Anda di halaman 1dari 38

TUGAS AKHIR KEJAHATAN TRANS-NASIONAL

Peran ASEAN dalam Mengatasi Terorisme di Kawasan Asia Tenggara

Disusun Oleh : Annisa Chantika Irawan 170210100035 annisa.chantika@yahoo.com No. Telp/HP: 085624202008

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJAJARAN JATINANGOR 2013

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya dan ridlo-Nyalah penulisan tugas akhir dengan judul Peran ASEAN dalam Mengatasi Terorisme di Kawasan Asia
Tenggara ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam tak lupa pula dilimpahkan pada

baginda Rasulullah Muhammad SAW karena atas jasanyalah kita dibawa dari dunia yang kelam ke dunia yang sekarang ini. Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan banyak rahmat-Nya pada kami, tetapi kami terkadang lupa untuk mensyukuri rahmat dan nikmat tersebut.

Banyak tantangan yang dihadapi dalam menyusun makalah ini. Akan tetapi, berkat dukungan dari berbagai pihak, akhirnya tugas ini terselesaikan. Mungkin tulisan ini masih jauh dari sebutan mahakarya dan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Mata Kuliah Kejahatan Trans-Nasional.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, besar harapan agar makalah ini dapat berguna. Oleh karena itu untuk semakin menyempurnakan makalah ini saya meminta saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sehingga di kemudian hari kami dapat membuat penulisan yang lebih baik dari ini. Sesungguhnya yang benar hanya dari Allah SWT semata dan yang salah dari kelemahan dan kekurangan kami. Wabillahi Taufiq Wal Hidayah Bandung, 29 Juli 2013

Penulis

DAFTAR ISI Cover Kata Pengantar Daftar Isi BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Identifikasi Masalah 1.3 Tujuan Penulisan 1.4 Metodelogi Penulisan 1.4.1 Jenis Penelitian 1.4.2 Sumber Data 1.4.3 Teknik Pengumpulan Data BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Hubungan Internasional 2.2 Organisasi Internasional 2.3 Kesatuan Regional 2.4 Komunitas Keamanan 2.5 ASEAN Community 2015 2.6 Terorisme 2.7 Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on Counter Terrorism) BAB III : PEMBAHASAN 4.1 ASEAN Security Community 4.1.1 Ancaman Keamanan dan Kerawanan Bersama 4.1.2 Kesalingtergantungan Ekonomi dan Fungsional yang ber-Spill Over dalam Menciptakan Hubungan Damai 4.2 Peran ASEAN dalam Mengatasi Terorisme di Asia Tenggara 4.2.1 Pentingnya Pemberantasan Terorisme di Asia Tenggara 4.2.2 Analisis Mengenasi ASEAN Convention on Counter Terrorism BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran Daftar Pustaka 1 2 3

4 5 5 5 5 6 6

7 9 10 10 13 13 15

17 18 19 25 25 29

34 36 38

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ASEAN, pada dekade 1990-an, berhasil menunjukkan beberapa prestasinya dalam bidang ekonomi, yaitu dalam mengatasi krisis ekonomi global pada tahun 1997-1998, dan dalam bidang konflik etnis terkait keanekaragaman budaya di kawasan Asia Tenggara, melalui manajemen konflik yang dikenal

sebagai ASEANWays (Jones & Smith, 2002:93-94). Beberapa perjanjian pun telah dilahirkan oleh ASEAN, seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan ASEAN Free Trade Association (AFTA) (Jones & Smith, 2002:95). Melalui keberhasilan ini, para pemimpin ASEAN menghendaki adanya suatu hubungan kerjasama yang lebih intens dan intim dan dirupakan dalam bentuk komunitas integrasi. Oleh karenanya, ASEAN Community kemudian disepakati oleh para pemimpin ASEAN melalui penandatanganan deklarasi Bali Concord II pada bulan Oktober 2003 (Cipto, 2007:80-81). Komunitas ASEAN terdiri dari tiga pilar yang dikembangkan dan diimplementasikan secara paralel dan seimbang, yakni ASEAN Security Community (ASC), ASEAN Economic Community (AEC) serta ASEAN Sosial-Budaya Masyarakat (ASCC)1. Secara khusus, makalah ini akan membahas mengenai peran dan juga usaha ASEAN dalam mengatasi terorisme di kawasan Asia Tenggara. Sepert ASC yang bertujuan untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas antarnegara, membangun sistem resolusi konflik multilateral, dan pemetaan kerangka kerja sama untuk menangani ancaman keamanan, baik konvensional maupun yang nonkonvensional2. ASC didasarkan pada norma bersama dan aturan perilaku yang
1 2

ASEAN Security Community Plan of Action. Dalam http://www.aseansec.org/16826.htm dikases Acharya, Amitav. (1998). Collective Security and Conflict Management in Southeast Asia. Dalam Emanuel Adler dan Michael Barnett, Security Community. Cambridge: Cambridge University Press.

baik dalam menjalin hubungan antar-negara serta pencegahan konflik secara efektif dan adanya mekanisme resolusi3. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, terdapat beberapa poin yang disimpulkan untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada, ada pun rinciannya sebagai berikut: 1. Bagaimana posisi ASEAN dalam mengatasi Terorisme di Asia Tenggara? 2. Apa yang dimaksud dengan Komunitas ASEAN dan Keamanan Regional? 3.Apa peran dan upaya yang dilakukan oleh ASEAN dalam mengatasi terorisme di kawasan Asia Tenggara? 1.3 Tujuan Penulisan Ada pun tujuan dari penulisan ini sebagai berikut: 1. Memenuhi tugas akhir semester antara mata kuliah KejahatanTransnasional. 2. Menambah khasanah ilmu khususnya bagi diri saya sendiri dan juga bagi orang lain. 3. Mencoba untuk menganalisis peran ASEAN dalam mengatasi terorisme di Asia Tenggara.

1.4 Metodelogi Penulisan 1.4.1 Jenis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode ini berupaya untuk menggambarkan atau membuat lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai faktafakta dan sifat-sifat serta fenomena-fenomena yang diteliti dan juga untuk meneliti kedudukan suatu fenomena serta melihat hubungan antara satu
3

Cipto, Bambang. (2007). Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

faktor dengan faktor lainnya. Dalam metode ini, data mula-mula disusun, dijelaskan, kemudian dianalisis. Dengan demikian, setelah dideskripsikan maka data tersebut akan dianalisis kemudian. Ukuran data kualitatif adalah logika dalam menerima atau menolak sesuatu yang dinyatakan berupa kalimat, yang dirumuskan setelah mempelajari sesuatu tersebut dengan cermat. Data kualitatif tidak mempunyai pembanding yang pasti karena itu kebenaran yang akan adalah dibuktikan bersifat relatif. Data dapat berupa pendapat, pandangan, konsepkonsep keterangan, tanggapan, dan lain-lain yang berhubungan dengan kehidupan manusia. (Nawawi dan Hadari, 1992: 209).

1.4.2 Sumber Data Sumber data dalam penelitian adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur-literatur yang mendukung.

1.4.3 Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan, yaitu melalui studi pustaka.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Hubungan Internasional Berbicara mengenai terorisme yang ada di kawasan Asia Tenggara, pastinya tak terlepas dari hubungan antar satu bangsa atau negara ke yang lainnya. akan tetapi, pandangan tentang pemikiran Hubungan Internasional sendiri berawal dari sebuah traktat atau Perdamaian Westphalia yang juga dikenal dengan

namaPerjanjian Munster dan Osnabruck pada tahun 1648, adalah serangkaian perjanjian yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun dan secara resmi mengakui Republik Belanda dan Konfederasi Swis ketika sistem negara modern mulai dikembangkan.4 Sebelumnya, organisasi-organisasi otoritas politik abad pertengahan Eropa didasarkan pada tatanan hirarkis yang tidak jelas. Dalam perdamaian Westphalia terbentuk konsep legal tentang kedaulatan, yang pada dasarnya berarti bahwa para penguasa, atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama. Otoritas Yunani dan Roma kuno kadang-kadang mirip dengan sistem Westphalia, tetapi keduanya tidak memiliki gagasan kedaulatan yang memadai. Sistem pemikiran Westphalia mendorong bangkitnya negara sampai bangsa, institusionalisasi terhadap diplomasi dan tentara. Sistem pemikiran ini kemudian diexpor ke Amerika, Afrika, dan Asia, lewat kolonialisme, dan standar-standar peradaban. dekolonisasi
4

Sistem selama

internasional Perang

kontemporer Namun,

akhirnya sistem

dibentuk ini agak

lewat terlalu

Dingin.

