Anda di halaman 1dari 15

TINJAUAN PUSTAKA CREEPING ERUPTION I.

DEFENISI Creeping eruption disebut juga cutaneous larva migrans (CLM) disebabkan oleh penetrasi dan migrasi larva nematoda di dalam epidermis. Istilah creeping eruption digunakan pada kelainan kulit yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Umumnya oleh larva Ankilostoma braziliense dan A. caninum. Dapat juga terjadi Gnatostomiasis dan Strongyloidiasis. Creeping eruption termasuk dalam penyakit parasit hewani. Maksudnya parasit berupa hewan. Beberapa buku menyebutkan sebagai zoonosis, namun istilah ini kurang tepat karena zoonosis berarti penyakit pada hewan yang dapat ditularkan pada manusia, sedangkan penyakit ini bukan panyakit hewan. Jadi istilah penyakit parasit hewani lebih tepat. Infestasi biasanya terjadi melalui kontak dengan tanah atau pasir yang terkontaminasi dengan kotoran binatang. Invasi ini sering terjadi pada anak-anak terutama yang sering berjalan tanpa alas kaki, atau yang sering berhubungan dengan tanah dan pasir. Demikian pula para petani atau tentara sering mengalami hal yang sama. II. EPIDEMIOLOGI Creeping eruption ditemukan di seluruh dunia tapi paling sering terjadi di daerah dengan iklim tropis atau subtropis yang hangat dan lembab, misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat, terutama Amerika Serikat bagian tenggara, Karibia, Afrika, Amerika Selatan, Amerika Pusat, India, dan Asia Tenggara, di Indonesia pun banyak dijumpai. Infestasi lebih sering ditemukan saat ini karena tingginya mobilitas dan tamasya. Dilaporkan adanya outbreak insiden CLM di perkemahan anak-anak di Miami, Florida pada tahun 2006. Dilaporkan 22 orang (33,7%) terdiri dari anak-anak dan dewasa, menderita CLM setelah 2,5 minggu berada di perkemahan. Dari analisa didapatkan 22 orang tersebut bermain di kotak pasir selama minimal 1 jam per hari, berjemur matahari 1 jam per hari, 17 dari 22 orang yang terkena ternyata tidak mengenakan sandal pada saat bermain pasir. Banyak yang mengakui adanya kucing yang berkeliaran dalam jumlah cukup banyak di sekitar perkemahan.

Gambar x. Frekuansi penyebaran Cutaneus Larvae Migrans di Amerika Serikat Cara infeksi melalui kontak kulit dengan larva infektif pada tanah. Orang dari berbagai jenis umur, seksa dan ras bias terinfeksi jika terpajan larva. Grup yang beresiko adalah mereka yang pekerjaan atau hobinya berkontak dengan tanah berpasir yang lembab dan hangat antara lain sebagai berikut: i. ii. iii. iv. v. vi. vii. viii. Orang yang tidak memakai alas kaki di pantai Anak-anak yang bermain pasir Petani Tukang kebun Pembersih septic tank Pemburu Tukang kayu Penyemprot serangga

III.ETIOLOGI Creeping eruption biasanya ditujukan untuk lesi yang diakibatkan cacing tambang dengan hospes non-manusia. Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing dan kucing, yaitu Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Ancylostoma braziliense adalah penyebab tersering. Di Asia Timur umumnya disebabkan oleh gnathostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan Echinococcus, Strongyloides stercoralis, Dermatobia maxiales dan Lucilia caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat, misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan cattle fly.
2

Gambar x. Bentuk Larva Stadium Tiga (Filariform Larva) Penyebab yang umum: i. ii. iii. Ancylostoma braziliense Ancylostoma caninum Uncinaria phlebotonum

Penyebab yang jarang: i. ii. iii. iv. v. vi. Ancylostoma ceylonicum Ancylostoma tubaeforme Necator amricanus Strongyloides papillosus Strongyloides westeri Ancylostoma duondenale

Gambar x. Jenis-jenis cacing tambang (hookworm)

