Anda di halaman 1dari 15

Malay Manuscripts entitled with Women’s Names and Characters

Dewaki Kramadibrata
University of Indonesia

Abstract:

This paper discusses Malay manuscripts entitled with womens’ names and characters. The
heroine, for example Siti Zawiyah and Siti Hasanah, were described as beautiful ladies,
kind hearted, and very obedient to God. Meanwhile, Siti Zuhrah (disguised as a man) was
described as an ideal hero.

Keywords: Malay manuscripts, women’s characters, women’s image.

1. Introduction
Makalah ini ditulis untuk menunjukkan adanya naskah Melayu yang berjudul
dengan nama perempuan dan sekaligus menjadi tokoh utama cerita. Jumlah naskah
semacam itu tidak banyak, lebih kurang 17 judul saja. Beberapa naskah sudah disunting
sehingga dapat dibaca dan dikaji isinya. Ada naskah yang belum disunting sehingga
membuka peluang untuk dijadikan objek penelitian selanjutnya.
Makalah ini masih merupakan sebuah kajian awal dan disajikan secara deskriptif
tanpa menggunakan pendekatan teori apa pun. Metode penelitian yang dilakukan adalah
analisis pustaka. Yang hendak ditunjukkan dalam makalah ini adalah bagaimana
penggambaran tokoh wanita dalam naskah Melayu.
Di antara khazanah naskah Melayu yang ribuan jumlahnya, ada beberapa yang
berjudul dengan nama perempuan yang sekaligus menjadi tokoh utamanya. Setelah
menelusuri berbagai katalog Melayu (van Ronkel, 1909; Sutaarga dkk., 1972; Ricklefs dan
Voorhoeve, 1977; Perpustakaan Negara Malaysia, 1991 dan 1992; Behrend, 1998;
Wieringa, 1998; serta Iskandar, 1999), ditemukan beberapa judul yang dapat
dikelompokkan menjadi dua, yakni syair dan hikayat. Ada syair yang telah tertelusuri,
yakni Syair Ken Tambuhan, Syair Bidasari, Syair Siti Zawiyah, Syair Putri Akal, Syair
Siti Zuhra, Syair Ratu Juita, Syair Siti Kubah, Syair Perempuan Bujang, dan Syair Siti
Zubaidah Perang China. Selanjutnya, tiap-tiap syair tersebut dapat diuraikan sekadarnya
sebagai berikut.

1. Syair Ken Tambuhan.


A. Teeuw (1966) telah membuat edisi teks naskah ini. Syair ini berisi kisah cinta
romantis antara Ken Tambuhan dengan Raden Panji Cekel Waningpati. Cekel
Waningpati, putra raja Kuripan, jatuh cinta pada Ken Tambuhan, putri tawanan
raja Kuripan. Karena tidak setuju, Ken Tambuhan dibunuh oleh permaisuri. Cekel
Waningpati sangat bersedih, tetapi berkat takdir dewata, Ken Tambuhan
dihidupkan kembali. Mereka hidup berbahagia.
2. Syair Bidasari.
Tuti Munawar (1978) telah membuat edisi teks naskah ini. Syair ini berkisah
tentang seorang putri bernama Bidasari yang ditinggal ayah dan ibunya di hutan
karena kerajaan ayahnya diserang musuh. Setelah mengalami berbagai penderitaan,
Bidasari akhirnya hidup bahagia.
3. Syair Siti Zawiyah.
Syair ini dikenal juga dengan nama Syair Haris Fadilah. Hanizah Bt. H. Yahya
(1992) telah membuat edisi teks naskah ini. Isi cerita dapat dilihat pada Ringkasan
Cerita.
4. Syair Putri Akal (dikenal juga dengan nama Syair Putri Handelan).
Syair ini mengisahkan Putri Akal yang memperdaya suaminya sendiri, terutama
karena suaminya menduakan dirinya. Ia mendapatkan haknya kembali (Liaw, 1993:
221-222).
5. Syair Siti Zuhra.
Siti Zahra Yundiafi (1997) telah membuat edisi teks naskah ini. Isi cerita dapat
dilihat pada Ringkasan Cerita.
6. Syair Ratu Juita.
Belum ada edisi teks. Syair ini disalin di Pulau Penyengat pada 1865-1866. Isinya
mengisahkan perjuangan Ratu Agung untuk memperoleh Putri Kemala Khairani
yang dilihat dalam mimpinya (Iskandar, 1999: 732).
7. Syair Siti Kubah.
Belum ada edisi teks. Syair ini mengisahkan Siti Kubah, putri raja Medali Negara
yang dibuang ke hutan karena difitnah. Ia kemudian menikah dengan Sultan
Bandar Syah dan memperoleh kembali kerajaannya (Iskandar, 1999: 741).
8. Syair Perempuan Bujang.
Belum ada edisi teks. Teks ini termasuk dalam kumpulan naskah koleksi Van der
Tuuk (Cod.Or. 3339). Naskah disalin oleh Suhaimi (Adairus Usman) di Krukut
(Iskandar, 1999: 167).
9. Syair Siti Zubaidah Perang China.
Edisi teks dibuat oleh Abdul Mutalib Abdul Gani (1983). Syair ini mengisahkan
Siti Zubaidah, perempuan yang menyamar menjadi laki-laki untuk mencari
suaminya. Ia berpetualang dan mengalami berbagai rintangan sampai akhirnya
berhasil bertemu kembali dengan suami dan anaknya.

