Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kampung Bena adalah salah satu perkampungan tradisional yang masih asli di antara kampung adat yang ada di Kabupaten Ngada, Flores. Letaknya di Desa Tiworiwu, Kecamatan Almere, Kabupaten Ngada berjarak sekitar 18 km dari Ngada. Perkampungan ini sangat unik karena berada di lembah dan diapit dua gunung, Inerie dan Surelaki.

Memasuki areal kampung, ada susunan batu turap berteras setinggi tiga meter yang mengaburkan kesan adanya kampung. Namun setelah menaiki batu berteras itu pada ketinggian tiga meter, barulah terlihat ada kampung Bena yang tertata apik berderet linier tersembunyi di dalamnya.

Pemilihan lokasi ini sebagai pertimbangan keamanan karena dengan tempat yang tinggi dan terlindung dapat diketahui dengan cepat jika terjadi serangan dari pihak lawan. Denah pemukiman kampung Bena dibentuk menyerupai perahu termasuk nama lokasi di kampung ini. Bagian pintu masuk kampung disebut mangulewa dan pada bagian ujung kampung disebut bowoza yang artinya buritan. Penggunaan istilah kapal ini sebagai cermin keberadaan leluhur yang berjuang mengarungi lautan hingga tiba di lokasi ini.

Kampung Bena memiliki halaman luas yang disebut kisanatha -- ruang publik berupa halaman yang merupakan orientasi setiap kegiatan ritual. Di sini terdapat sejumlah bangunan yang disakralkan masyarakat sebagai perwajahan leluhur mereka, ngadhu dan bagha. Ngadhu merupakan simbol perwajahan leluhur laki-laki, bangunannya menyerupai payung, sedangkan bagha semacam miniatur rumah sebagai perlambang perwajahan leluhur perempuan.

a. Hidup Rukun Kampung Bena yang dihuni oleh sembilan klan hidup rukun. Hampir semua klan memiliki toresa barajo yakni makam leluhur yang disucikan, terbuat dari semacam kubur batu dengan sejumlah batu pancang. Konon, yang dikubur di sini adalah tokoh yang dihormati, yang pertama berjuang membuat kampung Bena.

Masing-masing klan memiliki rumah adat yang secara morfologi bentuk bangunannya merupakan rumah panggung. Rumah adat pokok utamanya adalah saka puu sebagai rumah adat wanita yang dicirikan dengan simbol miniatur rumah yang disebut anaye pada bagian kemuncak. Sedangkan rumah Saka Lobho sebagai rumah adat laki-laki yang dicirikan dengan hiasan orang-orangan yang disebut ata pada kemuncak bangunan. b. Kekerabatan masyarakat Bena menganut sistem matrilineal, hak waris terhadap rumah adat berada pada pihak wanita. Jika wanita Bena kawin dengan pria dari klan lain, maka rumah adat saka puu dan saka lobho berada di rumah wanita. Di samping rumah adat itu, ada pula rumah pendukung yang dikenal sebutan sao kaka -- sebagai rumah pendukung memiliki nama masing-masing yang diambil dari nama leluhur masingmasing klan. c. Sembilan klan Bena masing-masing memiliki rumah pendukung. Pendirian rumah pendukung itupun ada persyaratannya. Misalnya, harus mendapat persetujuan keluarga klan dengan persyaratan mendirikan rumah harus memiliki soa. Soa yang diartikan tanah garapan dan tajak sebagai alat bertani para leluhur yang pertama ke Bena, makna semua itu ialah agar keluarga baru yang mendirikan rumah betul-betul bisa mandiri. d. Rumah pendukung ini harus terus disempurnakan sampai pada tingkatan kesembilan yang disebut sao ulu po yang sudah dipandang layak sebagai rumah adat. Sejak memiliki rumah dalam tingkatan ini, mereka sudah boleh menyiapkan diri untuk memiliki ngadhu dan bagha, bangunan pemujaan leluhur laki-laki dan perempuan. Karena pertimbangan lahan yang makin menyempit, maka pendirian rumah pendukung di kampung Bena sekarang dibatasi dan diperbolehkan membangun di luar areal kampung dengan dasar pertimbangan untuk menjaga keaslian kampung Bena.

