disebut preeklampsia. Preeklampsia ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria, biasanya terjadi selama trimester tiga saat kehamilan sedangkan eklampsia ditandai dengan episode kejang menyeluh yang terjadi pada pasien dengan preeklampsia.[1]

1.2 Epidemiologi Insiden hipertensi dalam kehamilan mencapai sekitar 10% kasus pada wanita hamil, dan berkembang menjadi preeklampsia sekitar 2% 8%. Eklampsia terjadi pada sekitar 1/2000 kelahiran di negara-negara kaya. Pada negara-negara miskin, insiden eklampsia bervariasi dari 1/100 sampai 1/1700.[2] Kejadian eklampsia dan preeklampsia sekitar setengah dari kasus-kasus di seluruh dunia dan telah diakui dan dijelaskan selama bertahun-tahun meskipun kurangnya pemahaman tentang penyakit ini. Pada abad kelima, Hippocrates mencatat bahwa sakit kepala, kejang, dan kantuk tanda-tanda penyulit terkait dengan kehamilan. Pada tahun 1619, Varandaeus menemukan istilah eklampsia dalam sebuah risalah tentang ginekologi.[3] Sebagian kasus eklampsia terjadi pada trimetes ketiga kehamilan, dan mencapai 80% kejang pada eklampsia terjadi intrapartum atau terjadi 48 jam pertama setelah kelahiran. Pada sebagian kecil kasus pernah dilaporkan kejang pada eklampsia terjadi sebelum 20 minggu kehamilan atau pada kasus yang lambat terjadi 23 hari postpartum.[3,4]

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

|1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Eklampsia didefinisikan sebagai terjadinya onset baru dari kejang umum atau koma pada wanita dengan preeklampsia. Eklampsia merupakan komplikasi dari preeklampsia yang serius yang mengancam jiwa ibu atau janin yang sedang dikandung.[4,5,6,7]

2.2 Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy tahun 2001 ialah:[7] 1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.[6,7] 2. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria.[6,7] 3. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang dan/atau koma.[6,7] 4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria.[7] 5. Hipertensi gestasional (transient hypertension) adalah hipertensi yang timbul setelah kehamilan 20 minggu tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria. [6,7]

2.3 Etiologi Etiologi preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih belum sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya
Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

|2

penyakit ini sering disebut the disease of theories. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor imunologi, genetik, penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang berlebihan dan dapat mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta (terlihat pada gambar 1). Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi endotel, agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ.[8,9]

Gambar 1. Pebandingan antara invasi sitotrofoblas pada kehamilan normal dan pada preeklamsia. Pada kehamilan normal sitotrofoblas mampu menginvasi arteri spiralis yang mengakibatkan arteri tersebut mengalami dilatasi sedangkan pada preeklampsia sitotrofoblas tidak
Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

|3

mampu menginvasi arteri spiralis sehingga arteri spiralis tidak mengalami vasodilatasi.[9,10] 2.4 Faktor Resiko Terjadinya Preeklampsia dan Eklampsia Berdasarkan data epiemiologi ternyata preeklamsia dan eklampsia lebih sering terjadi pada wanita-wanita berikut:[8,9,11] Preeklampsia lebih sering terjadi pada kehamilan pertama. Preeklampsia lebih sering terjadi pada ibu-ibu setelah berganti pasangan. Preeklampsi lebih sering terjadi pada ibu-ibu yang menggunakan alat kontrasepsi. Preeklamsia menurun ada wanita-wanita yang mengalami defisiensi kekebalan (sel T) terkait HIV. Kehamilan ganda. Wanita dengan diabetes melitus. Hipertensi essensial kronik. Mola hidatidosa. Hidrops fetalis. Bayi besar. Obesitas. Riwayat pernah menderita preeklampsia atau eklamsia. Riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau eklamsia.

Pada tingkat molekuler, mediator kekebalan tubuh erat terlibat dalam banyak aspek kehamilan untuk implantasi dan plasentasi. Sebuah kehamilan normal disertai oleh kehamilan tertentu, immunomodulated dan respon inflamasi terhadap stimulus antigenik yang diberikan oleh semiallograft janin-plasenta. Namun, imunokompeten sel T ibu tidak langsung menghubungi janin. Mereka hubungi vili trofoblas yang berasal dari janin, yang kurangnya ekspresi major histocompatibility complex (MHC) antigen kelas I dan kelas II, dan ekstravili trofoblas (EVT), yang hanya mengungkapkan leukosit manusia antigen (HLA)-C (lemah),-Ib,-G, F-, dan-E, daripada yang kuat antigen transplantasi HLA-A,-B,-

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

|4

D,-Ia dan -II. Dari jumlah tersebut, hanya HLA-C sinyal ayah (asing) alloantigens.[9]

Gambar 2. Skematik kerja sistem imum ibu terhadap janin.[12]