Global Search Teori-Teori Hubungan Internasional 2013 http://globalsearch1.blogspot.com/2013/06/teori-teori-hubungan-internasional.html

disederhanakan, sementara sistem negara-bangsa dianggap modern, banyak negara tidak masuk ke dalam sistem tersebut dan disebut sebagai pra-modern. Lebih lanjut, beberapa telah melampaui sistem negara-bangsa dan dapat dianggap pasca-modern. Kemampuan wacana HI untuk menjelaskan hubungan-hubungan di antara jenis-jenis negara yang berbeda ini diperselisihkan. Level-level analisis adalah cara untuk mengamati sistem internasional, yang mencakup level individual, negara-bangsa domestik sebagai suatu unit, level internasional yang terdiri atas persoalan-persoalan transnasional dan internasional level global. Bersamaan dengan perkembangan peradaban dan pemikiran manusia, teori tentang Hubungan Internasional berkembang berdasakan fase-fase yang kesemua itu bermula dari5: Current History: sebagai ladang penyelidikan intelektual yang sebagian besar dipengaruhi fenomena abad ke-20. Akar-akar sejarah disiplin ini terletak pada sejarah diplomatik yang merupakan salah satu pendekatan untuk memahami HI yang berfokus pada deskripsi kejadian-kejadian sejarah, bukan eksplanasi teori. Untuk kemudahan, aliran ini disebut pendekatanCurrent History terhadap studi HI. Idealisme Politik: Berawal setelah Perang Dunia I yang membuka pintu terhadap revolusi paradigma dalam studi HI. Sejumlah perspektif HI berusaha menarik perhatian para peminatnya pada periode ini. Meskipun demikian, aliran current history masih memiliki pengikutnya. Aliran ini semakin kuat setelah Perang Dunia II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme. Realisme Politik: perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung Perang Dunia I dan II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme.
5

Global Search Teori-Teori Hubungan Internasional 2013 http://globalsearch1.blogspot.com/2013/06/teori-teori-hubungan-internasional.html

The Behavior approach (pendekatan perilaku): aliran realism klasik menyiapkan secara serius pemikiran teoritis mengenai kondisi global dan empiris. Namun demikian ketidak-kuasaan karena kurangnya data, reaksi tandingan, kesuliran dalam peristilahan dan metode, mendapatkan momentum pada tahun 1960-an dan awal 1970-an. Disebabkan pendekatan perilaku terhadap studi Hubungan Internasional maka banyak mempengaruhi pendekatan terhadap teori dan logika serta metode penelitian. The Neoralist Structural Approach (pendekatan Neoralisme Struktural): pandangan ini membedakan antara eksplanasi peristiwa politik internasional di tingkat nasional seperti negara yang diketahui sebagai politik luar negeri dengan eksplanasi peristiwa di tingkat sistem internasional yang disebut sistem atau teori sistem. Institutionalisme Neoliberal: Seperti halnya neoliberal, institutionalis neoliberal menggunakan teori structural politik internasional. Mereka terutama

berkonsentrasi kepada sistem internasional, bukannya karakteristik unit atau sub unit di dalamnya, namun mereka member lebih banyak perhatian pada bagaimana cara lembaga internasional dan aktor non negara lainnya mempromosikan kerja sama internasional. Daripada halnya menggambarkan dunia di mana negaranegara di dalamnya enggan bekerja sama karena masing-masing merasa tidak aman dan terancam oleh yang lainya, Institusionalis Neoliberal membuktikan syarat-syarat kerja sama yang mungkin dihasilkan dari kepentingan yang tumpang tindih di antara entitas politik yang berdaulat. 2.2 Organisasi Internasional ASEAN merupakan salah satu oganisasi internasional yang ada dalam menjalankan usahanya mengatasi terorisme di kawasan Asia Tenggara. Menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1961, organisasi internasional: organisasi antar pemerintah pengertian sempit (karena membedakan antara organisasi

pemerintah/ inter-govermental organizations (IGOs) dan organisasi non pemerintah (NGOs). Organisasi internasional merupakan subjek buatan; subjek hukum yang diciptakan oleh negara-negara yang mendirikannya. Organisasi internasional melaksanakan kehendak negara-negara anggota yang dituangkan dalam suatu perjanjian internasional; sehingga sangat dekata dan tergantung kepada negaranegara anggotanya.6 Sehingga perannya dalam mengatasi terorisme di Asia Tenggara seharusnya lebih mudah karena anggotanya merupakan bagian dari organisasi internasional tersebut. 2.3 Kesatuan Regional ASEAN memiliki peluang yang sangat besar dalam mengatasi terorisme yang ada di Kawasan Asia Tenggara karena ASEAN merupakan kesatuan regional dari anggota anggota ASEAN yang berada di kawasan Asia Tenggara. Kesatuan regional ini dapat dijadikan sebagai kunci pokok dan utama dalam menjadi batu loncatan menuju pemberantasan terhadap terorisme yang ada di dalam kawasan tersebut. 2.4 Komunitas Keamanan Komunitas keamanan ASEAN pada dasarnya cenderung melihat ke arah internal, yakni diarahkan untuk pencegahan perang dan resolusi konflik dalam kelompok. ASEAN mengakui bahwa kondisi pemberontakan yang berkelanjutan di wilayah tersebut lebih berkaitan dengan kondisi internal sosial, ekonomi, dan politik (Acharya, 1998). Oleh karenanya, ancaman internal dinilai lebih mendesak. Solidaritas intra-ASEAN kemudian menjadi sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan lintasnegara, melalui komunikasi dan sharing antar intelijen, perjanjian ekstradisi bersama, patroli perbatasan bersama, dan operasi kontra-pemberontakan. Komite perbatasan bilateral dibentuk untuk menangani
6

Sri Wahyuni Organisasi Internasional 2013 http://ilmuhukumuinsuka.blogspot.com/2013/05/pengertian-hukum-organisasi.html

10

pemberontakan, sebagai channel langsung untuk menangani sengketa teritori. Pertumbuhan dari regionalisme dan pemecahan masalah kolektif membuktikan klaim konstruktivis, bahwa terlepas dari keadaan eksogen, negara bisa membentuk identitas kolektif dan kepentingan melalui integrasi yang memungkinkan untuk mengatasi dilema keamanan (Acharya, 1998). Dalam konteks ASEAN, eksistensi regional dibentuk untuk mengurangi penggunaan paksaan dalam hubungan antarnegara. Dari sini kemudian dimunculkan suatu identitas bersama yang dipahami sebagai sebuah proses dan kerangka kerja yang mengarah kepada hubungan kerjasama mutual dan menguntungkan. Ada empat faktor yang penting dalam kaitan pengembangan identitas bersama ini, yaitu praktik multilateralisme, pengembangan aturan dasar hubunga antarnegara, penciptaan dan penggunaan simbol, dan prinsip otonomi regional (Acharya, 1998:209-214). ASEAN kemudian mampu mencegah terjadinya perselisihan yang terjadi di luar kendali dengan menyelesaikannya melalui penahanan dan pengelolaan isu-isu yang diperdebatkan, walaupun masih terdapat beberapa konflik yang terjadi antaranggota ASEAN. Dalam hal ini, eksistensi ASC dibutuhkan, dengan ciri utama dalah kemampuan untuk mengatur segala konflik dalam regional secara damai. ASEAN talah bergerak menuju interdependensi intraregional dan integrasi yang lebih baik. ASC juga dapat berfungsi sebagai basis sebuah konsensus otoriter, yang diimplementasikan melalui proliferasi bilateral kerjasama keamanan, perencanaan militer, dan kepemilikan senjata. Komunitas keamanan ASEAN ini menghadapi tentangan dan pesimisme dari beberapa pihak, seperti kaum liberalis yang mengatakan bahwa komunitas kemanan memerlukan sebuah lingkungan demokrasi-liberal dengan

interdependensi ekonomi yang signifikan serta pluralisme politik. Ekonomi regional dan integrasi negara Dunia Ketiga pada kenyataannya belum cukup berkembang karena tujuannya yang belum jelas. Perspektif liberal menyatakan bahwa dosis tinggi dari politik otoritarian dan interdependensi ekonomi