IV. SIKLUS HIDUP Siklus hidup Ancylostoma braziliense terjadi pada binatang dan serupa dengan Ancylostoma duodenale pada manusia. Siklus hidup parasit dimulai saat telur keluar bersama kotoran binatang ke tanah berpasir yang hangat dan lembab. Pada kondisi kelembaban dan temperatur yang menguntungkan, telur bisa menetas dan tumbuh cepat menjadi larva rhabditiform. Awalnya larva makan bakteri yang ada di tanah dan berganti dulu dua kali sebelum menjadi bentuk infektif (larva stadium tiga). Pada hospes alami binatang, larva mampu penetrasi sampai ke dermis dan ditranspor melalui sistem limfatik dan vena sampai ke paru-paru. Kemudian menembus sampai ke alveoli dan trakea dimana kemudian tertelan. Di usus terjadi pematangan secara seksual, dan siklus baru dimulai saat telur diekskresikan. Larva yang infektif dapat tetap hidup pada tanah selama beberapa minggu.

Gambar x. Siklus hidup pada hospes alami Ancylostoma braziliense V. PATOGENESIS Creeping eruption disebabkan oleh berbagai spesies cacing tambang binatang yang didapat dari kontak kulit langsung dengan tanah yang terkontaminasi feses anjing atau kucing. Hospes normal cacing tambang ini adalah kucing dan anjing. Telur cacing diekskresikan ke dalam feses, kemudian menetas pada tanah berpasir yang hangat dan lembab. Kemudian terjadi pergantian bulu dua kali sehingga menjadi bentuk infektif (larva stadium tiga). Manusia yang berjalan tanpa alas kaki terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva dimana larva menggunakan enzim protease untuk menembus melalui folikel,

fisura atau kulit intak. Setelah penetrasi stratum korneum, larva melepas kutikelnya. Biasanya migrasi dimulai dalam waktu beberapa hari. Masa inkubasi dapat terjadi beberapa hari dan penyakit ini dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan bila tidak diobati. Pada binatang, larva dapat berpenetrasi lebih dalam sampai lapisan dermis serta menginfeksi darah dan jaringan limpha. Cacing tambang yang sampai lumen usus akan bereproduksi menghasilkan lebih banyak telur lalu dieksresikan melalui feces dan mulailah siklus baru. Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa cm per hari, biasanya antara stratum germinativum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang dermoepidermal. Hal ini menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik setempat. Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit. Larva bemigrasi pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang menembus ke dermis. Manusia merupakan hospes aksidental dan larva tidak mempunyai enzim kolagenase yang cukup untuk penetrasi membrane basalis sampai ke dermis. Sehingga penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim proteolitik yang disekresi larva menyebabkan inflamasi sehingga terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum untuk melengkapi siklus hidup, larva seringkali migrasi ke paruparu sehingga terjadi infiltrat paru. Pada pasien dengan keterlibatan paru-paru didapat larva dan eosinofil pada sputumnya. Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa hari sampai beberapa bulan.

Gambar x. Gambaran siklus hidup Ancylostoma braziliense


5

VI. MANIFESTASI KLINIK Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah ada di kulit selama beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. Terjadi rasa gatal pada ujung lesi yang bertambah panjang karena terdapat larva. Larva filariform pada manusia tidak berkembang menjadi dewasa, infeksi larva terbatas hanya pada lapisan epidermis, yang menyebabkan kelainan berupa garis merah berbentuk serpingiosa yang disebut Creeping eruption. Masuknya larva kekulit dapat menimbulkan erupsi yang tidak spesifik, dapat berupa sensasi tingling atau prickling selama 30 menit sejak larva masuk kulit. Kemudian jaringan kulit yang ditembus larva filariform berubah menjadi papul keras, merah dan gatal. Larva dapat tidur selama beberapa minggu atau bulan atau segera memulai aktifitasnya. Dalam beberapa hari berikutnya, akan terbentuk terowongan sempit di intrakutan yang menimbul dengan diameter 2-3 mm dengan panjang 3-4 cm dan berwarna kemerahan. Terowongan ini membentuk garis yang semakin panjang sesuai dengan gerakan larva yang ada didalamnya. Penyakit ini self-limited dengan kematian larva dalam waktu sebulan atau dua bulan. Lebar lesi berkisar antara 3mm dan panjang bervariasi mencapai 15-20 cm. Lesi bisa tunggal atau multipel, sangat gatal dan bisa juga nyeri.