Penelusuran terhadap berbagai katalog Melayu telah menemukan delapan hikayat


yang judulnya menggunakan nama perempuan. Kedelapan hikayat itu adalah Hikayat
Fatima, Hikayat Putri Salamah, Hikayat Siti Zubaidah, Hikayat Siti Abasah, Hikayat Siti
Marwah, Hikayat Bibi Sabariah dan Hikayat Siti Hasanah, Hikayat Galuh Digantung,
dan Hikayat Putri Johar Manikam.

1. Hikayat Fatima.
Hikayat Fatimah Dinikahkan Allah atau Hikayat Fatimah Bersuami dan Hikayat
Fatimah Berkata-kata dengan Zulfakar atau Hikayat Zulfakar. Cerita tentang
Fatima ini biasanya termasuk dalam satu himpunan koleksi naskah, antara lain
dalam koleksi Klinkert (Kl. 3) bersama dengan Hikayat Amir Hamzah (Iskandar,
1999: 703) atau dalam naskah koleksi KITLV (KITLV Or. 146) bersama dengan
Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Wasiat Nabi (Iskandar, 1999: 790). Sampai saat ini,
belum ditemukan edisi teks. Liaw Yock Fang tidak membicarakan isi teks Fatima
ini, tetapi ia menyebutnya sebagai bagian cerita Nabi bersama keluarganya (Liaw,
1993: 237).
2. Hikayat Putri Salamah (dikenal juga dengan nama Hikayat Fartana Islam).
Edisi teks telah dibuat oleh Dian Partiningsih (?). Hikayat ini berisi petunjuk bagi
kaum wanita untuk menjadi istri yang baik.
3. Hikayat Siti Zubaidah.
Tidak ada keterangan tentang isi teks. Naskah ini disimpan di School of Oriental
and African Studies di London dalam kumpulan naskah bernomor MS37082
(Ricklefs dan Voorhoeve, 1977: 162).
4. Hikayat Siti Abasah.
Tidak ada keterangan tentang isi teks. Naskah ini disimpan di Royal Asiatic
Society di London, dalam kumpulan naskah koleksi Raffles Malay 76 (Ricklefs dan
Voorhoeve, 1977: 142)
5. Hikayat Siti Marwah.
Naskah ini disimpan di Bibliotheque Nationale Paris di Perancis dengan nomor
kode Mal.-pol 69. Teks berisi cerita tentang Siti Marwah yang ditinggal suaminya
berdagang. Ia dititipkan kepada adik iparnya, Khoja Ali. Khoja Ali jatuh cinta
kepada Siti Marwah, tetapi Siti Marwah menolak. Ia difitnah, lalu diusir. Siti
Marwah sampai ke sebuah negeri. Ia diterima oleh sultan negeri itu dan menjadi
tabib yang termasyhur. Khoja Ali menjadi buta karena berdusta. Ia dibawa berobat
ke Siti Marwah. Siti Marwah hanya menyuruh Khoja Ali berbicara jujur. Setelah
Khoja Ali menceritakan segala perbuatan jahatnya, lalu menjadi sembuh. Siti
Marwah bertemu kembali dengan suaminya (Perpustakaan Negara Malaysia, 1991:
65).
6. Hikayat Bibi Sabariah dan Hikayat Siti Hasanah yang terdapat dalam
kumpulan cerita Hikayat Bayan Budiman.
Edisi teks dibuat oleh Balai Pustaka (1993, cetakan ke-5). Isi cerita Hikayat Siti
Hasanah dapat dilihat pada Ringkasan Cerita.
7. Hikayat Galuh Digantung.
Belum ada edisi teks. Naskah ini disimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta
dengan nomor kode Ml. 513 (Behrend, 1998: 292). Isinya mengisahkan Galuh,
yang karena diguna-guna, berbuat dosa dengan mengusir Panji, suaminya. Cerita
selanjutnya mengisahkan usaha Galuh untuk mendapatkan suaminya kembali.
Ketika bertemu kembali dengan suaminya, Galuh digantung di pohon randu oleh
Panji. Panji kemudian meninggalkannya. Karena pertolongan Batara Kala, Galuh
diturunkan dan dijadikan laki-laki. Dengan status sebagai laki-laki, ia dapat
mengalahkan tanah Jawa. Ia kemudian menjadi dendam kepada suaminya dan tidak
mau bertemu dengan Panji meskipun Panji berusaha menemuinya. Setelah dibantu
dengan tapa Sukma Ludira, hati Galuh mencair dan ia mau menerima suaminya
kembali (Ikram, 1997: 206-208).
8. Hikayat Putri Johar Manikam (sering juga disebut Hikayat Johar Manikam).
Edisi teks telah diterbitkan De Hollander (1845) dan Juynboll (1899). Isinya
mengisahkan seorang putri raja Harun al-Rasyid yang dirayu oleh seorang kadi.
Karena menolak cinta, putri tersebut difitnah dan dihukum mati. Sebelum hukuman
dilaksanakan, ia bertemu dengan Syah Johan, raja Damaskus. Putri menikah
dengan Syah Johan, mempunyai tiga orang anak. Ia kembali hendak menengok
ayahnya, tetapi difitnah. Ia kemudian menyamar menjadi laki-laki dan berpetualang
ke Etiopia dan Roma. Setelah mengalami berbagai peristiwa, akhirnya ia kembali
bertemu dengan suami dan ayahnya (Iskandar, 1999: 21).