11

intraregional yang relatif berada di level bawah menghalangi munculnya komunitas kemanan regional (Acharya, 1998:199). Kritikan lain adalah adanya label imitasi pada ASEAN. Permasalahan interpersonal yang tidak penting, kurangnya kohesi dan legitimasi, serta tekanan-tekanan lain yang terjadi terhadap hubungan antarnegara menjadi salah satu faktor yang menimbulkan tanda-tanda imitatif (Jones & Smith, 2002:105). ASEAN hanya berperan untuk mengelola dan mengurus konflik alih-alih menyelesaikannya. Peranan ASEAN menjadi kurang efektif terhadap permasalahan internalnya, dan pada akhirnya menjadi komunitas yang imitatif terhadap kelemahan-kelemahan kecil yang dimilikinya. Khoo juga mengkritik ASEAN, terkait tautological nature, yaitu pengulangan pernyataan dua kata yang berbeda namun memiliki kesamaan arti. Dalam hal ini, Acharya (1998:1) menjelaskan bahwa komunitas keamanan dapat didefinisikan sebagai sekelompok negara yang telah mengembangkan kebiasaan jangka panjang terkait interaksi yang damai. Khoo (2004:43) berargumen bahwa institusi dapat memperburuk ketegangan dengan mudah karena mereka dapat memfasilitasi kerjasama sebagai hasil pemikiran realisme. ASEAN dipahami sebagai institusi yang mengunci anggotanya dalam pola interaksi yang negatif, namun dengan kondisi anggota ASEAN enggan meninggalkan keanggotaannya karena akan meningkatkan kerentanan mereka terhadap kekuatan eksternal. Perkembangan komunitas keamanan ASEAN berupaya menjawab kritikan ini. Adler dan Barnett (dalam Acharya, 1998:202) mengidentifikasi komunitas keamanan ke dalam tiga fase, yaitu nascent (ditandai dengan persamaan persepsi ancaman, ekspektasi mutual terhadap perdagangan, dan pembagian derajat identitas), ascendant (ditandai pengurangan ketakutan dengan penguatan koordinasi kognitif, militer, proses

antaraktor,

pengadaan

transisi

intersubjektif, dan identitas kolektif terhadap peaceful change), dan mature (ditandai dengan eksistensi kekuatan institusionalisasi dan supranasionalisme, peningkatan derajat kepercayaan, dan minimalisasi konflik militer).

12

2.5 ASEAN Community 2015 Kerjasama internasional adalah elemen penting dalam pelaksanaan kebijakan dan politik luar negeri. Melalui kerjasama internasional, dapat memanfaatkan berbagai peluang untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Dalam hal ini kerjasama ASEAN memegang peran kunci dalam pelaksanaan kerjasama internasional, karena merupakan lingkaran konsentris terdekat di kawasan dan menjadi pilar utama pelaksanaan politik luar negeri suatu bangsa. Dalam kurun waktu 42 tahun sejak terbentuknya ASEAN, telah banyak capaiancapaian yang diraih dan sumbangsih yang diberikan ASEAN bagi negara-negara anggotanya. Salah satunya yang terpenting, adalah terciptanya perdamaian dan stabilitas di kawasan dan pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN juga terus mengalami peningkatan. Disamping itu, rasa saling percaya diantara negara-negara anggota ASEAN dan juga antara ASEAN dengan negara-negara Mitra Wicara ASEAN, terus tumbuh. ASEAN telah banyak mengalami perubahan dan perkembangan positif yang signifikan, dimana kerjasama ASEAN sekarang ini tengah menuju pada tahapan baru yang lebih integratif dan berwawasan kedepan melalui pembentukan dengan akan dibentuknya ASEAN Community pada tahun 2015. Yaitu sebuah komunitas yang berpandangan maju, hidup dalam lingkungan yang damai, stabil dan makmur, dipersatukan oleh hubungan kemitraan yang dinamis dan masyarakat yang saling peduli. Melalui ASEAN Community 2015 ini seharusnya upaya yang dilakukan oleh ASEAN dalam memerangi terorisme dapat menjadi lebih maksimal. 2.6 Terorisme Terorisme kian menjadi hal yang dianggap paling mengancam stabilitas keamanan global, hal ini didukung oleh terorganisirnya jaringan terorisme yang menyebar di seluruh negara bagian yang dipengaruhi oleh semakin berkembangnya globalisasi, teknologi, komunikasi, dan informasi. Selain itu,

13

persenjataan yang digunakan dalam tindak terorisme diduga mengalami kemajuan yang sangat pesat, dan WMD (Weapon Mass Destruction) diduga sebagai salah satu senjata yang tengah diupayakan dan dikembangkan oleh sejumlah pelaku terorisme untuk melancarkan aksi terorismenya. Hal itu pula yang pada akhirnya semakin memperkuat jaringan terorisme itu sendiri. Teroris termasuk ke dalam salah satu aktor non-negara karena perannya yang dapat mempengaruhi serta mengancam stabilitas keamanan global dan alur sistem internasional. Tindak terorisme tidak hanya mengancam aspek keamanan global, melainkan turut mengancam stabilitas pada aspek lain seperti politik, lingkungan, maupun ekonomi. Menurut Konvensi PBB tahun 1937, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Realis melihat bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para teroris tidak memiliki legitimasi untuk menggunakan senjata dalam mencapai tujuan mereka. Pandangan ini percaya bahwa hanya negara yang memiliki legitimasi untuk menggunakan senjata dalam mencapai tujuan dan kepentingannya. Critical theory melihat dan menglasifikasikan terorisme sebagai salah satu aksi kekerasan politik. Maksudnya aksi yang dilakukan oleh teroris memiliki tujuan-tujuan politis yang ingin dicapai. Pandangan ini melihat terorisme adalah aktor politis layaknya pemberontakan, revolusi, atau insurgensi dimana tujuan akhirnya adalah terjadinya perubahan politik yang sesuai dengan keinginan mereka. Bedannya, dibandingkan dengan ketiga jenis kelompok lainnya, terorisme adalah gerakan yang paling sedikit mendapatkan suppor dari masyarakat. Mereka memiliki kesulitan untuk mendapat dukungan masyarakat. Para teroris berharap aksi kekerasan yang mereka lakukan akan mendapat reaksi yang tidak sepadan dari negara dan berharap hal tersebut akan memberikan efek pada masyarakat untuk mengubah opini masyarakat dan untuk

14

mendapatkan

support

dari

masyarakat.

Menurut

hukum

internasional,

keberadaan pemberontak bisa diakui sebagai keberadaan yang setara dengan negara karena mampu mempengaruhi dan mengubah sistem yang ada dengan negara. Akan tetapi, terorisme tidak dapat digolongkan kedalam status pemberontak.

2.7 Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on Counter Terrorism) Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara

(ASEAN)--Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Rakyat Demokratik Lao, Malaysia, Uni Myanmar, Republik Filipina, Republik Singapura, Kerajaan Thailand, dan Republik Sosialis Viet Namselanjutnya disebut sebagai para Pihak; MENGINGAT Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip-prinsip hukum internasional yang relevan, konvensi-konvensi dan protokol-protokol

internasional yang relevan berkaitan dengan pemberantasan terorisme, serta resolusi-resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang relevan tentang langkahlangkah yang dimaksudkan untuk memberantas terorisme internasional, dan menegaskan kembali komitmen kami untuk melindungi hak asasi manusia, perlakuan adil, aturan hukum, dan proses hukum semestinya serta prinsipprinsip yang terkandung dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara yang dibuat di Bali pada tanggal 24 Februari 1976; MENEGASKAN KEMBALI bahwa terorisme tidak dapat dan tidak boleh dihubungkan dengan agama, kewarganegaraan, peradaban, atau kelompok etnis apa pun;

15

MENGINGAT juga Deklarasi ASEAN tentang Aksi Bersama Pemberantasan Terorisme dan Deklarasi tentang Terorisme yang masing-masing diterima pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada tahun 2001 dan 2002; MENEGASKAN KEMBALI komitmen kami pada Program Aksi Vientiane yang dibuat di Vientiane pada tanggal 29 November 2004, khususnya penekanannya dalam membentuk dan berbagi norman-norma,dan kebutuhan, antara lain, untuk membantu penandatanganan suatu Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik ASEAN, dan suatu Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme, dan pembentukan suatu Perjanjian Ekstradisi ASEAN, yang diamanatkan oleh Deklarasi ASEAN Concord tahun 1976; MEMPERHATIKAN DENGAN SAKSAMA ditimbulkan infrastruktur oleh dan terorisme lingkungan, terhadap atas bahaya serius yang tidak bersalah, dan

manusia-manusia dan stabilitas

perdamaian

kawasan

internasional, serta pembangunan ekonomi; MENYADARI pentingnya pengidentifikasian dan penyelesaian secara efektif akar permasalahan terorisme dalam perumusan setiap langkah pemberantasan terorisme; MENYATAKAN KEMBALI bahwa terorisme, dalam segala bentuk dan manifestasinya, yang dilakukan di mana pun, kapan pun, dan oleh siapa pun, merupakan suatu ancaman besar bagi perdamaian dan keamanan internasional dan tantangan langsung bagi pencapaian perdamaian, kemajuan, dan

kesejahteraan ASEAN, dan perwujudan Visi ASEAN 2020; MENEGASKAN KEMBALI komitmen kuat kami untuk meningkatkan kerja sama dalam pemberantasan terorisme yang mencakupi pencegahan dan penghentian segala bentuk tindakan teroris; MENYATAKAN KEMBALI perlunya meningkatkan kerja sama kawasan dalam pemberantasan terorisme dan mengambil langkah-langkah efektif dengan