Gambar x. Gambaran Cutaneus Larvae Migrans di kaki

Tempat predileksi adalah di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, paha, juga di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada. Sering terjadi ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri. Sepanjang garis yang berkelok-kelok terdapat vesikel kecil yang sewaktu-waktu memungkinkan terjadinya infeksi sekunder jika kulit digaruk. Tanda dan gejala sistemik (mengi, batuk kering, urtikaria) pernah dilaporkan pada pasien dengan infeksi ekstensif. Tanda sistemik termasuk eosinofilia perifer dan peningkatang kadar IgE. Pada kasus creeping eruption bias terjadi sindrom loeffler dan mtositis namun jarang dijumpai. Larva bias bermigrasi ke usus halus dan menyebabkan enteritis eosinofilik. VII. DIAGNOSIS Diagnosis creeping eruption ditegakkan berdasarkan atas gambaran klinnis, riwayat pajanan epidemiologi dan ditemukan lesi yang khas. Bentuk khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan terdapat papul atau vesikel di atasnya. Biopsi spesimen diambil pada ujung jalur yang mungkin mengandung larva tetapi biopsi kurang mempunyai arti karena larva sulit ditemukan. Bila infeksi ekstensif bisa dijumpai tanda sistemik berupa eosinofilia perifer, sindrom loeffler (infiltrate paru yang berpindah-pindah), peningkatan kadar IgE. Hanya sedikit pasien yang menunjukkan eosinofilia perifer dan peningkatan IgE. Untuk menunjang diagnosa bisa dilakukan biopsi kulit. Biopsi kulit yang diambil tepat di atas lesi menunjukkan larva (tes periodic asam schiff positif) di terowongan suprabsalar, terowongan pada membrane basalis, spongiosis dengan vesikel intraepidermal, nekrosis keratinosit dan infiltrat kronis oleh eosinofil pada lapisan epidermis dan dermis bagian atas. Penyakit ini akan sembuh sendiri (self limited), sekitar 50% larva mati dalam 12 minggu walaupun tanpa terapi VIII. DIAGNOSIS BANDING Dengan melihat adanya terowongan harus dibedakan dengan skabies. Pada skabies terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti pada penyakit ini. Bila melihat bentuk yang polisiklik sering dikacaukan dengan dermatofitosis. Pada permulaan lesi berupa papul, karena itu sering diduga insect bite. Bila invasi larvae yang multipel timbul serentak, papul-papul lesi dini sering menyerupai herpes zoster

stadium permulaan. Diagnosis banding mencakup serkaria atau dermatitis kontak, infeksi bakteri atau jamur, skabies, myiasis, loiasis dan beberapa parasit migran lainnya. IX. PENATALAKSANAAN Cutaneous larva migrans ini adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri. Berapa lama penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya tergantung spesies larva yang menginfeksi. Pada beberapa kasus, lesi akan sembuh tanpa terapi dalam 4 sampai 8 minggu. Tetapi, terapi yang efektif dapat mepercepat penyembuhan penyakit ini .Adapaun terapi yang dapat digunakan adalah sebab: i. Non-Medika Mentosa Infeksi cacing tambang binatang dapat dicegah dengan meningkatkan sistem sanitasi yang baik terutama yang terkait dengan feses. Pemakaian sepatu pada area dimana banyak terdapat penyakit cacing tambang. Memperhatikan kebersihan dan menghindari kontak yang terlalu banyak dengan hewan-hewan yang merupakan karier cacing tambang. Menghindari kontak kulit langsung dengan tanah yang tercemar kotoran binatang. Pengobatan cacing tambang untuk kucing dan anjing merupakan hal yang utama untuk mencegah creeping eruption. Kotoran binatang harus dipindahkan secara benar dari area aktivitas manusia. Creeping eruption bisa dicegah dengan mudah dengan memakai alas kaki yang memadai setiap saat. ii. Medikamentosa Jika dibiarkan saja tanpa pengobatan, larva akan mati dan diabsorbsi. Meskipun penyakit ini self-limited, rasa gatal yang hebat dan resiko infeksi sekunder memaksa seseorang untuk berobat. Untuk kasus yang ringan biasanya tidak memerlukan pengobatan. Jika perlu dapat diberikan secara topikal. Pengobatan topikal ditujukan untuk lesi awal yang terlokalisasi. Untuk kasus yang lebih berat dapat diberikan obat peroral. Pengobatan oral untuk lesi yang luas atau gagal dengan topikal. Antihistamin membantu mengurangi rasa gatal. Jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri dapat diberikan antibiotik. 1) Pengobatan Sistemik (Oral) a) Anti-Helmintes i) Tiabendazol
8