Selanjutnya, dalam makalah ini akan ditunjukkan penggambaran tokoh perempuan


dari kelompok syair, yaitu Syair Siti Zawiyah dan Syair Siti Zuhra dan seorang tokoh
perempuan dari kelompok hikayat, yaitu Hikayat Siti Hasanah. Siti Zawiyah diambil
sebagai contoh karena ia digambarkan sebagai tokoh perempuan yang sabar. Tanpa
mengubah diri menjadi laki-laki dan mengalami petualangan, ia berhasil menundukkan
suaminya. Siti Zuhra diambil sebagai contoh karena ia digambarkan sebagai “tokoh
pahlawan: berani seperti laki-laki, (terutama karena ia menyamar sebagai laki-laki) dan
berhasil mengalahkan Raja Sarani, musuhnya. Siti Hasanah diambil sebagai contoh karena
ia digambarkan sebagai tokoh yang mengalami berbagai penderitaan karena kecantikannya.
Ia kemudian menyamar sebagai laki-laki dan diangkat menjadi raja. Meskipun demikian,
ketika bertemu kembali dengan suaminya, ia meninggal dunia.

2. Ringkasan Cerita
a. Syair Siti Zawiyah
Di negeri Basrah ada seorang saudagar kaya dan termasyhur. Ia mempunyai istri
dan seorang anak perempuan bernama Siti Zawiyah. Selain cantik, Siti Zawiyah
mempunyai akhlak yang baik. Suatu saat, orang tua Siti Zawiyah meninggal dunia.
Sebelum meninggal, ayahnya berpesan agar ia taat pada perintah Allah, mempelajari ilmu
akhirat, berhati-hati memilih suami, dan berhati mulia kepada setiap orang. Siti Zawiyah
berusaha mencari ilmu akhirat, tetapi ia terperosok mempelajari ilmu hitam sehingga
banyak laki-laki yang melamarnya. Setelah menyadari kekeliruannya, Siti Zawiyah
meninggalkan ilmu hitamnya. Setelah itu, ia bertemu dengan seorang kakek yang mengajar
ilmu yang dicarinya.
Sementara itu, Sultan Basrah mempunyai seorang anak laki-laki bernama Haris
Fadilah. Haris Fadilah berwajah tampan, hidup bermewah-mewah, suka menunggang kuda
dan berfoya-foya. Karena ketampanannya, ia disukai banyak wanita, termasuk empat
orang wanita. Mereka mengguna-gunai Haris Fadilah sehingga Haris Fadilah tinggal
bersama mereka. Perbuatan ini diketahui Sultan Basrah. Ia kemudian menikahkan Haris
Fadilah dengan Siti Zawiyah.
Meskipun telah menikah, perilaku Haris Fadilah tidak berubah. Ia tetap
berhubungan dengan keempat wanita tersebut. Siti Zawiyah mengetahui perbuatan
suaminya, tetapi ia tidak memberitahukan Sultan Basrah. Akhirnya, Sultan Basrah
mengetahui perbuatan anaknya. Sebagai pengajaran terakhir, Sultan Basrah menyuruh
Haris Fadilah berdagang. Haris Fadilah pergi berdagang dengan membawa pesanan dari
keempat wanita berupa barang mahal, sementara Siti Zawiyah hanya meminta dibelikan
akal.
Usaha dagang Haris Fadilah berhasil. Ia mampu membeli semua pesanan keempat
wanita, kecuali pesanan Siti Zawiyah. Di sebuah kampung, ia bertemu dengan seorang tua
yang dapat memberi jawaban atas “teka-teki” pesanan Siti Zawiyah. Dari orang tua itu
pula ia mendapat “akal” untuk menghadapi empat wanita simpanannya.
Haris Fadilah kembali ke negeri Basrah. Ia meninggalkan harta dan keuntungannya
di kapal. Ia pergi ke rumah empat wanita simpanannya dengan pakaian kotor. Mereka
mengusir Haris Fadilah. Haris Fadilah sadar bahwa Siti Zawiyah adalah istri setia dan
mencintainya dengan tulus. Setelah itu, Haris Fadilah diangkat menjadi Sultan Basrah dan
Siti Zawiyah menjadi permaisurinya.