16

mempererat kerja sama antar lembaga penegak hukum di ASEAN dan otoritas yang relevan dalam memberantas terorisme; MENDORONG para Pihak untuk menjadi pihak-pihak sesegera mungkin pada konvensi-konvensi dan protokol-protokol internasional yang relevan berkaitan dengan pemberantasan terorisme;

BAB III PEMBAHASAN

4.1 ASEAN Security Community ASEAN mempunyai potensi untuk menjadi komunitas keamanan di kawasan Asia Tenggara. Hal ini diakui oleh para akademisi dan para pengambil keputusan baik didalam maupun diluar kawasan. Salah satunya adalah kajian bahwa ASEAN dianggap sebagai sebuah komunitas keamanan yang pluralistik, dimana masing-masing anggotanya tetap mempertahankan

kedaulatannya (Acharya,1990). Pemahaman bahwa ASEAN menjadi komunitas keamanan lebih didasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada satupun anggotanya yang menggunakan kekuatan bersenjata atau anggapan perlunya digunakannya kekuatan militer dalam menyelesaikan konflik di kawasan (Simon, 1999 :122). Sedangkan Michael Leifer sepakat bahwa ASEAN memang sebuah komunitas keamanan karena kemampuannya untuk mencegah konflik intramural dari kemungkinan eskalasi konfrontasi bersenjata untuk menjadi komunitas politik (Leifer, 1995 : 129-132). Adalah kenyataan bahwa ketiadaan perang diantara negara-negara anggota ASEAN sejak organisasi tersebut didirikan tahun 1967 merupakan prestasi terbesar ASEAN dalam mengatur interaksi damai

17

didalam kawasan. Ada tiga kekuatan utama menurut Amitav Acharya yang menjadi prasyarat terbentuknya satu komunitas keamanan di kawasan, yaitu : 4.1.1 Ancaman Keamanan dan Kerawanan Bersama Ancaman keamanan bersama adalah sumber ketidakamanan yang berpotensi mengganggu secara nyata terhadap stabilitas negara-negara di kawasan. Secara umum ancaman konvensional/tradisional merupakan salah satu aspek keamanan yang sangat sensitif bagi negara-negara ASEAN, karena berkaitan langsung dengan masalah kedaulatan, integritas dan kelangsungan hidup suatu negara. Yang menjadi ancaman keamanan bersama negara-negara ASEAN secara konvensional hingga sekarang dan masih cukup relevan karena memiliki potensi konflik yang lebih terbuka antar Negara anggota ASEAN adalah permasalahan separatisme dan konflik perbatasan (Usman, 1996 : 159-164). Munculnya serangan terorisme di negara-negara ASEAN atau transnational crimes yang terorganisasi telah merubah persepsi ancaman bersama di kawasan Asia Tenggara menjadi tidak konvensional lagi (keamanan non konvensional). Penyelundupan manusia secara ilegal, pembajakan, penyelundupan narkotika, masalah lingkungan, pencucian uang, terorisme, kejahatan ekonomi menjadi ciri tindak kejahatan lintas batas yang terorganisir sebagai ancaman baru di kawasan (Dirjen Kerjasama ASEAN Deplu RI, 2005 : Bab IV). Ancaman keamanan yang bersumber dari adanya berbagai kerawanan domestik merupakan faktor dominan dan menjadi motivasi dari pembentukan ASEAN. Kerawanan bersama adalah celah/titik rawan yang telah terbuka sebagai akibat dari ancaman nyata. Keamanan non tradisional, yang bersifat komprehensif dan berorientasi pada manusia(human security) telah membuka celah kerawanan bersama dan sekaligus menjadi ancaman nyata yang hadir dengan pola-pola modifikasi dari sebelumnya dan telah memaksa (spin off) ASEAN untuk

18

menata kembali agenda kerjasama keamanannya. Hal paling penting di sini adalah adanya kesamaan persepsi dari para pemimpin politik ASEAN akan pentingnya comprehensive security untuk diadopsi ke dalam setiap bentuk kerjasama keamanannya, sebagaimana yang telah dihasilkan di Vientiane, Laos, 2004. 4.1.2 Kesalingtergantungan Ekonomi dan Fungsional yang ber-Spill Over Dalam Menciptakan Hubungan Damai Secara formal ASEAN adalah organisasi yang memfokuskan diri pada upaya kerjasama di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Akan tetapi Deklarasi Bangkok merupakan komitmen politik untuk bersatu dan bekerjasama dalam menciptakan perdamaian dan stabilitas regional agar negara-negara anggota dapat menikmati hidup merdeka tanpa campur tangan asing serta dapat berkonsentrasi dalam memenuhi kepentingan nasionalnya. Kerjasama dibidang ekonomi dinilai sebagai pendorong utama kerjasama antar negara karena bidang ini tidak sensitif dan tiap negara menginginkan pertumbuhan ekonomi yang pesat sebagai salah satu syarat penunjang pembangunan nasionalnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak ASEAN berdiri, praktis tidak pernah terjadi konflik terbuka di antara negara-negara yang bertetangga dengan ASEAN. Berbeda dengan situasi sebelum ASEAN terbentuk, berbagai ketegangan, konflik maupun konfrontasi; mewarnai kawasan ini. Dalam hal ini ASEAN telah berhasil menata hubungan bertetangga dengan baik di antara sesama anggotanya. Keberhasilan tersebut tentunya tidak berjalan dengan sendirinya, karena ada faktor yang mendorongnya, yaitu faktor kerjasama ekonomi dan fungsional yang ber-spill overdalam menciptakan hubungan damai. Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun 1967, negara-negara anggota telah meletakan kerjasama ekonomi sebagai

19

salah satu agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerjasama ekonomi difokuskan pada program-program pemberian

preferensi perdagangan (preferential trade), usaha patungan (joint venture), dan skema saling melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah engara-negara anggota maupun pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti ASEAN Industrial Projects Plan (1967), Preferential Trading Arrangement (1977), ASEAN Industrial Complementation scheme (1981), ASEAN Industrial Joint-Ventures scheme (1983), dan Enhanced Preferential Trading Arrangement (1987). Pada dekade 80-an dan 90an ketika negaranegara di berbagai belahan dunia mulai melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi kawasan. Pada KTT Ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 telah ditandatangani Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic cooperation menandai dicanangkannya ASEAN Free trade area (AFTA) dan pada tanggal 1 Januari 1993 memberlakukan Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utamanya. Pendirian AFTA memberiksn implikasi dalam bentuk pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, dan perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan fasilitasi perdagangan. Dalam perkembangannya, AFTA tidak hanya difokuskan pada liberalisasi perdagangan barang, tetapi juga perdagangan dan investasi. Ada anggapan bahwa dampak AFTA terhadap perdagangan intra ASEAN sangat minimal, sebab selama 15 tahun terakhir perdagangan intra ASEAN tetap saja berkisar antara 20-25 persen dari seluruh perdagangan ASEAN. Tetapi penilaian seperti ini kurang tepat. Yang lebih penting untuk diamati adalah tingkat pertumbuhan perdagangan ASEAN secara keseluruhan yang mencapai 20-30 persen pertahun. Kawasan

20

ASEAN merupakan kawasan ekonomi yang terbuka bagi dunia dan mengandalkan pertumbuhannya pada pasar global dan bukan pasar regional. AFTA memang tidak dimaksudkan untuk menciptakan pasar regional bagi negara-negara ASEAN sendiri, tetapi untuk membuat kawasan ASEAN menjadi yang menarik bagi produksi dunia (open regionalism).Disamping AFTA, pada tahun 1995 ASEAN juga telah menyepakati ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) untuk membuka pasar jasa-jasa di kawasan ASEAN. Pada tahun 1996 ASEAN mengembangkan skema kerjasama baru dibidang industri yaitu ASEAN Industrial Cooperation (AICO), dimana insentif yang diberikan sebatas pada pemberian preferensi tarif yang semakin berkurang, artinya karena menurunnya tarif MFN. Selanjutnya pada tahun 1998 ASEAN

menandatangani kesepakatan baru, yaitu Framework Agreement on ASEAN Investment Area (AIA), yang dimaksudkan untuk membuat ASEAN menjadi suatu kawasan investasi yang kompetitif, terbuka dan liberal melalui suatu persetujuan yang mengikat(Soesastro, 2007 : 316317). KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 menyepakati pembentukan komunitas ASEAN yang salah satu pilarnya adalah Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC). AEC bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan perpindahan barang modal secara lebih bebas. (ASEAN Selayang pandang: 2007: 42).Kesepakatan ini dapat dilihat sebagai perombakan baru dalam perjalanan kerjasama dan integrasi ekonomi ASEAN. Ia bukan sekedar lanjutan logis (Logical extension) dari AFTA, AFAS dan AIA, tetapi dengan jelas mengarah kepada pembentukan pasar tunggal (Single Market) ASEAN. Dalam rumusan yang disepakati para pemimpin ASEAN, tujuan dari AEC adalah untuk menciptakan a single market and production base. Ini dapat diartikan sebagai integrasi penuh, kecuali di bidang keuangan dan moneter.