Merupakan drugs of choice. Sejak tahun 1963 telah diketahui bahwa antihelminthes berspektrum luas, misalnya tiabendazol ternyata efektif. Dosisnya 50mg/kgBB/hari, dua kali sehari, diberikan berturut-turut selama dua hari. Dosis maksimum 3 gr sehari. Jika belum sembuh dapat diulangi setalah beberapa hari. Obat ini sukar didapat. Efek sampingnya mual, pusing dan muntah. Menghambat enzim fumarat reduktase sehingga menginhibisi pembentukan mikrotubuli. Akan terjadi gangguan ambilan glukosa dan inhibisi malat dehidrogenase. Merupakan anihelminthes heterosiklik generasi ketiga. a) Dewasa Topikal berupa supensi 10-15% (kadang dicampur dengan krim kortikosteroid) secara oklusi, 2 kali sehari, selama minimal 1 minggu Oral 25-50 mg/kgBB/hari, tiap 12 jam, selama 2-5 hari

b) Anak-anak Dengan dosis 25-50 mg/kgBB/hari setiap 12 jam. Tidak lebih dari 3 gr/hari. Tiabendazol lebih toksik daripada benzimidazol dan ivermectin sehingga lebih dipilih agen yang lain. Efek samping yang sering berupa pusing, anoreksia, nausea dan muntah. Permasalahan yang lebih jarang seperti nyeri epigastrium, kram abdomen, diare, pruritus, nyeri kepala, mengantuk, dan simtom neuroleptik. Pernah dilaporkan kerusakan hati yang ireversibel dan sindrom Steven Johnson. Tiabendazol pada anak di bawah 15 kg masih terbatas penggunaaannya. Obat ini tidak boleh digunakan untuk ibu hamil atau yang menderita penyakit hati maupun ginjal. ii) Ivermectin Antiparasit semisintetik makrosiklik yang berspektrum luas terhadap nematoda. Cara kerjanya dengan menghasilkan paralisis flaksid melalui pengikatan kanal klorida yang diperantarai glutamat. Mungkin merupakan drug of choice karena keamanan, toksisitas rendah dan dosis tunggal. a) Dewasa
9

12 mg atau 200 ug/kgBB dosis tunggal

b) Anak-anak <5tahun : 150 ug/kgBB dosis tunggal

>5 tahun : sama dengan dewasa

Efek samping mencakup kelelahan, pusing, nausea, muntah, nyeri perut dan bercak kemerahan. Hindari penggunaan bersama obat yang meningkatkan aktivitas GABA seperti barbiturat, benzodiazepine dan asam valproat. Ivermectin tidak boleh diberikan pada ibu hamil. iii) Albendazol Antihelmintas bersepektrum luas yang mengganggu ambilan glukosa dan agregasi mikrotubuli. Sebagai alternatif pengganti tiabendazol. a) Dewasa 400 mg per oral, sekali sehari, selama 3 hari atau 2x200 mg sehari selama 5 hari

b) Anak-anak <2tahun : 200 mg/hari selama 3 hari dan diulang 3 minggu kemudian jika perlu >2 tahun : sama seperti dewasa