Faktor inflamasi lainnya pada preeklamsia adalah suatu respon imunologi ibu yang abnormal, terdiri perubahan peran monosit dan sel-sel pembunuh alami (NK) untuk merilis sitokin dan aktivasi reseptor proinflamasi angiotensin II subtipe 1 (AT1). Neutrofil diaktifkan, monosit, dan sel NK memulai peradangan, yang pada gilirannya menyebabkan disfungsi endotel, jika sel-sel T aktif mendukung toleransi yang tidak memadai selama kehamilan.[9]

2.5 Patofisiologi Patogenesis kejang eklampsia adalah kurang dipahami. Kejang telah dikaitkan dengan trombus platelet, hipoksia karena vasokonstriksi lokal, dan fokus dari perdarahan di korteks. ( Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment, 9th edition) Dalam beberapa dekade terakhir, dan ketika temua gejala secara klinis, patologis dan neuroimaging, disumpulkan ada dua teori scara umum untuk menjelaskan kelainan otak yang terkait dengan eklampsia. Disfungsi sel endotel yang didapatkan pada sindrom preeklampsia mungkin memainkan peran penting dalam kedua teori berikut:[9]
Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

|5

1. Teori pertama menyatakan bahwa dalam merespon hipertensi berat akut menyebabkan vasospasme serebrovaskular. Teori ini didasarkan pada

hasil angiografi yang memperlihatkan adanya penampilan difus atau multifokal segmental yang dicurigai sebagai vasospasme dari pembuluh darah serebral pada wanita dengan preeklamsia berat dan eklampsia. Dalam skema ini, berkurangnya CBF (cerebrovascular blood flow) mengakibatkan iskemia, edema sitotoksik, dan akhirnya infark jaringan otak.[9,13] 2. Teori kedua adalah bahwa peningkatan mendadak tekanan darah sistemik melebihi capacitas autoregulatory serebrovaskular yang normal. Kawasan tersebut dipaksa untuk bervasodilatasi dan vasokonstriksi berkembang, terutama di zona batas arteri. Pada tingkat kapiler, gangguan tekanan ujung-ujung kapiler menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik, hyperperfusion, dan ekstravasasi plasma dan sel darah merah melalui pembukaan tight junction endotel yang mengarah ke akumulasi edema vasogenik.[9]

2.6 Manifestasi Klinis Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia, yang disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan preeklampsia, eklampsia dapat timbul pada ante, intra, dan postpartum.[8] Eklampsia postpartum umumnya hanya terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan.[7] Pada penderita peeklampsia yang akan kejang, umumnya memberi gejalagejala atau tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prodorma akan terjadinya kejang. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda prodorma ini disebut sebagai empending eclampsia atau imminent eclampsia.[7] Berikut adalah rangkaian gejala pada eklampsia. Kejang eklampsia dapat dibagi menjadi 2 tahap: Tahap 1, kejang eklampsia berlangsung 15-20 detik dan dimulai dengan wajah berkedut. Tubuh menjadi kaku, yang menyebabkan kontraksi otot umum.[3]

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

|6

Tahap 2, kejang eklampsia berlangsung sekitar 60 detik. Dimulai pada rahang, bergerak ke otot-otot wajah dan kelopak mata, dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Otot-otot mulai bergantian antara berkontraksi dan relaksasi dalam urutan cepat.[3]

Setelah kejang berhenti penderita mengalami koma selama beberapa saat. Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi jarang, penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang. Namun pada kasus kasus yang berat, keadaan koma berlangsung lama, bahkan penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan koma yang lama bahkan kematian.[3,8]

Frekuensi pernafasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat mencapai 50 kali/menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai asidosis laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat dapat ditemukan sianosis. Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabila hal tersebut terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat.[3,8]

2.7 Diagnosis Diagnosis eklampsia ditegakkan adanya gejala preeklampsia yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah, proteinuria, dan disertai kejang atau koma pada kehamilan > 20 minggu.[9] 1. Anamnesis Pasien dengan eklamsi biasanya dibawa ke rumah sakit karena mengalami kejang atau koma secara tiba-tiba. Tanyakan sudah berapa lama pasien mengalami kejang dan ada tidaknya kehilanga kesadaran setelah kejang. Tanyakan kepada keluarga pasien tentang tekanan darah sebelum kehamilan, apakah pasien sudah mengalami hipertensi sebelum kehamilan atau tidak. Tanyakan juga tentang riwayat kehamilan sebelumnya apakah sudah pernah kejang atau tidak pada kehamilan sebelumnya.[7]

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

|7

2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik terkait dengan eklamsi adalah pengukuran tekanan darah, karena pada pasien dengan eklampsi selalu didahului oleh gejala preeklampsia. pemeriksaan fuduskopi untuk menyingkirka adanya edama pupil.[9,7] 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang cukup penting untuk menegakkan eklampsia adalah proteinuria. Telah disebutkan diatas bahwa eklampsia selalu didahului oleh preeklampsia, oleh karena itu penting untuk mengetahui kadar protein dalam urin.[7]

2.8 Penatalaksanaan Perawatan dasar eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi vital, yang harus selalu diingat Airway, Breathing, Circulation (ABC), mengatasi dan mencegah kejang, mengendalikan hipoksemia dan asidemia. Mencegah trauma pada waktu kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat.[7]

1.