b. Syair Siti Zuhrah


Sultan Sahristan di negeri Sahristan mempunyai dua anak laki-laki dan seorang
anak perempuan dari istri pertama dan dua anak perempuan dari istri kedua, yaitu yang
bernama Siti Zuhra dan Nurkiyah. Raja Sahristan sangat menyayangi anak-anaknya,
terutama putri bungsunya, Nurkiyah. Hal ini menimbulkan kebencian pada permaisuri.
Bersama adik dan anak-anaknya, ia memfitnah Siti Zuhrah dan Nurkiyah. Siti Zuhrah
bersama Nurkiyah dan inang pengasuhnya melarikan diri dari negeri Sahristan dengan
menyamar sebagai laki-laki. Sultan Sahristan yang sedang berburu tidak mengetahui
kepergian Siti Zuhrah dan Nurkiyah. Ketika menanyakan keberadaan kedua putrinya,
permaisuri mengatakan bahwa kedua putri diculik oleh orang Badui. Raja menyuruh kedua
putranya untuk mencari adik tiri mereka. Ia juga mengumumkan kehilangan kedua
putrinya kepada Sultan Mangindra, raja di negeri Indra Pura dan Sultan Makrifat, raja di
negeri Irak. Sultan Mangindra mempunyai seorang putri dan dua putra, yaitu Sidi Maulana
dan Raja Harsa Mengerna. Sultan Makrifat mempunyai dua anak perempuan dan dua anak
laki-laki, yaitu Raja Indra dan Raja Arifin.
Di tengah perjalanan, Siti Zuhrah dan Nurkiyah bertemu dengan seorang syekh di
Gunung Sungiran. Syekh itu mengajarkan ilmu kebal senjata kepada kedua putri. Setelah
selesai belajar, Siti Zuhrah pamit hendak pergi ke negeri Yaman. Di perjalanan, mereka
bertemu dengan Sultan Mesir. Siti Zuhrah memperkenalkan dirinya dengan nama Syarif
Istur dan Nurkiyah dengan nama Muhammad Basri. Mereka kemudian diangkat anak oleh
Sultan Mesir. Setelah Sultan Mesir meninggal, Syarif Istur diangkat menjadi raja. Karena
ketampanannya, banyak wanita yang tergila-gila kepadanya.
Suatu ketika, Sultan Syarif hendak mencari perempuan yang dapat dijadikan istri.
Dari wazir, ia mengetahui bahwa ada putri di negeri Sahristan, Indra Pura, dan Irak.
Sultan Syarif pergi ke negeri Sahristan. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan Sidi Maulana
yang hendak membantu Raja Sahristan mencari kedua putri yang hilang. Terjadi
pertempuran antara Sultan Syarif dan Sidi Maulana. Sidi Maulana dapat dikalahkan dan
dibawa ke Mesir. Atas permintaan Sidi Maulana, Sultan Syarif bersedia mencari kedua
putri Raja Sahristan yang hilang. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Raja
Sarani dengan pasukannya. Mereka berhasil mengalahkan Raja Sarani.
Selanjutnya, Sultan Syarif bertemu dengan pasukan putra Raja Irak dan pasukan
putra Raja Sahristan yang sedang mencari putri yang hilang. Sultan Syarif menantang
mereka berperang dan menang. Ia menawan putra Raja Irak dan putra raja Sahristan dan
memenjarakan mereka. Setelah beberapa lamanya, ia membebaskan tawanan dan
mengangkat mereka menjadi menteri, hulubalang, bendahara, laksamana, dan hulubalang.
Sementara itu, Raja Sarani sedang mengumpulkan kekuatan untuk menyerang negeri
Sahristan, Irak, dan Indra Pura.
Sultan Sahristan diserang oleh Raja Sarani dan dapat dikalahkan. Raja Sahristan
bersama permaisuri dibuang ke parit. Mereka akan dibebaskan jika bersedia masuk agama
Nasrani. Raja Sahristan menolak. Sultan Syarif datang menolong dan raja Sarani dapat
dikalahkan. Raja Sahristan mencurigai Sultan Syarif sebagai putrinya hilang. Suatu hari,
Sultan Syarif menyamar menjadi seorang ahli nujum. Ia meramalkan bahwa dalam waktu
dekat, Sultan Sahristan akan segera bertemu dengan kedua putrinya.
Sultan Sahristan memberitahukan permaisuri bahwa kedua putrinya yang hilang
adalah Sultan Syarif dan Muhammad Basri. Mereka segera menyusul ke negeri Mesir.
Terjadilah pertemuan yang mengharukan. Setelah itu, Siti Zuhrah menikah dengan Sidi
Maulana yang memang sejak awal telah mencintainya. Mereka menjadi raja di Mesir.