21

Kerjasama ekonomi yang ber-spilover kepada penciptaan hubungan damai (economic road towards peace and stability) diawali dengan ditandatanganinya deklarasi ZOPFAN hingga munculnya dua dokumen monumental yang menjadi tonggak dalam kerjasama keamanan (security road towards peace and stability) pada KTT I di Bali 1976, dokumen tersebut antara lain adalah ASEAN Concord 1 dan TAC (Treaty of Amity and Cooperation) sebagai code of conduct. Pada kenyataannya kerjasama dalam bidang keamanan diantara negara-negara anggota ASEAN merupakan perpaduan antara kebijakan keamanan nasional masing-masing negara anggota dalam satu pengaturan tatanan regional yang pada akhirnya membentuk ketahanan regional (regional resilience). Komponen internal dalam doktrin ketahanan regional pada prinsipnya merupakan upaya membina rasa saling pengertian dan kepercayaan dalam kehidupan antar negara (confidence building measures). Komponen eksternal yang membentuk doktrin ketahanan regional adalah perwujudan dari semangat kemandirian ASEAN dari campur tangan negara-negara luar kawasan. Secara substansial doktrin ketahanan regional (regional resilience), pada umumnya menganggap campur tangan pihak luar dalam urusan internal kawasan sebagai faktor penyebab instabilitas (Anggoro, 1996 : 133-134). Dibawah ini terdapat uraian dari bentuk-bentuk kerjasama ekonomi dan fungsional yang pada perkembangannya ber-spill over dalam

kerjasama dalam menciptakan hubungan damai : a) Deklarasi Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN) Deklarasi ZOPFAN 1971 di Kuala Lumpur merupakan komitmen politik dan kerjasama politik dan keamanan ASEAN untuk pertama kalinya dalam sejarah ASEAN, meskipun ASEAN di design untuk wadah kerjasama ekonomi, sosial dan budaya saja. Deklarasi ZOPFAN terdiri dari dua bagian pokok, pendahuluan dan dua paragraf pokok. Pada paragraf pertama

22

menyatakan bahwa negara-negara ASEAN bertekad menjamin pengakuan dan penghormatan atas suatu Asia Tenggara sebagai kawasan yang damai, bebas dan netral terlepas dari campur tangan kekuatan luar. Paragraf ke-2 menyatakan keinginan negara-negara Asia Tenggara memperluas bidang kerjasama untuk memupuk kekuatan, solidaritas dan hubungan yang lebih erat dengan sesama negara kawasan. Dengan demikian ZOPFAN merupakan strategi besar untuk membina ketahanan regional dan untuk membebaskan diri dari campur tangan pihak luar, baik dengan menggalang kekuatan intra kawasan maupun mengatur keterlibatan negara-negara luar kawasan di Asia Tenggara. Konsep ZOPFAN sebenarnya merupakan kompromi dari berbagai pendapat negara anggota ASEAN khususnya Indonesia dan Malaysia. Prakarsa netralitas ASEAN oleh Malaysia dilatar belakangi dengan pertimbangan politik domestik kerusuhan berdarah di Malaysia tahun 1969. Konflik rasial ini dikhawatirkan akan mengundang perhatian China karena banyaknya warga Malaysia keturunan Cina. Malaysia berharap agar prinsip netralitas tersebut bisa menghalangi Cina melakukan campur tangan terhadap urusan dalam negeri Malaysia. Sementara Indonesia menerjemahkan ZOPFAN sebagai netralitas ASEAN dari kerjasama militer dengan negara-negara barat. Adalah ironis kerjasama militer antara Malaysia, Singapura, Inggris, Australia, dan Selandia Baru yang tergabung dalam Five Powers Defence Arrangement (FPDA), ditandatangani pada tahun yang sama dengan lahirnya konsep ZOPFAN pada tahun 1971 (Anwar, 1993 : 324). Di dalam deklarasi ZOPFAN terdapat berbagai langkah prosedural dan strategis untuk memenuhi tuntutan tersebut yang secara keseluruhan bukan hanya memusatkan perhatiannya pada perlucutan senjata atau pencegahan profilerasi nuklir melainkan meliputi juga kerjasama politik, ekonomi dan fungsional lainnya. ZOPFAN bisa mengurangi kebutuhan akan intervensi militer langsung negara-negara besar, dan yang lebih penting lagi,

23

menghindarkan negara-negara kecil mengundang atau mempropokasi keterlibatan negara-negara besar dalam masalah-masalah bilateralnya

b) ASEAN Concord I Perubahan situasi politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara yang ditandai dengan penarikan tentara AS dari Vietnam Selatan mulai 1973 dan kemenangan Vietnam Utara atas Vietnam Selatan pada tahun 1975 telah mengubah konfigurasi politik dan keamanan di Asia Tenggara. Peristiwa ini mendorong para pemimpin ASEAN untuk menilai kembali situasi Asia Tenggara dan mempertegas maksud dan tujuan pembentukan ASEAN. Para pemimpin ASEAN sepakat untuk mengadakan KTT I di Bali, 23-25 Febuari 1976 untuk membahas perubahan tersebut dan merumuskan langkah dan sikap strategis ASEAN. Pertemuan tersebut menjadi momen penting dalam evolusi kerjasama keamanan ASEAN. KTT I yang berlangsung di Bali dikemudian hari lebih dikenal sebagai Bali Concord I melahirkan dua dokumen, yaitu; Deklarasi Kesepakatan ASEAN (Declaration of ASEAN Concord) dan Perjanjian Persahabatan (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia). Kedua dokumen tersebut mencerminkan penegasan kembali komitmen negara-negara ASEAN terhadap; Deklarasi Bandung, Deklarasi Bangkok, Deklarasi ZOPFAN, dan Piagam PBB, serta menegaskan tekad negaranegara ASEAN untuk meningkatkan perdamaian, kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan negara-negara ASEAN, melalui upaya stabilitasi politik kawasan Asia Tenggara

24

4.2 Peran ASEAN dalam Mengatasi Terorisme di Asia Tenggara 4.2.1 Pentingnya Pemberantasan Terorisme di Asia Tenggara Di Eropa, berbagai perbedaan masa lalu yang menjadi sumber konflik semakin teratasi dan melenyap. Sebaliknya, di Asia Tenggara, masalahmasalah warisan kolonialisme bermunculan dan berdampak pada stabilitas dalam negara dan antar negara, seperti di Timor-Timur (Indonesia), di Mindano (Filipina), dan Pathani (Thailand). Warisan kolonialisme yang belum selesai juga telah mengakibatkan sulitnya penyelesaian masalah perbatasan antar negara anggota ASEAN. Antara Indonesia-Malaysia, misalnya, setelah selesai masalah Sipadan-Ligitan, masalah baru muncul dan berpotensi dan menganggu hubungan bilateral, misalnya, soal kepemilikan pulau Ambalat. Ini belum termasuk persoalan dari garis perbatasan darat di sepanjang Pulau Kalimantan. Demikian pula, Indonesia menghadapi masalah perbatasan dengan Singapura dalam soal garis perbatasan laut di sekitar Riau, dan dengan Filipina dalam status pulaupulau di Utara Sulawesi, yang secara sepihak telah di klaim dalam konstitusi Filipina sebagai miliknya. Kolonialisme selain meninggalkan konflik domestik, yaitu konflik etnik dan agama dalam negara anggota ASEAN, juga sangat rawan menimbulkan sengketa antar negara, yaitu sengketa perbatasan. Kasus ambalat sempat berkembang ke arah yang

mengkhawatirkan. Hal ini terjadi karena negara-negara ASEAN yang terlibat dalam konflik selama ini selalu berusaha menyimpan masalah yang ada dan tidak berupaya menyelesaikannya secara tuntas di dalam forum ASEAN (Acharya, 2001 : 6). Ini bisa terjadi akibat masih lemahnya mekanisme resolusi konflik dalam ASEAN, sehingga selalu saja penyelesaian konflik perbatasan antar negara anggotannya diserahkan pada mediasi pihak asing, yang hasilnya belum tentu memuaskan semua pihak yang bersengketa. Belum lagi ditambah kasus Myanmar dan penahanan Aung San Suu Kyi, yang telah menghasilkan respon yang berbeda dari

