DEFINISI Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan bakteriemia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers patch.1 EPIDEMIOLOGI Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di negara maju dan yang sedang berkembang. Insiden sangat menurun di negara maju. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. 2 Sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur di atas lima tahun.5 Diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000 kematian di seluruh dunia. Kebanyakan penyakit ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah, terutama pada daerah Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin. Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian demam tifoid turun dengan adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai negara berkembang. Di negara maju perkiraan angka kejadian demam tifoid lebih Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 0,7 kasus per 100.000 penduduk di Eropa Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus per 100.000 penduduk di Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun; atau kurang lebih sekitar 600.000 1,5 juta kasus setiap tahunnya. Diantara penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan kedua setelah gastroenteritis. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun 1992 1996 tercatat 550 kasus demam tifoid yang kematian antara 2,63 5,13%.6 Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit ini sering merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.7 ETIOLOGI Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C. Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.8 Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora, motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C (150C-410C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4 0C selama satu jam dan 600C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa.9 Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 0C. Organisme Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 2 dirawat dengan angka
ini juga dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah kering, pakaian, mampu bertahan disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa merubah warna dan bentuknya. Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami Salmonella typhi melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis.3 Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid atau karier Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak pernah menelan bakteri ini. Bila hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak menderita demam tifoid. Namun bakteri yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh menimbulkan suatu reaksi serologi Widal yang positif dan bermakna.10 Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu: - Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar) - Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil. - Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin. Ada 3 spesies utama yaitu : - Salmonella typhosa (satu serotype) - Salmonella choleraesius (satu serotype) - Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotype)2 Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik.1
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dosis infeksius S. enterica serotipe typhi pada pasien bervariasi dari 1000 hingga 1 juta organisme. Strain Vi negatif dari Salmonella enterica serotipe typhi ini kurang infeksius dan kurang virulen dibandingkan strain Vi positif. Untuk dapat mencapai usus halus biasanya Salmonella typhi ini harus dapat bertahan melalui sawar asam lambung dan kemudian melekat pada sel mukosa serta melakukan invasi. Sel M sebagai sel epitel khusus yang melapisi sepanjang lapisan Peyer ini merupakan tempat potensial Salmonella typhi untuk invasi dan sebagai transpor menuju jaringan limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini menuju ke dalam folikel limfoid intestinal dan nodus limfe mesenterik dan kemudian masuk dalam sel retikuloendotelial dalam hati dan limpa. Pada keadaan ini terdapat perubahan degeneratif, proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript, lamina propria usus halus, dan kelenjar limfe mesenterica.6 Organisme Salmonella typhi mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam fagosit mononuklear folikel limfoid, hati, dan limpa. Faktor penting proses ini mencakup jumlah bakteri, tingkat, tingkat virulensi dan respon tubuh. Bakteri ini kemudian dilepaskan dari habitat intraseluler masuk aliran darah. Masa inkubasi ini berkisar 7-14 hari. Pada fase bakteriemi, bakteri akan menyebar dan tempat infeksi sekunder paling sering ialah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung empedu terjadi langsung dari asam empedu. Jumlah bakteri pada fase akut diperkirakan 1 bakteri /ml darah (sekitar 66 % dalam sel fagositik) dan sekitar 10 bakteri /ml sumsum tulang. Walaupun Salmonella typhi menghasilkan endotoksin namun angka mortalitas stadium ini < 1 %. Studi menunjukkan peningkatan kadar proinflamasi dan sitokin anti inflamasi dalam sirkulasi pasien tifoid.1 PATOLOGI Huckstep membagi patologi dalam plaque Peyeri dalam empat fase. Keempat fase ini akan terjadi secara berurutan bila tidak segera diberikan antibiotik yaitu : Fase 1 : hiperplasia folikel limfoid