Bila digunakan 1-3 hari, albendazol hampir bebas efek samping. Bisa terjadi gejala ringan distres epigastrium, diare, sakit kepala, nausea, pusing, lesu dan insomnia. Pada pemakaian jangka panjang harus dicek darah dan fungsi hati. Tidak bileh diberikan pada orang yang hipersensitif terhadap benzimidazol lainnya atau orang dengan sirosis. Kemanan pada ibu hamil dan anak kurang dari 2 tahun masih belum diketahui. iv) Mebendazol Antihelmintes spektrum luas yang menginhibisi perakitan mikrotubuli dan memblok ambilan glukosa sehingga terjdai deplesi cadangan glikogen parasit. a) Dewasa 200 mg per oral, 2 kali sehari selama 4 hari
10

b) Anak-anak <2 tahun : tidak disarankan >2 tahun : seperti dewasa nausea, muntah, diare dan nyeri abdominal. Efek

Bisa terjadi

samping yang jarang berupa reaksi hipersensitivitas, agranulositosis, alopesia dan peningkatan enzim hati. Mebandazol teratogenik pada binatang sehingga tidak disarankan untuk ibu hamil. Pada anak kurang dari 2 tahun harus berhati-hati karena masih kurangnya penelitian. Kadar plasma bisa berkurang pada penggunaan bersama karbamazepin atau fenitoin. Meningkat ada penggunaan bersama simetidin. Harus berhati-hati pada orang dengan sirosis. Hasil studi yang dilakukan Tae Hyeung Kim, Byeung Song Lee, dan Wook Mok Sohn mendapatkan bahwa ivermectin dosis tunggal 12 mg pada studi acak 21 pasien didapat hasil lebih efektif daripada albendazol 400mg dosis tunggal. Tiabendazol juga merupakan pengobatan yang efektif untuk CLM. Namun ivermectin dan tiabendazol sukar didapat sehingga disarankan pengobatan dengan albendazol dosis tunggal. b) Anti-Pruritus : Antihistamin membantu mengurangi rasa gatal. c) Antibiotik : Jika terjadi infeksi sekunder disebabkan oleh bakteri.

2) Pengobatan Topikal Obat pilihan berupa tiobendazol topikal 10%, diaplikasi 4 kali sehari selama satu minggu.Topikal thiabendazole adalah pilihan terapi pada lesi yang awal, untuk melokalisir lesi., menurangi lesi multiple dan infeksi folikel oleh cacing tambang. Obat ini perlu diaplikasikan di sepanjang lesi dan pada kulit normal di sekitar lesi. Dapat juga digunakan solutio tiobendazol 2% dalam DMSO (dimetil sulfoksida) atau tiobendazol topikal ditambah kortikosteroid topikal yang digunakan secara oklusi dalam 24-48 jam. Eyster mencoba pengobatan topical solusio tiabendazol dalam DMSO dan ternyata efektif. Demikian pula pengobatan secara oklusi selama 34-48 jam telah dicoba oleh Davis. Obat lain ialah albendazol, dosis sehari 400 mg sebagai
11

obat dosis tunggal, oral atau tiabendazole topical merupakan terapi yang direkomendasikan. Namun pengobatan ini mempunyai efek samping seperti nausea, diare, anoreksia, pusing, sakit kepala, pembesaran KBG dan reaksi alergi. Keamanan pengobatan ini selama kehamilan masih belum diketahui. 3) Cryotheraphy Cara terapi ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan etil klorida atau dry ice dengan penekanan 45 detik sampai 1 menit, 2 hari berturut-turut. Penggunaan N2 cair juga pernah dicoba. Cara beku dengan menyemprotkan kloretil sepanjang lesi. Cara tersebut di atas agak sulit karena kita tidak mengetahui secara pasti di mana larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan di sekitarnya. Terapi ini efektif bila epidermis terkelupas bersama parasit. Seluruh terowongan harus dibekukan karena parasit diperkirakan berada dalam terowongan. Cara ini bersifat traumatik dan hasilnya kurang dapat dipercaya.