c. Hikayat Siti Hasanah


Di sebuah negeri tinggal seorang saudagar. Ia mempunyai istri cantik bernama Siti
Hasanah. Karena saudagar akan berdagang, ia menitipkan Siti Hasanah kepada
saudaranya. Ternyata, saudara saudagar ini jatuh cinta kepada Siti Hasanah dan berusaha
merayunya. Siti Hasanah menolak cinta saudara suaminya. Saudara suaminya marah dan
memfitnah Siti Hasanah telah berzinah dengan mengajukan saksi palsu. Siti Hasanah
dihukum rajam, tetapi karena tidak berdosa, ia selamat.
Siti Hasanah ditolong oleh orang Baduwi. Ia memelihara anak orang Baduwi
dengan penuh kasih sebagai ungkapan tanda terima kasihnya. Akan tetapi, malapetaka
kembali menimpa Siti Hasanah. Habsyi, pembantu orang Baduwi jatuh cinta pada Siti
Hasanah, tetapi Siti Hasanah menolak. Habsyi membunuh anak orang Baduwi dan
meletakkan pisau di tangan Siti Hasanah. Siti Hasanah diusir dari rumah orang Baduwi.
Siti Hasanah berjalan beberapa waktu sampai ia tiba di sebuah negeri. Ia
menyelamatkan seorang pencuri yang hendak dihukum. Pencuri itu kemudian mengikuti
Siti Hasanah ke mana pun ia pergi. Ketika sampai di sebuah pelabuhan, Siti Hasanah dijual
kepada orang kapal. Siti Hasanah dibawa berlayar. Selama pelayaran, banyak orang yang
jatuh cinta kepada Siti Hasanah. Siti Hasanah sangat takut, lalu ia berdoa. Dengan kuasa
Allah, muncul angin ribut dan menghancurkan kapal. Siti Hasanah selamat sampai di
daratan, lalu ia menyamar menjadi laki-laki dan masuk ke dalam sebuah negeri.
Siti Hasanah diterima oleh raja dalam negeri tersebut, bahkan diangkat menjadi
pemegang kepemimpinan di dalam negeri itu. Semua orang senang pada kebijaksanaan Siti
Hasanah. Ketika raja meninggal, ia diangkat menjadi raja. Selama menjadi raja, Siti
Hasanah semakin dicintai. Ia dapat memimpin kerajaan dengan baik, memimpin salat
Jumat, bahkan dapat mengobati orang sakit. Oleh karena itu, banyak orang dari negeri lain
yang berobat.
Sementara itu, suami Siti Hasanah kembali dari perniagaan. Ia menanyakan Siti
Hasanah kepada saudaranya. Saudaranya mengatakan bahwa Siti Hasanah telah mati.
Saudagar sangat bersedih hati. Suatu saat, semua orang yang telah mencelakai Siti
Hasanah menderita sakit. Mereka berobat kepada Siti Hasanah. Suami Siti Hasanah juga
membawa saudaranya yang menderita sakit. Saudagar itu tidak mengenali Siti Hasanah.
Siti Hasanah hanya mengatakan agar mereka bertobat dan selalu berbicara jujur.
Siti Hasanah meminta saudagar untuk kembali minggu berikutnya. Setelah tiba
waktunya, Siti Hasanah menanyakan kabar tentang istri saudagar itu. Saudagar
menceritakan bahwa istrinya telah mati. Siti Hasanah bertanya apakah saudagar akan
mengenali istrinya jika masih hidup? Saudagar menjawab bahwa ia akan mengenali
istrinya. Siti Hasanah kemudian berganti baju. Saudagar sangat gembira melihat Siti
Hasanah masih hidup. Meskipun demikian, Siti Hasanah meminta suaminya bersabar
karena ia mau melaksanakan salat Asar. Sayang, Siti Hasanah meninggal dalam sujud.

3. Penggambaran Tokoh Siti Zawiyah, Siti Hasanah, dan Siti Zuhrah


Siti Zawiyah dan Siti Hasanah digambarkan sebagai wanita yang cantik.

a. Siti Zawiyah

Saudagar nan anaknya satu


Seorang perempuan anaknya itu
Cantik majelis usul yang tentu
Seperti mas sembilan batu

Siti Zawiyah konon namanya
Terlalu elok baik parasnya
Zamannya itu sukar bandingannya
Taat dan bakti serta yakinnya

Puti kuning sederhana sedang


Pinggangnya ramping dadanya bidang
Rambutnya ikal mayang seludang
Gemar sekali kita memandang (Hanizah, 1992: 30)

b. Siti Hasanah

Sekali peristiwa Hasanah pun bermain-main dengan anak Beduwi


itu. Maka pada ketika itu ada seorang Habsyi hamba Beduwi itu.
Maka ia pun datang ke rumah tuannya itu, maka ia terpandang
kepada muka Hasanah itu terlalu amat baik parasnya dan
rupa sikapnya. (Balai Pustaka, 1993: 180)

Siti Zawiyah dan Siti Hasanah wanita berbakti dan setia.

a. Siti Zawiyah

Siti Zawiyah konon namanya


Terlalu elok baik parasnya
Zamannya itu sukar bandingannya
Taat dan bakti serta yakinnya (Hanizah, 1992: 30)

Ayuhai nona, nyonya dan tuan


Cerita saudagar sangat bangsawan
Ada anaknya seorang perempuan
Itulah konon sangat setiawan (Hanizah, 1992: 28)

b. Siti Hasanah

Alkisah maka kata sahibul hikayat. Ada seorang perempuan


bersuami akan seorang saudagar. Maka suaminya terlalu kasih akan
istrinya karena perempuan itu terlalu bakti akan suaminya dan
teguh setianya. (Balai Pustaka, 1993: 179)

Siti Zawiyah wanita bijaksana, sabar, dan tidak mau menjelekkan suaminya,
mengurus segala keperluan suaminya. Ia juga beriman dan taat pada perintah agama. Siti
Zawiyah memahami perasaan suaminya yang tidak mencintainya dan hanya mengingat
keempat gundiknya.