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Fase 2 : nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan mukosa dan submukosa Fase 3 : ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan perforasi dan pendarahan Fase 4 : penyembuhan terjadi pada minggu keempat dan tidak menyebabkan terbentuknya struktur seperti pada tuberkulosis bowel.11 Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada bagian traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan kolon ascending. Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan luas dibandingkan yeyunum. Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring dengan pertambahan usia.11 PATOFISIOLOGI Beberapa faktor yang ikut berperan penting dalam patofisiologi demam tifoid berdasarkan penelitian terbaru ialah : a. bacterial type III protein secretion system (TTSS) b. lima gen virulensi (A< B< C< D< dan E) of Salmonella spp yang mengkode Sips (Salmonella Invasion Proteins). c. Reseptor Toll R2 and Toll R4 dijumpai pada permukaan makrofag yang berperan penting dalam signalisasi yang diperantarai LPS dalam makrofag d. Mekanisme pertahanan tubuh antara lumen intestinal dan organ dalam e. Peranan fundamental sel endotelial pada deviasi inflamasi dari aliran darah menuju jaringan yang terinfeksi bakteri.12 Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.9 Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut Salmonella typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.8 Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian Salmonella typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman. Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri masuk ke dalam KGB mesenterium dan mencapai aliran darah melalui duktus torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yg asimptomatis.9 Kemudian kuman akan masuk kedalam organorgan system retikuloendotelial (RES) terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke dalam peredaran darah, sehingga terjadi bakteriemia kedua yang simptomatis (menimbulkan gejala klinis). Disamping itu kuman yang ada didalam hepar akan masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu kuman tersebut bersama dengan asam empedu dikeluarkan dan masuk ke dalam usus halus. Kemudian kuman akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan tukak yang berbentuk lojong pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan perforasi usus yang menimbulkan gejala peritonitis.1 Pada masa bakteriemia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat berperan membantu proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak yaitu merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hypothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam.1 Sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.5 Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya manifestasi klinis sebagai berikut: Makrofag pada penderita akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang, dan panas. Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul. Nodul ini sering didapatkan dalam usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa, hati, sumsum tulang, dan organ-organ yang terinfeksi. Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi. Gambaran tersebut tidak didapatkan pada kasus demam tifoid yang menyerang bayi maupun tifoid kongenital.2
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
KUMAN S. TYPHI
Makanan + Minuman
Lambung
mati
Usus halus
Multiplikasi Lokal
Usus
Airan Darah
(Bakteremia Primer)
Aliran Darah
( Bakteremia Sekunder)
GEJALA KLINIK Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.5 Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
ditandai dengan demam timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau penurunan kesadaran.1 Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. 1 Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Roseola (bercak makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 4080% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.2 Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
cukup berat Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organorgan yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas.5 Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.6 Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina, Jakarta, diare lebih sering ditemukan dari pada sembelit, masing-masing 39,47% dan 15,79% pada anak. Gejala sakit kepala ditemukan pada 76,32% anak, nyeri perut 60,5%, muntah 26,32%, mual 42,11%, gangguan kesadaran 34,21%, gangguan mental berupa apatis ditemukan 31,58% dan delirium pada 2,63% anak. Penulis lain melaporkan ditemukannya lidah khas tifoid.1 Anak usia sekolah dan remaja Gejala awal demam, malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, dan nyeri perut berkembang selama 2-3 hari, walaupun diare berkonsistensi mungkin ada selama awal perjalanan penyakit, konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih mencolok, mual muntah adalah jarang dan memberi kesan komplikasi terutama jika terjadi pada minggu ke-2 atau ke-3. Batuk dan epistaksis mungkin ada. Kelesuhan berat dapat terjadi pada beberapa anak. Demam yang terjadi secara bertingkat menjadi tidak turun-turun dan tinggi dalam 1 minggu, sering mencapai 40 0C.8 Tanda-tanda fisik adalah bradikardi relatif, yang tidak seimbang dengan tingginya demam. Hepatomegali, splenomegali, dan perut kembung dengan nyeri difus, terjadi pada minggu ke-2 penyakit.8 Bayi dan Anak Muda (< 5 tahun) Demam enterik relatif jarang pada kelompok umur ini. Demam ringan dan malaise, salah interpretasi sebagai sindrom virus, ditemukan pada bayi dengan demam tifoid terbukti secara biakan . Diare lebih lazim pada anak muda dengan demam tifoid daripada orang dewasa, membawa pada diagnosis gastroenteritis
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
10
akut. Yang lain dapat datang dengan tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bawah. Neonatus Disamping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur, demam enterik selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikal. Penyakit neonatus biasanya mulai dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare ,dan kembung sering ada. Suhu bervariasi, tetapi dapat setinggi 40,5 0C. Dapat terjadi kejangkejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan mungkin nyata.
DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus. 2. Pemeriksaan fisik Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang dijumpai terdengar ronki pada pemeriksaan paru. 3. Pemeriksaan penunjang # Darah tepi perifer Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
11
Anemia Pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus.
Leukopenia Namun jarang kurang dari 3000/ul Limfositosis relatif Trombositopenia Terutama pada demam tifoid berat.
# Pemeriksaan serologi Serologi Widal Kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesens. Kadar IgM dan IgG (Typhidot) Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit. Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4. Foto toraks Apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia. Foto abdomen Apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi udara tak merata, tampak air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, dan udara bebas pada abdomen.1 DIAGNOSIS BANDING Sesuai dengan perjalanan penyakit tifoid, permulaan sakit harus dibedakan antara lain :2 # Bronkitis # Influensa # Bronkopneumonia Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta # Pemeriksaan biakan Salmonella
# Pemeriksaan radiologik
12
Pada stadium selanjutnya : # Demam paratifoid # Malaria # TBC milier # Pielitis Pada stadium toksik : # Leukemia # Limfoma # Penyakit Hodgkin PEMERIKSAAN FISIK Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : 1. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu II, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsurangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu III. 2. Gangguan saluran cerna Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah (rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue)., ujung dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung (meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda. 3. Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam berupa apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopr, coma atau gelisah. # Meningitis # Endokarditis bakterial # Rickettsia
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
13
Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat ditemukan gejala-gejala lain: Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan diameter 2-4 mm yang akan hilang dengan penekanan dan sukar didapat pada orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam. Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang biasanya ditemukan pada awal minggu ke II dan nadi mempunyai karakteristik notch (dicrotic notch).5,13 PEMERIKSAAN PENUNJANG Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis dan serologis. 1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis. a. Pemeriksaan darah tepi. Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana akan tetapi berguna untuk membuat diagnosis yang cepat.5 Pada 2 minggu pertama demam dijumpai leukopenia dengan neutropenia dan limfositosis relatif. Leukopenia dapat dijumpai tetapi jarang hingga di bawah 3000/ul. Trombositopenia juga dapat terjadi bahkan dapat berlangsung beberapa minggu. Adanya leukositosis menunjukkan kemungkinan perforasi usus atau supurasi. Pada penderita demam tifoid sering Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
14
dijumpai anemia normositik normokrom. Anemia normositik normokrom terjadi akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang. Pada 20% penderita demam tifoid terjadi perdarahan intestinal tersamar.14 b. Pemeriksaan sumsum tulang Dapat digunakan untuk menyokong diagnosis. Pemeriksaan ini tidak termasuk pemeriksaan rutin yang sederhana. Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis, dan trombopoesis berkurang.5 2. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa a. Pemeriksaan kultur Diagnosis pasti dengan Salmonella typhii dapat diisolasi dari darah, sumsum tulang, tinja, urin, dan cairan duodenum dengan cara dibiakkan dalam media ( kultur). Pengetahuan mengenai patogenesis penyakit sangat penting untuk menentukan waktu pengambilan spesimen yang optimal. Salmonella typhi dapat diisolasi dari darah atau sumsum tulang pada 2 minggu pertama demam. Pada 90% penderita demam tifoid, kultur darah positif pada minggu pertama demam dan pada saat penyakit kambuh. Setelah minggu pertama, frekuensi Salmonella typhi yang dapat diisolasi dari darah menurun. Pada akhir minggu ke 3 hanya dapat ditemukan pada 50% penderita, setelah minggu ke 3 pada kurang dari 30% penderita. Sensitifitas kultur darah menurun pada penderita yang mendapat pengobatan antibiotik. Kultur sumsum tulang lebih sensitif bila dibandingkan dengan kultur darah dan tetap positif walaupun setelah pemberian antibiotik dan tidak dipengaruhi waktu pengambilan.2 Salmonella typhi lebih mudah diisolasi dari tinja antara minggu ke-3 sampai minggu ke-5. Pada minggu pertama hanya 50% Salmonella typhi dapat diisolasi dari tinja. Frekuensi kultur tinja positif meningkat sampai minggu ke-4 atau minggu ke-5. Kultur tinja positif setelah bulan ke-4 menunjukkan karier Salmonella typhi. Pada penderita karier Salmonella typhi Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
15