Penanganan Kejang Magnesium sulfat (MgSO4) merupakan obat pilihan utama untuk

mencegah dan mengatasi kejang pada preeklampsia berat dan eklampsia. Cara pemberian lihat kotak berikut: [14,15]

Kotak 01. Pemberian Magnesium sulfat pada peeklampsia berat dan eklampsia.[14] Dosis awal MgSO4 4 gr IV sebagai larutan 40% selama 5 menit. Segera dilanjutkan dengan pemberian 10 gr larutan MgSO4 50%, masing-masing 5 gr di bokong kanan dan kiri secara IM, ditambah 1 ml lignokain 2% pada spuit yang sama. Pasien akan merasa agak panas sewaktu pemberian MgSO4.

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

|8

Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan MgSO4 2 gr (larutan 40%) IV selama 5 menit.

Dosis pemeliharaan MgSO4 1-2 gr perjam per infus, 15 tetes/menit atau 5 gr MgSO4 IM tiap 4 jam. Lanjutkan pemberian MgSO4 sampai 24 jam pascapersalinan atau kejang berakhir.

Sebelum pemberian MgSO4, periksa: Frekuensi pernafasan minimal 16/menit. Refleks patella (+). Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir.

Berhentikan pemberian MgSO4, jika: Frekuensi pernapasan < 16/menit. Refleks patella (-). Urin < 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir.

Siapkan antidotum Jika terjadi henti nafas: lakukan ventilasi (masker dan balon, ventilator) berikan kalsium glukonat 1 gr (20 ml dalam larutan 10%) IV perlahan-lahan sampai pernafasan mulai lagi.

Jika MgSO4 tidak tersedia dapat diberikan diazepam, dengan resiko terjadinya depresi pernafasan neonatal. Dosis tunggal diazepam jarang menimbulkan depresi pernapasan neonatal. Pemberian terus menerus secara intravena meningkatkan resiko depresi pernapasan pada bayi yang sudah mengalami iskemia uteroplasental dan persalinan prematur. Pengaruh diazepam dapat berlangsung beberapa hari. Cara pemberian diazepam diuraikan pada kotak berikut:[14]

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

|9

Kotak 02: Pemberian Diazepam pada preeklampsia dan eklampsia.[14] Catatan: Diazepam hanya dipakai jika MgSO4 tidak tersedia. Pemberian intravena. Dosis awal Diazepam 10 mg IV pelan-pelan selama 2 menit. Jika kejang berulang, ulangi dosis awal.

Dosis pemelihraan Diazepam 40 mg dalam 500 ml larutan Ringer Laktet per infus. Depresi pernafasan ibu mungkin akan terjadi jika dosis > 30 mg/jam. Jangan berikan > 100 mg/24 jam

Pemberian melalui rektum Jika pemberian IV tidak mungkin, diazepam dapat diberikan per rektal, dengan dosis awal 20 mg dalam spuit 10 ml tanpa jarum. Jika konvulsi tidak teratasi dalam 10 menit, beri tambahan 10 mg/jam atau lebih, bergantung pada berat badan pasien dan respon klinik.

2.

Penanganan Hipertensi Jika tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih, berikan obat antihipertensi.

Tujuannya adalah untuk mempertahankan tekanan diastolik di antara 90 100 mmHg dan mencegah perdarahan serebral. Obat pilihan adalah hidralazin.[14] Berikan hidralazin 5 mg IV pelan-pelan setiap 5 menit sampai tekanan darah turun. Ulang setiap jam jika perlu atau berikan hidralazin 12,5 mg IV setiap 2 jam. [14] Jika hidralazin tidak tersedia, berikan: [14] Labetolol 10 mg IV: Jika respons tidak baik (tekanan diastolik tetap > 110 mmHg), berikan labetolol 20 mg IV. [14] Naikkan dosis sampai 40 mg dan 80 mg jika respons tidak baik sesudah 10 menit. [14] Atau berikan nifedipin 5 mg sublingual. Jika tidak baik setelah 10 menit, beri tambahan 5 mg sublingual. [14] Metildopa 3 x 250 500 mg/hari. [14] | 10

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

3.

Penanganan Persalinan Persalinan harus diusahakan segera setelah keadaan pasien stabil.