Siti melihat kelakuan putra


Siti tahu dalam kira-kira
Tiada membuka satu suara
Di dalam hati Siti bicara

Melihat laku hal suaminya


Suda mengerti dalam pikirannya
Putra ini sangat bimbangnya
Pura-pura beradu dengan sabarnya

Siti pun suda sampai mengerti


Hal suami empunya hati
Khabarnya itu sudah pasti
Siti keempat hendak didapati (Hanizah, 1992: 104)

….
Demikian pikir Siti mengindra
Iman tauhid sangat sempurna
Itulah tandanya perempuan bijaksana
Memandang laku diartikan makna (Hanizah, 1992: 105)


Berbalik pikir Siti bestari
Karena ilmu sudah dipelajari
Ayahku juga suru mencari
Baik juga aku sabari

Baik juga aku sabarkan


Kata orang tuaku coba’kan
Jikalau ada Allah takdirkan
Kemudian aku dapat kebajikan

Karena janji daripada azali


Jodoku umpama tali
Suamiku pasti kembali
Tiada mungkir sekali-kali (Hanizah, 1992: 113)

Siti Zawiyah mengurus persiapan keberangkatan suaminya dengan tulus.

Siti menengar kata suruhan


Tersenyum manis Siti bangsawan
Sambil berkata perlahan-lahan,
“Suda kubikin perbekalan.”


Siti menyuruhkan segala sahaya
Berbuat bekal Haris mulia
Tikar dan bantal suda sedia
Tanpa adat orang kaya (Hanizah, 1992: 164)

Siti Zawiyah meminta dibelikan “akal” dan mendoakan keselamatan suaminya.

Empat duit sen engkau berikan


Pesanku akal tolong belikan
Yang lain tiada aku gemarkan
Sebole-bolenya minta cari’kan

Akan pesan tuanmu itu


Aku berdoa sembah tertentu
Ya Illahi ya Allah ya Tuhanku
Beri selamat atas suamiku (Hanizah, 1992: 174-175)

Siti Zawiyah menerima suaminya kembali dengan tulus.

Daripada Siti orang berbudiman


Orang saleh lagi beriman
Menantikan suami beberapa zaman
Belon dikenal laku dan roman (Hanizah, 1992: 240)
Siti Zawiyah taat pada ajaran agama dan mengingat pesan orang tuanya untuk
beribadat.

Berdatang sembah paduka ananda


Bermohonlah ia pada baginda
“Jikalau ada titah dan sabda
Se-Jumat sekali mohon ananda

Jikalau ada rahimnya tuan


Di makam ayahanda dibacakan Quran
Ratib dan tahlil disedekahkan
Demikian itu yang patik nazarkan

Khulhu dan Fatihah wasiat ayahanda


Itulah pesan saudagar ayahanda
Setelah sultan mendengar sabda
Suka terlalu di dalam dada

Tatkala hidup saudagar berwasiat


Khulhu dan Fatihah sampai tamat
Supaya yang mati mendapat rahmat
Kita yang hidup dapat selamat.” (Hanizah, 1992: 287)

Siti Hasanah wanita yang tabah dan senantiasa menyerahkan segala nasibnya
kepada Tuhan. Ia taat pada peraturan agama dan selalu melaksanakan kewajiban sebagai
umat beragama. Siti Hasanah pasrah dalam menghadapi masalah, antara lain ketika akan
menghadap kadi yang mengadilinya, ketika akan menghadapi hukum rajam, dan ketika
menghadapi godaan dari saudagar kaya di kapal.

Maka Hasanah pun segera berbangkit, lalu turunlah ia dari rumah seorang
dirinya seraya menyerahkan dirinya kepada Tuhan Yang Mahabesar dengan
yakinnya minta doa kepada Allah subhana wa taala menunjukkan kebesaran
hatinya. (Balai Pustaka, 1993: 175)

Hasanah pun bercucuran air matanya oleh terkenangkan untungnya


ditinggalkan suaminya itu. Maka ia pun menyerahkan dirinya kepada Allah
dengan tulus hatinya. (Balai Pustaka, 1993: 176)

Maka Hasanah pun berteriak menangis minta tolong kepada orang kapal
itu. Maka seorang pun tiada mau menolong dia, masing-masing berdiam
dirinya. Maka Hasanah pun tiada berdaya lagi. Maka ia pun minta doa akan
Allah subhana wa taala dengan tulus hatinya.
(Balai Pustaka, 1993: 185)