dapat dijumpai 1011 organisme per gram tinja. Salmonella typhi dapat diisolasi dari urin setelah minggu ke-2 demam. Pada 25% penderita, kultur urin positif pada minggu ke 2-3. Kultur merupakan pemeriksaan baku emas, akan tetapi sensitifitasnya rendah, yaitu berkisar antara 40-60%. Hasil positif memastikan diagnosis demam tifoid sedangkan hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Hasil negatif palsu dapat dijumpai bila jumlah kuman atau spesimen sedikit, waktu pengambilan spesimen tidak tepat atau telah mendapat pengobatan dengan antibiotik.15 Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal ialah pemeriksaan yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis yang pasti. Kedua pemeriksaan perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. Pada biakan empedu, 80% pada minggu pertama dapat ditemukan kuman di dalam darah penderita. Selanjutnya sering ditemukan dalam urin dan feses dan akan tetap positif untuk waktu yang lama.5 b. Tes Widal Pada awalnya pemeriksaan serologis standar dan rutin untuk diagnosis demam tifoid adalah uji Widal yang telah digunakan sejak tahun 1896. Uji serologi Widal memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela ( H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid.14 Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat diagnosa dibutuhkan titer zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif pada pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer thd antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat tetap tinggi setalah mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Titer thd antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya menunjukan virulensi dari kuman.5 Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
16
Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama yaitu pada hari ke 6-8. Pada 50% penderita dijumpai peningkatan titer anti O pada akhir minggu pertama dan 90% penderita pada minggu ke-4. Titer anti O meningkat tajam, mencapai puncak antara minggu ke-3 dan ke-6. Kemudian menurun perlahan-lahan dan menghilang dalam waktu 6-12 bulan. Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12 dan akan menetap selama beberapa tahun. Kurva peningkatan antibodi bersilangan dengan kultur darah sebelum akhir minggu ke 2. Hal ini menunjukkan bahwa kultur darah positif lebih banyak dijumpai sebelum minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella typhi positif setelah minggu ke-2. Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat imunisasi, anti H menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab lain dapat menimbulkan reaksi anamnestik yang menyebabkan peningkatan titer anti H. Peningkatan titer anti O lebih bermakna, tetapi pada beberapa penderita hanya dijumpai peningkatan titer anti H. Pada individu sehat yang tinggal di daerah endemik dijumpai peningkatan titer antibodi akibat terpapar bakteri sehingga untuk menentukan peningkatan titer antibodi perlu diketahui titer antibodi pada saat individu sehat. Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif palsu dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena spesimen diambil terlalu dini atau antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukan antibodi seperti pada penderita gizi buruk, agamaglobulinemia, imunodefisiensi atau keganasan. Pengobatan antibiotik seperti kloramfenikol dan ampisilin, terutama bila diberikan dini, akan menyebabkan titer antibodi tetap rendah atau tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh antigen.15 Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Beberapa klinisi di Indonesia berpendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
17
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi ( karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab tidak spesifik, dapat positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya.14 Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena: semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki antigen O yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa antigen O nomor 12 dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang lebih dikenal sebagai paratyphi A dan paratyphi B). semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella typhi dan titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau imunisasi. Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada pasien tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya onset penyakit. Sehingga keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain uji Widal adalah antibodi tidak muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada kaitannya dengan gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar (15% lebih) tidak terjadi kenaikan titer O bermakna.16 Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya pengaruh terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang baik karena serotype Salmonella lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop Salmonella typhi bereaksi silang dengan enterobacteriaceae lain sehingga memicu hasil positif palsu.17 Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan konvalesen, untuk mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen dengan interval 7-10 hari, peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali menunjang diagnosis demam tifoid. Pada beberapa penderita tidak dijumpai Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
18
peningkatan titer antibodi karena spesimen diambil pada stadium lanjut, titer antibodi yang tinggi pada daerah endemik atau respon antibodi tidak baik sebagai akibat pemberian antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir ini tes Widal dilakukan satu kali pada fase akut. Penilaian hasil tes Widal pada satu spesimen sangat sulit.15 Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal sebagai alat penunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Hingga saat ini pemeriksaan serologik Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point) 16 Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh menderita tifus abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penderita.
Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan berikut: Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena infeksi basil coli patogen dlm usus. Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta. Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix). Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basisl perora; atau pada keadaan infeksi.5 Pemeriksaan Penunjang Lain Pemeriksaan antibodi Antibodi terhadap antigen O merupakan IgM yang mendominasi, muncul pada awal penyakit dan menghilang lebih dini. Antibodi terhadap H baik IgM maupun IgG muncul lebih lambat tetapi bertahan lebih lama. Biasanya antibodi O muncul pada hari ke 6-8 sedangkan antibodi H pada hari 10-12 dari onset penyakit.10
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
19
Mengingat tingkat sensitivitas dan spesifisitas tes Widal rendah maka pemeriksaan serologis untuk diagnosis dini demam tifoid mulai beralih dari tes Widal menuju pelacakan antibodi terhadap antigen Salmonella typhi yang lebih spesifik seperti: # Dot EIA ( Dot Enzyme Immunoabsorbent Assay ), pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi protein spesifik pada membran luar atau outer membrane protein (OMP) dimana OMP dengan berat 50 kDa ternyata sangat spesifik pada serum pasien tifoid. Sensitivitas Dot EIA mencapai 95-100% jauh lebih baik daripada sensitivitas Widal yang hanya 60%. Pemeriksaan Dot EIA tidak ada reaksi silang dengan salmonelosis non tifoid dibandingkan dengan Widal. Produk komersial pemeriksaan ini dikenal sebagai Typhidot.13 Salah satu modifikasi Typhidot dengan inaktivasi IgG dalam sampel serum untuk menyingkirkan kemungkinan ikatan kompetitif dan memungkinkan akses antigen terhadap IgM spesifik, dikenal sebagai Typhidot M.6 Dengan kata lain, Typhidot M hanya mendeteksi antibodi IgM spesifik sedangkan Typhidot mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap antigen 50 kD Salmonella typhi. Pemeriksaan Typhidot membutuhkan waktu 3 jam.18 # Polymerase Chain Reaction (PCR) Untuk amplifikasi DNA dari teknik hibridisasi asam nukleat. Pada sistem hibridisasi ini, sebuah molekul asam nukleat yang sudah diketahui spesifisitasnya (DNA probe) digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya urutan asam nukleat yang sepadan dari target DNA (kuman). Meskipun DNA probe memiliki spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah kuman dalam darah yang sangat rendah, misalnya 10-15 Salmonella typhi/ml darah dari pasien demam tifoid. Oleh sebab itu target DNA telah dapat diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi. Penggandaan target DNA dilakukan dengan teknik PCR menggunakan enzim DNA polimerase. Cara ini dapat melacak DNA Salmonella typhi sampai sekecil 1 pikogram namun usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan.16 # IgM Dipstick test Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
20
Pemeriksaan ini didasarkan pada ikatan antibodi IgM spesifik Salmonella typhi pada LPS antigen Salmonella typhi. Tes Tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif sederhana dan cepat. Hasil positif tes Tubex menunjukkan adanya infeksi Salmonella walaupun tidak dapat menunjukkan Salmonella grup D mana yang menjadi faktor kausatifnya. Infeksi Salmonella serotipe lainnya seperti Salmonella paratyphi A memberikan hasil yang negatif. Oleh sebab itu, tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu singkat.10,18 KOMPLIKASI Komplikasi typoid dapat terjadi pada : 1. Intestinal (usus halus) : Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu: a. Perdarahan (haemorrhage) usus. Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena. Pada anak lebih jarang. Dilaporkan di Surabaya terjadi pada hari ketujuh belas atau awal minggu ke-3. Insidennya berbeda-beda berkisar antara 0,8%-8,6% Diagnosis dapat ditegakkan dengan: Penurunan tekanan darah Denyut nadi bertambah cepat dan kecil Kulit pucat Penurunan suhu tubuh Mengeluh nyeri perut Sangat iritabel Darah tepi: sering diikuti peningkatan lekosit dalam waktu singkat b. Perforasi usus
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
21
Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan sering terjadi pada ileum terminalis. Lebih jarang dibandingkan pada orang dewasa. Angka kejadian antara 0,4-2,5%. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dalam rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara bebas (free air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto Rontgen abdomen yang dibuat dalam posisi tegak. c. Peritonitis Pada umumnya tanda/gejala peritonitis sering didapatkan, penderita nampak kesakitan di daerah perut yang mendadak, perut kembung, dinding abdomen tegang ( defense musculair ), nyeri tekan, tekanan darah menurun, suara bising usus melemah, pekak hati berkurang. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan lekosit dalam waktu singkat. 2. Ekstraintestinal Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteriemia): a. Liver, gallbladder, dan pancreas Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena terjadi hepatitis typhosa, kolesistitis, kholangitis atau hemolisis. Dapat juga terjadi pankreatitis. b. Kardiorespiratory Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yna signifikan pada daerah endemic. Hal tersebut terjadi pada pasien yang sangat parah sekali dan ditandai oleh takikardia, nadi dan bunyi jantung yang lemah, hypotensi, dan EKG yang abnomal. Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