Walaupun sekarang masyarakat setempat dominan penganut nasrani, namun budaya lama tradisi megalitik masih tetap membudaya. Hal ini terlihat jelas saat diadakan upacara reba yakni perayaan syukuran tahunan atas karunia alam dan leluhur.Perayaan ini di mulai dari Bena, di halaman kisanatha yang luas. Masingmasing klan mengadakan perayaan memasak bersama di bangunan Bagha yang merupakan bangunan pemersatu agar semua warga klan tetap ingat kepada leluhurnya.Masih Relevan Bangunan arsitektur Bena tidak hanya merupakan hunian semata, namun memiliki fungsi dan makna mendalam yang mengandung kearifan lokal dan masih relevan diterapkan masyarakat pada masa kini dalam pengelolaan lingkungan binaan yang ramah lingkungan. e. Proses pembuatan rumah adat Bena, sejak pemilihan lokasi, sudah berdasarkan pakem serta perhitungan tertentu. Misalnya, gerbang masuk kampung dibuat dengan stuktur susunan batu yang tinggi, suasana kampung tak terlihat kecuali menapaki tangga masuk paling atas. Lahan kampung dengan kontur tanah yang berbukit sengaja dipilih untuk kepentingan keamanan kampung. f. Nilai yang dapat diketahui bahwa masyarakat Bena tidak mengeksploitasi lingkungannya ialah lahan pemukiman yang dibiarkan sesuai kontur asli tanah berbukit. Bentuk kampung Bena menyerupai perahu karena menurut kepercayaan megalitik perahu dianggap punya kaitan dengan wahana bagi arwah yang menuju ke tempat tinggalnya. Namun nilai yang tercermin dari perahu ini adalah sifat kerjasama, gotong royong dan mengisyaratkan kerja keras yang dicontohkan dari leluhur mereka dalam menaklukkan alam mengarungi lautan sampai tiba di Bena. g. Peradaban dalam pelestarian lingkungan tercermin dari pemanfaatan sumber daya alam. Adanya kepercayaan mengadakan ritual upacara korban suci pada saat penebangan kayu untuk bangunan guna memohon izin kepada penguasa hutan agar penghuni pohon tidak marah. Bentuk pantangan ini mengandung arti yang kompleks - orang akan selektif dan tidak berani sembarangan menebang pohon.Pun dalam penempatan rumah adat Bena, posisi letak rumah disesuaikan dengan kemiringan lahan. Beranda rumah ditempatkan pada bagian yang datar, sedangkan pada bagian belakang dibuatkan tiang penyangga yang lebih tinggi sehingga posisi bangunan jadi rata. Makna ini sebagai upaya meminimalkan eksploitasi lahan karena disadari ini berakibat bencana alam seperti tanah longsor. Sedangkan pemilihan tempat yang datar dimanfaatkan sebagai ruang publik karena yang diutamakan adalah kepentingan bersama.

Kodrat Manusia Keterbukaan bersama warga menjadi prioritas dalam menyelesaikan masalah dicerminkan dengan beranda rumah yang berhadapan dan semua menghadap ke ruang publik.

Konsep dari keberadaan bhaga dan ngadhu menjiwai bahwa kodrat manusia harus hidup berpasangan. Karena dengan pertemuan itu, kesinambungan generasi dapat berlanjut. Penghargaan terhadap gender sangat diperhatikan dari penempatan ngadhu di depan bhaga dengan hiasan atap ngadhu berupa tangan memegang pisau mengandung makna bahwa laki-laki harus melindungi wanita.Keberadaan turesa barajo atau kuburan leluhur maupun para tokoh kampung di depan rumah pada ruang publik dimaksudkan agar warga kampung mengingat jasa leluhur yang berjuang keras membuat perkampungan. Adanya tradisi dalam pendirian rumah adat hanya bisa didirikan bagi mereka yang sudah memiliki sua. h. Pengertian sua diidentikan dengan tanah garapan, yang berarti dalam membangun rumah tidak cukup hanya membangun dari wujud fisik semata namun rumah diharapkan mampu memberikan kenyamanan dan kesejahteraan keluarga atau penghuni. Keberadaan sua diharapkan dapat menopang kehidupan keluarga. Idealnya, kalau mendirikan rumah ada persyaratan yakni harus punya tanah garapan. Secara tidak langsung, dasar pembentukan rumah baru ini mengandung kearifan pengembangan ekonomi.Berbagai penjabaran itu merupakan bagian dari kearifan dalam pembangunan rumah tradisional. Analisa tersebut merupakan bagian dari berbagai konsep arsitektur tradisional dari berbagai kepercayaan bangsa Asia. Ilmu pengetahuan tradisional itu analisanya sangat akurat dan bersifat logis, hanya saja cara penyampaian para praktisi masa lalu sering menggunakan bahasa lambang atau dikaitkan dengan nasihat yang bersifat mistis.