Setelah menjadi raja, Siti Hasanah menjadi raja yang adil dan murah hati.
Maka duduklah Hasanah di atas tahta kerajaan dengan adil dan
murahnya. Apabila hari Jumat, ia sendiri membaca khotbah di mesjid
negeri itu, terlalu nyaring suaranya dan fasih lidahnya. Maka sidang jumat
pun heranlah mendengarnya.
Setelah sudah sembahyang, maka duduklah ia seketika di luar
mesjid seraya memberi sedekah kepada segala fakir dan miskin seraya
menyuruh membaiki mesjid itu mana-mana yang rusak. Setelah sudah,
maka raja pun berangkat kembali ke istananya. Demikianlah adatnya
selama ia kerajaan. Maka doanya pun terlalu mustajab dan barang
pintanya pun dikabulkan Allah subhana wa taala dengan berkat safaat
Nabi sallallahu alaihi wassallam. (Balai Pustaka, 1993: 188)

Berbeda dengan Siti Zawiyah dan Siti Hasanah, penggambaran Siti Zuhrah sebagai
wanita cantik hanya dijelaskan dalam satu bait saja.

Bertitahlah Permai raja perempuan


Kepada Zuhrah muda rupawan
Baharulah puas si tua haiwan
Engkau suda mengata melawan (Yundiafi, 1997: 150)

Siti Zuhrah mengalami penderitaan karena perbuatan permaisuri yang dengki


kepadanya dan kepada Nurkiyah, adiknya. Oleh karena itu, penggambaran yang terlihat
adalah kesedihan hati Siti Zuhrah dan kepasrahan menerima nasibnya.

Putri mendengar sembah inangda


Sesak belah rasanya dada
Kepada inang Putri bersabda
Sudahlah untung nasibnya hamba

Takdir Allah sudah berlaku


Kudrat iradat ke atas diriku
Sudahlah dengan untung badanku
Bagaikan hancur rasa hatiku (Yundiafi, 1997: 56)

Walaupun mengalami berbagai kekejaman dari Permaisuri, Siti Zuhrah adalah


wanita yang baik hati. Beberapa kali ia memarahi inang pengasuhnya yang tidak menerima
perlakuan jahat permaisuri kepada Siti Zuhrah.

Sudahlah Bunda Ardan bangsawan


Dijawab kata tidak berketahuan
Dengan di hadapan bunda nin tuan
Sampailah akal orang ditawan

Hamba orang sudah demikian


Tidaklah boleh hendak dilawan
Tua tidak memberi kasihan
Patut dibuat bersampaian

Setelah didengar olehnya inang


Air matanya bagai berlinang
Permai yang mangkat pulak terkenang
Ardan dipandang berkunang-kunang (Yundiafi, 1997: 102)

Ia pun tidak mau melawan permaisuri karena mengingat pesan ibunya.

Mendengarkan kata datuk inangda


Putri pun tunduk menjawab sabda
Benarlah seperti katanya Bunda
Beta pun ingat di dalam dada

Kepada pikiran di dalam cita


Biarlah orang membuat kita
Meskipun dirampas segala harta
Tiada melawan gerangannya beta (Yundiafi, 1997: 50-51)

Setelah menjadi Sultan Syarif, Siti Zuhrah digambarkan sebagai raja yang tampan,
bahkan sebanding dengan ketampanan Raden Inu Kertapati dari Pulau Jawa. Tutur
sapanya lemah lembut dan sikapnya rendah hati.

Sekaliannya orang berkata semua


Laki-laki perempuan muda dan tua
Memuji paras anak raja kedua
Seperti Inu di Benua Jawa

Tambahan pula tegur sapanya


Lemah lembut barang katanya
Terlalu sangat merendahkan dirinya
Tidak terkebur barang lakunya (Yundiafi, 1997: 227)

Setelah menjadi raja, Siti Zuhrah membawa kemakmuran bagi negeri Yaman.
Keamanan bertambah. Siti Zuhrah juga menghormati menteri dan bendaharanya.

Selama ia menjadi ratu


Bertambah ramai di negeri itu
Dagang santri masuk ke situ
Bermacam jenis dagangnya itu

Apatah lagi rakyat tentara


Bertambah ramai di dalam negara
Baginda pun baik bala pelihara
Hormat kepada menteri bendahara (Yundiafi, 1997: 239)

Siti Zuhrah raja yang perwira. Ia membebaskan perempuan yang menjadi tawanan
perang. Ia sendiri yang mengobati Raja Sahristan dengan penuh kasih.