22
Bronkitis ringan sering terjadi, broncopneumonia . c. Nervous system Berupa disorientasi, delirium, meningismus, meningitis (jarang), encephalomyelitis. d. Hematologi dan renal Terjadi DIC yang subclinical pada typhoid fever yang mana merupakan manifestasi sindrom uremia hemolitik, dan hemolisis. perinefritis.5,13 Bronkitis dan Bronkopneumonia Bronkitis terjadi pada akhir minggu pertama dari perjalanan penyakit, pada kasus yang berat bilamana disertai infeksi sekunder dapat terjadi bronkopneumoni. Angka kejadian bervariasi antara 2,5-7%. Kolesistitis Pada anak-anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhir minggu kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas. Bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier. Tifoid Ensefalopati Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa: kesadaran menurun, kejang-kejang, muntah, demam tinggi dan pemeriksaaan cairan otak masih dalam batas-batas normal. Angka kejadian yang dilaporkan berkisar 0,3-9.1%. Bila disertai kejang-kejang maka biasanya prognosa jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sisa sesuai dengan lokasi yang terkena. Meningitis Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Glomerulonefritis, pielonefritis, dan
23
Meningitis oleh karena Salmonella typhosa atau species salmonella yang lain lebih sering didapatkan pada neonatus maupun bayi dibandingkan pada anak, dengan gejala klinis sering tidak jelas sehingga diagnosis sering terhambat. Ternyata penyebabnya adalah Salmonella Havana dan Salmonella Oranenburg. Gejala Klinis: - Bayi tidak mau menetek - Kejang - Letargi - Sianosis - Panas - Diare - Kelainan neurologis seperti: opistotonus, fontanella cembung, refleks grasp menurun, reflex mengisap menurun. Komplikasi tifoid meningitis dapat berupa: Efusi subdural Ventrikulitis Miokarditis Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinisnya tidak khas. Insidensnya terutama pada anak-anak umur 7 tahun ke atas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Diagnosis klinis berdasarkan: (menurut Keith, dkk 1978) - Irama mendua - Takikardi yang menetap - Bunyi jantung melemah - Bising sistolik di apex - Pembesaran jantung Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain: sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombang T; AV blok tingkat 1, arithmia, supraventrikulertakikardi. Karier kronik Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 24 Hidrosefalus
Tifoid karier adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di dalam ekskretnya. Mengingat karier sangat penting dalam hal penularan yang tersembunyi, maka penemuan kasus sedini mungkin serta pengobatannya sangat penting dalam hal menurunkan angka kematian. Pada anak-anak jarang untuk menjadi karier dibandingkan dengan orang dewasa. Mengingat ekskresi Salmonella dapat terjadi intermitten maka paling sedikit diperlukan 3-6 kali biakan sebelum hasilnya dapat dikatakan negatif. Pengobatan karier merupakan masalah yang sulit, kadang-kadang dengan pemberian obat-obatan antimikroba gagal karena Salmonella typhosa bersarang dalam saluran empedu intrahepatik sehingga diperlukan pengobatan kombinasi antara operasi dan obat-obatan.2 TATALAKSANA Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada 3 bagian yaitu: perawatan diet obat Perawatan Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa lampau. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat perhatian.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
25
Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat bervariasi dan tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi selama penyakitnya berjalan. Diet Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita. Banyak penderita tidak senang diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa penyembuhan ini menjadi makin lama. Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas ternyata dapat diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang rendah/bebas selulose, menghindari makan iritatif sifatnya. Pada penderita dengan gangguan kesadaran maka pemasukan makanan harus lebih diperhatikan. Ternyata pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan seperti dapat menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit sedikit diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan.