Penundaan persalinan meningkatkan resiko untuk ibu dan janin.[14] Periksa serviks. [14] Jika serviks matang, lakukan pemecahan ketuban, lalu induksi persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin. [14] Jika persalinan pervaginam tidak dapat diharapkan dalam 12 jam (pada eklampsia) atau dalam 24 jam (pada preeklampsia), lakukan seksio sesarea. Jika denyut jantung janin < 100/menit atau > 180/menit lakukan seksio sesarea. [14] Jika serviks belum matang, janin hidup, lakukan seksio sesarea. [14] Jika anestesia untuk seksio sesarea tidak tersedia, atau jika janin mati atau terlalu kecil: [14] Usahakan lahir pervaginam. Matangkan serviks dengan misoprostol, prostaglandin, atau kateter Foley. Catatan: jika seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa: [14] Tidak terdapat koagulopati. Anestesia yang aman/terpilih adalah anestesia umum, sedangkan anestesia spinal berhubungan dengan resiko hipotensi. Resiko ini dapat dikurangi dengan memberikan 500 1000 ml cairan IV sebelum anestesia. Jika anestesia umum tidak tersedia, janin mati, atau kemungkinan hidup kecil, lakukan persalinan pervaginam.

4.

Perawatan Pascapersalinan Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam setelah persalinan atau kejang terakhir. [14] Teruskan terapi antihipertensi jika tekanan diastolik masih 10 mmHg atau lebih. [14] Pantau urin.

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

| 11

2.9 Komplikasi 1. Edema pulmo. Edema pulmo dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Hal ini dapat terjadi karena pneumonia aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam saluran nafas yang disebabkan penderita muntah saat kejang. Selain itu dapat pula karena penderita mengalami dekompensasio kordis, sebagai akibat hipertensi berat dan pemberian cairan yang berlebihan.[8] 2. Perdarahan otak. Pada beberapa kasus eklampsia, kematian mendadak dapat terjadi bersamaan atau beberapa saat setelah kejang sebagai akibat perdarahan otak yang masiv. Apabila perdarahan otak tersebut tidak fatal maka penderita dapat mengalami hemiplegia. Perdarahan otak lebih sering didapatkan pada wanita usia lebih tua dengan riwayat hipertensi kronis. Pada kasus yang jarang perdarahan otak dapat disebabkan pecahnya

aneurisma Berry atau arterio venous malformation. Pada kira- kira 5 % kasus kejang eklampsia terjadi penurunan kesadaran yang berat bahkan koma yang menetap setelah kejang. Hal ini sebagai akibat edema serebri yang luas. Sedangkan kematian pada kasus eklampsia dapat pula terjadi akibat herniasi uncus trans tentorial. [8] 3. Kebutaan. Pada kira kira10 % kasus, kejang eklampsia dapat diikuti dengan kebutaan dengan variasi tingkatannya. Kebutaan jarang terjadi pada pre eklampsia. Penyebab kebutaan ini adalah terlepasnya perlekatan retina atau terjadinya iskemia atau edema pada lobus oksipitalis. Prognosis penderita untuk dapat melihat kembali adalah baik dan biasanya pengelihatan akan pulih dalam waktu 1 minggu. [8] 4. Gangguan psikis. Pada kasus yang jarang kejang eklampsia dapat diikuti dengan psikosis, penderita berubah menjadi agresif. Hal ini biasanya berlangsung beberapa hari sampai sampai 2 minggu namun prognosis penderita untuk kembali normal baik asalkan tidak terdapat kelainan psikosis sebelumnya. Pemberian obat obat antipsikosis dengan dosis yang tepat dan diturunkan secara bertahap terbukti efektif dalam mengatasi masalah ini. [8]

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

| 12

2.10 Prognosis Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah persalinan berakhir perubahan patofisiologi akan segera pula mengalami perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan. Keadaan ini merupakan tanda prognosis yang baik, karena hal ini merupakan gejala pertama penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian.[7] Eklamsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya, kecuali pada janin dari ibu yang sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita eklampsia juga tergolong buruk. Seringkali janin mati intrauterin atau mati pada fase neonatal karena memang kondisi bayi sudah sangat inferior.[7]

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

| 13

BAB III KASUS


3.1 Identitas Pasien Nama Umur No MR Pendidikan Pekerjaan Agama Suku/Bangsa Alamat Masuk RSUPM Jam : Ny. R : 36 tahun : 09.10.36 : SD : Ibu Rumah Tangga : Non Muslim : Indonesia : Sei. Jernih,Tapung : 19 Agustus 2013 : 16.12 WIB

3.2 Anamnesis (Allo) KU RPS : Sakit kepala disertai kejang . : Seorang pasien wanita usia 36 tahun dengan G3P2A0H2 masuk Rumah Sakit dengan keluhan sakit kepala sejak tadi malam. Keluarga pasien juga mengatakan pasein juga mengalami kejang sebelum dibawa ke Bidan setempat, kemudian paginya pasien dibawa ke Bidan dan pasien mengalami kejang kembali sebanyak 3x pasien dirujuk ke RSUD Bangkinang. Setibanya di IGD RSUD bangkinang pasien mengalami kejang kembali sebanyak 1x. Kejang selama 15 detik disertai penurunan kesadaran setelah kejang. BAK (+) Normal, BAB (+) normal.