25

anggota ASEAN. Respon yang bersikap keras dari Malaysia, Filipina, dan Singapura sempat mengarah pada wacana pemberian sanksi pada Myanmar, sekalipun mekanisme semacam itu belum pernah di atur. Dimasa depan, perlu dipikirkanpemberian sanksi kepada negara-negara anggota ASEAN yang dianggap tidak mematuhi perjanjian yang telah disepakati. ASEAN bisa dinilai sebagai sebuah organisasi yang mendukung sebuah rezim yang tidak menghormati HAM dan Demokrasi, karena tujuan ASEAN lebih banyak ditentukan oleh keinginan untuk menjamin kelangsungan hidup rezim non-demokratis. Hal ini diperparah ketika ASEAN justru menerima Myanmar menjadi anggota pada tahun 1997. Sebaliknya, jika ada kewajiban dan sanksi dan demokratisasi menjadi keharusan bagi setiap negara anggota, maka setiap anggota yang tidak menjalankan dapat dikenakan sanksi, mulai dari yang ringan yang berat. Sanksi itu bisa berupa pengucilan atau harus menarik diridari keanggotaan (Sukma, 2006 : 53). Prinsip non-interfence dan state soverignty adalah sumber dari persoalan tersebut diatas. Diakui bahwa prinsip non intervensi dan integritas kedaulatan nasional terhadap urusan domestik negara-negara anggota ASEAN merupakan prinsip yang paling kontroversial dalam tubuh ASEAN, dan oleh karenanya menjadikan perkembangan ASEAN sebagai organisasi regional menjadi agak terhambat. Seharusnya apabila terdapat isu-isu yang mempengaruhi hubungan bilateral, regional dan ekstra regional, maka prinsip non-interfence dapat diabaikan, walaupun prinsip tersebut telah melekat dalam tubuh ASEAN sejak awal pembentukannya(Pitsuwan, 2006 : 11). Masalah state sovereignty (kedaulatan nasional) yang

menghambat perkembangan ASEAN, tidak hanya terkait dengan persoalan batas wilayah, tetapi juga masih beratnya negara anggota untuk dapat menerima pemberlakuan atas azas supranasional dalam pengambilan keputusan di ASEAN. Berbeda dengan Uni Eropa, didalam ASEAN perbedaan-perbedaan identitas nasional semakin menguat dan menyulitkan

26

proses integrasi. Padahal, untuk dapat terciptanya ASC, setiap negara anggota harus bersedia menanggalkan sebagian kedaulatan nasional dan menukarkannya dengan kedaulatan bersama atau supranasional. Dengan demikian, akan mudah bagi ASEAN untuk mengambil keputusan kolektif secara efektif. Tidak seperti selama ini, setiap keputusan dalam resolusi yang dihasilkan diserahkan atau tergantung kepada masing-masing anggotanya untuk menjalankannya, tanpa kewajiban untuk menaatinya dan sanksi yang diberikan, jika terjadi pelanggaran. ASEAN sering terperangkap di antara retorika dan realita. Selama lebih dari 40 tahun usia ASEAN, organisasi ini sudah banyak berbicara tentang kerjasama, tetapi ketika betulbetul di butuhkan malah tidak terjadi. Dibalik semua sopan santun tentang solidaritas dan kerjasama, semua persoalan yang dapat menegangkan daya santai kelompok regional ini dan prinsip tidak saling mencampuri urusan dalam negeri jelas harus dikaji ulang. Norma dan prinsip ASEAN yang masih berlaku, yaitu memendam konflik dengan senyum di padang golf sementara suasana di sekitarnya diselimuti oleh masalah kawasan lintas batas yang tak kunjung padam karena mekanismenya tidak efektif dan efisien. Apa yang disebut sebagai satu Asia Tenggara (One Southeast Asia)tetaplah merupakan kumpulan dari banyak pusat

pengambilan keputusan dengan mekanismenya masing-masing. Minimnya kepedulian rakyat ASEAN akan organisasi ASEAN jelas merupakan kelemahan lain dari ASEAN yang dapat menghambat akselerasinya dalam menuju integrasi komunitas ASEAN 2015. Dibenak mereka ASEAN hanya berupa akronim organisasi di wilayah Asia Tenggara. ASEAN bukanlah identitas mereka. Konsep We Feeling yang bermakna dalam bagi pemimpin ASEAN ternyata bukanlah apa-apa bagi mereka. Amitav Acharya yang seorang konstruktivist dan banyak diilhami oleh pemikiran Karl Dutsch menyatakan bahwa membentuk suatu komunitas dalam bidang apapun, maka We Feeling itu harus sudah ada. Tetapi jika kita lihat pada komunitas yang ada di ASEAN, bahwa We Feeling itu tidak ada sama sekali, apalagi

27

jika disangkut pautkan dengan budaya dari masing-masing negara. We Feelingitu hanya akan ada ketika memang terjadi ancaman yang dianggap hal berbahaya secara bersama-sama. Identitas sebagai satu ASEAN saja tidak dimiliki oleh masyarakat setiap negara anggota, karena didalam internal negara-negara itu sendiri masih terjadi konflik antar ras, budaya suku. Bagaimana mungkin mengakui bahwa kita sebagai suatu identitas regional bersama, jika didalam negeri saja identitas nasional masih menjadi masalah. Tradisi ASEAN yang telah berhasil melayani para anggotanya selama lebih dari 40 tahun dalam mengambil keputusan bersama yang berdasarkanmusyawarah untuk mencapai mufakat mungkin akan

menghadapi tantangan besar dimasa depan. Pemerintah negara anggota ASEAN makin lama akan makin sering mendengarkan keluhan dan tuntutan dari rakyat negaranya sendiri dan rakyat negara anggota lainnya. Jika ada mekanisme untuk menyalurkan keluhan dan tuntutan tersebut maka slogan satu Asia Tenggara akan benar-benar memiliki makna. Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa masalah besar yang dihadapi ASEAN selama ini adalah lemahnya implementasi dari berbagai prakarsa dan program yang telah disepakati bersama, baik di tingkat para pemimpin ASEAN maupun di tingkat pertemuan menteri-menteri ASEAN. Negara-negara ASEAN memang pandai didalam merumuskan program-program kerjasama, mengadakan seminar, konferensi, workshop, lokakarya, atau meeting (rapat), tetapi senantiasa lemah dalam pelaksanaannya. Hal ini diakui dalam laporan eminent persons groups (EPG) on the ASEAN Charter (Desember 2006) dan menjadi landasan bagi usulan untuk memperkuat kelembagaan ASEAN, termasuk peran dari sekretaris Jenderal ASEAN. Selain memperkuat peran Sekretariat ASEAN, kegiatan pemantauan (Monitoring) diusulkan untuk melibatkan pihak-pihak non pemerintah agar dapat dibuat penilaian yang obyektif dan dapat dikembangkan mekanisme yang dapat mendorong proses pelaksanaan kesepakatan oleh masing-masing negara ASEAN (Soesastro, 2007 : 321). Disini pemimpin negara-negara ASEAN

28

harus segera mengesampingkan basa basi khas ASEAN dan muncul dengan langkah-langkah nyata untuk mengatasi masalah yang melintasi garis batas kedaulatan negara. 4.2.2 Analisis Mengenasi ASEAN Convention on Counter Terrorism Sungguhpun ada prospek bagi ASEAN didalam mewujudkan Security Community, namun berbagai kendala tentu saja jelas ada. Secara mendasar sejak awal pembentukan ASEAN jauh berbeda dengan Uni Eropa dalam tingkat heterogenitasyang dihadapi. 10 negara Asia Tenggara mempunyai berbagai keragaman baik dibidang budaya, ras, agama dan dipengaruhi oleh aneka kekuatan serta berbeda tingkat pertumbuhan ekonomi, dan beragam pandangan politik dan ideologi. Apalagi rakyat Asia Tenggara belum terbiasa menjadi satu. Sejarah Asia Tenggara hampir selalu terpecah-pecah dan diperburuk oleh kepentingan asing di kawasan. Penduduk ASEAN sangat majemuk, baik dari segi etnis, bahasa, maupun agama. Dalam sebuah negara Indonesia, misalnya, terdapat begitu banyak kelompok etnis dan sub-etnisnya, yang juga hidup dengan bahasa lokal dan kebudayaannya masing-masing. Berbeda dengan kondisi di Uni Eropa, yang dalam setiap negara paling tidak terdapat satu atau tidak lebih dari empat kelompok etnis asli sehingga juga tidak terdapat banyak bahasa yang digunakan penduduknya dalam sebuah negara atau pun antar negara. Dengan begitu, pembentukan negara bangsa Nation State anggota Uni Eropa tidak sesulit pembentukan negara bangsa di negara anggota ASEAN, mengingat tidak sulit untuk mencari bahasa komunikasi (Lingua franca) yang bisa digunakan dalam kegiatan organisasi regional mereka. Anggota Uni Eropa bisa dipersatukan oleh bahasa Inggris dan Latin karena mandala Eropa pernah dikuasai Romawi. Sementara, ASEAN belum bisa menerima kehadiran Bahasa Melayu sebagai Lingua franca, sebab pengaruh bahasa ini tidak mencakup seluruh wilayah Asia Tenggara. Bahasa resmi yang dipakai dalam pertemuan-pertemuan ASEAN adalah bahasa Inggris,