Obat-obatan Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian menurun secara drastis(1-4%). Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain: - Kloramfenikol - Tiamfenikol - Co trimoxazol - Ampisilin
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
26
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
27
Kloramfenikol Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap kloramfenikol di berbagai daerah. Kloramfenikol tetap digunakan sebagai drug of choice pada kasus demam tifoid, karena sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder (1947) sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat, di samping harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Di lain pihak kekurangan kloramfenikol ialah reaksi hipersentifitas, efek toksik pada system hemopoetik (depresi sumsum tulang, anemia apastik), Grey Syndrome, kolaps serta tidak bermanfaat untuk pengobatan karier. Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis, dosis yang dianjurkan ialah 50-100 mg/kg.bb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari serta untuk neonatus sebaiknya dihindarkan, bila terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgbb/hari.2,3 Tiamfenikol Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan kimianya hampir sama hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian tiamfenikol demam turun setelah 5-6 hari, hanya komplikasi hematologi pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dilaporkan, sedangkan strain salmonella yang resisten terhadap tiamfenikol. Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/kg.bb/hari. Co Trimoxazole Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak pendapat yang kontroversial. Kelebihan co trimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik, kemungkinan timbulnya kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
28
Kelemahannya ialah terjadi skin rash (1-15%). Steven Johnson sindrome, agranulositosis, tromositopenia, megaboblastik anemia, hemolisis eritrosit terutama pada penderita defisiensi G6PD. Dosis oral: 30-40 mg/kg.bb/hari dari sulfametoxazole dan 6-8 mg/kg.bb/hari, oral, selama 10 hari untuk trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian. Ampisilin dan Amoksisilin Merupakan derivat penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama pada kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, tetapi pernah dilaporkan adanya Salmonella yang resisten terhadap ampisilin di Thailand. Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksisitas. Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3-18%), diare (11%). Amoksisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan ampisilin, tetapi penyerapan peroral lebih baik, sehingga kadar obat yang tecapai 2 kali lebih tinggi, timbulnya kekambuhan lebih sedikit (2%-5%) dan karier (0-5%). Dosis yang dianjurkan: Ampisilin 100-200 mg/kg.bb/hari, oral atau IV selama 10 hari Amoksisilin 100 mg/kg.bb/hari, Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal. Seftriakson Lebih aman dari Kloramfenikol. DOC jika terdapat resistensi terhadap kloramfenicol. Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik. Dosisnya 80 mg/kgbb/hari, IV atau IM, sekali sehari, 5 hari. Sefiksim Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
29
10mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari. # Kortikosteroid Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan perdarahan usus dan relaps. Tetapi pada kasus berat maka penggunaan kortikosteroid secara bermakna menurunkan angka kematian. Diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran. Dexametason 1-3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik.2,3 # Antipiretik Diberikan apabila demam > 39C, kecuali pada riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal. Lain-lain Transfusi darah Kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Bedah Konsultasi Bedah Anak apabila dijumpai komplikasi perforasi usus. Monitoring Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada hari 4-5 setelah pengobatan demam tidak reda, maka segera harus dievaluasi adakah komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi Salmonella typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis. Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.3
PENCEGAHAN Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
30
Higiene perorangan dan lingkungan Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan utama memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah feses, pemberantasan lalat, pengawasan terhadap kebersihan penjual makanan.2,3 Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi dalam air akan mati apabila dipanaskan setinggi 57C beberapa menit atau dengan proses iodinasi/ klorinasi. Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara atau suatu daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi.3 Imunisasi Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid. Beberapa vaksin telah ditemukan untuk mencegah demam tifoid, bentuknya berupa vaksin demam tifoid oral, dan vaksin polisakarida parenteral.1 Vaksin Demam Tifoid Oral Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus pembelahan dalam usus dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteral, respon imun pada vaksin ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum efektivitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral yang diinaktivasi dengan pemanasan, namun vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid oral dikenal dengan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