RPD : Riwayat tekanan darah tinggi pada kehamilan sebelumnya disangkal pasien. Riwayat penyakit epilepsi disangkal pasien.

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

| 14

Asma (-), Diabetes Mellitus (-)

Riwayat Pengobatan: (-) Riwayat pernikahan: Pernikahan yang ke 2. (Pada pernikahan yang pertama pasien tidak pernah mengeluhkan keluhan yang sama seperti apa yang dirasakan saat ini.

Status Kehamilan Riwayat Menstruasi - HPHT - TTP ::-

: G3P2A0H2 Gravid aterm?

- Lama siklus : - Siklus :-

Pemeriksaan ANC - Trimester I : - Trimester II : - Trimester III : -

: Periksa kehamilan pada bidan

Riwayat Persalinan : - Anak pertama dan kedua lahir normal pervaginam. - Anak ketiga hamil ini.

3.3 Pemeriksaan Fisik A. Vital Sign Keadaan Umum: tampak sakit sedang - berat. Sensorium: Compos Mentis non kooperatif TD: 160/130 mmHg Pulse: 86 x/menit RR: 24 x/menit Suhu: 36,8oC

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

| 15

B. Status Generalisata Kepala Mata: Konjungtiva anemis (-/-), injeksi silier (-/-) sklera ikterik (-/-), hematoma periorbita (-/-). Hidung: Dalam batas normal, darah (-) Telinga: Dalam batas normal, darah (-) Mulut: Mukosa hiperemis (-), lidah kotor (-), darah (-) Leher: Perbesaran KGB (-), Peninggian JPV (-).

Thorax a. Paru-paru Inspeksi: Dinding dada simetris, pergerakan simetris, retraksi dinding dada (-), tanda-tanda trauma tumpu (-). Palpasi: Vocal fremitus simetris kanan-kiri Perkusi: Sonor dikedua lapang paru. Auskultasi: vesikular dikedua lapang paru.

b. Jantung Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat. Palpasi: Ictus cordis tidak teraba. Perkusi: Batas atas ISC III linea midclavicularis sinistra, batas bawah ISC V linea midclavicularis sinistra, batas kanan ISC IV parasternalis dextra, batas kiri ISC IV midclavicularis sinistra. Auskultasi: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-).

Abdomen Ispeksi: Bentuk perut datar, tidak tegang, tanda-tanda peradangan (-), tanda-tanda trauma tumpul (-). Auskultasi: Peristaltik usus (+). Palpasi: Nyeri tekan epigastrium (-), nyeri tekan abdomen (-). Perkusi: Timpani diseluruh kuadran abdomen kecuali kuadran kanan atas dan kanan bawah.

Ekstremitas Superior: Capillary reffil time < 2 dtk, turgor kulit < 2 dtk. Inferior: Capillary reffil time < 2 dtk, edema (-), turgor kulit < 2 dtk. | 16

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

C. Status Obstetri 1. Palpasi Leopold I : TFU 2 jari dibawah PX, teraba bagian lunak dari janin dan

tidak melenting. Leopold II : Kanan; teraba bagian keras dari janin, Kiri; teraba bagian

kecil-kecil dari janin. Leopold III Leopold IV DJJ TBJ : Teraba bagian keras dari janin melenting. : Sudah masuk PAP

: 132 x/menit (reguler) : 36 - 11x155 : 3875 gr

2. Pemeriksaan Dalam Tidak dilakukan pemeriksaan dalam.

D. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 19/08/2013) Darah rutin: Hb Leukosit Hematokrit Trombosit KGDR : 11.8 gr/dl (12-16) : 19.900 /mm3 (5-12) : 34.5 %
3

(37-47) (150)

: 183.000/mm (150-450) : 105 mg/dl

Gijal Hipertensi Kreatinin : 1.2 mg/dl (0.5-1.4)

Urin rutin Warna Berat jenis pH Lekosit Nitrit Protein Glukosa : kuning pekat : 1.015 :6 : negarif : negatif : 4+ : negatif | 17

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

Bilirubin

: negatif

Urobilinogen : negatif Darah Keton Sedimen Eritrosit : penuh Lekosit : 0-2 Epitel : 0-1 : 10.30 menit (<15 menit) : 4 menit : 5.2 gr/dl : 2.2 gr/dl : O Rh+ (<5 menit) (6-8) (3.5-5.1) : 5+ : 3+