1.2

Tujuan Penulisan

a.Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah morfologi dan arsitektur kota, tentang makalah suatu daerah permukiman yang memiliki cirri khas yaituh kampung Bena. b.Untuk mengetahui gambaran kehidupan masyarakat Kampung Bena

c.Untuk mengetahui berbagai pengaruh modernisasi terhadap keberadaan Kampung Bena

1.3

Permasalahan

a.

Bagaimana gambaran kehidupan Masayarakat Kampung Bena.

b.

Bagaimna pengaruh arus modernisasi terhadap keberadaan Kampung Bena.

1.4

Manfaat Penulisan Dari segi akademis, hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu

sumber informasi dan bahan acuan mengenai kehidupan kampungBena beserta pengaruh modernisasi yang masuk ke kampung Bena.

BAB II PEMBAHASAN

2.1

Gambaran Kehidupan Masyarakat Kampung Bena

A. Sejarah Berdirinya Masyarakat Kampung Bena kampung ini dahulunya berawal dari hijrahnya 7 orang yang berlayar dari selatan dan salah satunya bernama Bena. Dalam perjalanan mengarungi laut besar dari selatan akhirnya terdampar. Oleh sebab itu secara bentuk jika dilihat dari bukit, perkampungan ini mirip sebuah kapal. Dan untuk menyebutkan territorial dari dari Kampung Bena mengarah pada sebutan kapal. Ulu Mangu Lewa, Eko Bo wozayang. Ulu adalah Kepala atau bagia depan, mangu berarti tiang dan lewa artinya tinggi. sedang Eko berarti Buritan atau belakang, Bo bermakna pecah, Woza artinya buih. Jika digabungkan keseluruhan dari makna itu adalah, sebuah kapal yang memiliki tiang depan yang tinggi sedang berlayar menghasilkan pecahan buih pada bagian belakang atau buritan.

Di kampung ini terdapat 40 rumah adat kuno yang setiap masanya tidak akan bertambah maupun berkurang. Hal ini disebabkan karena setiap keturunannya harus ada yang menjaga rumah adat ini dan tidak boleh ditinggalkan. Biasanya hanya orang tua saja yang tinggal di desa ini. anak anaknya akan memilih hidup di luar kampung. Namun jika orang tua mereka sudah meninggal, salah satu dari keturunannya itu harus kembali ke rumah ini. Uniknya, areal perkampungan ini dikelilingi tembok batu tinggi peninggalan jaman megalithikum. Gerbang depannya

menjulang tinggi tumpukan batu sebagai pintu masuknya. Dari pintu masuk ini terdapat beberapa banguan kecil yang memiliki makna dan filosofi yang sangat kuat mengenai kampung ini. B.Kondisi Geografis Wilayah Masyarakat Kampung Bena Secara geografis kampung bena terletak disebuah lembah diantara dua buah gunung yaituh gunung inerie dan suralaki.kampung bena memiliki karakteristik yang sangat spesifik dimana rumah-rumah adat mereka memiliki bentuk serta ukuran yang hampir sama. Kampung Bena, ini terletak sekitar 22 kilometer sebelah selatan Kota Bajawa, Ibukota Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Karena kampung ini sama sekali belum tersentuh kemajuan teknologi. Arsitektur bangunannya masih sangat sederhana, yang hanya memiliki satu pintu gerbang untuk masuk dan keluar, seperti pada peradaban di zaman purba. Menurut catatan Pemerintah Kabupaten Ngada, Kampung Bena diperkirakan telah ada sejak 1.200 tahun yang lalu. Hingga kini pola kehidupan serta budaya masyarakatnya tidak banyak berubah. Dimana masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Kampung Bena memiliki panjang 375 meter dan lebar 80 meter berada di atas bukit, di kaki Gunung Inerie, sekitar 785 meter di atas permukaan laut. Orang Bena percaya, di puncak Gunung Inerie bersemayam Dewa Zeta, dewa yang melindungi mereka. Disekeliling kampung terdapat Ngarai dengan kedalam hingga puluhan meter. Ketua Lembaga Adat Desa Tiwo Riwu, Yoseph Bruga Gale, mengungkapkan, menurut cerita para orang tua, awalnya Kampung Bena ini kapal. Saat ini Kampung Bena dihuni 326 jiwa, atau 120 keluarga.