31
nama Ty-21a. Penyimpanannya pada suhu 2C-8C. Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau lebih. Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan setiap hari ke 1,3,5 satu jam sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37C. Kapsul ke 4 pada hari ke 7, diberikan terutama bagi turis. Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman dapat mati oleh asam lambung. Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau anti malaria yang aktif terhadap Salmonella. Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah pemberian terakhir dari vaksin tifoid ini. Imunisasi ulangan diberikan setiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus terekspos dengan infeksi Salmonella sebaiknya diberikan 3-4 kapsul setiap beberapa tahun. Daya proteksi vaksin ini hanya 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman. Vaksin Polisakarida Parenteral Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5ml mengandung kuman Salmonella typhi, polisakarida 0,025mg, fenol, dan larutan buffer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat, dan pelarut untuk suntikan. Penyimpanan pada suhu 2C-8C, jangan dibekukan. Vaksin ini akan kadaluarsa dalam jangka waktu 3 tahun. Pemberian secara intramuskuler atau subkutan pada daerah deltoid atau paha. Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3 tahun. Reaksi samping lokal dari vaksinasi ini berupa bengkak, nyeri, kemerahan di tempat suntikan. Reaksi sistemik yang dapat timbul yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut tapi jarang dijumpai. Sangat jarang terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit, dan urtikaria. Kontraindikasi pemberian vaksin ini adalah pasien yang alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin, saat demam, penyakit akut, penyakit
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
32
kronik progresif. Daya proteksi 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.15 PROGNOSIS Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan kemungkinan komplikasi dan waktu pemulihan.19 Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik dapat terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara, sedangkan 2% yang lain akan menjadi karier kronis.7 Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat datang berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti: Hiperpireksia atau febris kontinua Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium. Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia. Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).5
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
33
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-75. 2. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2008: h.46-62. 3. Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4. 4. NN. Mengenal demam typhoid. Available from : http://abughifari.blogspot.com/2008/11/mengenal-demam-typhoid.html (updated 2008 November 1st, cited : 2009 July 28th). 5. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta : Percetakan Infomedika, 2005: h.592-600. 6. NN. Demam typhoid. Available from : http://cetrione.blogspot.com/2008/11/demam-typhoid.html (updated 2008 November 13th, cited : 2009 July 28th). 7. NN. Demam tifoid (typhoid fever). Available from : http://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-typhoid-fever (updated 2008, cited : 2009 July 28th).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
35
8. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190. 9. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2003: h.37-43. 10. Hartoyo E, Yunanto A, Budiarti L. UJi sensitivitas salmonella typhi terhadap berbagai antibiotik di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin. Sari Pediatri. September 2006;8(2):118-121. 11. Concise Reviews of Pediatrics Infectious Diseases. Management of Typhoid Fever in Children. February 2002: p.157-159. 12. NN. Demam tifoid. Available from: http://www.medicastore.com (cited : 2009 August 5th). 13. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current pediatrics diagnosis & treatment., 18th ed. USA, 2007: p.279, 1184-5. 14. Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR, Satari HI. Pengobatan Cefixime pada Demam Tifoid Anak. Sari Pediatri. 2001;2(4):182-7. 15. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB. Pedoman imunisasi di Indonesia, ed 2. Jakarta : Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005: h.173-4. 16. Retnosari S, Tumbelaka AR. Pendekatan diagnostik serologik dan pelacak antigen salmonella typhi. Sari Pediatri. 2000;2(2):90-5.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
36
17. World Health Organization. Backgroud Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. Geneva: WHO, 2003. Available from: http://www.who.int/vaccines-documents/ (Updated 2003, cited : 2009 August 5th). 18. Zulkarnain I. Patogenesis demam tifoid. Jakarta : Pusat informasi & penerbitan bagian ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000: h.3-5. 19. Brusch JL, Garvey T. Penyakit tipus fever. Available from : http://www.medscape.com/files/public/blank.htm (updated 2008 December 3rd, cited : 2009 July 28th).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGO Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
37