Masa pembekuan (CT) Masa pembekuan (BT) Protein total Albumin Golongan darah

E. Diagnosis Sementara G3P2A0H2 + Eklampsi + Aterm? + KDR? Minggu + Letak Kepala + Anak Hidup Tunggal. F. Penatalaksanaan Seksio Sesarea (Cito) Rawat ICU post SC IVFD RL 20 gtt/I D/C Terpasang Cefotaxime 1 gr amp/12 jam IV Metronidazole flc/12 jam IV Ketorolac 1 amp/12 jam IV As. Traneksamat 1 amp/12 jam IV MgSO4 40% drip 15 tts/mnt Metildofa 250 mg tablet 3x1

H. Rencana SC Cito tanggal 19 Juni 2013 Pukul 11.30 WIB oleh dr. Erry Syahbani Sp.OG G3P2A0H2 + Eklampsia + Aterm Konsul bagian Anestesi Konsul bagian Anak | 18

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

I. Prognosis: Dubia at Bonam

3.4. Laporan Sectio Caesaria (Tanggal 19-08-2013 pukul 13.15 WIB) - Lama operasi - Jenis anestesi - Jenis insisi kulit : 1 jam : General Anastesi : Transversal Line (SBR)

- Cara melahirkan plasenta : Traksi tali pusat - Keadaan ibu post SC - Keadaan janin : Kejang 1X : perempuan, BB : 3000 gram, PB : 52 cm, LD : 36 cm, LK :33, A/S : 8/9, anus (+)

Pasien dibaringkan di meja operasi dengan infus dan kateter terpasang baik. Dilakukan anastesi umum dan tindakan aseptik dan antiseptik diseluruh abdomen dengan larutan betadine dan alkohol 70% dan ditutup dengan doek steril kecuali lapangan operasi. Dilakukan insisi Transversal line (SBR) mulai kutis, sub kutis, dan fascia digunting dari kiri ke kanan, dengan menyisipkan pinset anatomis dibawahnya. Otot dikuakkan dan peritoneum paritalis dijinjing ke atas dengan klem di gunting ke atas dan ke bawah tampak uterus gravidarum sesuai usia kehamilan. Plika vesikouterina digunting ke kiri dan ke kanan kemudian di bebaskan ke arah blast. Uterus di insisi secara konkaf sampai subendometrium dan ditembus secara tumpul. , dilakukan traksi pada kepala, lahir bayi perempuan dengan BB: 3000 gr, PB: 52 cm, APGAR score 8/9, anus (+). Dengan traksi tali pusat, plasenta dilahirkan. Kavum uteri dibersihkan dari sisa selaput ketuban dengan kasa steril terbuka, sampai tidak ada selaput ketuban atau bagian yang tertinggal. Kemudian uterus dijahit dengan chromic catgut no.2 secara continues interlocking dan overhecting kemudian dilakukan repitonealisasi. Evaluasi perdarahan pada uterus, kesan: tidak ada perdarahan. Cavum abdomen dibersihkan dari sisa darah dan air ketuban. Kemudian dijahit lapis demi lapis mulai dari peritoneum, fascia, otot, hingga subkutis dan dilanjutkan penjahitan subkutikuler pada kutis. Luka operasi ditutup dengan kassa betadine, dan tutup dengan hypafix. Dilakukan vulva toilet. Keadaan umum ibu post SC tidak stabil.

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

| 19

3.5. Follow Up (Post Sectio Caesaria) Tanggal/hari 19/08/2013 Pasien dirawat di ICU Penjelasan S: - Nyeri pd luka post SC - Kejang (-) - Pangan kabur (+) O: - Kesadaran: CM non-kooperatif - Vital sign: TD: 160/110 mmHg - Lochia (+) banyak Pulse: 78 x/mnt - TFU Setinggi pusat RR: 20 x/mnt - CA (+/+) T: 37,4oC Darah rutin post SC - Hb : 8.0 gr/dl (12-16) 3 - Leukosit : 18.200 /mm (5-12) - Ht : 24.0 % (37-47) 3 - Trombosit : 270.000/mm (150-450) - KGDR : 95 mg/dl (150)

A: P3 A0 H3 Post SC a/i Eklampsia P: - Bed rest - Diet MBRG - IVFD RL 28 gtt/mnt - DC terpasang - Cefotaxime 1 gr/12 jam IV - Metronidazole 1 flc/12 jam IV - As. Traneksamat 1 amp/12 jam IV - Ketololac 1 amp/12 jam IV - Nifedipin 5 mg tablet 2x1 - Metildofa 250 mg tablet 3x1 S: - Nyeri pd luka post SC - Kejang (-) - Pandangan kabur (+) O: - Kesadaran: CM non-kooperatif - Vital sign: TD: 160/110 mmHg - Lochia (+) banyak Pulse: 78 x/mnt - TFU Setinggi pusat RR: 20 x/mnt - CA (+/+) T: 37,4oC A: P3 A0 H3 Post SC a/i Eklampsia P: - Bed rest
Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