29

sedangkan Kamboja dan Laos, misalnya, hampir tidak mampu berbahasa Inggris. Bahasa asing yang mereka kuasai adalah Perancis. Disamping itu, penyebaran agama yang homogen yang terjadi di Eropa juga tidak dialami di Asia Tenggara. Secara realistis, agama Kristen telah mempertemukan anggota Uni Eropa dalam bahasa dan budaya, sedangkan di ASEAN di luar agama Hindu dan Budha yang telah lebih dulu ada, masih ada agama Kristen dan Islam. Bisa dikatakan ASEAN adalah satu-satunya organisasi regional yang bersifat

Multisivilisasional (Huntington, 1996 : 230-232). Heterogenitas yang tinggi tidak hanya berimplikasi pada susahnya menyatukan anggota ASEAN, namun juga lemahnya masing-masing negara anggota dalam menyelesaikan agenda domestiknya. Tidak mungkin suatu negara dapat menyepakati sebuah keputusan internasional, jika semua unsur dalam negerinya belum memiliki persamaan persepsi dan kepentingan.

Heterogenitas kultur juga berdampak pada sulitnya membuat keputusan yang efektif dan mengikat dalam setiap aktivitas ASEAN dimasa lalu. Kultur Hinduisme, Budhisme, dan Islam yang mengakar kuat di kawasan Asia Tenggara memiliki pengaruh atas disepakatinya musyawarah mufakat dan konsensus sebagai ASEAN way dalam setiap penyelesaian masalah di kawasan. Hal ini membuat absennya akuntabilitas dan sanksi terhadap negara anggota, yang dikemudian hari ternyata tidak mematuhi keputusan yang telah dihasilkan secara mengikat. Situasi yang berbeda tanpa di Uni Eropa, yang selalu jelas keputusannya, dan mengikat, karena selalu dilakukan lewat cara pemungutan suara (voting). Di masa depan pengambilan keputusan dengan mekanisme pemungutan

suara (voting) harus diintroduksi dalam berbagai kegiatan atau pertemuan ASEAN (Sukma, 2006 : 53). Bila sebuah keputusan yang penting didasarkan pada mekanisme voting, apalagi dalam situasi darurat (Emergency), hal ini jelas lebih menciptakan good organization

30

governance, terutama untuk menumbuhkan akuntabilitas anggotanya. Disini, negara-negara anggota ASEAN harus memiliki semangat penghargaan atas HAM dan keniscayaan pada demokrasi. Mereka tidak boleh ragu, apalagi menilai bahwa demokrasi adalah sumber masalah baru, yang akan diciptakan disintegrasi dan instabilitas di tingkat domestik dan kawasan. Mereka justru harus berpandangan sebaliknya, bahwa sikap anti demokrasi merupakan kendala bagi terwujudnya ASEAN Security Community (ASC). Menurut Amitav Acharya, di Eropa budaya politik demokrasi terkait erat dengan munculnya kecenderungan akan

interdependensi ekonomi yang membantu negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa untuk menciptakan masyarakat yang berkeamanan. Sebaliknya ASEAN tidak mempunyai latar belakang kondisi budaya politik seperti itu. (Acharya, 2001 : 195). Bahkan pada kenyataannya, banyak kalangan menilai sebagian besar negara-negara anggota ASEAN tidak demokratis sama sekali, karena mereka rata-rata mempunyai catatan buruk dibidang HAM akibat masih kuatnya prinsip non interference dianut negara anggotanya (Hofmann, 2006 : 58). Jelas bahwa yang dikatakan sebagai sebuahSecurity Community adalah ketika didalam komunitas keamanan tersebut mampu memberikan ruang yang lebih besar bagi nilainilai demokrasi. Jika ASEAN ingin tetap konsisten dengan komitmennya mencapai komunitas keamanan pada 2015, maka pemerintah dari masingmasing negara anggota jelas harus menghapuskan bentuk suksesi kepemimpinan regional secara inkonstitusional seperti kudeta oleh junta militer dengan menggulingkan kekuasaan legal seorang presiden atau Perdana Menteri dengan cara-cara yang dapat menimbulkan aksi kekerasan dan instabilitas nasional, seperti di Thailand. Komunitas Keamanan ASEAN nantinya juga telah harus menghilangkan pergantian

kepemimpinan dengan cara-cara tidak demokratis. Melihat rencana aksi komunitas keamanan ASEAN, jelas struktur politik kawasan ASEAN diarahkan untuk semakin maju, terbuka, dan demokratis. Langkah

31

pembangunan politik melintasi isu-isu sensitif yang menyangkut demokrasi layaknya di negara maju, penyelenggaraan pemilu yang bebas,

pemberantasan korupsi, pemeirntah yang bersih, penegakan dan supermasi hukum, promosi pengembangan HAM hendaknya tidak menjadi retorika politik. Bangunan ASEAN adalah rumah besar yang menggelindingkan ASEAN shared-common value baru, yang menjunjung tinggi bahasa global dunia, demokrasi di bawah pemeirntah yang baik. Elemen kemanusiaan sudah pasti harus mendapat porsi yang lebih besar didalam konsep komunitas keamanan ASEAN, dengan lebih menciptakan situasi kondusif dalam hal kebebasan berpartisipasi dan menegakkan hak-hak asasi manusia agar masyarakat ASEAN bisa melindungi dirinya sendiri. Memang termasuk tanggung jawab pemerintah memberi perlindungan pada rakyatnya tetapi perangkat terbaik dalam human security itu adalah masyarakat itu sendiri. Itu memang tidak akan tercapai tanpa kebebasan politik, partisipasi, dan pemenuhan hak individu. Semua harus

bersifat bottom up, bukan top down. Referensi model keamanan yang berkisar pada prinsip non interfence yang mendasari ASEAN Way dewasa ini ditantang oleh suatu model keamanan yang sangat luas (comprehensive security) dan bersifat non konvensional, yaitu model keamanan

manusia (human security) dan upaya untuk melibatkan masyarakat luas dalam kegiatan ASEAN. Model ini mengetengahkan kesejahteraan perorangan yang harus dijamin oleh negara. Ia berpusat pada keamanan atau ketidakamanan manusia sebagaimana ia terkait dengan negara atau tatanan internasional. Masalah keamanan manusia ini memunculkan perdebatan tentang intervensi dan non intervensi dalam masalah dalam negeri negara anggota ASEAN. Kasus Myanmar dan Kamboja merupakan tantangan pertama bagi kebijakan non intervensi dalam masalah dalam negeri negara anggota ASEAN. (Kraft, 2006 : 26-28). Masalah Myanmar bisa membuat ASEAN dinilai negatif karena ASEAN akan dianggap mendukung sebuah rezim yang tidak menghormati HAM (Perwita, 2006 :

32

154), sehingga muncul kesan walaupun pembentukan ASEAN didasarkan pada ikatan biografis, kesejarahan dan budaya di Asia Tenggara, pada kenyataannya pendorong utama regionalisme ASEAN lebih banyak ditentukan oleh keinginan untuk menjaminregime survival. Sampai munculnya ASEAN Charter 2007, semua negara anggota ASEAN masih menganggap bahwa prinsip non intervensi sangat penting bagi hubungan antar bangsa. Oleh karena itu, bila penghargaan atas HAM dan Demokrasi dapat dipatuhi oleh negara-negara anggota ASEAN sebagai bagian dari pemahaman baru keamanan non konvensional yaitu human security, maka bisa dikatakan bahwa ASEAN bukanlah melulu Asosiasi pemerintahan, politisi dan birokrat semata, melainkan juga akan menjadi komunitas yang lebih luas dengan merangkul kalangan masyarakat sampai tingkat paling bawah, karena selama ini ada anggapan bahwa ASEAN dianggap belum mampu menciptakan mekanisme partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam memberikan kontribusi yang lebih bermakna sepanjang perjalanan organisasi regional ini selama lebih dari 4 dasawarsa.