Kata orang empunya cetera


Sultan Syarif raja perwira
Mengeluarkan perempuan di dalam penjara
Serta ayahanda bunda saudara

Dipeliharakan Baginda dengan sepertinya


Terlalu belas kasihan rasanya
Ardan pun sudah diambilnya
Karena kasihan melihat halnya

Raja Sahristan sultan yang bahari


Dihadirkan tempat di dalam puri
Sakitnya tidak lagi terperi
Belumkan baik empat lima hari

Sultan Syarif sendiri memeliharakan


Segala obat ia menyapukan
Jikalau santap ia menyuapkan
Pagi dan petang Baginda disiramkan (Yundiafi, 1997:407-408)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:


1. Tokoh wanita dalam naskah Melayu, yang dalam hal ini diwakili oleh Siti Zawiyah
dan Siti Hasanah, digambarkan sebagai wanita yang cantik.
2. Selain cantik, Siti Zawiyah dan Siti Hasanah juga wanita yang sabar, setia, berbakti
kepada suami, dan taat menjalankan perintah agama.
3. Siti Zawiyah memperoleh “hasil” yang baik dari kesabarannya: suaminya kembali
kepadanya.
4. Siti Hasanah mengalami penderitaan karena kecantikannya. Ia selamat karena
Tuhan melindunginya. Ia terpaksa menyamar menjadi laki-laki untuk menjaga
keselamatan dirinya. Selama menjadi laki-laki, bahkan menjadi raja, ia
digambarkan sebagai seorang raja budiman, adil, dan bijaksana. Sayang, setelah
berhasil bertemu kembali dengan suaminya, ia meninggal. Nasibnya tragis.
5. Sementara itu, Siti Zuhrah digambarkan sebagai wanita yang tabah dan pasrah,
terutama dalam menghadapi cobaan dalam hidupnya. Meskipun demikian, ia
memilih meninggalkan negerinya untuk melepaskan diri dari nasib buruknya.
Ketika mendapat kesempatan untuk menjadi raja setelah menyamar menjadi
laki-laki, Siti Zuhrah digambarkan sebagai tokoh pahlawan. Ia berhasil
mengalahkan Raja Sarani yang hendak menyebarkan agama Nasrani. Setelah itu, ia
kembali menjadi Siti Zuhrah dan menikah dengan Sidi Maulana. Siti Zuhrah hidup
bahagia.

4. Penutup
Dari pemaparan sekilas terlihat bahwa secara umum gambaran wanita ideal yang
tercermin dalam naskah Melayu adalah wanita yang cantik, baik hati, sabar, setia, dan taat
menjalankan perintah agama. Ini yang terlihat dalam Syair Siti Zawiyah dan Hikayat Siti
Hasanah. Meskipun demikian, perempuan pun dapat menjadi wanita “perkasa” seperti
yang terlihat dalam Syair Siti Zuhrah. Ada hal yang menarik dari cerita yang telah
disajikan di atas. Tokoh Siti Hasanah dan Siti Zuhrah menyamar menjadi laki-laki untuk
menyembunyikan identitas mereka sebagai perempuan. Fenomena ini menarik juga untuk
dikaji lebih lanjut, mungkin dengan menggunakan pendekatan berperspektif gender.

Acuan
Balai Pustaka. 1993. Hikayat Kalilah dan Daminah. Cetakan ke-5. Jakarta: Balai Pustaka.
Behrend, T.E. (ed.). 1998. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Seri Katalog
Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan
EFEO.
Ghani, Abdul Mutalib Abdul. 1983. Syair Siti Zubaidah Perang China. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hanizah Bt. Hj. Hanizah. 1992. “Syair Siti Zawiyah: Suntingan Teks dan Analisis Isi”.
Skripsi Sarjana Sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Depok.
Ikram, Achadiati. 1997. “Galuh Berperasaan Perempuan: Suatu Usaha Membaca
Perempuan” dalam Filologia Nusantara. Titik Pudjiastuti ed. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Iskandar, T. 1996. Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta: Penerbit Libra.
_____. 1999. Catalogue of Malay, Minangkabau, and Sumatran Manuscripts in the
Netherlands. Vol. 1 dan 2. Leiden: Universiteit Leiden.
Liaw Yock Fang. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik Jilid 1 dan 2. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Munawar, Tuti. 1978. Syair Bidasari. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Partiningsih, Dian. (?). “Hikayat Fartana Islam.
Perpustakaan Negara Malaysia. 1991. Katalog Manuskrip Melayu di Prancis. Siri
Bibliografi Manuskrip No. 9. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
_____. 1992. Katalog Manuskrip Melayu di Jerman Barat. Siri Bibliografi Manuskrip
No. 8. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Ricklefs, M.C. dan P. Voorhoeve. 1977. Indonesian Manuscripts in Great Britain. A
Catalogue of Indonesian Manuscripts in Indonesian Languages in British Public
Collections. Oxford: Oxford University Press.
Sutaarga, Amir dkk. 1972. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Dep. P &
K. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional Direktur
Jenderal Kebudayaan.
Van Ronkel, Ph. S. 1909. Catalogus der Maleische Handschriften in Het Museum van het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia: Albrecht &
Co.
Wieringa, E.P. 1997. Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library
of Leiden University and Other Collections in the Netherlands. Leiden: Legatum
Warnerium in Leiden University Library.
Yundiafi, Siti Zahra. 1996. “Syair Siti Zuhrah: Suntingan Teks dan Analisis Struktur”.
Tesis Magister Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia. Depok.

Anda mungkin juga menyukai