20/08/2013 Pasien dirawat di ICU

| 20

- Diet MBRG - IVFD RL 28 gtt/mnt - DC terpasang - Cefotaxime 1 gr/12 jam IV - Metronidazole 1 flc/12 jam IV - As. Traneksamat 1 amp/12 jam IV - Ketololac 1 amp/12 jam IV - Nifedipin 5 mg tablet 2x1 - Metildofa 250 mg tablet 3x1 S: - Nyeri pd luka post SC - Kejang (-) - Pangan kabur (+) O: - Kesadaran: CM non-kooperatif - Vital sign: TD: 160/100 mmHg - Lochia (+) banyak Pulse: 78 x/mnt - TFU Setinggi pusat RR: 20 x/mnt - CA (+/+) T: 37,4oC A: P3 A0 H3 Post SC a/i Eklampsia P: - Bed rest - Diet MBRG - Cefotaxime 500 mg tablet 3x1 - Metronidazole tablet 3x1 - As. Traneksamat tablet 3x1 - Ketololac tablet 3x1 - Nifedipin 5 mg tablet 2x1 - Metildofa 250 mg tablet 3x1 S: - Nyeri pd luka post SC - Kejang (-) - Pangan kabur (+) O: - Kesadaran: CM non-kooperatif - Vital sign: TD: 160/110 mmHg - Lochia (+) banyak Pulse: 78 x/mnt - TFU Setinggi pusat RR: 20 x/mnt - CA (+/+) T: 37,4oC A: P3 A0 H3 Post SC a/i Eklampsia P: - Bed rest - Diet MBRG
Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

21/85/2013 Pasien dirawat di ICU

22/08/2013 Pasien dirawat di Ruang Rawat KB

| 21

- Cefotaxime 500 mg tablet 3x1 - Metronidazole tablet 3x1 - As. Traneksamat tablet 3x1 - Ketololac tablet 3x1 - Nifedipin 5 mg tablet 2x1 - Metildofa 250 mg tablet 3x1 S: - Nyeri pd luka post SC - Kejang (-) - Pangan kabur (+) O: - Kesadaran: CM non-kooperatif - Vital sign: TD: 150/100 mmHg - Lochia (+) banyak Pulse: 78 x/mnt - TFU Setinggi pusat RR: 20 x/mnt - CA (+/+) T: 37,4oC A: P3 A0 H3 Post SC a/i Eklampsia P: - Bed rest - Diet MBRG - Cefotaxime 500 mg tablet 3x1 - Metronidazole tablet 3x1 - As. Traneksamat tablet 3x1 - Ketololac tablet 3x1 - Nifedipin 5 mg tablet 2x1 - Metildofa 250 mg tablet 3x1 S: - Nyeri pd luka post SC - Kejang (-) - Pangan kabur (+)

23/08/2013 Pasien dirawat di Ruang Rawat KB

24/08/2013 Pasien dirawat di Ruang Rawat KB

O: - Kesadaran: CM kooperatif - Vital sign: TD: 160/100 mmHg - Lochia (+) banyak Pulse: 78 x/mnt - TFU Setinggi pusat Pasien Pulang RR: 20 x/mnt - CA (+/+) Atas Permintaan T: 37,4oC Sendiri (PAPS) A: P3 A0 H3 Post SC a/i Eklampsia P: - Bed rest - Diet MBRG - Cefotaxime 500 mg tablet 3x1 - Metronidazole tablet 3x1 - As. Traneksamat tablet 3x1
Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

| 22

- Ketololac tablet 3x1 - Nifedipin 5 mg tablet 2x1 - Metildofa 250 mg tablet 3x1

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

| 23

BAB IV PENUTUP
4.1 Diskusi Seorang pasien wanita usia 36 tahun dengan G3P2A0H2 masuk Rumah Sakit dengan keluhan sakit kepala sejak tadi malam. Keluarga pasien juga mengatakan pasein juga mengalami kejang sebelum dibawa ke Bidan setempat, kemudian paginya pasien dibawa ke Bidan dan pasien mengalami kejang kembali sebanyak 3x pasien dirujuk ke RSUD Bangkinang. Setibanya di IGD RSUD bangkinang pasien mengalami kejang kembali sebanyak 1x. Kejang selama 15 detik disertai penurunan kesadaran setelah kejang. Dan pasien juga mengalami peningkatan tekanan darah (160/130 mmHg). Dari kasus diatas merupakan suatu tanda bahaya pada wanita hamil. Karena ketika seseorang telah mengalami kejang berarti ada gangguan neurotransmiter pada otak. Dan kejang yang disertai dengan adanya peningkatan tekanan darah pada wanita hamil disebut eklampsia.[6,7] Keluhan tersebut baru pertama kali dialami pasien, pada kehamilan sebelumnya pasien tidak pernah menderita keluhan yang sama dengan yang dialaminya saat ini. Dari riwayat pernikahan, pada kehamilan kali ini merupakan kehamilan yang ketiga dari suami yang kedua. Riwayat ganti pasangan merupakan faktor resiko untuk munculnya eklamsia. Karena ini berhubungan dengan sistem imunologi ibu terhadap janin, seperti yang telah dijelaskan pada refrat diatas.[9] Pada pasien tersebut diberikan MgSO4 pada saat di IGD dan rencana SC sito. Hal ini sesuai dengan tatalaksana pasien dengan eklamsia, karena penaktalaksanaan pasien eklamsi adalah penanganan kejang dan melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat.[7,14,15]