33

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Prinsip non-interfence dan state soverignty adalah sumber dari persoalan tersebut diatas. Diakui bahwa prinsip non intervensi dan integritas kedaulatan nasional terhadap urusan domestik negara-negara anggota ASEAN merupakan prinsip yang paling kontroversial dalam tubuh ASEAN, dan oleh karenanya menjadikan perkembangan ASEAN sebagai organisasi regional menjadi agak terhambat. Seharusnya apabila terdapat isu-isu yang mempengaruhi hubungan bilateral, regional dan ekstra regional, maka prinsip non-interfence dapat diabaikan, walaupun prinsip tersebut telah melekat dalam tubuh ASEAN sejak awal pembentukannya(Pitsuwan, 2006 : 11). Masalah state

sovereignty (kedaulatan nasional) yang menghambat perkembangan ASEAN, tidak hanya terkait dengan persoalan batas wilayah, tetapi juga masih beratnya negara anggota untuk dapat menerima pemberlakuan atas azas

supranasional dalam pengambilan keputusan di ASEAN. Berbeda dengan Uni Eropa, didalam ASEAN perbedaan-perbedaan identitas nasional semakin menguat dan menyulitkan proses integrasi. Padahal, untuk dapat terciptanya ASC, setiap negara anggota harus bersedia menanggalkan sebagian kedaulatan nasional dan menukarkannya dengan kedaulatan bersama atau supranasional. Dengan demikian, akan mudah bagi ASEAN untuk mengambil keputusan kolektif secara efektif. Tidak seperti selama ini, setiap keputusan dalam resolusi yang dihasilkan diserahkan atau tergantung kepada masing-masing anggotanya untuk

menjalankannya, tanpa kewajiban untuk menaatinya dan sanksi yang diberikan, jika terjadi pelanggaran. ASEAN sering terperangkap di antara retorika dan realita. Selama lebih dari 40 tahun usia ASEAN, organisasi ini sudah banyak berbicara tentang kerjasama, tetapi ketika betul-betul di butuhkan malah tidak terjadi. Dibalik semua sopan santun tentang solidaritas dan kerjasama, semua

34

persoalan yang dapat menegangkan daya santai kelompok regional ini dan prinsip tidak saling mencampuri urusan dalam negeri jelas harus dikaji ulang. Norma dan prinsip ASEAN yang masih berlaku, yaitu memendam konflik dengan senyum di padang golf sementara suasana di sekitarnya diselimuti oleh masalah kawasan lintas batas yang tak kunjung padam karena mekanismenya tidak efektif dan efisien. Apa yang disebut sebagai satu Asia Tenggara (One Southeast Asia)tetaplah merupakan pengambilan keputusan dengan kumpulan mekanismenya dari banyak pusat Minimnya

masing-masing.

kepedulian rakyat ASEAN akan organisasi ASEAN jelas merupakan kelemahan lain dari ASEAN yang dapat menghambat akselerasinya dalam menuju integrasi komunitas ASEAN 2015. Dibenak mereka ASEAN hanya berupa akronim organisasi di wilayah Asia Tenggara. ASEAN bukanlah identitas mereka. Konsep We Feeling yang bermakna dalam bagi pemimpin ASEAN ternyata bukanlah apa-apa bagi mereka. Amitav Acharya yang seorang konstruktivist dan banyak diilhami oleh pemikiran Karl Dutsch menyatakan bahwa membentuk suatu komunitas dalam bidang apapun, maka We Feeling itu harus sudah ada. Tetapi jika kita lihat pada komunitas yang ada di ASEAN, bahwa We Feeling itu tidak ada sama sekali, apalagi jika disangkut pautkan dengan budaya dari masingmasing negara. We Feelingitu hanya akan ada ketika memang terjadi ancaman yang dianggap hal berbahaya secara bersama-sama. Identitas sebagai satu ASEAN saja tidak dimiliki oleh masyarakat setiap negara anggota, karena didalam internal negara-negara itu sendiri masih terjadi konflik antar ras, budaya suku. Bagaimana mungkin mengakui bahwa kita sebagai suatu identitas regional bersama, jika didalam negeri saja identitas nasional masih menjadi masalah. Tradisi ASEAN yang telah berhasil melayani para anggotanya selama lebih dari 40 tahun dalam mengambil keputusan bersama yang

berdasarkanmusyawarah untuk mencapai mufakat mungkin akan menghadapi tantangan besar dimasa depan. Pemerintah negara anggota ASEAN makin lama akan makin sering mendengarkan keluhan dan tuntutan dari rakyat negaranya sendiri dan rakyat negara anggota lainnya. Jika ada mekanisme untuk

35

menyalurkan keluhan dan tuntutan tersebut maka slogan satu Asia Tenggara akan benar-benar memiliki makna. Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa masalah besar yang dihadapi ASEAN selama ini adalah lemahnya implementasi dari berbagai prakarsa dan program yang telah disepakati bersama, baik di tingkat para pemimpin ASEAN maupun di tingkat pertemuan menteri-menteri ASEAN. Negara-negara ASEAN memang pandai didalam merumuskan program-program kerjasama, mengadakan seminar, konferensi, workshop, lokakarya, atau meeting (rapat), tetapi senantiasa lemah dalam pelaksanaannya. Hal ini diakui dalam laporan eminent persons groups (EPG) on the ASEAN Charter (Desember 2006) dan menjadi landasan bagi usulan untuk memperkuat kelembagaan ASEAN, termasuk peran dari sekretaris Jenderal ASEAN. Selain memperkuat peran Sekretariat ASEAN, kegiatan pemantauan (Monitoring) diusulkan untuk melibatkan pihak-pihak non pemerintah agar dapat dibuat penilaian yang obyektif dan dapat dikembangkan mekanisme yang dapat mendorong proses pelaksanaan kesepakatan oleh masing-masing negara ASEAN (Soesastro, 2007 : 321). Disini pemimpin negara-negara ASEAN harus segera mengesampingkan basa basi khas ASEAN dan muncul dengan langkah-langkah nyata untuk mengatasi masalah yang melintasi garis batas kedaulatan negara. 5.2 Saran Pengembangan mekanisme yang terkait dengan masalah kelembagaan ASEAN ini merupakan tantangan terbesar bagi ASEAN. Sejauh ini negara-negara anggota ASEAN selalu enggan untuk mengembangkan kelembagaan ASEAN. Sebagai akibatnya, kerja sama ASEAN kini melibatkan beberapa ratus pertemuan dalam setahun dan bahkan mungkin secara riil hanya terjadi dalam pertemuanpertemuan itu. Lemahnya kelembagaan ASEAN adalah akibat dari kekhawatiran negara-negara ASEAN mengenai pengaruh pengembangan kelembagaan regional terhadap kedaulatan nasional mereka. Tetapi keinginan untuk mempertahankan kedaulatan nasional secara absolut sebenarnya bertentangan dengan kesepakatan untuk memperdalam integrasi ASEAN dan mewujudkan ASEAN Security

36

Community (ASC). Menurut hemat penulis, untuk bisa menjalankan rencana aksi ASC yang lain terutama di bidang Political Development dan Conflict Resolution jelas mutlak diperlukan reintepretasi dan revitalisasi atas prinsip noninterference dan state sovereignty.

37

DAFTAR PUSTAKA ASEAN Security Community Plan of Action. Dipetik pada tanggal 7 April 2011, dari: http://www.aseansec.org/16826.htm Acharya, Amitav. (1998). Collective Security and Conflict Management in Southeast Asia. Dalam Emanuel Adler dan Michael Barnett, Security

Community. Cambridge: Cambridge University Press. Cipto, Bambang. (2007). Hubungan Internasional di Asia

Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Departemen Pertahanan RI. 2003. Three Pillars of ASEAN. Dipetik pada tanggal 7 April 2011, dari Bali Concord II Bisa Bawa ASEAN ke Arah Integrasi: http://thainews.prd.go.th/newsenglish/14th_aseansummit_e/index.php?option=com_c ontent&task=view&id=16&Itemid=6 Jones, David M. & Smith, Michael L. R. (2002). ASEAN's Imitation Community. Orbis, 46 1. Hal. 93-109. Khoo, Nicholas. (2004). Deconstructing The ASEAN Security Community: A Review Essay. International Relations of The Asia-Pasific, Volume 4. Oxford University Press & Japan Association of International Relation. Hal. 35-46.

38

Anda mungkin juga menyukai