Gambar x. Cara melakukan krioterapi 4) Lain-lain Pengobatan cara lama dan sudah ditinggalkan adalah dengan preparat antimony. Penggunaan topikal spray etil klorida, nirtogen cair, fenl, CO 2 beku, piperazin sitrat, elektrokauter dan radiasi tidak behasil karena larva bisa

12

lolos. Kemoterapi dengan klorokuin, antimony, dan dietilkarbamazin juga tidak berhasil. X. KOMPLIKASI Komplikasi yang sering terjadi adalah ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri akibat garukan. Infeksi umumnya disebabkan oleh Streptococus pyogenes. Bisa juga terjadi selulitis dan reaksi alergi. XI. PROGNOSIS Prognosis bisanya baik. Ini merupakan penyakit yang self-limited. Manusia merupakan hospes aksidental yang dead end di mana larva akan mati dan lesi membaik dalam waktu 4-8 minggu. Dengan pengobatan progresi lesi dan rasa gatal akan hilang dalam waktu 48 jam. Bisa terjadi reaksi hipersensitivitas. Sering terjadi eosinofilia perifer. Tidak terjadi imunitas protektif sehingga bisa terjadi infeksi berulang pada pajanan berikutnya.

13

KESIMPULAN Creeping eruption merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh larva cacing tambang binatang dan bersfiat self-limited. Penyakit ini sering dijumpai di daerah tropis dan subtropis. Orang yang beresiko terinfeksi adalah mereka yang sering berhubungan dengan tanah berpasir dan tidak memakai alas kaki. Penyebab kelainan ini adalah Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Penyebab tersering adalah Ancylostoma braziliense. Manusia terinfeksi melalui kontak kulit dengan tanah yang terkontaminasi ini. Manusia merupakan hospes aksidental di mana larva jarang sekali namun dapat ditemukan infiltrat paru yang disebut sindrom loeffler. Gejala klinis yang timbul berupa gatal, papul eritematosa, kadang disertai rasa nyeri, serta lesi khas yang berbentuk linear berkelok-kelok. Dapat terjadi ekskoriasi dan infeksi sekunder yang umumnya disebabkan oleh Streptococcus pyogenes. Ditemukan eosinofilia perifer dan peningkatan kadar IgE. Tempat pedileksi di bagian tubuh mana saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada. Penatalaksanaan yang baik adalah edukasi mengenai pencegahan. Pengobatan dapat diberikan antiheliminthes topikal maupun oral, digunakan antihelminthes berspektrum luas. Ivermectin dosis tunggal 12 mg, Albendazol 400 mg dosis tunggal, Tiabendazol 50 mg/kgbb dalam 2 dosis.

14

DAFTAR PUSTAKA 1. Peris, M. Pruritic, serpiginous eruption in a returning traveller. CMAJ 2008;179:5152. diunduh dari: http://www.cmaj.ca/cgi/content/full/179/1/51 2. Djuanda. A, Hamzah. Aisah S. Ilmu Larva penyakit Migran. kulit dan kelamin. dalam: Edisi Current keempat, cetakan pertama, Jakarta: Baai Penerbit FKUI.2005; 125-126. 3. Tierney, M, 1520. 4. Gerd P, Thomas J.Cutaneous Larva Migran. Terdapat dalam Fitzpatrick`s dermatology in general medicine 6th ed[ebook]. New York: Mc Graw Hill;2003.ch236.
5. Ngan, V.

Papadakis. Cutaneous

Terdapat

medical diagnosis & treatment 45th ed[ebook]. San Francisco:Mc Graw Hill.2003.pg

Cutaneous M.

larva

migran.

DermNetNZ: New Emdeicine.

Zealand.2007. 2008.

diunduh dari:

dari: http://www.dermnetnz.org/arthropods/larva-migrans.html 6. Lydia, Cutaneous larva migran. Diunduh http://emedicine.medscape.com/article/1108784 7. Baron, S, cutaneous larva migrans. Terdapat dalam: medical mirobiology 4th ed. Diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/bv.fcgi?call=bv 8. Carlson, Amy Olivia. Cutaneous larva migran. 2005. Diunduh dari: http://www.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2005/CLM

15

Anda mungkin juga menyukai