4.2 Simpulan Eklampsia adalah terjadinya onset baru dari kejang umum atau koma pada wanita dengan preeklampsia. Eklampsia merupakan komplikasi dari preeklampsia yang serius yang mengancam jiwa ibu atau janin yang sedang dikandung. Penangan eklamsia adalah mencegah kejang berulang dan terminasi kehamilan.

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

| 24

DAFTAR PUSTAKA
1. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition. 2007. United States: McGraw-Hill Companies. 2. Duley L. Pre-eclampsia, Eclampsia, and Hypertension. Clinicalevidence Journal. [database on the NCBI] 2011. [cited on August 23, 2013]; 02:1402. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC3275298/pdf/2011-1402.pdf. 3. Ross MG, Ramus RM. Eclampsia. Medscape Article. [database on the medscape] 2013. [cite on August 23, 2013]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/253960-overview#showall. 4. Vaisbuch E, Whitty JE, Hassan SS, Romero R, Kusanovic JP, et al. Circulating Angiogenic and Anti-angiogenic Factor in Pregnant Women with Eclampsia. Am J Obstet Gynecol 2011. [database on the NCBI] 2011. [cited on August 29, 2013]. 204(2): 152. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC3057127/pdf/nihms253539.pdf. 5. Salha O, Walker JJ. Modern Management of Eclampsia. Postgrad Med J. [data base on the NCBI]. 1999. [cited on August 29, 2013]. 75:7882. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1741124/ pdf/v075p00078.pdf. 6. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard I. Danforth's Obstetrics and Gynecology, 10th Edition. 2008. Lippincott Williams & Wilkins. 7. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisis Keempat. 2009. Jakarta: PT Bina Pustaka. Hal; 550 553. 8. Prasetiyo I. Eklampsia. SMF Obstetri & Ginekologi RSUD. RAA Soewondo Pati. [Artikel] 2012. [diunduh pada tgl 25 Agustus 2013]. Available from: http://www.scribd.com/document_downloads/direct/ 73697796?extension=pdf&ft=1377276611&lt=1377280221&user_id=891 34340&uahk=6aYoOtTv7kmFmVZzrOLV2Wkecng. 9. Lindheimer MD, Roberts JM, Cunningham FG, Chesley LC. Chesleys Hypertensive Disorders in Pregnancy Third Edition. 2009. USA: Elsevier. Page 59, 91.
Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

| 25

10. Lazdam M, Davis EF, Lewandowski AJ, Worton SA, Kenworthy Y, et al. Prevention of Vascular Dyfunction after Preeclampsia: A Potential LongTerm Outcome Measure and an Emerging Goal for Treatment. Review Article. Journal of Pregnancy 2012. [data base on the NCBI]. [cited on September 04, 2013]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pmc/articles/ PMC3235810/pdf/JP2012-704146.pdf. 11. Reyes LM, Garcia RG, Ruiz SL, Camacho PA, Ospina MB, et al. Risk Factors for Preeclampsia in Women from Colombia: A Case Control Study. Plosone Journal. [data base on the NCBI] 2012. [cited on September 04, 2013]. 7(7): Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3402451/pdf/pone.004162 2.pdf. 12. semiallograft. [google image] 2013. [cited on September 05, 2013]. Available from: https://www.google.com/search?q=semiallograft. 13. Euser AG, Cipolla MG. Magnesium Sulfate Treatment for the Prevention of Eclampsia: A Brief Review. Stroke Journal. [database on the NCBI] 2009. [cited on August 29, 2013]. 40(4): 11691175. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC2663594/pdf/nihms72644.pdf. 14. Saifuddin AB, Wiknjosastro GH, Affandi B, Waspodo D. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi Pertama. 2010. Jakarta: PT Bina Pustaka. Hal; M 38 41. 15. Chaturvedi S, Randive B, Mistry N. Availability of Treatment for Eclampsia in Public Health Institutions in Maharashtra, India. J Health Popul Nutr 2013. [database on the NCBI] 2013. [cited on September 07, 2013]. (1):86-95. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3702363/pdf/jhpn00310086.pdf.

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang Kampar

| 26

Anda mungkin juga menyukai