a) Gunung inerie dari tampak dari permukiman warga

b) jalan menuju kampong bena

Sementara ribuan jiwa lainnya yang merupakan keturunan warga Bena bermukim di luar kampung adat.Sisa-sisa peradaban megalitikum terlihat di kampung ini. Seperti ornamen batu yang berfungsi sebagai makam, dan sebagai monumen.Seperti bangunan yang menyerupai payung ini, disebut Ngadhu. Bangunan ini merupakan media penghubung dengan leluhur lelaki mereka.Ngadhu juga berfungsi sebagai lambang keberadaan suatu klan. Bangunan ini didirikan ketika suatu klan baru akan terbentuk. Pendiriannya melalui ritual dengan mengorbankan hewan.Darah hewan korban ditorehkan pada bagian batu bangunan, yang dipercaya akan memberi kekuatan spiritual kepada klan yang dibentuk. Konon, dahulu yang dijadikan korban bukan hewan, tetapi kepala manusia. Penduduk Kampung Bena menganut sistem kekerabatan matriarkat, yakni mengikuti garis keturunan pihak ibu. Lelaki Bena yang menikah dengan wanita suku lain, akan menjadi bagian dari klan istrinya. Rumah keluarga inti pria disebut sakalobo. Ini ditandai dengan patung pria memegang parang dan lembing di atas rumah. Sementara rumah keluarga inti wanita disebut sakapuu.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Kampung bena ini merupakan kampung yang sangat unik dilihat dari segi pemandangan yang sangat bernuansa dengan adaanya wiasta yang sangat bagus.sedangkan untuk Warga Bena sejak dahulu menganggap bahwa gunung, batu, dan hewan-hewan harus dihormati sebagai bagian dari kehidupan. Arus modernisasi tidak bisa dihindari, cepat atau lambat pasti mempunyai pengaruh dan menimbulkan berbagai perubahan kehidupan sosial, tidak terkecuali di pelosok desa terpencil sekalipun dan kampung bena juga yang dulunya tidak pernah tersentuh arus modernisasi sekarang sudah terlihat adanya arus modernisasi mulai tumbuh di berbagai bidang di kehidupan masyarakat kampung naga yaitu bidang mata pencaharian, bidang pendidikan, bidang teknologi, bidang kesenian, bidang bahasa, dan bidang perilaku, pakaian dan alat keseharian. Bahkan yang paling menonjol adalah Saat ini,kehidupan masyarakat Kampung Bena sudah sangat dekat dengan kehidupan moderen. Buktinya, ketika memasuki kawasan Kampung Bena kita bisa melihat beberapa kawasan wiasata yang sangut indah dan berbagai macam tempat yang dikunjungi para wiastawan.

3.2 a.

Saran Kita harus banyak belajar lewat kesederhanaan, kebersahajaan dan solidaritas sosial warga Kampung Bena. Di tengah-tengah kehidupan yang sangat hedonis, memudarnya apresiasi terhadap nilai-nilai tradisi sosial yang semakin menggejala, dan persaingan hidup yang kadang melunturkan nilai kemanusiaan kita. Begitu banyak hal yang bisa diambil dari kehidupan masyarakat kampung Bena . Mulai dari hubungan kemasyarakatan, interaksi dengan alam, hingga pegangan bijak dari adat Bena. Semua itu tercermin dari budi yang luhur sebuah masyarakat yang masih memegang teguh budayanya. Kita sudah sepatutnya mensyukuri keaneka ragaman budaya yang ada di nusantara. Selayaknya kita menghargai dan menjaga apa yang menjadi pegangan adat masyarakat kampung Bena.

b.

Kampung Bena dapat di jadikan aset wisata di NTT yang berhubungan dengan Budaya. Adat istiadat kampung Bena harus dihargai pemerintah, agar dipandang oleh dunia, karena

jarang kampung-kampung di Indonesia yang masih menjaga keutuhan dari budaya yang di turunkan oleh leluhurnya.

Anda mungkin juga menyukai